Anda di halaman 1dari 27

Muslim minoritas di Bali

Di ajukan untuk memenuhi tugas

Bpk. Khairullah dzikri

Oleh :

Faizal Bahri Khalily/14520053

PROGRAM STUDI AGAMA- AGAMA


FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2019
A. Pendahuluan

Islam di Asia Tenggara memiliki sejarah panjang dan tersendiri.


Beberapa negara utama di kawasan ini, seperti Malaysia,Indonesia, dan
Brunai Darussalam adalah negara-negara dengan mayoritas muslim. Bahakan
jumlah penduduk muslim yang ada di Asia Tenggara melebihi jumlah
penduduk yang ada di kawasan Timur Tengah. Namun demikian Asia
Tenggara masih menyisakan beberapa kelompok Islam sebagai minoritas
Sering terjadi perbenturan antar Islam dan kelompok lain di daerah non-Islam.
Konflik seperti inilah yang mengindikan banyaknya permaslahan yang
komplek yang dihadapi minoritas Islam di Asia Tenggara. Ditambah lagi
dengan kesenjangan di berbagai bidang seperti pendidikan dan ekonomi
membuat semangat kemerdekaan diri tidak mudah hilang.

Namun, dari semuanya itu perkembangan minoritas Islam di kawasan


Asia Tenggara memberikan harapan dan tantangan baru bagi munculnya
corak dan ragam Islam yang lebih mudah menerima konsekuensi pluralisme
agama dan budaya, serta mampu menunjukkan daya saingnya di tengah-
tengah kecenderungan kompetisi global di hampir segala bidang.
A. Perkembangan Budaya dan Islam di Bali

Jika menyebut “Bali”, maka yang terlintas dalam pikiran orang adalah
sebuah pulau dengan keindahan alamnya yang eksotis, budayanya yang unik,
dan tentu saja umat Hindunya yang mayoritas. Seorang perempuan Amerika,
yang menyebut dirinya sebagai Ketut Tantri menyatakan bahwa Bali adalah
The Last Paradise, sebuah pilihan kata untuk menggambarkan keelokan Bali
dibanding berbagai tempat lain di Indonesia. Image tersebut sudah sangat
mendunia dan dikenal di kalangan para pelancong Asing. Bahkan dengan
segala keunikan dan keindahannya, banyak orang Asing mengira Bali sebagai
Negara sendiri1. Namun Pada beberapa kabupaten/kota di Bali terdapat
beberapa kampung muslim , seperti Pangayaman di Singaraja, Loloan di
Negara, Kepaon di Denpasar, Nyuh Kuning di Karangasem. Kampung-
kampung muslim ini diperkirakan sudah ada di Bali sejak abad ke-15, pada
saat kerajaan Majapahit runtuh di Jawa. Namun ditengah-
tengah kehidupan masyarakat Hindu
yang sarat dengan ritual dan tradisinya yang kental, masyarakat muslim Bali
mampu berbaur dengan umat mayoritas dengan nuansa toleransi yang indah,
dan menjadi warna. Saat ini jumlah umat islam di Pulau Bali mencapai 9 %

1
Dhuroruddin Mashad, Muslim Bali; Mencari KemBali Harmoni yang Hilang (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2014), Vii.
dari total penduduk bali , dan keberadaan ummat Islam di pulau Bali sudah
begitu membaur dan menyebar dihampir sega penjuru, baik daerah perkotaan
maupun pedesaan. namun secara umum penyebaran ummat Islam masa kini
lebih terkonsenterasi di wilayah Denpasar dan Badung, hal tersebut bisa
dipahami karena kedua daerah tersebut merupakan daerah pariwisata utama
pulau bali. Perkembangan ummat islam di kedua daerah ini tampak pada
jumlah tempat ibadah/ masjid yang lumayan banyak di kedua daerah ini.
seperti di kuta misalnya, di Kelurahan Tuban/ Airport ada sekitar 9 buah
Masjid yang lumayan besar, belum termasuk Musholla, antara lain yang
paling megah adalah Masjid Nurul Huda di dekat Airport Ngurah Rai2.

B. Periode masuknya agama Islam di Bali

Sejarah masuknya Islam ke Pulau Dewata dengan latar belakang


sendiri darimasing-masing komunitas Islam yang kini ada di Bali, Penyebaran
agama Islam keBali antara lain berasal dari Jawa, Madura, Lombok dan Bugis.
Masuknya Islam pertama kali ke Pulau Dewata lewat pusat pemerintahan
jaman kekuasaan Raja Dalam Waturenggong yang berpusat di Klungkung
pada abad ke XIV.Raja Dalem Waturenggong berkuasa selama kurun waktu
1480-1550, ketika berkunjung ke Kerajaan Majapahit di Jawa Timur
sekembalinya diantar oleh 40 orang pengawal yang beragama Islam. Ke-40
pengawal tersebut akhirnya diizinkan menetap di Bali, tanpa mendirikan
kerajaan tersendiri seperti halnya kerajaan Islam di pantai utara Pulau Jawa
pada masa kejayaan Majapahit.Para pengawal muslim itu hanya bertindak
sebagai abdi dalam kerajaan Gelgel menempati satu pemukiman dan

2
https://bimasislam.kemenag.go.id/menyambangi-kampung-kampung-muslim-di-bali
membangun sebuah masjid yang diberi nama Masjid Gelgel, yang kini
merupakan tempat ibadan umat Islam tertua di Pulau Dewata.3

Dari sini, dapat digambarkan bahwa Bali merupakan sebuah Pulau


dengan sejuta pesona yang mampumengantarkan siapapun yang datang
mendapatkan kebahagiaan dan ketenanganserta keterkaitan hati yang
digambarkan melalui kata little love affair. Sebagaimana kita ketahui Bali lebih
dikenal oleh wisatawan mancanegara daripada namaIndonesia. Sebagian
masyarakat dunia mengenal daya tarik pulau “seribu pura”, yang juga dikenal
the Paradise Island, yang kemudian menjadi primadona bagi para wisatawan
lokal maupun luar negeri4. Kenyataan ini tidak berlebihan, sebab Bali memang
populer dengan theliving monumennya, yang merupakan salah satu wilayah di
dunia yang kebudayaannya masih tetap bertahan hingga sekarang dan memikat
siapapun untukdapat mengunjunginya terus menerus.

