Anda di halaman 1dari 4

Shadow Price (harga bayangan) atau disebut juga Accounting Prices dapat dianggap

sebagai suatu penyesuaian yang dibuat oleh si penilai proyek terhadap harga-harga pasar beberapa
faktor produksi atau hasil produksi tertentu, berhubung harga-harga pasar itu dianggap tidak
mencerminkan/mengukur biaya atau nilai sosial yang sebenarnya (social opportunity cost) dari
unsur-unsur atau hasil produksi tersebut. Shadow Price dari suatu produk atau faktor produksi
merupakan social opportunity cost, yaitu nilai tertinggi suatu produk atau faktor produksi dalam
penggunaan alternatif yang terbaik. Dalam analisis proyek terdapat arus benefit dan biaya:
a) Benefit suatu proyek berbentuk output (hasil produksi), yang dapat terdiri dari barang fisik
atapun jasa.
b) Biaya merupakan input yang digolongkan dalam dua kelompok:
1. Sarana produksi atau bahan baku serta barang dan jasa intermediate yang dibeli dari
produsen. Sama hal nya dengan output, harga ditentukan berdasarkan jenis barang
(tradeable atau non tradeable).
2. Faktor produksi. Setelah pembelian sarana produksi, sumber-sumber finansial yang
tersedia untuk suatu proyek dibagi menurut pembiayaan atas faktor-faktor produksi
yang dipekerjakan dalam proyek, yaitu tenaga kerja dan modal.
Shadow Price dianggap sebagai faktor penyesuaian yang dibuat oleh si penilai proyek
terhadap harga-harga pasar daripada hasil, sarana ataupun faktor produksi tertentu, berhubung
harga-harga pasar itu dianggap tidak mencerminkan/ mengukur biaya atau nilai sosial yang
sebenarnya (yaitu, yang disebut dengan social opportunity cost.
Harga dianggap tidak mencerminkan harga pasar jika:
a. Tidak mencerminkan apa yang sebenarnya diperoleh masyarakat melalui produksi
yang diciptakan suatu proyek.
b. Tidak mencerminkan apa yang sebenarnya dikorbankan seandainya sejumlah sumber
atau hasil telah dipilih untuk dipakai dalam suatu proyek tertentu.
Shadow Price dari faktor produksi umumnya ditentukan oleh saling dipengaruhinya
penawaran dan permintaan terhadap faktor produksi tersebut pada tingkat perekonomian secara
keseluruhan. Jadi, tanggungjawab perencana pusat termasuk untuk mengukur shadow price dan
menetapkan nilai-nilai yang tepat untuk dipergunakan dalam perencanaan sektoral atau proyek.
Tiap penggunaan shadow price yang berbeda dengan patokan umum dan tiap pengecualian dari
penerapan suatu shadow price hendaknya dibahas dengan/disetujui oleh instansi perencanaan
pusat.
Penyimpangan-penyimpangan harga pasar dari social opportunity cost terutama
disebabkan oleh kebijakansanaan-kebijaksanaan pemerintah yaitu pajak, subsidi, maupun
pengaturan harga dan upah.
Penggunaan Shadow Price yang sering dipakai adalah dari faktor:
1. Modal
2. Tenaga kerja tak terdidik
3. Devisa
4. Pangan (berupa bahan makanan pokok dalam masyarakat, misalnya beras)
5. Penerimaan negara yang bebas untuk dialokasikan (tidak terikat pelunasan utang, gaji
pegawai negeri dsb)
Perencanaan pusat bertanggung jawab untuk mengukur shadow price dan menetapkan
nilai-nilai yang tepat untuk dipergunakan dalam perencanaan sektoral atau proyek. Shadow price
yang khusus untuk suatu sektor/proyek tertentu berlaku hanya dalam hal adanya pembatasan
administrasi dalam pasar.
Macam-macam penggunaan Shadow Price:
1. Shadow Price Modal
Discount Rate Sosial dapat dianggap sebagai biaya, yaitu berupa bungan yang harus
ditutupi oleh perusahaan sebelum proyek tersebut dianggap menguntungkan. Harga
pasar yang ada hubungannya dengan opportunity cost faktor modal adalah tingkat bunga
yang dibebani kepada penanam modal atau penyelengara proyek sehubungan dengan
pinjaman modal untuk investasi yang bersangkutan. Benefit yang seharusnya dapat
diperoleh sehubungan dengan penggunaannya dalam kegiatan lain menjadi
dikorbankan. Dalam hal ini tingkat bungan finansial menjadi benefit alternatif yang
dikorbankan. Di pasar modal Indonesia tingkat bunga yang berlaku, baik yang dibebani
oleh lembaga pembiayaan pembangunan atau bank komersial diatur oleh pemerintah
dalam rangka meringankan beban finansial para pemakai kredit termasuk instansi
pemerintah.
