Patofisiologi Hipersensitivitas
Patofisiologi Hipersensitivitas
Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan reaksi alergi yang terjadi karena terpapar
antigen spesifik yang dikenal sebagai alergen. Dapat terpapar dengan cara ditelan, dihirup,
disuntik, ataupun kontak langsung. Perbedaan antara respon imun normal dan
hipersensitivitas tipe I adalah adanya sekresi IgE yang dihasilkan oleh sel plasma. Antibodi
ini akan berikatan dengan respetor Fc pada permukaan jaringan sel mast dan basofil. Sel mast
dan basofil yang dilapisi oleh IgE akan tersensitisasi (fase sensitisasi). Karena sel B
memerlukan waktu untuk menghasilkan IgE, maka pada kontak pertama, tidak terjadi apa-
apa. Waktu yang diperlukan bervariasi dari 15-30 menit hingga 10-20 jam.
Adanya alergen pada kontak pertama menstimulasi sel B untuk memproduksi
antibodi, yaitu IgE. IgE kemudian masuk ke aliran darah dan berikatan dengan reseptor di sel
mastosit dan basofil sehingga sel mastosit atau basofil menjadi tersensitisasi. Pada saat
kontak ulang dengan alergen, maka alergen akan berikatan dengan IgE yang berikatan
dengan antibody di sel mastosit atau basofil dan menyebabkan terjadinya granulasi.
Degranulasi menyebakan pelepasan mediator inflamasi primer dan sekunder. Mediator
primer menyebabkan eosinofil dan neutrofil serta menstimulasi terjadinya urtikaria,
vasodilatasi, meningkatnya permiabilitas vaskular, Sedangkan mediator sekunder
menyebakan menyebakan peningkatan pelepasan metabolit asam arakidonat (prostaglandin dan
leukotrien) and protein (sitokin and enzim).
Mediator Primer :
Histamine : Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan kontraksi otot polos
Serotonin : Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan kontraksi otot polos
ECF-A : Kemotaksis eosinofil
NCF-A : Kemotaksis neutrofil
Proteases : Sekresi mucus, degradasi jaringan penghubung
Mediator Sekunder :
Leukotrienes : Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan kontraksi otot polos
Prostaglandin : Vasodilatasi pembuluh darah, aktivasi platelet, kontaksi otot polos
Bradykinin : Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan kontraksi otot polos
Cytokines : Aktivasi sel endothelium, penarikan eosinofil
Gambar 1. Mekanisme Reaksi hipersensitivitas Tipe I
Reaksi ini dapat diperkuat dengan adanya PAF (Platelet Activator Factor), yang
menyebabkan agregasi platelet dan pelepasan histamin, heparin, dan amina vasoaktif.
Eosinofil dapat melepaskan berbagai enzim hidrolitik yang dapat menyebabkan kematian sel,
serta mengontrol pelepasan arylsulphatase, histaminase, phospholipase-D dan prostaglandin-
E, walaupun belum diketahui peran pasti dari eosinofil.
Karakteristik dari IgE adalah kelabilannya bila terpapar panas dan kemampuannya
untuk menempel pada sel mast dan basofil. Hal ini dapat dilihat bawha walaupun waktu
paruh IgE adalah 2,5 hari, sel mast dan basofil dapat tersensitisasi selama lebih dari 12
minggu karena tersensitisasi atopic serum yang mengandung IgE.
Faktor pemicu reaksi alergi :
Defisiensi sel T
Penurunan jumlah sel T diasosiasikan dengan peningkatan dari jumlah serum IgE
pada penyakit Eczema. Juga ada perbedaan jumlah sel T pada bayi yang disusui dengan ASI
dan dengan susu bubuk.
Mediator feedback
Menurut penelitian, inhibisi reseptor H2 oleh pelepasan enzim lisosom dan aktivasi
penahan sel T oleh histamine akan meningkatkan jumlah IgE
Faktor lingkungan :
Polutan seperti SO2, NO, asap kendaraan dapat meningkatkan permeabilitas mukosa
Hal serupa terjadi pada HDN (Hemolytic Disease oh the Newborn) dimana
immunoglobulin anti-D-IgG yang berasal dari ibu menembus plasenta masuk ke adalam
sirkulasi darah janin dan melapisi permukaan eritrosit janin kemudian mencetuskan reaksi
hipersensitivitask antibodi tipe II. HDN terjadi apabila seorang ibu Rh (-) mengandung janin
Rh (+). Sensitisasi pada ibu umumnya terjadi saat persalinan pertama, karena itu HDN
umumnya tidak timbul pada bayi pertama. Baru pada kehamilan berikutnya limfosit ibu akan
membentuk anti-D-IgG yang dapat menembus plasenta dan mengadakan interaksi dengan
faktor Rh pada permukaan eritrosit janin. Penanganannya adalah dengan anti-Rh antibodi
(Rhogam)
.
