Anda di halaman 1dari 29

CORAK KEBERAGAMAN UMAT ISLAM DI INDONESIA

Dosen Pembimbing : Saeful Manan


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Agama Islam

Oleh

Hery wahyu 181411079

Naufal Rafi Prabawa 181411083

Paqih Purnama Alam 181411084

Kelas/prodi :

I C / D-3 Teknik Kimia

PROGRAM STUDI D-3 TEKNIK KIMIA


JURUSAN TEKNIK KIMIA
POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2018/2019
Kata pengantar

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan pertolongannya. Shalawat serta salam kami limpahkan kepada
Nabi Muhammad SAW, yang telah menuntun manusia ke jalan kebahagiaan
hidup di dunia maupun di akhirat.

Pembuatan makalah dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman dan


wawasan mengenai “corak keberagaman Islam di Indonesia”, serta untuk
melengkapi tugas kelompok mahasiswa mata kuliah “Pendidikan Agama
Islam”. kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak akan terwuwjud
tanpa ada bantuan, bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena
itu dengan segala hormat kami mengucapkan rasa termakasih kepada :

 Syaepul Manan M.Pd.I


 Rekan-rekan mahasiswa yang susah memberikan masukan untuk makalah
ini

Demikian makalah ini kami buat semoga bermanfaat

Bandung , September 2018

Kelompok 9

i
DAFTAR ISI
Cover

Kata pengantar .......................................................................................................... i

Daftar isi .................................................................................................................... ii

Bab 1 Pendahuluan ................................................................................................... 1

1.1 Latar belakang ................................................................................................ 1

1.2 Rumusan masalah ........................................................................................... 1

1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................................ 1

Bab 2 pembahasan .................................................................................................... 2

2.1 Corak keberagaman islam di Indonesia .......................................................... 2

2.2 kedudukan islam diantara agama lain di Indonesia ........................................ 19

Bab 3 Penutup ............................................................................................................ 21

3.1 Kesimpulan .................................................................................................... 21

3.2 Saran ............................................................................................................. 21

Daftar Pustaka ............................................................................................................ 22

ii
ii
BAB 1
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Seperti yang kita tahu bahwa Indonesia adalah negara kepulatuan yang menjunjung
tinggi nilai ketuhanan. Ada enam agama yang tercatat di Indonesia yaitu Islam,
Protestan, Hindu, Budha Kong Hu Cu, dan Katolik. Di Indonesia agama mayoritas yaitu
Islam karena Indonesia Negara Kepulauan dengan adat-istiadat yang berbeda dan unik
maka di Indonesia Islam berbaur dengan adat-istiadat penduduk setempat. Akibat dari
banyaknya ragam budaya di Indonesia maka lahirlah corak-corak agama di Indonesia
yang tumbuh berbanding lurus dengan adat-istiadat.Namun, dengan keberagamannya
tersebut inti dari ajaran agama Islam tidak berubah dan tidak ada yang di hilangkan akan
tetapi banyak perbedaan dari segi budaya mengikuti adat-istiadat di berbagai daerah.

1.2 Rumusan Masalah


1) Bagaimana corak keberagaman islam di Indonesia?
2) Bagaimana kebudayaan islam di Indonesia?
2) Bagaimana kedudukan islam diantara agama – agama di Indonesia?

1.3 Tujuan Penulisan

1) Mengetahui corak keberagaman islam di Indonesia

2) Mengetahui kebudayaan islam di Indonesia

3) Mengetahui kedudukan islam diantara agama –agama lain di Indonesia

1.
BAB 2

Pembahasan
2.1 Corak keberagaman islam di Indonesia

1) Aceh
Pembangunan masjid di Bali sejak abad XIV hingga sekarang mengalami akulturasi
dengan unsur arsitektur tradisional Bali atau menyerupai stil wantilan. Akulturasi dua unsur
seni yang diwujudkan dalam pembangunan masjid menjadikan tempat suci umat Islam di
Bali tampak berbeda dengan bangunan masjid di jawa maupun daerah lainnya di indonesia
Pemeluk agama Islam di Aceh merupakan mayoritas, dibandingkan dengan agama-agama
lain. Salah satu contoh corak keberagamaan masyarakat muslim di Aceh terlihat
dari Parlemen Aceh yang akhirnya mengesahkan Qanun Hukum Jinayah sebagai pedoman
baru pelaksanaan syariat Islam. Penerapan hukum Islam berupa cambuk dan denda emas bagi
pelanggar syariat, termasuk non-muslim dan anak-anak, segera berlaku di provinsi
itu. Peraturan tersebut tentu berbeda dengan peraturan yang ada di provinsi selain Aceh.

Dengan disahkannya Qanun Hukum Jinayah, maka di Aceh akan berlaku hukuman
cambuk atau denda dengan bayar emas murni bagi pelaku pemerkosaan, perzinaan, pelecehan
seksual, praktik gay, lesbian, mesum, perjudian, mengonsumsi minum keras dan bermesraan
dengan pasangan bukan muhrim. Bukan hanya pelaku, orang yang ikut menceritakan ulang
perbuatan atau pengakuan pelaku jarimah secara langsung atau melalui media juga dikenakan
hukuman cambuk.

Sanksi cambuk bukan hanya berlaku bagi mereka yang beragama Islam. Warga non-

muslim, anak-anak dan badan usaha yang menjalankan bisnisnya di Aceh, jika melakukan
pelanggaran syariat, juga akan dikenakan hukuman dalam qanun ini. Hanya saja bagi non-
muslim diberi kelonggaran yakni bisa memilih apakah diproses dengan qanun atau hukum
nasional yang berlaku.

Selain itu corak keberagamaan muslim di aceh terlihat dari tradisi orang Aceh yang
menganggap musholla lebih signifikan dibandingkan dengan masjid. Menurut Andrew
Beatty, karena hidup berkeluarga adalah arena utama dari kehidupan social dan bidang di
mana tindakan moral dibentuk dan dinilai, maka musholla memiliki arti penting praktis yang
lebih besar. Sebuah desa di Aceh dapat bertahan tanpa masjid karena shalat Jumat dilakukan

2
di sebuah mesjid kemukiman. Tetapi tanpa mushalla (Meunasah), maka kesalehan akan
terhenti menjadi patokan normatik: kewajiban skriptual tetap kewajiban, tetapi solidaritas
sesama muslim akan memudar.

2. Bali

Islam di Bali merupakan agama minoritas yang dianut oleh 520.244 jiwa atau 13,37%
dari 3.890.757 jiwa penduduk Bali. Konsentrasi terbesar umat Islam di Bali terdapat di Kota
Denpasar dengan jumlah 200 ribu jiwa lebih. Islam masuk ke Bali diperkirakan pada abad ke-
13 dan 14 melalui Kerajaan Gelgel, namun tepatnya belum ada penelitian yang pasti.
Penelitian tentang asal muasal Islam di Bali masih terhitung langka. Sangat sulit untuk
mendapatkan sumber tertulis mengenai sejarah masuknya Islam ke pulau Bali pertama kali.

Pembangunan masjid di Bali sejak abad XIV hingga sekarang mengalami akulturasi
dengan unsur arsitektur tradisional Bali atau menyerupai stil wantilan. Akulturasi dua unsur
seni yang diwujudkan dalam pembangunan masjid menjadikan tempat suci umat Islam di
Bali tampak berbeda dengan bangunan masjid di Jawa maupun daerah lainnya di Indonesia.