Bali dengan masyarakat yang berpilin dengan budayanya bukanlah


suatu daerah migrasi yang belum tumbuh. Rutinitas masyarkat Bali dengan
budaya yang selalu saja menampilkan budaya lokal. Menampilkan bahwa
budaya Bali telah melalui perjalanan sejarah yang panjang. Seperti halnya
ketika budaya Bali kuno yang harus berbenturan dengan budaya Hindu-Jawa
yang berimgrasi ke Bali yang kala itu terdesak oleh kerajaan Demak5.
Mayoritas masyarakat Bali memeluk agama Hindu yang sering disebut dengan
nama Hindu Dharma. Agama Hindu di Bali merupakan sinkretisme antara
aliran-aliran Hindu yaitu Siwa, Waisnawa, dan Brahma dengan kepercayaan

3
Abdul sakap dkk, Perkembangan Islam di Bali, Program Studi Hukum Ekonomi Syariah (HES), STISNU
Nusantara Tangerang, thn 2016-2017
4
Dhurorudin Mashad, Muslim Bali: Mencari Kembali Harmoni yang Hilang (Jakarta:Pustaka Al-
Kautsar,2014),hlm.1
5
Abdul Wahib,Pergulatan Pendidikan Agama Islam di Kawasan Minoritas Muslim
dalam jurnal Walisongo (Semrang: Walisongo, Volume 19, No.2, 2011), hlm. 468
lokal masyarakat Bali. Pada masa prakolonial, agama Hindu di Bali yang saat
itu disebut sebagai agama Tirta (Air Suci) atau agarna Siwa Buddha, meliputi
semua aspek kehidupan masyarakat seperti kekeluargaan,mata pencarian,
tempat tinggal, kesenian, dan lain-lain. lbadah melibatkan struktur
pemerintahan baik banjar (desa adat) dan kerajaan maupun kelompok
kekerabatan, kelompok pengairan, dan sebagainya. Puri jugadianggap seperti
sumbu bumi dan griya pusat pancaran suci sekaligus kunciupacara-upacara
pokok. Selain ciri-ciri tersebut, agama bersifat lokal dan sangat berbeda dari
satu desa ke desa yang lain.

C. Kepercayaan ,asyarakay Bali secara umum

Masyarakat Hindu Bali juga memiliki tradisi memuja leluhur. Di


beberapa tempat, pemujaan leluhur merupakan ritual utama. Menurut
keyakinan mereka, dengan memuja leluhur sudah cukupmembuktikan bahwa
mereka menjalankan ritual agama Hindu. Hingga pertengahan abad-19, di Bali
terdiri atas sejumlah negara, yang masing-masing mempunyai raja dan
pemerintahan sendiri Di antara raja-raja dari negara-negara yang terdapat di
Bali, raja Dewa Agung dari Klungkung merupakan penguasa tertinggi atas
raja-raja di hampir seluruh negara Bali, karena menurutadat, selain sebagai raja
ia juga diakui sebagai pimpinan agama di seluruh Bali. Hindu Bali mempunyai
ajaran dan landasannya sendiri. Sebagaimana telah diketahui bahwa Bali
memiliki kekerabatan dengan Majapahit, maka Hindu Bali juga merupakan
kelanjutan dari agama leluhur di Majapahit yang terngakum dalam terminologi
agama: Shiwa Budha. Realitas perbedaan (Rwa Bhineda) yang adapunterjadi
akibat faktor ruang (Desa), waktu (Kala), serta kondisi/Keadaan
Riildilapangan (patra). Berpedoman pada ajaran itulah maka Hindu Bali
memang sebagai sesuatuyang khas yang tidak bisa dibandingkan dengan
Hindu wilyah lainnya, sepertiHindu Kaharingan di Kalimantan maupun Hindu
di India dengan segalamacamnya. Hal yang lebih pasti adalah dalam berbagai
kegiatan upacarakeagamaan oleh masyarakat Bali yang dipercaya sebagai
manifestasi adat danagama yang melebur jadi satu, deskripsi dari semangat
religiositas masyarakat.Bahkan, karena semngat religiositas yang sedemikian
tinggi, peraturandaerah pun seringkali tidak memilki kekutaan untuk
menghadangnya.Saat ini bahkan bisa dikatakan bahwa Bali adalah satu-
satunya wilayah Indonesia yang terang-terangan telah menerapkan ajaran
agama dalam hukum bermasyarakat.

Di Bali juga dikenal satu bait sastra yang jugadigunakan sebagai


sloganlambang negara Indonesia, yaitu: Bhineka Tunggal Ika Tan Hana
Dharma Mang- grua, yang memilki makna „walaupun berbeda namun tetap
satu jua, tidak ada duanya (Tuhan-Kebenaran) itu‟. Dapat dipahami bahwa jika
masyarakat Bali dapat hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain seperti
Islam, Kristen, Budha, dan lainnya. Pada masyarakat Bali dikenal juga budaya
“menyama braya”, yakni persaudaraan yang betul-betul diterapkan dalam
kehidupan umat beragama di Bali. Dengan konsep’’ menyama braya’’ yang
secara harfiah berarti saudara sekampung ini, maka bagi orang Bali orang dari
daerah lain atau bahkan dari agama lain tetap diterima sebagai orang
sekampung, orang dekat bukan orang asing6. Namun dari penjelasan diatas,
maka seolah-olah tidak ada etnis lain selainHindu yang menetap sejak lama di
Bali. Padahal apabila kita telusuri lebih dalam,selain Hindu, masyarakat dari
kelompok agama-agama lain banyak mendiami wilayah-wilayah Bali
termasuk Islam.Orang-orang Muslim juga telah berdatangan ke Bali seiring
dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia bahkan banyak juga

6
ibid.
yang menyatakan bahwa Islam datang ke Bali bersamaan dengan kejayaan
kerajaan Hindu di Nusantara. Berangkat dari latar belakang tersebut, penelitian
ini akan menjabarkan lebih lanjut mengenai proses kedatangan Islam di Bali
periode pertama dari mulai urutan kedatangannya hingga sampai penerimaan
dan terbentuknya komunitas muslim atau kelembagaan sebagai bentuk
implikasinya

D. Hubungan masyarakat muslim dan Hindu di Bali

Hubungan kerjasama muslim dan hindu di bali terlihat bahwa Muslim


telah bermukim di Bali berabad lamanya dan hidup damai berdampingan
dengan masyarakat Hindu. Dinamika hubungan mayoritas – minoritas
komunitas religius tersebut diwarnai oleh kerja sama yang saling
menguntungkan. Realitas sosial hubungan antara masyarakat Muslim dengan
Hindu seperti di bidang militer, pemukiman, pertanian, ekonomi, budaya,
religi, kesusasteraan, arsitektur dan pengobatan tradisional telah terjalin sejak
masa kerajaan di berbagai sektor.

