Beranda ▼
Beranda ▼
MAKALAH
Asuhan Keperawatan Klien dengan Diabetes Mellitus Tipe II
Mata Kuliah Sistem Endokrin
Afrizal Mustaqim
2011011179
PSIK VI.a
2013/2014
BAB 1
PENDAHULUAN
. Diabetes sudah dikenal sejak berabad-abad sebelum Masehi. Pada Papyrus Ebers di Mesir
kurang lebih 1500 SM, digambarkan adanya penyakit dengan tanda-tanda banyak kencing.
Kemudian Celsus atau Paracelsus ± 30 th SM juga menemukan penyakit itu, tapi baru 200 tahun
kemudian, Aretaeus menyebutnnya sebagai penyakit aneh dan menamai penyakit itu diabetes
dari kata diabere yang berarti siphon atau tabung untuk mengalirkan cairan dari suatu tempat
ketempat lain. Dia menggambarkan penyakit itu sebagai melelehnya daging dan tungkai kedalam
urin. Cendekiawan Cina dan India pada abad 3 sampai 6 Masehi juga menemukan penyakit ini,
malah mereka mengatakan bahwa urine pasien rasanya manis. Tahun 1674 Willis melukiskan urin
tadi seperti digelimangi madu dan gula, maka semenjak itu nama penyakit tersebut ditamba
katamellitus yang berarti madu.(FKUI, 2011)
Saat ini diabetes mellitus merupakan penyakit degenerative yang diperkirakan akan terus
meningkat prevalensinya. Pada tahun 2003 prevalensi diabetes didunia diperkirakan 194 juta,
jumlah ini kemungkinan mencapai 333 juta ditahun 2025. Data dari Departemen Kesehatan RI
tahun 2007 menyebutkan prevalensi DM secara nasional mencapai 5,7%. .(FKUI, 2011)
Melihat tendensi kenaikan prevalensi diabetes secara global yang disebabkan karena
peningkatan kemakmuran suatu populasi, maka dengan demikian dapat dimengerti bila suatu
saat atau lebih tepat lagi dalam kurun waktu 1 atau 2 dekade yang akan datang kekerapan DM
Tipe 2 di Indonesia akan meningkat dengan drastis, yang disebabkan oleh beberapa faktor :
b. Faktor kegemukan/obesitas
2) Makan berlebihan
c. Faktor Demografi
2) Urbanisasi
Jumlah penyandang diabetes terutama diabetes Tipe II makin meningkat di seluruh dunia
terutama di negara berkembang karena perubahan gaya hidup salah yang menyebabkan
obesitas. Faktor urbanisasi dan meningkatnya pelayanan kesehatan merupakan faktor penting
juga karena usia menjadi lebih panjang. Untuk pertama kalinya Indonesia mempunyai data
nasional prevalensi diabetes untuk daerah urban sebesar 5,7%, berkat penelitian yang baru saja
selesai dilakukan oleh Litbangkes Depkes. (FKUI, 2011)
Mahasiswa mampu memahami tentang penyakit diebetes mellitus tipe II dan mampu
memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan penyakit tersebut.
Dalam penyusunan makalah initerdiri beberapa bab dan tiap-tiap babterdiri dari beberapa
bagian. Adapun isi dari tiap-tiap bagian tersebut adalah:
a. Bagian formalitas, terdiri dari halaman judul, kata pengantar dan daftar isi.
