Anda di halaman 1dari 4

Ar-Ridha

Manakala seseorang telah menyatakan bahwa Ilah-nya adalah Allah Ta’ala,


maka salah satu tuntutan dan konsekuensi yang harus dipenuhinya adalah sikap ridha
kepada-Nya.

Sebagai seorang mu’min, kita harus ridha terhadap ma’aradallah (apa-apa yang Allah
kehendaki) :

Pertama, Ma’aradallahu bina (apa-apa yang Allah kehendaki atau Allah tetapkan atas
diri kita- di ‘alamul ghaib (alam ghaib), seperti: kehendak-Nya menciptakan kita dalam
satu jenis kelamin tertentu, lahir dari orangtua/keluarga tertentu, pemberian rizki
tertentu, berjodoh dengan orang tertentu, mengalami kejadian tertentu, dan lain-lain.
Itulah semua yang disebut al-qadha-u wal qadar.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata tentang qadha dan qadar:
“Para ulama’ berbeda pendapat tentang perbedaan antara kedua istilah tersebut.
Sebagian mengatakan bahwa Qadar adalah kententuan Allah sejak zaman azali
(zaman yang tak ada awalnya), sedangkan Qadha’ adalah ketetapan Allah terhadap
sesuatu pada waktu terjadi.” Beliau kemudian menegaskan: “Pendapat yang
dianggap rajih (unggul/kuat) adalah bahwa kedua istilah tersebut bila dikumpulkan
(Qadar-Qadha’), maka mempunyai makna berbeda, tapi bila dipisahkan antara satu
dengan yang lain maka mempunyai makna yang sama.” (Lihat: kitab Al-Qadha’ wal
Qadar).

Beriman dan menerima qadha dan qadar adalah tuntutan keimanan. Ketika
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang apa itu iman, beliau menjawab:

‫س ِل ِه َو ُكت ُ ِب ِه َو َمالَئِ َكتِ ِه ِباللِ تُؤ ِمنَ أَن‬


ُ ‫اآلخ ِر َواليَو ِم َو ُر‬
ِ َ‫َوش َِر ِه خَي ِر ِه ِبالقَ َد ِر َوتُؤ ِمن‬

“Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-


Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk“
(H.R. Muslim)

Sikap kita di hadapan qadha dan qadar Allah Ta’ala ini adalah la yas’alu ‘amma
yaf’alun (tidak bertanya terhadap apa-apa yang telah dilakukan-Nya). Semuanya
mengandung hikmah, dan kewajiban kita adalah mengimaninya.

Allah Ta’ala menjelaskan salah satu hikmah qadha dan qadar ini dengan firman-Nya,
‫اب َما‬
َ ‫ص‬َ َ‫صي َبة ِمن أ‬ ِ ‫ّللا َعلَى ذَلِكَ ِإ َن نَب َرأَهَا أَن قَب ِل ِمن ِكتَاب فِي ِإ َل أَنفُ ِس ُكم فِي َو َل اْلَر‬
ِ ‫ض فِي ُم‬ ِ َ ‫َي ِسير‬

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri
melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.

َ ‫ّللاُ آتَا ُكم بِ َما ت َف َر ُحوا َو َل فَاتَ ُكم َما َعلَى تَأ‬
‫سوا ِلكَي َال‬ َ ‫فَ ُخور ُمخت َال ُك َل ي ُِحب َل َو‬

(kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa
yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang
diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi
membanggakan diri,” (QS. Al-Hadid, 57: 22-23)

Kedua, Ma aradallahu bil-kauni -apa-apa yang Allah kehendaki atau Allah tetapkan
atas alam- di ‘alamut tajribah (alam kehidupan) ini berupa sunnatullah fil kauni
(ketentuan Allah di alam semesta).

َ‫ِيرا فَقَد ََرهُ شَيء ُك َل َو َخلَق‬


ً ‫ت َقد‬

“…dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-
ukurannya dengan serapi-rapinya.” (QS. Al-Furqan, 25: 2)

Terhadap ketentuan Allah Ta’ala di alam ini, kita boleh melakukan al-bahtsu
(pembahasan/kajian), karena ia mengandung tanda-tanda kekuasaan Allah Ta’ala
yang dapat mengokohkan keimanan kita pada-Nya.

