Ayat-ayat yang menyatakan Allah sebagai ilah di bumi. Seperti Ucapan Allah
وتعالى سبحانه:
اء فِي الَّذِي َو ُه َو ِ ال َع ِلي ُم ال َح ِكي ُم َو ُه َو ِإلَه األَر. الزخرف: 84
َّ ض َوفِي ِإلَه ال
ِ س َم
Dan Dialah ilah di langit dan ilah di bumi dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi
Maha Mengetahui. (az-Zukhruf: 84)
Kalau kita perhatikan lebih lanjut ayat-ayat di atas secara lengkap, akan terlihat
kalau ayat-ayat tersebut berbicara tentang ilmu, pendengaran, penglihatan, atau
dukungan dan pembelaan Allah وتعالى سبحانه. Diantaranya:
1. Kebersamaan dengan ilmu-Nya
Seperti Ucapan Allah وتعالى سبحانه:
ت َخلَقَ الَّذِي ُه َو ِ س َم َواَّ ض ال َ علَى است ََوى ث ُ َّم أَيَّام ِست َّ ِة فِي َواألَر َ ض فِي يَ ِل ُج َما يَعلَ ُم العَر ِش ِ يَخ ُر ُج َو َما األَر
اء ِمنَ َين ِز ُل َو َما ِمن َها ِ س َمَّ ّللاُ ُكنتُم َما أَينَ َم َع ُكم َو ُه َو ِفي َها َيع ُر ُج َو َما ال
َّ صير ت َع َملُونَ ِب َما َو
ِ َب. الحديد: 4
Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia
beristiwa’ di atas 'arsy. Dia Maha Mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan
apa yang keluar daripadanya; apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-
Nya. Dan Dia bersama kalian di mana saja kalian berada. Dan Allah Maha Melihat
apa yang kalian kerjakan. (al-Hadiid: 4)
Imam Sufyan ats-Tsauri pernah ditanya tentang ayat di atas, maka beliau
menjawab: “Dia bersama kalian yakni dengan ilmunya” (diriwayatkan oleh
Baihaqi dengan sanad yang Hasan dalam kitab Asma’ wa sifat, hal. 341)
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: “Dlahir ayat ini menunjukkan bahwa
makna ma’iyyah yang sesuai dengan konteksnya adalah memperhatikan,
menyaksikan, menjaga, dan mengetahui tentang kalian. Inilah maksud perkataan
salaf: ‘Bersama mereka dengan ilmu-Nya’. Dan ini adalah dlahir ayat dan
hakikatnya (bukan ta’wil –pent.) (Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
juz V hal. 103)
Faedah lain dalam ayat ini adalah tidak adanya pertentangan antara tinggi
(‘uluw)nya Allah di atas ‘Arsy dan kebersamaan (ma’iyyah)-Nya dengan makhluk-
Nya, karena dalam ayat ini kedua-duanya disebutkan bersama-sama.
Berkata Ibnul Qayyim: “Dalam ayat ini Allah menghabarkan bahwa diri-Nya
tinggi di atas ‘Arsy-Nya, dan sekaligus menyatakan bersama makhluk-Nya,
melihat dan memperhatikan amalan mereka dari atas ‘Arsy-Nya. Seperti dalam
hadits: (“Allah di atas ‘Arsy-Nya melihat apa yang kalian kerjakan”). Maka ‘uluw-
Nya Allah tidak bertentangan dengan ma’iyyahnya; dan maiyahnya tidak
membatalkan ‘uluwnya. Kedua-duanya adalah benar”. (Mukhtashar Shawa’iq al-
Mursalah, hal. 410).
B. Kedekatan Allah
Demikian pula dengan ayat-ayat yang menunjukkan kedekatan Allah dengan
makhluk-Nya, bermakna dekat dengan ilmunya, mendengarkan doa dan
mengabulkannya atau bermakna malaikat-malaikat yang diperintahkan-Nya.
Dengan tidak menafikan dekatnya Allah secara Dzat-Nya.
Walaupun kita meyakini tingginya Allah di atas ‘Arsy-Nya, tetapi bagi Allah
semuanya dekat, karena besarnya Dzat Allah. Dunia dan seisinya serta langit di
sisi-Nya tidak lebih seperti biji khardalah (partikel terkecil). Tentu saja secara
Dzat-Nya Allah sangat dekat dengan hamba-Nya.
Dan sering dalam al-Qur'an disebutkan apa yang dilakukan oleh para malaikat
dengan ‘kami’ karena mereka melakukan semua apa yang diperintahkan oleh Allah
وتعالى سبحانه. Maka Allah nisbatkan apa yang mereka lakukan kepada diri-Nya.
(Lihat Qawa’idul Mutsla, Syaikh Utsaimin, hal. 120)
Sedangkan sebagian yang lain membacanya dengan waqaf pada kalimat ‘fil ardli’,
sehingga bermakna “Dialah Allah di langit dan di bumi”. Maka dengan bacaan
kedua ini kita katakan seperti pada ayat di atas, bahwa Allah adalah sesembahan
yang diibadahi oleh penduduk langit dan penduduk bumi. Hal ini sama sekali tidak
menunjukkan Dzat Allah menyatu dengan makhluk atau berada di bumi bersama
makhluk-Nya.
Wallahu a’lam
(Dikutip dari Bulletin Dakwah Manhaj Salaf, Edisi: 51/Th. II, 16 Muharram 1426
H/25 Februari 2005 M, penulis Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed, judul asli
"Kebersamaan Allah Tidak Bertentangan dengan Ketinggian-Nya". Risalah
Dakwah MANHAJ SALAF, Insya Allah terbit setiap hari Jum’at. Infaq Rp. 100,-
/exp. Pesanan min. 50 exp di bayar di muka. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us
Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Cirebon. telp. (0231) 222185.
Penanggung Jawab: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed; Redaksi: Muhammad
Sholehuddin, Dedi Supriyadi, Eri Ziyad; Sekretaris: Ahmad Fauzan; Sirkulasi:
Arief Subekti, Agus Rudiyanto, Zaenal Arifin; Keuangan: Kusnendi. Pemesanan
hubungi: Arif Subekti telp. (0231) 481215.)
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” [QS. Qaaf : 16].
ُ َونَحْ ُن أ َ ْق َر
ب ِإلَ ْي ِه ِمن ُك ْم
“Dan Kami lebih dekat dengannya daripada kamu” [QS. Al-Waqi’ah : 85].
Apakah ini menunjukkan bahwa Allah memang dekat dan “menyatu” dengan diri
kita ?
Jawab : Makna kedekatan dalam dua ayat di atas tidaklah bermakna bahwa Allah
menyatu dengan hambanya (Al-Hulul/Wahdatul-Wujud). Ini adalah aqidah bathil.
Makna kedekatan dalam dua ayat tersebut adalah kedekatan malaikat terhadap
manusia. Perinciannya adalah sebagai berikut :
Pada ayat pertama (QS. Qaaf : 16), sifat “dekat” dibatasi pengertiannya dengan
penunjukkan ayat tersebut. Selengkapnya, ayat di atas lengkapnya berbunyi :
ِ ع ِن ْال َي ِم
ين ِ ب ِإلَ ْي ِه ِم ْن َح ْب ِل ْال َو ِريدِ* ِإ ْذ َيتَلَقّى ْال ُمتَلَقّ َي
َ ان ُ سهُ َونَحْ ُن أ َ ْق َر
ُ س ِب ِه نَ ْف
ُ سانَ َونَ ْعلَ ُم َما ت ُ َو ْس ِو ِ َو َل َق ْد َخ َل ْقنَا
َ اإلن
َ ٌظ ِمن َق ْو ٍل ِإالّ َلدَ ْي ِه َرقِيب
ٌ ع ِتيد ُ ش َما ِل قَ ِعيدٌ * ّما َي ْل ِف
ّ ع ِن ال َ َو
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang
dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya;
(yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, yang satu duduk
di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang
diucapkan (seseorang) melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu
hadir” [QS. Qaaf : 16-18].
ِ َ ] ِإ ْذ يَتَلَقّى ْال ُمتَلَقّي: “(yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal
Firman Allah [ان
perbuatannya” ; adalah dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh ayat di
atas adalah dekatnya dua malaikat yang mencatat amal.
Pada ayat kedua (QS. Al-Waqi’ah : 85), kata “dekat” di situ berkaitan dengan
keadaan seseorang yang sakaratul-maut. Padahal yang hadir dalam sakaratul-
maut adalah para malaikat berdasarkan firman Allah ta’ala :
َطون ُ ى ِإذَا َجآ َء أ َ َحدَ ُك ُم ْال َم ْوتُ ت ََوفّتْهُ ُر
ُ سلُنَا َو ُه ْم الَ يُفَ ّر َ ّ َحت
“Sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu,
malaikat-malaikat Kami akan mewafatkannya, dan malaikat-malaikat Kami itu
tidakakan melalikan kewajibannya” [QS. Al-An’am : 61].
Adapun Allah adalah berada di atas langit dan bersemayam (istiwa’) di atas ‘Arsy,
sebagaimana firman-Nya :
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit kalau Dia hendak
menjungkir-balikkan bumi beserta kamu sekalian, sehingga dengan tiba-tiba bumi
itu berguncang” [QS. Al-Mulk : 16].
فكانت زينب تفخر على أزواج النبي صلى هللا عليه وسلم تقول زوجكن أهاليكن وزوجني هللا تعالى من فوق
سبع سماوات
“Sesungguhnya Allah telah menikahkan aku (dengan Nabi) dari atas langit” [HR.
Bukhari 8/176].
‘Arsy itu di atas air dan Allah di atas ‘Arsy. Ia mengetahui apa-apa yang kamu
kerjakan” [Dikeluarkan oleh Imam Thabrani dari Al-Mu’jamul-Kabiir nomor 8987,
dengan sanad shahih].
Di Manakah Allah ?
Jika kita mengajukan sebuah pertanyaan yang sangat mendasar ini pada saudara-
saudara kita sesama muslim, kita pasti akan mendapatkan jawaban yang beragam.