c. Bagian akhir,berisi daftar pustaka yang di gunakan penulis dalam mencari resensi buku
BAB II
TINJAUAN TEORI
a. Pankreas
b. Glukagon
Sasaran utama Glukoagon adalah hati, dengan (1) merombak glikogen menjadi glukosa
(glikogenolisis) ; (2) sintesis glukosa dari asam laktat dan dar molekul non karbohidrat seperti asam
lemak dan asam amino ( glukoneogenesis) ; dan (3) pembebasan glukosa ke darah oleh sel-sel hati
sehingga gula darah naik. Sekresi glucagon dirangsang turunya kadar gula darah, jug anaiknya kadar
asam aminao darah ( setelah makan banyak). Sebaliknya dihambat oleh kadar gula darah yang tinggi
dan oleh somatostatin. ( Jan Tambayong, 2001)
c. Insulin
Insulin adalah hormone yang dihasilkan dalam sel beta pulau sel intra alveolar. Hormon ini terdiri
dari dari asam amino. Produksinya oleh sel beta dirangsang oleh peningkatan gula darah, sepeti yang
terjadi setelah makan makanan yang mengandung karbohidrat ; insulin bersirkulasi dalam darah dan
akhirnya dihancurkan oleh ginjal dan hati.fungsinya adalah merangsang transfer glukoosa melalui
dinding sel dan mencegah peningkatan gula darah diatas batas normal. Glukagon adalah hormon
yang dihasilkan oleh sel alfa pulau sel hepar menjadi glukosa. Kerja ini menghasilkan efek
berlawanan dengan kerja insulin. Produksi hormon ini dirangsang oleh penurunan gula darah, yang
dapat diakibatkan oleh puasa atau melakukan latihan sedang sampai berat. ( Jhon Gibson, 2002 )
Berikut ini adalah pengertian Deabetes Melitus Tipe II menurut beberapa ahli, diantaranya:
a. Diabetes mellitus Tipe 2 atau dikenal dengan istilah Non-insulin Dependent Millitus (NIDDM)
adalah keadaan dimana hormone insulin dalam tubuh tidak dapat berfungsi dengan
semestinya, hal ini dikarenakan berbagai kemungkinan seperti kecacatan dalam
produksi insulin atau berkurangnya sensitifitas (respon) sel dan jaringan tubuh terhadap
insulin yang ditandai dengan meningkatnya kadar insulin di dalam darah. (Nurul Wahdah,
2011)
b. Diabetes Mellitus Tipe II adalah defek sekresi insulin, dimana pankreas tidak mampu
menghasilkan insulin yang cukup untuk mempertahankan glukosa plasma yang normal,
sehingga terjadi hiperglikemia yang disebabkan insensitifitas seluler akibat insulin. (Elizabeth
J Corwin, 2009)
c. Diabetes Mellitus Tipe II adalah keadaan dimana kadar glukosa tinggi, kadar insulin tinggi atau
normal namun kualitasnya kurang baik, sehingga gagal membawa glukosa masuk dalam sel,
akibatnya terjadi gangguan transport glukosa yang dijadikan sebagai bahan bakar
metabolisme energi. (FKUI, 2011)
1) Glukotoksisitas
Kadar glukosa darah yang berlangsung lama akan menyebkan peningkatan stress
oksidatif, IL-1 DAN NF-B dengan akibat peningkatan apoptosis sel beta
2) Lipotoksisitas
Peningkatan asam lemak bebas yang berasal dari jaringan adiposa dalam proses lipolisis
akan mengalami metabolism non oksidatif menjadi ceramide yang toksik terhadap sel
beta sehingga terjadi apoptosis
3) Penumpukan amiloid
Pada keadaan resistensi insulin, kerja insulin dihambat sehingga kadar glukosa darah
akan meningkat, karena itu sel beta akan berusaha mengkompensasinya dengan
meningkatkan sekresi insulin hingga terjadi hiperinsulinemia. Peningkatan sekresi insulin
juga diikuti dengan sekresi amylin dari sel beta yang akan ditumpuk disekitar sel beta
hingga menjadi jaringan amiloid dan akan mendesak sel beta itu sendiri sehingga akirnya
jumlah sel beta dalam pulau Langerhans menjadi berkurang. Pada DM Tipe II jumlah sel
beta berkurang sampai 50-60%.
4) Efek inkretin
Inkretin memiliki efek langsung terhadap sel beta dengan cara meningkatkan proliferasi
sel beta, meningkatkan sekresi insulin dan mengurangi apoptosis sel beta.
5) Umur
Diabetes Tipe II biasanya terjadi setelah usia 30 tahun dan semakin sering terjadi setelah
usia 40 tahun, selanjutnya terus meningkat pada usia lanjut. Usia lanjut yang mengalami
gangguan toleransi glukosa mencapai 50 – 92%. Proses menua yang berlangsung setelah
usia 30 tahun mengakibatkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia. Perubahan
dimulai dari tingkat sel, berlanjut pada tingkat jaringan dan ahirnya pada tingkat organ
yang dapat mempengaruhi fungsi homeostasis. Komponen tubuh yang mengalami
perubahan adalah sel beta pankreas yang mengahasilkan hormon insulin, sel-sel jaringan
terget yang menghasilkan glukosa, sistem saraf, dan hormon lain yang mempengaruhi
kadar glukosa.