Agama Islam dan Hindu, Sesungguhnya memiliki banyak persamaan bahkan terjadi
akulturasi menyangkut seni dan budaya dari kedua agama tersebut di Bali . Bukti lain dari
terjadinya akulturasi Islam–Hindu adalah di Desa Pegayaman–Buleleng, Kepaon–Denpasar,
serta Desa Loloan Di Jembrana. Di desa Pegayaman misalnya sebagian besar warganya
memeluk agama Islam, namun nama depan sebagian besar warganya sama seperti orang Bali
pada umumnya, sehingga muncul nama seperti misal Wayan Muhammad Saleh atau Made
Jalaluddin. Dalam Budaya, umat Islam Bali telah ‘berbaur’ dengan budaya setempat, terlihat
dari lembaga adat yang tumbuh di masyarakat muslim Bali sama dengan lembaga adat
masyarakat Bali Hindu.

Dalam pengairan bidang pertanian tradisional (Subak) misalnya, umat muslim


menerapkan cara dan pola pengaturan air seperti yang dilakukan petani yang beragama
Hindu, meskipun cara mensyukuri saat panet berbeda. Propinsi Bali membentuk wadah
komunikasi antar umat beragama untuk mengadakan komunikasi dan menjembatani berbagai
permasalahan yang menyangkut anatar umat beragama. Pembentukan wadah tersebut,
awalnya mengantisipasi konflik yang bernuansa kesukuan, agama, ras, anatar– olongan (
SARA) yang sempat melanda di beberapa daerah di Indonesia. Gagasan yang mendapat
dukungan dari semua pihak itu terbukti mampu menciptakan kehidupan yang lebih akrab,
saling menghormati dan menghargai serta melindungi satu sama lain.

3
Kampung Kecicang Islam berada di kawasan Banjar Dinas Kecicang Islam, Desa
Bungayan Kangin, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem. Kampung ini adalah
kampung Islam terbesar di Kabupaten Karangasem, Bali dengan penduduk mencapai 3.402
kepala keluarga. Penduduk Kampung Kecicang mempercayai bahwa leluhur mereka berasal
dari penduduk kawasan Tohpati Buda Keling. Setelah raja mereka meninggal, raja baru
memindahkan penduduknya dari Tohpati ke Kecicang dengan cara membuka hutan. Nama
Kecicang sendiri diambil dari nama bunga berwarna putih yang biasa dimasak oleh
masyarakat setempat. Namun, sebagian penduduk mengatakan bahwa Kecicang berasal dari
kata incang-incangan yang berarti 'saling mencari saat perang pada zaman kerajaan'.

Berbeda dari mayoritas penduduk Bali yang beragama Hindu, seluruh warga
Kampung Kecicang menganut Islam. Nuansa Islami pun begitu kentara di kampung yang
sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian sebagai pedagang dan petani itu.

Salah satu bukti nyata eksistensi Islam di Kampung Kecicang adalah keberadaan
Masjid Baiturrahman. Masjid yang telah berdiri sejak akhir abad 17 itu tak sekadar menjadi
tempat ibadah, tapi juga menjadi ikon dan identitas Muslim Kecicang. Selain masjid, nuansa
Islam di kampung ini dapat dirasakan melalui beragam tradisi kearifan lokal yang masih
dilestarikan oleh masyarakatnya. Warga Kecicang memiliki tari-tarian khas bernama Tari
Rudat yang merupakan akulturasi budaya Bali dan Timur Tengah. Mereka juga menjalankan
tradisi ritual keagamaan seperti tahlil, ziarah, dan selamatan.

Sebagaimana masyarakat Muslim di Bali lainnya, hubungan antara masyarakat


Kecicang Islam dengan mayoritas penganut Hindu di Bali terjalin harmonis sejak lama.
Keharmonisan ini dibuktikan saat pelaksanaan tradisi tahunan salat Idul Fitri, di mana
sejumlah pecalang (polisi adat) turut serta membantu mengamankan hari raya umat Islam
tersebut. Demikian pula sebaliknya, ketika umat Hindu merayakan Nyepi, Muslim Kecicang
turut pula menjaga keamanan dan memberi hadiah makanan.

2) Yogyakarta
Yogyakarta merupakan kota yang penuh dengan berbagai macam adat dan budaya,
masyarakat Yogyakarta yang mayoritas beragama islam, banyak memadukan antara unsur
agama islam dengan adat-adat dan kebiasaan lokal di daerah tersebut.
Hubungan dan kolaborasi antara Islam dengan budaya lokal tidak lagi dipandang sebagai
unsur yang saling menaklukan atau ditaklukan, namun saat ini telah dipandang sebagai dua
hal yang saling melengkapi dan semakin menunjukkan kekayaan atau keberagaman ekspresi
budaya Islam, setelah bersinggungan atau bertemu dengan bangunan budaya lokal.
Islam tidak selalu dipandang sebagai agama yang kaku, islam dapat menerima dan
mengapresiasi budaya lokal selama itu tidak melenceng dari nilai-nilai islam. Di sisi lain,
budaya lokal tidak pulaselalu kita pandang sebagai bagian yang harus selalu mengalah

4
kepada Islam, namun budaya lokal pasti mempunyai kacamata tersendiri dalam
mengekspresikan Islam menurut perspektifnya sendiri. Cara pandang seperti ini memberikan
sikap saling menghargai antara kedua perspektif tersebut.

Pada zaman kerajaan islam terdahulu, kebudayaan masyarakat Yogyakarta masih


kental dipengaruhi oleh ‘warisan’ budaya Majapahit dan Syiwa Budha, namun sedikit demi
sedikit sudah mulai diarahkan pada budaya dan pola interaksi yang islami. Di sinilah peran
Sunan Kalijaga, dalam catatan sejarah, memberikan andil yang begitu besar. Hasilnya adalah
terdapat sejumlah upacara kerajaan yang telah diislamisasi sebagai syiar Islam di tengah
masyarakat, seperti sekaten, rejeban, grebeg, upacara takjilan dan tentu saja wayang yang
masih ada hingga kini.

a) Upacara Sekaten

Kata sekaten dari bahasa Arab syahadatain, yang artinya dua syahadat, merupakan
nama dua buah gamelan yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga dan ditabuh pada hari-hari
tertentu atau pada Perayaan Maulud Nabi di Masjid Agung. Pendapat lainya menyatakan
bahwa, kata sekaten, berasal dari bahasa Arab, yaitu syshadatain, yang berarti dua Syahadat
atau kesaksian. Dua syahadat itu ialah syahadat auhid, dan syahadat rasul.

Menurut sejarahnya, perayan Sekatan bermula sejak zaman kerajaan islam Demak.
Meski sebelumnya, ketika jaman pemerintahan Raja Hayam Wuruk di Majapahit, perayaan
semacam Sekaten yang disebut “Serdaagung” itu sudah ada. Perayaan yang menjadi tradisi
kerajaan Majapahit tersebut, berupa persembahan sesaji kepada para dewa, disertai dengan
mantra-mantra, sekaligus untuk menghormati arwah para leluhur.