Gambar 5. Mekanisme HDN
Anemia Hemolitik Autoimun juga dapat dianggap reaksi hipersensitivitas tipe II
karena eritrosit yang dilapisi autoantibody lebih cepat dihancurkan oleh fagosit. Hal yang
sama terjadi pada anemia hemolitik, agranulositosis atau purpura trombositopenia akibat
obat. Pada kasus-kasus ini obat melekat pada permukaan sel bersangkutan menyusun
kompleks antigen yang dapat memicu pembentukkan antibodi. Kompleks antigen-antibodi
selanjutnya merangsang reaksi hipersensitivitas tipe II.
b. Reaksi karena Obat
Reaksi hipersensitivitas terhadap obat dapat timbul dalam berbagai bentuk:
1. Obat melekat pada eritrosit kemudian dibentuk antibodi terhadap obat. Dalam hal ini
baik obat maupun antibodi harus ada untuk menyebabkan reaksi.
2. Kompleks imun yang terdiri atas obat dan antibodimelekat pada permukaan eritrosit.
Kerusakan sel terjadi akibat lisis oleh komplemen yang diaktivasi oleh kompleks
antigen-antibodi tersebut.
3. Obat menyebabkan reaksi alergi dan autoantibodi ditujukan kepada antigen eritrosit
sendiri.
Obat tampaknya membentuk suatu kompleks antigenik dengan permukaan suatu
elemen yang ada pada darah, dan merangsang pembentukan antibodi yang bersifat sitotoksik
bagi kompleks obat-sel itu. Bila obat dihentikan kepekaan itu akan hilang tidak lama
kemudian. Sebagai contoh mekanisme ini telah ditentukan pada anemia hemolitik yang
kadang-kadang dihubungkan dengan pemakaian terus-menerus klorpromazin atau fenasetin,
pada agranulositosis yang dihubungkan dengan pemakaian amidopirin atau quinidine dan
pada keadaan klasik purpura trombositopenia yang mungkin disebabkan oleh sedormid,
serum segar yang diambil dari penderita dapat melisiskan trombosit, sedang tanpa sedormid
o
hal ini tidak akan terjadi; pemanasan sebelumnya pada suhu 56 C selama 30 menit akan
menjadikan komplemen tidak aktif dan menghilangkan efek tersebut. Selain reaksi tipe II,
reaksi hipersensitivitas terhadap obat dapat timbul sebagai reaksi anafilaktik apabila
melibatkan IgE, reaksi tipe III bila obat berinteraksi dengan protein, atau reaksi tipe IV pada
obat yang digunakan topikal.
c. Kerusakan pada Leukosit dan Platelet
Hal ini terjadi karena adanya autoantibodi untuk neutrofil dan limfosit, contohnya
pada Lupus (SLE). Autoantibodi pada platelet terjadi 70% dari kasus purpura
trombositopenia idiopatik yaitu kelainan dimana terjadi peningkatan pembuangan platelet
dari sirkulasi. Autoantibodi pada fosfolipid dapat mencegah penutupan luka.
Trombositopenia juga dapat diinduksi oleh obat.
d. Kerusakan jaringan transplantasi
Reaksi penolakan jaringan transplantasi secara hiperakut mungkin terjadi apabila
resipien sebelumnya pernah terpapar pada antigen jaringan transplantasi tersebut sehingga
sudah ada sensitisasi sebelumnya dan resipien telah mengandung antibodi terhadap antigen
jaringan transplantasi bersangkutan. Reaksi hiperakut dapat terjadi dalam waktu singkat,
yaitu beberapa menit hingga 48 jam setelah tindakan transplantasi selesai. Antibodi yang
terdapat dalam darah resipien dapat segera bereaksi dengan antigen yang terdapat pada
permukaan jaringan transplantasi. Reaksi yang paling hebat disebabkan antibodi sistem ABO
karena banyak jaringan mengandung antigen ABO. Kerusakan terjadi karena antibodi dan
aktivasi komplemen dalam pembuluh darah yang menyebabkan rekruitmen dan aktivasi
neutrofil dan trombosit. Mungkin juga antibodi yang terlibat adalah antibodi terhadap antigen
MHC kelas I, bila sebelumnya resipien pernah terpapar pada jaringan transplantasi yang tidak
sesuai (inkompatibel).
Reaksi ini terjadi pada transplantasi yang mengalami revaskularisasi segera setelah
transplantasi, misalnya transplantasi ginjal. Dalam waktu 1 jam setelah revaskularisasi
tampak infiltrasi neutrofil secara ekstensif dan disusul oleh kerusakan pembuluh darah
glomerulus dan pendarahan. Deposit trombus terdapat dalam arteriol dan jaringan
transplantasi mengalami kerusakan irreversibel. Faktor utama yang berperan dalam kerusakan
jaringan adalah neutrofil dan trombosit yang berinteraksi dengan sel-sel melalui reseptor Fc,
C3b dan C3d. Sel-sel itu melepaskan berbagai mediator, misalnya superoksida, enzim dan
vasoactive amine, sehingga terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan kerusakan jaringan
setempat.
Untuk penyakit akibat hipersensitivitas tipe II ini tidak ada obatnya, karena
patogenesisnya adalah antibodi tubuhnya sendiri. Usaha penanganan yang dilakukan untuk
penderita reaksi hipersensitivitas tipe II hanya bertujuan mengendalikan gejala saja.