Oleh :
Jika menyebut “Bali”, maka yang terlintas dalam pikiran orang adalah
sebuah pulau dengan keindahan alamnya yang eksotis, budayanya yang unik,
dan tentu saja umat Hindunya yang mayoritas. Seorang perempuan Amerika,
yang menyebut dirinya sebagai Ketut Tantri menyatakan bahwa Bali adalah
The Last Paradise, sebuah pilihan kata untuk menggambarkan keelokan Bali
dibanding berbagai tempat lain di Indonesia. Image tersebut sudah sangat
mendunia dan dikenal di kalangan para pelancong Asing. Bahkan dengan
segala keunikan dan keindahannya, banyak orang Asing mengira Bali sebagai
Negara sendiri1. Namun Pada beberapa kabupaten/kota di Bali terdapat
beberapa kampung muslim , seperti Pangayaman di Singaraja, Loloan di
Negara, Kepaon di Denpasar, Nyuh Kuning di Karangasem. Kampung-
kampung muslim ini diperkirakan sudah ada di Bali sejak abad ke-15, pada
saat kerajaan Majapahit runtuh di Jawa. Namun ditengah-
tengah kehidupan masyarakat Hindu
yang sarat dengan ritual dan tradisinya yang kental, masyarakat muslim Bali
mampu berbaur dengan umat mayoritas dengan nuansa toleransi yang indah,
dan menjadi warna. Saat ini jumlah umat islam di Pulau Bali mencapai 9 %
1
Dhuroruddin Mashad, Muslim Bali; Mencari KemBali Harmoni yang Hilang (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2014), Vii.
dari total penduduk bali , dan keberadaan ummat Islam di pulau Bali sudah
begitu membaur dan menyebar dihampir sega penjuru, baik daerah perkotaan
maupun pedesaan. namun secara umum penyebaran ummat Islam masa kini
lebih terkonsenterasi di wilayah Denpasar dan Badung, hal tersebut bisa
dipahami karena kedua daerah tersebut merupakan daerah pariwisata utama
pulau bali. Perkembangan ummat islam di kedua daerah ini tampak pada
jumlah tempat ibadah/ masjid yang lumayan banyak di kedua daerah ini.
seperti di kuta misalnya, di Kelurahan Tuban/ Airport ada sekitar 9 buah
Masjid yang lumayan besar, belum termasuk Musholla, antara lain yang
paling megah adalah Masjid Nurul Huda di dekat Airport Ngurah Rai2.
2
https://bimasislam.kemenag.go.id/menyambangi-kampung-kampung-muslim-di-bali
membangun sebuah masjid yang diberi nama Masjid Gelgel, yang kini
merupakan tempat ibadan umat Islam tertua di Pulau Dewata.3
3
Abdul sakap dkk, Perkembangan Islam di Bali, Program Studi Hukum Ekonomi Syariah (HES), STISNU
Nusantara Tangerang, thn 2016-2017
4
Dhurorudin Mashad, Muslim Bali: Mencari Kembali Harmoni yang Hilang (Jakarta:Pustaka Al-
Kautsar,2014),hlm.1
5
Abdul Wahib,Pergulatan Pendidikan Agama Islam di Kawasan Minoritas Muslim
dalam jurnal Walisongo (Semrang: Walisongo, Volume 19, No.2, 2011), hlm. 468
lokal masyarakat Bali. Pada masa prakolonial, agama Hindu di Bali yang saat
itu disebut sebagai agama Tirta (Air Suci) atau agarna Siwa Buddha, meliputi
semua aspek kehidupan masyarakat seperti kekeluargaan,mata pencarian,
tempat tinggal, kesenian, dan lain-lain. lbadah melibatkan struktur
pemerintahan baik banjar (desa adat) dan kerajaan maupun kelompok
kekerabatan, kelompok pengairan, dan sebagainya. Puri jugadianggap seperti
sumbu bumi dan griya pusat pancaran suci sekaligus kunciupacara-upacara
pokok. Selain ciri-ciri tersebut, agama bersifat lokal dan sangat berbeda dari
satu desa ke desa yang lain.
6
ibid.
yang menyatakan bahwa Islam datang ke Bali bersamaan dengan kejayaan
kerajaan Hindu di Nusantara. Berangkat dari latar belakang tersebut, penelitian
ini akan menjabarkan lebih lanjut mengenai proses kedatangan Islam di Bali
periode pertama dari mulai urutan kedatangannya hingga sampai penerimaan
dan terbentuknya komunitas muslim atau kelembagaan sebagai bentuk
implikasinya
7
Indriana Kartini, Dinamika Kehidupan minoritas muslim di Bali, EDISI XXXVII / NO.2 / 2011. Hal 14.
Buleleng Anak Agung Gde Karangasem berhasrat menaklukkan Jembrana
karena tertarik oleh kemakmurannya.
perekat atau seperti apa yang dikatakan sebelumnya yaitu sebagai ”niat”
sehingga proses kerukunan antar umat tidak terbangun secara semu, namun
memang tumbuh atas dasar kesadaran.
budaya, seni dan bahasa kekerabatan inilah yang menjadi dasar kuat
adanya interaksi Islam dan Hindu di Bali. Budaya Bali menjadi perekat
adanya kerjasama interaksi dan rutinitas warga Desa. Praktik dialog yang
berkembang juga dilandasi oleh falsafah Budaya Bali yang “paras-paros”;
menganggap yang berbeda agama dan etnis lain sebagai “nyame” atau
saudara. Demikian juga adanya semangat “mebraya” dengan selalu
memandang orang lain sebagai bagian dari diri sendiri sehingga enggan untuk
saling mengesampingkan antara satu dengan yang lainnya8.