Di bidang militer, hubungan antara Muslim dengan mayoritas Hindu


telah lama terjalin sejak masa kerajaan Bali seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya dalam sub-bab sejarah masuknya Islam di Bali. Pada zaman
kerajaan Bali, orang-orang Islam banyak dijadikan laskar atau pasukan inti
dalam membela kerajaan-kerajaan Bali di masa peperangan, seperti yang
terjadi pada kerajaan Buleleng, Badung, Jembrana dan Karangasem. Pada
tahun 1587 kerajaan Buleleng di masa pemerintahan Panji Sakti membawa
laskar yang terdiri dari orang-orang Islam dari Blambangan ke Buleleng yang
berjasa membantu kemenangan Panji Sakti dalam pertempuran
memperebutkan Blambangan dari kekuasaan kerajaan Mataram. Laskar
Muslim ini terdiri dari orang-orang Bugis Mandar yang sebelumnya bermarkas
di Prampang-Blambangan. Demikian pula di masa perjuangan melawan
Belanda, patih kerajaan Buleleng yang terkenal dalam perang Buleleng, I Gusti
Ketut Jelantik, memiliki pasukan pilihan yang terdiri dari orang-orang Bugis
dari Jembrana dan Buleleng. Berkat keberanian pasukan pilihan ini dalam
perang Buleleng pada tahun 1846, Belanda berhasil dipukul mundur. Di masa
itu, laskar Islam dijadikan sandaran utama untuk membendung pasukan
Belanda. Orang-orang Islam telah lama dijadikan sekutu kerajaan untuk
bersama-sama melawan Belanda, terutama orang-orang Bugis yang terkenal
dengan keberaniannya dalam berperang.7 Hal yang sama juga dilakukan oleh
kerajaan Badung pada tahun 1891, yang menggunakan prajurit-prajurit Islam
dari Serangan dan Kepaon dalam peperangan melawan kerajaan Mengwi yang
berakhir dengan kemenangan kerajaan Badung. Sementara di kerajaan
Jembrana, khususnya di masa pemerintahan Raja Jembrana ketiga, Anak
Agung Putu Handul, pasukan Jembrana dibantu oleh pendekar-pendekar
Bugis/Makassar telah berhasil memukul mundur pasukan Raja Tabanan, Raja
Cokorde yang mencoba menyerang Jembrana. Kemudian pada tahun 1770,
Raja Badung Cokorde Pamecutan juga menyerang Jembrana dari arah selatan
desa Perancak namun pasukannya terpaksa kembali pulang karena banyak di
antaranya yang dimakan buaya. Namun, sesungguhnya yang terjadi adalah
pasukan kerajaan Badung tidak mengetahui bahwa inti kekuatan pasukan
Jembrana yang berdestar hitam itu adalah orang-orang Muslim
Bugis/Makassar yang tidak berbeda dengan prajurit-prajurit Bali Hindu yang
juga mengenakan destar yang sama. Kemudian pada tahun 1828, terjadi
peperangan kedua kalinya antara kerajaan Jembrana dengan Buleleng. Raja

7
Indriana Kartini, Dinamika Kehidupan minoritas muslim di Bali, EDISI XXXVII / NO.2 / 2011. Hal 14.
Buleleng Anak Agung Gde Karangasem berhasrat menaklukkan Jembrana
karena tertarik oleh kemakmurannya.

Dalam peperangan ini pasukan Jembrana yang dipimpin oleh I Gusti


Ngurah Gde diperkuat pula oleh pasukan Muslim dan berhasil mengalahkan
pasukan Buleleng dan menewaskan Raja Anak Agung Gde. Sedangkan di
kerajaan Karangasem pada abad ke18, Raja A.A. Made Karangasem
menjadikan laskar Islam dari Lombok sebagai pasukan inti kerajaan (Sarlan
2009: 44). Dalam hal pemukiman, khususnya di masa kerajaan, sebagian besar
pemukiman Muslim merupakan pemberian atau hadiah dari Raja atas jasa
besar warga Muslim yang telah membantu kerajaan dalam peperangan seperti
yang dijelaskan sebelumnya. Misalnya, perkampungan Muslim di Pegayaman,
Buleleng, merupakan tempat yang diberikan oleh Raja Panji Sakti bagi laskar
Muslim yang telah membantu kerajaan Buleleng dalam peperangan
memperebutkan Blambangan. Termasuk para punggawa yang dikirim dari
Jawa untuk menggembala gajah pemberian Raja Mataram yang juga diberikan
tempat bermukim di Pegayaman dan Tegallinggah.

Demikian pula di kerajaan Badung, Raja Pamecutan III menghadiahkan


tempat pemukiman di Kepaon bagi Raden Sastraningrat dan pengikutnya dari
Jawa yang telah berjasa membantu kerajaan Badung mengalahkan Kerajaan
Mengwi.

Di bidang pertanian khususnya di lembaga subak, komunitas Muslim


lokal bergabung dalam pembagian air untuk sawah dengan membayar iuran
sebagai anggota subak, sementara di bidang ritual dibebaskan dari pembayaran
itu. Misalnya di desa Banyubiru Jembrana, orangorang Islam telah lama
menjadi anggota perkumpulan subak dan ikut serta menjadi pengurusnya.
Apabila kelompok Bali Hindu mengadakan upacara selamatan di pura subak,
kelompok Bali Islam dikenakan iuran untuk biaya selamatan, namun mereka
dibebaskan dari kewajiban bekerja di pura. Akan tetapi apabila menyangkut
pekerjaan yang non-ritual seperti membangun bendungan, kelompok Islam
ikut bekerja dengan kelompok Bali Hindu. Dalam perkembangannya,
kelompok Islam kemudian dibebaskan dari iuran untuk kepentingan pura, dan
upacara selamatan kemudian dilakukan menurut keyakinan masingmasing
kelompok. Selain sistem subak, juga dikenal sistem nandu, yakni sistem bagi
hasil antara orang-orang Islam yang menggarap sawah dengan orang-orang
Hindu pemilik sawah, karena pada mulanya orang-orang Islam tidak memiliki
tanah.