Penguasa keraton Yogyakarta, sampai sekarang masih melestarikan perayaan Sekaten


untuk memperingati Maulud Nabi. Perayaan Sekaten itu merupakan salah satu bentuk
perpaduan unsur Islam dan Budaya Jawa. Sedangkan unsur yang tidak dapat disatukan,
seperti pemujaan arwah leluhur tidak dilakukan.

Puncak dari perayaan sekaten adalah upacara Grebeg yang merupakan ritual budaya
untuk memperingati hari Kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW. Gelaran sekaten biasanya
dilangsungkan hingga 40 hari, belakangan hanya dilaksanakan 20 hari.

b) Upacara Grebeg

Garebeg adalah upacara adat Kraton Yogyakarta yang diselenggarakan tiga kali dalam
satu tahun untuk memperingati hari besar Islam. Mengenai Istilah, Garebeg ini berasal dari
bahasa Jawa “Grebeg” yang berarti “diiringi para pengikut”, yakni upacara menghantarkan

5
Sultan dari Keraton menuju masjid untuk mengikuti Perayaan Maulud Nabi Muhammad saw.
yang diikuti juga oleh para pembesar dan pengawal Istana lengkap dengan nasi gunungannya.

Pengertian lain mengatakan bahwa Gunungan itu di perebutkan warga masyarakat


yang berarti di Grebeg atau Garebeg. Pelaksanaan upacara Tersebut bertepatan dengan hari-
hari besar Islam seperti :

 Garebeg syawal
 Garebeg besar
 Garebeg maulud

c) Wayang

Merupakan sarana yang digunakan oleh Sunan Kalijaga sebagai media


mendakwahkan Islam (dakwahtainment). Wayang yang sudah ada sejak Kerajaan Kahuripan
itu menjadi salah satu hiburan masyarakat yang paling populer.

3) Sulawesi

1. Tradisi Pembacaan Kitab Barazanji


Agama Islam masuk ke Sulawesi Selatan dengan cara yang sangat santun dan menghormati
kebudayaan serta tradisi masyarakat Bugis Makassar. Buktinya dapat dilihat dalam tradisi-
tradisi keislaman yang berkembang di Sulawesi Selatan hingga kini.Tradisi barazanji salah
satunya, yaitu tradisi pembacaan Barazanji, sebuah kitab yang berisi sejarah Nabi
Muhammad SAW. Kitab tersebut dibacakan setiap hajatan dan acara doa-doa selamatan.
pembacaan barazanji juga diadakan pada setiap perayaan siklus kehidupan, seperti perayaan
alahere (kelahiran anak), aqeqah (aqiqah), appasunna (khitan), appatamma (menamatkan
pendidikan atau bacaan alquran), appabunting (perkawinan), menre bola (naik rumah), baik ri
makkah (akan berangkat haji), ammateang (kematian), dan lain sebagainya.Pembacaan
barazanji juga suka dijadikan ladang untuk mencari rezeki bagi anak-anak bahkan orang
dewasa yang mondok di pesantren atau yang memang mempelajari cara pembacaan barazanji
dengan indah.

2. Tradisi Perayaan Maulid Nabi, “Ammaudhu

Dalam masyarakat Bugis Makassar perayaan-perayaan hari-hari besar Islam masih sangat
kental dengan nuansa dan warna sinkretisme. Contohnya adalah perayaan maulid Nabi
Muhammad SAW yang memiliki rentetan acara sebagai berikut :

6
 Appakaramula
 Ammone baku
 Ammode baku
 Angngantarakanremaudu
 Pannarimangkanremaudu
 A’rate (assikkir)
 Pammacangsalawa
 Pattoanang
 Pabbageangkanremaudu

Perayaan hari-hari besar Islam juga menghadirkan pembacaan zikir Barazanji

barazanji juga dibacakan acara-acara Islam yang diadakan dengan perayaan khusus, seperti
Isra Mi’raj, sepuluh Muharram, bahkan pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.

3. Tradisi Berziarah
Tradisi berziarah biasanya dilaksanakan usai pelaksanaan acara penting dalam hidup
seseorang. Seperti usai melaksanakan acara perkawinan maka kedua mempelai mengunjungi
kuburan (berziarah) ke makam keluarga dan nenek moyangnya.

4. Tradisi Memulai Mengaji dan Nipatamma


Tradisi ini berkenaan dengan permulaan mengaji bagi anak-anak di kampung yang
“mengaji kampung”. Biasanya dipersyaratkan sebelum memulai mengaji di tuan guru atau
pada “guru mengaji” untuk membawa pisang beberapa sisir ke rumah sang guru.Berbeda
dengan guru TK/TPA yang umum dikenal sekarang ini, sang guru mengaji kampung ini
biasanya tidak digaji tapi cukup dibalas dengan keharusan bagi murid-muridnya untuk
mengangkatkan air untuk kebutuhan sehari-hari sampai tempat air (baranneng) sang guru
penuh.Setelah anak-anak mengaji tersebut khatam juz ‘amma atau alquran 30 juz, mereka
disyaratkan untuk “Nipatamma”, yaitu tradisi mengakhiri suatu kumpulan bacaan dengan
hantaran makanan berupa pisang beberapa sisir, makanan sokko’ (beras ketan) yang di
dalamnya terdapat ayam, telur, dan lain sebagainya yang dibaca dalam satu “kappara” (wadah
makanan yang disajikan).

7
5. Tradisi Maleppe (Lebaran)

Tradisi ini dilaksanakan saat perayaan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Tradisi ini
dikenal secara umum dengan istilah “lebaran” atau “Maleppe”. Tradisi ini dilaksanakan
seusai melaksanakan sholat ied. Masyarakat berbondong-bondong saling mengunjungi satu
sama lain sesama kerabat handai taulan. Kegiatan saling mengunjungi ini disebut “assiara”
(silaturahmi).

Biasanya, di rumah-rumah penduduk disajikan makanan khas lebaran, seperti burasa,


mandura atau ketupat.

6. Tradisi Perayaan 10 Muharram (Asyura)

Tradisi ini ditandai dengan ramainya masyarakat Bugis Makassar di daerah-daerah


pedalaman membuat bubur yang disebut “jepe syura”. Bubur tersebut dihiasi dengan berbagai
macam potongan-potongan panjang telur dadar warna-warni, tumpi-tumpi kecil, udang, dan
lain-lain.

7. Upacara Khitanan
Sunatan atau khitanan merupakan salah satu upacara yang senantiasa dilaksanakan
sebagai pelengkap dalam daur hidup masyarakat Bugis Makassar. Kegiatan ini dilaksanakan
pada saat anak laki-laki berusia sekitar 13 tahun.dan pada anak perempuan berusia 5 – 7
tahun. Bagi laki-laki, sunatan disebut dengan massunna sedangkan bagi perempuan disebut
dengan Makkatte’. Sedangkan kegiatannya sendiri disebut dengan appasunna. Acara sunatan
ini sering juga disebut dengan mappaselleng (pengislaman). Pada anak perempuan disertai
dengan upacara ripabbajui (mappasang baju bodo), sebanyak lima atau tujuh lembar. Upacara
ripabbajui ini merupakan upacara pertama kalinya seorang anak mengenakan baju bodo.