Keyakinan tentang di mana Allah berada adalah aqidah yang tentunya melandasi
setiap gerak langkah kehidupan seorang manusia. Kekeliruan dalam keyakinan ini
bisa menimbulkan imbas yang sangat besar dalam keseluruhan rangkaian
kehidupan seseorang.
Sebagian muslim akan menjawab, “Allah berada dalam hati saya, dalam setiap
tarikan nafas saya “. Sebagian lagi menyatakan, “Allah ada di mana-mana”. Kalau
kita kembangkan lagi pertanyaan itu, “ Jika Allah ada pada setiap hati dan tarikan
nafas manusia, berarti Allah ada di mana-mana. Bisa di masjid, di pasar, kantor,
atau bahkan….. bisa jadi Allah berada di tempat – tempat yang tidak suci dan najis
? Maha Suci Allah atas segala aib dan kekurangan.
Bagaimanakah sebenarnya? Di manakah Allah? Benarkah Allah senantiasa
bersama kita? Mari kita simak dan kaji lebih mendalam bagaimana sebenarnya
AlQuran dan Sunnah dengan pemahaman para Sahabat Nabi menjawab pertanyaan
– pertanyaan tersebut…
Kita lihat, salah satu pertanyaan ujian yang diajukan oleh Rasulullah untuk
memastikan keimanan budak tersebut adalah pertanyaan tentang di mana Allah.
Jika ia bisa menjawab dengan benar, maka ia adalah seorang mukminah. Padahal
keimanan salah seorang budak adalah salah satu syarat utama untuk membayar
kaffarat tertentu, seperti misalnya jika seseorang tidak sengaja membunuh seorang
muslim, atau melakukan perbuatan dzhihar terhadap istrinya dan ingin kembali
berhubungan suami istri dengannya, maka salah satu tahapan dendanya adalah
memerdekakan budak yang beriman jika memungkinkan. Demikianlah pendapat
para fuqoha’ (ahlul Fiqh) dan mufassirin seperti Ibnu Katsir dan yang selainnya.
Sebagaimana Allah berfirman :
و َما كَانَ ِل ُم ْؤ ِم ٍن أ َ ْن يَ ْقت ُ َل ُم ْؤ ِمنًا ِإالَّ َخ َطأ ً َو َم ْن قَت َ َل ُم ْؤ ِمنًا َخ َطأ ً فَتَحْ ِري ُْر َرقَبَ ٍة ُّم ْؤ ِمنَ ٍة...
َ
“Tidak patut bagi seorang mukmin untuk membunuh mukmin lain kecuali
dalam keadaan tidak sengaja. Barangsiapa yang membunuh seorang mu’min
dengan tidak sengaja, maka hendaknya dia memerdekakan budak yang beriman
“(Q.S :4:92)
َّ سائِ ِه ْم ث ُ َّم يَعُ ْود ُْونَ ِل َما قَالُ ْوا فَتَحْ ِري ُْر َرقَبَ ٍة ِم ْن قَ ْب ِل أ َ ْن يَت َ َما
سا فَ َم ْن لَ ْم يَ ِج ْد َ َِوالَّ ِذ ْينَ ِم ْن ن
“Dan orang –orang yang mendzhihar istrinya kemudian dia ingin kembali dari
apa yang ia ucapkan, maka hendaknya ia memerdekakan budak (mukmin)
sebelum menggaulinya. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak) maka
hendaknya berpuasa 2 bulan berturut – turut sebelum menggaulinya,
barangsiapa yang tidak mampu maka memberi makan 60 orang miskin “(Q.S.
al-Mujaadilah : 3-4)
Dalil lain yang menunjukkan bahwa Dzat Allah ada di atas langit adalah firman
Allah :
“Apakah kalian merasa aman dari Yang Di Atas Langit (Allah) untuk menimpakan
adzab kepada kalian dengan menimbun kalian dengan tanah (bumi)?”(Q.S.
AlMulk : 16)
ْ علَى اْل َع ْر ِش ا
ست َ َوى َ ُالرحْ من
َّ
سا ًء
َ صبَا ًحا َو َم
َ اء َّ اء يَأْتِ ْينِ ْي َخبَ ُر ال
ِ س َم َّ أَالَ تَأ ْ َمنُ ْونِ ْي َوأَنَا أ َ ِم ْينٌ َم ْن فِي ال
ِ س َم
“Tidakkah kalian mempercayai aku, padahal aku adalah kepercayaan dari Yang
Ada Di Atas Langit ?. Datang kepadaku khobar (wahyu) dari langit setiap pagi
dan sore” (H.R. Bukhari,Muslim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu
Hibban,AtTirmidzi,AdDaarimi, Abu Dawud, Ibnu Majah )
Para Ulama’ menjelaskan bahwa Allah berada di atas ketinggian yang tidak bisa
disamai siapapun. Ia berada pada ketinggian Dzat maupun ketinggian Sifat. Tidak
ada kekurangan maupun kelemahan sedikitpun pada Sifat-sifatNya.
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa Dzat Allah berada di atas ketinggian. Lalu
bagaimanakah dengan firman Allah :
Jika kita mengambil hanya sepotong ayat ini saja bisa jadi kita akan menyangka
bahwa Dzat Allah ada di mana-mana. Padahal keseluruhan ayat ini secara utuh
justru menjelaskan secara gamblang maksudnya :
ج فِ ْي َها َو ُه َو َم َع ُك ْم أَََ ْينَ َما ُك ْنت ُ ْم َوهللاُ ِب َما ت َ ْع َملُ ْونَ َب ِصي ٌْر
ُ اء َو َما َي ْع ُر َّ ِمنَ ال
ِ س َم
“Dialah Allah Yang Menciptakan langit dan bumi dalam 6 hari kemudian Ia
beristiwa’ di atas ‘Arsy. Dia Mengetahui segala sesuatu yang masuk ke dalam
bumi, segala sesuatu yang keluar dari bumi, segala sesuatu yang turun dari langit,
segala sesuatu yang naik ke langit. Dan Dia selalu bersama kalian di manapun
kalian berada, dan Allah Maha Melihat segala sesuatu yang kalian lakukan”
(Q.S AlHadiid : 4)
Janganlah kita lengah, lalai dan menyangka ada di antara aktivitas kita yang tidak
diketahui Allah. Jika kita melakukan perbincangan rahasia sekalipun dengan
beberapa orang tertentu, ketahuilah sesungguhnya bukan hanya orang-orang
tertentu itu saja yang tahu, tapi juga Allah. Sebagaimana tersebut dalam ayatNya
yang mulia :
َّس ٍة إِالَ ض َما يَك ُْونُ ِم ْن نَّجْ َوى ثَالَث َ ٍة إِالَّ ُه َو َرابِعُ ُه ْم َوالَ َخ ْم ِ ت َو َما فِي اْأل َ ْر ِ اوا َّ أَلَ ْم ت َ َر أَنَّ هللا َيَ ْعلَ ُم َما فِي ال
َ س َم
َّس ُه ْم َوالَ أ َ ْدنَى ِم ْن ذَ ِلكَ َوالَ أ َ ْكث َ َر إِالَّ ُه َو َمعَ ُه ْم أ َ ْينَ َما كَانُ ْوا ث ُ َّم يُنَبِئ ُ ُه ْم بِ َما ع َِملُ ْوا يَ ْو َم اْل ِقيَا َم ِة إِن َ ُه َو
ُ سا ِد
ع ِليْم
َ ٍهللاَ ِبك ُِل ش َْيء
“Tidakkah mereka melihat bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu di langit
dan di bumi. Tidaklah ada 3 orang yang berbisik (berbincang) kecuali Dia-lah
yang ke-empat, dan tidak pula ada 5 orang kecuali Dialah Yang ke-enam, tidaklah
kurang atau lebih dari itu kecuali Dia selalu bersama mereka di manapun
mereka berada. Kemudian akan dikhabarkan kepada mereka segala sesuatu yang
telah mereka kerjakan nanti pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu”(Q.S Al-Mujaadilah : 7)
ست َ ْخفُ ْونَ ِمنَ هللاِ َو ُه َو َم َع ُه ْم ِإ ْذ يُ َب ِيت ُ ْونَ َما الَ َي ْرضَى ِمنَ اْلقَ ْو ِل َو كَانَ هللاُ ِب َما ِ َّست َ ْخفُ ْونَ ِمنَ الن
ْ اس َوالَ َي ْ َي
ً َي ْع َملُ ْونَ ُم ِح ْي
طا
“Mereka bisa bersembunyi dari manusia namun tidak bisa bersembunyi dari
Allah. Dan Dialah Allah yang bersama mereka ketika mereka merahasiakan
ucapan-ucapan yang tidak diridlai. Dan adalah Allah ilmuNya meliputi segala
yang mereka lakukan”(Q.S AnNisaa’ :108)
Bagaimana bisa kita menghindar dan bersembunyi dari Allah, padahal Dialah
Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu :
“Dialah Allah Yang Mengetahui mata yang berkhianat dan segala yang
tersembunyi dalam dada”(Q.S AlMu’min :19)
Pendengaran Allah juga meliputi segala macam dan jenis suara. Bahkan, salah
seorang wanita paling mulia, dan Ummahaatul Mu’minin (Ibunda kaum beriman),
Aisyah radliyallaahu ‘anha pernah memberikan persaksian yang demikian
menakjubkan.
صي ٌْر
ِ َس ِم ْي ٌع ب ُ س ِم َع هللاُ قَ ََ ْو َل الَّتِ ْي ت ُ َجا ِدلُكَ فِ ْي زَ ْو ِج َها َوت َ ْشت َ ِك ْي ِإلَى هللاِ َوهللاُ يَ ْس َم ُع ت َ َح
َ َاو َر ُك َما ِإ َّن هللا َ قَ ْد
Dalam riwayat yang lain ‘Aisyah berkata : “Maha Suci (Allah) Yang
Pendengarannya mampu menjangkau segala sesuatu. Aku mendengar perkataan
Khoulah binti Tsa’labah dan sebagian ucapannya tidak terdengar olehku…”
‘Aisyah, istri Rasul yang berada di samping rumah dan mendengar sebagian
perbincangan tersebut dalam jarak yang cukup dekat, ternyata Allah jauh lebih bisa
mendengar dari ketinggian DzatNya. Bahkan, kemudian Allah turunkan surat
AlMujaadilah, yang menceritakan kisah perbincangan tersebut secara rinci dan
menurunkan hukum yang harusnya dilaksanakan terkait dengan masalah yang
diperbincangkan tersebut secara gamblang, mendetail, dan jelas.