‫ق ِفي ِإ َن‬
ِ ‫ت خَل‬
ِ ‫س َم َاوا‬ ِ ‫ف َواْلَر‬
َ ‫ض ال‬ ِ ‫ب ِْلُو ِلي َآل َيات َوالنَ َه‬
ِ ‫ار اللَي ِل َواخ ِت َال‬ ِ ‫اْلَل َبا‬

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal..” (QS. Ali Imran, 3: 190)

َ‫ّللا يَذ ُك ُرونَ الَذِين‬


َ َ ‫ق فِي َويَت َ َف َك ُرونَ ُجنُوبِ ِهم َو َعلَى َوقُعُودًا قِيَا ًما‬
ِ ‫ت خَل‬
ِ ‫س َم َاوا‬ ِ ‫اط ًال َهذَا َخلَقتَ َما َربَنَا َواْلَر‬
َ ‫ض ال‬ ِ َ‫ب‬
َ‫سب َحانَك‬ َ َ‫ار َعذ‬
ُ ‫اب فَ ِقنَا‬ ِ َ‫الن‬

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): ‘Ya Tuhan Kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci
Engkau, maka peliharalah Kami dari siksa neraka.’” (QS. Ali Imran, 3: 191).
Pembahasan dan pengkajian ini juga dilakukan dalam rangka al-intifa
(pemanfaatan/memakmurkannya) sebagaimana dingatkankan oleh Allah Ta’ala
melalui lisan Nabi Shaleh ‘alaihissalam,

‫صا ِل ًحا أَخَاهُم ثَ ُمو َد َوإِلَى‬ َ َ ‫شأ َ ُكم ه َ ُۖو غَي ُرهُ إِلَه ِمن لَ ُكم َما‬
ۚ َ ‫ّللا اعبُدُوا قَو ِم يَا قَا‬
َ ‫ل‬ َ ‫ض ِمنَ أَن‬
ِ ‫فَاستَغ ِف ُروهُ فِي َها َواست َع َم َر ُكم اْلَر‬
‫ن ِإلَي ِه تُوبُوا ث ُ َم‬
ۚ َ ‫ُم ِجيب قَ ِريب َربِي ِإ‬

“…Shaleh berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan
selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu
pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-
Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (do`a
hamba-Nya).’” (QS. Huud, 11: 61)

Ketiga, Ma aradallahu minna -apa yang Allah kehendaki dari kita- di alam nyata ini
berupa at-taqdirus syar’iy (ketentuan syari’at). Allah Ta’ala menghendaki kita tunduk
pada agama dan syariat-Nya sebagai bukti penghambaan kepada-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,

َ ‫ِين ِمنَ لَ ُكم ش ََر‬


‫ع‬ َ ‫صينَا َو َما إِلَيكَ أَو َحينَا َوالَذِي نُو ًحا بِ ِه َو‬
ِ ‫صى َما الد‬ َ ‫ِيم بِ ِه َو‬
َ ‫سى إِب َراه‬ َ ‫َو َل الدِينَ أَقِي ُموا أَن َو ِعي‬
َ ‫سى َو ُمو‬
‫ّللاُ إِلَي ِه تَدعُوهُم َما ال ُمش ِركِينَ َعلَى َكب َُر فِي ِه تَتَفَ َرقُوا‬
َ ‫يُنِيبُ َمن إِلَي ِه َويَهدِي يَشَا ُء َمن إِلَي ِه يَجتَبِي‬

“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya
kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : ‘Tegakkanlah agama dan janganlah
kamu berpecah belah tentangnya’. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang
kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang
dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali
(kepada-Nya).” (QS. Asy-Syura, 42: 13)

‫اطي َهذَا َوأَ َن‬ ِ ‫س ِبي ِل ِه َعن ِب ُكم فَتَفَ َرقَ السبُ َل تَتَ ِبعُوا َو َل فَاتَ ِبعُوهُ ُمستَ ِقي ًما‬
ِ ‫ص َر‬ َ ‫تَتَقُونَ لَ َعلَ ُكم ِب ِه َو‬
َ ‫صا ُكم ذَ ِل ُكم‬

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia,
dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai
beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu
bertakwa.” (QS. Al-An’am, 6: 153)

Dalam perkara at-taqdirus syar’iy ini wa hum yus’alun (mereka [manusia] akan
ditanya/dihisab),
‫يُسأَلُونَ َوهُم َيف َع ُل َع َما يُسأ َ ُل َل‬

“Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan
ditanyai.” (QS. Al-Anbiya, 21: 23)

Kita wajib mengimani hal ini dan mempersiapkan diri.

Wallahu a’lam.

Anda mungkin juga menyukai