ARMAIKI YUSMUR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Identifikasi dan Mitigasi Air
Asam Tambang Melalui Hutan Rawa Buatan di Lahan Pasca Tambang adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2018
Armaiki Yusmur
NIM A153140031
RINGKASAN
ARMAIKI YUSMUR. Identifikasi dan Mitigasi Air Asam Tambang Melalui Hutan
Rawa Buatan di Lahan Pasca Tambang. Dibimbing oleh MUHAMMAD ARDIANSYAH
dan IRDIKA MANSUR.
Metode identifikasi dan mitigasi sumber penyebab air asam tambang di lahan pasca
tambang berbeda dengan metode mitigasi air asam tambang (AAT) saat operasi
penambangan. Salah satu pilihan pengelolaan AAT adalah passive treatment melalui hutan
rawa buatan yang merupakan teknik yang dapat dilakukan di lahan pasca tambang.
Aplikasi penginderaan jarak jauh menggunakan teknologi Unmanned Aerial Vehicle
(UAV) untuk mengidentifikasi distribusi AAT telah dilakukan sebagai bagian dari proses
mitigasi yang telah dilakukan di PT. Jorong Barutama Greston. Citra UAV ditafsirkan
secara visual untuk menghasilkan peta tutupan lahan. Lahan terbuka dari peta tutupan lahan
digunakan sebagai batas wilayah analisis untuk mitigasi sumber AAT. Warna tanah pada
gambar UAV digunakan sebagai area contoh dalam proses klasifikasi terbimbing untuk
membedakan pH yang berbeda. Hasilnya menunjukkan bahwa distribusi tanah dengan pH
antara 2 - ≤3 adalah 1,2 ha, pH >3 - ≤4 adalah 4,5 ha, dan pH >4 - ≤5 adalah 9 ha. Analisis
ini dapat menunjukkan bahwa hasil pemetaan dengan menggunakan foto udara efektif
untuk mengetahui pH tanah di lahan kosong sebagai sumber penyumbang asam terhadap
air dalam void dan digunakan sebagai masukan untuk perencanaan revegetasi dan arahan
pengelolaan AAT melalui hutan rawa sebagai upaya perbaikan kualitas air melalui bio-
fitoremediasi.
Hutan rawa sebagai lahan basah merupakan salah satu usaha mitigasi AAT untuk
meningkatkan pH dan mengurangi kandungan logam berat. Keberhasilan hutan rawa yang
dibangun sebagai metode pasif melalui bio-fitoremediasi ditentukan oleh penentuan lokasi
yang tepat, pemilihan jenis tanaman, desain dan konstruksi hutan rawa serta pemeliharaan.
Typha latifolia, Melaleuca leucadendra, Melaleuca cajuputi, Nauclea subdita dan Nauclea
orientalis L. direkomendasikan sebagai tanaman pilihan lokal untuk fitoremediasi. Enam
variabel yang secara signifikan mempengaruhi penentuan lokasi untuk hutan rawa adalah
elevasi (T), kemiringan (S), tutupan lahan (L), area cathment (C), jarak dari saluran (K)
dan jarak dari kolam pemantauan (P). Model X = 0.2T + 0.2S + 0.1L + 0.15C + 0.3K +
0.05P diterapkan untuk menemukan area yang sangat sesuai untuk hutan rawa dengan nilai
α = 0,05 dan R-square (R2) 93,4%.
Kata kunci: AAT, UAV, pH, fitoremediasi, lahan basah, hutan rawa
.
SUMMARY
The method of identification and mitigation of the source of acid mine drainage
(AMD) in the post-mining area is different with the method of AMD mitigation during
the mining operation. Passive treatment through artificial swamp forest is an option to
apply in this area.