Jika timbul pertanyaan dalam benak kita, bagaimana kedekatan Allah dengan
hambaNya ? Allah memerintahkan kepada Rasulullah dalam firmanNya :
ْ ََان فَ ْلي
ُ ست َ ِج ْيبُ ْوا ِل ْي َو ْليُ ْؤ ِمنُ ْوا بِ ْي لَعَلَّ ُه ْم يَ ْر
َشد ُْون ُ ْب أ ُ ِجي
ِ ْب َدع َْوةَ الدَّاعِ إِذَا َدع ْ سأَلَكَ ِع َباد
ٌ ِي عَنِي فَ ِإنِ ْي قَ ِري َ َوإِذَا
Rasulullah bersabda :
صال َ ث ِخ ِ َطاهُ هللاُ بِ َها إِحدَى ثََلَ س فِي َها إِثم َولَ قَ ِطيعَةُ َرحم إِلَّ أَع
َ ع َّز َو َج َّل بِدَع َوة لَي
َ َعو هللا
ُ َما ِمن ُمس ِلم يَد
ًسو ِء ِمث ِل َها قَالُوا إِذا ُّ عنهُ ِمنَ ال
َ فَ إِ َّما أَن يُعَ ِج َل لهُ دَع َوتَهُ َوإِ َّما أن يَد َِّخ َرهَا لهُ فِي األخ َرى َوإِ َّما أن يَص ِر
َ ُ َ َ َ
نُكثِ ُر قَا َل هللاُ أَكث َ ُر
“Tidaklah seorang muslim berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan suatu do’a
yang tidak mengandung dosa dan memutuskan silaturrahmi kecuali Allah akan
memberikan 3 kemungkinan : ‘Bisa jadi Allah segerakan terkabulnya doa tersebut,
atau Allah simpan baginya pahala di akhirat, atau Allah palingkan (selamatkan)
ia dari keburukan (bencana/marabahaya) yang semisalnya. Para Sahabat berkata
: ‘Kalau begitu kami akan memperbanyak doa’. Rasul berkata: Allah akan lebih
banyak lagi (mengabulkan doa)”(H.R Ahmad, AlBaihaqi dalam Syu’abul Iman,
dishahihkan oleh Al-Hakim dan dishahihkan pula oleh Syaikh Muhammad
Nashiruddin al-Albaany dalam kitab Shohiihul Jaami’ (5714))
Kita bahkan dianjurkan untuk selalu meminta kepada Allah bahkan dalam hal-hal
yang kecil, sederhana, dan mungkin kita anggap remeh. Sebagaimana Nabi pernah
berpesan :
Sering kita dengar keengganan orang-orang untuk banyak dan sering berdo’a
kepada Allah dengan alasan ’mestinya kita malu sering-sering meminta kepada
Allah’. Sikap semacam ini dilandasi oleh perasaan menyamakan Allah dengan
makhlukNya. Berbeda dengan makhluk yang pasti memiliki perasaan tidak suka
jika selalu dimintai tolong, Allah Maha Suci dan jauh dari sifat tersebut. Bahkan
Rasulullah bersabda :
“Barangsiapa yang tidak (pernah) meminta kepada Allah, Allah murka padanya”
(H.R At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, AlBazzar, al-Hakim, AlBukhari dalam Adabul
Mufrad, dishahihkan oleh al-Hakim dan Ibnu Hibban)
Jika manusia dimintai sesuatu, akan berkuranglah miliknya sesuai dengan kadar
jumlah yang diminta. Berbeda dengan Allah, sebagaimana dalam hadits Qudsi :
سأَلَتَهُ َما
ْ ان َم
ٍ سَ سأَلُ ْونِ ْي فَأ َ ْع َطيْتُ ُك َّل إِ ْن
َ َاح ٍد ف َ س ُك ْم َو ِجنَّ ُك ْم قَا ُم ْوا فِ ْي
ِ ص ِع ْي ٍد َو ِ ِي لَ ْو أَنَّ أ َ َّولَ ُك ْم َو
َ آخ َر ُك ْم َواِ ْن ْ يَا ِعبَاد
ص ذَ ِلكَ ِم َّما
َ َنَق
“Dan sungguh Kami telah menciptakan manusia dan Kami Maha Mengetahui
segala yang terbesit dalam jiwanya, dan Kami lebih dekat kepadanya dibandingkan
urat lehernya”(Q.S Qoof: 16)
س َم ُع َوأ َ َرى
ْ َ إِنَّنِ ْي َمعَ ُك َما أ
Allah mengabadikan ucapan Rasulullah untuk menguatkan hati Abu Bakar dalam
ayatNya :
ُّ علَ ْي ِه َوأَيَّ َدهُ بِ ُجنُ ْو ٍد لَّ ْم ت َ َر ْو َها َو َجعَ َل َك ِل َمةَ الَّ ِذ ْينَ َكفَ ُروا ال
ُس ْفلَى َو َك ِل َمةُ هللاِ ِه َي اْلعُ ْليَا َوهللا َ ُفَأ َ ْن َز َل هللا
َ ُس ِك ْينَتَه
ع َِزي ٌْز َح ِك ْي ٌم
“Jika kalian tidak menolongnya, maka sungguh Allah telah menolongnya ketika
orang-orang kafir mengeluarkan mereka. Salah satu dari kedua orang ketika
keduanya berada dalam gua, ketika ia berkata kepada Sahabatnya,’Janganlah
engkau bersedih, karena sesungguhnya Allah bersama kita’. Maka kemudian
Allah turunkan ketenangan dan menguatkannya dengan tentara-tentara yang tidak
terlihat, dan Allah jadikan kalimat orang-orang kafir menjadi rendah (hina) dan
Kalimat Allah menjadi Tinggi. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana”(Q.S AtTaubah : 40)
ار ا ْل ُمش ِْر ِك ْينَ فَقُ ْلتُ َيا َ َ سلَّ َم فِي اْلغَ ِار فَ َرأَيْتُ آث
َ علَ ْي ِه َوَ ُصلَّى هللا َ ُع َْن أ َ ِب ْي بَك ٍْر َر ِض َي هللا
َ ِ ع ْنهُ قَا َل ُك ْنتُ َم َع النَّ ِبي
س ْو َل هللاِ لَ ْو أَنَّ أ َ َح َد ُه ْم َرفَ َع قَ َد َمهُ َرآنا َ قَا َل َما َظنُّكَ ِباثْنَي ِْن هللاُ ثَا ِلث ُ ُه َما
ُ َر
“Dari Abu Bakar asSiddiq radliyallaahu ‘anhu, beliau berkata :”Aku bersama
Rasulullah di dalam gua, kemudian aku melihat tanda-tanda orang musyrikin.
Kemudian aku berkata : ‘Wahai Rasulullah, kalau seandainya mereka mengangkat
kaki mereka, pasti mereka bisa melihat kita !’Rasul menjawab : ‘Bagaimana
pendapatmu dengan 2 orang yang (disertai) sebagai (pihak) ketiga adalah Allah!’
(H.R Bukhari dalam Shahihnya)
Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa Allah adalah berada di atas langit namun
sangat dekat dengan hambaNya, karena Ia senantiasa Maha Mendengar, Maha
Melihat, dan Maha Berkuasa atas seluruh hambaNya.Untuk orang yang beriman
dan bertaqwa, kedekatan Allah tersebut memiliki makna tambahan yang khusus,
yaitu Allah senantiasa bersama mereka, membantu, membimbing, memberikan
taufiq untuk senantiasa berjalan dalam jalur yang diridlaiNya.
“ Wahai anak, aku akan mengajarimu beberapa kalimat : ‘Jagalah Allah, niscaya
Allah akan menjagamu. Jagalah Allah niscaya engkau akan mendapati Ia ada
di hadapanmu. Jika engkau meminta, maka mintalah kepadaNya. Jika engkau
memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepadaNya. Ketahuilah, bahwa
kalau seandainya seluruh umat berkumpul untuk memberikan suatu manfaat
kepadamu, tidak akan sampai manfaat itu kepadamu kecuali jika Allah tetapkan
sampai kepadamu. Dan jika seluruh umat berkumpul untuk menimbulkan
mudharat kepadamu, tidak akan bisa memudharatkanmu sesuatupun kecuali jika
Allah tetapkan sesuatu bisa memudharatkanmu. Telah diangkat pena, dan telah
kering lembaran-lembaran “(H.R atTirmidzi, Ahmad, Abu Ya’la, AlHaakim, dan
atTirmidzi menyatakan bahwa hadits ini hasan shohih)
Dijelaskan oleh alHafidz Ibnu Rajab makna ‘menjaga Allah‘ adalah : menjaga
batasan – batasan (yang dibuat Allah) dengan tidak melampauinya, hak–hak Allah
dengan senantiasa memperhatikan dan menunaikannya, menjalankan perintah –
perintahNya dan menjauhi larangan – laranganNya.
Daftar Rujukan :
2. Tafsir AlQurthuby.
Tingkat kedekatan seorang hamba dengan Allah itu bermacam – macam sesuai
dengan firman Allah dalam Al qur’an
Dilanjutkan lagi tingkat kedekatan selanjutnya yaitu Allah meliputi segala sesuatu,
bukan Cuma manusia, tapi segala sesuatu
QS. An Nisaa' (4) : 126
Kepunyaan Allah lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah Allah
Maha Meliputi segala sesuatu.
Dan sejumlah ayat-ayat lagi yang menceritakan bahwa Allah meliputi segala
makhlukNya. Setidak-tidaknya ada 2 kata yang digunakan. Kadang menggunakan
kata mukhith, kadang wasi' ( Syain muhiitho, atau waasi’un )
Tapi intinya, Allah sedang memberikan gambaran betapa Allah itu sedang meliputi
makhlukNya, dan sangat dekat dengan mereka.
