Anda di halaman 1dari 6

Identitas dan Politik Bahasa dalam Karikatur Karya Emmanuel Chaunu

Amelia Wahyu Julisdianti 1606912751


Nadya Yahya 1606890990

Pendahuluan
Kata 'identitas' berasal dari bahasa Latin 'idem' artinya 'yang sama'. Identitas merupakan
sebuah kesamaan yang menyatakan dan menentukan hidup seseorang di suatu kelompok tertentu
yang bersifat sebagai “pembeda antara kelompok satu dengan kelompok yang lainnya, pembeda
antar bangsa dan suku”. Unsur-unsur identitas nasional antara lain pola perilaku, simbol simbol,
alat-alat perlengkapan, dan tujuan yang akan dicapai secara nasional, sedangkan unsur
pembentuk identitas nasional meliputi sejarah, kebudayaan, suku bangsa, agama, dan bahasa
(Ubaedillah dan Rozak, 2016). Menurut Koentjaraningrat (1974) bahasa tidak hanya digunakan
sebagai alat komunikasi dan bekerja sama, tetapi juga berfungsi sebagai alat untuk
mengidentifikasikan diri suatu kelompok sosial. Oleh karena itu, karena keberadaan bahasa
dalam suatu komunitas sangatlah penting, ia dijadikan sebagai salah satu unsur kebudayaan.
Dalam suatu masyarakat di suatu wilayah, beberapa bahasa dapat hidup bersamaan. Di
antara bahasa-bahasa tersebut, kemungkinan ada satu atau lebih bahasa yang lebih unggul atau
mendominasi bahasa lainnya. Adanya dominasi bahasa ini seringkali menimbulkan kesenjangan
sehingga pemerintah harus turun tangan dan menindaklanjuti permasalahan tersebut.
Permasalahan bahasa tersebut dapat menimbulkan suatu fenomena ekstrim, salah satu di

1
antaranya adalah kematian pada suatu bahasa, yang secara alamiah dapat terjadi apabila tidak ada
lagi masyarakat penggunanya atau tidak diakui oleh negara.
Menurut J. Leclerc (1992), seorang linguis Kanada, dalam penerapan politik bahasa pada
umumnya terdapat pembedaan stratifikasi bahasa, yaitu adanya bahasa yang mendominasi atau
lebih superior dan bahasa yang terdominasi atau yang inferior. Pembedaan stratifikasi bahasa
tersebut dapat disebabkan oleh dua tekanan utama, yakni tekanan politik dan ekonomi. Bahasa
juga mampu melahirkan solidaritas atau merasa sama-sama dalam lingkup komunitas yang sama
meski awalnya tidak saling kenal, misalnya merasa sama-sama orang Prancis karena mampu
berbahasa Prancis.
Pada karikatur di atas dapat dilihat bahwa terdapat tiga pihak, yaitu perwakilan rakyat
Prancis, perwakilan dari lembaga peneliti opini, dan anggota Senat atau Senateurs. Pada gambar
tersebut seorang pria dengan topi beret yang digambarkan sebagai rakyat sedang diwawancarai
oleh seorang perwakilan dari lembaga peneliti opini tersebut. Dilihat melalui ujaran sang pria,
yaitu “Je suis pour les langues régionales” yang mengindikasikan bahwa ia menyetujui adanya
bahasa daerah Prancis, kemudian di bagian kanan, para anggota Senat menanggapi pernyataan
dari pria tersebut, “Plus ça va, moins je comprends le Francais”, ujaran menunjukkan bahwa
mereka justru tidak memihak pada keberadaan bahasa daerah di Prancis.

Penerapan Politik Bahasa Daerah di Prancis


Berdasarkan karikatur karya Emmanuel Chaunu, pria dengan topi beret tersebut
merepresentasikan suara dari rakyat Prancis. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ouest-
France, sebuah surat kabar harian Prancis, 68% penduduk Prancis umumnya menerima dan
menyetujui keberadaan bahasa daerah Prancis. Dilihat dari pakaian yang dikenakan pria tersebut,
ia dapat diklasifikasikan sebagai seseorang dari kelas menengah. Hal ini juga sesuai dengan
penelitian yang memaparkan bahwa 75% dari masyarakat yang menyetujui hal ini memiliki mata
pencaharian sebagai karyawan ataupun buruh, sedangkan pihak yang kurang menyetujui masalah
ini umumnya berasal dari pekerja tingkat atas, seperti manajer, direktur, profesi-profesi liberal,
dsb. Hal tersebut menunjukkan bahwa para karyawan kantor atau pekerja dari kalangan bawah
lebih memerhatikan masalah warisan budaya Prancis. Para pekerja dari kelas bawah banyak
berasal dari daerah-daerah tersebut, sehingga mereka tentunya masih memiliki kontak langsung
dengan bahasa tersebut. Selain itu, bahasa daerah juga tidak memberikan pengaruh yang

2
signifikan pada pekerjaan mereka. Berbeda dari para pekerja kelas atas yang biasanya berpusat di
Paris, di mana jumlah penuturnya tidak banyak. Selanjutnya, rencana bahasa daerah Prancis
menjadi bagian dari bahasa resmi negara kemungkinan dapat merumitkan berbagai hal di
perusahaan, salah satunya adalah komunikasi.
Di sebelah kanan gambar, anggota-anggota Senat menanggapi pernyataan pria tersebut
dengan wajah yang tidak bersahabat, mengindikasikan ketidaksetujuannya terhadap
pernyataannya. Hal itu juga ditunjukkan melalui ujarannya bahwa dengan dimasukkannya
bahasa daerah ke dalam konstitusi sebagai bahasa resmi Prancis justru akan mempersulit
berbagai hal, seakan mereka mengatakan untuk apa perlu digunakan bahasa daerah saat memang
sudah ada bahasa Prancis yang telah digunakan oleh berbagai kalangan. Hal tersebut tentunya
kontradiktif, mengingat Senat merupakan badan legislatif Prancis yang merepresentasikan
Collectivités Territoriales de la République Française dan mayoritas penduduk Prancis nyatanya
menyetujui wacana tersebut. Bahasa Prancis lebih dominan dibandingkan dengan bahasa-bahasa
daerahnya, dilihat dari jumlah pengguna bahasa Prancis yang lebih banyak dan pengguna
bahasa-bahasa daerah yang semakin lama semakin berkurang, sehingga pengguna bahasa daerah
ini akan dituntut pula untuk menggunakan bahasa Prancis ketimbang dengan bahasa daerahnya.
Di Prancis terdapat sebuah doktrin yaitu Jacobinisme, nama ini diambil dari klub Jacobin,
yang didirikan selama Revolusi Perancis di bekas biara Jacobin di Paris. Jacobinisme merupakan
sebuah doktrin politik yang membela kedaulatan rakyat dan ketidakterpisahan Republik Prancis.
Doktrin ini seringkali dihubungkan dengan penggunaan bahasa Prancis sebagai bahasa resmi
yang menyatukan rakyat, sehingga banyak pihak yang kemudian menyatakan bahwa bahasa
daerah yang ada di Prancis justru dapat menjadi sesuatu yang mengusik konsep
ketidakterpisahan di Prancis.
Secara utuh, karikatur di atas dapat dikaitkan dengan konteks penundaan ratifikasi
European Charter for Regional or Minority Languages (ECRML) oleh Prancis. ECRML ini
merupakan sebuah perjanjian yang bertujuan untuk melindungi bahasa-bahasa daerah dan yang
hampir punah di Eropa. Perjanjian ini ditandatangani pada tahun 1992 dan mulai diberlakukan
pada tahun 1998. Namun, Prancis baru menandatangani perjanjian ini pada tahun 1999. Perlu
diingat bahwa sebuah perjanjian harus diratifikasi untuk dapat diterapkan di wilayah negara
tersebut, sehingga Prancis belum menerapkan hasil ECRML walaupun secara simbolik sudah
menandatanganinya. Hal ini membuat ribuan protestan turun ke jalan untuk mendesak proses

3
ratifikasi Piagam Eropa tersebut. Alasan utama anggota Senat menunda proses ratifikasi adalah
karena hasil ECRML tidak sejalan dengan konstitusional Perancis dalam artikel nomor dua
dalam konstitusi bahwa bahasa Prancis merupakan bahasa resmi yang digunakan di Republik
Prancis.

Identitas Bahasa Daerah Prancis


Mengacu kepada teori Koentjaraningrat yang telah disebutkan sebelumnya bahwa bahasa
juga dapat berfungsi sebagai identifikasi suatu kelompok dalam masyarakat yang membedakan
suatu kelompok dengan kelompok lainnya, sehingga dapat dikatakan bahwa bahasa dapat
menjadi identitas yang melekat pada suatu individu atau kelompok. Kemudian Appiah (1994)
juga menjelaskan bahwa diperlukan pengakuan tentang eksistensi suatu identitas, bukan hanya
pengakuan dari diri suatu individu, tetapi juga pengakuan dari pihak lain. Dalam konteks korpus,
eksistensi identitas pengguna bahasa daerah akan dikatakan ada jika mendapat pengakuan dari
kelompok pengguna bahasa tersebut dan juga pengakuan dari pihak lain. Dalam gambar tersebut
dengan ketidaksetujuan Senat mengenai penggunaan bahasa daerah menunjukan bahwa bahasa
tersebut tidak mendapat pengakuan dari suatu pihak dan dapat menghilangkan eksistensi bahasa
daerah tersebut.
Bahasa sebagai penanda identitas diri seseorang atau kelompok pun memiliki peranan
yang sangat signifikan. Dengan adanya politik bahasa, satu bahasa bisa saja dianggap lebih
rendah dan menyimpan makna peyoratif. Hal ini sering terjadi pada bahasa daerah yang
kemudian merusak citranya. Stigmatisasi aktif mengenai bahasa daerah kerap muncul di Prancis,
sementara bahasa Prancis umumnya dianggap sebagai bahasa yang lebih maju dan berkelas.
Seperti yang dikatakan Jaffe yang dikutip melalui Jurnal The Gallicisation of Corsica: The
Imposition of the French Language (2004) bahwa mempelajari bahasa Prancis berarti menjadi
Prancis, yaitu dengan selalu mengorbankan bahasa dan identitas daerah karena dijadikan objek
rasa malu dan cemoohan. Anak-anak Prancis yang berbicara bahasa daerah dicemooh dengan
berbagai panggilan seperti “petani”, “keledai’’, dsb.

Kesimpulan
Berdasarkan analisis korpus yang telah dipaparkan di atas, politik bahasa yang terjadi
ditunjukan melalui dominasi bahasa Prancis terhadap bahasa-bahasa regional atau daerah di

4
Prancis. Bahasa-bahasa daerah tersebut memiliki kedudukan yang lebih inferior dibandingkan
dengan bahasa Prancis dilihat dari jumlah penutur bahasa daerah yang lebih sedikit, sehingga
penutur daerah dituntut untuk menggunakan bahasa Prancis dibanding dengan bahasa daerah
mereka supaya dapat berkomunikasi dengan individu lainnya di dalam masyarakat yang lebih
luas.
Dalam konteks korpus kami, Senat tidak setuju dengan keinginan mayoritas masyarakat
untuk menjadikan bahasa daerah sebagai bagian dari bahasa resmi negara. Hal ini menimbulkan
kejanggalan, mengingat Senat merupakan badan yang mewakili daerah-daerah di Prancis,
sehingga sudah sepantasnya mereka menyalurkan opini dan hal yang diinginkan para penduduk
daerah mereka, dan tidak mementingkan opini pribadi. Bahasa daerah lama kelamaan dapat
tersisihkan dalam masyarakat sebagai akibat dari politik bahasa yang diterapkan dan dapat
berimbas pada lunturnya identitas pengguna bahasa daerah.

Daftar Referensi
Appiah, Kwame Anthony. (1994). Identity, Authenticity, Survival: Multicultural Societies and
Social Reproduction. In Amy Gutmann (Ed.). Multiculturalism Examining the Politics of
Recognition (pp. 149-163). New Jersey: Princeton University Press.
Blackwood, R. J. (2004). The Gallicisation of Corsica: The Imposition of the French Language
from 1768 TO 1945. Language Policy, 3(2), 133-152 diakses pada 8 Desember 2018
Bras, Jean-Laurent. (2013). Les Français, fervents défenseurs des langues régionales.
https://www.ouest-france.fr/les-francais-fervents-defenseurs-des-langues-regionales-
123225. Diakses 8 Desember 2018
Brinton, Rane. (1930). The Jacobins : An Essay in the New History. Macmillan.
Koentjaraningrat. (1974). Pengantar antropologi. Jakarta: Aksara Baru
Leclerc, J. (1992). Langue et société. Laval: Mondia Éditeurs
Melvin, Joshua. (2014). Hypocrisy? France and its regional languages.
https://www.thelocal.fr/20140123/in-france-there-is-only-one-language. Diakses 8
Desember 2018

5
Pasikowska-Schnass, Magdalena. (2016). Regional and minority languages in the
European Union.http://www.europarl.europa.eu/EPRS/EPRS-Briefing-589794-Regional-
minority-languages-EU-FINAL.pdf. Diakses 8 Desember 2018.
Rummens, J. (1993). Personal Identity and Social Structure in Sint Maarten/Saint Martin: A
Plural Identities Approach. Toronto: York University.
Ubaedillah, A & Rozak, Abdul. (2016). Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani.
Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah

Anda mungkin juga menyukai