Di bidang ekonomi terjalin hubungan perdagangan sejak masa kerajaan.


Para pedagang Muslim Bugis menyalurkan hasil bumi berupa beras, kelapa,
ternak dan lain-lain ke luar Bali dan memasukkan barangbarang seperti kain,
alat-alat rumah tangga, alat-alat pertanian dan sebagainya karena umumnya
mereka memiliki perahu-perahu dagang. Mengingat besarnya jasa para
pedagang Muslim tersebut, maka raja memberikan hak konsesi bermukim.

Dari hubungan dagang ini terjadi hubungan saling memengaruhi antar


kedua kebudayaan yang berbeda. Bahkan beberapa orang Bali pada saat itu
sudah ada yang memeluk agama Islam seperti salah seorang keluarga raja
Jembrana karena pergaulannya dengan orang-orang Muslim Bugis. Demikian
pula dengan salah seorang keluarga raja Buleleng I Gusti Ketut Tubun atau
Imam Wasir Ketut Tubun yang memeluk agama Islam dan kemudian diangkat
menjadi punggawa mengepalai desa-desa Islam di pantai Utara Buleleng pada
awal abad ke-19 (Yuliani 1993: 32-33). Di bidang kebudayaan, kerja sama
antara umat Hindu dengan umat Islam dapat ditelusuri di Jembrana pada akhir
abad ke-19, dengan adanya perkumpulan (seka) tari dan nyanyi di bawah
pimpinan Pan Nyoling. Pan Nyoling adalah seorang tokoh Islam yang disegani
di desa Mertasari yang masih menggunakan nama Bali. Para anggota
perkumpulan ini tidak hanya terdiri dari orang-orang Bali Hindu namun juga
orang-orang Islam yang melakukan pertunjukan keliling di desa-desa
sekitarnya. Demikian pula perkumpulan seni silat gaya Bugis yang sudah lama
dikenal di Bali, terutama di Jembrana di mana pada perayaan tertentu
dipentaskan seni silat dengan gaya Bugis. Dalam bidang bahasa, masyarakat
Muslim di Gelgel tidak lagi menggunakan bahasa ibu (Jawa dan Bugis) sebagai
bahasa sehari-hari, melainkan berkomunikasi dengan bahasa Bali.

Demikian pula dengan istilah-istilah perkawinan menggunakan istilah


yang digunakan oleh masyarakat Hindu setempat, seperti istilah ”kedungluh”
digunakan apabila seorang laki-laki menikahi seorang wanita dan kemudian
tinggal di rumah sang istri. Istilah ”morong” digunakan apabila perkawinan
berlangsung antara dua keluarga, di mana keluarga yang satu memberi laki-
laki saja, keluarga yang lain memberi perempuan saja. Kemudian istilah
”makedeng ngad” digunakan apabila perkawinan berlangsung antara dua
keluarga di mana masing-masing keluarga tidak hanya mengambil perempuan
namun juga memberi perempuan (tukar kawin). Seperti halnya di Gelgel,
masyarakat Muslim di Pegayaman juga berkomunikasi dalam bahasa Bali.
Mereka juga memberi nama depan bagi anak-anaknya dengan nama Bali
seperti Wayan (anak pertama), Made/Nengah (anak kedua), Komang/Nyoman
(anak ketiga), dan Ketut (anak keempat). Di bidang religi, terdapat Pelinggih
Ratu Mekah pada salah satu pura dikawasan Kubutambahan (Pura Kerta
Negara Loka) dan kawasan Kuta. Kemudian dikenal juga istilah nyelam dalam
sajian orang-orang Hindu, serta istilah nyama selam (saudara Islam) dalam
hubungan-hubungan sosial di Bali. Masyarakat Islam di Gelgel yang berada di
tengah-tengah masyarakat Hindu kadang-kadang menyebut Hari Raya Islam
sesuai dengan nama Hari Raya Hindu. Di Buleleng terdapat pula pura yang
sangat besar di mana di atas pura tersebut ada dua tempat raja. Di tempat
tersebut tertulis raja Mekkah dan Madinah yang hingga saat ini umat Islam
tidak dibenarkan membuat upacara di sana. Ada pula sebuah tempat pemujaan
di sana yang disucikan, tetapi dalam upacaranya AlQuran diletakkan begitu
saja di depan pemujaan dan disucikan oleh umat Hindu (FGD). Masyarakat
Muslim di Pegayaman (Buleleng) memiliki keunikan dalam tradisi perayaan
Maulud Nabi (selametan) yang dipengaruhi oleh unsur Hindu. Pada selametan
Maulud hari pertama tanggal 12 Rabiul Awal warga Muslim membuat ”sokok
base” rangkaian daun sirih, kembang, dan buah-buahan. Sokok base ini mirip
dengan pajegan yang dibuat masyarakat Hindu Bali saat upacara hari-hari
tertentu. Puluhan sokok base dibawa ke masjid dan dideretkan di tengah-
tengah lingkaran orang yang membacakan barzanji (karya sastra Arab klasik
yang berisi riwayat dan puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW).
Kemudian pada hari kedua tanggal 13 Rabiul Awal warga membuat ”sokok
taluh” untuk merayakan ”Muludan taluh” (Muludan telur) dengan membuat
”grodok maulud” berisikan rangkaian serupa sokok base namun dilengkapi
dengan telur dan buah-buahan yang disusun pada batang pisang. Sebelum
dibawa ke masjid, sokok ini diarak keliling desa disertai dengan iringan musik
rebana dan atraksi pencak silat. Sesampainya di masjid, dilakukan doa dan
zikir bersama yang dilanjutkan dengan ceramah agama oleh imam masjid. Di
akhir prosesi, sokok base dan sokok taluh dibongkar dan isinya dibawa pulang
warga untuk mendapatkan berkah doa sekaligus penolak bala.