8
4) Sumatra Barat
1. Tabuik

Tabuik merupakan acara adat yang dilakukan pada tanggal 10 Muharram dalam rangka
memperingati hari Asyura atau wafatnya Husein, cucu Rasulullah SAW. Masyarakat yang
merayakan acara ini biasanya adalah mereka yang berada di sekitar pantai Sumatra Barat.
Acara yang berasal dari Persia ini mulanya hanya dilakukan oleh orang Syiah, tetapi seiring
dengan waktu orang Sunni pun ikut merayakan

2. Balimau

Balimau merupakan acara yang diperingati saat sudah mendekati bulan Ramadhan,
yaitu dengan cara mandi dengan menggunakan limau (jeruk nipis). Pada dasarnya,
perempuan tidak perlu ikut acara ini, tapi karena acara ini sudah menjadi suatu rekreasi, maka
perempuan pun turut ikut dalam acara ini.

3. Makan bajamba

Acara ini sering pula disebut dengan barapak. Barapak dilaksanakan dengan cara
makan bersama secara beramai – ramai di suatu tempat tertentu. Tujuan acara ini adalah
untuk mengikat tali kebersamaan dan menghilangkan status sosial di antara masyarakat.

5) Nusa Tenggara

Dalam adat Sasak pernikahan sering disebut dengan merari’. Secara etimologis kata merari’
diambil dari kata “lari”, berlari. Merari’an berarti melai’ang artinya melarikan. Kawin lari,
adalah sistem adat penikahan yang masih diterapkan di Lombok. Kawin lari dalam bahasa
Sasak disebut merari.

Secara terminologis, merari’ mengandung dua arti. Pertama, lari. Ini adalah arti yang
sebenarnya. Kedua, keseluruhan pelaksanaan perkawinan menurut adat Sasak. Pelarian
merupakan tindakan nyata untuk membebaskan gadis dari ikatan orang tua serta
keluarganya

9
Tradisi merari’ ini merupakan bagian dari kebudayaan. Kebudayaan dan kehidupan sosial
masyarakat Lombok tidak bisa lepas dari dikotomi kebudayaan nusantara. Ada dua aliran
utama yang mempengaruhi kebudayaan nusantara, yaitu tradisi kebudayaan Jawa yang
dipengaruhl oleh filsafat Hindu-Budha dan tradisi kebudayaan Islam.

Merari’ sebagai sebuah tradisi yang biasa berlaku pada suku Sasak di Lombok ini memiliki
logika tersendiri yang unik. Bagi masyarkat Sasak, merari’ berarti mempertahankan harga
diri dan menggambarkan sikap kejantanan seorang pria Sasak, karena ia berhasil mengambil
[melarikan] seorang gadis pujaan hatinya. Sementara pada isi lain, bagi orang tua gadis yang
dilarikan juga cenderung enggan, kalau tidak dikatakan gengsi, untuk memberikan anaknya
begitu saja jika diminta secara biasa [konvensional], karena mereka beranggapan bahwa
anak gadisnya adalah sesuatu yang berharga, jika diminta secara biasa, maka dianggap
seperti meminta barang yang tidak berharga.

6) Kediri

Sejarah Islam di Jawa secara arkeologis adalah dimulai dari abad ke-13 khususnya di
Jawa dibuktikan dengan angka tahun yang tertera pada nisan Fatimah binti Maimun bin
Hibatallah dengan angka tahun 475 H (1082 M). Realitas persebaran Islam dibawa oleh
pengelana dan pedangang dari pelabuhan Siraf di Teluk Persi. Pendapat Donald Maclain
Campbell dalam bukunya Java, menyatakan bahwa orang-orang Arab muslim dan Persi telah
bekerja sama dalam mendirikan Kerajaan Majapahit.
Mereka juga bersekutu dalam mendirikan kerajaan Jenggala, Daha dan Singasari. Mereka
telah memiliki pemukiman. Pendapat tentang nisan Fatimah binti Maimun bin Hibatallah
menunjukkan dinamika pelabuhan internasional kerjaan Panjalu di daerah Kambang Putih
dan Hujung Galuh sebagai pelabuhan dagang internasional. Pembuktian secara artefaktual
dapat ditunjukkan satu bukti namun sangat lemah yaitu adanya tulisan yang berupa epitaph di
makam Setono Gedong. Epitaf itu menyebutkan gelaran-gelaran yang dimakamkan di tempat
itu.
Sumber tertulis berasal dari Ramalan Jayabaya Musasar (Awujud Tembang) memberikan
penjelasan bahwa Islam masuk ke Jawa jauh sebelum adanya walisongo. Bahkan bukti nyata
tentang pemukiman di Leran, memberikan informasi jelas bahwa pada abad ke 10-13
kekuasaan yang ada adalah Panjalu di Kediri dan Jenggala di Kahuripan mempunyai
pengaruh besar tehadap masyarakat internasional. Hal ini dipertegas tentang komunikasi

10
perdagangan di Pelabuhan Hujung Galuh dan Kambang Putih jauh sebelum masa Kediri
sudah ada. Bukti Islam sudah ada di komunitas di pusat Kerajaan Panjalu atau Kediri
mendasari keyakinan masyarakat memenang (pusat Kerajaan Kediri masa Jayabaya)
mengadakan ritual yang disebut suroan sebagai indikasi pewarisan sikritisme budaya Islam
dan Hindu-Budha pada masa Jayabaya.
Daerah Kediri pada masa lalu memiliki peranan yang sangat penting menjadi pusat suatu
kerajaan baik yang berdiri sendiri(otonom), yaitu pada masa Kerajaan Kadhiri, maupun
menjadi kerajaan bawahan(Vassal) pada masa Kerajaan Singhasari sampai Majapahit.
Peranan penting tersebut juga masih terlihat pada masa terjadinya transisi kepercayaan dari
Hindu-Budha ke masa perkembangan Islam, atau disebut dengan masa peralihan(Juma’in,
2010:111-112).
Masa peralihan suatu periode dalam perjalanan sejarah masyarakat Nusantara yang ditandai
dengan terjadinya transisi kebudayaan dari zaman Hindu-Budha ke Islam secara
resmi(Damais dalam Juma’in, 2010:25). Masa peralihan terjadi sekitar abad XIV-XVI
Masehi. Meskipun sebenarnya bila dilihat dari peninggalan yang paling tua, Agama Islam
sudah masuk ke Jawa sekitar abad XI-XII Masehi dengan dibuktikan adanya kosa kata dalam
Kitab Bharatayudha, Gatotkacasraya, dan Prasasti Panumbangan yang sejaman dengan
pemerintahan Raja Jayabaya dari Kerajaan Kadhiri(1135-1157). Penyebab lambatnya
perkembangan Islam pada saat itu adalah masih kuatnya pengaruh dari Kerajaan Hindu-
Budha yang antara lain, masa Wangsa Isyana(Mpu Sindok), masa Airlangga, Jenggala dan
Kadhiri pada kurun waktu abad XI-awal abad XIII Masehi, serta dilanjutkan
masa Singhasaridan Majapahit pada abad XIII-XV Masehi. Pada saat keruntuhan Majapahit
inilah mulai muncul kerajaan-kerajaan Islam di Pulau Jawa, yang salah satunya adalah
Kerajaan Demak yang merupakan kerajaan Islam Pertama di Pulau Jawa dan didirikan oleh
keturunan Majapahit yang bernama Raden Patah.
2. Adat dan Kebudayaan Masyarakat Islam di Kediri