Kata meliputi ini juga memberi makna 'luas' atau 'besar'. Artinya, ketika dikatakan
bahwa Allah meliputi segala sesuatu, maka Dia itu sebenarnya adalah Dzat Yang
Amat Sangat Besar Sekali. Sehingga bisa meliputi segala sesuatu, termasuk alam
semesta keseluruhannya.
Namun, disamping itu, kata-kata kulli syai in (tiap-tiap sesuatu) di ayat tersebut
menggambarkan betapa Allah begitu dekat, karena meliputi tiap-tiap makhlukNya,
termasuk setiap
diri manusia. Bahkan setiap bagian terkecil tubuh manusia. Jadi, makna kata
'meliputi' memberikan persepsi sebagai kedekatan makhluk dengan Tuhannya atau
sebaliknya. Tapi kedekatan yang bersifat universal.
Materi, energi, ruang, waktu, dan informasi, semuanya terangkum dalam kata
"Meliputi" Bahkan termasuk orang-orang yang kafir pun diliputi oleh Allah.
DzatNya dekat dengan apa saja dan siapa saja!
Tingkat kedekatan selanjutnya adalah orang – orang yang dapat memandang wajah
Allah dimanapun dan kemanpun mereka menghadap.
Ayat diatas lebih bersifat khusus bagi orang yang dikehendaki dapat memahami
dzat Allah, sehingga dapat musyahadah / dzikir ruh ( memandang dengan
keyakinan hati / bathin ) pada Dzat Allah, karena kata – katanya menyebut
Wajhullah ( wajah Allah ), sepertinya sangat dekat sekali, tapi oleh Allah
dikhususkan bagi orang ‘ulul albab ( yaitu orang – orang yang mengerti hikmah
atau essensi suatu hal yang dilihatnya ) kare
QS Al imran :190
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi terdapat tanda – tanda kekuasaan
Kami, bagi orang – orang ‘ulul albab, yaitu orang – orang yang berdzikir kepada
Allah dalam keadaan berdiri, duduk ataupun berbaring, dan mereka berfikir tentang
penciptaan langit dan bumi seraya berkata : “ Ya Tuhan Kami, sesungguhnya
tiadalah sia – sia semua yang engkau ciptakan, maha suci Engkau, selamatkan
kami dari siksa neraka.
Nabi bersabda demikian, dengan melihat situasi, yaitu beliau tidak sedang
berhadapan dengan khalayak ramai atau forum, tetapi didepan para sahabat –
sahabat khusus.
Kalau kita cermati hadits nabi yang turun pada sahabat – sahabat khusus, adalah
hadits – hadits yang penuh ajaran hikmah dan hakikat.
Untuk mencapai pemahaman tentang Allah seperti saat ini, tentulah kita telah
melalui tahapan atau proses, berawal dari ketidaktahuan kita, lalu mendapat
hidayah dan bimbingan dari Allah sehingga akhirnya paham seperti saat ini,
semestinya kita juga menyadari bahwa semua saudara kita juga mengalami
demikian, sehingga jika saudara kita belum sampai pada apa yang telah kita
pahami, sebaiknya kita juga ingat bahwa kitapun dulu juga seperti itu, maka hal
yang terpenting adalah bagaimana memberikan penjelasan dengan uraian yang
tidak terkesan menggurui berdasarkan tingkat pemahaman mereka ( saudara kita
sesama salikin ) untuk dibimbing kepada pemahaman selanjutnya ( masalah paham
atau tidaknya, adalah hak Allah ), bukan menonjolkan pada terminal mana kita
telah paham atau telah sampai, karena ada beberapa hal yang tidak mungkin
dijelaskan, maka sebaiknya kita berhati – hati, dan salah satu tanda kepahaman
adalah hati – hati dalam menyempaikan sesuatu hal ( ilmu hakikat dan ma’rifah ).
Ada sebuah pertanyaan penting yang cukup mendasar bagi setiap kaum muslimin
yang telah mengakui dirinya sebagai seorang muslim. Setiap muslim selayaknya
bisa memberikan jawaban dengan jelas dan tegas atas pertanyaan ini, karena
bahkan seorang budak wanita yang bukan berasal dari kalangan orang terpelajar
pun bisa menjawabnya. Bahkan pertanyaan ini dijadikan oleh Rasulullah sebagai
tolak ukur keimanan seseorang. Pertanyaan tersebut adalah “Dimana Allah?”.
Jika selama ini kita mengaku muslim, jika selama ini kita yakin bahwa Allah satu-
satunya yang berhak disembah, jika selama ini kita merasa sudah beribadah kepada
Allah, maka sungguh mengherankan bukan jika kita tidak memiliki pengetahuan
tentang dimanakah dzat yang kita sembah dan kita ibadahi selama ini. Atau dengan
kata lain, ternyata kita belum mengenal Allah dengan baik, belum benar-benar
mencintai Allah dan jika demikian bisa jadi selama ini kita juga belum menyembah
Allah dengan benar. Sebagaimana perkataan seorang ulama besar Saudi Arabia,
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin: “Seseorang tidak dapat beribadah
kepada Allah secara sempurna dan dengan keyakinan yang benar sebelum
mengetahui nama dan sifat Allah Ta’ala” (Muqoddimah Qowa’idul Mutsla).
Sebagian orang juga mengalami kebingungan atas pertanyaan ini. Ketika ditanya
“dimanakah Allah?” ada yang menjawab ‘Allah ada dimana-mana’, ada juga yang
menjawab ‘Allah ada di hati kita semua’, ada juga yang menjawab dengan marah
sambil berkata ‘Jangan tanya Allah dimana, karena Allah tidak berada dimana-
mana’. Semua ini, tidak ragu lagi, disebabkan kurangnya perhatian kaum muslimin
terhadap ilmu agama, terhadap ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasulullah yang
telah jelas secara gamblang menjelaskan jawaban atas pertanyaan ini, bak mentari
di siang hari.
“Dimanakah Allah?” maka jawaban yang benar adalah Allah bersemayam di atas
Arsy, dan Arsy berada di atas langit. Hal ini sebagaimana diyakini oleh Imam Asy
Syafi’I, ia berkata: “Berbicara tentang sunnah yang menjadi pegangan saya, murid-
murid saya, dan para ahli hadits yang saya lihat dan yang saya ambil ilmunya,
seperti Sufyan, Malik, dan yang lain, adalah iqrar seraya bersaksi bahwa tidak ada
ilah yang haq selain Allah, dan bahwa Muhammad itu adalah utusan Allah, serta
bersaksi bahwa Allah itu diatas ‘Arsy di langit, dan dekat dengan makhluk-Nya”
(Kitab I’tiqad Al Imamil Arba’ah, Bab 4). Demikian juga diyakini oleh para imam
mazhab, yaitu Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi) dan Imam
Ahmad Ibnu Hambal (Imam Hambali), tentang hal ini silakan merujuk pada kitab
I’tiqad Al Imamil Arba’ah karya Muhammad bin Abdirrahman Al Khumais.
Keyakinan para imam tersebut tentunya bukan tanpa dalil, bahkan pernyataan
bahwa Allah berada di langit didasari oleh dalil Al Qur’an, hadits, akal, fitrah dan
‘ijma.
1. Dalil Al Qur’an
Allah Ta’ala dalam Al Qur’anul Karim banyak sekali mensifati diri-Nya berada di
atas Arsy yaitu di atas langit. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
Ayat ini jelas dan tegas menerangkan bahwa Allah bersemayam di atas Arsy. Allah
Ta’ala juga berfirman yang artinya:
“Apakah kamu merasa aman terhadap Dzat yang di langit (yaitu Allah) kalau Dia
hendak menjungkir-balikkan bumi beserta kamu sekalian sehingga dengan tiba-
tiba bumi itu bergoncang” (QS. Al Mulk: 16)
“Malaikat-malaikat dan Jibril naik kepada Rabb-Nya dalam sehari yang kadarnya
lima puluh ribu tahun” (QS. Al-Ma’arij: 4). Ayat pun ini menunjukkan ketinggian
Allah.
2. Dalil hadits
3. Dalil akal
Syaikh Muhammad Al Utsaimin berkata: “Akal seorang muslim yang jernih akan
mengakui bahwa Allah memiliki sifat sempurna dan maha suci dari segala
kekurangan. Dan ‘Uluw (Maha Tinggi) adalah sifat sempurna dari Suflun (rendah).
Maka jelaslah bahwa Allah pasti memiliki sifat sempurna tersebut yaitu sifat ‘Uluw
(Maha Tinggi)”. (Qowaaidul Mutslaa, Bab Syubuhaat Wa Jawaabu ‘anha)
4. Dalil fitrah
Perhatikanlah orang yang berdoa, atau orang yang berada dalam ketakutan, kemana
ia akan menengadahkan tangannya untuk berdoa dan memohon pertolongan?
Bahkan seseorang yang tidak belajar agama pun, karena fitrohnya, akan
menengadahkan tangan dan pandangan ke atas langit untuk memohon kepada
Allah Ta’ala, bukan ke kiri, ke kanan, ke bawah atau yang lain.
Namun perlu digaris bawahi bahwa pemahaman yang benar adalah meyakini
bahwa Allah bersemayam di atas Arsy tanpa mendeskripsikan cara Allah
bersemayam. Tidak boleh kita membayangkan Allah bersemayam di atas Arsy
dengan duduk bersila atau dengan bersandar atau semacamnya. Karena Allah tidak
serupa dengan makhluknya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah” (QS. Asy Syura: 11)
Maka kewajiban kita adalah meyakini bahwa Allah berada di atas Arsy yang
berada di atas langit sesuai yang dijelaskan Qur’an dan Sunnah tanpa
mendeskripsikan atau mempertanyakan kaifiyah (tata cara) –nya. Imam Malik
pernah ditanya dalam majelisnya tentang bagaimana caranya Allah bersemayam?
Maka beliau menjawab: “Bagaimana caranya itu tidak pernah disebutkan (dalam
Qur’an dan Sunnah), sedangkan istawa (bersemayam) itu sudah jelas maknanya,
menanyakan tentang bagaimananya adalah bid’ah, dan saya memandang kamu
(penanya) sebagai orang yang menyimpang, kemudian memerintahkan si penanya
keluar dari majelis”. (Dinukil dari terjemah Aqidah Salaf Ashabil Hadits)
Allah Ta’ala berada di atas Arsy, namun Allah Ta’ala juga dekat dan bersama
makhluk-Nya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
Ayat ini tidak menunjukkan bahwa dzat Allah Ta’ala berada di segala tempat.