The application of remote sensing using Unmanned Aerial Vehicle (UAV)
technology to identify distribution of AMD as part of mitigation process has been done
in PT. Jorong Barutama Greston. The UAV imagery was interpreted visually to produce
land cover map. Bare land area from land cover map is used as the boundary of the
analysis area for the mitigation of AMD source. Color of soil surface in UAV images is
used as training area for supervised classification to distunguish different pH. The result
shows distribution of soil pH between 2 - ≤3 is 1,2 ha, pH >3 - ≤4 is 4,5 ha, and pH >4 -
≤5 is 9 ha. This analysis can show that mapping results using UAV image is effective to
identify soil pH in bare land as a source of acid to water in void and used as input for
revegetation planning and AMD mitigation through swamp forest as an effort to improve
water quality by bio-phytoremediation.
Swamp forest as a wetland is one recomendation for sustainable AMD
management to increase pH and reduce heavy metal content. The success of constructed
swamp forest as passive treatment for bio-phytoremediation is determined by the
selection of plant species, site location, design and construction of swamp forest as well
as maintenance. Typha latifolia, Melaleuca leucadendra, Melaleuca cajuputi, Nauclea
subdita and Nauclea orientalis L. are recommended as local selected plants for
phytoremediation. Obtained six variables that significantly affected to determination of
site location for constructed swamp forest are elevation (T), slope (S), land cover (L),
cathment area (C), distance from channel (K) and distance from the monitoring pool (P).
The model X = 0.2T + 0.2S + 0.1L + 0.15C + 0.3K + 0.05P applied to find suitable area
with α = 0.05 and the R-square (R2) value 93.4%.
ARMAIKI YUSMUR
Tesis
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:
Dr. Ir. Darmawan, MSc.
Judul Tesis : Identifikasi dan Mitigasi Air Asam Tambang Melalui Hutan Rawa
Buatan di Lahan Pasca Tambang
Nama : Armaiki Yusmur
NIM : A153140031
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Diketahui oleh
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya
sehingga penyusunan tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian ini adalah Identifikasi dan Mitigasi Air Asam Tambang Melalui Hutan
Rawa Buatan di Lahan Pasca Tambang.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah
dan Bapak Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc. selaku pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, arahan, masukan dan saran kepada penulis sehingga
penelitian ini dapat terselesaikan. Semoga keahlian yang didapatkan selama
penelitian ini menjadi bekal bagi penulis dalam mengembangkan karir.
Selain itu penulis juga mengucapkan terima kasih atas dukungan PT. Jorong
Barutama Greston dan staf yang telah mengijinkan pelaksanaan penelitian di lokasi
reklamasi, dan telah banyak membantu selama penelitian dilaksanakan. Semoga
PT. Jorong Barutama Greston dapat menjadi perusahaan tambang yang menjadi
contoh dan pioneer dalam menjaga lingkungan.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada SEAMEO BIOTROP dan
Global Innovation Initiative Project untuk dukungan pendanaan dalam kegiatan
penelitian, kepada Prof. Jerry R. Miller dari Western Carolina University, North
Carolina Amerika Serikat, atas segala bimbingan dan bantuannya selama 3 bulan
penulis mengikuti kegiatan Student Exchange demi menambah ilmu untuk
mendukung kegiatan penelitian ini.
Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan sebelumnya kepada kedua
orang tua serta seluruh keluarga, E. Sandra Fitria Asih, Audie Rizki Pratama Arsan,
Adlan Atthaya Valentino Arsan dan Chinta Carolina Arsan atas segala doa, kasih
sayangnya dan pengorbanannya yang tulus dalam proses pelaksanaan penelitian ini.
Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan bagi
perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang ilmu Mitigasi Bencana
Kerusakan Lahan di dunia pertambangan.
