Anda di halaman 1dari 10

PATOFISIOLOGI

BRONKOPNEUMONIA PADA ANAK

Oleh:
Rene Christian
1765050123

Pembimbing:
Dr. Mas Wishnuwardhana, Sp. A

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak


RSUD dr. Chasbullah Abdulmadjid Kota Bekasi
Periode 30 September – 7 Desember 2019
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia
Bekasi
2019

1
I. DEFINISI
Pneumonia merupakan infeksi yang mengenai parenkim paru. Bronkopneumonia
disebut juga pneumonia lobularis, yaitu radang pada paru-paru yang disebabkan oleh
bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing. Bronkopneumonia didefinisikan sebagai
peradangan akut dari parenkim paru pada bagian distal bronkiolus terminalis dan
meliputi bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, sakus alveolaris, dan alveoli.1
Klasifikasi Pneumonia
Pneumonia dapat diklasifikasikan berdasarkan :
a. Asal infeksi
• Community-acquired pneumonia (CAP)
Infeksi parenkim paru yang didapatkan individu yang tidak sedang dalam
perawatan di rumah sakit paling sedikit 14 hari sebelum timbulnya gejala.
• Hospital-acquired pneumonia (HAP)
Infeksi parenkim paru yang didapatkan selama perawatan di rumah sakit yang
terjadi setelah 48 jam perawatan (Depkes : 72 jam) atau karena perawatan di rumah
sakit sebelumnya, dan bukan dalam stadium inkubasi.
b. Lokasi lesi di paru
• Bronkopneumonia
• Pneumonia lobaris
• Pneumonia interstitialis
c. Etiologi
 Infeksi
Berdasarkan mikroorganisme penyebab :
 Pneumonia bakteri
 Pneumonia virus
 Pneumonia jamur
 Pneumonia mikoplasma
 Non infeksi
Aspirasi makanan, asam lambung, benda asing, hidrokarbon, substansi lipoid,
reaksi hipersensitivitas, drug and radiation-induced pneumonitis.

2
d. Karakteristik penyakit
 Pneumonia Tipikal
 Pneumonia Atipikal (mis. Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae,
Mycobacterium tuberculosis)
e. Derajat keparahan penyakit
 Bayi kurang dari 2 bulan
 Pneumonia berat : napas cepat atau retraksi yang berat
 Pneumonia sangat berat : tidak mau menyusui/minum, kejang, demam, letargis,
hipotermia, bradipnea atau pernapasan ireguler
 Anak usia 2 bulan – 5 tahun
 Pneumonia ringan : nafas cepat
 Pneumonia berat : retraksi
 Pneumonia sangat berat : tidak dapat minum/makan, kejang, letargis,
malnutrisi.
II. PATOFISIOLOGI
Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme,
keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di
dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, sehingga
mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya infeksi.2 Masuknya
mikroorganisme ke dalam saluran nafas dan paru dapat melalui berbagai cara, antara lain:
1. Inhalasi langsung dari udara
2. Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring.
3. Perluasan langsung dari tempat-tempat lain.
4. Penyebaran secara hematogen.
Mekanisme daya tahan traktus respiratorius sangat efisien untuk mencegah infeksi
yang terdiri dari :
 Filtrasi partikel di hidung
 Pencegahan aspirasi dengan refleks epiglottis
 Ekspulsi benda asing melalui refleks batuk