Tradisi lainnya di Pegayaman adalah dalam perayaan Hari Raya Idul


Fitri dan Idul Adha. Pada kedua hari raya itu masyarakat Muslim Pegayaman
melaksanakan sholat Ied sama seperti Muslim lainnya. Namun yang menarik
adalah mereka menambahkan rangkaian harihari menjelang hari-H, yakni
penapean (hari membuat tape pada hari H-3), penyajaan (hari membuat jajan
pada hari H-2), penampahan (hari memotong hewan pada hari H-1), dan manis
lebaran (sehari setelah hari H). Rangkaian tradisi ini sama seperti yang
dilakukan umat Hindu menjelang hari Galungan, namun bagi Muslim bukan
merupakan bentuk ibadah (Budiwanti 1995). Di bidang kesusasteraan,
Geguritan Amat merupakan salah satu karya sastra yang cukup dikenal di
kalangan penggemar sastra di Bali yang berisi kisah Nabi Muhammad SAW
yang dinyanyikan dengan satu tembang khusus bernama tembang Amat.
Sedangkan Geguritan Tamtam berkisah tentang I Tamtam nyelam sampai di
Istana Prabu Mesir. Tamtam dengan Putri Raja Mesir mengadakan diskusi
filsafat tentang puyung atau kosong. Kata-kata setan, jin, selamet dan lainlain
bukan hal asing kerena pengaruh Islam ini dalam berbagai hasil karya sastra
dan budaya di Bali. Karya lainnya seperti Ithi Kerama Selam merupakan hasil
karya sastra tertua yang menerangkan berbagai aspek ajaran Islam dengan
menggunakan kesusasteraan suluk, yang kemungkinan besar masuk ke Bali
melalui Aceh di masa pemerintahan Sultan Iskandar Thani atau sesudahnya.
Karya sastra tersebut bertahun 1615 Icaka atau 1683 Masehi ditulis oleh Sang
Guru Kuturlikup di Swecapura (Gelgel) di desa Bakung (Couteau 1999: 172).
Di bidang arsitektur terjadi akulturasi atau perpaduan antara unsur Islam dan
unsur Hindu. Misalnya di Masjid Jami Singaraja terdapat pola ornamen Bali
dan simbol swastika pada pintu masjid serta mihrab yang polanya seperti
pelinggih Bathara. Selain itu pola meru terdapat di Masjid Keramat di Kajanan
(Buleleng). Di kampung Gelgel, bentuk masjid tidak berbentuk kubah yang
menjadi ciri asli seni arsitektur Islam, melainkan berbentuk tumpang yang
biasanya terdapat pada bangunan suci umat Hindu. Sementara itu, akulturasi
juga tercermin dalam sebuah bangunan suci Hindu yakni sebuah komplek pura
di desa Bunutin, kabupaten Bangli, yang bagian dalamnya terdapat bangunan
pemujaan Islam dalam bentuk langgar yang disebut pura langgar. Puranlanggar
ini merupakan tempat pemujaan roh leluhur nenek moyang yang dianggap
beragama Islam, namun dipuja oleh keluarga Hindu. Suatu yang unik dalam
pura langgar ini adalah dalam upacara tidak boleh memakai daging babi.
Sebaliknya, di pantai Seseh dekat Mengwi terdapat pura meru dan sebuah
makam yang uniknya dikeramatkan oleh orang-orang Islam dari desa
sekitarnya seperti Tabanan, Kampung Jawa dan Kepaon (Badung). Mereka
menganggap bahwa raja yang dimakamkan dan kemudian ”dimerukan” adalah
raja yang beragama Islam. Raja yang dimaksud adalah Pangeran Pati atau Mas
Sepuh yang memerintah Blambangan tahun 1745-1764 yang saat itu berada di
bawah kekuasaan kerajaan Mengwi. Dalam hal rumah tinggal, masyarakat
Muslim di Gelgel juga ada yang meniru bentuk rumah Bali, seperti rumah saka
roras, yakni rumah yang menggunakan tiang (saka) dua belas buah yang
merupakan rumah khas Bali.

Di bidang pengobatan tradisional, orang-orang Bugis di Jembrana


dikenal memiliki kepandaian dalam mengobati penyakit yang tidak hanya
untuk mengobati keluarga sendiri tapi juga orang-orang Bali Hindu.
Kepandaian ini ada hubungannya dengan kekuatan magis yang sangat
dipercaya oleh masyarakat Bali Hindu. Orang-orang Bugis sering
memberikan pengobatan secara cuma-cuma sehingga menimbulkan simpati
di kalangan masyarakat Hindu. Orang-orang Bali yang meminta pengobatan
dari orang-orang Islam ini selalu menyebut loloh yang artinya jamu atau obat-
obatan dalam bahasa Bali, sehingga muncul panggilan loloan untuk tempat
pemukiman orang-orang Bugis Islam yang menempati daerah tebing kiri dan
kanan sungai Jogading.

keberadaan komunitas Islam dan Hindu yang ada di Bali ternyata


sangat khas jika dibandingkan dengan Komunitas Islam lainnya di daerah lain.
Hal ini terlihat dari pola kekerabatan dan solidaritas yang terbangun adalah
sebagai bentuk perilaku kerukunan antar dua entitas sudah terjadi sejak
ratusan tahun dan turun temurun. Interaksi yang berkembang di sini, tidak saja
pada batasan interaksi antar individu dan kelompok namun secara mendalam
ternyata juga terjadi adanya interaksi budaya dengan sangat baik. Jika
dihubungkan dengan semangat multikulturalisme dan kerukunan antar umat
beragama, maka dapat dikatakan bahwa Kampung Islam Kepaon, Desa
Pemogan, Desa Pegayaman dan Budakeling memiliki satu pola yang dapat
dibandingkan dengan daerah lainnya. Hal ini akan menjadi sangat menarik
dan sentral ketika berbicara konteks kerukunan yang terbangun atas kesadaran
dari bawah secara button-up dalam mengatasi berbagai permasalahan yang
ada. Kekhasan dari pola interaksi Islam dan Hindu tersebut dapat menawarkan
bentuk toleransi secara intern dan juga ekstern dalam mensiasati bagaimana
sesungguhnya kerukunan antar umat beragama terbangun.

Adanya pola-pola kerjasama yang merupakan pengejawantahan dari


semangat kebersamaan, ditambah lagi dengan adanya latar belakang
kekerabatan, semakin menampakkan kekhasannya. Banyak aktivitas
keseharian warga Islam dan Hindu dalam hal ini terkait dengan masalah-
masalah sosial kemasyarakatan senantiasa sangat tertata. Bahkan, secara
ekplisit diakui bahwa perkawinan antar warga yang beragama Islam dengan
Hindu atau sebaliknya. Di sini, bukan menjadi hal yang aneh. Kedua belah
pihak saling memahami dan tidak saling memaksakan, demikian juga tidak
ada perasaan bahwa salah satu kelompok umat beragama, merasa kehilangan
umatnya karena menikah dengan umat yang beragama lain. Bila dilihat dari
pola-pola kerjasama antar kedua komunitas ini, dapat dikatakan bahwa
dukungan Budaya Bali sangatlah besar adanya suasana “menyama braya”
sebagai landasan dari kedua belah pihak untuk saling berinteraksi. Semangat
“paras-paros” ketika salah satu dengan yang lainnya mengembangkan suasana
saling pengertian, serta masih banyak lagi peran lain yang memberikan spirit
dalam dialog dan kerjasama antar kedua komunitas Islam dan Hindu.
Berlangsungnya proses relasi antar dua komunitas ini bisa disimak dari
peradaban kehidupan Raja-Raja Bali empat hingga lima ratus tahun yang
silam. Istilah ”juang-kejuang” atau pernikahan antara warga Hindu dan Islam
berlangsung dan berkembang sampai sekarang. Kekerabatan yang terbangun
tampaknya dapat dijadikan

perekat atau seperti apa yang dikatakan sebelumnya yaitu sebagai ”niat”
sehingga proses kerukunan antar umat tidak terbangun secara semu, namun
memang tumbuh atas dasar kesadaran.

budaya, seni dan bahasa kekerabatan inilah yang menjadi dasar kuat
adanya interaksi Islam dan Hindu di Bali. Budaya Bali menjadi perekat
adanya kerjasama interaksi dan rutinitas warga Desa. Praktik dialog yang
berkembang juga dilandasi oleh falsafah Budaya Bali yang “paras-paros”;
menganggap yang berbeda agama dan etnis lain sebagai “nyame” atau
saudara. Demikian juga adanya semangat “mebraya” dengan selalu
memandang orang lain sebagai bagian dari diri sendiri sehingga enggan untuk
saling mengesampingkan antara satu dengan yang lainnya8.

E. fenomena keragaman minorits muslim di Bali

Fenomena kehidupan umat beragama dalam kompleksitas budaya


masyarakat Indonesia memang tetap menarik untuk dicermati.
Keanekaragaman corak akan adat, tradisi, suku, agama dan budaya yang
sangat unik seperti itu, tampaknya tidak banyak dimiliki oleh negara lain di
dunia. Bagi bangsa Indonesia, adanya keragaman budaya merupakan
kenyataan sosial yang sudah niscaya. Maksudnya keberagaman itu sudah
demikian adanya, natural serta perlu diterima untuk kemudian disyukuri
karena semua itu jarang terjadi di Negara-negara lain. Namun demikian,
Mahfud dalam bukunya ‘’Pendidikan Multikultural’’ memberikan catatan
bahwa hal itu tidak secara otomatis diiringi dengan penerimaan yang positif.
Yang dimaksud adalah banyaknya fakta yang justru menunjukkan fenomena
yang sebaliknya, keragaman budaya telah memberi sumbangan besar bagi
munculnya ketegangan dan konflik di Indonesia. Keragaman etnis dan
budaya memang tidak serta merta memberikan manfaat bagi kehidupan
masyarakat Indonesia. Khazanah bangsa yang besar dengan keanekaragaman
etnis dan budayanya, apabila tidak terkelola secara baik kerap akan menjadi
masalah tersendiri. Mengelola keragaman budaya, etnis, dan agama itu
memerlukan jiwa besar terutama untuk mau saling menerima kenyataan akan
perbedaan. Hidup harmoni dengan senang melihat orang lain bahagia dan
seterusnya. Dalam situasi yang seperti ini sudah barang tentu diperlukan suatu
penguatan rasa kebangsaan, rasa persaudaraan, tenggangrasa dan persatuan di

8
I Gede Suwindia dkk, e-journal Al-ulum , RELASI ISLAM DAN HINDU PERSPEKTIF MASYARAKAT BALI.
Volume. 12, No- 1, Juni 2012. Hal 76
tengah berbagai perubahan yang ada. Para leluhur dan pejuang Negara
Kesatuan Republik Indonesiadi masa lalu telah banyak memberikan goresan
tinta emas 9 sehingga dapat menjadikan bangsa Indonesia menjadi bersatu dan
berdaulat saling melindungi satu dengan yang lainnya.

Mayoritas Islam di Indonesia secara dasar penerapan hidup


berdampingan, antarumat beragama yang satu trah. Kalau ditelisik
(introspeksi diri) agama yang kita anut, dikooptasikan oleh orang tua kita
tanpa minta persetujuan anaknya yang lahir dari keluarga di nusantara,
sehingga untuk ini butuh perspektif budaya keindonesiaan, sehingga budaya
agama asing tidak melucuti keindonesiaan kita. Dengan demikian, agama
dapat menjadikan kita damai tidak saling mencurigai, saling hegemonik
dengan iming-iming hidup enak di surga setelah mati, sementara hidup kita
menjadi bagaikan “di neraka” dalam hubungan dengan saudara setrah. Dogma
agama yang diimpor dari luar Indonesia, semuanya mengajarkan bahwa milik
kita sendiri usang, tidak baik, kafir, berhala dan sebagainya. Itu dogmatisme
agama luar; kenyataannya masih banyak saudara kita bertahan dalam
keindonesiaannya hingga kini dan dapat hidup menyatu dengan alam hidup
rukun dan damai,

Butuh perhatian bersama di antara Hindu dan Islam yang sama-sama


menempati lokus Pulau Bali yang sangat kecil, tetapi sudah tersohor di dunia
pariwisata internasional, dan sudah pasti dapat memberikan kesejahteraan
masyarakat yang tinggal di Pulau Bali. Butuh kesadaran kritis agar Bali tetap
menarik bagi pelancong asing, harus memberikan ruang pada turis asing yang
datang ke Bali, dan dunia pariwisata tidak harus ikut menjadi turis, ketika Bali
menjadi pusat pariwisata budaya, bukan Bali menjadi berbudaya-pariwisata,

9
Ibid.
bahkan sampai kehilangan kepribadian dan berkarakter kebaliannya. Dengan
kata lain, berkebudayaanlah sebagaimana dikehendaki wisatawan
(pariwisata-budaya), tetapi juga jangan lupa pariwisata sebagai industri untuk
menguras dollar wisatawan (budaya-pariwisata) untuk kesejahtraan bersama,
sehingga industri pariwisata itu tidak berdampak merusak budaya kebalian,
karena Bali bukan hanya milik Hindu, tetapi juga milik etnik dan budaya yang
beragama lain yang sudah hidup berdampingan di Bali sejak abad ke-12
karena faktor ekonomi. Pariwisata sebagai faktor ekonomi di Bali diharapkan
terjadi seperti pada abad ke-12, dengan peran agensi politikus (lokal-nasional)
sebagai pengendalinya10.