Karena jika demikian tentu konsekuensinya Allah juga berada di tempat-tempat
kotor dan najis, selain itu jika Allah berada di segala tempat artinya Allah
berbilang-bilang jumlahnya. Subhanallah, Maha Suci Allah dari semua itu. Maka
yang benar, Allah Ta’ala Yang Maha Esa berada di atas Arsy namun dekat
bersama hambanya. Jika kita mau memahami, sesungguhnya tidak ada yang
bertentangan antara dua pernyataan tersebut.
Ketika berada di dalam gua bersama Rasulullah karena dikejar kaum musyrikin,
Abu Bakar radhiallahu’anhu merasa sedih sehingga Rasulullah membacakan ayat
Qur’an, yang artinya:
“Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita” (QS. Taubah: 40)
Dalam Tafsir As Sa’di dijelaskan maksud ayat ini: “ ’Allah bersama kita’ yaitu
dengan pertolongan-Nya, dengan bantuan-Nya dan kekuatan dari-Nya”. Allah
Ta’ala juga berfirman yang artinya:
Dalam ayat ini pun kata qoriib (dekat) tidak bisa kita bayangkan sebagaimana
dekatnya makhluk dengan makhluk. Dalam Tafsir As Sa’di dijelaskan maksud ayat
ini: “Sesungguhnya Allah Maha Menjaga dan Maha Mengetahui. Mengetahui yang
samar dan tersembunyi. Mengetahui mata yang berkhianat dan hati yang ketakutan.
Dan Allah juga dekat dengan hamba-Nya yang berdoa, sehingga Allah berfirman
‘Aku mengabulkan doa orang yang berdoa jika berdoa kepada-Ku’ ”. Kemudian
dijelaskan pula: “Doa ada 2 macam, doa ibadah dan doa masalah. Dan kedekatan
Allah ada 2 macam, dekatnya Allah dengan ilmu-Nya terhadap seluruh makhluk-
Nya, dan dekatnya Allah kepada hambaNya yang berdoa untuk mengabulkan
doanya” (Tafsir As Sa’di). Jadi, dekat di sini bukan berarti menempel atau
bersebelahan dengan makhluk-Nya. Hal ini sebenarnya bisa dipahami dengan
mudah. Dalam bahasa Indonesia pun, tatkala kita berkata ‘Budi dan Tono sangat
dekat’, bukan berarti mereka berdua selalu bersama kemanapun perginya, dan
bukan berarti rumah mereka bersebelahan.
Kaum muslimin, akhirnya telah jelas bagi kita bahwa Allah Yang Maha Tinggi
berada dekat dan selalu bersama hamba-Nya. Allah Maha Mengetahui isi-isi hati
kita. Allah tahu segala sesuatu yang samar dan tersembunyi. Allah tahu niat-niat
buruk dan keburukan maksiat yang terbesit di hati. Allah bersama kita, maka masih
beranikah kita berbuat bermaksiat kepada Allah dan meninggakan segala perintah-
Nya?
Allah tahu hamba-hambanya yang butuh pertolongan dan pertolongan apa yang
paling baik. Allah pun tahu jeritan hati kita yang yang faqir akan rahmat-Nya.
Allah dekat dengan hamba-Nya yang berdoa dan mengabulkan doa-doa mereka.
Maka, masih ragukah kita untuk hanya meminta pertolongan kepada Allah?
Padahal Allah telah berjanji untuk mengabulkan doa hamba-Nya. Kemudian,
masih ragukah kita bahwa Allah Ta’ala sangat dekat dan mengabulkan doa-doa
kita tanpa butuh perantara? Sehingga sebagian kita masih ada yang mencari
perantara dari dukun, paranormal, para wali dan sesembahan lain selain Allah.
Wallahul musta’an. [Yulian Purnama]
Share/Save
Tertarik dengan artikel buletin ini? Tidak ingin ketinggalan artikel Buletin At-
Tauhid di setiap pekannya? Silahkan klik di sini untuk berlangganan. Atau
berlangganan via email dengan cara memasukkan email Anda pada form isian di
bawah ini. Anda akan mendapatkan pemberitahuan setiap ada artikel yang terbit di
buletin.muslim.or.id.
Kolom Komentar
1. semoga kita semua adalah hamba allah yang mau mempelajari ilmu tauhid…
Dikirim oleh nisah | 4 February 2009, 11:39
salam,
syukron.
4. #Halwa
Sifat berbeda dengan dzat. Saya kira ini perkara yang sudah jelas.
Manusia bisa melihat Allah pun melihat. Manusia bisa mendengar Allah pun
mendengar. Manusia bisa bersemayam Allah pun bersemayam.
Namun kesemua sifat Allah ini berbeda dengan sifat makhluknya, bahkan
pada bentuk yang paling sempurnanya.
5. untuk Halwa
Mengenai sifat Allah, semuanya harus berdasar quran dan hadits, tanpa
kedua rujukan di atas maka segala hujah harus kita tolak, apalagi
menggunakan dalil akal yang tidak akan mampu menjangkau sifat Allah. QS
22:8 “Dan di antara manusia ada orang-orang yang berbantahan tentang
Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab yang
menerangkan”
9. Mohon penjelasannya
1. Apakah benar bahwa yg namanya di atas Arsy itu sama dengan diatas
langit?
2. klo benar Allah ada di atas langit, langit yg manakah tempat
bersemayamnya Allah?
3. kenapa kita tidak boleh bertanya lebih jauh mengenai apa, siapa dan
dimana Allah jika di dalam sahadat dua kalimat kita menyebutkan bahwa
kita bersaksi bahwa tidak ada ilah melainkan Allah
NB : bukankah makna bersaksi adalah benar2 menyaksikan, melihat. Kalo
kita tidak benar2 tahu dan menyaksikan apa yg kita ucapkan tersebut,
bukankah ini berarti kita telah menjadi seorang pendusta/pembohong.
10.#Ryan
1. Benar. Karena Arsy ada di atas langit
2. Langit ke-tujuh
3. Bertanya tentang Alla dan dimana Allah boleh saja. Yang dilarang adalah
mempertanyakan ‘bagaimana’. Karena pertanyaan ini akan memancing
pikiran kita untuk mendeskripsikan rupa Dzat Allah. Dan mendeskripsikan
rupa Dzat Allah adalah hal yang dilarang.
Agar memahami kalimat syahadat jangan dari terjemahannya. ‘Syahadah’
dalam bahasa arab artinya ‘Khobarun Qothi’un’ (Pernyataan yang
tegas/pasti, lihat Lisanul Arob). Dan pernyataan yang tegas/pasti ini tidak
selalu harus melihat dulu. Selain itu tidak ada makhluk di dunia yang dapat
melihat Allah Ta’ala.
Jika memang Allah swt berada di atas langit itukan setelah langit tercipta?
Lantas sebelum langit diciptakan, Allah dimana?
Salam
13.Mohon penjelasan di sini aja ustadz, biar saya juga mengerti pertanyaan
saudara armand.
wassalam,
14.#Armand
Setelah langit diciptakan, Allah berada di atas langit, kita tahu karena Allah
telah menceritakannya. Allah menceritakannya karena kita perlu tahu.
Demikian juga ‘Arsy, Allah bersemayam di atas ‘Arsy namun bukan berarti
Allah butuh kepada ‘Arsy, bahkan ‘Arsy yang butuh kepada Allah.
wallahu’alam
15.Ah ustadz gimana sih. Jika Allah swt menciptakan langit kemudian menurut
Ustadz Allah swt bersemayam di langit, maka menurut logika kan Allah swt
menciptakan langit karena butuh untuk tempat bersemayam-Nya? Adakah
yg salah dgn logika ini?
Sebelum langit diciptakan dan bahkan sebelum alam semesta ini tercipta,
maka hanya ada Allah swt yg Maha Esa Sang Penguasa yg Maha Wujud.
Yang pasti kita tahu (bukan tidak tahu) tdk ada makhluk pada saat itu. Jika
Ustadz menafsirkan “bersemayam” adalah sebuah tempat, maka dimanakah
Allah “bersemayam”, sementara tidak ada tempat utk Allah swt
“bersemayam” pada saat itu?
Ketidaktahuan kita bukanlah karena tdk ada kabar mengenai ini, namun
disebabkan pengertian yg keliru mengenai kata “bersemayam”. Pengertian
“bersemayam” yg dianalogikan sebagai tempat merupakan pemahaman yg
menurut sy adalah pemahaman yg menyeleweng, karena berakibat Allah swt
tdk lagi bersifat Maha Berdiri Sendiri setelah alam semesta (baca: langit) ini
diciptakan-Nya.
Salam
Orang yang tidak mau meyakini bahwa Allah ber-istiwa di atas ‘Arsy ia
bertentangan dengan para sahabat, imam mahdzab yang empat dan para
ulama ahlussunnah.
Kami mengharapkan anda menelaah lagi tulisan kami dengan hati yang
jernih. Allahu yahdikum.
17.Maaf Ustadz, jika Istiwa tidak boleh kita tafsirkan, lalu untuk apa Alquran di
turunkan sebagai Petunjuk umat manusia ?
” Orang yang tidak mau meyakini bahwa Allah ber-istiwa di atas ‘Arsy ia
bertentangan dengan para sahabat, imam mahdzab yang empat dan para
ulama ahlussunnah ” apakah ini Doktrin agama islam ?
wassalam,
18.#Halwa
Yang tidak boleh adalah menafsirkan bentuk atau cara istiwa, misalnya
menafsirkan bahwa ber-istiwa adalah duduk, bersandar, bersila atau
semacamnya. Karena Allah tidak menjelaskan cara istiwa dan Allah tidak
serupa dengan makhluk. Sehingga tidak ada yang bisa mengetahui bentuk
atau cara Allah beristiwa.
Menafsirkan makna istiwa boleh saja, yaitu ditafsirkan sesuai dengan makna
istiwa yang sudah ma’lum dalam bahasa arab. Oleh karena itu Imam Malik
berkata:
الستواء معلوم والكيف مجهول والسؤال عنه بدعة واليمان به واجب
“Istiwa itu maknanya sudah ma’lum. Cara Allah ber-istiwa itu tidak ada
yang mengetahui. Menanyakan cara Allah beristiwa adalah bid’ah.
Mengimani bahwa Allah beristiwa adalah wajib”
Apa yang anda maksud dengan doktrin? Karena semua ajaran agama
manapun tentu adalah doktrin. Doktrin atau apapun namanya, yang pasti kita
dituntut untuk tunduk kepada ajaran Islam yang ditetapkan oleh Allah
Ta’ala. Kemudian, adakah ajaran Islam yang lebih benar selain yang
dipahami oleh para sahabat, para ulama dan para imam umat Islam?
19.Salam
“Allah swt beristiwa dgn menempatkan diri-Nya pada sesuatu (bukan duduk,
bukan berbaring, bukan berdiri) yg berujud benda khusus yg bernama arsy di
suatu tempat tertentu/khusus yg disebut langit. Bertempat di sana dan
mengatur alam semesta beserta isinya serta mengawasinya. Benarkah
demikian?
Salam
21.#Armand
Kesimpulan yang tepat:
“Allah Ta’ala berada di atas ‘Arsy. ‘Arsy adalah makhluk Allah. Di atas
‘Arsy, Allah ber-istiwa. Ber-istiwa bukanlah duduk, berdiri, bersila, atau
apapun yang tergambar di benak kita. ‘Arsy ada diatas langit. Allah tidak
serupa dengan makhluk-Nya dan Allah Maha Kaya lagi Perkasa tidak
membutuhkan makhkluk-Nya. Namun makhluk-Nya lah yang butuh kepada
Allah”
‘Arsy adalah sesuatu yang ghaib, tidak bisa dijangkau oleh pancaindera.
Sifat-sifat ‘Arsy antara lain: dibawahnya terdapat air, dipikul oleh beberapa
Malaikat, memiliki tiang-tiang, ‘Arsy adalah makhluk Allah yang paling
tinggi.
Jika ingin menelaah lebih lanjut silakan baca artikel bermanfaat berikut:
http://ustadzkholid.com/aqidah/aqidah-ahlussunnah-terhadap-al-arsy
Allah swt beristiwa di arsy di atas langit. Arsy & langit adalah makhluk.
Ustadz tentu faham bahwa makhluk dgn segala sifat kekurangannya
membutuhkan ruang & tempat utk eksistensinya. Malaikat yg begitu ghaib
pun msh memiliki wujud, yg dapat dikenal oleh manusia-manusia khusus,
membutuhkan alam ini utk eksis. Sy yakin arsy yg Ustadz maksud pun
demikian. Nah mampukah Ustadz menjelaskan ke sy, bagaimana zat Allah
swt yg tdk membutuhkan ruang & tempat utk eksistensi-Nya bercampur dgn
makhluk-Nya yg msh membutuhkan ruang & tempat? Kecuali apabila
Ustadz pun meyakini bahwa Allah swt membutuhkan ruang & tempat
sebagaimana kebutuhan makhluk-Nya. Jika ini yang Ustadz yakini, maka sy
sungguh tak dapat berkata-kata. Semoga saja tdk.
Jadi tdk keliru jika dikatakan, dgn pemahaman Ustadz itu, bahwa Allah swt
sdh Tidak Berdiri Sendiri lagi ketika Ia menciptakan arsy & langit dan alam
semesta ini. Sehingga kata-kata Ustadz bahwa “Allah swt tida serupa dgn
makhluk-Nya, Maha Kaya lagi Perkasa, tidak membutuhkan makhluk-Nya
serta makhluk-Nya lah yg membutuhkan-Nya” adalah slogan-slogan hampa
karena berlawanan dgn i’tikad dan keyakinan Ustadz sendiri.
Salam
24.Assalamu’alaikum
Kiranya setelah membaca artikel diatas, dapatlah kita katakan bahwa akidah
ahlussunnah adalah mengimani sifat Allah Azza Wa Jalla sebagaimana Dia
memberitahukan pada kita didalam Al Quran atau melalui lisan NabiNya
Shallallahu Alaihi Wassalam. Serta menolak untuk mempertanyakan lebih
jauh bagaimana sifat2Nya itu. Ini adalah akidah yg sudah turun temurun
diwariskan salafus sholih kita yaitu Nabi dan para sahabat -radhiyallahu
‘anhuma-, imam 4 mazhab serta ulama2 yg setia pada manhaj Al Qur’an dan
Sunnah.
Afwan akhi Armand, kalau akhi protes keras akidah ini, lalu bagaimanakah
akidah ahlussunnah yg akhi yakini? Sudilah ditulis disini agar bisa
didiskusikan dengan Ustadz Yulian.
25.#Armand
Allah berada di atas ‘Arsy bukan berarti Allah membutuhkan tempat dan
ruang. Coba anda baca kitab-kitab Aqidah tulisan para ulama. Mereka
mengatakan ‘Arsy itu haq, dan Allah berada di atas ‘Arsy. Namun mereka
juga mengatakan bahwa Allah tidak membutuhkan ruang dan tempat. Ini
tidak kontradiktif sama sekali, kecuali bagi orang yang belum paham.
Saran saya, agar tidak jadi debat kusir, jika anda meng-klaim keyakinan
anda adalah keyakinan Ahlussunnah, tolong sampaikan kepada saya siapa
ulama Ahlussunnah yang tidak meyakini Allah di atas ‘Arsy.
Semoga Allah memberikan kita taufiq untuk lebih memahami agama ini.
Salam
27.“Di kitab-kitab Aqidah tulisan para ulama. Mereka mengatakan ‘Arsy itu
haq, dan Allah berada di atas ‘Arsy”
Salam
28.@akhi Armand,
Pertama:
Istiwa’ adalah hakikat dan bukan majas. Kita bisa memahaminya dengan
bahasa Arab yang dengannya wahyu diturunkan. Yang tidak kita ketahui
adalah kaifiyyah (cara/bentuk) istiwa’ Allah, karena Dia tidak
menjelaskannya. Ketika ditanya tentang ayat 5 Surat Thaha ( الرحمن على العرش
)استوى, Rabi’ah bin Abdurrahman dan Malik bin Anas mengatakan:
Komentar dari saya : maksud dari pernyataan istiwa itu diketahui adalah
diketahui hanya secara bahasa/makna.
Kedua:
Wajib mengimani dan menetapkan sifat istiwa’ tanpa merubah (ta’wil/tahrif)
pengertiannya, juga tanpa menyerupakan (tasybih/tamtsil) sifat ini dengan
sifat istiwa’ makhluk.
Ketiga:
Keempat:
Kelima:
Istiwa’ Allah di atas ‘Arsy tidak berarti bahwa Allah membutuhkannya, tapi
justru ‘arsy yang membutuhkan Allah seperti makhluk-makhluk yang lain.
Dengan hikmah-Nya Allah menciptakan ‘Arsy untuk istiwa’ diatasnya, dan
Allah Maha Kaya dan tidak membutuhkan apapun. Wallahu a’lam.
Tentang makna istiwaa’ sendiri para ulama ahlus sunnah telah menjelaskan
maknanya yaitu ‘alaa (di atas), irtafa’a (naik), so’ada (naik), dan istaqarra
(menetap). Adapun mengartikannya dengan “bersemayam” hanya sekadar
memudahkan penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia/ taqriibul fahm
(mendekatkan pemahaman) saja.
Jadi memang sedkit rumit kalau istilah bersemayam digunakan untuk
menjelaskan istiwaa’ yang hakiki.
ini adalah bbrapa konsekuensi batil dari memekanai istiwaa’ dgn istaulaa’.
dan batilnya konsekuensi suatu pernyataan menunjukkan batilnya
pernyataan tersebut. Wallohu a’lam.
30.#Armand
Istiwa itu sifat Allah dan juga sifat makhluk. Namun Istiwa Allah tidak
sebagaimana istiwa makhluk. Sebagaimana Allah itu Bashiirun (Maha
Melihat), Samii’un (Maha Mendengar). Melihat dan mendengar juga sifat
dan perbuatan makhluk. Jika anda mengingkari istiwa karena alasan ini,
anda tentu juga harus mengingkari sifat Allah Maha Melihat dan Maha
Mendengar.
Allah berada di atas ‘Arsy bukan untuk eksistensinya tapi karena Allah
menginginkannya.
Imam Abu Hanifah mengatakan Allah tidak memiliki arah, namun di tempat
lain beliau mengatakan Allah di atas ‘Arsy. Ini juga dikatakan oleh Ath
Thahawi, dan para ulama yang lain. Artinya apa? Allah tidak memiliki arah
tidak menafikan bahwa Allah di atas ‘Arsy. Ini perlu penjelasan panjang,
Insya Allah akan kami bahas pada tulisan tersendiri.
Inikah akidah yg diwasiatkan Rasul saw kepada kita? Inikah yang saudara2
tegaskan sebagai akidah ahlussunnah? Mencabut akal dari perannya dan
menancapkan doktrinasi? Jangan bertanya lebih jauh. Imani saja. Bagaimana
mungkin orang beriman tanpa berakal? Bagaimana bisa orang yakin tanpa
berpikir? Apakah ini yg diyakini oleh Abubakar, Umar, Utsman dan
Sayyidina Ali? Coba yakinkan sy dgn mengutip ucapan2 beliau-beliau
tentang hal ini. Bagaimana kita akan mengenal Allah, yang jika sifat-sifat yg
mampu kita kenal dinafikan utk dipelajari hanya karena ketidaktahuan dan
keterbatasan ilmu kita?
Dalam Kitab Fiqh al Akbar: Allah tidak menyerupai sesuatu pun daripada
makhlukNya, dan tidak ada sesuatu makhluk pun yang menyerupaiNya.
