Anda di halaman 1dari 75

Laporan Kunjungan Museum Pusat

TNI AU Dirgantara Mandala

Pembimbing :
B.Eni Lestari
Disusun Oleh :
1. Khayla Afrin Aqila Putri
2. Anastasya Dayana
3. Alif Deyva
4. Sabda Agung
5. Ni Wayan
6. Galih Narendra Kalimasyada
7. Arrisa Aulia Tsabita
8. Bisma Aptana
9. Nailah Ayu Junaidi
10. Neisya Cynthia Maxelita
11. Alven
Kata Pengantar
Daftar isi
Museum Pusat TNI AU "Dirgantara
Mandala" adalah museum yang
digagas oleh TNI Angkatan Udara
yang berisikan benda-benda koleksi
sejarah, dimana sebagian besarnya
berupa pesawat terbang yang
pernah mengabdikan diri di
lingkungan TNI AU.[1] Museum ini
berlokasi kurang lebih 6 kilometer
arah Timur dari pusat kota
Yogyakarta, di kompleks Pangkalan
Udara Adi Sutjipto, Yogyakarta.
Museum ini sebelumnya berada
berada di Jalan Tanah Abang Bukit,
Jakarta dan diresmikan pada 4 April
1969 oleh Panglima AU Laksamana
Roesmin Noerjadin lalu dipindahkan
ke Yogyakarta pada 29 Juli 1978.[2]
Museum Pusat TNI AU Dirgantara
Mandala
Logo Museum Pusat TNI AU
Dirgantara Mandala Yogyakarta.jpg
Logo resmi Museum Pusat TNI AU
Dirgantara Mandala
Didirikan
4 April 1969
Lokasi
Komplek TNI AU Lanud Adi Sutcipto,
Jl Raya Solo, Yogyakarta, Indonesia
Koordinat
7°47′24″S 110°24′56″E / 7.789935°S
110.415675°E
Jenis
Museum militer
Koleksi
Benda-benda yang berkaitan dengan
TNI Angkatan Udara
Jumlah koleksi
1.159
Pemilik
TNI Angkatan Udara
Latar Belakang Sunting
Museum ini didirikan dengan
berdasarkan dua hal utama yaitu:

Mendokumentasikan segala
kegiatan dan peristiwa bersejarah
dalam bertumbuhnya TNI Angkatan
Udara
Nilai-nilai luhur perjuangan 1945,
yang bisa diwariskan kepada para
anak cucu negeri ini.
Berdasarkan dua hal tersebut,
dituangkan dalam Keputusan
Menteri/Panglima Angkatan Udara
Nomor 491 tanggal 6 Agustus 1960
tentang dokumentasi, sejarah dan
museum Angkatan Udara Republik
Indonesia, yang baru bisa
diwujudkan dalam bentuk embrio
pada tanggal 21 April 1967 dan
dibawah pembinaan Asisten
Direktorat Hubungan Masyarakat
Angkatan Udara Republik
Indonesia.[3] Dalam bentuk embrio
ini, ia sudah memiliki tiga bagian
yaitu:

Bagian pembinaan benda-benda


Bagian administrasi dan deskripsi
Bagian dokumentasi dan pameran
dengan kegiatan yang masih
terbatas.

Mulai ada kegiatan lebih berarti


setelah adanya Instruksi
Menteri/Panglima Angkatan Udara
Nomor 2 tahun 1967 tanggal 30 Juli
1967 tentang peningkatan kegiatan
bidang sejarah, budaya dan museum
Angkatan Udara. Pada tanggal 4
April 1969, museum ini diresmikan
oleh Panglima Angkatan Udara
Laksamana Roesmin Noerjadin,
dengan nama Museum Pusat
Angkatan Udara Republik Indonesia.
Dalam peresmiannya turut dihadiri
oleh beberapa tokoh penting TNI
AU, antara lain:

Laksamana Udara R. Soerjadi


Soerjadarma
Laksamana Udara (Purn) Dr. Suhardi
Hardjo Lukito
Pangkowilu V - Laksda Udara Saleh
Basarah
Kapusjarah ABRI - Kol Tit. Drs
Nugroho Notosusanto
Awalnya, museum berada kawasan
Markas Komando Wilayah Udara V
(Makowilu V) di Jalan Tanah Abang
Bukit, Jakarta. Dan pada saat
bersamaan berdiri juga Museum
Pendidikan/Karbol di Lembaga
Pendidikan AKABRI Bagian Udara,
Yogyakarta atau sekarang dikenal
dengan nama AAU, sehingga muncul
ide untuk penyatuan kedua, selain
juga untuk menampung koleksi alat
utama sistem senjata TNI AU yang
kian terus berkembang sehingga
dibutuhkan tempat yang lebih luas.

1978 - 1982
Penentuan lokasi museum ada di
Yogyakarta didasarkan atas
pemikiran sebagai berikut:
Kurun masa tahun 1945 - 1949, kota
ini memegang peranan penting
sebagai pusat kelahiran dan
perkembangan TNI AU.
Kota ini adalah tempat dididiknya
para Taruna-taruna Angkatan Udara
(karbol) calon perwira TNI AU
Bandar Udara Maguwo atau Bandar
Udara Internasional Adisutjipto
adalah tempat banyak peristiwa
untuk memupuk kejuangan 1945
yang perlu diwariskan kepada
generasi kini dan saat mendatang.
Atas dasar itulah maka Kepala Staf
TNI AU mengeluarkan keputusan No.
Kep/11/IV/1978 tertanggal 17 April
1978 yang menetapkan bahwa
Museum Pusat AURI dipindahkan ke
Yogyakarta dan disinergikan dengan
Museum Pendidikan
Pendidikan/Karbol menjadi Museum
Pusat TNI AU Dirgantara Mandala.

