Pendahuluan
Penanggulangan kemiskinan merupakan salah satu prioritas program kerja Departemen
Sosial dalam kurun waktu 2000-2004. Berbagai program sudah dilakukan Depsos untuk
mengurangi jumlah penduduk miskin, misalnya saja program Adopsi Desa Miskin, KUBE
Penggemukan Sapi Potong Australia, KUBE Tanam Padi dengan Pupuk Urin Sapi.
Selain program-program tersebut, pada Maret 2004 Depsos RI meluncurkan program baru
dalam pengentasan kemiskinan, yaitu Program Penanganan Fakir Miskin melalui Motorisasi
Sarana Penunjang Produksi (SAPORDI) Industri Rumah Tangga Bidang Konveksi. Hal ini
ditandai dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman Departemen Sosial RI dengan PT
Ladang Sutera Indonesia (PT Lasindo) yang bertindak selaku pemberi order dan pemasaran
secara kontinyu pada 29 Maret 2004.
Nota Kesepahaman itu dituangkan dalam Perjanjian Kerjasama antara Depsos RI dengan PT
Lasindo dengan Nomor: 21/HUK/2004 dan Nomor: 03/LSD/III/2004 yang ditandatangani
langsung oleh Bachtiar Chamsyah selaku Menteri Sosial dengan Musfar Aziz selaku Direktur
Utama PT Lasindo.
Khusus untuk pengadaan mesin jahit, dipilih mesin jahit merk JITU BRAND LSD 9990 dan
JITU BRAND LSD 9990H beserta motornya sebanyak 6.000 (enam ribu) buah yang diimport
langsung dari Shanggong IMP.& EXP.CO, Ltd, Shanghai, China selaku produsen mesin jahit
dengan harga Rp Rp 3.248.500,00 (tiga juta dua ratus empat puluh delapan ribu lima ratus
rupiah) per buah. Anggaran yang digunakan untuk mengadakan mesin jahit tersebut adalah
Anggaran Belanja Tambahan (ABT) Depsos Tahun 2004.
Mengingat program ini adalah program sosial, maka Sekretaris Jendral Departemen Sosial RI
mengirimkan surat No. 504/SJ/JS/XI/2004 tanggal 24 November 2004 kepada Departemen
Keuangan untuk mendapatkan kemudahan dalam proses mendatangkan (import) mesin jahit
tersebut. Kemudahan itu dalam bentuk pemberian pembebasan bea masuk dan pajak
pertambahan nilai atas import 6.000 (enam ribu) mesin jahit dan dinamo motor oleh Depsos
sebagaimana dituangkan dalam Keputusan Menteri Keuangan RI No. 41/KMK.010/2005.
Permasalahan
Laporan ini hanya membatasi diri atas beberapa dugaan adanya penggelembungan harga pada
pengadaan 6.000 (enam ribu) mesin jahit merk JITU yang dibeli dari Cina, tanpa melihat
ruang lingkup lain seperti kegiatan pelatihan, pendampingan, kepastian order dan pemasaran
mengingat untuk keempat ruang lingkup kegiatan yang terakhir ini sudah dialokasikan dana
tersendiri yang tidak dicampur/digabung dengan anggaran pengadaan barang/mesin jahit.
Atas berbagai kajian dan analisa terhadap proses pengadaan mesin jahit merk JITU yang
dilakukan oleh PT Lasindo, kami menemukan beberapa kejanggalan yang mengarah pada
tindak pidana korupsi (TPK), yakni:
Namun kemudian diketahui, harga pabrik yang dibeli oleh PT Lasindo sebagai importer
(sekaligus rekanan proyek SAPORDI) Depsos RI kepada produsen JITU, yakni Shanggong
IMP.&EXP.CO,Ltd, di Shanghai, China adalah sebagai berikut:
Dari perhitungan secara makro diatas, dapat disimpulkan bahwa diduga telah terjadi
penggelembungan harga atas pengadaan mesin jahit sejumlah 5.500 unit dalam proyek
SAPORDI Depsos RI senilai Rp 11.071.750.000,00 (sebelas milyar tujuh puluh satu juta
tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).
Seharusnya harga aktual yang digunakan PT Lasindo pun bisa lebih murah mengingat
Departemen Keuangan RI telah mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan No.
41/KMK.010/2005 tentang Pemberian Pembebasan Bea Masuk dan PPN atas Import 5.500
mesin jahit dan dynamo motor. Sesuai dengan peraturan, bea masuk untuk jenis mesin jahit
rumah tangga adalah 10% dan PPN adalah 10%. Dengan demikian, harga mesin jahit setelah
dibebaskan dari bea masuk dan PPN adalah sebagai berikut:
Jika dikurangi dengan bea masuk dan PPN yang tidak dibayarkan karena fasilitas khusus dari
negara, harga mesin jahit secara keseluruhan yang diimport dari Shanghai, China seharusnya
hanya Rp 5.436.000.000,00 (lima miliar empat ratus tiga puluh enam juta rupiah).
