Anda di halaman 1dari 14

Hipersensitivitas Tipe I (Hipersensitivitas Tipe Cepat Atau Anafilataksis)

Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan reaksi alergi yang terjadi karena terpapar
antigen spesifik yang dikenal sebagai alergen. Dapat terpapar dengan cara ditelan, dihirup,
disuntik, ataupun kontak langsung. Perbedaan antara respon imun normal dan
hipersensitivitas tipe I adalah adanya sekresi IgE yang dihasilkan oleh sel plasma. Antibodi
ini akan berikatan dengan respetor Fc pada permukaan jaringan sel mast dan basofil. Sel mast
dan basofil yang dilapisi oleh IgE akan tersensitisasi (fase sensitisasi). Karena sel B
memerlukan waktu untuk menghasilkan IgE, maka pada kontak pertama, tidak terjadi apa-
apa. Waktu yang diperlukan bervariasi dari 15-30 menit hingga 10-20 jam.
Adanya alergen pada kontak pertama menstimulasi sel B untuk memproduksi
antibodi, yaitu IgE. IgE kemudian masuk ke aliran darah dan berikatan dengan reseptor di sel
mastosit dan basofil sehingga sel mastosit atau basofil menjadi tersensitisasi. Pada saat
kontak ulang dengan alergen, maka alergen akan berikatan dengan IgE yang berikatan
dengan antibody di sel mastosit atau basofil dan menyebabkan terjadinya granulasi.
Degranulasi menyebakan pelepasan mediator inflamasi primer dan sekunder. Mediator
primer menyebabkan eosinofil dan neutrofil serta menstimulasi terjadinya urtikaria,
vasodilatasi, meningkatnya permiabilitas vaskular, Sedangkan mediator sekunder
menyebakan menyebakan peningkatan pelepasan metabolit asam arakidonat (prostaglandin dan
leukotrien) and protein (sitokin and enzim).
Mediator Primer :
 Histamine : Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan kontraksi otot polos
 Serotonin : Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan kontraksi otot polos
 ECF-A : Kemotaksis eosinofil
 NCF-A : Kemotaksis neutrofil
 Proteases : Sekresi mucus, degradasi jaringan penghubung
Mediator Sekunder :
 Leukotrienes : Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan kontraksi otot polos
 Prostaglandin : Vasodilatasi pembuluh darah, aktivasi platelet, kontaksi otot polos
 Bradykinin : Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan kontraksi otot polos
 Cytokines : Aktivasi sel endothelium, penarikan eosinofil
Gambar 1. Mekanisme Reaksi hipersensitivitas Tipe I

Reaksi ini dapat diperkuat dengan adanya PAF (Platelet Activator Factor), yang
menyebabkan agregasi platelet dan pelepasan histamin, heparin, dan amina vasoaktif.
Eosinofil dapat melepaskan berbagai enzim hidrolitik yang dapat menyebabkan kematian sel,
serta mengontrol pelepasan arylsulphatase, histaminase, phospholipase-D dan prostaglandin-
E, walaupun belum diketahui peran pasti dari eosinofil.
Karakteristik dari IgE adalah kelabilannya bila terpapar panas dan kemampuannya
untuk menempel pada sel mast dan basofil. Hal ini dapat dilihat bawha walaupun waktu
paruh IgE adalah 2,5 hari, sel mast dan basofil dapat tersensitisasi selama lebih dari 12
minggu karena tersensitisasi atopic serum yang mengandung IgE.
Faktor pemicu reaksi alergi :
Defisiensi sel T
Penurunan jumlah sel T diasosiasikan dengan peningkatan dari jumlah serum IgE
pada penyakit Eczema. Juga ada perbedaan jumlah sel T pada bayi yang disusui dengan ASI
dan dengan susu bubuk.
Mediator feedback
Menurut penelitian, inhibisi reseptor H2 oleh pelepasan enzim lisosom dan aktivasi
penahan sel T oleh histamine akan meningkatkan jumlah IgE
Faktor lingkungan :
Polutan seperti SO2, NO, asap kendaraan dapat meningkatkan permeabilitas mukosa

sehingga meningkatkan pemasukkan antigen dan respos IgE


Dampak yang muncul akibat hipersensitivitas tipe 1 ada 2, yaitu :
1. Anafilatoksis lokal ( alergi atopik )
Terjadi karena adanya alergen yang masuk ke tubuh dan gejalanya tergantung dari tipe
alergen yang masuk, misalnya :
a. batuk, mata berair, bersin karena alergen masuk ke saluran respirasi (alergi
rhinitis) yang mengindikasikan aksi dari sel mast. Alergen biasanya berupa :
pollen, bulu binatangm debu, spora.
b. Terakumulasinya mucus di alveolus paru-paru dan kontraksi oto polos
kontraksi yang mempersempit jalan udara ke paru-paru sehingga menjadi
sesak, seperti pada penderita asma. Gejala ini dapat menjadi fatal bila pengobatan
tertunda terlalu lama
c. Kulit memerah atau pucat, gatal (urticaria) karena alergi makanan. Makanan
yang biasanya membuat alergi adalah gandum, kacang tanah, kacang kedelai,
susu sapi, telur, makanan laut
2. Anafilatoksis sistemik
Dampak ini disebabkan karena pemaparan alergen yang menyebabkan respon dari sel
mast yang banyak dan cepat, sehingga mediator-mediator inflamasi dilepaskan dalam jumlah
yang banyak. Gejalanya berupa sulit bernafas karena kontraksi otot polos yang menyebabkan
tertutupnya bronkus paru-paru, dilatasi arteriol sehingga tekanan darah menurun dan
meningkatnya permeabilitas pembuluh darah sehingga cairan tubuh keluar ke jaringan.
Gejala ini dapat menyebabkan kematian dengan hitungan menit karena tekanan darah turun
drastis dan pembuluh darah collapse (shock anafilatoksis). Alergen dapat biasanya berupa
penisilin, antisera, dan racun serangga dari lebah.
Hipersensitivitas Tipe II
(Reaksi Sitotoksik Yang Memerlukan Bantuan Antibodi)
Penggolongan reaksi hipersensitivitas semula didasarkan atas perbedaan mekanisme
kerusakan jaringan yang diakibatkannya. Baik reaksi tipe II maupun reaksi tipe III
melibatkan IgG dan IgM. Perbedaannya adalah bahwa pada reaksi tipe II antibodi ditujukan
kepada antigen yang terdapat pada permukaan sel atau jaringantertentu, sedangkan pada
reaksi tipe III antibodi ditujukan kepada antigen yang terlarut dalam serum. Jadi pada reaksi
tipe II, antibodi dalam serum bereaksi dengan antigen yang berada pada permukaan suatu sel
atau yang merupakan komponen membran sel tertentu yang menampilkan antigen
bersangkutan.
Seringkali suatu substansi berupa mikroba dan molekul-molekul kecil lain atau
hapten, melekat pada permukaan sel dan bersifat sebagai antigen. Pada umumnya antibodi
yang ditujukan kepada antigen permukaan sel bersifat patogenik, karena kompleks antigen-
antibodi pada permukaan sel sasaran akan dihancurkan oleh sel efektor, misalnya oleh
makrofag maupun oleh neutrofil dan monosit, atau limfosit T-sitotoksik dan sel NK sehingga
ada kemungkinan menyebabkan kerusakan sel itu sendiri. Pada keadaan ini sulit
membedakan antara reaksi imun yang normal dengan reaksi hipersensitivitas.
Pada hipersensitivitas tipe II, mekanisme reaksinya adalah sebagai berikut :

Gambar 3. Mekanisme yang terlibat dalam reaksi hipersensitivitas tipe II


Antibodi yang ditujukan kepada antigen permukaan sel atau jaringan berinteraksi
dengan komplemen dan berbagai jenis sel efektor untuk merusak sel sasaran. Setelah antibodi
melekat pada permukaan sel, antibodi akan mengikat dan mengaktivasi komponen C1
komplemen. Konsekuensinya adalah:
a. Fragmen komplemen (C3a dan C5a) yang dihasilkan oleh aktivasi komplemen akan
menarik makrofag dan PMN ke tempat tersebut, sekaligus menstimulasi sel mastosit dan
basofil untuk memproduksi molekul yang menarik dan mengaktivasi sel efektor lain.
Fagositosis terjadi dengan cara merusak patogen dalam fagolisosom oleh kombinasi
metabolit radikal, ion, enzim dan perubahan pH. Jika target terlalu besar maka lisosom
dieksositosis.
b. Aktivasi jalur klasik komplemen mengakibatkan deposisi C3b, C3bi, dan C3d pada
membran sel sasaran. Sensitisasi sel target untuk interaksi dengan sel efektor (makrofag,
neutrofil) yang membawa reseptor untuk aktivasi komplemen. C3b berikatan dengan sel
target membentuk ikatan kovalen setelah putusnya ikatan tiolester internal oleh C3
konvertase. C3b diinaktivasi oleh faktor I dan enzim serum, C3d berikatan dengan sel
target secara kovalen. C3b dan C3d dapat beraksi sebagai struktur pengenalan untuk sel
yang memiliki reseptor komplemen. Antibodi dapat juga bereaksi dengan sel yang
memiliki reseptor Fc (makrofag, eosinofil, neutrofil, sel K)
c. Aktivasi jalur klasik dan jalur litik menghasilkan C5b-9 yang merupakan Membrane Attack
Complex (MAC) yang kemudian menancap pada membran sel.
Sel-sel efektor, yaitu makrofag, neutrofil, eosinofil dan sel NK, berikatan pada
kompleks antibodi melalui reseptor Fc atau berikatan dengan komponen komplemen yang
melekat pada permukaan sel tersebut. Pengikatan antibodi pada reseptor Fc merangsang
fagosit untuk memproduksi lebih banyak leukotrien dan prostaglandin yang merupakan
molekul-molekul yang berperan pada respon inflamasi. Sel-sel efektor yang telah terikat kuat
pada membran sel sasaran menjadi teraktivasi dan akhirnya dapat menghancurkan sel
sasaran.
Isotip antibodi yang berbeda-beda mempunyai kemampuan yang tidak sama dalam
menginduksi reaksi ini, bergantung pada kemampuan masing-masing untuk mengikat C1q
atau kemampuan berinteraksi dengan reseptor Fc pada permukaan sel sasaran. Fragmen-
fragmen komplemen atau IgG dapat bertindak sebagai opsonin yang melapisi permukaan sel
pejamu atau mikroorganisme, dan fagosit akan menelan partikel-partikel yang diopsonisasi.
Dengan meningkatkan aktivitas lisosom dan kemampuan makrofag untuk memproduksi ROI
(reactive oxygen intermediates) misalnya superoksida, opsonin tersebut bukan saja
meningkatkan kemampuan fagosit untuk menghancurkan pathogen, tetapi juga meningkatkan
kemampuannya untuk merusak sel atau jaringan sasaran. Mekanisme pengrusakan jaringan
sel sasaran oleh sel-sel efektor pada reaksi hiprsensitivitas tipe II, merefleksikan cara sel-sel
itu menyingkirkan patogen dalam keadaan normal.
Antibodi juga memperantarai hipersensitivitas dengan cara cross linking sel K pada
jaringan sasaran. Sel K terutama terdapat dalam populasi limfosit besar bergranula (large
granular lymphocytes ). Sel ini mengikat antibodi pada reseptor Fc berafinitas tinggi yang
terdapat pada permukaan selnya. Dari uraian tersebut jelas bahwa reseptor Fc berfungsi
sebagai jembatan antara sel efektor dengan sel sasaran.
Mekanisme sitolisis oleh sel efektor sebenarnya menggambarkan fungsi sel efektor
dalam keadaan normal bila menghadapi kuman patogen. Sebagian besar kuman patogen di
fagositosis dan dibunuh intralisosom, tetapi hal ini tidak mungkin dilakukan terhadap sel
sasaran yang berukuran besar. Karena itu pada keadaan ini, fagosit atau sel efektor lain
melepaskan mediator-mediator tertentu ke sekitarnya, misalnya protease dan kolagenase yang
mampu merusak sel sasaran. Mekanisme sitolisis dengan bantuan antibodi yang dikenal
sebagai ADCC bermanfaat untuk membantu sel sitotoksik menghancurkan sel sasaran yang
berukuran terlalu besar untuk difagositosis. Selai itu mekanisme sitolisis dengan bantun anti
bodi bermanfaat untuk menghancurkan sel patologis, misalnya sel tumor, terutama apabila
antibodi yang terbentuk justru melindungi permukaan sel sasaran dari serangan sel T
sitotoksik secara langsung. Tetapi apabila immunoglobulin itu melapisi sel tubuh (self)
kemudian menyebabkan reaksi ADCC, maka sitolisis dalam hal ini merugikan. Kepekaan
berbagai jenis sel sasaran terhadap aksi pengrusakan oleh sel efektor maupun oleh aktivasi
komplemen berbeda-beda tergantung pada jumlah antigen pada permukan sel sasaran, dan
daya tahan sel sasaran terhadap pengrusakan. Sebagai contoh: eritrosit mungkin dapat
dihancurkan hanya oleh reaksi C5 pada satu tempat di permukaan sel, tetapi untuk merusak
sel berinti diperlukan interaksi pada banyak tempat.
Contoh reaksi hipersensitivitas tipe II adalah kerusakan pada eritrosit seperti yang
terlihat pada reaksi transfusi, hemolytic disease of the newborn (HDN) akibat ketidaksesuaian
faktor resus (Rhesus incompatibility), dan anemia hemolitik akibat obat serta kerusakan
jaringan pada penolakan jaringan transplantasi hiperakut akibat interaksi dengan antibodi
yang telah ada sebelunya pada resipien. Reaksi terhadap trombosit dapat menyebabkan
trombositopenia sedangkan reaksi terhadap neutrofil dan limfosit dihubungkan dengan lupus
eritematosus sistemik (SLE).
a. Kerusakan pada eritrosit
Transfusi eritrosit kepada resipien yang mengandung antibodi terhadap eritrosit yang
ditransfusikan dapat menimbulkan reaksi transfusi. Jenis reaksi tergantung pada kelas dan
jumlah antibodi yang terlibat. Antibodi terhadap eritrosit sistem ABO biasanya terdiri atas
antibodi kelas IgM. Antibodi golongan ini menimbulkan aglutinasi, aktivasi komplemen dan
hemolisis intravaskular. Sistem golongan darah yang lain menimbulkan pembentukan
antibody kelas IgG dan pada umumnya IgG akan melapisi eritrosit kemudian menimbulkan
reaksi tipe II. Mekanisme reaksi transfusi adalah menghancurkan sel darah merah asing oleh
sistem komplemen yang distimulasi oleh IgG. Hal ini dapat menyebabkan hemoglobinuria.

Gambar 4. Reaksi Transfusi

Hal serupa terjadi pada HDN (Hemolytic Disease oh the Newborn) dimana
immunoglobulin anti-D-IgG yang berasal dari ibu menembus plasenta masuk ke adalam
sirkulasi darah janin dan melapisi permukaan eritrosit janin kemudian mencetuskan reaksi
hipersensitivitask antibodi tipe II. HDN terjadi apabila seorang ibu Rh (-) mengandung janin
Rh (+). Sensitisasi pada ibu umumnya terjadi saat persalinan pertama, karena itu HDN
umumnya tidak timbul pada bayi pertama. Baru pada kehamilan berikutnya limfosit ibu akan
membentuk anti-D-IgG yang dapat menembus plasenta dan mengadakan interaksi dengan
faktor Rh pada permukaan eritrosit janin. Penanganannya adalah dengan anti-Rh antibodi
(Rhogam)

.
Gambar 5. Mekanisme HDN
Anemia Hemolitik Autoimun juga dapat dianggap reaksi hipersensitivitas tipe II
karena eritrosit yang dilapisi autoantibody lebih cepat dihancurkan oleh fagosit. Hal yang
sama terjadi pada anemia hemolitik, agranulositosis atau purpura trombositopenia akibat
obat. Pada kasus-kasus ini obat melekat pada permukaan sel bersangkutan menyusun
kompleks antigen yang dapat memicu pembentukkan antibodi. Kompleks antigen-antibodi
selanjutnya merangsang reaksi hipersensitivitas tipe II.
b. Reaksi karena Obat
Reaksi hipersensitivitas terhadap obat dapat timbul dalam berbagai bentuk:
1. Obat melekat pada eritrosit kemudian dibentuk antibodi terhadap obat. Dalam hal ini
baik obat maupun antibodi harus ada untuk menyebabkan reaksi.
2. Kompleks imun yang terdiri atas obat dan antibodimelekat pada permukaan eritrosit.
Kerusakan sel terjadi akibat lisis oleh komplemen yang diaktivasi oleh kompleks
antigen-antibodi tersebut.
3. Obat menyebabkan reaksi alergi dan autoantibodi ditujukan kepada antigen eritrosit
sendiri.
Obat tampaknya membentuk suatu kompleks antigenik dengan permukaan suatu
elemen yang ada pada darah, dan merangsang pembentukan antibodi yang bersifat sitotoksik
bagi kompleks obat-sel itu. Bila obat dihentikan kepekaan itu akan hilang tidak lama
kemudian. Sebagai contoh mekanisme ini telah ditentukan pada anemia hemolitik yang
kadang-kadang dihubungkan dengan pemakaian terus-menerus klorpromazin atau fenasetin,
pada agranulositosis yang dihubungkan dengan pemakaian amidopirin atau quinidine dan
pada keadaan klasik purpura trombositopenia yang mungkin disebabkan oleh sedormid,
serum segar yang diambil dari penderita dapat melisiskan trombosit, sedang tanpa sedormid
o
hal ini tidak akan terjadi; pemanasan sebelumnya pada suhu 56 C selama 30 menit akan
menjadikan komplemen tidak aktif dan menghilangkan efek tersebut. Selain reaksi tipe II,
reaksi hipersensitivitas terhadap obat dapat timbul sebagai reaksi anafilaktik apabila
melibatkan IgE, reaksi tipe III bila obat berinteraksi dengan protein, atau reaksi tipe IV pada
obat yang digunakan topikal.
c. Kerusakan pada Leukosit dan Platelet
Hal ini terjadi karena adanya autoantibodi untuk neutrofil dan limfosit, contohnya
pada Lupus (SLE). Autoantibodi pada platelet terjadi 70% dari kasus purpura
trombositopenia idiopatik yaitu kelainan dimana terjadi peningkatan pembuangan platelet
dari sirkulasi. Autoantibodi pada fosfolipid dapat mencegah penutupan luka.
Trombositopenia juga dapat diinduksi oleh obat.
d. Kerusakan jaringan transplantasi
Reaksi penolakan jaringan transplantasi secara hiperakut mungkin terjadi apabila
resipien sebelumnya pernah terpapar pada antigen jaringan transplantasi tersebut sehingga
sudah ada sensitisasi sebelumnya dan resipien telah mengandung antibodi terhadap antigen
jaringan transplantasi bersangkutan. Reaksi hiperakut dapat terjadi dalam waktu singkat,
yaitu beberapa menit hingga 48 jam setelah tindakan transplantasi selesai. Antibodi yang
terdapat dalam darah resipien dapat segera bereaksi dengan antigen yang terdapat pada
permukaan jaringan transplantasi. Reaksi yang paling hebat disebabkan antibodi sistem ABO
karena banyak jaringan mengandung antigen ABO. Kerusakan terjadi karena antibodi dan
aktivasi komplemen dalam pembuluh darah yang menyebabkan rekruitmen dan aktivasi
neutrofil dan trombosit. Mungkin juga antibodi yang terlibat adalah antibodi terhadap antigen
MHC kelas I, bila sebelumnya resipien pernah terpapar pada jaringan transplantasi yang tidak
sesuai (inkompatibel).
Reaksi ini terjadi pada transplantasi yang mengalami revaskularisasi segera setelah
transplantasi, misalnya transplantasi ginjal. Dalam waktu 1 jam setelah revaskularisasi
tampak infiltrasi neutrofil secara ekstensif dan disusul oleh kerusakan pembuluh darah
glomerulus dan pendarahan. Deposit trombus terdapat dalam arteriol dan jaringan
transplantasi mengalami kerusakan irreversibel. Faktor utama yang berperan dalam kerusakan
jaringan adalah neutrofil dan trombosit yang berinteraksi dengan sel-sel melalui reseptor Fc,
C3b dan C3d. Sel-sel itu melepaskan berbagai mediator, misalnya superoksida, enzim dan
vasoactive amine, sehingga terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan kerusakan jaringan
setempat.
Untuk penyakit akibat hipersensitivitas tipe II ini tidak ada obatnya, karena
patogenesisnya adalah antibodi tubuhnya sendiri. Usaha penanganan yang dilakukan untuk
penderita reaksi hipersensitivitas tipe II hanya bertujuan mengendalikan gejala saja.

Hipersensitivitas Tipe III ( Reaksi Kompleks Imun )


Kompleks imun terbentuk setiap kali antibody bertemu dengan antigen, tetapi dalam
keadaan normal pada umumnya kompleks ini segera disingkirkan secara efektif oleh jaringan
retikuloendotel, tetapi ada kalanya pembentukan kompleks imun menyebabkan reaksi
hipersensitivitas.
Keadaan imunopatologik akibat pembentukan kompleks imun dalam garis besar dapat
digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu :
1) Dampak kombinasi infeksi kronis yang ringan dengan respons antibody yang lemah,
menimbulakn pembentukan kompleks imun kronis yang dapat mengendap di berbagai
jaringan.
2) Komplikasi dari penyakit autoimun dengan pembentukan autoantibodi secara terus
menerus yang berikatan dengan jaringan self.
3) Kompleks imun terbentuk pada permukaan tubuh, misalnya dalam paru – paru, akibat
terhirupnya antigen secara berulang kali.
Pemaparan pada antigen dalam jangka panjang dapat merangsang pembentukan
antibody yang umumnya tergolong IgG dan bukan IgE seperti halnya pada reaksi
hipersensitivitas tipe I. Pada reaksi hipersensitivitas tpe III, antibodi bereaksi dengan antigen
bersangkutan membentuk kompleks antigen antibodi yang akan menimbulkan reaksi
inflamasi. Aktivasi sistem komplemen, menyebabkan pelepasan berbagai mediator oleh
mastosit. Selanjutnya terjadi vasodilatasi dan akumulasi PMN yang menghancurkan
kompleks. Dilain pihak proses itu juga merangsang PMN sehingga sel–sel tersebut
melepaskan isi granula berupa enzim proteolitik diantaranya proteinase, kolegenase, dan
enzim pembentuk kinin. Apabila kompleks antigen-antibodi itu mengendap dijaringan, proses
diatas bersama–sama dengan aktivasi komplemen dapat sekaligus merusak jaringan sekitar
kompleks. Reaksi ini dapat terjadi saat terdapat banyak kapiler twisty (glomeruli ginjal,
kapiler persendian).

Gambar 6. Reaksi Hipersensitivitas Tipe III


Manifestasi klinik akibat pembentukan kompleks imun in vivo bukan saja bergantung
pada jumlah absolute antigen dan antibody, tetapi juga bergantung pada perbandingan relatif
antara kadar antigen dengan antibodi. Dalam suasana antibodi berlebihan atau bila kadar
antigen hanya relatif sedikit lebih tinggi dari antibodi, kompleks imun yang terbentuk cepat
mengendap sehingga reaksi yang ditimbulkannya adalah kelainan setempat infiltrasi hebat
dari sel – sel PMN, agregasi trombosit dan vasodilatasi yang kemudian menimbulkan eritema
dan edema. Reaksi ini disebut Reaksi Arthus.
Agregasi trombosit dapat meningkatkan penglepasan vasoactive-amine atau mungkin
juga menimbulkan mikrotumbus yang berakibat iskemia local. Dalam suasana antigen yang
berlebih, kompleks yang terbentuk adalah kompleks yang larut dan beredar dalam sirkulasi
serum sickness atau terperangkap di berbagai jaringan diseluruh tubuh dan menimbulkan
reaksi inflamasi setempat seperti pada glomerulo-nefritis dan arthritis. Tempat pengendapan
kompleks yang berbeda dapat memunculkan manifestasi klinis yang berbeda pula.
Meskipun demikian, pengendapan setempat juga dapat menimbulkan reaksi inflamasi
sistemik seperti:
1. Demam, nyeri, malaise
2. Gatal, edema
3. Pengurangan komplemen di dalam darah
4. Glomerulonephritis (ginjal)
5. Arthritis (persendian)
6. Rheumatik penyakit jantung
Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi hipersensitivitas tipe III antara lain :
A. Ukuran kompleks imun
Untuk menimbulkan kerusakan atau penyakit, kompleks imun harus mempunyai
ukuran yang sesuai. Kompleks imun berukuran besar biasanya dapat disingkirkan oleh hepar
dalam waktu beberapa menit, tetapi kompleks imun berukuran kecil dapat beredar dalam
sirkulasi untuk beberapa waktu. Ada dugaan bahwa efek genetic yang memudahkan produksi
antibody dengan afinitas rendah dapat menyebabkan pembentukan kompleks imun berukuran
kecil, sehingga individu bersangkutan mudah menerima penyakit kompleks imun.
B. Kelas imunoglobulin
Pembersihan (clearance) kompleks imun juga dipengaruhi oleh kelas immunoglobulin
yang membentuk kompleks. Kompleks IgG mudah melekat pada eritrosit dan dikeluarkan
secara perlahan–lahan dari sirkulasi, tetapi tidak demkian halnya dengan IgA yang tidak
mudah melekat pada eritrosit dan dapatdisingkirkan cepat dari sirkulasi, dengan
kemungkinan pengendapan dalam berbagai jaringan misalnya ginjal, paru-paru, dan otak.
C. Aktivasi Komplemen
Salah satu factor penting lain yang turut menentukan manifestasi klinik adalah
berfungsinya aktivasi komplemen melalui jalur klasik. Aktivasi komplemen melalui jalur
klasik dapat mencegah penegendapan kompleks imun karena C3b yang terbentuk dapat
menghambat pembentukan kompleks yang besar. Kompleks yang terikat pada C3b akan
melekat pada eritrosit melalui reseptor C3b, lalu dibawa ke hepar mana kompleks itu
dihancurkan oleh makrofag. Bila system ini terganggu, misalnya pada defisiensi komplemen,
maka kompleks diatas akan membentuk kompleks yang berukuran besar dan memungkinkan
ia terperangkap diberbagai jaringan atau organ. Telah diketahui bahwa kompleks imun yang
paling merusak apabila ia mengendap atau terperangkap dalam jaringan.
D. Permeabilitas pembuluh darah
Yang paling penting dalam kompleks imun adalah peningkatan permeabilitas
vaskular. Peningkatan permeabilitas vascular dapat disebabkan oleh berbagai faktor,
diantaranya oleh peningkatan pelepasan vasoactive amine. Semua hal yang berkaitan dengan
penglepasan substansi ini harus dipertimbangkan, misalnya komplemen, mastosit, basofil,
dan trombosit yang dapat memberikan kontribusinya pada peningkatan permeabilitas
vascular.
E. Proses hemodinamik
Pengendapan kompleks imun paling mudah terjadi di tempat-tempat dengan tekanan
darah tinggi dan ada turbulensi. Banyak kompleks imun mengnedap dalam glomerulus
dimana tekanan darah meningkat hingga 4 kali dan dalam dinding percabangan arteri dan
ditempat-tempat terjadinya filtrasi, seperti pada pleksus choroids dimana tempat turbelensi.
F. Afinitas antigen pada jaringan
Ada beberapa jenis kompleks imun yang memilih mengendap di tempat – tempat
tertentu, misalnya untuk SLE, sasaran pengendapan kompleks imun adalah ginjal. Pada
arthritis rheumatoid kompleks imun lebih suka mengendap dalam sendi dan walaupun selalu
ada kompleks imun dalam sirkulasi, ia tidak mengendap di ginjal. Hal ini ditentukan oleh
afinitas antigen terhadap organ tetentu.
Prekursor umum reaksi hipersensitivitas tipe III antara lain :
1. Sensitisasi sel B dengan sejumlah besar antigen disajikan dalam waktu lama
2. Infusi intravena obat antigenik
3. Injeksi sejumlah besar obat antigenik (tidak cepat dibersihkan)
4. Sejumlah besar infeksi (contoh, Streptococcus, dengan demam rematik)
5. Autoantigen yang tidak dapat dihindari (contoh., systemic lupus erythematosis -SLE) :
sistem imun mengenali DNA sendiri sebagai senyawa asing dan membuat anti-nuclear
antibodies (ANA); kompleks Ag/Ab terdeposit pada dinding pembuluh (vasculitis) pada:
− Persendian dan otot mengakibatkan arthritis and myalgia
− Ginjal
− Pembuluh kutan pada wajah menimbulkan topeng merah serigala (Canis lupus)
− Perikardium, pleura menimbulkan nyeri dada

Hipersensitivitas tipe IV (Delayed hypersensitivity)


Reaksi tipe ini tidak seperti 3 tipe lainnya, dimana reaksi ini dimediasi oleh antibodi, tetapi
dimediasi oleh efektor sel T yang spesifik terhadap antigen. Memerlukan waktu sekitar 2-3 hari
untuk berkembang.
Sel T sitotoksik CD8+ dan sel T helper CD4+ mengenali antigen yang membentuk
kompleks dengan MHC tipe 1 ataupun tipe 2. Sel penyaji antigen dalam reaksi ini adalah
makrofag, yang mensekresi IL-12 (bekerja menstimulasi proliferasi dari sel T CD4+). Sel T
CD4+ ini akan mensekresi IL-2 dan interferon γ, untuk menginduksi pelepasan sitokin tipe 1.
Sitokin ini akan memediasi respon imun. Sel T CD8+ yang aktif akan menghancurkan sel
target, sedangkan makrofag memproduksi enzim hidrolitik, sehingga dengan adanya
pathogen intraselular, akan membentuk sel raksasa multinukleus.
Reaksi ini dapat terjadi karena :
 rusaknya sel atau jaringan akibat penyakit tertentu, seperti TBC, lepra, cacar air,
candidiasis, histoplasmosis
 reaksi akibat pengujian pada kulit
 kontak dengan tanaman penyebab dermatitis, contohnya poison ivy
 diabetes tipe 1 dimana CTL menghancurkan sel penghasil insulin
 sklerosis ganda dimana simfosit T dan makrofag mensekresikan sitokin untuk
menghancurkan lapisan myelin pada serabut saraf neuron
 adanya reaksi penolakan pada proses transplantasi organ sebagai akibat dari
kerusakan CTL dari sel pendonor atau sel penerima.

Anda mungkin juga menyukai