1982 - Sekarang Sunting


Pimpinan TNI-AU kemudian
menunjuk gedung bekas pabrik gula
di Wonocatur Lanud Adisutjipto
yang pada masa pendudukan Jepang
digunakan sebagai gudang logisitik
sebagai Museum Pusat TNI-AU
Dirgantara Mandala. Pada tanggal 17
Desember 1982, Kepala Staf
Angkatan Udara Marsekal TNI
Ashadi Tjahjadi menandatangani
sebuah prasasti. Hal ini diperkuat
dengan surat perintah Kepala Staf
TNI-AU No.Sprin/05/IV/1984 tanggal
11 April 1984 tentang rehabilitasi
gedung ini untuk dipersiapkan
sebagai gedung permanen Museum
Pusat TNI-AU Dirgantara Mandala.
Dalam perkembangan selanjutnya
pada tanggal 29 Juli 1984 Kepala Staf
TNI-AU Marsekal TNI Sukardi
meresmikan penggunaan gedung
yang sudah direnovasi tersebut
sebagai gedung Museum Pusat TNI
AU “Dirgantara Mandala” dengan
luas area museum seluruhnya
kurang lebih 4,2 Ha. Luas bangunan
seluruhnya yang digunakan 8.765
m2.[4]
5]
Ruangan Museum Sunting
Pelbagai koleksi maupun benda
bersejarah TNI AU dipamerkan
dalam ruangan berbeda dengan
nama sebagai berikut:

Pesawat C-130B Hercules T 301


Ruang Utama; berisikan koleksi
lambang TNI AU beserta jajarannya,
foto KASAU dari tahun 1946 hingga
sekarang yang dilengkapi dengan
Kode QR. Selain itu ia juga memuat
patung para pahlawan nasional dari
TNI AU, foto para tokoh penerima
bintang Swabuana Paksa, tanda
pangkat TNI AU serta tanda-tanda
kehormatan militer.
Ruang Kronologi; menggambarkan
sejarah perjuangan dan
perkembangan TNI AU dari
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Ruang Pahlawan dan Seragam TNI
AU; berisikan benda-benda koleksi
yang pernah dipakai oleh pahlawan
TNI AU dan seragam TNI AU dari
tahun 1946 sampai dengan
sekarang.
Ruang Kotama; berisikan benda-
benda koleksi yang berhubungan
dengan Kotama di jajaran TNI AU
diantaranya:
Korps Pasukan Khas TNI AU
Kodikau
AAU
Sekolah Staf dan Komando Angkatan
Udara
Koharmatau
Koopsau
Kohanudnas
Perkembangan Sekolah Penerbang
TNI AU, dan
Benda koleksi yang pernah dimiliki
oleh mantan Kepala Staf TNI
Angkatan Udara
Ruang Alutsista I & II; berisikan
koleksi alat utama sistem senjata
udara yang pernah dipergunakan
oleh TNI AU dari tahun 1945 sampai
dengan 1980-an.
Ruang Diorama I; berisikan 4 buah
diorama
Ruang Diorama II; berisikan 3 buah
diorama
Ruang Diorama III; berisikan 16 buah
diorama
Ruang Diorama SKSD Palapa
Ruang Minat Dirgantara
Ruang Mini Teater
Koleksi museum Sunting
Museum ini menyimpan sejumlah
foto tokoh-tokoh sejarah serta
diorama peristiwa sejarah Angkatan
Udara Indonesia.

Ruang Alutsista I dan II Sunting


Ruangan ini menyimpan sejumlah
pesawat tempur dan replikayang
kebanyakan berasal dari masa
Perang Dunia II dan perjuangan
kemerdekaan, diantaranya:

Pesawat A-4 Skyhawk Sunting


Artikel utama: A-4 Skyhawk
Pesawat A-4 Skyhawk TNI AU di
Museum Pusat TNI AU Dirgantara
Mandala
Pesawat ini merupakan buatan dari
pabrik McDonnell Aircraft, Amerika
Serikat dan mulai dioperasikan oleh
TNI AU sejak Mei 1980. Ia memiliki
beberapa julukan diantaranya :
"Scooter", "Bantan Bomber", "Tinker
Toy Bomber", Heinemann Hot Red"
dan di kalangan para penerbang TNI
AU ia lebih dikenal sebagai "Si
Bongkok". Ia merupakan pesawat
yang tangguh, dirancang untuk
dioperasikan di kalangan Angkatan
Laut Amerika Serikat dengan
ditenagai oleh satu mesin turbojet
Pratt & Whitney J52-P8A, dengan
daya dorong 9.200 lbs dan bisa
membawa beban seberat 4,5 ton di
luar badannya sendiri dan memiliki
kecepatan melesat 420 Knots pada
ketinggian kurang dari 500 kaki.

Karena dirancang untuk keperluan


Angkatan Laut Amerika Serikat,
maka ia juga memiliki tingkat
keamanan yang tinggi bagi awak
pesawatnya karena dilengkapi
dengan kursi lontar "zero zero
ejection seat", dimana kursi
lontarnya bisa dioperasikan pada
ketinggian 0 meter serta kecepatan
pesawatnya 0 knot, bahkan bisa
melontarkan penerbangnya dengan
aman, walau pesawatnya sudah
masuk ke laut. Pesawat ini juga
dilengkapi dengan sistem belly
landing, yaitu ia dapat mendarat
dengan aman walau tanpa
mengeluarkan roda pendaratan.
Dalam pengoperasiannya di
Indonesia, pesawat ini mengalami
beberapa modifikasi, antara lain:[6]

Pemasangan kamera pengintai


VICON 70 Camera
Radio Komunikasi dengan frekuensi
standard TNI ARC 182 (VHF-UHV-
AMFM)
Doppler Antena
TANS Computer
Sistem pemandu senjata WDNS
(Weapon Delivery Navigation
Systems)
Pembidik senjata Ferranti Gun Sight,
dan
Front Mounting Gun

Pesawat F-5E/F Tiger II Sunting

Pesawat F-5E/F Tiger II TNI AU


Artikel utama: Northrop F-5
Pesawat ini buatan pabrik Northrop
F-5, Amerika Serikat ini memiliki
ketangguhan yang bagus karena
dipergunakan selama Perang
Vietnam oleh Amerika Serikat.
Bentuknya yang panjang dan
runcing, supersonik (kecepatan
maksimumnya hingga 1,6 Mach) dan
bisa dipersenjatai dengan sepasang
Canon M.39, rudal udara ke udara
AIM-9 P-2 Sidewinder (salah satu
rudal terbaik kala itu di kelasnya).
TNI AU memiliki tidak kurang 16 unit
pesawat ini dimana 12 unitnya
merupakan varian kursi tunggal (F-
5E) dan sisanya kursi ganda (F-5F),
ditempatkan di Skadron Udara 14,
Lanud Iswahyudi, Madiun, Jawa
Timur. Pesawat ini dijuluki "Sang
Macan" oleh para penerbang TNI AU
dan menjadi tulang punggung dari
dekade 1980-an hingga tahun 2016,
dimana oleh pabrikannya ia diberi
julukan "Freedom Frighter". Ia bisa
melesat dengan kecepatan 1,4 Mach
di ketinggian jelajah 36.000 kaki
karena didorong sepasang mesin
J85-GE-13 Turbo Jet buatan pabrik
General Electric dan mampu
menjangkau ketinggian terbang
hingga 50.500 kaki. Apabila dengan
tanki penuh, ia bisa menjangkau
jarak hingga 1.387 mil dan dengan
perlengkapan penuh ia memiliki
radius tempur 195 mil, atau dengan
tangki penuh dan dua bom di sayap,
ia memiliki radius 558 mil.[7]

Koleksi Pesawat lainnya Sunting


Pesawat PBY-5A (Catalina).
Replika pesawat WEL-I RI-X (pesawat
pertama hasil produksi Indonesia)
Pesawat A6M5 Zero Sen buatan
Jepang.
Pesawat pengebom B-25 Mitchell, B-
26 Invader buatan AS
Pesawat pengebom TU-16 Badger
buatan Uni Soviet
Helikopter Hillier 360 buatan AS.
Pesawat P-51 Mustang buatan AS.
Pesawat KY51 Cureng buatan
Jepang.
Replika pesawat Glider Kampret
buatan Indonesia.
Pesawat TS-8 Dies buatan AS.
Pesawat Lavochkin La-11, Mig-15,
MiG-17 dan MiG-21 buatan Uni
Soviet.
Rudal SA-75[8] buatan Uni Soviet
Museum Pusat TNI-AU Dirgantara
Mandala baru-baru ini mendapat
tambahan koleksi berupa Prototype
Bom sejumlah 9 buah buatan
Dislitbangau yang bekerjasama
dengan PT. Pindad dan PT. Sari
Bahari. Bom-bom tersebut
merupakan bom latih (BLA/BLP) dan
bom tajam (BT) yang memiliki daya
ledak tinggi (high explosive), sebagai
senjata Pesawat Sukhoi Su-30, F-16,
Super Tucano dll.[9]

Galeri: Sunting

Patung Pahlawan Nasional TNI AU


dan Swabuana Paksa yang ada di
Ruang Utama

Swabuana Paksa yang ada di Ruang


Utama

Rudal SA 75 milik Museum Pusat TNI


AU Dirgantara Mandala
Kamera K-24 dibuat oleh Amerika
tahun 1944. Kamera ini menjadi
koleksi Museum Dirgantara Mandala
sejak tahun 1978.
Penutup
Sendratari Ramayana Prambanan
Baca dalam bahasa lain
Pantau
Sunting

Panggung Terbuka Sendratari


Ramayana Prambanan, pertunjukan
panggung terbuka hanya
diselenggarakan dari bulan Mei-
Oktober.
Sendratari Ramayana Prambanan
merupakan sebuah pertunjukan
yang menggabungkan tari dan
drama tanpa dialog, diangkat dari
cerita Ramayana dan dipertunjukkan
di dekat Candi Prambanan di Pulau
Jawa, Indonesia.[1][2] Sendratari
Ramayana Prambanan merupakan
sendratari yang paling rutin
mementaskan Sendratari Ramayana
sejak 1961.[3][4] Pemilihan bentuk
sendratari sebagai penutur cerita
pahlawan atau biasa disebut
wiracarita Ramayana karena
sendratari mengutamakan gerak-
gerak penguat ekspresi sebagai
pengganti dialog, sehingga
diharapkan penyampaian wiracarita
Ramayana dapat lebih mudah
dipahami dengan latar belakang
budaya dan bahasa penonton yang
berbeda.[1] Cerita Ramayana adalah
perjalan Rama dalam
menyelamatkan istrinya Sita (di Jawa
biasa disebut Sinta) yang diculik oleh
raja Negara Alengka, Rahwana.[1]
Sendratari Ramayana Prambanan
biasa digelar tiap hari Selasa, Kamis,
dan Sabtu, pementasan di panggung
terbuka hanya pada bulan kemarau,
di luar itu pementasan diadakan di
panggung tertutup.[5]
Epos Ramayana Sunting

Dua lembar lontar kakawin


Ramayana yang berasal dari
pegunungan Merapi-Merbabu, Jawa
Tengah dari abad ke-16 M.