6) Genetik
b. Retensi insulin
Penyebab retensi insulin pada DM Tipe II sebenarnya tidak begitu jelas, tapi faktor-faktor
berikut ini banyak berperan:
5) Stress
Reaksi pertama dari respon stress adalah terjadinya sekresi sistem saraf simpatis yang
diikuti oleh sekresi simpatis adrenal medular dan bila stress menetap maka sistem
hipotalamus pituitari akan diaktifkan. Hipotalamus mensekresi corticotropin releasing
factor yang menstimulasi pituitari anterior memproduksi kortisol, yang akan
mempengaruhi peningkatan kadar glukosa darah (FKUI, 2011)
Berikut ini adalah faktor resiko yang dapat terkena DM Tipe II, antara lain:
a. Usia ≥ 45 tahun
b. Usia lebih muda, terutama dengan indeks massa tubuh (IMT) >23 kg/m2yang disertai dengan
faktor resiko:
3) Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi >4000 gram, atau riwayat DM gestasional
6) Menderita polycyctic ovarial syndrome(PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait
dengan resistensi insulin
7) Adanya riwayat toleransi glukosa yang terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa
terganggu (GDPT) sebelumnya
f. Faktor genetik
1) Penurunan penglihatan
2) Poliuri ( peningkatan pengeluaran urine ) karena air mengikuti glukosa dan keluar
melalui urine.
3) Polidipsia (peningkatan kadar rasa haus)akibat volume urineyang sangat besar dan
keluarnya air yang menyebabkan dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi intrasel mengikuti
ekstrasel karena air intrasel akan berdifusi keluar sel mengikuti penurunan gradien
konsentrasi keplasma yang hipertonik (konsentrasi tinggi) dehidrasi
intrasel menstimulasi pengeluaran hormon anti duretik (ADH, vasopresin)dan
menimbulkan rasa haus
4) Rasa lelah dan kelemahan otot akibat kataboisme protein di otot dan ketidakmampuan
sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa sebagai energi. Aliran darah yang buruk
pada pasienDM kronis menyebabkan kelelahan
9) Perubahan kulit, khususnya pada tungkai dan kaki akibat kerusakan sirkulasi perifer,
kemungkinan kondisi kulit kronis seperti selulitis atau luka yang tidak kunjung sembuh,
turgor kulit buruk dan membran mukosa kering akibat dehidrasi
10) Penurunan nadi perifer, kulit dingin, penurunan reflek, dan kemungkinan nyeri perifer
atau kebas
2) Gangguan penglihatan yang berhubungan dengan keseimbangan air atau pada kasus
yang berat terjadi kerusakan retina
4) Kandidiasis vagina ( infeks ragi ), akibat peningkatan kadar glukosa disekret vagina dan
urine, serta gangguan fungsi imun . kandidiasis dapat menyebabkan rasa gatal dan
kadas di vagina
5) Pelisutan otot dapat terjadi kerena protein otot digunakan untuk memenuhi kebutuhan
energi tubuh
6) Efek Somogyi: Efek somogyi merupakan komplikasi akut yang ditandai penurunan unik
kadar glukosa darah di malam hari, kemudian di pagi hari kadar glukosa kembali
meningkat diikuti peningkatan rebound pada paginya. Penyebab hipoglikemia malam
hari kemungkinan besar berkaitan dengan penyuntikan insulin di sore harinya.
Hipoglikemia itu sendiri kemudian menyebabkan peningkatan glukagon, katekolamin,
kortisol, dan hormon pertumbuhan. Hormon ini menstimulasi glukoneogenesis
sehingga pada pagi harinya terjadi hiperglikemia. Pengobatan untuk efek somogyi
ditujukan untuk memanipulasi penyuntikan insulin sore hari sedemikian rupa sehingga
tidak menyebabkan hipoglikemia. Intervensi diet juga dapat mengurangi efek somogyi.
Efek somogyi banyak dijumpai pada anak-anak.
7) Fenomena fajar ( dawn phenomenon) adalah hiperglikemia pada pagi hari ( antara jam
5 dan 9 pagi) yang tampaknya disebabkan oleh peningkatan sirkadian kadar glukosa di
pada pagi hari. Fenomena ini dapat dijumpai pada pengidap diabetes Tipe I atau Tipe II.
Hormone-hormon yang memperlihatkan variasi sirkadian pada pagi hari adalah kortisol
dan hormon pertumbuhan, dimana dan keduanya merangsang glukoneogenesis. Pada
pengidap diabetes Tipe II, juga dapat terjadi di pagi hari, baik sebagai variasi sirkadian
normal maupun atau sebagai respons terhadap hormone pertumbuhan atau kortisol.