2. Shadow Wage Tenaga Tak Terdidik
Shadow wage tenaga kerja tak terdidik sama dengan social opportunity cost pada
shadow price faktor modal, nilai produksi yang dikorbankan dalam kegiatan lain karena
orang itu dipekerjakan diproyek X.
Gagasan shadow price dikembangkan tahun 1950-an, dengan perhatian yang
terpusat pada masalah pengangguran di negara berkembang, baik pengangguran terbuka
maupun pengangguran terselubung (orang yang memang aktif mencari penghasilan,
tetapi produktivitasnya sangat rendah). Seorang pengangguran tidak berproduksi, maka
shadow wage yang sebenarnya sama dengan nol. Namun ada juga yang
mengasumsikan bahwa penggunaan tenaga kerja tak terdidik tidak mempunyai
opportunity cost.
Di perekonomian modern berhubungan erat dengan penciptaan kesempatan kerja
melalui kegiatan ekonomi. Artinya, yang menarik tenaga kerja untuk datang dari daerah
pedesaan dan menetap di kota atau lain daerah pembangunan bukannya tawaran tempat
kerja yang mantap, melainkan kemungkinan mendapat pekerjaan yang memberikan
tingkat pendapatan riil diatas tingkat yang dinikmati di pedesaan. Penampungan tenaga
kerja dalam proyek pembangunan, walaupun tenaga penganggur, secara tidak langsung
mempengaruhi tingkat produksi di pedesaan. Pengorbanan produksi tersebut diambil
sebagai social opportunity cost faktor produksi tenaga kerja tak terdidik.
3. Shadow price devisa (Shadow Exchange Rate)
Shadow price factor devisa adalah merupakan suatu nilai implisit ,misaly harga satu
dollar dalam rupiah.nilai tukar implisit merupakan suatu koefisiensi untuk menilai
semua jenis barang dan jasa yg bersifat dapat di perdagangkan { tradeable }
Langkah penerapan shadow exchange rate :
a. Menilai segala jenis sarana dan benefit yang bersifat tradable itu atas dasar
harganya di pasar dunia, tepatnya atas dasar border price-nya.
b. Mengalikan nilai-nilai sarana dan benefit itu dalam dolar (atas dasar border price)
dengan shadow exchange rate. Hasil perkalian ini memberikan nilai dalam rupiah
yang kemudian dimasukkan dalam arus pendapatan dan biaya proyek.
4. Shadow price Pangan
Harga pangan dapat didefinisikan sebagai harga rata-rata yang dibobotkan dari satu
kilogram bahan makanan pokok, terutama beras, termasuk juga jenis pangan lain yang
menjadi objek konsumsi massal seperti biji bijian lain atau gaple. Pembobotan
dilakukan menurut volume konsumsi masing-masing jenis pangan.
Harga pangan ini merupakan unsur terbesar didalam upah tenaga kerja tak terdidik
. Demikian juga, harga pangan memliki porsi yang akan cukup besar dalam angka
perbandingan harga hasil bumi terhadap hasil industri yang dikonsumsi oleh masyarakat
pedesaan; disebut terms of trade antara pedesaan dengan perkotaan, Jadi harga pangan
dapat dianggap sebagai salah satu parameter terpenting dalam perekonomian, tidak
kalah pentingnya dengan upah tenaga kerja suku bunga, atau nilai tukar devisa.
Dari segi ekonomi, salah satu langkah yang perlu diambil dalam membina pembangunan
industry adalah membuat harga pangan sedemikian murah guna menekan upah tenaga
kerja.
Pada pokoknya, terdapat dua mekanisme yang dapat dipergunakan oleh pemerintah
demi melaksanakan kebijakan pangan untuk murah, yaitu :
a. Memaksa petani untuk menjual sebagian dari hasil panennya kepada instansi
pemasaran (seperti BULOG) pada harga resmi di bawah harga pasar, dan/ atau
b. Memperluas persediaan pangan melalui impor yang harga jualnya didalam negeri
mengandung subsidi.