Relief di Prambanan menampilkan


Sinta tengah diculik Rahwana yang
menunggangi raksasa bersayap,
sementara burung Jatayu di sebelah
kiri atas mencoba menolong Sita
Lihat pula: Kakawin Ramayana
Sendratari Ramayana Prambanan
menggunakan sumber cerita dari
Serat Rama yaitu cerita Ramayana
versi sastra Jawa Baru yang paling
populer di kalangan masyarakat.[6]
Serat Rama merupakan gubahan
Yasadipura I (1729-1802).[6]
Menurut Poerbatjaraka Serat Rama
macapat merupakan kitab Jawa
masa sekarang yang paling baik,
namun Poerbatjaraka juga
mengkritisi penulis Serat Rama yang
dianggap kurang menguasai bahasa
Jawa Kuno sehingga sering bagian-
bagian yang tidak dipahami
dihilangkan dan diganti.[6][7]

Serat Rama berbeda dengan


Ramayana versi Walmiki yang
dianggap sebagai versi orisinal dari
Ramayana. Serat Rama bersumber
atau gubahan dari naskah Ramayana
tertua di Indonesia yaitu Ramayana
Kakawin, yang ditulis dalam bahasa
Jawa Kuno dalam bentuk syair yang
dilagukan (kakawin).[6] Ramayana
Kakawin tidak bersumber kepada
Ramayana Walmiki melainkan
Ravanavadha karangan Bhatti dari
India.[6] Pada Ramayana Kakawin
dan pada pementasan Sendratari
Ramayana Prambanan tidak
terdapat kitab atau kanda pertama,
Balakanda dan ketujuh,
Uttarakanda, sehingga cerita
berakhir setelah Shinta melalui api
unggun dan terbukti kesuciannya.[6]
Poerbatjaraka berpendapat bahwa
Ramayana Kakawin dibuat sezaman
atau setelah Candi Prambanan
berdiri, karena dalam penulisan
Ramayana Kakawin penulis
membayangkan percandian Siwa
berada di depan matanya.[6] Oleh
karena itu relief Ramayana di Candi
Prambanan tidak bersumber pada
Ramayana Kakawin, versi Ramayana
Prambanan lebih mirip dengan
Hikayat Sri Rama yang ditulis dalam
bahasa Melayu.[6]Serat Rama
sendiri memiliki perbedaan dengan
Ramayana Kakawin, Serat Rama
diawali adegan istana dan asal-usul
keluarga Rahwana, kisah keluarga
Rahwana merupakan kutipan dari
Kitab Arjuna Wijaya karya Empu
Tantular.[6] Relief cerita Ramayana
di Candi Siwa dan Candi Brahma
menceritakan mulai dari kelahiran
Rama hingga penobatan Kusa, putra
Rama sebagai raja di Ayodya.[8]
Relief Ramayana pada Candi Siwa
terpahat pada 24 bidang dan 42
adegan, sedangkan pada Candi
Brahma terpahat pada 21 bidang
dan 30 adegan.[8]

Karena berasal dari sumber yang


berbeda, Sendratari Ramayana yang
bersumber dari Serat Rama
sedangkan relief Candi Prambanan
yang diduga berasal dari Hikayat Sri
Rama, pada pementasan terdapat
perbedaan cerita terutama di bagian
akhir kisah.[6] Bagian akhir cerita
pada pementasan Sendratari
Ramayana Prambanan pun berbeda
dengan Ramayana karya Walmiki,
Sendratari Ramayana Prambanan
berakhir dengan pertemuan kembali
Rama dan Sita[6] Sedangkan pada
versi Walmiki, kitab ketujuh
menceritakan rakyat Ayodhya masih
meragukan kesucian Sita, Rama
mengatakan bahwa Sita perlu
membuktikan di mata rakyat dengan
mengucapkan sumpah.[6] Akhirnya
Sita berkata “Demi tak sekalipun
terlintas dalam hati saya gambaran
laki-laki selain Rama, semoga Dewi
Pertiwi mau membukakan
pengakuannya dan menelan saya.
Demi saya telah mengucapkan kata
yang benar di sini, dan belum
pernah mengakui suami selain
Rama, semoga Dewi Pertiwi
membukakan pengakuannya dan
menelan saya”, setelah itu bumi
terbelah dan muncul Dewi Pertiwi
yang memeluk Sita dan
membawanya masuk ke dalam
bumi.[6] Usaha Rama sia-sia
memohon agar Sita dikembalikan,
akhirnya Rama menyerahkan
takhtanya sebagai raja Ayodhya
kepada Kusa dan Lawa, lalu kembali
ke khayangan menjadi Dewa
Wisnu.[6]
Pementasan perdana Sunting

Dokumentasi pemeran utama


Sendratari Ramayana, Rama
(Tunjung Sulaksono) dan Sinta
(Sumaryaning) bersama Charlie
Chaplin dan GPH Suryohamijoyo
(1961).
Gagasan awal dari Sendratari
Ramayana berawal dari ide GPH
Djatikoesoemo untuk meningkatkan
pariwisata Indonesia di mata
dunia.[1] Pada tahun 1960
Djatikoesoemo menyaksikan
pertunjukan Royal Ballet of
Cambodia yang dipentaskan di
depan Angkor Wat dalam
perjalannya ke negara-negara
sahabat untuk meninjau tempat-
tempat yang dapat menjadi sumber
inspirasi, setelah kembali ke
Indonesia akhirnya Djatikoesoemo
beniat untuk mementaskan sebuah
pagelaran dramatari yang
ditampilkan di depan Candi
Prambanan.[1] Proyek pertama
Sendratari Ramayana ini ditangani
langsung oleh Kementerian
Perhubungan Darat, Pos, dan
Telekomunikasi, sebagai proyek
nasional dengan dana 20 juta rupiah,
dan dilaksanakan mulai dari bulan
April 1961.[1]

Sebelum penampilan perdana, gladi


resik dipentaskan selama 3 malam
berturut-turut pada tanggal 23
sampai 25 Juli 1961 dan penduduk
Prambanan dan sekitarnya
diperkenankan menonton secara
cuma-cuma.[9] Pada tahun 1965
kegiatan gladi resik yang dapat
dihadiri masyarakat sekitar
dihapuskan.[9] Sendratari Ramayana
Prambanan bersifat kolosal yang
melibatkan banyak penari, produksi
pementasan awal pada tahun 1961
sendiri melibatkan 865 orang,
termasuk anggota panitia,
keamanan dan petugas
kesehatan.[1][9] Penari utama
berjumlah 55 orang, dengan tiap
tokohnya diperankan 3 sampai 4
orang agar satu penari tidak perlu
menari berturut-turut tiap
malamnya.[9] Penari tarian massal
berjumlah 400 orang, penabuh
gamelan pelok 33 orang, penabuh
gamelan slendro 33 orang,
penggerong 60 orang, perias 27
orang, perancang kostum 11 orang,
dan pelayanan dan sesaji 7 orang.[9]
Karcis masuk terjual habis pada
pementasan perdana di teater yang
berkapasitas 2.000-3.000
penonton.[9] Pementasan perdana
dilakukan pada 26 Juli 1961,
diresmikan oleh Menteri
Perhubungan Darat, Pos,
Telekomunikasi, dan pariwisata
(PDPTP), Mayor Jenderal GPH
Djatikusumo.[9] Pementasan dibuka
dengan pidato pengantar dari Prof.
Dr. Soeharso, selaku panitia
penyelenggara dan sutradara.[9]
Tamu undangan yang hadir dalam
peresmian antara lain: Sri Sultan
Hamengkubuwana IX, Gubernur
Jawa Tengah Mochtar, Kepala Polisi
Jawa Tengah Dr. Sukahar, dan
Pembantu Menteri PDPTP Mayor
Petut Soeharto.[9] Pementasan
berikutnya yang dianggap penting
digelar pada 25 Agustus 1961,
pementasan ini dihadiri oleh
Presiden Soekarno, 5 orang menteri
Kabinet RI, 16 duta besar negara
sahabat, serta sejumlah undangan
VIP lainnya yang berjumlah sekitar
50 orang termasuk aktor Charlie
Chaplin.[9] Pada pementasan ini
Presiden Soekarno juga menulis
pesan dalam prasasti yang berbunyi:
Balet Ramayana Prambanan adalah
satu pertjobaan (good effort) untuk
membawa seni-pentas Indonesia ke
taraf yang lebih tinggi

— Soekarno[10] Sendratari
Ramayana Prambanan raih "PATA
Gold Award"
Salah satu komentar yang diberikan
setelah pementasan berakhir yaitu
berasal dari Charlie Chaplin:[9]

Bila dunia tahu akan Festival


Ramayana ini, para pengunjung
tentu akan datang berbondong-
bondong ke Indonesia. Akan saya
ceritakan kepada dunia, bahwa di
Jawa Tengah terdapat kesenian yang
mengagumkan yang membuat saya
amat terkesan.

— Charlie Chaplin[9]
Pementasan perdana ini masih
menggunakan istilah Ramayana
Ballet, namun tokoh seniman Andjar
Asmara yang turut hadir pada
pementasan ini mengubah istilah
Ballet Ramayana dengan Sendratari
Ramayana.[9] Pada tahun-tahun
berikutnya, digunakan Sendratari
Ramayana sebagai nama resmi,
selain itu tahun pementasan
perdana ini, dianggap tahun
kelahiran sendratari di Indonesia.[9]

Melihat pertunjukan perdana


sendratari “Ramayana” berarti
menyaksikan kelahiran suatu babak
baru dalam sejarah senitari kita,
yang merupakan impian dari segala
keindahan, demikianlah kesan dari
pertunjukan ini akan berbekas dalam
kenanganku untuk selama-lamanya
sebagai sesuatu yang indah dan
menakjubkan salah satu puncak
kebahagiaan dalam hidupnya tiap
tiap pecinta seni.

— Andjar Asmara[9]
Pementasan Sunting

Adegan pada episode 1, Rama dan


Sita yang ditemani Laksmana ketika
pengasingan di Hutan Dandaka
Semula wiracita dipentaskan terbagi
menjadi enam episode, yaitu (1)
Hilangnya Dewi Sita; (2) Hanuman
Duta; (3) Hanuman Obong; (4)
Pembuatan Jembatan Menuju
Ngalengka; (5) Gugurnya
Kumbakarna; dan (6) Ujian Kesetiaan
Sita atau Sita Obong.[11] Pembagian
enam episode ini berlaku sejak 1961,
karena episode 2 dan 4 dirasa
kurang menimbulkan klimaks dan
tidak menarik perhatian penonton,
sejak 1967 enam episode tersebut
dipadatkan menjadi empat
episode.[12] Episode 1 dsampai 5
diringkas menjadi 3 episode,
sedangkan episode 6 tetap utuh dan
menjadi episode 4.[12] Tiap awal
episode selalu diawali dengan
lantunan nyanyian pesindhen yang
isinya memberitahukan kepada
penonton bahwa pagelaran
Ramayana selalu diselenggakan
pada bulan purnama.[11] Sebelum
dimulainya cerita ditampilkan
sebuah prosesi delapan penari pria
berbusana prajurit Keraton
Surakarta yang mengawal tujuh
wanita pembawa sesaji.[11] Setelah
berada di tenga lantai pentas,
prajurit akan melakukan gerak tari
gagah, sementara para wanita
pembawa sesaji meletakan sesaji
serta dupa di dekat gamelan.[11]
Para wanita pembawa sesaji
tersebut selanjutnya akan duduk di
antara penabuh gamelan dan
melanjutkan tugas berikutnya
sebagai vokalis atau waranggana,
sementara para prajurit keluar
pentas.[11] Seorang pembawa acara
di belakang panggung akan
membacakan isi cerita sesuai
dengan episode yang akan
ditampilkan dalam bahasa Inggris
serta diiringi musik dari
gamelan.[11] Tiap episode biasanya
dimulai pukul 19.00 dan berakhir
pukul 21.00[11]

Episode 1: Hilangnya Sita Sunting


Episode 1 terdiri dari 3 babak dan
dirinci dalam 57 adegan.[12] Babak
pertama menggambarkan istana
Alengka, kedatangan dan laporan
Sarpakenaka, serta keputusan
Rahwana untuk menculik Sita
bersama Marica.[12] Babak kedua
menceritakan Rama, Sita, dan
Laksmana di Hutan Dandaka, Sita
digoda Kijang Kencana yang
merupakan penjelmaan Marica, lalu
Rama pergi memburu kijang,
Selanjutnya Sita yang ditinggal
Laksmana diculik Rahwana, Jatayu
berusaha menolong Sita, dan Rama
bertemu Jatayu yang hampir
tewas.[11][12] Babak ketiga
menggambarkan perang antara
Subali dan Sugriwa hingga tewasnya
Subali.[12]

Episode 2: Hanuman Duta Sunting

Adegan Hanuman membakar negara


Alengka.
Episode 2 terdiri dari 7 babak dan
dirinci dalam 71 adegan.[12] Babak
pertama menggambarkan Gua
Kiskenda yang dihadiri Sugriwa,
Rama, Laksmana, dan penugasan 4
duta yang dipimpin Hanuman untuk
mencari Sita.[12] Babak kedua
menceritakan rombongan Hanuman
yang tertipu jebakan dan tipu daya
Sayempraba hingga buta.[12] Babak
ketiga menceritakan Raja Garuda
Sempati menyembuhkan Hanuman
dan rombongannya lalu memberi
petunjuk cara menuju Alengka.[12]
Babak keempat menceritakan Sita
yang dirayu oleh Rahwana di Taman
Argasoka.[12] Babak kelima berisi
pertemuan Hanuman dengan Sita di
Argasoka dan perang Hanuman
dengan Indrajit hingga Hanuman
tertawan.[12] Babak keenam Indrajit
membawa Hanuman ke hadapan
Rahwana, Rahwana yang marah dan
memukul Hanuman sampai jatuh,
Wibisana memperingatkan Rahwana
bahwa tidak layak memperlakukan
duta yang tidak berdaya, dan
berakhir dengan diusirnya Wibisana
dari Alengka.[11][12] Babak ketujuh,
Hanuman dihukum dengan cara
membakarnya hidup-hidup, namun
Hanuman malah mengambil
sebagian api yang membakarnya dan
berlari kearah tumpukan jerami
sebagai tiruan perumahan di
Alengka dan membakarnya.[11]
Hanuman meninggalkan Alengka
untuk melapor kepada Rama.[11]

Episode 3: Gugurnya Kumbakarna


Sunting
Episode 3 terdiri dalam 4 babak dan
dirinci dalam 42 adegan.[12] Babak
pertama menggambarkan usaha
Rama bersama bala tentara keranya
untuk membangun jembatan yang
menghubungkan India Selatan
dengan Alengka.[12] Babak kedua
berisi kedatangan Anggada sebagai
utusan ke Alengka, Rahwana yang
hendak membunuh Anggada
dicegah oleh Kumbakarna dan
berakhir dengan diusirnya
Kumbakarna.[12] Babak ketiga
menggambarkan perang antara
tentara Alengka dengan pasukan
kera, Indrajit melepaskan panah
Nagapaksa yang berwujud ular dan
melumpuhkan pasukan kera.[11][12]
Nagapaksa dalam Sendratari
Ramayana Prambanan ditampilkan
dengan wujud lima orang penari
wanita yang mengenakan busana
seperti ular.[11] Wibisana membalas
dengan panah Garuda dan berhasil
menawar efek dari Nagapaksa.[12]
Panah Garuda ditampilkan dengan
wujud sejumlah penari dengan
kostum burung garuda.[11] Adegan
selanjutnya pertarungan antara
Indrajit dengan Laksmana.[12] Babak
keempat menggambarkan
pertarungan antara Kumbakarna
dan Sugriwa, Sugriwa yang tedesak
dibantu oleh Laksmana, Laksmana
akhirnya menewaskan Kumbakarna,
para bidadari menyambut arwah
Kumbakarna.[12]

Episode 4: Api Suci Sita Sunting


Episode 4 terdiri dalam 4 bakan dan
dirinci dalam 48 adegan.[12] Babak
pertama menggambarkan Rahwana
yang merayu Sita, namun Sita tetap
menolak, Rahwana menunjukan
kepala yang mirip dengan Rama dan
Laksmana, Sita lalu pingsan.[11][12]
Babak kedua berisi perang antara
pihak Rama dan Rahwana, Rahwana
turun ke medan perang dan tewas di
tangan Rama.[12] Babak ketiga
Rama menobatkan Wibisana sebagai
raja Alengka, kehadiran Sita ditolak
oleh Rama, Sita dianggap sudah
tidak suci karena telah disentuh
Rahwana.[11] Sita membuktikan
kesuciannya dengan percobaan
masuk ke kobaran api, Sita akhirnya
ditolong oleh dewa api, Batara
Brama, Sita turun dari gundukan api
percobaan dimbimbing oleh Brama
dan menemui Rama.[11] Adegan
diakhiri dengan Rama, Sita,
Laksmana, serta pembesar bala
tentara kera meninggalkan
pentas.[11]
Terdapat perbedaan Sendratari
Ramayana dengan pewayangan
Jawa.[11] Perbedaan pada episode 4
ini adalah kematian Rahwana, dalam
pewayangan Jawa Rahwana tidak
bisa mati karena memiliki aji
Pancasona yang khasiatnya apabila
tubuhnya menyentuh tanah, ia pasti
akan hidup kembali.[11] Ketika
panah sakti Rama mengenai tubuh
Rahwana, Hanuman mengejarnya
serta menghimpit tubuh Rahwana
dengan gunung yang besar sehingga
Rahwana tidak dapat bergerak lagi.
Sendratari Ramayana Prambanan
melakukan perubahan mengenai hal
ini, Rahwana bisa ditewaskan oleh
Rama.[11]
Cerita utuh Sunting
Sejak tahun 1996 pagelaran
Sendratari Ramayana menyajikan
pula dalam bentuk cerita utuh.[11]
Penyajian cerita utuh ini ditangani
oleh Yayasan Roro Jonggrang serta
grup-grup tari lainnya seperti
Kasanggit dan Cahya Gumelar.[11]
Penampilan cerita utuh
menghabiskan waktu dua jam,
keempat episode dipadatkan serta
diawali adegan sayembara
memperebutkan Sita yang
dimenangkan oleh Rama. Yayasan
Roro Jonggrang dapat menampilkan
cerita secara episode maupun cerita
utuh, sedangkan untuk grup hanya
diperbolehkan menampilkan cerita
utuh.[13] Grup lain yang tampil di
panggung ini bergiliran, selain
Yayasan Roro Jonggrang grup
lainnya antara lain: Cahya Gumelar,
Kasanggit, Guwawijaya, Sekar Puri,
Wisnu Murti, dan OMM.[11]
Karakterisasi tari Sunting

Karakterisasi gerak tari Sendratari


Ramayana Prambanan mengacu
pada karakterisasi gerak pada
wayang orang.[14] Awal
perkembangan Sendratari Ramayana
Prambanan didominasi gaya tari
Surakarta, sedikit teknik gerak tari
gaya Yogyakarta yang mengisi
namun tetap lebih dominan gaya
Surakarta.[14][15] Pelaksanaan
teknis serta penyajian gaya
Yogyakarta dan Surakarta agak
berbeda, Gaya Surakarta lebih dekat
dengan gaya romantik, sedangkan
gaya Surakarta lebih dekat dengan
gaya klasik.[15] Dominasi gaya
Surakarta pada awal perkembangan
Sendratari Ramayana Prambanan
disebabkan koreografer yang ikut
dalam proyek awal berasal dari
Surakarta, salah satu pimpinan
proyek pementasan sendiri adalah
GPH Soerio Hamidjojo yang
merupakan ahli tari dan karawitan di
Surakarta.[15] Selain itu salah satu
pelatih adalah RT Atmokesowo yang
juga merupakan ahli tari di
Surakarta.[15] Sejak tampilnya
penari muda dari Akademi Seni Tari
Indonesia (ASTI) Yogyakarta,
perlahan pengaruh gaya Yogyakarta
dan daerah lain masuk ke dalam
Sendratari tersebut.[15] Hasilnya
dapat dikatakan saat ini di Jawa
Tengah tedapat tiga gaya sendratari,
yaitu gaya Prambanan, gaya
Surakarta, dan gaya
Yogyakarta.[14][15]
Teater Sunting

Panggung terbuka Candi Prambanan


yang sebelumnya dibuat pada
pertama kali pementasan tahun
1961 masih berada di dalam
kompleks Candi Prambanan,
sehingga kemudian dibuat panggung
terbuka baru yang berada di luar
zona candi.[1] Panggung terbuka
yang baru memiliki kapasitas 991
tempat duduk, terletak di sebelah
barat kompleks Candi Prambanan, di
sebelah barat Kali Opak.[16] Tribun
penonton menghadap ke timur
sehingga ketiga candi utamam Candi
Siwa, Candi Wisnu, dan Candi
Brahma menjadi latar belakang
panggung.[16] Pada malam hari
candi akan disorot dengan lampu
berteganggan tinggi untuk
menghasilkan efek latar yang
megah.[16] Pertunjukan panggung
terbuka hanya bisa diselenggarakan
pada musim kemarau berkisar bulan
Mei – Oktober, pentas dimulai dari
pukul 19.30 sampai 21.30
bergantung kondisi cuaca.[1][5]
Gedung pertunjukan tertutup
bernama Trimurti terletak di sebelah
selatan panggung tertutup, dapat
menampung 300 sampai 400
penonton, Sendratari Ramayana di
gedung Trimurti disajikan dalam
format cerita penuh dari sejak Rama
mengikuti sayembara sampai
dengan pertemuan kembali Rama
dengan Sinta.[1]
Kategori kelas: A. Kelas VIP; B. Kelas
khusus; C. Kelas utama; D. Kelas 1; E.
Kelas 2; F. Kelas 3; G. Pintu masuk
penonton; H. Pintu masuk penari; I.
Tangga masuk penari utama; J.
Tempat gamelan.[16]
Busana dan rias Sunting