(Elizabeth J Corwin, 2009)
Patogenesis diabetes melitus Tipe II ditandai dengan adanya resistensi insulin perifer,
gangguan “hepatic glucose production (HGP)”, dan penurunan fungsi cell β, yang akhirnya akan
menuju ke kerusakan total sel β. Mula-mula timbul resistensi insulin yang kemudian disusul oleh
peningkatan sekresi insulin untuk mengkompensasi retensi insulin itu agar kadar glukosa darah
tetap normal. Lama kelamaan sel beta tidak akan sanggup lagi mengkompensasi retensi insulin
hingga kadar glukosa darah meningkat dan fungsi sel beta makin menurun saat itulah diagnosis
diabetes ditegakkan. Ternyata penurunan fungsi sel beta itu berlangsung secara progresif sampai
akhirnya sama sekali tidak mampu lagi mengsekresi insulin.( FKUI,2011 )
Individu yang mengidap DM Tipe II tetap mengahasilkan insulin. Akan tetapi jarang terjadi
keterlambatan awal dalam sekresi dan penurunan jumlah total insulin yang di lepaskan. Hal ini
mendorong semakin parah kondisi seiring dengan bertambah usia pasien. Selain itu, sel-sel tubuh
terutama sel otot dan adiposa memperlihatkan resitensi terhadap insulin yang bersirkulasi dalam
darah. Akibatnya pembawa glukosa (transporter glukosa glut-4) yang ada disel tidak adekuat.
Karena sel kekurangan glukosa, hati memulai proses glukoneogenesis, yang selanjutnya makin
meningkatkan kadar glukosa darah serta mestimulasai penguraian simpanan trigliserida, protein,
dan glikogen untuk mengahasilkan sumber bahan bakar alternative, sehingga meningkatkan zat-
zat ini didalam darah. Hanya sel-sel otak dan sel darah merah yang terus menggunakan glukosa
sebagai sumber energy yang efektif . Karena masih terdapa insulin , individu dengan DM Tipe
II jarang mengandalkan asam lemak untuk menghasilkan energi dan tidak rentang terhadap
ketosis.(Elizabeth J Corwin, 2009)
Terlampir
Beberapa komplikasi yang dapat muncul akibat DM Tipe II, antara lain:
a. Hipoglikemia
Komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita diabetes yang di obati dengan insulin atau
obat-obatan antidiabetik oral. Hal ini mungkin di sebabkan oleh pemberian insulin yang
berlebihan, asupan kalori yang tidak adekuat, konsumsi alkohol, atau olahraga yang
berlebihan. Gejala hipoglikemi pada lansia dapat berkisar dari ringan sampai berat dan tidak
disadari sampai kondisinya mengancam jiwa.
b. Ketoasidosis diabetic
Kondisi yang ditandai dengan hiperglikemia berat, merupakan kondisi yang mengancam jiwa.
Ketoasidosis diabetik biasanya terjadi pada lansia dengan diabetes Tipe 1, tetapi kadang kala
dapat terjadi pada individu yang menderita diabetes Tipe 2 yang mengalami stress fisik dan
emosional yang ekstrim.
c. Sindrom nonketotik hiperglikemi, hiperosmolar (Hyperosomolar hyperglycemic syndrome,
HHNS) atau koma hiperosmolar
Komplikasi metabolik akut yang paling umum terlihat pada pasien yang menderita diabetes.
Sebagai suatu kedaruratan medis, HHNS di tandai dengan hiperglikemia berat(kadar glukosa
darah di atas 800 mg/dl), hiperosmolaritas (di atas 280 mOSm/L), dan dehidrasi berat akibat
deuresis osmotic. Tanda gejala mencakup kejang dan hemiparasis (yang sering kali keliru
diagnosis menjadi cidera serebrovaskular) dan kerusakan pada tingkat kesadaran (biasanya
koma atau hampir koma).
d. Neuropati perifer
Biasanya terjadi di tangan dan kaki serta dapat menyebabkan kebas atau nyeri dan
kemungkinan lesi kulit. Neuropati otonom juga bermanifestasi dalam berbagai cara, yang
mencakup gastroparesis (keterlambatan pengosongan lambung yang menyebabkan perasaan
mual dan penuh setelah makan), diare noktural, impotensi, dan hipotensi ortostatik.