Dalam Kitab Wasiat: Dan kami (ulama Islam) mengakui bahwa Allah ta’al
beristawa atas ‘arsy tanpa Dia memerlukan ‘arsy dan Dia tidak menetap di
atas ‘arsy, Dia menjaga ‘arsy dan selain ‘arsy, tanpa memerlukan ‘arsy.
Sekiranya dikatakan Allah memerlukan kepada yang lain sudah pasti ia tidak
mampu mencipta Allah ini dan tidak mampu mentadbirnya seperti juga
makhluk-makhluk. Kalaulah Allah memerlukan sifat duduk dan bertempat
maka sebelum dicipta ’arsy dimanakah Dia? Maha suci Allah dari yang
demikian”.
Komen sy: Jelas bahwa akidah ulama Salaf sebenarnya yang telah
dinyatakan oleh Imam Abu Hanifah adalah menafikan sifat bersemayam
Allah di atas ‘arsy.
Dinukil oleh Imam Al-Zabidi dalam kitabnya Ithaf al-Sadatil Muttaqin jilid
2: Sesungguhnya Dia Allah Ta’ala ada (dari azali) dan tempat belumlah
diciptakan. Kemudian Allah menciptakan tempat dan Dia tetap dengan
sifatnnya yang azali itu sebagaimana belum terciptanya tempat. Sifat Allah
tidak mengikuti perubahan itu.
Komen sy: Sifat Allah swt Berdiri Sendiri & Tidak Tergantung Makhluk-
Nya, baik sebelum atau pun setelah diciptakannya makhluk. Berbeda dgn
saudara2 yg menganggap Allah bertempat di langit dan tdk diketahui
bagaimana sebelum langit diciptakan.
Komen sy: Imam Malik bahkan hanya menulis kata istiwa, bukan
memberikan makna dhahir jalasa atau duduk atau bersemayam atau
bertempat.
Terakhir, Sayyidina Ali, yang telah diriwayatkan oleh Imam Abu Mansur al-
Tamimi dalam kitabnya At-Tabsiroh mengatakan:
Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mencipta al-‘arsy untuk menzahirkan
kekuasaanya, bukannya untuk menjadikan ia tempat bagi Nya.
Salam
32.#Armand
Maaf, sebenarnya anda mengimani Allah ber-istiwa di atas ‘Arsy atau tidak?
Orang yang menafsirkan istawa dengan istaula, ia tidak mengimani Allah di
atas ‘Arsy.
Berbicara tentang Allah itu berdasarkan apa yang Allah kabarkan, dengan
kata lain: dalil. Jika selain dari dasar itu darimana kita bisa tahu? Semua
ajaran agama ini dibangun atas dasar dalil, bukan logika.
Jika dalil sudah menetapkan, kita dituntut untuk beriman. Mengapa kita
diperintahkan untuk shalat, mengapa shalat 5 kali, mengapa Allah
menentukan takdir, itu semua kita hanya wajib mengimani tanpa perlu
mempertanyakan.
Yang boleh kita pertanyakan adalah dalil. Mengapa shalat itu wajib, dalilnya
apa? Mengapa Allah di atas Arsy, dalilnya apa? dst.
Allah Ta’ala menurunkan Qur’an dan mengutus Nabi-Nya agar hamba-Nya
beragama dengan dasar 2 hal tersebut bukan dengan logika.
Jika anda berusaha sedikit ilmiah, tolong baca langsung pada kitab para
imam baru berpendapat. Demikian baru dikatakan Al ilmu qoblal qoul wal
amal. Ada ilmu sebelum berbicara. Ingat, bicara tentang Allah tanpa ilmu itu
dosa besar.
ق َوأَن تُش ِر ُكوا بِاهللِ َما لَم
ِ ي بِغَي ِر ال َح
َ اإلث َم َوالبَغ
ِ طنَ َوَ َظ َه َر ِمن َها َو َما ب
َ ش َما َ ِقُل ِإنَّ َما َح َّر َما َرب
ِ ي الفَ َو
َ اح
َ طانًا َوأَن تَقُولُوا
َعلَى هللاِ َما لَ ت َعلَ ُمون َ سل
ُ يُن َِجل بِ ِه
33.Assalamu’alaikum,
Ya akhi -yg semoga selalu mendapat rahmat dan kasih sayang dari Allah-,
jika akhi hanya mempermasalahkan pemakaian kata bersemayam untuk
memaknai istiwa secara bahasa, maka sungguh akhi adalah org yg kritis
karena memang benar, pemakaian kata semayam untuk memaknai istiwa
masih perlu untuk diteliti karena makna istiwa Allah tidak bisa dimaknai.
Tetapi kalau akhi sampai mengingkari sifat istiwa Allah diatas arsy-Nya
bahkan memaknai istiwa dengan istawla (menguasai), apalagi sampai
mempertanyakan dimana Allah sebelum diciptakannya langit, ya akhi
takutlah kepada Allah Ta’ala. Kalo permasalahannya sudah sampai disini
maka tidak boleh memakai logika lagi karena tidak adanya nash baik dari Al
Quran maupun hadits Nabi yg menjelaskan dimana Allah sebelum langit
diciptakan. Itu sudah masuk perkara ghaib yg tidak diberitahukan kepada
makhluk2Nya, dalilnya adalah : “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua
yang ghaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia
mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun
yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir
biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang
kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)” QS Al
An’am : 59. Jadi, klo boleh saya nasehatkan pada akhi, batasilah logika
berpikir akhi dan imanilah yg sudah jelas2 diberitahukan Allah Ta’ala lewat
kitabNya dan lewat lisan NabiNya kepada kita. Hindarkan prasangka karena
bisa membawa kita ke jurang kebinasaan.
Akhi jangan mengandai2 Nabi masih hidup untuk bertanya pada beliau
dimana Allah sebelum langit diciptakan. Andaikan Imam Syafi’i saja yg
masih hidup pada masa skrg dan akhi bertanya padanya mengenai hal itu,
akhi bisa ditendang beliau karena dianggap zindiq, karena apa? karena
bertanya mengenai Allah Ta’ala yg diluar batas kewajaran dan tidak adanya
nash yg menerangkan, adalah godaan syaiton. Silahkan dirujuk mengenai
riwayat ini pada kitab yg saya sebutkan tadi. Maaf, halamannya saya lupa.
Oleh karena itu ya saudaraku armand, berhati-hatilah dalam menggunakan
logika dan akal. Manusia dikaruniai akal untuk berpikir tetapi janganlah
logika berpikir kita menyebabkan kita jatuh ke jurang kebinasaan. Allahu
yahdikum.
Wassalamu’alaikum,
(Dari yg sangat mengharapkan petunjuk dan ampunanNya) -Ibnu Zakki-
Salam
1. Saya tidak melihat saudara Arman tidak mengimani ayat Allah: Arrahman
alal arsy astawa, sebagaimana yang beberapa kali dituduhkan. Yang saya
lihat adalah bahwa saudara Arman memiliki penafsiran yang berbeda.
2. Saudara2 selalu mengklaim pbahwa akidah ahlul sunnah itu adalah
sebagaimana pemahaman anda, dan saudara Arman memiliki pemahaman
aqidah yang berbeda dengan ahlul sunnah. Sekali lagi saudara2 tidak bisa
membedakan tafsir dengan text. Saudara Arman tetap menggunakan aqidah
ahlul sunnah hanya tafsir pemahamannya berbeda dengan yang anda miliki.
Saya pikir kita semua harus berhati2 disini, karena kita tidak bisa
memaksakan tafsir kita kepada orang lain.
3. Pernyataan saudara tentang tidak perlu dipertanyakan lagi, dan juga
pemahaman saudara tentang doktrin saya pikir tidak benar. Apalagi ketika
saudara mencontohkan: kenapa kita shalat 5 kali sebagai sesuatu yang tidak
boleh dipertanyakan.
Sauadaraku, anda terjebak dalam generalisasi yang menyesatkan. Saya
setuju bahwa ada hal2 yang tidak selayaknya (bukan tidak boleh)
dipertanyakan yaitu masalah syariat (sebagaimana shalat) karena syari’at
adalah konsekuensi dari kita telah beriman.
Sebaliknya proses beriman (Aqidah) harus lah melaui proses berfikir,
bertanya dan tafakur. Sebagaimana yang diperintahkan dalam Al-Qur’an,
sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi2 dan riwayat2 manusia suci
lainnya dalam Al-Qur’an. Contoh paling populer adalah proses Nabi Ibrahim
dalam menemukan Allah.
Jika anda memahami bahwa aqidah tidak bisa ditanyakan maka atas dasar
apa orang2 diluar islam harus masuk islam??. Mereka tetap dslam agamanya
sebagaimana doktrin agama mereka. Menurut Islam mereka dipersalahkan
dikarenakan mereka tidak berfikir dan tidak mempertanyakan (tidak
menggunakan akal mereka).
“IMAN ADALAH HASIL DARI DOKTRIN YANG DIPERTANYAKAN
(DIUJI)”
Tidak ada iman tanpa berfikir. tidak akan dikatakan beriman seseorang
sebelum dia meyakini/menguji kebenaran atas apa yang diimaninya. Atau
dengan kata lain apa2 yang kita yakini tanpa pengujian maka itu hanyalah
sekedar dogma. Sebagaimana agama lain mengimani sesuatu yang tidak
masuk akal (Tuhan lebih dari satu, Tuhan mempunyai anak), mereka pun
dengan cara pandang yang sama dilarang untuk mempertanyakannya,
sehingga mereka tidak pernah tahu bahwa aqidah mereka salah.
Wassalam
37.1. Yang dipermasalahkan adalah mengimani bahwa Allah di atas Arsy atau
tidak? Orang yang menafsirkan istawa dengan istaula (menguasai), otomatis
tidak mengimani Allah di atas Arsy. Padahal Rasulullah, para sahabat dan
semua ulama ahlus sunnah mengimani Allah di atas Arsy.
3. Belajar agama yang benar tentu butuh akal yang baik. Dan tidak ada
ajaran Islam yang tidak masuk akal. Namun pada beberapa hal, akal tidak
diberi ambil bagian. Salah satunya dalam hal Dzat dan kaifiyah apa yang
dilakukan Allah Ta’ala. Karena tidak ada informasi mengenai hal itu yang
berupa dalil apalagi hal yang inderawi. Oleh karena itu cukup bagi kita
mengimani saja, karena demikianlah yang ada di Al Qur’an Al Karim dan
hadits-hadits Nabi.