 Ngerampong Macan

Untuk merayakan Hari Lebaran setelah berpuasa sebulan penuh, zaman dulu di alun-alun
diadakan berbagai macam keramaian. Ibaratnya, semua penduduk hadir di alun-alun,
menonton keramaian menyambut Lebaran. Berhubung Idul Fitri merupakan Hari Raya yang
hanya sekali dalam setahun, maka saat eksekusi terhadap harimau yang tertangkap tadi

11
dijatuhkan bersamaan dengan jatuhnya Hari Pertama Idul Fitri, atau tepatnya tanggal 1
Syawal, sekaligus dijadikan tontonan atau hiburan.
Menjelang pukul delapan para penggede atau priyayi bersiap dengan berdandan
habis-habisan, memakai kampuh dan kuluk, duduk lesehan, masing-masing membawa
tikar atau alas duduk. Sekitar pukul delapan tiga puluh, secara serentak para
pembesar tadi masuk ke Paseban (tempat untuk menghadap para pembesar) dan
menggunakan payung untuk berlindung dari terik matahari. Perjalanan mereka
diiringi dengan Gendhing Monggang. Di Paseban para pembesar tadi diterima oleh
sang Bupati dengan salam selamat datang. Sedangkan para pembesar dari negeri
seberang menyampaikan penghormatan kepada Bupati, kemudian dilanjutkan dengan
arak -arakan encek yang mengelilingi arena dan berhenti di depan pendapa.
Acara dilanjutkan dengan membawa hidangan dari pendopo Kabupaten yang
selanjutnya diserahkan kepada Pengulu di Masjid, untuk diadakan doa selamat.
Setelah acara selesai, para pembesar kembali ke peristirahatan untuk berganti
baju keprajuritan. Mereka memakai celana, jas tutup hitam yang biasa digunakan
untuk menghadap bupati (sikep), ikat kepala (udheng) dan topi pet, membawa
keris dan selanjutnya diselipkan di punggung; kemudian mencari tempat duduk
sesuai dengan golongan, wilayah, dan kedudukannya, di sekitar Beringin Kurung.
Sedang para tamu dari negeri seberang, Nyonya dan Tuan, para bangsawan putri ,
nonton dari atas panggung.
Setelah barisan priyayi tadi keluar dari mesjid, para lurah sudah bersiaga dalam
barisan sesuai dengan tempatnya. Semua menancapkan tumbaknya ke tanah, berjajar
dengan jarak sekitar 30 sentimeter, mengelilingi arena hingga empat atau lima
lapis. Tombak yang tangkainya pendek diletakkan di depan, yang tangkainya
panjang di belakang. Pukul sebelas, bupati, patih, dan mantri kabupaten
serentak masuk barisan. Bupati mengendarai kuda abu-abu, menerabas untuk
memundurkan barisan yang terlalu maju. Setelah semua siap dan tertata rapi, sang
Bupati naik ke atas panggung bersama para tamu. Hal tersebut merupakan isyarat
bahwa rampogan segera dimulai.
Di antara barisan di beringin kurung dan barisan di pinggir ada peti kayu
dengan panjang sekitar 1,5 meter, dengan tinggi sekitar 60 sentimeter, ditata
menghadap keluar, membelakangi barisan dalam. Itulah kerangkeng harimaunya, yang
masih terkunci dengan dipantek bambu, ditutup dengan papan, diberi pengait

12
panjang hampir mencapai Beringin Kurung. Tukang melepas harimau yang disebut
gandek juga sudah bersiaga di barisan bagian dalam.
Tepat pukul dua belas, gandek diberi isyarat untuk melepas harimau. Biasanya,
yang dikukuhkan menjadi gandek adalah Kepala Desa yang pemberani dalam
menghadapi macan. Setelah menyembah Bupati, gandek naik ke atas kerangkeng,
menebas pantek bambu. Setelah selesai, ia turun dan masuk ke dalam barisan.
Selanjutnya tali ditarik, kerangkeng-kerangkeng berantakan papan penutupnya,
jatuh menimpa si harimau.
Si harimau menengok ke kanan dan ke kiri, mungkin karena silau, atau pusing
karena kejatuhan papan. Bahkan, ada harimau yang lucu, keluar dari kerangkeng
hanya terbengong sekitar lima menit, berjalan pelan, termenung sebentar kemudian
menguap, termenung lagi, bergulung-gulung di rerumputan, terlentang, berpanas
matahari. Orang-orang yang menonton bersorak-sorak gegap gempita, dengan maksud
agar harimau segera lari menerabas barisan tombak. Jika harimau tidak
menghiraukan, kemudian ada yang melempar kembang api, didatangi, digoda sertadiacungi
tombak
Ketika ada rampogan, di pekarangan yang berdekatan dengan alun-alun-alun,
dibuatkan kandhang macan yang terbuat dari ruyung (pohon aren/kelapa) ataubesiukuran 2 X
2 X 2 M, yang diatur berjajar. Tentu saja kandang tadi dijagasiang
malam. Harimau yang besar, kandangnya terbuat dari ruyung. Alasannya, supaya harimau
tidak bisa keluar dari krangkeng karena takut terselusup (tlusupen, Jawa) ruyung. Sebaliknya,
jika hanya menggunakan besi, meski besarnyasebesar tangkai sabit, tetap bisa dijebol.
Kandang tadi dipasangi pintu seperti pintu bagasi mobil, sedang bagian atas diberi atap yang
terdiri atas 2 bagian papan yang menjadi atapnya.
Bersamaan dengan keramaian rampogan, arena yang luas di alun-alun dikelilingi
ribuan orang, yang berdiri tegak memegang tumbak. Semua mata tertuju ke kandang macan.
Dengan peralatan yang dapat menarik pintu ke arah atas, maka tatkala
tali ditarik dari kejauhan, kerangkeng itu akan rusak berantakan, dan menimpa
harimau di dalamnya. Karena terkejut, harimau lari keluar, yang akan disambut
dengan ribuan tombak yang runcing. Inilah yang disebut rampogan, atau dengan
kata lain membunuh harimau dengan cara dirampog atau dikeroyok dengan ribuan
senjata.
Sekitar pukul 14.00 rampogan sudah selesai. Kalau sudah begitu, banyak orang
menyesali tombaknya. Katanya, tombaknya takut macan, baru diarahkan saja si

13
tombak sudah letoi, mlungker. Kepercayaan orang waktu itu, memang ada tombak
yang penakut. Sambil memukuli si tombak, orang tersebut mengomel, “Tombak macam
apa ini, disayang-sayang, dihormati, dan dikutuki (dibakarkan kemenyan) setiap
hari Jumat, tapi saat dibawa ngrampog kok memalukan. Baru lihat gerak-gerik
macan saja, sudah letoi. Awas ya, jika sudah sampai di rumah akan kugadaikan
kamu!”, begitu omelnya kepada si tombak miliknya.
Menurut kepercayaan orang-orang di masa itu, ampuh tidaknya suatu tombak bisa
dilihat pada saat ada rampogan tersebut. Menurut pembicaraan umum, kalau
tombaknya ampuh, konon saat si harimau lewat di hadapannya, bahu dari si
pemegang tombak serasa seperti ditarik oleh sesuatu. Meskipun hanya terasa
sesaat saja, si harimau akan terimbas. Ada lagi cerita, kalau kerisnya ampuh,
manakala berjumpa dengan harimau, si keris akan menongolkan diri dan melompat
sendiri. Maka tidak heran saat membawa jenis yang seperti itu, si keris haruslah
dibungkus terlebih ahulu

 Tradisi Suro’an

Tradisi suro’an ini merupakan tradisi kuno yang sudah lama berkembang di Jawa Timur
terutama berkembang dan sampai saat ini masih dilakukan di Wilayah Selatan, seperti Kediri,
Tulungagung, dan Blitar. Tradisi suroan yang akan saya bahas adalah tradisi yang ada setiap
peringatan bulan suro, tepatnya malam satu suro dan dilaksanakan di Setiap perempatan di
desa, upacara ini dilakukan untuk tujuan membersihkan desa dari (balak) atau mala petaka
yang menimpa desa (Bersih Desa), pada kegiatan ini semua masyarakat beramai-ramai
berkumpul dalam satu tepat (perempatan) untuk melakukan Do’a bersama. Doa bersama ini
biasanya dipimpin oleh sesepuh desa atau yang di tuakan di desa, acara ini dimulai sehabis
magrib sampai menjelang isya’.
Upacara yang berisi doa-doa bersama dan makan-makan ini merupakan tradisi rutin setiap
menjelang bulan Suro. Makanan yang dibawa disini biasanya makanan tradisional, seperti
Tumpeng Komplit dan aneka jajan pasar, hal ini yang menjadi hal unik tersendiri. Tradisi ini
berawal ketika Sultan Agung menetapkan penanggalan jawa untuk pertama kali, bulan suro
dipercaya keramat sehingga muncul kepercayaan 1 suro dengan beragam ritual, ritual yang
awalnya berpusat di Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Pada tanggal ini pula, para
penggemar tosan aji akan melakukan ritual jamasan (pencucian benda-benda pusaka).

14
Khusus di Kediri biasanya ada ritual Larung Sesaji di sungai Brantas, dan upacara-upacara di
tempat Petilasan Sang Prabu Sri Aji Joyoboyo, untuk mengenang dan tentunya mendoakan
serta sebagai sarana untuk meneladani sifat-sifat arif Joyoboyo, khususnya bagi warga
masyarakat Kediri.

 Masjid Setono Gedong

Asal mula Desa Setono Gedong menurut beberapa cerita m ketua takmir Setono Gedong
tanah Kediri. Pertama kali yang menemukan adalah Waliyullah, Syah Sulaiman Syamsudin
al-Wasil (Mbah Wasil). Mbah Wasil adalah orang arab dari Mekah. Pada waktu itu ia akan
dijadikan pemimpin negara setempat, tetapi beliau menolaknya, sebab ia lebih cinta pada
Allah SWT. Lalu ia mengasingkan diri atau hijrah ke Indonesia, tepatnya di Kediri Desa
Setono Gedong. Mbah Wasil punya pengikut-pengikut atau santri-santri yang kesehariannya
diajak mengaji bersama.
Dalam kisahnya, Mbah wasil hendak membangun masjid dalam waktu satu malam, tetapi
disaat dini hari terdengar suara wanita yang memukul lesung menumbuk padi. Dan rencana
Mbah wasil urung terselesaikan. Hasilnya adalah hanya pondasi yang sampai saat ini masih
ada.Kurang lebih tahun 1897 masjid yang belum jadi itu pernah dijadikan tempat ibadah
penduduk setempat. Dan pada tahun 1967 oleh takmir, depannya masjid dibangun masjid
yang diberi nama Masjid Aulia’ Setono Gedong.
Konon saat penggalian pondasi masjid Aulia’ ditemukan menara berukir relief Garuda, dan
ternyata gambar tersebut akhirya menjadi lambang negara kita. Pada tahun 1967 takmir
mensertifikatkan tanah negara tersebut untuk wakaf masjid hingga sekarang.
Letak halaman Masjid maupun makamnya terbagi manjadi tiga bagian yang semakin ke
belakang semakin suci. Ketiga halaman itu juga merupakan hasil akulturasi dari pembuatan
halaman candi di tanah mendatar yang mengandung makna kaki, lereng, dan puncak
gunung,karena umat Hindu Jawa pada masa lalu dalam membuat seni bangun berlandaskan
pada bentuk Gunung Himalaya sebagai gunung yang disucikan di India. Begitu juga dengan
Masjid Setono Gedong yang juga memiliki tiga halaman, halaman pertama yang sekarang
adalah masjid Induk, kedua adalah pendopo yang dibangun di atas reruntuhan Candi Hindu
dan di keliling. Sedangkan pada halaman terakhir adalah Makam Syeh Wasil Syamsudin.
Hiasan masjid makam memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai fungsi teknis dan fungsi
dekoratif. Sebagai fungsi teknis, hiasan pada masjid-makam berkaitan dengan kegunaan
praktis atau sebagai teknis bangunan. Sedangkan fungsi dekoratif, pada dinding masjid-
makam digunakan untuk memperindah bangunan. Selain itu juga menyimpan pesan dan
15
media untuk memenuhi tujuan religi-magis. Misalnya ukir-ukiran teratai, daun-daunan, dan
lain-lain.
Pintu gerbang jalan menuju Masjid Setono Gedong dibuat pada tahun 2002 dengan gaya
kombinasi antara seni tradional dan modern. Gaya tradisional tampak pada hiasan yang
memakai modif daun-daunan berjumlah tiga serta atasnya ditambah dengan modif bunga
matahari pada masing-masing bagian sisi kanan dan kiri gapura. Sedangkan pada bagian atas
gapura terdapat arca Garudeya(Garuda) dengan membawa sebuah kendi di atas kepalanya.
Pembuatan gapura luar ini ternyata sedikit mengadopsi dari ukir-ukiran maupun relief kuno
kuno yang terdapat pada masjid-makam Syeh Wasil Syamsudin. Paling menarik dari pintu
gerbang jalan menuju Masjid-Makam Setono Gedong adalah adanya arca Garuda membawa
sebuah kendi, dan di bagian belakang kepalanya juga di tambah relief berupa kepala rajawali.
Hal tersebut dapat dipahami, bahwa masyarakat yang menyusun konsep pembuatan gapura
tersebut percaya bahwa burung rajawali adalah personifikasi dari Garuda. Meskipun arca
tersebut adalah hanya sebagai pelengkap bangunan gapura luar dan hasil pesanan dari
pemahat arca modern, akan tetapi Burung Garudeya(Garuda) dalam dalam filosofi Hindu
mengandung makna keberanian, kegagahan, dan pengorbanan. Karena di dalam filosofis
tersebut, Garudeya diceritakan memiliki sifat rela berkorban sampai menuruti syarat kakak
ular untuk mencuri air suci (Amertha) milik para Dewa-Dewa Hindu demi menyelamatkan
ibundanya bernama Winata yang ditawan oleh Dewi Kadru sebagai ibu dari ular-ular jahat,
sampai rela mengorak-ngabrik khayangan demi mendapatkan air suci (Amertha) yang
diminta oleh kepada kakak ular untuk menebus Ibunya. Kemudian Dewa Wisnu berhasil
merebut Amertha kembali dari tangan ular ketika Garuda telah berhasil membawa kabur
ibunya dari istana ular. Akan tetapi pada akhirnya dia menjaditunggangan atau wahana dari
Dewa Wisnu seperti apa yang telah dijanjikannya sebelum membawa Amertha ke Istana
Ular.Dari cerita di atas, Arca tiruan(Tunulad) dari Garuda(Garudeya) yang diletakkan di atas
gapura jalan Masjid Setono Gedong ternyata secara tidak langsung memiliki arti
pengorbanan, karena digambarkan Garuda membawa sebuah kendi yang sebenarnya itu
bukan bentuk dari guci amertha yang sesungguhnya seperti pada relief Candi Kidal-Malang.
Akan tetapi, hal tersebut sebagai bukti bahwa masyarakat di sekitar masjid tersebut ternyata
juga mengetahui dan memahami dari filosofis cerita Garuda(Garudeya) yang sebenarnya.
Menurut Soekmono (1973:58) lambang dari Kerajaan Kadhiri yang terakhir sebagai kerajaan
otonom pada masa pemerintahan Prabu Krtajaya(Dandang Gendis) sebelum di hancurkan
oleh Ken Arok menggunakan lencana negara berupa Garudhamuka, seperti yang
digambarkan pada gapura luar masjid tersebut. Masyarakat Setono Gedong dalampemesanan

16
arca tinulad tersebut dapat juga terinspirasi dari tinggalan arkeologis yang sekarang
diletakkan di sebelah timur pendopo barat belakang masjid yang berupa relief garuda di
masing-masing sisi sebuah bekas lapik arca Dewa Wisnu. Selain itu burung garuda sudah
tidak asing lagi diketahui oleh masyarakat kediri pada umumnya secara turun temurun,
karena gambar burung tersebut sampai sekarang juga menjadi lambang dari Pemerintahan
Kota Kediri. kemudian masyarakat mengambil bentuk dari arca tinulad yang terdapat di
depan Museum Airlangga-Kota Kediri dengan menyempurnakannya dengan membawa
sebuah kendi yang disamakan samakan guci amertha seperti konsep sebenarnya yang ada di
Candi Kidal-Malang. Sedangkan kendi amertha tersebut dapat dimaknai sebagai lambang
kesucian. Jadi dapat disimpulkan, lambang Garuda pada gerbang jalan menuju Masjid Setono
Gedong oleh masyarakat sekitar dilambangkan sifat dari Syeh Wasil Syamsudin yang dalam
mitosnya beliau penuh pengorbanan dan semangat telah menyebarkan Agama Islam yang
dianggap suci oleh penganutnya.Makna lain digunakannya lambang tersebut pada gapura luar
dan juga sebagai lambang Pemerintahan Kota Kediri sekarang ini adalah bentuk inspirasi
untuk mengembalikan lagi

 Pesantren lirboyo

Lirboyo, awalnya adalah nama sebuah desa terpencil yang terletak di Kecamatan Mojoroto
Kota Kediri Jawa Timur. Dahulu desa ini merupakan sarang penyamun dan perampok,
hingga pada suatu ketika atas prakarsa Kyai Sholeh, seorang yang Alim dari desa
Banjarmelati dan dirintis oleh salah satu menantunya yang bernama KH. Abdul Karim,
seorang yang Alim berasal dari Magelang Jawa Tengah.
Sejarah berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo erat sekali hubungannya dengan awal mula
KH. Abdul Karim menetap di Desa Lirboyo sekitar tahun 1910 M. setelah kelahiran putri
pertama beliau yang bernama Hannah dari perkawinannya dengan Nyai Khodijah (Dlomroh),
putri Kyai Sholeh Banjarmelati.
Perpindahan KH. Abdul Karim ke desa Lirboyo dilatar belakangi, dorongan dari mertuanya
sendiri yang pada waktu itu menjadi seorang da’i, karena Kyai Sholeh berharap dengan
menetapnya KH. Abdul Karim di Lirboyo, maka syiar Islam lebih luas. Disamping itu, juga
atas permohonan kepala desa Lirboyo kepada Kyai Sholeh agar berkenan menempatkan salah
satu menantunya di desa Lirboyo. Dengan hal ini diharapkan Lirboyo yang semula angker
dan rawan kejahatan menjadi sebuah desa yang aman dan tentram.

17
Harapan kepala desa menjadi kenyataan. Konon ketika pertama kali kyai Abdul Karim
menetap di Lirboyo, tanah tersebut diadzani, saat itu juga semalaman penduduk Lirboyo tidak
bisa tidur karena perpindahan makhluk halus yang lari tunggang langgang menyelamatkan
diri.
Tiga puluh lima hari setelah menempati tanah waqaf tersebut, KH. Abdul Karim mendirikan
surau mungil nan sederhana untuk mendekatkan diri kepada sang pencipta.

7) Kalimantan

Keberagamaan adalah proses sosial budaya yang terus berlangsung sepanjang hidup
manusia. Dakwah yang disesuaikan dengan ragam kehidupan keagamaan sebagai proses
sosial budaya itulah yang disebut dakwah kultural. Dakwah yang semacam inilah yang
memungkinkan agama Islam diterima secara spektakuler oleh masyarakat pedalaman
Kalimantan Barat. Proses Islamisasi dengan memanfaatkan magi (magic).
Keberhasilan para penganut Islam sufistik dalam Islamisasi di pedalaman Kalimatan Barat
antara lain disebabkan karena Islam corak ini dalam beberapa segi tertentu ‘cocok’ dengan
latar belakang masyarakat setempat yang dipengaruhi asketisme Hindu-Budha dan
sinkretisme kepercayaan lokal.
Islam diklaim oleh penganutnya sebagai agama yang cocok untuk segala tempat dan masa.
Dengan kata lain Islam adalah agama universal. Klaim ini antara lain didasarkan atas
pandangan bahwa Islam adalah agama yang sesuai dengan nature atau fitrah kemanusiaan.
Implikasi selanjutnya dari pandangan ini adalah bahwa segala produk kemanusiaan yang
sesuai dengan fitrah kemanusiaan dengan sendiriannya bersifat Islami.
Umat Islam percaya bahwa ajaran Islam bersifat universal. Keuniversalan Islam menyakut
ajaran-ajaran dasar dan produk yang berlaku disemua tempat dan masa. Univesalisme Islam
terutama menyangkut ajaran dan nilai-nilai dasar yang diyakini berasal dari dari wahyu
Tuhan yang tidak berubah dan tidak boleh diubah. Karena hanya menyangkut ajaran dan
nilai-nilai dasar maka tidaklah semua persoalan kemanusiaan sudah disediakan jawabannya
secara teknis oleh Islam.
Hal tersebut meniscayakan ajaran Islam yang berasal dari wahyu tersebut bersentuhan
dengan dinamika historis masyarakat mau tidak mau melibatkan kreativitas pemahaman
manusia dan budaya dimana Islam hadir untuk membumikannya. Dengan demikian
akulturasi timbal balik antara Islam dan budaya lokal menjadi menjadi suatu keniscayaan.

18
Kenyataan ini diperkuat dengan watak agama Islam yang hadir bukan untuk suatu
kelompok atau golongan tertentu tetapi untuk seluruh manusia. Dengan demikian Islam
yang pertama kali turun di Arab tidaklah hanya bisa diartikulasikan dalam konteks budaya
masyarakat Arab. Keuniversalan mengakomodasi keragaman budaya manusia yang tersebar
di segala penjuru dunia. Oleh karena itu kebudayaan lokal tidak mungkin dan tidak harus
dihilangkan karena mereka menganut Islam. Inilah makna ungkapan al-Islam salih fi kulli
makan wa fi kulli zaman.

2.2 Kedudukan Islam Diantara Agama Lain Di Indonesia


Sebelum Islam datang ke Indonesia ini, telah terdapat sejumlah agama yang dianut oleh
masyarakat indonesia. Masyarakat Islam di indonesia sendiri sebelumnya menganut
kepercayaan animisme dan dinamisme sebelum islam masuk pada era kerajaan di Indonesia.
ciri khas agama islam yang paling menonjolyaitu bahwa Islam menyuruh para pemeluknya
agar beriman danmempercayai bahwa agama besar di dunia yang datangsebelumnya
diturunkan dan diwahyukan oleh Allah. Didalam Alquran dijumpai ayat-ayat yang menyuruh
umat Islam mengakuiagama-agama yang diturunkan sebelumnya dan terdapat pada
rukuniman yang ke-4. Berdasarkan ayat yang terkandung dalam Al-Quran terlihat dengan
jelasbahwa posisi Islam di antara agama-agama lainnya dari sudutkeyakinan adalah agama
yang menyakini dan mempercayaiagama-agama yang dibawa oleh para rasul sebelumnya.
Dengan demikian orang Islam bukan saja beriman kepada NabiMuhammad SAW. melainkan
beriman kepada semua Nabi.menurut ajaran Alquran yang terang benderang, bahwa
semuabangsa telah kedatangan Nabi. tidak ada satu umat, melainkanseorang juru ingat telah
berlalu di kalangan mereka (QS. Faathir,35:24). Dengan demikian orang Islam adalah orang
yang beriman kepada para Nabi dan Kitab Suci dari semua bangsa. Karena itu didalam
Agama Islam mengakui kitab yang dibawa agamasebelumnya, namun tidak wajib
mengikutinya karena, ajarandalam kitab tersebut telah disempurnakan oleh Al Qur'an.
Bahkanpemimpin agama sebelum Islam datang telah mengetahui akandatangnya ajaran yang
akan menyempurnakan ajaran yangmereka bawa.

19
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari beberapa uraian di atas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa kedatangan Islam ke
Nusantara telah memberikan pencerahan dan membawa dampak yang positif bagi masyarakat
pribumi Nusantara. Hal ini telah memunculkan sebuah peradaban baru bagi dunia Islam.
Peradaban baru tersebut tidak terlepas dari corak dan karakteristik yang dimiliki oleh budaya
masyarakat di Nusantara.
1. Islam pada masa penjajahan Portugis menghadapi banyak sekali tantangan. Sikap
Portugis yang sangat tidak menyukai Islam terbukti dengan berbagai usahanya dalam
mengganggu aktifitas dakwah terutama dalam lewat perdagangan. Dengan semangat juang
pemimpin atau raja-raja Islam dalam menghadapi ancaman Portugis itu, maka sebagian besar
rintangan bisa dihalau. Namun sayangnya Islam dalam lingkungan Demak sempat mengalami
gangguan internal sehingga memperlemah kekuatannya. Walau demikian perkembangan
Islam tidak berhenti. Seperti halnya Islam di Maluku yang berhasil bertahan menancapkan
perjuangan dakwahnya di tengah-tengah kristenisasi pada masa penjajahan Portugis.
2. Pada masa penjajahan Belanda terjadi pemberontakan pejuang-pejuang Islam yang
berkobar untuk membela tanah air. Untuk menghadapi umat Islam, Belanda menggunakan
cara depolitisasi, yaitu menjadikan para ulama tuna politik. Selain itu, banyak taktik Belanda
yang lainnya seperti adu domba antara Islam-Priyayi, tanam paksa dan lain-lain. Namun tentu
saja umat Islam tidak selamanya berdiam diri dalam urusan politik, sehingga mulailah
bermunculan organisasi-organisasi bernuansa Islam di sekitar awal abad ke dua puluh. Inilah
permulaan kembalinya Islam di kancah politik secara nasional.
3. Perkembangan Islam pada masa Jepang ini sangat berarti, karena kebijaksanaan yang
diberlakukan bangsa Jepang sedikit berbeda dengan Belanda, walau intinya tetap sama yaitu
dalam mengeruk kekayaan Indonesia alias imperialisme. Dengan demikian Islam dapat lebih
berperan dalam kehidupan kenegaraan walaupun tak sedikit pula tekanan dari pihak Jepang.
Perkembangan Islam ini dapat dilihat dari keterlibatan umat Islam di dalam organisasi politik
dan militer baik bentukan anak negeri maupun bentukan Jepang.

3.2 Saran

20
Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam
memahami corak islam pada abad 17. Sehingga mahsiswa dapat lebih mengahargai islam
yang sebenar benarnya. Melihat perjuangan yang ada disaat dahulu untuk kejayaan islam saat
ini. Dan dapat mengenbangkan atau memberikan corak islam yang lebih baik disaat ini dan
seterusnya.

21
DAFTAR PUSTAKA

http://www.rappang.com/2009/12/tradisi-dan-kepercayaan-masyarakat.html
http://daerah.sindonews.com/read/881803/29/jelajah-tiga-datuk-di-sulawesi-selatan-
14049942
https://www.google.com/amp/s/phinemo.com/tradisi-sambut-ramadhan-bagi-warga-
kampung-muslim-bali/amp/
http://elsanadira.hol.es/?p=52
https://sejahtara.wordpress.com/2016/03/18/kebudayaan-bercorak-islam-di-sumatera-barat/
https://imsakjakarta.wordpress.com/2011/01/10/434/
Dody S Truna.dkk.2002.Pranata Islam Di Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Noer Derlier.1995.Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942. Jakata: PT Pustaka
LP3ES Indonesia
Ansor, Muhammad. Berebut Paling Saleh: Kontestasi Orang Yasin dan Orang Sunnah di
Sidodadi Kabupaten Aceh Tamiang,
http://balimuslim.com/artikel-bali-muslim/66-unik-akulturasi-islam-dan-hindu-di-bali

Anonim, TT, Kehidupan Masyarakat Jogja yang


Islami, https://serambimadina.wordpress.com/2010/03/05/kehidupan-masyarakat-jogja-yang-
islami/ (diakses 14 Mei 2016)

Prasetya, Eka, 2014, Budaya Makanan Ciri Khas


Yogyakarta https://talkekaprasetya.wordpress.com/2014/07/09/budayamakananciri-khas-
yogyakarta/ (diakses 14 Mei 20160

Kamseno, Sigit, 2015, Ragam Peringatan Maulid Nabi di


Indonesia, http://bimasislam.kemenag.go.id/post/berita/ragam-peringatan-maulid-nabi-di-
indonesia (diakses 14 Mei 2016)

22
23

Anda mungkin juga menyukai