e. Penyakit kardiovaskuler
Pasien lansia yang menderita diabetes memiliki insidens hipertensi 10 kali lipat dari yang di
temukan pada lansia yang tidak menderita diabetes. Hasil ini lebih meningkatkan resiko
iskemik sementara dan penyakit serebrovaskular, penyakit arteri koroner dan infark miokard,
aterosklerosis serebral, terjadinya retinopati dan neuropati progresif, kerusakan kognitif,
serta depresi sistem saraf pusat.
f. Infeksi kulit
Hiperglikemia merusak resistansi lansia terhadap infeksi karena kandungan glukosa epidermis
dan urine mendorong pertumbuhan bakteri. Hal ini membuat lansia rentan terhadap infeksi
kulit dan saluran kemih serta vaginitis. (Jaime Stockslager L dan Liz Schaeffer, 2007)
Kadar glukosa dapat diukur dari sample berupa darah biasa atau plasma. Pemeriksaan kadar
glukosa darah lebih akurat karena bersifat langsung dan dapat mendeteksi kondisi
hiperglikemia dan hipoglikemia. Pemeriksaan kadar glukosa darah menggunakan glukometer
lebih baik daripada kasat mata karena informasi yang diberikan lebih objektif kuantitatif.
(FKUI,2011)
Memberikan diagnosis definitif diabetes. Akan tetapi, pada lansia, pemeriksaan glukosa
serum postprandial 2 jam dan pemeriksaan toleransi glukosa oral lebih membantu
menegakan diagnosis karena lansia mungkin memiliki kadar glukosa puasa hampir normal
tetapi mengalami hiperglikemia berkepanjangan setelah makan. Diagnosis biasanya dibuat
setelah satu dari tiga kriteria berikut ini terpenuhi:
3) Kadar glukosa darah puasa setelah asupan glukosa per oral 200 mg/dl atau lebih. (Jaime
Stockslager L dan Liz Schaeffer, 2007)
e. Fruktosamina serum
Kadar glukosa darah yang terlalu tinggi dan kurang hormone insulin menyebabkan tubuh
menggunakan lemak sebagai sumber energy. Keton urin dapat diperiksa dengan
menggunkan reaksi kolorimetrik antara benda keton dan nitroprusid yang menghasilkan
warna ungu. (FKUI,2011)
PKGS memberikan informasi kepada penyandang DM mengenai kendali glikemik dari hai
kehari sehingga memungkinkan klien melakukan penyesuaian diet dan pengobatan terutama
saat sakit, latihan jasmani dan aktivitas lain. PKGS memberikanfeedback cepat kepada pasien
terhadap kadar glukosa setiap hari. (FKUI,2011)
Merupakan metode sample glukosa cairan intestinal ( yang berhubungan dengan glukosa
darah) telah banyak digunakan untuk mengetahui kendali glikemik. Caranya adalah
menggunakan sistem mikrodialisis yang dinsersi secara subkutan, konsentrasi glukosa
kemudian diukur dengan detector elektroda oksidasi glukosa. Sensor glukosa pada PGB
memiliki alaram untuk mendeteksi kondisi hipoglikemi dan hiperglikemi. (FKUI)
a. Penatalaksanaan Medis
(1) Sulfonilurea
Golongan obat ini bekerja dengan menstimulasi sel beta pankreas untuk
melepaskan insulin yang tersimpan. Efek ekstra pankreas yaitu memperbaiki
sensitivitas insulin ada, tapi tidak penting karena ternyata obat ini tidak
bermanfaat pada pasien insulinopenik. Mekanisme kerja golongan obat ini antara
lain:
(c) Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa (FKUI, 2011)
(2) Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonylurea, dengan
meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam
obat yaitu: Repaglinid (derivate asam benzoat) dan Nateglinid (derivate
fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan
diekskresi secara cepat melalui hati.(FKUI, 2011)
(1) Biguanid
Saat ini dari golongan ini yang masih dipakai adalah metformin. Etformin
menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap insulin pada tingkat
selular, distal dari reseptor insulin serta juga pada efeknya menurunkan produksi
glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus sehingga
menurunkan glukosa darah dan menghambat absorbsi glukosa dari usus pada
keadaan sesudah makan. (FKUI, 2011)
(2) Tiazolidindion
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim glukosidase alfa dalam
saluran cerna sehingga dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan
hiperglikemia postprandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabakan
hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin.(FKUI, 2011)
Obat ini bekerja merangsang sekresi insulin dan penekanan terhadap sekresi
glukagon dapat menjadi lama, dengan hasil kadar glukosa dapat diturunkan. (FKUI,
2011)
2) Insulin
Insulin adalah suatu hormone yang diproduksi oleh sel beta dari pulau Langerhanss
kelenjar pankreas. Insulin dibentuk dari proinsulin yang bila kemudian distimulasi,
terutama oleh peningkatan kadar glukosa darah akan terbelah untuk menghasilkan
insulin dan peptide penghubung (C-peptide)yang masuk kedalam aliran darah dalam
jumlah ekuimolar.