3. Kalopun ini adalah doktrin, tentunya wajib kita terima karena ini berasal
dari Allah Ta’ala. Kita lihat sejarah para Nabi, Nabi Ibrahim alaihissalam
memulai perjalanannya mencari Tuhan (lihat QS 6 : 74-80), tetapi apakah yg
beliau lakukan setelah beliau mengimani Allah Ta’ala? Lihat QS 6 : 79,
apakah beliau menggunakan akalnya lagi untuk mempertanyakan bagaimana
DzatNya?? Tidak sama sekali ya akhi. Lalu riwayat Rasulullah Shallallahu
alaihi wassalam menyendiri di gua hira sebelum beliau diutus, beliaupun
bertafakur, berpikir sendirian, dan setelah beliau diutus Allah untuk menjadi
Rasul, adakah beliau menggunakan akalnya untuk mempertanyakan lebih
lanjut bagaimana Dzat Allah Ta’ala? Padahal klo boleh, beliaulah manusia
yg paling berhak bertanya pada Allah tentang bagaimana DzatNya, tetapi
beliau Shallallahu alaihi wassalam tidak melakukannya, karena apa? karena
ini termasuk pada perkara ghaib yg manusia tidak diberi petunjuk
tentangnya (QS 6 : 59). Beliau Shallallahu alaihi wassalam mengetahui
bahwa perkara ghaib bukan dalam ruang lingkup yg harus diketahui
manusia. Dari teladan para Rasul ini bisa kita petik ibroh ya saudaraku,
bahwa untuk masalah2 ghaib akal haruslah kita batasi, dengan apa? dengan
Al Quran dan hadits, agar akal kita sejalan dengan iman dan tidak
melenceng jauh dari koridor2 aqidah dan kalopun Qur’an dan hadits itu
adalah doktrin maka kita wajib patuh karena doktrin itulah yg akan
menjamin keselamatan kita di akhirat nanti.
Lalu kalau saudara katakan, iman adalah hasil doktrin yg teruji, adakah
dalilnya? saya ingin bertanya pada anda, saya mengimani Allah beristiwa di
atas arsyNya berdasarkan apa yg tertulis di kitabNya, haruskah saya
membuktikannya/mengujinya dulu apakah memang benar Rabb Azza wa
Jalla beristiwa diatas arsy?? Jika saya tidak bisa membuktikannya dan hanya
beriman lewat kitabNya, berarti saya dibilang tidak beriman dong??
Bagaimana maksud akhi?
39.Allah di atas arsy adalah kebenaran yang tidak bisa ditolak, sesuai dengan
kekuasaan Allah (QS 20:5). Dan Allah juga dekat dengan kita, sesuai dengan
kebesaran Allah yang tidak terukur kebesaranNya (QS 2:186). Kedekatan ini
tidak bisa ditolak dan tidak bisa ditakwil seperti juga sifat2 dan asma Allah
yang lain.
Termasuk dosa besar berkata tentang Allah tanpa petunjuk dari Quran dan
Hadits
40.he..he saudara armand sudah mulai paham lewat tulisan2 yang bermanfaat
dan berdasar akidah ahlusunnah, malah truthseeker08 membela tanpa
dalil,dan menurut logikanya,padahal bagi saya tulisan diatas
saaaaaannnngaaaat jelas dan mudah dipahami, truthseeker08 kayaknya guru
PMp ya..?? Sori just kidding, jng marah ya..? belajar terus utk cr kebenaran..
42.ustadz mau nanya g mana nech cara untk agar keyakinan kita ini
slalu.mengingat allah,soalx keyakinan ku masih mamang????
44.#Murid
Jawabannya sudah ada di artikel, silakan baca kembali dengan pikiran jernih
dan hati yang tenang.
46.Mohon maaf, saya membaca sebagian besar tulisan dan komentar2 di atas,
namun sepertinya saya lebih condong ke saudara Armand ya…..
Saya orang awam yang sedang berjalan ke satu tujuan yang membutuhkan
semua petunjuk….dan biar saya yang memfilter dengan bantuan Tuhan
semesta alam.
47.Semoga mas adebay diberi petunjuk oleh Allah Ta’ala dalam mencari
kebenaran yg hakiki. Satu saran saya mas, jgnlah akal anda menjadikan anda
menolak dalil. Akal harus tunduk pada dalil karena dengan cara itulah kita
bisa selamat dalam mengenal Allah Ta’ala.
Selamat memperdalam Quran dan hadits. Semoga Allah merahmati anda dan
keluarga.
48.#Armand
Allahu yahdika..
Saudaraku, apakah anda lupa mendengar dan melihat bukan hanya sifat yang
dimiliki manusia, namun juga binatang. Bahkan jin, makhluk yang lebih
rendah dari manusia juga bisa bicara. Jadi pernyataan anda tidak tepat.
Saudaraku, setiap makhluk minimal punya satu sifat, yaitu ADA. Manusia
ada, binatang ada, makhluk ada. Apakah anda mengatakan Allah tidak
memiliki sifat ADA? Karena sifat tersebut juga dimiliki oleh makhluk?
49.@Ustadz Yulian
Bersemayam, yg hingga kini tdk pernah mau utk dimaknai tetap saja adalah
prilaku manusiawi jika ia merupakan suatu perbuatan/pekerjaan fisik yg
manusia jg pernah/bisa melakukannya.
Saudaraku Yulian, ADAnya Allah swt jelas berbeda dgn ADAnya makhluk.
Sifat ADA bagi makhluk adalah Mungkin. Sementara sifat ADA bagi Allah
adalah Wajib.
Mungkin bagi makhluk karena ia bisa diciptakan dan bisa jg tidak
diciptakan. Kita manusia ini ada karena diciptakan. Mungkin jg tidak ada
bila tdk diciptakan. Wajib bagi Allah swt sifat ADA, karena jika tidak maka
Ia bisa tidak ada. Mustahil jika Allah swt mungkin tidak ada.
Mengenai bacaan Arab oleh Imam Ibnu Khuzaimah yg mas sodorkan, maaf
sy lagi belajar jadi belum bisa bacanya. Insya Allah dalam waktu dekat ini.
Ada pun link mengenai kaidah sifat2 Allah swt yg mas tawarkan ke sy, sdh
sy baca namun menurut sy msh menyisakan banyak kejanggalan
mengenainya. Bukan di forum ini kiranya pertanyaan yg perlu sy ajukan.
Salam
Saya ingin tanya bagian yg ini, “Begitu pula manusia thd Allah. Jika sdh
mencapai tingkat tertinggi kemakrifatan, maka sifat2 mulia Allah swt bisa
jadi dimilikinya”. Bisa tolong sebutkan dalil dari al Quran dan hadits tentang
ucapan akhi diatas? Maaf akhi, dari ucapan akhi ini secara tidak langsung
saya interpretasikan akhi jg telah menurunkan sifat2 Allah yg Maha
Segalanya menjadi sama spt dengan manusia, bahkan bisa dimiliki oleh
manusia dengan menekuni ilmu ma’rifat. Tolong penjelasannya ya akhi agar
tidak ada salah paham…semoga firasat saya salah.
Salam
51.#Armand
Maaf, setelah mengetahui anda belum bisa memahami bahasa arab, saya
tidak berminat untuk melanjutkan diskusi ini. Karena bagaimana mungkin
saya bisa mengajak anda berdiskusi ilmiah jika ternyata anda belum bisa
merujuk langsung pada kitab-kitab para ulama ahlussunnah.
Saudaraku, diskusi yang hanya bermodal akal dan logika semata hanya akan
menimbulkan keras hati, ngeyel, pertikaian dan kebencian di hati.
Hendaknya kita berbicara dan berdiskusi dengan ilmu.
Semoga Allah memberikan semangat kepada anda untuk mempelajai agama
ini lebih mendalam.
52.Tuhan tak sebatas otak-atik otak manusia, apalagi cuma setebal atau bahkan
setumpuk dan mungkin segudang buku sekalipun.
53.Sekali lagi keberadaan Allah akan terus menjadi bahan perdebatan yang
mungkin nggak akan berakhir. Semua punya dalil, semua punya
argumentasi..yang akhirnya tetap tidak ada kesimpulan yang pasti..terus kita
harus bagaimana dalam bersikap, kalau tidak ada ketentuan yang pasti?
Apakah kalau salah pemahaman bisa jadi bahan siksa neraka? Padahal hal
itu di luar jangkauan akal..
54.#Awe
Anda merasa tidak ada kesimpulan yang pasti karena anda belum faham.
Mengenai hal ini, karena didasari oleh Qur’an dan Sunnah serta pernyataan
para ulama, maka ini ada keyakinan yang pasti.
Salah memahami hal ini akibatnya bisa fatal, yaitu berkeyakinan tentang
Allah yang tidak selayaknya. Seperti berkeyakinan bahwa Allah dimana-
mana atau berkeyakinan bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat. Ini sangat
fatal yang bisa menyebabkan pelakunya terjerumus dalam kesyirikan dan
kebid’ahan.
Karena hal ini di luar jangkauan, akal, maka sikap kita adalah pasrah pada
dalil yang ada.
55.#Awe
Anda merasa tidak ada kesimpulan yang pasti karena anda belum faham.
Mengenai hal ini, karena didasari oleh Qur’an dan Sunnah serta pernyataan
para ulama, maka ini ada keyakinan yang pasti.
Salah memahami hal ini akibatnya bisa fatal, yaitu berkeyakinan tentang
Allah yang tidak selayaknya. Seperti berkeyakinan bahwa Allah dimana-
mana atau berkeyakinan bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat. Ini sangat
fatal yang bisa menyebabkan pelakunya terjerumus dalam kesyirikan dan
kebid’ahan.
Karena hal ini di luar jangkauan akal, maka sikap kita adalah pasrah pada
dalil yang ada.
Baca juga artikel berikut:
http://rumaysho.com/belajar-islam/aqidah/2955-menyanggah-abusalafy-1-
keyakinan-yang-benar-mengenai-sifat-allah.html