Oleh karena itu, jika nilai penggelembungan dihitung dengan dasar harga aktual pembelian
setelah dikurangi kewajiban bea masuk dan PPN, maka nilai kerugian negara yang dapat
dihitung adalah sebagai berikut:
Mark Up Setelah Dikurangi Bea Masuk dan PPN
Nilai penggelembungan yang mencapai angka Rp 12.430.750.000,00 dari harga aktual yang
hanya sekitar Rp 5.436.000.000,00 merupakan nilai fantastik karena itu berarti mencapai
228,6% dari harga wajar.
Dalam surat klarifikasi yang dilayangkan oleh ICW atas penunjukan langsung tersebut,
Depsos RI melalui Bachtiar Chamsyah selaku Menteri mengatakan bahwa penunjukan
langsung dilakukan karena pekerjaan atau barang yang dibeli adalah spesifik, yang hanya
dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa, pabrikan, pemegang hak paten atau pekerjaan yang
komplek yang hanya dapat dilaksanakan dengan menggunakan tehnologi khusus dan atau
hanya ada satu penyedia barang/jasa yang mampu mengaplikasikannya. Hal itu menurut
Menteri sudah sesuai dengan Keppres No 80 Tahun 2003.
Dari alasan yang diberikan pihak Depsos, ada beberapa hal yang perlu dikritisi karena lemah
dasar argumentasinya.
Hasil kajian kami terhadap UU No 15 tahun 2001 tentang merek menunjukan tidak ada kaitan
sama sekali antara proses pengadaan dengan dimilikinya paten merek JITU oleh PT Lasindo.
UU tersebut hanya membatasi diri pada perlindungan terhadap merek tertentu yang sudah
didaftarkan dari jiplakan/pemalsuan dan tindakan lain yang melanggar hak kekayaan
intelektual. Sehingga argumentasi bahwa PT Lasindo memiliki hak paten merek JITU tidak
menggugurkan kewajiban bagi adanya mekanisme pelelangan umum sebagaimana
diperintahkan oleh Keppres No 80 Tahun 2003.
Bahkan di dalam Kepres, jika alasan Depsos penunjukan langsung itu dilakukan karena PT
LASINDO memiliki hak paten merek ataupun agen tunggal pemegang merek produksi luar
negeri, maka hal itu sudah melanggar ketentuan dalam Kepres No 80/2003 yang mengatur
soal penyusunan dokumen pengadaan/barang/jasa ayat 7 yang menyebutkan “Spesifikasi
teknis dan gambar: tidak mengarah kepada merk/produk tertentu kecuali suku
cadang/komponen produk tertentu….dst”. Artinya Panitia Pengadaan Barang/Jasa proyek
SAPORDI sudah mengarahkan proyek pada merek/produk tertentu.
Kedua, alasan penunjukan langsung karena pekerjaan kompleks yang hanya dilaksanakan
dengan menggunakan teknologi khusus. Alasan ini juga sangat lemah argumentasinya
mengingat barang yang dibeli adalah mesin jahit. Mesin jahit bukanlah produk yang dibuat
dengan teknologi khusus sehingga tidak ada pihak lain yang bisa menyediakannya.
Dalam catatan kami, terdapat paling tidak 13 (tiga belas) produsen mesin jahit berskala
internasional yang barangnya dipasarkan di Indonesia. Bahkan anehnya, untuk merek JITU
yang menjadi produksi dari PT LASINDO tidak terlalu dikenal di pasar dalam negeri.
Berikut ini daftar merek mesin jahit internasional yang beredar di Indonesia:
1. JUKI
2. SINGER
3. BROTHER
4. JANOME
5. BUTTERFLY
6. YAMATO
7. YAMATA
8. SUN STAR
9. ASAHI
10. PEGASUS
11. MARIMOTO
12. KANSAI-SP
13. HASHIMA
Hasil pengecekan kami atas suku cadang mesin jahit merek JITU produksi China ternyata
disediakan oleh mesin jahit JUKI asal Jepang.
Demikian pula dari sisi harga, beragamnya merek mesin jahit yang ada akan sangat
mempengaruhi harga penawaran yang disampaikan. Jika proses pengadaan mesin jahit oleh
Depsos itu dilakukan dengan pelelangan umum, pastinya akan didapat harga yang lebih
murah dan kompetitif, tanpa mengurangi kualitas barang yang diminta.
Dengan demikian, keputusan untuk melakukan penunjukan langsung atas pengadaan mesin
jahit pada proyek SAPORDI 2004 tidak memiliki dasar yang kuat. Justru sebaliknya,
keputusan untuk melakukan penunjukan langsung telah melanggar Keppres No. 80 Tahun
2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Adanya pelanggaran terhadap Keppres No 80 Tahun 2003 dan indikasi kerugian negara yang
demikian besar dalam proyek SAPORDI 2004 di Depsos RI telah menguatkan adanya dugaan
Tindak Pidana Korupsi (TPK).