Secara keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DM Tipe II akan memerlukan insulin
untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya. Pada DM Tipe II tertentu akan butuh
insulin bila:
a) Terapi jenis lain tida dapat mencapai target pengendalian kadar glukosa darah
b) Keadaan stress berat, seperti pada infeksi berat, tindakan pembedahan, infark
miocard akut atau stroke.
b. Penatalaksanaan Keperawatan
2) Memberikan motivasi pada klien dan keluarga agar dapat memanfaatkan potensi atau
sumber yang ada guna menyembuhkan anggota keluarga yang sakit dan menyelesaikan
masalah penyakit diabetes dan resikonya.
3) Konseling untuk hidup sehat yang juga dimengerti keluarga dalam pengobatan dan
pencegahan resiko komplikasi lebih lanjut
6) Mengawasi diit klien DM Tipe II, bila perlu berikan jadwal latihan jasmani atau kebugaran
yang sesuai.
c. Penatalaksanaan Diet
Tujuan umum terapi gizi adalah membantu orang dengan diabetes memperbaiki
kebiasaan gizi dan olahraga untuk mendapatakan control metabolic yang lebih baik, dan
beberapa tambahan tujuan khusus yaitu:
1) Mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal dengan keseimbangan asupan
makanan dengan insulin(endogen/eksogen) atau obat hipoglikemik oral dan tingkat
aktifitas
3) Memberikan energy yang cukup untuk mencapai atau mempertahankan berat badan
yang memadai pada orang dewasa mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang
normal pada anak dan remaja, untuk peningkatan kebutuhan metabolic selama
kehamilan dan laktasi atau penyambuhan dari penyakit metabolic
5) Menghindari dan menangani komplikasi akut orang dengan diabetes yang menggunakan
insulin seperti hipoglikemia, penyakit jangka pendek, komplikasi kronik diabetes seperti
penyakit ginjal, hipertensi, neuropati autonomic dan penyakit jantung
1) Protein
2) Total lemak
Asupan lemak di anjurkan <7% energy dari lemak jenuh dan tidak lebih 10% energy dari
lemak titk jenuh ganda, sedangkan selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal. Anjuran
asupan lemak di Indonesia adalah 20-25% energi.
Tujuan utama pengurangan konsumsi lemak jenuh dan kolesterol adalah untuk
menurunkan resiko penyakit kardiovaskuler. Oleh karena itu <7% asupan energy sehari
seharusnya dari lemak jenuh dan asupan kolesterol makanan tidak lebih dari 300mg per
hari.
a) Sukrosa
Bukti ilmiah menunjukkan bahwa penggunaan sukrosa bagian dari perencanaan
makan tidak memperburuk control glukosa darah pada individu dengan diabetes.
b) Pemanis
Fruktosa menaikkan glikosa plasma lebih kecil daripada sukrosa dan kebanyakan
karbohidrat jenis tepung-tepungan. Sakarin, aspartame, acesulfame K adalah pemanis
tak bergizi yang dapat di terima sebagai pemanis pada semua penderita DM.
5) Serat
Rekomendasi asupan serat untuk orang dengan diabetessama dengan untuk orang yang
tidak diabetes yaitu dianjurkan mengkonnsumsi 20-35 gr serat makanan dari berbagai
sumber makanan. Di Indonesia anjurannya adalah kira-kira 25gr /1000 kalori perhari
dengan mengutamakan serat larut
6) Natrium
Asupan untuk orang diabetes sama dengan orang biasa yaitu tidak lebih dari 3000 mg,
sedangkan bagi penderita hipertensi ringan sampai sedang di anjurkan 2400 mg natrium
perhari.