Ternyata, alternative pertama berakibat menaikan harga pasar dibandingkan
dengan kondisi pasar bebas, sekalipun sebagian konsumen ( biasanya pegawai negeri
dan angkatan bersenjata) berhasil memenuhi sebagian keperluannya pada harga yang
relative rendah. Sebaliknya cara untuk menekan harga pasar di bawah harga bebas
adalah dengan meningkatkan persediaan melalui impor.
Ringkasnya, nilai social yang diberikan oleh tambahan produksi pangan didalam negeri
mungkin dianggap lebih tinggi dari pada
a. Harga jual resmi; dan/ atau
b. Border price dari pangan yang di impor
Dengan demikian, benefit yang diperoleh sehubungan dengan proyek produksi pangan,
serta opportunity cost tanah yang di ambil dari produksi pangan demi penggunaan lain,
pelu diseuaikan ke atas.
5. Shadow Price Penerimaan Negara
Shadow price terakhir yang dibahas yaitu menyangkut penerimaan negara, oleh
karena itu satu dan lain hal, modal fisik dan manusia yang diciptakan oleh pemerintah
untuk memenuhi jasa-jasa kepada masyarakat seiring melampaui kemampuan
pemerintah untuk membiayai eksploitasi dan pemeliharaan (E dan P) kapasitas tersebut.
Dengan demikian, tambahan satu satuan (misalnya, sejuta rupiah) pada penerimaan
negara yang dapat dialokasikan untuk meningkatkan E dan P itu membawa benefit yang
lebih besar daripada produk marjinal pengeluaran E dan P pada titik equilibrium (artinya
: penggunaan kapasitas penuh). Sebab tambahan E dan P akan meningkatkan
penggunaan kapasitas yang belum dimanfaatkan, sehingga benefit investasi semula
dapat diwujudkan.
Misalnya proyek prasarana-daerah pengairan, jalan raya, pelabuhan laut, dan lain
sebagainya dimana fasilitas dasar sudah ada, akan tetapi disebabkan kelalaian
pemeliharaan selama beberapa waktu, benefit yang seyogianya diperoleh sehubungan
dengan proyek menjadi terhalang, pengeluaran biaya rehabilitasi yang jumlahnya tidak
besar akan cukup mampu mewujudkan benefit seluruh investasi. Banyak juga contoh
disektor sosial misalnya program suntikan di pedesaa, dimana tenaga kerja sudah dilatih
dan peralatan termasuk alat angkutan diperoleh, akan tetapi anggaran E dan P tidak
mencukupi untuk membeli bahan bakar mobil/sepeda motor. Akibatnya, tim penyuntik
tak berfungsi. Kemudian, apabila tambahan anggaran memungkinkan tim dikerahkan,
maa benefit marjinal yang disebabkan oleh tambahan itu besar sekali dibandingkan
dengan pengeluarannya bberhuung kapasitasnya sudah ada.
Sebagai alasan dari terjadinya kapasitas yang tidak dimanfaatkan disektor negara
dapat disebutkan pertama-tama kedudukan instansi-instansi bantuan luar negeri yang
membatasi bbantuannya untuk modal pertama (start-up cost) . Sikap yang demikian
sering dikuatkan oleh instansi pemerintah yang ingin memperluas ruang lingkup
kegiatannya walaupun sumber-sumber APBN tidak mampu menyediakan biaya E dan
P untuk kapasitas tersebut. Di lain pihak, dapat terjadi bahwa berhubbung dengan resesi
ekonomi atau kebijaksanaan keuangan yang tidak cocokm sebagian sumber-sumber
APBN menjadi terikat pada pelunasan utang beserta bunganya ataupun penutupan
defisit yang dialami perusahaan negara.
Efeknya sama apabila pemerintah menyerah pada tekanan politis untuk
menyediakan lowongan kerja di sektor pemerintah tanpa peduli pada pembiayaan
gajinya. Bagaimanapun, sisa APBN yang tersedia untuk membiayai E dan P menjadi
sangat terbatas, sehingga sebagian kapasitas produksi di sektor negara tidak dapat
dijalankan. Dengan demikian, proyek yang meningkatkan pendapatan negara
memebawa benefit melebihi perhitungan biasa, sementara proyek E dan P-nya
memerlukan pembiayaan APBN menyebabkan beban sosial tambahan. Dengan
informasi yang cukup tentang kapasitas dan kegiatan di setiap bidang maupun benefit-
nya, maka kita dapat memperkirakan nilai marjinal dari satu satuan sumber APBN yang
tak terikat (kepada pelunasan utang, gaji pegawai negeri dan sebagainya).

Anda mungkin juga menyukai