8
I Gede Suwindia dkk, e-journal Al-ulum , RELASI ISLAM DAN HINDU PERSPEKTIF MASYARAKAT BALI.
Volume. 12, No- 1, Juni 2012. Hal 76
tengah berbagai perubahan yang ada. Para leluhur dan pejuang Negara
Kesatuan Republik Indonesiadi masa lalu telah banyak memberikan goresan
tinta emas 9 sehingga dapat menjadikan bangsa Indonesia menjadi bersatu dan
berdaulat saling melindungi satu dengan yang lainnya.
9
Ibid.
bahkan sampai kehilangan kepribadian dan berkarakter kebaliannya. Dengan
kata lain, berkebudayaanlah sebagaimana dikehendaki wisatawan
(pariwisata-budaya), tetapi juga jangan lupa pariwisata sebagai industri untuk
menguras dollar wisatawan (budaya-pariwisata) untuk kesejahtraan bersama,
sehingga industri pariwisata itu tidak berdampak merusak budaya kebalian,
karena Bali bukan hanya milik Hindu, tetapi juga milik etnik dan budaya yang
beragama lain yang sudah hidup berdampingan di Bali sejak abad ke-12
karena faktor ekonomi. Pariwisata sebagai faktor ekonomi di Bali diharapkan
terjadi seperti pada abad ke-12, dengan peran agensi politikus (lokal-nasional)
sebagai pengendalinya10.
10
I Made Pageh, (KEARIFAN SISTEM RELIGI LOKAL DALAM MENGINTEGRASIKAN UMAT HINDU-ISLAM DI
BALI), FKIP Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja. Bali. 29Agustus 2018
dan program-program dibuat untuk melestarikan tradisi dari kepunahan.
Pemerintah dan masyarakat Bali mulai memopulerkan jargonnya “Ajeg Bali”.
Bahwa Bali harus kembali ke barak, artinya bahwa Bali harus dibangun
berdasarkan kultur Bali, dan kultur Bali dibangun bernafas Hindu. Keinginan
Bali untuk mengatur perda-perda yang bernuansa “sharî„at” Hindu mulai
diberlakukan,40 walaupun demikian perd- perda tersebut tetap memberikan
peluang pada agama-agama lain untuk hidup berdampingan, karena kultur ini
merupakan kultur yang telah dibangun Bali sejak adanya kerajaan-kerajaan
kecil di Bali seperti kerajaan Waturenggong di Klungkung dan Kerajaan
Badung di Denpasar.
11
Koentcaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djembatan, 1995), h. 286
3. Waisya, yang termasuk dalam golongan ini adalah para petani,
pedagang dan pengusaha, gelar panggilan yang digunakan adalah
gusti.
1. Anak yang paling tua disebut Wayan untuk laki-laki dan perempuan.
2. Anak yang kedua memiliki nama panggilan Made untuk laki-laki dan
perempuan.
12
5 Karim, Islam, h. 136-137.
4. Anak yang ke empat memiliki panggilan Ketut untuk laki-laki dan
perempuan. Untuk anak yang kelima dan seterusnya, biasanya
menggunakan nama panggilan Ketut13.
13
I Made Suasthawa Dharayuda, Kebudayaan Bali Pra Hindu, Masa Hindu dan Pasca Hindu (Denpasar:
Kayumas Agung, 1995), h. 45.
14
I Gede Pitana, Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali (Denpasar: Bali Pustaka, 1994), h. 116.
c. Neduh, dilaksanakan pada saat padi berumur satu bulan di sawah,
dengan harapan agar tidak terserang hama penyakit. Biukukung,
dilakukan pada saat terjadi bunting.
a. Myaes, suatu upacara yang dilakukan pada saat padi berumur satu
bulan di sawah, dengan harapan agar padi tidak mengalami gangguan
hama atau penyakit serta gangguan-gangguan lainnya
15
I Gede Pitana, Subak Sistem Irigasi Tradisional Bali (Denpasar: Upada Sastra, 1997), h. 36
PENUTUP
-Mashad,Dhuroruddin , Muslim Bali; Mencari KemBali Harmoni yang Hilang (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2014
- https://bimasislam.kemenag.go.id/menyambangi-kampung-kampung-muslim-di-bali
-Abdul sakap dkk, Perkembangan Islam di Bali, Program Studi Hukum Ekonomi Syariah (HES), STISNU
Nusantara Tangerang,2017
-Dhurorudin Mashad, Muslim Bali: Mencari Kembali Harmoni yang Hilang Jakarta:Pustaka Al-
Kautsar,2014
- Indriana Kartini, Dinamika Kehidupan minoritas muslim di Bali, EDISI XXXVII / NO.2 / 2011.
- Pageh I Made , (KEARIFAN SISTEM RELIGI LOKAL DALAM MENGINTEGRASIKAN UMAT HINDU-ISLAM DI
BALI), FKIP Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja. Bali. 29Agustus 2018