F Masyarakat Bali dalam tatanan pemerintaham

Pasca-reformasi, tata relasi hubungan kekuasaan yang sentralistik luluh


lantak. Negara sentral (baca: Orde Baru) dengan kekuasaannya yang hampir
mutlak hancur dalam tataran simbol kekuasaan sentralistik. Kekuasaan
akhirnya menyebar dalam institusi-institusi negara di tingkat provinsi,
kabupaten, kelurahan, dan juga tingkat desa. “Negara lokal” desa Pakraman
di Kota Denpasar Bali pun tertimpa rembusan kekuasaan ini. Semangat
otonomi daerah sebagai salah satu wadah untuk membangun civil society di
Denpasar semakin kuat, sehingga desa Pakraman seolah-olah menjadi
reinkarnasi dari negara baru bagi masyarakat Bali. Mereka menempatkan desa
Pakraman sebagai benteng pertahanan terakhir budaya Bali. Beragam gerakan

10
I Made Pageh, (KEARIFAN SISTEM RELIGI LOKAL DALAM MENGINTEGRASIKAN UMAT HINDU-ISLAM DI
BALI), FKIP Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja. Bali. 29Agustus 2018
dan program-program dibuat untuk melestarikan tradisi dari kepunahan.
Pemerintah dan masyarakat Bali mulai memopulerkan jargonnya “Ajeg Bali”.
Bahwa Bali harus kembali ke barak, artinya bahwa Bali harus dibangun
berdasarkan kultur Bali, dan kultur Bali dibangun bernafas Hindu. Keinginan
Bali untuk mengatur perda-perda yang bernuansa “sharî„at” Hindu mulai
diberlakukan,40 walaupun demikian perd- perda tersebut tetap memberikan
peluang pada agama-agama lain untuk hidup berdampingan, karena kultur ini
merupakan kultur yang telah dibangun Bali sejak adanya kerajaan-kerajaan
kecil di Bali seperti kerajaan Waturenggong di Klungkung dan Kerajaan
Badung di Denpasar.

Pada masa-masa kerajaan inilah istilah menyama braya (aku adalah


engkau, dan engkau adalah aku) dipopulerkan. Namun karena adanya
modernisasi dan hegemoni politik Orde Baru, tradisi tersebut sedikit demi
sedikit tidak begitu menonjol pada masyarakat Bali. Dengan demikian, salah
satu “Ajeg Bali” yang harus diangkat kembali adalah “menyama braya”.
Budaya menyama braya merupakan salah satu budaya yang meneguhkan
toleransi antarumat beragama di Kota Denpasar Bali. Konsep kunci yang
dipegang teguh oleh umat Hindu sebagai pedoman dalam meneguhkan
kerukunan antarumat beragama adalah “Tat Twam Asi” dan “Yama Niyama
Brata”. “Tat Twam Asi” yang berarti aku adalah engkau, sedanglam “Yama
Niyama Brata” yang berarti engkau adalah aku. Menurut masyarakat Bali,
apabila kita menyayangi dan mengasihi diri sendiri, maka kita harus berkata
dan berbuat kepada orang lain sebagaimana berbuat pada diri kita sendiri.
Apabila prinsip-prinsip ini bisa kita jalankan, maka kedamaian hidup di dunia
ini akan bisa diwujudkan. Melalui penerapan konsep tersebut, lahirlah
beberapa konsep operasional dalam kebudayaan Bali seperti ngupoin,
mapitulung

G. Situasi sosial dan Budaya

Sistem pelapisan masyarakat mulai di kenal oleh penduduk Bali setelah


adanya pengaruh Hindu Jawa, ketika Kerajaan Majapahit menyerang Bali
pada tahun 1383. Di samping itu pengaruh Hindu Jawa ini telah menyebabkan
dua bentuk masyarakat, yakni masyarakat Bali Aga (masyarakat Bali asli) dan
Bali Majapahit (wong Jawa)11. Bentuk pelapisan masyarakat pada umumnya
dapat dilihat dari susunan tinggi rendahnya dari klien-klien di daerah dataran
yang bertambah pengaruh Hindu Jawa, hal itu dapat diketahui dengan gelar-
gelar yang dipakai oleh warga dengan nama mereka. Gelar itu dapat
digolongkan menjadi 4 (empat) golongan menurut sistem itu yaitu :

1. Brahmana, yang termasuk dalam golongan ini adalah para


cendikiawan, teknokrat, pakar, pendeta atau pemimpinpemimpin
upacara agama, dan gelar panggilan nama yang digunakan kasta
Brahmana ini adalah: untuk pria Ida Bagus dan untuk putri Ida Ayu.

2. Ksatria, yang termasuk dalam golongan ini adalah para pengawal,


militer, pembela negara, dan prajurit, gelar panggilan yang
digunakan adalah Cokorda,

11
Koentcaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djembatan, 1995), h. 286
3. Waisya, yang termasuk dalam golongan ini adalah para petani,
pedagang dan pengusaha, gelar panggilan yang digunakan adalah
gusti.

4. Sudra, yang termasuk dalam golongan ini adalah karyawan atau


pekerja yang melayani ketiga kelompok di atas12. Gelar panggilan yang
digunakan adalah yang sesuai dengan urutan kelahiran anak dalam keluarga.
Keanggotaan kasta ini agar tetap terjaga, menurut orang Bali kuno,
perkawinan harus terjaga, dilakukan sesuai dengan tingkat kedudukan dalam
kasta dan juga harus sesuai dengan adat, dengan demikian terjagalah
kemungkinan kemungkinan akan noda-noda atau aib dalam keluarga. Dalam
hal ini terutama wanita yang perlu dijaga, agar jangan sampai kawin dengan
seorang pria yang lebih rendah dari derajatnya, karena dianggap akan
membawa aib atau malu keluarga serta menjatuhkan gengsi dari anak wanita
yang dilahirkan. Sistem kasta ini hanya berlaku bagi orang Bali yang terkena
pengaruh Hindu Jawa sedangkan untuk masyarakat Bali Age dalam hidup
berkeluarga disebut kum (keluarga), tidak ada perbedaan dalam panggilan
nama anak-anak, hanya biasanya dalam keluarga terdiri dari 4 anak yang
masing-masing memiliki panggilan nama tersendiri, sesuai dengan urutan, di
antaranya adalah:

1. Anak yang paling tua disebut Wayan untuk laki-laki dan perempuan.

2. Anak yang kedua memiliki nama panggilan Made untuk laki-laki dan
perempuan.

3. Anak yang ketiga memiliki nama panggilan Nyoman untuk laki-laki


dan perempuan

12
5 Karim, Islam, h. 136-137.
4. Anak yang ke empat memiliki panggilan Ketut untuk laki-laki dan
perempuan. Untuk anak yang kelima dan seterusnya, biasanya
menggunakan nama panggilan Ketut13.

Hidup bercocok tanam dan tinggal secara menetap dalam konteks


masyarakat Bali telah menimbulkan semangat gotong royong dalam
kehidupan sehari-hari, memberikan motivasi bagi perkembangan masyarakat
serta kemajuankemajuan kebudayaan. Ia juga telah mendorong munculnya
konsep pemikiran yang memandang perlu dijalinnya sikap kebersamaan.
Dengan kondisi yang demikian merangsang timbulnya suatu bentuk
kerjasama dalam pertanian, termasuk di dalamnya suatu cara pengaturan dan
penggunaan air secara adil kepada para anggotanya yang semuanya
mengambil air dari satu sumber yang umum. Sistem pembagian air semacam
ini lebih dikenal dengan sistem subak14. Subak di samping berfungsi sebagai
sarana pembagian air secara adil, juga digunakan dalam upacara keagamaan
khususnya yang berkaitan dengan pertanian. Adanya beberapa jenis upacara
keagamaan yang dilakukan oleh subak pada berbagai tingkat di antaranya :

1. Tingkat individual, upacara agama yang dilakukan yaitu:

a. Ngawiwit, yang dilaksanakan pada waktu petani menebar benih di


pembibitan. b. Mamula, dilaksakan pada saat menanam padi.

13
I Made Suasthawa Dharayuda, Kebudayaan Bali Pra Hindu, Masa Hindu dan Pasca Hindu (Denpasar:
Kayumas Agung, 1995), h. 45.
14
I Gede Pitana, Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali (Denpasar: Bali Pustaka, 1994), h. 116.
c. Neduh, dilaksanakan pada saat padi berumur satu bulan di sawah,
dengan harapan agar tidak terserang hama penyakit. Biukukung,
dilakukan pada saat terjadi bunting.

d. Nyangket, dilakukan pada saat panen dan e. Mantenin, upacara yang


dilakukan setelah padi disimpan di lumbung, sebelum diolah menjadi
beras untuk pertama kalinya.

2. Tingkat kelompok, upacara yang dilakukan adalah :

a. Myaes, suatu upacara yang dilakukan pada saat padi berumur satu
bulan di sawah, dengan harapan agar padi tidak mengalami gangguan
hama atau penyakit serta gangguan-gangguan lainnya

b. Ngusaha, dilaksanakan setelah panen padi, yang dimaksudkan


sebagai ucapan rasa syukur kepada Tuhan, karena telah berhasil
panen yang baik15.

15
I Gede Pitana, Subak Sistem Irigasi Tradisional Bali (Denpasar: Upada Sastra, 1997), h. 36
PENUTUP

Dalam rangka meneguhkan kembali kerukunan antarumat beragama


(Islam-Hindu) masyarakat Denpasar Bali sepakat untuk menghidupkan
tradisi yang pernah dikembangkan oleh nenek moyang mereka yaitu tradisi
menyama braya. Tradisi ini dikembangkan melalui jalur politik, budaya, dan
sosial sebagai bagian integral masyarakat Muslim dan Hindu di Bali.
Kokohnya kerukunan antarumat beragama Islam-Hindu di Denpasar Bali
adalah berkat adanya peran masyarakat serta beberapa institusi yang ada
seperti institusi pemerintah, lembaga-lembaga sosial, lembaga-lembaga
politik, lembaga-lembaga keagamaan, lembagalembaga adat dan juga
masyarakat setempat. Mereka menjalin komunikasi yang intensif, sehingga
budaya menyama braya selalu melekat pada masyarakat Denpasar pada
umumnya. Dalam hal ini peran media juga tidak bisa dikesampingkan
seperti media elektronik maupun media cetak selalu menyosialisasikan
budaya menyama braya yang ada di Bali
Pustaka.

-Mashad,Dhuroruddin , Muslim Bali; Mencari KemBali Harmoni yang Hilang (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2014

- https://bimasislam.kemenag.go.id/menyambangi-kampung-kampung-muslim-di-bali

-Abdul sakap dkk, Perkembangan Islam di Bali, Program Studi Hukum Ekonomi Syariah (HES), STISNU
Nusantara Tangerang,2017

-Dhurorudin Mashad, Muslim Bali: Mencari Kembali Harmoni yang Hilang Jakarta:Pustaka Al-
Kautsar,2014

- Wahid.Abdul ,Pergulatan Pendidikan Agama Islam di Kawasan Minoritas Muslim


dalam jurnal Walisongo (Semrang: Walisongo, Volume 19, No.2, 2011

- Indriana Kartini, Dinamika Kehidupan minoritas muslim di Bali, EDISI XXXVII / NO.2 / 2011.

- Pageh I Made , (KEARIFAN SISTEM RELIGI LOKAL DALAM MENGINTEGRASIKAN UMAT HINDU-ISLAM DI
BALI), FKIP Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja. Bali. 29Agustus 2018

- Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djembatan, 1995

Anda mungkin juga menyukai