 Pembersihan ke arah kranial oleh selimut mukosilier

 Fagositosis kuman oleh makrofag alveolar
3
 Netralisasi kuman oleh substansi imun lokal
 Drainase melalui sistem limfatik
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas
sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan
sekitarnya.
Bronkopneumonia dimulai dengan masuknya kuman melalui inhalasi, aspirasi,
hematogen dr fokus infeksi atau penyebaran langsung. Sehingga terjadi infeksi dalam
alveoli, membran paru mengalami peradangan dan berlubang-lubang sehingga cairan
dan bahkan sel darah merah dan sel darah putih keluar dari darah masuk ke dalam
alveoli. Dengan demikian alveoli yang terinfeksi secara progresif menjadi terisi dengan
cairan dan sel-sel, dan infeksi disebarkan oleh perpindahan bakteri dari alveolus ke
alveolus. Kadang-kadang seluruh lobus bahkan seluruh paru menjadi padat
(consolidated) yang berarti bahwa paru terisi cairan dan sisa-sisa sel.2,3
Bakteri Streptococcus pneumoniae umumnya berada di nasopharing dan bersifat
asimptomatik pada kurang lebih 50% orang sehat. Adanya infeksi virus akan
memudahkan Streptococcus pneumoniae berikatan dengan reseptor sel epitel
pernafasan. Jika Streptococcus pneumoniae sampai di alveolus akan menginfeksi sel
pneumatosit tipe II. Selanjutnya Streptococcus pneumoniaeakan mengadakan
multiplikasi dan menyebabkan invasi terhadap sel epitel alveolus. Streptococcus
pneumoniae akan menyebar dari alveolus ke alveolus melalui pori dari Kohn. Bakteri
yang masuk kedalam alveolus menyebabkan reaksi radang berupa edema dari seluruh
alveolus disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN.2,3

Proses radang dapat dibagi atas 4 stadium yaitu 3,4


1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Stadium ini disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan
aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat
pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel
imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan
prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen

4
bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos
vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan
perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi
pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara
kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan
karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering
mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Stadium ini disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari
reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan
pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat
minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat,
yaitu selama 48 jam.
3. Stadium III (3 – 8 hari)
Stadium ini disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi
di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini
eritrosit di alveoli mulai direabsorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan
leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami
kongesti.
4. Stadium IV (8 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga
jaringan kembali ke strukturnya semula.

III. DIAGNOSIS

5
Anamnesis
Gejala yang timbul biasanya mendadak tetapi dapat didahului dengan infeksi
saluran nafas akut bagian atas. Gejalanya antara lain batuk, demam tinggi terus-menerus,
sesak, kebiruan sekitar mulut, menggigil (pada anak), kejang (pada bayi), dan nyeri dada.
Biasanya anak lebih suka berbaring pada sisi yang sakit. Pada bayi muda sering
menunjukkan gejala non spesifik seperti hipotermi, penurunan kesadaran, kejang atau
kembung. Anak besar kadang mengeluh nyeri kepala, nyeri abdomen disertai muntah.2,3

Pemeriksaan fisik
Dalam pemeriksaan fisik penderita bronkopneumoni ditemukan hal-hal sebagai
berikut:
a. Pada nafas terdapat retraksi otot subkostal, intercostal, suprasternal, dan pernapasan
cuping hidung.
b. Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.
Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran fremitus
selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi \perluasan infeksi paru (kolaps
paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan berkurang.
c. Pada perkusi tidak terdapat kelainan
d. Pada auskultasi ditemukan ronkhi.
Ronkhi dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang melalui sekret jalan
napas/jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka. 4
Berdasarkan lokasi lesi di paru :
Bronkopneumonia Interstitial Pneumonia lobaris
 Lobularis o Interstitial o Segmental/lobus
o Ronki selalu o Pendataran diafragma o Konsolidasi
terdengar dan hiperinflasi o Ronki (+) saat kongestif
o Dullness (-) o Ronki ±, wheezing + dan resolusi
o Dullness (-) o Dullness (+) di lobus
yang terkena

6
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit. Hitung
leukosit dapat membantu membedakan pneumoni viral dan bakterial. Infeksi virus
leukosit normal atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan)
dan bakteri leukosit meningkat 15.000-40.000 /mm3 dengan neutrofil yang predominan.
Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hipokarbia, pada stadium lanjut dapat
terjadi asidosis respiratorik. Isolasi mikroorganisme dari paru, cairan pleura atau darah
bersifat invasif sehingga tidak rutin dilakukan.
Pemeriksaan radiologi
Foto rontgen toraks pada pneumonia ringan tidak rutin dilakukan, hanya
direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat. Kelainan foto rontgen toraks pada
pneumonia tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis.

Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:


e. Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskular.
f. Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram. Konsolidasi
dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris atau terlihat sebagai lesi
tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis, berbatas yang tidak terlalu tegas
dan menyerupai lesi tumor paru disebut sebagai round pneumonia
g. Bronkopneumonia ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru berupa
bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru disertai dengan

7
peningkatan corakan peribronkial.Gambaran foto rontgen toraks dapat membantu
mengarahkan kecenderungan etiologi.
C-Reactive Protein (CRP)
C-Reactive Protein (CRP) adalah salah satu protein fase akut yang terdapat saat reaksi
inflamasi atau kerusakan jaringan baik yang disebabkan oleh penyakit infeksi maupun yang
bukan infeksi. Kadar CRP kadang digunakan untuk evaluasi respons terhadap terapi
antibiotik.5,6
Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin dilakukan kecuali
pada pneumonia berat yang dirawat di RS. Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen
dapat berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura,
atau aspirasi paru.

Kriteria Diagnosis
Dasar diagnosis pneumonia menurut Henry Gorna dkk tahun 1993 adalah ditemukannya
paling sedikit 3 dari 5 gejala berikut ini :3
a. sesak nafas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada
b. panas badan
c. Ronkhi basah sedang nyaring (crackles)
d. Foto thorax menunjukkan gambaran infiltrat difus
e. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan, dan
bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan)

IV. TATALAKSANA
Tatalaksana Umum
 Pasien dengan saturasi oksigen ≤ 92 % pada saat bernapas dengan udara kamar harus
diberikan terapi oksigen dengan kanul nasal, head box, atau sungkup untuk
mempertahankan saturasi >92%.5
 Pada pneumonia berat atau asupan per oral kurang, diberikan cairan intravena dan
dilakukan balans cairan ketat

8
 Antipiretik dan analgetik dapat diberikan untuk menjaga kenyamanan pasien dan
mengontrol batuk.
 Nebulasi dengan 2 agonis dan/atau NaCl dapat diberikan untuk memperbaiki mucocilliary
clearance.
 Pasien yang mendapatkan terapi oksigen harus diobservasi setidaknya setiap 4 jam sekali,
termasuk pemeriksaaan saturasi oksigen.
Pemberian Antibiotik
 Amoksisilin merupakan pilihan pertama untuk antibiotika oral pada anak <5 tahun karena
efektif melawan sebagian besar patogen yang menyebabkan penumonia pada anak,
ditoleransi dengan baik dan murah. Alternatif lain yaitu co-amoxiclav, eritromisin,
azitromisin, claritromisin, dan ceflacor.6
 M.pneumoniae lebih sering terjadi pada anak yang lebih tua maka antibiotik golongan
makrolid diberikan sebagai pilihan pertama secara empiris pada anak >5 tahun. Makrolid
diberikan jika M.pneumoniae atau C.pneumoniae dicurigai sebagai penyebab.
Antibiotik intravena diberikan pada pasien pneumonia yang tidak dapat menerima
obat per oral atau termasuk dalam derajat pneumonia berat. Antibitotik intravena
yang dianjurkan adalah ampisilin dan kloramfenikol, co-amoxiclav, cefuroxime,
ceftriaxone, dan cefotaxime.
Nutrisi
 Pada anak dengan distres pernapasan berat, pemberian makanan per oral perlu dihindari.
Makanan dapat diberikan lewat NGT atau intravena.
 Perlu dilakukan pemantauan balans cairan ketat agar anak tidak mengalami overhidrasi
karena pada pneumonia berat terjadi peningkatan sekresi hormon antidiuretik.

9
DAFTAR PUSTAKA
1. Bennet N J. Bronchopneumonia. Available at: emedicine.medscape.com/article/ 967822-
overview#a2. Accessed on 18 Oktober 2019.
2. Departemen Kesehatan RI.Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan
Akut untuk Penanggulangan Pneumonia pada Balita. Jakarta 2002.
3. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak .
Infomedika . Jakarta. 2010; 11: p. 1228-1233.
4. Muchtar D, Ridwan. Kendala Pernafasan Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Cermin Dunia
Kedokteran. 1992; 80: 47-48.
5. Sarma S, Kamangar N. Pneumonia, bacterial. [Updated on Oct 08 2015] Accesed on 18
Oct 2019, Available at :http:/www.emedicine.com.
6. Bradley JS, Byington CL, Shah SS, et al. The management of community-acquired
pneumonia in infants and children older than 3 months of age: clinical practice guidelines by
the pediatric infectious diseases society and the infectious diseases society of america. Clin
Infect Dis. 2011 Oct. 53(7):e25-76

10

Anda mungkin juga menyukai