Pasal 2
1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp
200.000.000,00 dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00
2. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan
Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara, atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau atau pidana penjara paling singkat 1 tahun
dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 dan paling banyak
Rp 1.000.000.000,00.
Dengan melihat dua pasal diatas, pengadaan mesin jahit bisa nilai telah memenuhi unsur-
unsur dalam pasal tersebut.
Unsur-unsur Pasal 2
Pertama, unsur setiap orang.
Yang dimaksud dengan setiap orang menurut pasal ini adalah orang perseorangan atau
termasuk korporasi yang kepadanya dapat dimintai pertanggungjawab pidana yang dilakukan.
Berdasarkan hal ini, dalam kasus pegadaan mesin jahit pihak-pihak yang dapat dimintai
pertanggungjawaban adalah Menteri Bachtiar Chamsyah, Dirjen Bantuan dan Jaminan
Sosial, Direktur Utama PT Lasindo, dan panitia pengadan barang
Berdasarkan fakta pelaksanaan, pengadaan mesin jahit itu telah mengabaikan prinsip-prinsip
efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil/ tidak diskriminatif, serta akuntabel dan
jelas melanggar Keppres no 80 tahun 2003. Pelanggaran ini bisa dilihat dari dilakukannya
penunjukan langsung. Menurut Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, alasan penunjukan itu
karena ada keadaan khusus. Namun, alasan itu tidak sesuai dengan aturan.
Menurut Keppres no 80 tahun 2003, pengadaan barang dan jasa diatas 50 juta harus
ditenderkan kecuali ada keadaan tertentu atau keadaan khusus sehingga bisa dilakukan
penunjukan langsung. Dalam pasal 17 ayat 5 disebutkan, dalam keadaan tertentu dan keadaan
khusus, pemilihan penyedia barang/jasa dapat dilakukan dengan cara penunjukan langsung
terhadap 1 (satu) penyedia barang/jasa dengan cara melakukan negosiasi baik teknis maupun
biaya sehingga diperoleh harga yang wajar dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan.
Keadaan khusus dan keadaan tertentu itu ditegaskan dalam lampiran Keppres No 80 tahun
2003. Dalam Bab I disebutkan tentang kriteria pengadaan barang/ jasa yang bisa dilakukan
dengan penunjukan langsung. Untuk pengadaan barang dan jasa khusus, kriterianya
diantaranya pekerjaan/ barang spesifik yang hanya bisa dilaksanakan oleh satu penyedia
barang/jasa, pabrikan, atau pemegang hak paten. Selain itu, syarat lainnya adalah pekerjaan
kompleks yang hanya dapat dilaksanakan dengan teknologi khusus dan atau hanya ada satu
penyedia yang mampu mengaplikasikannya.
Ketiga, unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
Kata memperkaya berarti ada penambahan kekayaan dari yang sudah ada terhadap diri
sendiri, orang lain atau korporasi. Dalam pengadaan mesin jahit ini, jelas PT Lasindo sangat
diuntungkan. Perusahaan ini mengambil keuntungan tidak wajar yaitu sekitar 288 persen,
yang diduga kuat ada melakukan mark-up. Adanya keuntungan yang tidak wajar itu telah
memperkaya PT Lasindo, sehingga unsur ini telah terpenuhi.
Keempat, unsur merugikan keuangan negara. Pengadaan itu sudah dilakukan, uang sudah
dibayarkan dari kas negara. Karena itu, unsur merugikan negara terpenuhi karena negara
sudah kehilangan uang yang diperkirakan sekitar Rp 12.430.750.000,00.
Dengan terpenuhinya unsur unsur dalam pasal 2 ayat 1 maka pelaku yang terlibat bisa
dinyatakan terbukti melakukan korupsi.
Kesimpulan
1. Proyek pengadaan mesin jahit yang menggunakan dana ABT 2004 di Depsos RI
diduga kuat telah terjadi penggelembungan harga yang sangat fantastis yakni
mencapai Rp 12.430.750.000,00 (228,6%).
2. Telah terjadi pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan karena
proyek pengadaan tidak dilakukan dengan pelelangan atau tender terbuka, melainkan
melalui penunjukan langsung.
3. Diduga pihak-pihak yang terkait (Menteri Sosial RI, Direktur Utama PT Lasindo,
Dirjen Bantuan dan Jaminan Sosial Depsos RI, Panitia Pengadaan Mesin Jahit proyek
SAPORDI Depsos RI) setidak-tidaknya mengetahui secara persis tindak pidana
korupsi yang telah terjadi.
Rekomendasi
Meminta kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan proses hukum atas
dugaan korupsi senilai Rp 12.430.750.000,00 yang terjadi di Depsos RI dalam proyek
SAPORDI 2004, khususnya pada proyek pengadaan mesin jahit.
Catatan: