Anda di halaman 1dari 53

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit, berbagai upaya

telah dilakukan oleh pemangku kepentingan pemberi pelayanan kesehatan.

Semakin tingginya tingkat pendidikan dan kesejahteraan masyarakat, maka

tuntutan masyarakat akan hak mendapat pelayanan yang bermutu tersebut

berdampak berbagai prakarsa dalam sistem pelayanan kesehatan tertuju kepada

mutu pelayanan dan pengembangan sistem evaluasi mutu pelayanan(1).

Salah satu upaya pemerintah untuk mendorong agar rumah sakit

mengutamakan pelayanan, keselamatan dan perlindungan kepada masyarakat

adalah dengan mewajibkan rumah sakit untuk melakukan akreditasi. Menurut

Permenkes 012 tahun 2012, akreditasi adalah pengakuan yang diberikan kepada

rumah sakit karena telah berupaya meningkatkan mutu pelayanan secara

berkesinambungan. Pengakuan ini diberikan oleh lembaga independen yang

bertugas melakukan akreditasi dan sudah memperoleh pengakuan dari Menteri

Kesehatan. Lembaga independen yang bertugas melakukan akreditasi terhadap

rumah sakit di Indonesia adalah Komisi Akreditasi Rumah sakit (KARS)(2).

Standar akreditasi rumah sakit disusun sebagai upaya untuk meningkatkan

mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit dan menjalankan amanah Undang-

Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit yang mewajibkan rumah sakit

untuk melaksanakan akreditasi dalam rangka peningkatan mutu pelayanan di

1
2

rumah sakit minimal dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sekali. Dalam rangka

peningkatan mutu tersebut maka diperlukan suatu standar yang dapat dijadikan

acuan bagi seluruh rumah sakit dan stake holder terkait dalam melaksanakan

pelayanan di rumah sakit melalui proses akreditasi.

Data dari KARS (Komisi Akreditasi Rumah Sakit) pada tahun 2014

tercatat baru 535 rumah sakit yang terakreditasi secara nasional dari 2.424 rumah

sakit yang terdaftar di Indonesia. Jumlah rumah sakit yang belum terakreditasi

yaitu 1.889 rumah sakit, secara proporsi baru 22 % rumah sakit yang terakreditasi

di Indonesia. Target yang telah direncanakan Kementerian Kesehatan RI pada

tahun 2011 yaitu rumah sakit yang terakreditasi mencapai 60% dan target pada

tahun 2014, akreditasi rumah sakit mencapai 90%. Hal ini menunjukkan bahwa

rumah sakit yang terakreditasi kurang dari 90% pada tahun 2014 atau dapat

diartikan tidak tercapainya target Kementerian Kesehatan(3).

Data Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara tahun 2018 bahwa dari

208 Rumah Sakit yang ada di Sumatera Utara, 203 RS diantaranya memiliki

kemampuan penanganan kegawat daruratan, terdiri dari 186 unit RSU dan 17 unit

RSU khusus lainnya. Pada tahun 2016, terdapat 202 RS dari 208 RS yang

memiliki kemampuan gawat darurat, terdiri atas 177 unit RSU dan 25 unit RS

Khusus. Dengan demikian telah terjadi peningkatan jumlah RS yang memiliki

kemampuan gawat darurat di Sumatera Utara pada tahun 2017(4).

Pemerintah dan pemerintah daerah merupakan pemangku kebijakan yang

dapat mempengaruhi keberhasilan akreditasi di tingkat pusat maupun daerah.

Permenkes No.12 tahun 2012 tentang Akreditasi Rumah Sakit menegaskan bahwa
3

Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mendukung, memotivasi, mendorong

dan memperlancar proses pelaksanaan akreditasi untuk semua rumah sakit, dan

dapat memberikan bantuan pembiayaan kepada rumah sakit untuk proses

akreditasi. Peran pemerintah untuk mengawal pelaksanaan suatu kebijakan sangat

diharapkan namun tetap harus didukung oleh semua pihak yang terkait termasuk

pimpinan rumah sakit. Komitmen dari pimpinan dan dukungan dari seluruh SDM

yang ada rumah sakit juga memiliki peran penting dalam mencapai keberhasilan

(1).

Selama ini banyak keluhan yang terdengar bahwa kinerja Sumber Daya

Manusia (SDM) di sektor publik belum mampu menunjukkan produktivitas dan

efisiensi yang tinggi. Bahkan sebagai abdi masyarakat seringkali pekerjaan yang

dilakukan oleh pegawai sektor publik belum dilakukan sebagaimana mestinya dan

bahkan tugas-tugas pokok yang merupakan tanggung jawabnya sering kali

terabaikan, sehingga menimbulkan gejala tidak efisien dan tidak efektifnya

organisasional (5).

RSU Royal Prima Medan merupakan salah satu instansi pelayanan

kesehatan swasta di Kota Medan Provinsi Sumatera Utara yang didirikan oleh

suatu badan hukum yaitu Yayasan Royal Prima. Dari klinik bersalin dan

mengalami perkembangan menjadi sebuah Rumah Sakit Umum. Rumah Sakit

Umum Royal Prima Medan melaksanakan proses Akreditasi Rumah Sakit dimulai

dari mengikuti proses bimbingan akreditasi rumah sakit 5 (lima) pelayanan oleh

Komisi Akreditasi Rumah Sakit sehingga pada akhirnya RSU Royal Prima Medan

diakui telah memenuhi standar pelayanan rumah sakit 5 (lima) pelayanan yang
4

meliputi Administrasi dan Manajemen, Pelayanan Medik, Pelayanan Gawat

Darurat, Pelayanan Keperawatan dan Rekam medik serta dinyatakan dengan

status Akreditasi Lulus Tingkat Dasar

Pelaksanaan akreditasi di Rumah Sakit Umum Royal Prima Medan bukan

semata-mata untuk sertifikat kelulusan tetapi untuk peningkatan mutu pelayanan

rumah sakit secara berkesinambungan. Manajemen Rumah Sakit Umum Royal

Prima Medan berkomitmen untuk senantiasa meningkatkan keselamatan dan

kualitas asuhan pasien, memastikan bahwa lingkungan pelayanannya aman dan

berupaya mengurangi risiko bagi para pasien dan staf di Rumah Sakit Umum

Royal Prima Medan

Evaluasi mutu pelayanan di RSU Royal Prima dengan memakai indikator

penilaian mutu pelayanan. Indikator yang disebutkan di atas belum semuanya

dapat diaplikasikan di RSU Royal Prima mengingat keterbatasan sumber daya

rumah sakit itu sendiri. Peningkatan mutu pelayanan di RSU Royal Prima

dilakukan secara berkesinambungan berdasarkan hasil evaluasi mutu pelayanan

secara rutin di rumah sakit. Upaya peningkatan mutu rumah sakit yang telah

dilakukan oleh rumah sakit secara internal tidak terlepas dari sistem evaluasi mutu

pelayanannya yang bersifat eksternal dengan menggunakan model akreditasi

sebagai alat efektif untuk melakukan peninkatan mutu pelayanan rumah sakit

Tahun 2012 RSU Royal Prima melaksanakan akreditasi dasar 5 (lima)

pelayanan dengan mempergunakan Standar Akreditasi Rumah Sakit Versi 2007.

BOR di tahun 2012 menunjukkan angka 39,7% dan tahun 2013 BOR mengalami

kenaikan dari 39,7% menjadi 47,2%. Kenaikan sekitar 7,5% dan menunjukkan
5

bahwa pelaksanaan akreditasi rumah sakit dapat dijadikan sebagai forum

konsultasi antara rumah sakit dengan Komisi Akreditasi Rumah Sakit yang akan

memberikan saran perbaikan atau rekomendasi untuk peningkatan mutu

pelayanan RSU Royal Prima melalui pencapaian standar yang ditentukan (6).

Angka pemamfaatan tempat tidur (BOR) yang rendah selama ini di RSU

Royal Prima sehingga perlu dipikirkan bagaimana meningkatkan angka BOR

diantaranya melalui pemasaran. RSU Royal Prima dengan status Akreditasi Lulus

Tingkat Dasar, dapat dijadikan sebagai alat pemasaran RSU Royal Prima.

Bergerak dari pengalaman mengikuti Akreditasi Rumah Sakit Versi 2007, 5 (lima)

pelayanan, RSU Royal Prima mulai membenahi diri melengkapi persyaratan

dokumentasi 16 (enam belas) pelayanan. Diketahui dengan dasar pemahaman

materi Akreditasi Rumah Sakit Versi 2007 dan pelaksanaan pemenuhan

dokumentasi 16 (enam belas) pelayanan akan membantu memenuhi persyaratan

pelayanan di unit kerja lainnya di rumah sakit dan dapat mempersiapkan diri

untuk menerima implementasi Standar Akreditasi Rumah Sakit versi 2012.

Perubahan Standar Akreditasi Rumah Sakit Versi 2007 mengikuti Standar

Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012 memang bisa merupakan dilema karena RSU

Royal Prima harus menata ulang standar pelayanan rumah sakit yang tentunya

perlu waktu mengingat masa berlaku status Akreditasi Rumah Sakit sampai

dengan tahun 2015. Untuk itu kebijakan manajemen rumah sakit menetapkan

implementasi Standar Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012 dengan mulai

melakukan sosialisasi standar baru ini kepada seluruh staf dengan menerbitkan

Surat Keputusan Direktur tentang Pemberlakuan Standar Akreditasi Rumah Sakit


6

Versi 2012 di RSU Royal Prima dan mengikuti bimbingan akreditasi yang

diselenggarakan oleh institusi berkompeten di bidang akreditasi sehingga

diharapkan rumah sakit dapat segera mengikuti akreditasi standar baru tersebut

Berdasarkan wawancara singkat dengan bagian akreditasi RSU Royal

Prima Medan mengatakan bahwa RSU Royal Prima telah membuat kebijakan-

kebijakan dalam meningkatkan akreditasi rumah sakit salah satunya melalui

manajemen pelayanan rumah sakit dalam mewujudkan produktivitas kerja

pegawai yang ada di RSU Royal Prima. RSU Royal Prima selalu berusaha

meningkatkan produktivitas kerja pegawai yang ada melalui seleksi, penataan

pegawai sesuai dengan komptensi, pembinaan pegawai dan evaluasi pegawai

tetapi dalam kenyataan di lapangan masih terdapat pegawai yang kurang

berkompensi dalam melaksanakan tugasnya ikut serta meningkatkan pelayanan

rumah sakit. Berdasarkan latar belakang, penulis tertarik meneliti tentang

implementasi kebijakan akreditasi rumah sakit terhadap manajemen pelayanan

rumah sakit dalam mewujudkan produktivitas kerja di RSU Royal Prima Medan

Tahun 2019.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas maka peneliti ingin

mengetahui bagaimana implementasi kebijakan akreditasi rumah sakit terhadap

manajemen pelayanan rumah sakit dalam mewujudkan produktivitas kerja di RSU

Royal Prima Medan Tahun 2019.


7

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui implementasi kebijakan akreditasi rumah sakit terhadap

manajemen pelayanan rumah sakit dalam mewujudkan produktivitas kerja di RSU

Royal Prima Medan Tahun 2019

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui komunikasi kebijakan akreditasi rumah sakit terhadap

manajemen pelayanan rumah sakit dalam mewujudkan produktivitas kerja

di RSU Royal Prima Medan Tahun 2019

2. Untuk mengetahui sumber daya kebijakan akreditasi rumah sakit terhadap

manajemen pelayanan rumah sakit dalam mewujudkan produktivitas kerja

di RSU Royal Prima Medan Tahun 2019

3. Untuk mengetahui disposisi kebijakan akreditasi rumah sakit terhadap

manajemen pelayanan rumah sakit dalam mewujudkan produktivitas kerja

di RSU Royal Prima Medan Tahun 2019

4. Untuk mengetahui struktur birokrasi kebijakan akreditasi rumah sakit

terhadap manajemen pelayanan rumah sakit dalam mewujudkan

produktivitas kerja di RSU Royal Prima Medan Tahun 2019

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi RSU Royal Prima Medan

Diharapkan menjadi masukan dan informasi yang berguna bagi kebijakan

manajerial Rumah Sakit. Kebijakan ini khususnya yang terkait dengan


8

kebijakan akreditasi rumah sakit terhadap manajemen pelayanan rumah

sakit dalam mewujudkan produktivitas kerja

1.4.2 Bagi Pegawai RSU Royal Prima Medan

Diharapkan pegawai dapat mendukung akreditasi dengan meningkatkan

manajemen pelayanan rumah sakit dalam mewujudkan produktivitas kerja

yang efektif

1.4.3 Bagi Peneliti Selanjutnya

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dan

referensi bagi peneliti lanjutan didalam melakukan penelitian lanjutan

yang berkaitan dengan implementasi kebijakan akreditasi rumah sakit

terhadap manajemen pelayanan rumah sakit dalam mewujudkan

produktivitas kerja
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Peneliti Terdahulu

Penelitian Dyah tahun 2018 tentang Implementasi Kebijakan Badan

Layanan Umum Daerah RSUD dr. Soemarno Sosroatmodjo Tanjung Selor

Kabupaten Bulungan mengatakan bahwa implementasi kebijakan BLUD RSUD

Tanjung Selor menunjukkan SPM belum dijalankan secara optimal sesuai standar

dan kriteria yang ditetapkan. BLUD berjalan cukup baik seiring dengan

tersedianya fasilitas dan peralatan medis rumah sakit, kualitas SDM yang cukup

memadai, prosedur pelayanan kesehatan dan biaya pengobatan yang terjangkau.

Namun demikian, untuk pelayanan masih banyak dikeluhkan para pasien yang

dinilai kurang cepat dalam merespon keluhan. Adanya kesamaan persepsi antara

pimpinan berpengaruh positif terhadap penyelenggaran jasa pelayanan kesehatan

masyarakat, terutama dari aspek pemerataan, dan keterjangkauan pelayanan

kesehatan. Selain itu koordinasi dan fungsional dengan dinas kesehatan turut

membantu kelancaran pelaksanaan implementasi yang dipertanggungjawabkan.

Kemampuan petugas masih petugas kurang disiplin, dan kurang ramah. Aspek

kenyamanan fasilitas ini masih menjadi keluhan sebagian pasien (7).

Penelitian Elfina tahun 2018 tentang analisis kebijakan rumah sakit

Bhayangkara Kota Manado dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di

instalasi rawat jalan mengatakan bahwa tingkat kepuasan pasien di Rumah Sakit

Bhayangkara Kota Manado telah sesuai Permenkes Nomor 129 Tahun 2008

9
10

tentang Standar Pelayanan Minimal dalam meningkatkan mutu pelayanan

kesehatan diperoleh hasil Kebijakan pengurusan administrasi pelayanan pasien

dilakukan sesuai prosedur namun prosedur administrasinya belum online. Ada

hubungan kerjasama pengurusan pelayanan dengan BPJS. Menerapkan waktu

pelayanan tunggu pasien di rumah sakit dengan rawat jalan tingkat lanjutan.

Kendalanya kadang-kadang waktu tunggunya terpengaruh dari waktu kedatangan

dokter spesialis. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pasien memperoleh

hasil pihak rumah sakit menerapkan prosedur pelayanan berjalan baik dan lancar

serta sesuai alur di rumah sakit. Waktu penyelesaian pelayanan pasien tidak

pernah dipersulit (5).

Penelitian Ira tahun 2018 tentang pengaruh implementasi kebijakan

akreditasi puskesmas terhadap manajemen pelayanan kesehatan masyarakat dalam

mewujudkan produktivitas kerja mengatakan bahwa pengaruh variabel

implementasi kebijakan akreditasi puskesmas terhadap manajemen pelayanan

kesehatan masyarakat relatif sedang yaitu sebesar 0,3905 atau 39,05% sedangkan

sisanya sebesar 60,95% (epsilon) dipengaruhi oleh variabel lain di luar variabel

Implementasi Kebijakan Akreditasi Puskesmas yang tidak dimasukan ke dalam

model 76,6% (8).

Penelitian Murti tahun 2018 tentang dampak akreditasi rumah sakit di

RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo menyatakan bahwa responden meyatakan

akreditasi penting dilaksanakan. Dampak positif akreditasi adalah peningkatan

kepedulian perawat pada indikator keselamatan pasien, yaitu pebaikan pada alur

pelaporan masalah, kepatuhan terhadap standar operasional prosedur, komunikasi


11

antar pertugas kesehatan, pendokumentasian, fasilitas pelayanan, pendidikan

kesehatan, lingkungan kerja dan adanya pendidikan berkelanjutan. Pandangan

positif terhadap kegiatan akreditas menjadi awal yang baik bagi rumah sakit untuk

melanjutkan langkah perbaikan kualitas pelayanan. Karena hal utama dalam

pelayanan adalah kualitas pelayanan yang dinilai dari indikator klinis pelayanan,

bukan kelengkapan dokumentasi (9).

2.2 Implementasi Kebijakan

2.2.1 Pengertian Implementasi Kebijakan

Kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat negara, khususnya

pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan negara yang

bersangkutan(10). Implementasi kebijakan adalah bagian dari rangkaian proses

kebijakan publik. Proses yang perlu ditekankan disini adalah bahwa tahap

implementasi kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan dan saran-saran

ditetapkan atau diidentifikasi oleh keputusan-keputusan kebijakan. Dengan

demikian, tahap implementasi terjadi hanya setelah undang-undang ditetapkan dan

dana disediakan untuk membiayai implementasi kebijakan tersebut (11).

Kebijakan rumah sakit adalah penetapan Direktur/Pimpinan rumah sakit

pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang mengikat. Kebijakan bersifat

garis besar maka untuk penerapan kebijakan tersebut disusun pedoman / panduan

dan prosedur sehingga ada kejelasan langkah-langkah untuk melaksanakan

kebijakan tersebut (12).

Kebijakan publik paling tidak mengandung tiga komponen dasar, yaitu

tujuan yang hendak dicapai, sasaran yang memenuhi specific, measurable,


12

aggressive but attainable, result oriented dan time bound, cara mencapai sasaran

tersebut. Cara mencapai sasaran inilah yang sering disebut dengan implementasi,

yang biasanya diterjemahkan ke dalam program-program, ke proyek dan ke

kegiatan. Aktivitas implementasi ini biasanya terkandung di dalamnya : siapa

yang terlibat dalam implementasi kebijakan ? apa yang mereka kerjakan ? apa

dampak dari isi kebijakan ? (10).

Implementasi merupakan proses umum tindakan administratif yang dapat

diteliti pada tingkat program tertentu. Implementasi kebijakan merupakan

tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta baik secara individu maupun

secara kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan. Proses implementasi

baru akan dimulai apabila tujuan dan sasaran telah ditetapkan, program kegiatan

telah tersusun dan dana telah siap dan telah disalurkan untuk mencapai sasaran.

Implementasi kebijakan menghubungkan antara tujuan kebijakan dan realisasinya

dengan hasil kegiatan pemerintah. Tugas implementasi adalah membangun

jaringan yang memungkinkan tujuan kebijakan publik direalisasikan melalui

aktivitas instansi pemerintah yang melibatkan berbagai pihak yang

berkepentingan (policy stakeholders) (7).

2.2.2 Kriteria Pengukuran Keberhasilan Implementasi

Untuk mengukur kinerja implementasi suatu kebijakan publik harus

memperhatikan variabel kebijakan, organisasi dan lingkungan. Perhatian itu perlu

diarahkan karena melalui pemilihan kebijakan yang tepat maka masyarakat dapat

berpartisipasi memberikan kontribusi yang optimal untuk mencapai tujuan yang

diinginkan. Selanjutnya, ketika sudah ditemukan kebijakan yang terpilih


13

diperlukan organisasi pelaksana, karena di dalam organisasi ada kewenangan dan

berbagai sumber daya yang mendukung pelaksanaan kebijakan bagi pelayanan

publik. Sedangkan lingkungan kebijakan tergantung pada sifatnya yang positif

atau negatif. Jika lingkungan berpandangan positif terhadap suatu kebijakan akan

menghasilkan dukungan positif sehingga lingkungan akan berpengaruh terhadap

kesuksesan implementasi kebijakan. Sebaliknya, jika lingkungan berpandangan

negatif maka akan terjadi benturan sikap, sehingga proses implementasi terancam

akan gagal. Lebih daripada tiga aspek tersebut, kepatuhan kelompok sasaran

kebijakan merupakan hasil langsung dari implementasi kebijakan yang

menentukan efeknya terhadap masyarakat.

Kriteria pengukuran keberhasilan implementasi didasarkan pada tiga

aspek, yaitu tingkat kepatuhan birokrasi terhadap birokrasi di atasnya atau

tingkatan birokrasi sebagaimana diatur dalam undang-undang, adanya kelancaran

rutinitas dan tidak adanya masalah; serta pelaksanaan dan dampak (manfaat) yang

dikehendaki dari semua program yang ada terarah (7).

2.2.3 Prinsip Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah

kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang. Dengan

demikian bahwa tujuan kebijakan pada prinsipnya adalah melakukan intervensi.

Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada,

yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui

formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut


14

Paparan sekuensi implementasi kebijakan publik yaitu kebijakan publik

dalam bentuk undang-undang atau Perda adalah jenis kebijakan publik yang

memerlukan kebijakan publik penjelas atau yang sering diistilahkan sebagai

peraturan pelaksanaan. Kebijakan publik yang bisa langsung operasional antara

lain Keputusan Presiden, Instruksi Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan

Kepala Daerah, Keputusan Kepala Dinas dan lain-lain kemudian dimulai dari

program, ke proyek, ke kegiatan dan dirasakan oleh pemanfaat (beneficiaries).

Persentase keberhasilan kebijakan terdiri dari 20% rencana, 60% implementasi

dan 20% sisanya adalah bagaimana kita mengendalikan implementasi.

Implementasi kebijakan adalah hal yang paling berat, karena masalah-masalah

yang kadang tidak dijumpai dalam konsep, muncul di lapangan. Selain itu,

ancaman utama, adalah inkonsistensi implementasi (10).

2.2.4 Model Implementasi Kebijakan

Model-model implementasi kebijakan sangat bervariasi dan tidak ada

model yang terbaik. Setiap jenis kegiatan publik memerlukan model implementasi

kebijakan yang berlainan. Pilihan-pilihan model yang harus dipilih secara

bijaksana sesuai dengan kebutuhan kebijakannya sendiri dan harus menampilkan

keefektifan kebijakan itu sendiri berupa tepat kebijakannya, tepat pelaksananya,

tepat target, tepat lingkungan dan tepat proses, yang didukung dengan dukungan

politik, dukungan strategik, dan dukungan teknis. Model-model implementasi

kebijakan berupa :
15

1. Model Donald Van Meter dan Carl Van Horn (1975) dengan implementasi

kebijakan berjalan secara linear dari kebijakan publik, implementor, dan

kinerja kebijakan publik

2. Model Danield Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983) dengan

implementasi adalah upaya melaksanakan kebijakan

3. Model Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn (1978) untuk melakukan

implementasi kebijakan diperlukan sepuluh syarat

4. Model Malcolm L. Goggin, Ann Bowman dan James Lester (1990) dengan

“communication model “ untuk implementasi kebijakan, yang disebutnya

sebagai “generasi ketiga model implementasi kebijakan”,

5. Model Merilee S. Grindle (1980) implementasi kebijakan ditentukan oleh

enam isi kebijakan dan tiga konteks implementasinya

6. Model Richard Elmore (1979), Michael Lipsky (1971), dan Benny Hjern

dan David O’Porter (1981) dengan implementasi kebijakan yang

berdasarkan jenis kebijakan publik yang mendorong masyarakat untuk

mengerjakan sendiri implementasi kebijakannya atau tetap melibatkan

pejabat pemerintah namun hanya di tataran rendah

7. Model George Edward III (1980) menegaskan bahwa masalah utama

administrasi publik adalah lack of attention to implementation.

Dikatakannya, without effective implementation the decision of

policymakers will not be carried out successfully. Edward menyarankan

untuk memperhatikan empat isu pokok agar implementasi kebijakan

menjadi efektif, yaitu communication/komunikasi, resources/sumber daya,


16

disposition or attitudes/disposisi, dan bureaucratic structures / birokrasi.

George Edward III (1980) memperkenalkan pendekatan masalah

implementasi kebijakan dengan mempertanyakan faktor-faktor apa yang

mendukung dan menghambat keberhasilan implementasi kebijakan.

Berdasarkan pertanyaan retorika tersebut dirumuskan 4 (empat) faktor

sebagai sumber masalah sekaligus prakondisi bagi keberhasilan proses

implementasi, yakni :

a. Komunikasi

Komunikasi kebijakan memiliki beberapa macam dimensi, antara lain

dimensi transmisi, kejelasan, dan konsistensi. Dimensi transmisi,

menghendaki agar kebijakan publik dapat ditransmisikan kepada para

pelaksana, kelompok sasaran, dan pihak lain yang terkait dengan

kebijakan. Dimensi kejelasan menghendaki agar kebijakan yang

ditransmisikan kepada para pelaksana, kelompok sasaran, dan pihak lain

yang berkepentingan langsung maupun tidak langsung terhadap kebijakan

dapat diterima dengan jelas sehingga di antara mereka mengetahui apa

yang menjadi maksud, tujuan, dan sasaran serta substansi dari kebijakan

publik tersebut. Dimensi konsistensi, menghendaki konsisten dan jelasnya

kebijakan publik dalam penafsiran oleh pelaksana kebijakan.

b. Sumber Daya

1) Sumber Daya Manusia

Efektifitas pelaksanaan kebijakan sangat tergantung kepada sumber daya

manusia (aparatur) yang bertanggung jawab melaksanakan kebijakan.


17

Sumber daya manusia ini harus cukup (jumlah) dan cakap (ahli). Selain itu

sumber daya manusia tersebut harus mengetahui apa yang harus

dilakukan. Oleh karena itu, sumber daya manusia pelaku kebijakan

tersebut juga membutuhkan informasi yang tidak saja berkaitan dengan

bagaimana cara melaksanakan kebijakan, tetapi juga mengetahui arti

penting (esensi) data mengenai kepatuhan pihak lain yang terlibat didalam

peraturan berlaku. Tidak cukupnya sumber daya berarti peraturan (law)

tidak akan bisa ditegakkan (enforced), pelayanan tidak disediakan, dan

peraturan yang digunakan tidak bisa dikembangkan.

2) Sumber Daya Anggaran

Sumber daya anggaran mempengaruhi efektifitas pelaksanaan kebijakan,

selain sumber daya manusia adalah dana (anggaran) dan peralatan yang

diperlukan untuk membiayai operasionalisasi pelaksanaan kebijakan.

Terbatasnya anggaran yang tersedia menyebabkan kualitas pelayanan

publik yang harus diberikan kepada masyarakat juga terbatas. Karena

kurangnya insentif yang diberikan kepada pelaksana kebijakan dapat

menyebabkan para pelaku kebijakan tidak dapat melaksanakan tugas dan

fungsinya secara optimal. Terbatasnya insentif tersebut tidak akan mampu

mengubah sikap dan perilaku (disposisi) para pelaku kebijakan. Oleh

karena itu, agar para pelaku kebijakan memiliki disposisi (sikap dan

perilaku) tinggi dalam melaksanakan kebijakan diperlukan insentif yang

cukup. Besar kecilnya insentif tersebut dapat mempengaruhi sikap dan


18

perilaku (disposisi) pelaku kebijakan. Insentif tersebut bisa diwujudkan

dalam bentuk rewards and punishment.

3) Sumber Daya Fasilitas

Sumber daya fasilitas merupakan sarana yang digunakan untuk

operasionalisasi implementasi suatu kebijakan yang meliputi gedung,

tanah, dan sarana yang semuanya akan memudahkan didalam memberikan

pelayanan dalam implementasi kebijakan. Terbatasnya fasilitas yang

tersedia, kurang menunjang efisiensi dan tidak mendorong motivasi para

pelaku dalam melaksanakan kebijakan.

4) Sumber Daya Informasi dan Kewenangan

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa sumber daya

informasi juga menjadi faktor penting dalam implementasi kebijakan.

Terutama, informasi yang relevan dan cukup berkaitan dengan bagaimana

cara mengimplementasikan suatu kebijakan. Kewenangan juga merupakan

sumber daya lain yang mempengaruhi efektifitas pelaksanaan kebijakan.

Kewenangan sangat diperlukan terutama untuk menjamin dan meyakinkan

bahwa kebijakan yang akan dilaksanakan adalah sesuai dengan yang

mereka kehendaki

c. Disposisi

Keberhasilan implementasi kebijakan bukan hanya ditentukan oleh sejauh

mana pelaku kebijakan mengetahui apa yang harus dilakukan dan mampu

melakukannya, tetapi juga ditentukan oleh kemauan para pelaku kebijakan

tadi memiliki disposisi yang kuat terhadap kebijakan yang sedang


19

diimplementasikan. Mereka akan tahu bahwa kebijakan akan

menguntungkan organisasi dan dirinya, manakala mereka cukup

pengetahuan (cognitive), dan mereka sangat mendalami dan

memahaminya (comprehension and understanding). Pengetahuan,

pendalaman, dan pemahaman kebijakan ini akan menimbulkan sikap

menerima (acceptance), acuh tak acuh (neutrality), dan menolak

(rejection) terhadap kebijakan.

d. Struktur Birokrasi

Struktur birokrasi ini mencakup aspek-aspek seperti struktur organisasi,

pembagian kewenangan, hubungan antara unit-unit organisasi yang ada

dalam organisasi bersangkutan, dan hubungan organisasi dengan

organisasi luar dan sebagainya. Oleh karena itu, struktur birokrasi

mencakup dimensi fragmentasi dan standar prosedur operasional yang

akan memudahkan dan menyeragamkan tindakan dari para pelaksana

kebijakan dalam melaksanakan apa yang menjadi bidang tugasnya.

Di Indonesia sering terjadi inefektivitas implementasi kebijakan karena

kurangnya koordinasi dan kerjasama di antara lembaga-lembaga negara dan/atau

pemerintahan. Ini merupakan contoh dari dimensi keempat yang disebutkan

George Edward III

8. Model Nakamura dan Smallwood (1980) dengan environments influencing

implementation yang terdiri atas tiga elemen dan masing-masing

mempunyai actors and arenas,


20

9. Model jaringan oleh Walter Kickert, Erik Hans Klijn dan Joop Koppenjan

(1997) dengan proses implementasi kebijakan adalah sebuah complex of

interaction processes di antara sejumlah besar aktor yang berada dalam

suatu jaringan (network) aktor-aktor yang independen.

Implementasi kebijakan perlu diketahui paradigma kebijakan mana yang

digunakan, kebijakan sebelum di implementasikan, harus disosialisasikan, dicoba,

diperbaiki, diterapkan, dan kelak dievaluasi dalam proses yang “berwaktu” dan

adanya diskresi, atau ruang gerak bagi individu pelaksana di lapangan untuk

memilih tindakan sendiri yang otonom dalam batas wewenangnya apabila

menghadapi situasi khusus, misalnya apabila kebijakan tidak mengatur atau

mengatur berbeda dengan kondisi lapangan(10).

2.2.5 Pengendalian Kebijakan

Kebijakan publik adalah sebuah manajemen, mengagendakan pemahaman

bahwa kebijakan publik harus dikendalikan. Pengendalian kebijakan terdiri atas

tiga dimensi, yaitu monitoring kebijakan, atau pengawasan kebijakan, evaluasi

kebijakan dan pengganjaran kebijakan. Monitoring kebijakan atau pengawasan

kebijakan berupa pemantauan dengan penilaian untuk tujuan pengendalian

pelaksanaan agar pelaksanaan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.

Pengawasan sering kali dipahami sebagai “on-going evaluation” atau “ formative

evaluation”.

Monitoring atau pemantauan adalah usaha secara terus menerus untuk

memahami perkembangan bidang-bidang tertentu dari pelaksanaan tugas atau

proyek yang sedang dilaksanakan. Ada tiga tehnik monitoring yaitu on desk, on
21

site dan gabungan dari keduanya. Tujuan Monitoring hanya dua, yaitu

memastikan pelaksanaan tidak menyimpang dari perencanaan, dan membangun

early warning system sebagai bagian penting untuk memastikan jika terjadi

penyimpangan dalam pelaksanaan

Evaluasi kebijakan merupakan penilaian pencapaian kinerja dari

implementasi. Evaluasi dilaksanakan setelah kegiatan “selesai dilaksanakan”

dengan dua pengertian “selesai”, yaitu pengertian waktu (mencapai/melewati

tenggat waktu) dan pengertian kerja (pekerjaan tuntas). Pengganjaran kebijakan

termasuk didalamnya penghukuman. Pengganjaran dengan demikian bermakna

pemberian insentif atau disinsentif yang ditetapkan dan diberikan sebagai hasil

dari pengawasan dan penilaian yang telah dilakukan. Hal ini penting diangkat

karena jika monitoring dan evaluasi tidak memberikan arti penting, tidak

diberikan pengganjaran atasnya.

Sebagian besar pemahaman evaluasi kebijakan publik berada pada domain

evaluasi implementasi kebijakan publik. Hal ini bisa dipahami karena memang

implementasi merupakan faktor penting kebijakan yang harus dilihat benar-benar.

Tujuan evaluasi implementasi kebijakan publik adalah untuk mengetahui variasi

dalam indikator-indikator kinerja yang digunakan untuk menjawab tiga

pertanyaan pokok, yaitu bagaimana kinerja implementasi kebijakan publik?

Jawabannya berkenaan dengan kinerja implementasi publik (variasi dari outcome)

terhadap variabel independen tertentu. faktor-faktor apa saja yang menyebabkan

variasi itu? Jawabannya berkenaan dengan faktor kebijakan itu sendiri, organisasi

implementasi kebijakan dan lingkungan implementasi kebijakan yang


22

mempengaruhi variasi outcome implementasi kebijakan, bagaimana strategi

meningkatkan kinerja implementasi kebijakan publik? Pertanyaan ini berkenaan

dengan “tugas” pengevaluasi untuk memilih variabel-variabel yang dapat diubah,

atau actionable variabel-variabel yang bersifat natural atau variabel lain yang

tidak bisa diubah tidak dapat dimasukkan sebagai variabel evaluasi(10).

2.3 Akreditasi Rumah Sakit

2.3.1 Pengertian Akreditasi Rumah Sakit

Rumah sakit merupakan salah satu subsistem pelayanan kesehatan

menyelenggarakan dua jenis pelayanan untuk masyarakat yaitu pelayanan

kesehatan dan administrasi, Pelayanan kesehatan mencakup pelayanan medik,

pelayanan penunjang medik, rehabilitasi medik dan pelayanan perawatan,

pelayanan tersebut dilaksanakan melalui unit gawat darurat, unit rawat jalan dan

unit rawat inap(13).

Rumah sakit menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 adalah

institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan

perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan,

dan gawat darurat. Pelayanan yang diberikan rumah sakit dapat dibagi atas dua

golongan, yaitu pelayanan utama dan pelayanan pendukung. Pelayanan utama

terdiri atas pelayanan medik, pelayanan keperawatan, dan pelayanan kefarmasian.

Pelayanan pendukung meliputi pelayanan laboraturium, pelayanan gizi dan

makanan, rekam medic, bank darah, sentra sterilsasi, pemeriksaan sinar-X, dan

layanan social. Pelayanan utama di rumah sakit tidak mampu dilaksanakan sesuai

fungsinya tanpa pelayanan pendukung tersebut (14).


23

Akreditasi rumah sakit, selanjutnya disebut akreditasi adalah pengakuan

terhadap rumah sakit yang diberikan oleh lembaga independen penyelenggara

akreditasi yang ditetapkan oleh Menteri, setelah dinilai bahwa rumah sakit itu

memenuhi standar pelayanan rumah sakit yang berlaku untuk meningkatkan mutu

pelayanan rumah sakit secara berkesinambungan (2). Akreditasi adalah penilaian

yang dilakukan oleh lembaga independen pelaksana akreditasi rumah sakit untuk

mengukur pencapaian dan cara penerapan standar pelayanan (15).

Akreditasi rumah sakit merupakan suatu proses dimana suatu lembaga,

yang independen, melakukan asesmen terhadap rumah sakit. Tujuannya adalah

menentukan apakah rumah sakit tersebut memenuhi standar yang dirancang untuk

memperbaiki keselamatan dan mutu pelayanan. Standar akreditasi sifatnya berupa

suatu persyaratan yang optimal dan dapat dicapai. Akreditasi menunjukkan

komitmen nyata sebuah rumah sakit untuk meningkatkan keselamatan dan

kualitas asuhan pasien, memastikan bahwa lingkungan pelayanannya aman dan

rumah sakit senantiasa berupaya mengurangi risiko bagi para pasien dan staf

rumah sakit. Dengan demikian akreditasi diperlukan sebagai cara efektif untuk

mengevaluasi mutu suatu rumah sakit, yang sekaligus berperan sebagai sarana

manajemen (3).

Akreditasi Rumah Sakit adalah pengakuan pemerintah kepada rumah sakit

yang telah memenuhi standar yang telah tetapkan. Tujuan umum akreditasi adalah

untuk mendapatkan gambaran sejauh mana pemenuhan standar yang telah

ditetapkan oleh rumah sakit-rumah sakit di Indonesia, sehingga mutu pelayanan

rumah sakit dapat dipertanggungjawabkan. Akreditasi sangat bermanfaat baik bagi


24

rumah sakit itu sendiri, masyarakat maupun pemilik rumah sakit. Akreditasi

Rumah Sakit di Indonesia dilakukan oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit

(KARS). Akreditasi rumah sakit merupakan salah satu cara untuk menilai mutu

pelayanan rumah sakit. Peningkatan mutu pelayanan rumah sakit merupakan hal

yang sangat penting, karena rumah sakit memberikan pelayanan yang paling kritis

dan berbahaya dalam sistem pelayanan dan sasaran kegiatannya adalah jiwa

manusia (16).

2.3.2 Perkembangan Akreditasi Rumah Sakit di Indonesia

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2008)

mengemukakan bahwa pada tahun 1987 Departemen Kesehatan menerima

bantuan teknis dari Amerika Serikat melalui US-AID berhasil menyusun suatu

sistem dan perangkat ukur obyektif yang untuk menilai kinerja manajemen rumah

sakit disebut standar pelayanan rumah sakit dan standar pelayanan medik.

Penyesuaian, pengurangan atau penambahan dari standar acuan yang berlaku di

Amerika Serikat dan Australia dilakukan standar dapat diaplikasikan menurut

kondisi di Indonesia. Penilaian lebih berfokus kepada struktur dan proses yang

kelak sebagai landasan kuat untuk menyusun standar outcome di kemudian hari.

Pada tahun 1993 standar pelayanan rumah sakit yang terdiri dari 20

kegiatan pelayanan dan standar pelayanan medik ditetapkan berlaku di seluruh

rumah sakit di Indonesia melalui Keputusan Menteri Kesehatan. Setiap kegiatan

pelayanan terdiri dari 7 (tujuh) standar yaitu falsafah dan tujuan, administrasi dan

pengelolaan, staf dan pimpinan, fasilitas dan peralatan, kebijakan dan prosedur,

pengembangan staf dan program pendidikan serta evaluasi dan pengendalian


25

mutu. Ke-20 kegiatan pelayanan tersebut adalah administrasi dan manajemen,

pelayanan medik, pelayanan gawat darurat, pelayanan perinatal risiko tinggi,

pelayanan keperawatan, pelayanan anestesi, pelayanan radiologi, pelayanan

farmasi, pelayanan laboratorium, pelayanan rehabilitasi medis, pelayanan gizi,

rekam medik, pelayanan kesehatan, kebakaran dan kewaspadaan bencana, kamar

operasi, pelayanan intensif, pengendalian infeksi di rumah sakit, pelayanan

sterilisasi sentral, pemeliharaan sarana, pelayanan lain, perpustakaan.

Pada tahun 1993-1994 dilakukan sosialisasi dan uji coba penerapan

standar pelayanan rumah sakit dan standar pelayanan medik tersebut. Hasil uji

coba tidak semua dari 20 kegiatan pelayanan dapat dilaksanakan dengan baik oleh

rumah sakit hanya kegiatan pelayanan administrasi dan manajemen, pelayanan

medik, pelayanan gawat darurat, pelayanan keperawatan dan rekam medik

memberikan kontribusi nilai skor diatas 60% sehingga dari dasar uji coba tersebut

maka pelaksanaan akreditasi pada tahap pertama adalah untuk 5 (lima) kegiatan

pelayanan tersebut.

Akreditasi rumah sakit mulai dilaksanakan pada tahun 1995 dengan 5

(lima) kegiatan pelayanan terhadap 10 rumah sakit yang ditunjuk oleh

Departemen Kesehatan karena rumah sakit tersebut pernah menjadi nominasi

pemenang penilaian kinerja rumah sakit dalam rangka Hari Kesehatan Nasional.

Adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta manajemen

perumah-sakitan, pada tahun 1999 standar pelayanan rumah sakit dan standar

pelayanan medik tersebut direvisi dengan melibatkan berbagai organisasi profesi.

Kegiatan pelayanan ada yang dikurangi dan ada kegiatan pelayanan yang
26

mengalami perubahan nama dengan alasan adanya duplikasi dari substansi yang

dimuat dalam instrumen yang ada, baru dari hasil revisi. Kegiatan pelayanan saat

itu berjumlah 16 (enam belas). Standar pelayanan rumah sakit dan standar

pelayanan medik hasil revisi tahun 1999 pada tahun 2007 mengalami revisi lagi

dengan menambahkan Patient Safety (keselamatan pasien) yang diintegrasikan di

kegiatan pelayanan administrasi manajemen dan kegiatan pelayanan medik.

Sejalan dengan peningkatan tuntutan masyarakat terhadap pelayanan yang

berfokus kepada pasien dengan sistem akreditasi yang mengacu pada JCI maka

pada tahun 2012 telah dilakukan perubahan paradigma akreditasi dari yang

semula berfokus pada provider dengan dokumentasinya menjadi akreditasi yang

berfokus kepada pasien dengan melihat implementasi atau pelaksanaan kegiatan

menggunakan metodologi telusur. Perubahan ini merubah kompetensi dan fungsi

dari seluruh staf yang terlibat dalam akreditasi yang semula hanya mampu dan

berfungsi untuk mempersiapkan dokumen, tetapi sekarang dituntut harus mampu

dan berfungsi sebagai assessor internal dalam mempersiapkan akreditasi rumah

sakit (17).

2.3.3 Penyelenggaraan Akreditasi Rumah Sakit

1. Setiap Rumah Sakit wajib terakreditasi

2. Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan secara

berkala paling sedikit setiap 3 (tiga) tahun

3. Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Rumah

Sakit paling lama setelah beroperasi 2 (dua) tahun sejak memperoleh izin

operasional untuk pertama kali(18).


27

2.3.4 Tujuan Akreditasi Rumah Sakit

Tujuan akreditasi rumah sakit terdiri dari tujuan umum dan khusus, adapun

tujuan umum akreditasi rumah sakit adalah mendapat gambaran seberapa jauh

rumah sakit-rumah sakit di Indonesia telah memenuhi standar yang telah

ditetapkan sehingga mutu pelayanan rumah sakit dapat dipertanggung jawabkan.

Sedangkan tujuan khususnya meliputi:

1. Memberikan pengakuan dan penghargaan kepada rumah sakit yang telah

mencapai tingkat pelayanan kesehatan sesuai dengan standar yang telah

ditetapkan

2. Memberikan jaminan kepada petugas rumah sakit bahwa semua fasilitas,

tenaga dan lingkungan yang diperlukan tersedia, sehingga dapat

mendukung upaya penyembuhan dan pengobatan pasien dengan sebaik-

baiknya

3. Memberikan jaminan dan kepuasan kepada customers dan masyarakat

bahwa pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit diselenggarakan sebaik

mungkin(16).

Proses akreditasi dirancang untuk meningkatkan budaya keselamatan dan

budaya kualitas di rumah sakit, sehingga senantiasa berusaha meningkatkan mutu

dan keamanan pelayanannya. Melalui proses akreditasi rumah sakit dapat :

1. Meningkatkan kepercayaan masyarakat bahwa rumah sakit menitik

beratkan sasarannya pada keselamatan pasien dan mutu pelayanan

2. Menyediakan lingkungan kerja yang aman dan efisien sehingga staf

merasa puas
28

3. Mendengarkan pasien dan keluarga mereka, menghormati hak-hak

mereka, dan melibatkan mereka sebagai mitra dalam proses pelayanan

4. Menciptakan budaya mau belajar dari laporan insiden keselamatan pasien

5. Membangun kepemimpinan yang mengutamakan kerja sama.

Kepemimpinan ini menetapkan prioritas untuk dan demi terciptanya

kepemimpinan yang berkelanjutan untuk meraih kualitas dan keselamatan

pasien pada semua tingkatan (3).

2.3.5 Manfaat Akreditasi Rumah Sakit

Manfaat akreditasi bagi rumah sakit ialah :

1. Akreditasi menjadi forum komunikasi dan konsultasi antara rumah sakit

dengan lembaga akreditasi yang akan memberikan saran perbaikan untuk

peningkatan mutu pelayanan rumah sakit

2. Melalui self evaluation, rumah sakit dapat mengetahui pelayanan yang

berada di bawah standar atau perlu ditingkatkan

3. Penting untuk penerimaan tenaga

4. Menjadi alat untuk negosiasi dengan perusahaan asuransi kesehatan

5. Alat untuk memasarkan (marketing) pada masyarakat

6. Suatu saat pemerintah akan mensyaratkan akreditasi sebagai kriteria untuk

memberi ijin rumah sakit yang menjadi tempat pendidikan tenaga

medis/keperawatan

7. Meningkatkan citra dan kepercayaan pada rumah sakit


29

Manfaat akreditasi rumah sakit bagi masyarakat adalah:

1. Masyarakat dapat memilih rumah sakit yang baik pelayanannya

2. Masyarakat akan merasa lebih aman mendapat pelayanan di rumah sakit

yang sudah diakreditasi.

Manfaat akreditasi bagi karyawan rumah sakit ialah:

1. Merasa aman karena sarana dan prasarana sesuai standar

2. Self assessment menambah kesadaran akan pentingnya pemenuhan standar

dan peningkatan mutu. Manfaat akreditasi bagi pemilik rumah sakit ialah

pemilik dapat mengetahui rumah sakitnya dikelola secara efisien dan

efektif (16).

2.3.6 Standar Akreditasi Rumah Sakit

Standar akreditasi rumah sakit ini merupakan upaya Kementerian

Kesehatan menyediakan suatu perangkat yang mendorong rumah sakit senantiasa

meningkatkan mutu dan keamanan pelayanan. Dengan penekanan bahwa

akreditasi adalah suatu proses belajar, maka rumah sakit distimulasi melakukan

perbaikan yang berkelanjutan dan terus menerus. Standar ini yang titik beratnya

adalah fokus pada pasien disusun dengan mengacu pada sumber-sumber sebagai

berikut :

1. International Principles for Healthcare Standards, A Framework of

requirement for standards, 3rd Edition December 2007, International

Society for Quality in Health Care (ISQua)

2. Joint Commission International Accreditation Standards for Hospitals, 4th

Edition, 2011
30

3. Instrumen Akreditasi Rumah Sakit, edisi 2007, Komisi Akreditasi Rumah

Sakit (KARS)

4. Standar-standar spesifik lainnya untuk rumah sakit.

Standar ini dikelompokkan menurut fungsi-fungsi dalam rumah sakit

terkait dengan pelayanan pasien, upaya menciptakan organisasi-manajemen yang

aman, efektif, terkelola dengan baik. Fungsi-fungsi ini juga konsisten, berlaku

untuk dan dipatuhi oleh, setiap unit/bagian/instalasi. Standar adalah suatu

pernyataan yang mendefinisikan harapan terhadap kinerja, struktur, proses yang

harus dimiliki RS untuk memberikan pelayanan dan asuhan yang bermutu dan

aman. Pada setiap standar disusun Elemen Penilaian, yaitu adalah persyaratan

untuk memenuhi standar terkait (3).

2.3.7 Status Akreditasi Rumah Sakit

Keputusan akreditasi KARS berdasarkan capaian rumah sakit terhadap

Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit Edisi 1. Ketua Eksekutif KARS

mempertimbangkan semua hasil dan informasi saat survei awal atau survei ulang

untuk pengambilan keputusan hasil akreditasi. Hasilnya dapat berupa rumah sakit

memenuhi kriteria untuk akreditasi keseluruhan atau sebagian, atau tidak

memenuhi kriteria dan tidak dapat memperoleh akreditasi. Keputusan akreditasi

final didasarkan pada kepatuhan rumah sakit terhadap standar akreditasi. Rumah

sakit tidak menerima nilai/skor sebagai bagian dari keputusan akreditasi final.

Ketika suatu rumah sakit berhasil memenuhi persyaratan akreditasi KARS, rumah

sakit tersebut akan menerima penghargaan Status Akreditasi Sebagai berikut:


31

1. Rumah Sakit Non Pendidikan

a. Tidak lulus akreditasi

a) Rumah sakit tidak lulus akreditasi bila dari 15 bab yang disurvei,

b) semua mendapat nilai kurang dari 60%

c) Bila rumah sakit tidak lulus akreditasi dapat mengajukan akreditasi ulang

setelah rekomendasi dari surveior dilaksanakan.

b. Akreditasi tingkat dasar

Rumah sakit mendapat sertifikat akreditasi tingkat dasar bila dari 15 bab

yang di survei hanya 4 bab yang mendapat nilai minimal 80 % dan 12 bab

lainnya tidak ada yang mendapat nilai dibawah 20%

c. Akreditasi tingkat madya

Rumah sakit mendapat sertifikat akreditasi tingkat madya bila dari 15 bab

yang di survei ada 8 bab yang mendapat nilai minimal 80 % dan 7 bab

lainnya tidak ada yang mendapat nilai dibawah 20%

d. Akreditasi tingkat utama

Rumah sakit mendapat sertifikat akreditasi tingkat utama bila dari 15 bab

yang di survei ada 12 bab yang mendapat nilai minimal 80 % dan 3 bab

lainnya tidak ada yang mendapat nilai dibawah 20%

e. Akreditasi tingkat paripurna

Rumah sakit mendapat sertifikat akreditasi tingkat paripurna bila dari 15

bab yang di survei semua bab mendapat nilai minimal 80%


32

2. Rumah Sakit Pendidikan

a. Tidak lulus akreditasi

Rumah sakit tidak lulus akreditasi bila dari 16 bab yang di survei

mendapat nilai kurang dari 60%. Bila rumah sakit tidak lulus akreditasi

dapat mengajukan akreditasi ulang setelah rekomendasi dari surveior

dilaksanakan.

b. Akreditasi tingkat dasar

Rumah sakit mendapat sertifikat akreditasi tingkat dasar bila dari 16 bab

yang di survei hanya 4 bab, dimana salah satu babnya adalah Institusi

pendidikan pelayanan kesehatan, mendapat nilai minimal 80% dan 12 bab

lainnya tidak ada yang mendapat nilai dibawah 20%

c. Akreditasi tingkat madya

Rumah sakit mendapat sertifikat akreditasi tingkat madya bila dari 16 bab

yang di survei ada 8 bab, dimana salah satu babnya adalah Institusi

pendidikan pelayanan kesehatan, mendapat nilai minimal 80% dan 8 bab

lainnya tidak ada yang mendapat nilai dibawah 20%

d. Akreditasi tingkat utama

Rumah sakit mendapat sertifikat akreditasi tingkat utama bila dari 16 bab

yang di survei ada 12 bab, dimana salah satu babnya adalah Institusi

pendidikan pelayanan kesehatan mendapat nilai minimal 80% dan 4 bab

lainnya tidak ada yang mendapat nilai dibawah 20%


33

e. Akreditasi tingkat paripurna

Rumah sakit mendapat sertifikat akreditasi tingkat paripurna bila dari 16

bab yang di survei semua bab mendapat nilai minimal 80% (12).

2.4 Produktivitas Kerja

2.4.1 Pengertian Produktivitas Kerja

Produktivitas kerja berasal dari bahasa Inggris, yaitu product: result,

outcome berkembang menjadi kata productive, yang berarti menghasilkan, dan

productivity: having the ability make or create, creative. Perkataan itu

dipergunakan di dalam bahasa Indonesia menjadi produktivitas yang berarti

kekuatan atau kemampuan menghasilkan sesuatu. Kerja yang akan dihasilkan

adalah perwujudan tujuannya. Dilihat dari segi Psikologi produktivitas

menunjukkan tingkah laku sebagai keluaran (output) dari suatu proses berbagai

macam komponen kejiwaan yang melatarbelakanginya. Produktivitas tidak lain

daripada berbicara mengenai tingkah laku manusia atau individu, yaitu tingkah

laku produktivitasnya, lebih khusus lagi di bidang kerja atau organisasi kerja(19).

Secara umum produktivitas kerja diartikan sebagai hubungan antara hasil

nyata maupun fisik (barang-barang atau jasa) dengan maksud yang sebenararnya.

Produktivitas juga diartikan sebagai tingkatan efisiensi dalam memproduksi

barang-barang dan jasa-jasa, produktivitas mengutarakan cara pemanfaatan secara

baik terhadap sumber-sumber dalam memproduksi barang-barang.(20)

Produktivitas kerja sebagai kemampuan memperoleh manfaat yang sebesar-

besarnya dari sarana dan prasarana yang tersedia dengan menghasilkan output

yang optimal, kalau mungkin maksimal (21).


34

Produktivitas kerja merupakan sikap mental. Sikap mental yang selalu

mencari perbaikan terhadap apa yang telah ada. Suatu keyakinan bahwa seseorang

dapat melakukan pekerjaan lebih baik hari ini daripada hari kemarin dan hari esok

lebih baik dari hari ini (22). Menurut Dewan Produktivitas Nasional dikatakan

bahwa produktivitas mengandung pengertian sikap mental yang selalu

mempunyai pandangan: “mutu kehidupan hari ini harus lebih baik dari kemarin

dan hari esok lebih baik dari hari ini”(19).

Produktivitas kerja pegawai mengandung pengertian adanya kemampuan

pegawai untuk dapat menghasilkan barang atau jasa yang dilandasi sikap mental

bahwa hari ini harus lebih baik dari hari ini, hari esok harus lebih baik dari hari

ini. Sikap kerja yang demikian ini akan tetap melekat dalam diri pegawai yang

memiliki produktivitas kerja yang tinggi. Penilaian terhadap produktivitas kerja

pegawai dapat di ukur melalui pelaksanaan kerja yang relatif baik, sikap kerja,

tingkat keahlian dan disiplin kerja. Dan untuk mengukur produktivitas kerja

pegawai itu sendiri harus mencakup aspek kuantitas dan kualitas pekerjaannya

(23).

Produktivitas sebagai ukuran besarnya biaya sumberdaya, dan

menyamakan produktivitas dengan prestasi kerja. Organisasi dikatakan produktif

jika organisasi itu mencapai tujuan-tujuannya, dan mencapainya dengan

melakukan upaya transformasi input menjadi output dengan biaya paling rendah.

Produktivitas adalah ukuran seberapa lama waktu yang dibutuhkan untuk

melakukan pekerjaan pada unit pelayanan dan bagaimana melakukan hal itu

secara baik. Aspek kualitas produktivitas berbeda dengan efisiensi. Kebutuhan staf
35

dianggarkan tergantung pada produktivitas pekerja. Produktivitas keperawatan

didefinisikan sebagai rasio dari jam perawatan pasien perhari pasien untuk biaya

gaji dan tunjangan yang dibayarkan kepada staf oleh organisasi (24).

2.4.2 Manfaat Penilaian Produktivitas Kerja

Manfaat dari pengukuran produktivitas kerja adalah sebagai beikut:

1. Umpan balik pelaksanaan kerja untuk memperbaiki produktivitas kerja

karyawan.

2. Evaluasi produktivitas kerja digunakan untuk penyelesaian misalnya:

pemberian bonus dan bentuk kompensasi lainnya.

3. Untuk keputusan-keputusan penetapan, misalnya: promosi, transfer dan

demosi.

4. Untuk kebutuhan latihan dan pengembangan.

5. Untuk perencanaan dan pengembangan karier.

6. Untuk mengetahui penyimpangan-penyimpangan proses staffing.

7. Untuk mengetahui ketidak akuratan informal.

8. Untuk memberikan kesempatan kerja yang adil(25).

2.4.3 Aspek Produktivitas Kerja

Aspek-aspek produktivitas kerja antara lain yaitu :

1. Perbaikan terus-menerus

Dalam upaya pencapaian produktivitas kerja, salah satu implikasinya

adalah bahwa seluruh komponen organisasi harus melakukan perbaikan secara

terus menerus. Hal tersebut dikarenakan suatu pekerjaan selalu dihadapkan pada

tuntutan yang terus-menerus berubah seiring dengan perkembangan zaman


36

2. Peningkatan mutu hasil pekerjaan

Peningkatan mutu tidak hanya berkaitan dengan produk yang dihasilkan,

baik berupa barang maupun jasa akan tetapi menyangkut segala jenis kegiatan di

mana organisasi terlibat. Hal tersebut mengandung arti, mutu menyangkut semua

jenis kegiatan yang diselenggarakan oleh semua satuan kerja, baik pelaksana tugas

pokok maupun pelaksana tugas penunjang dalam organisasi.

3. Tugas pekerjaan yang menantang

Harus diakui bahwa tidak semua orang dalam bekerja bersedia menerima

tugas yang penuh tantangan. Artinya, dalam jenis pekerjaan apapun akan selalu

terdapat pekerja yang menganut prinsip minimalis, yang berarti sudah puas jika

melaksanakan tugasnya dengan hasil yang sekedar memenuhi standar minimal.

Akan tetapi tidak sedikit orang yang justru menginginkan tugas yang penuh

tantangan. Tugas-tugas yang bersifat rutinistik dan mekanistik akan menimbulkan

kebosanan dan kejenuhan yang pada gilirannya berakibat pada sering terjadinya

kesalahan, mutu hasil pekerjaan rendah.

4. Kondisi fisik tempat bekerja

Telah umum diakui baik oleh para pakar maupun oleh para praktisi

manajemen bahwa kondisi fisik tempat bekerja yang menyenangkan diperlukan

dan memberikan kontribusi nyata dalam meningkatkan produktivitas kerja(21).

Menurut Gilmore & Fromm (dalam Sedarmayanti, 2014) indikator

produktivitas kerja adalah :

1. Tindakannya konstruktif. Melakukan tindakan yang bermanfaat dan positif

yang akan mendukung terwujudnya tujuan perusahaan.


37

2. Percaya pada diri sendiri. Kepercayaan diri yang dimiliki oleh seseorang

dapat meningkatkan kemampuan yang dimilikinya sehingga dapat meningkatkan

produktivitasnya juga.

3. Bertanggung jawab. Memiliki sifat bertanggung jawab yang tinggi, hal ini

akan mendorong gairah kerja, semangat kerja dan akan mendukung terwujudnya

tujuan perusahaan.

4. Miliki rasa cinta terhadap pekerjaan

5. Mempunyai pandangan kedepan

6. Mampu mengatasi persoalan dan dapat menyesuaikan diri dengan

lingkungan yang berubah-ubah

7. Mempunyai kontribusi positif terhadap lingkungannya (kreatif, imaginatif,

dan inovatif)

8. Memiliki kekuatan untuk mewujudkan potensinya(19).

Indikator produktivitas kerja adalah sebagai berikut:

1. Kemampuan. Mempunyai kemampuan untuk melaksanakan tugas.

Kemampuan seorang karyawan sangat bergantung pada keterampilan yang

dimiliki serta profesionalisme mereka dalam bekerja. Ini memberikan daya

untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diembannya kepada mereka.

2. Meningkatkan hasil yang dicapai. Berusaha untuk meningkatkan hasil

yang dicapai. Hasil merupakan salah satu yang dapat dirasakan baik oleh

yang mengerjakan maupun yang menikmati hasil pekerjaan tersebut. Jadi

upaya untuk memanfaatkan produktivitas kerja bagi masing-masing yang

terlibat dalam suatu pekerjaan.


38

3. Semangat kerja. Ini merupakan usaha untuk lebih baik dari hari kemarin.

Indikator ini dapat dilihat dari etos kerja dan hasil yang dicapai dalam satu

hari kemudian dibandingkan dengan hari sebelumnya.

4. Pengembangan diri. Senantiasa mengembangkan diri untuk meningkatkan

kemampuan kerja. Pengembangan diri dapat dilakukan dengan melihat

tantangan dan harapan dengan apa yang akan dihadapi. Sebab semakin

kuat tantangannya. Pengembangan diri mutlak dilakukan. Begitu juga

harapan untuk menjadi lebih baik pada gilirannya akan sangat berdampak

pada keinginan karyawan untuk meningkatkan kemampuan.

5. Mutu. Selalu berusaha untuk meningkatkan mutu lebih baik dari yang

telah lalu. Mutu merupakan hasil pekerjaan yang dapat menunjukkan

kualitas kerja seorang pegawai. Jadi menigkatkan mutu bertujuan untuk

memberikan hasil yang terbaik yang pada gilirannya akan sangat berguna

bagi perusahaan dan dirinya sendiri

6. Efisiensi. Perbandingan antara hasil yang dicapai dengan keseluruhan

sumber daya yang digunakan. Masukan dan keluaran merupakan aspek

produktivitas yang memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi

karyawan (22).

2.5 Landasan Teori

Akreditasi Rumah Sakit secara umum bertujuan untuk meningkatkan mutu

pelayanan rumah sakit dan secara khusus bertujuan untuk memberikan jaminan

kepuasan dan perlindungan kepada masyarakat, memberikan pengakuan kepada

rumah sakit yang telah menerapkan standar yang ditetapkan dan menciptakan
39

lingkungan internal rumah sakit yang kondusif untuk penyembuhan dan

pengobatan pasien sesuai standar input/struktur, proses dan hasil (outcome)(17).

Persentase keberhasilan kebijakan terdiri dari 20% rencana, 60%

implementasi dan 20% sisanya adalah bagaimana kita mengendalikan

implementasi. Implementasi kebijakan adalah hal yang paling berat, karena

masalah-masalah yang kadang tidak dijumpai dalam konsep, muncul di lapangan.

Selain itu, ancaman utama, adalah inkonsistensi implementasi (10).

Keberhasilan implementasi suatu kebijakan dipengaruhi oleh banyak

faktor. Menurut Nugroho (2012) yang mengutip pendapat George Edward III,

menyarankan untuk memperhatikan empat isu pokok agar implementasi kebijakan

menjadi efektif, yaitu communication, resources, disposition or attitudes, dan

bureaucratic structures. Keempat isu pokok tersebut tidak berdiri sendiri namun

saling berkaitan dalam mempengaruhi proses implementasi yang ditinjau dari

perspektif pengambil kebijakan, pelaksana kebijakan dan kelompok penerima

manfaat (beneficiaries).

Kebijakan publik adalah sebuah manajemen, mengagendakan pemahaman

bahwa kebijakan publik harus dikendali. Pengendalian kebijakan terdiri atas tiga

dimensi yaitu monitoring kebijakan, atau pengawasan kebijakan berupa

pemantauan dengan penilaian untuk tujuan pengendalian pelaksanaan agar

pelaksanaan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan, evaluasi kebijakan

merupakan penilaian pencapaian kinerja dari implementasi dan, pengganjaran

kebijakan bermakna pemberian insentif atau disinsentif yang ditetapkan dan

diberikan sebagai hasil dari pengawasan dan penilaian yang telah dilakukan (10).
40

Implementasi Kebijakan Akreditasi berpengaruh signifikan terhadap

manajemen pelayanan kesehatan masyarakat dalam mewujudkan produktivitas

kerja pegawai. Sehingga dari perhitungan tersebut diketahui bahwa Implementasi

kebijakan akreditasi secara signifikan pula berdampak terhadap manajemen

pelayanan kesehatan masyarakat yang dengan sendirinya akan mewujudkan

produktivitas kerja pegawai. Dalam setiap pelaksanaan kebijakan haruslah benar-

benar memperhatikan dimensi-dimensi yang meliputinya yaitu komunikasi,

sumber daya, disposisi atau sikap dan perilaku aparatur dan struktur birokrasi

Kualitas produktivitas kerja pegawai tidak hanya dipengaruhi oleh

Implementasi Kebijakan Akreditasi Puskesmas saja, namun juga dipengaruhi oleh

Manajemen Pelayanan Kesehatan Masyarakat. Dimana faktor Planning

(Perencanaan), Organizing (Pengorganisasian), Staffing (Pengadaan tenaga kerja),

Directing (Pengarahan), Coordinating (Pengkoordinasian), Reporting (Pelaporan),

dan Budgeting (Pengganggaran). Manajemen Pelayanan Kesehatan Masyarakat

memiliki pengaruh signifikan terhadap Produktivitas Kerja Pegawai. Semakin

baik Manajemen Pelayanan Kesehatan Masyarakat yang ditunjukkan oleh para

tenaga kesehatan, maka akan semakin baik pula Produktivitas Kerja Pegawai yang

diberikan (8).
41

2.6 Kerangka Teori Penelitian

Adapun kerangka teori dalam penelitian ini adalah :

Implementasi Kebijakan Manajemen Pelayanan Produktivitas Kerja


Akreditasi Kesehatan Masyarakat Pegawai

1. Komunikasi : 1. Planning: penetapan 1. Ketercapaian


komunikator, pesan, tujuan, menentukan target proses :
saluran, komunikasi, kegiatan, penetapan kesesuaian
umpan balik capaian/target prosedur,
2. Sumber daya : 2. Organizing : kecepatan proses
anggaran, sarana, pembagian tugas dan pelayanan
prasarana, alat-alat kerja, 2. Ketercapaian
3. Disposisi atau sikap departementalisasi, target hasil :
aparatur : bekerja rentang kendali pemanfaatan
berdasarkan rencana, 3. Staffing : penentuan sumber daya,
konsultasi, evaluasi, kebutuhan pegawai, penyesuaian
laporan seleksi pegawai, modal, kepuasaan
4. Struktur birokrasi : pengembangan konsumen
Tupoksi, wewenang, pegawai 3. Ketercapaian
standar operasional 4. Directing : pemberian target tujuan :
prosedur, koordinasi, petunjuk, pemberian pencapaian target
pengawasan motivasi, evaluasi kuantitas,
hasil kerja pencapaian target
5. Coordinating : kualitas,
pencapaian cakupan pencapaian target
pelayanan kesehatan, waktu
mutu pelayanan 4. Ketercapaian
kesehatan, dukungan dan
pelaksanaan kerjasama dari
manajemen mitra kerja :
6. Reporting : solidaritas,
penyampaian integraritas sosial
informasi, tindakan 5. Ketercapaian akses
perbaikan terhadap sumber
7. Budgeting : rencana informasi :
anggaran, perhitungan kemudahan
anggaran, evaluasi informasi,
anggaran pemahaman
informasi

Gambar 2.1. Kerangka Teori Penelitian

Sumber : Ira (2018) (8).


42

2.7 Kerangka Konsep Penelitian

Dari hasil tinjauan kepustakaan yang telah diuraikan serta masalah

penelitian yang dirumuskan, perlu dikembangkannya suatu konsep penelitian.

Kerangka penelitian merupakan landasan berfikir peneliti berlandaskan teori-teori

yang menggambarkan keterkaitan antar variabel penelitian. Penelitian ini

memiliki tujuan untuk mengetahui implementasi kebijakan akreditasi rumah sakit

terhadap manajemen pelayanan rumah sakit dalam mewujudkan produktivitas

kerja di RSU Royal Prima Medan Tahun 2019. Adapun kerangka penelitian

tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Input :
Kebijakan Akreditasi Process :
Rumah Sakit Manajemen Output :
1. Komunikasi Pelayanan Produktivitas Kerja
2. Sumber daya Rumah Sakit
3. Disposisi
4. Struktur birokrasi

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang dapat

didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, baik

berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan kegiatan yang dapat

diamati. Pendekatan ini dipilih berdasarkan pertimbangan, bahwa penelitian ini

memerlukan data yang bersifat informasi kualitatif, sehingga dapat memahami

lebih mendalam tentang implementasi kebijakan akreditasi rumah sakit terhadap

manajemen pelayanan rumah sakit dalam mewujudkan produktivitas kerja di RSU

Royal Prima Medan Tahun 2019

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

3.2.1 Tempat Penelitian

Lokasi penelitian akan dilaksanakan di RSU Royal Prima Medan.

Pemilihan lokasi ini didasarkan atas pertimbangan belum pernah dilakukan

penelitian yang sama dengan penelitian ini, karena RSU Royal Prima Medan

wajib mengikuti akreditasi setiap 3 (tiga) tahun sebagai upaya untuk

meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit dan diharapkan akreditasi

rumah sakit dapat mewujudkan produktivitas kerja

43
44

3.2.2 Waktu Penelitian

Waktu penelitian akan dilakukan mulai dari studi pendahuluan Februari

2019 sampai dengan penelitian dilaksanakan

3.3 Informan

Adapun informan yang menjadi objek penelitian ini dibedakan atas dua

jenis yaitu informan kunci dan informan utama. Informan kunci adalah mereka

yang mengetahui dan memiliki berbagai informasi pokok yang diperlukan dalam

penelitian. Sedangkan informan utama adalah mereka yang terlibat secara

langsung dalam interaksi sosial yang sedang diteliti(26).

1. Dalam penelitian ini adapun yang menjadi informan kunci adalah Kepala

RSU Royal Prima Medan.

2. Sedangkan yang menjadi informan utama adalah :

a. Kepala Seksi Pelayanan Medis RSU Royal Prima Medan

b. Kepala Instalasi Rawat Inap RSU Royal Prima Medan

c. Kepala Pengendali SIM RS RSU Royal Prima Medan

3.4 Defenisi Operasional

1. Komunikasi adalah cara penyampaian informasi kebijakan yang

disampaikan agar pelaku kebijakan dapat mengetahui, memahami apa

yang menjadi isi, tujuan, arah dan kelompok sasaran

2. Sumber daya adalah sumber-sumber pendukung dalam

mengimplementasikan kebijakan sevata efektif


45

3. Disposisi adalah kemauan, keinginan dan kecenderungan para pelaku

kebijakan untuk melaksanakan kebijakan secara sungguh-sungguh untuk

mencapai tujuan kebijakan

4. Struktur birokrasi adalah struktur yang mempengaruhi mekanisme

implementasi kebijkan yang mencakup SOP dan koordinasi pelaksana

kebijakan

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Teknik pengumpulan data primer, yaitu data yang diperoleh langsung di

lokasi penelitian untuk mencari kebenaran dan data yang lengkap dan

berkaitan dengan masalah yang diteliti. Pengumpulan data primer

dilakukan dengan cara :

a. Wawancara, yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan tanya-jawab

secara langsung dan mendalam untuk memperoleh data lengkap dan

mendalam kepada pihak-pihak yang terkait

b. Kuesioner, yaitu teknik pengumpulan data yang dilaksanakan dengan cara

menyebarkan daftar pertanyaan

2. Teknik pengumpulan data sekunder, yaitu teknik pengumpulan data yang

dilakukan melalui pengumpulan kepustakaan untuk mendukung data

primer. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan menggunakan :

a. Studi dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data dengan menggunakan

catatan-catatan atau dokumen yand ada data dilokasi penelitian atau

sumber-sumber lain yang relevan dengan objek penelitian.


46

b. Studi kepustakaan, yaitu pengumpulan data yang diperoleh dari buku-

buku, karya ilmiah, serta pendapat para ahli yang memiliki relevansi

dengan masalah yang akan diteliti

3.6 Analisa Data

Analisis data merupakan kegiatan mengelompokkan, membuat suatu

urutan, memanipulasi serta menyingkatkan data sehingga mudah untuk membuat

suatu deskripsi dari gejala yang diteliti. Analisis data dalam penelitian kualitatif

dilakukan sejak awal penelitian dan selama proses penelitian dilaksanakan.

Teknik analisa data kualitatif dilakukan dengan menyajikan data yang dimulai

dengan menelaah seluruh data yang terkumpul, menyusunnya dalam satu satuan

yang kemudian dikategorikan pada tahap berikutnya dna memeriksa keabsahan

dan menafsirkannya dengan analisis dengan kemampuan daya nalar peneliti untuk

membuat kesimpulan penelitian(27).

Analisis terdiri dari 3 jalur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu :

1. Reduksi Data, yaitu merangkum, memilih hal-hal yang pokok,

memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan

demikan, akan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan

data selanjutnya dan mencarinya bila diperlukan.

2. Penyajian Data, yaitu mendisplaykan data. Melalui penyajian data tersebut

maka data terorganisasikan, tersusun dalam pola hubungan sehingga akan

semakin mudah dipahami, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan

apa yang telah dipahami.


47

3. Penarikan Kesimpulan, yaitu dalam penelitian kualitatif, kesimpulan

merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Kesimpulan

ini sebagai hipotesis yang apabila didukung oleh data maka akan dapat

menjadi teori(28).
DAFTAR PUSTAKA

1. Hastuti E. Akreditasi Wajib Bagi Rumah Sakit di Indonesia. 2015;


Available from: https://www.kompasiana.com/etyhastuti/.../akreditasi-
wajib-bagi-rumah-sakit-di-indonesia
2. Indonesia PMKR. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
012 tahun 2012 tertanggal 15 Maret 2012 tentang Akreditasi Rumah Sakit.
Jakarta; 2012.
3. Rahmadani A. Rumah Sakit Pemerintah Sebagai Sebuah Organisasi :
Struktur, Manajemen dan Pengembangan Organisasi. 2016;(January).
Available from: https://www.researchgate.net/.../289674821_
RUMAH_SAKIT_PEMERINTAH_SEBA
4. Utara DKPS. Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2017.
Sumatera Utara; 2018.
5. Elfina Simbar, Silvya Mandey SR. Analisis Kebijakan Rumah Sakit
Bhayangkara Kota Manado Dalam Meningkatkan Mutu Pelayanan
Kesehatan di Instalasi Rawat Jalan. 2018;1–13. Available from:
https://ejournalhealth.com/index.php/CH/article/viewFile/618/606
6. Prima RSUR. Profil Rumah Sakit Umum Royal Prima. 2018.
7. Mutiarin D. Implementasi Kebijakan Badan Layanan Umum Daerah: Studi
Kasus RSUD dr. Soemarno Sosroatmodjo Tanjung Selor Kabupaten
Bulungan. 2018;(January 2014). Available from: https://www.researchgate.
net/.../314197790_Implementasi_Kebijakan_Badan_Layanan
8. Ensha IS. Pengaruh Implementasi Kebijakan Akreditasi Puskesmas
Terhadap Manajemen Pelayanan Kesehatan Masyarakat Dalam
Mewujudkan Produktivitas Kerja. J Publik [Internet]. 2018;(P-ISSN:1412-
7083, E-ISSN:2579-9266):12–23. Available from: https://journal.uniga.
ac.id/index.php/JPB/article/download/283/255
9. Murti Mandawati, Muhammad Jauhar Fu’adi J. Dampak Akreditasi Rumah
Sakit: Studi Kualitatif Terhadap Perawat di RSUD KRT Setjonegoro. 2018;
(1):23–9. Available from: jurnal.unissula.ac.id/index.php/
jnm/article/download/2869/2085
10. Nugroho R. Public Policy. Komputindo PEM, editor. Jakarta; 2012.
11. Winarno B. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pressindo
Media; 2012.
12. Akreditasi K, Sakit R. NASIONAL AKREDITASI RUMAH SAKIT Edisi
1,. 2018;
13. A.A M. Manajemen Kesehatan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2014.
14. Siregar, C. J. P dan Amalia L. Farmasi Rumah Sakit Teori dan
Penerapannya. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran; 2014.
15. Indonesia PMKR. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
417/Menkes/Per/II/2011 tertanggal 24 Februari 2011 tentang Komisi
Akreditasi Rumah Sakit. Jakarta; 2011.
16. Kusbaryanto. Peningkatan Mutu Rumah Sakit dengan Akreditasi. Mutiara
Med. 2010;Vol. 10 No. 1:86-89

48
49

17. Indonesia DKR. Pedoman Akreditasi Rumah Sakit di Indonesia. Jakarta:


Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik, Komisi Akreditasi Rumah
Sakit; 2008.
18. Indonesia PMKR. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
34 tahun 2017 tentang Akreditasi Rumah Sakit Menteri Kesehatan
Republik Indonesia. Jakarta; 2017.
19. Sedarmayanti. Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja. Bandung:
Mandar Maju; 2014.
20. Sinungan M. Produktivitas Apa dan Bagaimana. Jakarta: Bumi Aksara;
2013.
21. Siagian SP. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta; 2017.
22. Sutrisno E. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group; 2016.
23. Simanjuntak PJ. Manajemen dan Evaluasi Kinerja. Jakarta: FE UI; 2015.
24. Robbins SP. Manajemen. Barnadi P: BS dan D, editor. Jakarta: Erlangga;
2016.
25. Maulana W. Pengaruh Pelatihan Terhadap Produktivitas Kerja Karyawan
Bagian Distribusi Pada PT. PLN (Persero) Area Sanggau. 2015;1–19.
Available from: repository.unmuhpnk.ac.id/185/1/JURNAL WAHYU
MAULANA.pdf
26. Suyanto. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Kencana Prenada Media
Group; 2015.
27. J. ML. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya; 2016.
28. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitataif dan Kombinasi (Mixed
Methods). Bandung: Alfabeta; 2016.
50

LEMBAR PERSETUJUAN INFORMAN

Saya yang bernama Muhammad Emirsyah Harvian Harahap Nim


1702011201 adalah mahasiswa Program Studi S2 Kesehatan Masyarakat Institut
Kesehatan Helvetia Medan. Saat ini saya sedang melakukan penelitian tentang
“Implementasi kebijakan akreditasi rumah sakit terhadap manajemen pelayanan
rumah sakit dalam mewujudkan produktivitas kerja di RSU Royal Prima Medan
Tahun 2019”. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan
tugas akhir di Program Studi S2 Kesehatan Masyarakat Institut Kesehatan
Helvetia Medan.
Untuk keperluan tersebut, saya mohon kesediaan anda untuk menjadi
informan dalam pelitian ini. Selanjutnya saya mohon kesediaan anda untuk
mengisi kuesioner ini dengan jujur dan apa adanya. Jika bersedia, silahkan
menandatangani lembar persetujuan ini sebagai bukti kesukarelaan anda.
Partisipasi anda dalam penelitian ini bersifat sukarela, sehingga anda bebas
untuk mengundurkan diri setiap saat tanpa ada sanksi apapun. Identitas pribadi
anda dan semua informasi yang anda berikan akan dirahasiakan dan hanya akan
digunakan untukkeperluan penelitian ini.
Atas partisipasi Anda dalam penelitian ini saya ucapkan terima kasih.

Medan, 2019
Peneliti Informan

Muhammad Emirsyah Harvian Harahap ----------------------


51

PEDOMAN WAWANCARA
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN AKREDITASI RUMAH SAKIT TERHADAP
MANAJEMEN PELAYANAN RUMAH SAKIT DALAM MEWUJUDKAN
PRODUKTIVITAS KERJA DI RSU ROYAL PRIMA MEDAN
TAHUN 2019

No. Informan :………


I. Identitas Umum
1. Nama (Inisial) : .......................................................................................
2. Umur : .......................................................................................
3. Jenis kelamin : .......................................................................................
4. Pendidikan terakhir : ..........................................................................…
5. Jabatan : ..................................................................................
.....

II. Komunikasi
1. Apakah yang Bapak/Ibu ketahui tentang kebijakan akreditasi rumah sakit
terhadap manajemen pelayanan rumah sakit dalam mewujudkan
produktivitas kerja? (Probing : tujuan kebijakan, target capaian,
keterlibatan dalam menyusun kebijakan)
2. Bagaimana komunikasi kebijakan ini dalam mewujudkan produktivitas
kerja ?
3. Apa yang telah Bapak/Ibu lakukan dalam mensosialisasikan kebijakan
akreditasi rumah sakit tersebut? siapa saja yang terlibat dalam
mensosialisasikan kebijakan ini ?
4. Apakah menurut Bapak/Ibu kebijakan tersebut telah berjalan secara
konsisten? apa permasalahan atau kendala dalam melaksanakan/
mengimplementasikan kebijakan tersebut ?
52

III. Sumber daya


1. Jelaskan intrument apa saja (pedoman, peraturan, petunjuk teknik,
petunjuk pelaksanaan dan lainnya) yang tersedia untuk melaksanakan
kebijkaan akreditasi rumah sakit terhadap manajemen pelayanan rumah
sakit dalam mewujudkan produktivitas kerja ?
2. Menurut Bapak/Ibu, apakah instrument tersenut aplikatif untuk
dilaksanakan ?
3. Bagaimana dengan sumber daya manusia (SDM) yang melaksanakan
kebijakan akreditasi rumah sakit terhadap manajemen pelayanan rumah
sakit dalam mewujudkan produktivitas kerja ?
a. Apakah ada standar kompetensinya ?
b. Bila ya, bagaiaman standar kompetensinya dan apakah sudah terpenuhi ?
c. Apakah jumlahnya sudah cukup ? bila tidak, apa kendalanya ?
4. Menurut Bapak/Ibu, bagaimana standar kompetensi yang harus dimiliki
oleh pelaksana kebijakan akreditasi rumah sakit terhadap manajemen
pelayanan rumah sakit dalam mewujudkan produktivitas kerja ?
5. Bagaiaman dengan ketersediaan sarana dan prasarana penunjang untuk
implementasi kebijakan tersebut ?
6. Menurut Bapak/Ibu, apakah pelaksana kebijakan tersebut harus diberikan
otoritas/wewenang khusus? Bika ya, sejauh mana otoritas/wewenang
tersebut ?
7. Menurut Bapak/Ibu, Apakah ada kendala terkait dengan SDM dalam
pelaksanaan kebijakan akreditasi rumah sakit terhadap manajemen
pelayanan rumah sakit dalam mewujudkan produktivitas kerja ?
8. Apakah telah dibentuk tim khusus dan bagaimana komptensi dari tim
tersebut untuk mendukung pelaksanaan kebijakan ini ?
9. Dari mana sumber dana atau anggaran khusus untuk melaksanakan dan
mendukung kebijakan tersebut ? jelaskan ?
53

10. Apakah ada strategis/tindakan dari RSU Royal Prima Medan untuk
melaksanakan kebijakan akreditasi rumah sakit terhadap manajemen
pelayanan rumah sakit dalam mewujudkan produktivitas kerja ?
IV. Disposisi
1. Menurut Bapak/Ibu, Bagaimana sikap/komitmen para pelaksana kebijakan
tersebut ?
2. Apakah ada insentif yang diberikan RSU Royal Prima Medan untuk
melaksanakan motivasi para pelaksana kebijakan tersebut ? kalau ya, dari
mana asalnya ?
3. Bagaimana jika terjadi pelanggaran terhadap kebijakan akreditasi rumah
sakit terhadap manajemen pelayanan rumah sakit dalam mewujudkan
produktivitas kerja ?
a. Apakah ada sanksi ?
b. Bagaimana bentuk sanksi tersebut ?

V. Struktur birokrasi
1. Apakah dalam melaksanakan kebijakan ini telah SOP (Standar
Operasional Prosedur) jelaskan ?
2. Bagaimana koordinasi RSU Royal Prima Medan dalam melaksanakan
kebijakan akreditasi rumah sakit terhadap manajemen pelayanan rumah
sakit dalam mewujudkan produktivitas kerja ?
3. Bagaimana pembagian peran RSU Royal Prima Medan dalam
melaksanakan kebijakan tersebut ? apakah pembagian fungsi RSU Royal
Prima Medan telag sesuai ?

Anda mungkin juga menyukai