7) Alkohol
Asupan kalori dari alkohol di perhitungkan sebagai bagian dari asupan kalori total dan
sebagai penukar lemak ( 1 minuman alkohol = 2 penukar lemak)
Apabila asupan gizi cukup, biasanya tidak perlu menambah suplemen vitamin dan
mineral. Walaupun ada alasan teoritis untuk memberikan suplemen antioksidan pada
saat ini hanya sedikit bukti yang menunjang bahwa terapi tersebut menguntungkan.(
FKUI, 2011 )
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian Keperawatan
1. Identitas pasien
3. Keuhan utama
Berapa lama klien menderita DM, bagaimana penanganannya,mendapat terapi insulin jenis
apa, bagaimana cara minum obatnya apakah teratur atau tidak, apa saja yang dilakukan klien
untuk menanggulangi penyakitnya.
6. Pemeriksaan Fisik
1. Aktivitas / istirahat
Tanda : - Takikardia dan takipnea pada keadaan isitrahat atau dengan aktivitas
2. Sirkulasi
Tanda : - Takikardia
- Disritmia
- Krekels
3. Integritas Ego
Gejala : - Stress, tergantung pada orang lain
4. Eliminasi
- Diare
5. Makanan / cairan
- Mual / muntah
- Haus
Tanda : - Disorientasi : mengantuk, letargi, stupor / koma (tahap lanjut). Ganguan memori
(baru, masa lalu) kacau mental.
6. Nyeri / kenyamanan
7. Pernafasan
Gejala : - Merasa kekurangan oksigen : batuk dengan / tanpa sputum purulen (tergantung
ada tidaknya infeksi)
- Frekuensi pernafasan
8. Keamanan
2. Resiko devisit volume cairan dean elektrolit b/d diuresis osmotic dan poliuria
4. Gangguan integritas kulit b/d penurunan sensasi sensori, gangguan sirkulasi, penurunan
aktifitas/mobilisasi, kurangnya pengetahuan tentang perawatan kulit.
7. Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan kadar glukosa tinggi, penurunan fungsi
leukosit.
Kriteria hasil : Pasien dapat mencerna jumlah kalori atau nutrien yang tepat,
BB stabil, nilai lab normal
Intervensi :
c. Berikan makanan cair yang mengandung zat makanan (nutrient) dan elektrolit dengan
segera jika pasien sudah dapat mentoleransinya melalui pemberian cairan melalui oral
Rasional : Pemberian makanan melalui oral lebih baik jika pasien sadar dan fungsi
gastroisntetinal baik
d. Pantau pemeriksaan laboratorium, seperti glukosa darah, aseton, pH, dan HCO3
Rasional : Gula darah akan menurun perlahan dengan penggantian cairan dan terapi
insulin terkontrol.
2. Devisit volume cairan dan elektorlit b/d diuresis osmotic dan poliuria
Intervensi :
Rasional : Memberikan hasil pengkajian yang terbaik di status cairan yang sedang
berlangsung dan selanjutnya dalam memberikan cairan pengganti.
c. Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa
Rasional : Merupakan indikator dari tingkat dehidrasi atau volume sirkulasi yang
adekuat
d. Pantau pemeriksaan lab seperti : Hematoksit (Ht), BUN (kreatinin) dan Osmulalitas
darah, Natrium, kalium
Rasional :
- Ht : Mengkaji tingkat hidrasi dan sering kali meningkat akibat homokonsentrasi yang
terjadi setelah dieresis osmotik
- BUN : Peningkatan nilai dapat mencerminkan kerusakan sel karena dehidrasi atau
tanda awitan kegagalan ginbjal.
Intervensi :
1. Diskusi dengan pasien kebutuhan akan aktivitas. Membuat jadwal perencanaan dengan
pasien dan identifikasi aktivitas yang menimbulkan kelelahan.
2. Beri aktivitas alternatif dengan periode istirahat yang cukup / tanpa diganggu.
Rasional : Pasien akan dapat melakukan lebih banyak kegiatan dengan penurunan
kegiatan akan pada energi pada setiap kegiatan.
5. Tingkatkan partisipasi pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari sesuai dengan yang
dapat ditoleransi.
Rasional : Meningkatkan kepercayan diri / harga diri positif sesuai tingkat aktivitas
yang dapat ditoleransi pasien.
Intervensi :
Rasional : Kulit beresiko karena gangguan sirkulasinya perifer, imobilitas fisik dan
gangguan status nutrisi.
3. Rendam kaki dalam air steril pada suhu kamar dengan larutan betadine tiga kali sehari
selama 15 menit
5. Berikan dikloksasi 500 mg per oral setiap 6 jam, mulai jam 10 malam amati tanda-tanda
hipersensitivitas, seperti : pruritus, urtikaria, ruam
Intervensi :
3. Diskusikan pandangan klien terhadap citra diri dan efek yang ditimbulkan dari penyakit
Rasional : Persepsi pasien mengenai pada perubahan citra diri mungkin terjadi secara
tiba-tiba atau kemudian atau menjadi proses halus yang secara terus menerus.
4. Bantu pasien atau orang terdekat dengan menjelaskan hal-hal yang diharapkan dan hal-
hal tersebut mungkin diperkukan untuk dilepaskan atau diubah.
5. Rujuk pada dukungan psikiatri atau group terapi, pelayanan sosial sesuai petunjuk
Intervensi :
7. Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan kadar glukosa tinggi, penurunan fungsi
leukosit.
Kriteria hasil : TTV dalam batas normal, tanda-tanda infeksi tidak ada,
nilai leukosit dalam batas normal(4000-10000/mm3)
Intervensi :
Rasional: pasien mungkin masuk dengan infeksi yang biasanya telah mencetuskan
keadaan ketoasidosis atau dapat mengalami infeksi nosokomial
Rasional: kadar glukosa yang tinggi dalam darah akan menjadi media terbaik bagi
pertumbuhan kuman
Rasional: gula darah akan menurun perlahan dengan penggantian cairan dan terapi
insulin terkontrol
d. Kolaborasi dalam pemberian antibiotic sesuai indikasi
Rasional: Penanganan awal dapat membantu mencegah terjadinya sepsis. ( Husni,2013)
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Diabetes Mellitus Tipe II adalah keadaan dimana kadar glukosa tinggi, kadar insulin tinggi
atau normal namun kualitasnya kurang baik, sehingga gagal membawa glukosa masuk dalam sel,
akibatnya terjadi gangguan transport glukosa yang dijadikan sebagai bahan bakar metabolisme
energi. Penyebab DM Tipe II antara lain: penurunan fungsi cell pankreas dan retensi insulin.
Faktor-faktor resiko yang dapat terkena DM Tipe II antara lain: usia ≥ 45 tahun, usia lebih
muda, terutama dengan indeks massa tubuh (IMT) >23 kg/m2 yang disertai dengan kebiasaan
tidak aktif; turunan pertama dari orang tua dengan DM; riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir
bayi >4000 gram, atau riwayat DM gestasional; hipertensi (≥140/90 mmHg); kolesterol HDL ≤ 35
mg/dl dan atau trigliserida ≥ 250 mg/dl; menderita polycyctic ovarial syndrome(PCOS) atau
keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin; adanya riwayat toleransi glukosa yang
terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya; memiliki riwayat
penyakit kardiovaskular, obesitas terutama yang bersifat sentral (bentuk apel), diet tinggi lemak
dan rendah karbohidrat, kurang gerak badan, genetic dan stress.
Tanda gejala DM Tipe II antara lain: penurunan penglihatan, poliuri polidipsia, rasa lelah
dan kelemahan otot, polifagia, konfusi atau derajat delirium, konstipasi atau kembung pada
abdomen, retinopati atau pembentukan katarak, perubahan kulit, penurunan nadi perifer, kulit
dingin, penurunan reflek, dan kemungkinan nyeri perifer atau kebas, hipotensi ortostatik
,peningkatan angka infeksi akibat peningkatan konsentrasi glukosa diskresi mukus, gangguan
fungsi imun dan penurunan aliran darah , paretesia atau abnormalitas
sensasi, kandidiasisvagina, pelisutan otot, efek somogyi dan fenomena fajar.
Komplikasi yang dapat muncul antara lain: hipoglikemia, ketoasidosis diabetic, sindrom
nonketotik hiperglikemi, hiperosmolar (Hyperosomolar hyperglycemic syndrome, HHNS) atau
koma hiperosmolar, neuropati perifer, penyakit kardiovaskuler dan infeksi kulit.
4.2 Saran
c. Hindari makanan siap saji dengan kandungan karbohidrat dan lemak tinggi.
Alhamdulillah makalah ini dapat terselesaikan dengan baik tanpa ada hambatan yang berarti.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Maka penulis sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca demi kesempurnaan
makalah ini. Hanya kepada Allah penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kita
semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2011. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu, Edisi
Kedua.Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Gibson, Jhon.2002. Fisiologi dan Anatomi Modern Untuk Perawat Edisi 2. Jakarta:EGC
‹
›
Beranda
Afrizal Mustaqim
Lihat profil lengkapku