Rahwana mengenakan busana yang


hanya dikenakan oleh para raja,
antara lain: penutup kepala yang
disebut mekutha dan motif batik
parang rusak barong besar
Sendratari Ramayana Prambanan
memiliki desain busana yang masih
mengacu pada wayang wong gaya
Surakarta, namun lebih sederhana
agar penari leluasa bergerak.[17][18]
Salah satu contohnya atribut berupa
hiasan kepala mengacu pada relief
Ramayana di Candi Prambanan.[17]
Tentara kera menggunakan cat
untuk warna kulit.[17] Warna merah
baik pada selendang atau sampur
dan rias pada muka, dikenakan para
raksasa atau tokok-tokoh kasar.[11]
Rama pada pentas Sendratari
Ramayana Prambanan mengenakan
dua macam pakaian.[18] Pada
episode pertama saat mengembara
di hutan ia mengenakan topong
berwarna hitam menggambarkan
rambut yang digelung ke atas, begitu
pula Laksmana.[18] Pada episode
kedua dan selanjutnya Rama
memakai mahkota yang biasa
dikenakan seorang raja.[18] Kain
yang dikenakan sebagian besar
menggunakan motif batik parang,
selain itu juga digunakan motif batik
kawung.[17] Penggunaan motif batik
parang masih mengacu ketentuan di
istana, pada motif batik parang
rusak barong besar hanya dikenakan
oleh raja, motif batik parang rusak
gendreh yang berukuran sedang
dikenakan oleh para ksatria halus,
sedangkan motif batik parang rusak
klithik dikenakan oleh para putri.[17]
Pada adegan Kumbakarna maju ke
medan perang, ia mengenakan kain
putih yang disampirkan di
pundaknya sebagai lambang
kesucian dan ksatria yang berbudi
luhur, hal ini menggambarkan
bahwa Kumbakarna maju ke medan
perang untuk membela negara
Alengka, bukan untuk Rahwana.[11]
Tata rias umumnya tidak banyak
berbeda dengan riasan wayang
orang, riasan dianggap tidak banyak
mempengaruhi gerak tari, gerak
muka, dan mimik dalam panggung
terbuka yang berukuran besar,
karena penonton yang duduk jauh
dari panggung sulit melihat mimik
penari secara detail.[18] Tata rias
menentukan penggambaran suatu
tokoh, di Indonesia muka Rama dan
Laksmana berwarna kuning natural,
sedangkan di Myanmar, Thailand,
Kamboja, dan Malaysia muka Rama
berwarna hijau kebiru-biruan, untuk
Laksmana berwarna kuning.[18]
Perkembangan Sunting

Sampai saat ini pengelola Sendratari


Ramayana Prambanan telah
berganti tiga kali.[19] Pengelola
pertama adalah panitia nasional
yang langsung ditangani oleh
Departemen Perhubungan Darat,
Pos, Telekomunikasi dan
Pariwisata.[19] Pada tanggal 28 Mei
1964 Paku Alam VIII membentuk
Yayasan Roro Jonggrang yang
bertugas mengelola serta
menyelenggarakan Sendratari
Ramayana Prambanan. Pada tahun
1988, pengelolaan Sendratari
Ramayana Prambanan diambil alih
oleh PT. Taman Wisata Candi
Borobudur, dan Prambanan yang
bekerja sama dengan Yayasan Roro
Jonggrang sebagai direktur seni
pementasan sendratari.[19] Setelah
selesainya restorasi Candi Brahma,
Candi Wisnu, dan Candi Wahana,
serta Candi Sewu dan Candi Boko
yang letaknya di luar kompleks
Prambanan, pada tahun 1992 nama
Perseroan diubah menjadi PT.
Taman Wisata Candi Borobudur,
Prambanan & Ratu Boko.[19]
Semula Sendratari Ramayana yang
dipentaskan di panggung tertutup
digelar dalam empat episode tiap
bulan Mei-Oktober selama empat
malam berturut-turut, yaitu pada
hari Jumat, Sabtu, Minggu, dan
Senin.[19] Sedangkan di panggung
tertutup dipentaskan tiap Selasa
sepanjang tahun dalam bentuk
cerita utuh.[19] Pada tahun 1990,
pementasan di panggung terbuka
ditingkatkan menjadi 2 x 4 malam
dengan tetap empat episode;
sedang di panggung tertutup
pementasan ditingkatkan menjadi
tiap Selasa, Rabu, dan Kamis.[19]

Saat ini pementasan di panggung


tertutup diadakan pada bulan Mei-
Oktober tiap hari Selasa, Kamis, dan
Sabtu, dan biasanya pada saat bulan
purnama akan diselenggarakan
selama empat malam berturut-
turut.(borob) Pada panggung
tertutup dilaksanakan tiap hari
Selasa, Kamis, dan Sabtu, sepanjang
tahun di luar bulan Mei-Oktober.[5]
Sendratari Ramayana Prambanan
meraih penghargaan Pacific Asia
Travel Association (PATA) Gold
Awards 2012, pada 21 April 2012
dalam “PATA Annual Report
Conference" yang diselenggarakan
di Kuala Lumpur, Malaysia.[20]

Episode Api Suci kolosal Sunting


Pada 15 Oktober 2012, Sendratari
Ramayana Prambanan
mementaskan episode Api Suci
secara kolosal yang mendapat
penghargaan Guinness World
Records sebagai pentas tari kolosal
Ramayana yang paling banyak
melibatkan penari sejumlah 230
penari dan 30 pengrawit, serta
sendratari yang paling lama dan
rutin digelar sejak tahun
1961.[3][21] Penghargaan
diserahkan Lucia Sinigagliesi, Client
Service Director perwakilan dari
Guinness World Records.[22]
Pementasan episode ini diadakan
pada malam hari di panggung
terbuka, dengan durasi kurang lebih
25 menit.[21] Persiapan pementasan
ini memakan waktu dua bulan,
disutradari oleh Timbul Haryono
yang juga merupakan ketua Yayasan
Roro Jonggrang.[21][23] Alasan
pemilihan episode Api Suci adalah
untuk mengakomodir banyaknya
penari dalam satu panggung.[21]
Penari yang terlibat antara lain, 12
pemain utama dan pembantu, 48
raksasa, 56 kera, 16 penari, 28 setan,
dan 70 pemeran api.[23] Penampilan
dengan jumlah penari terbanyak
dalam satu panggung ini baru
pertama kali dilakukan sejak 1961,
biasanya dalam satu panggung
penari hanya berjumlah 100-150
orang.[23]

Anda mungkin juga menyukai