Armaiki Yusmur
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL i
DAFTAR GAMBAR i
DAFTAR LAMPIRAN i
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 4
Manfaat Penelitian 5
Kerangka Pemikiran 5
2 TINJAUAN PUSTAKA 6
Air Asam Tambang (AAT) 6
Penginderaan Jauh dan Air Asam Tambang 8
3 METODE PENELITIAN 10
Lokasi Penelitian 10
Bahan dan Alat 11
Jenis dan Sumber Data 11
Teknik Analisis Data 12
Prosedur Analisis Data 12
Diagram Alir Penelitian 13
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 15
Wilayah Pengelolaan AAT di Lahan Pasca Tambang 15
Identifikasi Penutup Lahan dan Sumber Lahan Penyumbang AAT 16
Mitigasi Air Asam Tambang Melalui Hutan Rawa Buatan 20
a. Pengelolaan lahan asam di sekitar void 20
b. Pengelolaan air asam tambang dengan hutan rawa buatan 21
5 SIMPULAN DAN SARAN 31
Simpulan 31
Saran 31
DAFTAR PUSTAKA 32
LAMPIRAN 37
RIWAYAT HIDUP 42
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
1 Wilayah pengelolaan I AAT di PT. Jorong Barutama Greston 4
2 Kerangka Pemikiran 5
3 Peta Lokasi Ijin Usaha Pertambangan (IUP) di PT. Jorong Barutama
Greston 10
4 Diagram alir penelitian 14
5 Area catchment pada wilayah pengelolaan I di PT. Jorong Barutama
Greston 15
6 Area penelitian di Catchment wilayah pengelolaan I PT. Jorong
Barutama Greston 16
7 Tampakan 3 Dimensi area penelitian di PT. Jorong Barutama
Greston 17
8 Peta penutupan lahan area penelitian tahun 2017 di PT. Jorong
Barutama Greston 18
9 Peta sebaran titik survei pengambilan sampel tanah area penelitian
PT. Jorong Barutama Greston 19
10 Peta pH tanah di area penelitian PT. Jorong Barutama Greston 19
11 Diagram alir (flowchart) tahapan input-proses-output penentuan
lokasi hutan rawa buatan 23
12 Peta kesesuaian lahan untuk lokasi hutan rawa buatan area
penelitian di PT. Jorong Barutama Greston 25
13 Desain hutan rawa buatan area penelitian di PT. Jorong Barutama
Greston 27
14 Penampang melintang hutan rawa buatan 27
15 Proses pembangunan hutan rawa buatan di area penelitian PT.
Jorong Barutama Greston 28
16 Hasil pemantauan pH air di setiap kompartemen area penelitian PT.
Jorong Barutama Greston 30
DAFTAR LAMPIRAN
1 Data hasil analisis pH tanah di Laboratorium Tanah SEAMEO
BIOTROP 39
2 Pilihan vegetasi yang dapat ditanam pada lahan kering masam di
luar kawasan hutan dan manfaatnya 40
3 Jenis tanaman yang dapat digunakan untuk fitoremediasi di hutan
rawa buatan 41
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Air asam tambang (AAT) adalah air yang mengandung sulfat bebas yang
terjadi dalam bentuk air lindian (leachate), air rembesan (seepage), atau air
penirisan (drainage), yang terpengaruh oleh proses oksidasi mineral-mineral
sulfida yang terdapat pada batuan, sebagai akibat kegiatan eksplorasi dan/atau
eksploitasi, sehingga mempunyai nilai pH rendah (Dirjenminerba 2013). AAT
dicirikan dengan pH yang rendah dan konsentrasi logam berat yang tinggi serta
elemen beracun lainnya. AAT akan selalu terjadi selama batuan sisa penambangan
yang masih mengandung mineral sulfida tersingkap dan teroksidasi oleh air dan
udara sehingga tercuci dan mengalir ke saluran drainase, sungai, rawa, danau dan
air tanah. Adanya proses geomorfik fluvial menunjang berpindahnya logam-logam
berat yang berasal dari lokasi-lokasi tambang ke perairan umum (Miller 1997). Hal
ini akan mengganggu kehidupan dan biodiversitas ekosistem perairan darat dan laut.
Ancaman bencana akibat AAT ini adalah menurunnya kualitas lingkungan
yang dicirikan seperti air menjadi sangat masam (pH kurang dari 4,0) dan nilai
sulfat yang tinggi (500 – 10.000 mg/L sulfat). Hal ini akan menyebabkan kehidupan
biota perairan menjadi terganggu. AAT juga dapat menyebabkan logam-logam
berat seperti arsen, kadmium, tembaga, perak dan seng lepas dari batuan sisa
tambang, dan masuk ke perairan. Bila peningkatan kadar beberapa jenis logam
tersebut melampaui ambang batas yang diijinkan, maka akan membahayakan
kehidupan manusia (Suryaningtyas 2010). Pembentukan AAT juga sulit dihentikan
jika telah terjadi, karena akan berlanjut sampai satu atau lebih reaktan habis atau
tidak tersedia lagi untuk reaksi selanjutnya. Proses ini dapat berlanjut selama
beberapa dekade atau bahkan berabad-abad setelah penambangan dihentikan
(Gautama 2017). Contohnya di Rio Tinto (Spanyol), AAT terus terjadi hingga saat
ini dari semenjak kegiatan penambangan dimulai tahun 3000 SM (Davis et al. 2000).
Untuk menghindari ancaman bencana akibat AAT perlu dilakukan usaha
mitigasi. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana baik
dengan upaya pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana (UU no. 27 Tahun 2007). Mitigasi AAT
dilakukan dengan mengetahui sumbernya atau dengan memaksimalkan
ketersediaan bahan penetralisir asam. Salah satu teknik preventif adalah dengan
memisahkan bahan penghasil asam (Potential Acid Forming/PAF) dan bahan tidak
berpotensi asam (Non Acic Forming/NAF) pada saat penambangan dilakukan. Agar
bahan PAF tidak menghasilkan AAT, bahan PAF disimpan dengan metode
encapsulasi atau dapat juga disimpan dalam kondisi selalu tergenang (Gautama,
2017). Hal ini dapat dilakukan jika proses penambangan masih berlangsung.
PT. Jorong Barutama Greston (PT. JBG) merupakan salah satu perusahaan
tambang batu bara yang telah melakukan eksploitasi batubara sejak 1999 dengan
menggunakan metode tambang terbuka. Ijin konsesi yang akan habis di tahun 2018
(Bisnis.com 2014), membuat PT. JBG harus membuat perencanaan penutupan
tambang sesuai peruntukannya. Kegiatan reklamasi dan revegetasi telah dilakukan
sejak tahun 2005 (Nurjannah 2014). Namun berdasarkan Perencanaan Penutupan
Tambang (Mine Closure Planning), masih akan tersisa 12 void yang masih terisi
2
air dan memiliki resiko terdampak AAT. Oleh sebab itu PT. JBG harus menjaga
kualitas airnya dengan memantau kondisi air dalam void dan mengalirkannya ke
perairan bebas sesuai baku mutu lingkungan.
Salah satu upaya pengelolaan air void agar terjaga kualitasnya adalah
dengan melakukan active treatment yaitu memberikan kapur secara in pit treatment.
Kapur dicairkan dan dialirkan ke dalam void agar kualitas air selalu terjaga.
Beberapa waktu lamanya, kualitas air dapat berada dalam baku mutu lingkungan,
namun akibat penataan lahan di sekitar void yang kurang baik, air di dalam void
kembali asam. Hal ini diduga karena masih adanya tebing dan lahan terbuka yang
mengandung PAF yang terpapar akibat erosi dan mengalirkan asam ke dalam void.
Sehingga perusahaan harus melakukan upaya pemberian kapur kembali di kolam
penaatan sebelum air dialirkan ke perairan bebas.
Aturan pemerintah yang tertuang dalam Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No 113 tahun 2003 tentang baku mutu air limbah bagi usaha
dan atau kegiatan penambangan batu bara mewajibkan setiap penanggung jawab
usaha dan atau kegiatan penambangan batu bara mengelola air yang terkena
dampak dari kegiatan penambangan melalui kolam pengendapan (sediment pond).
Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan penambangan batu bara juga wajib
untuk melakukan swapantau kadar parameter baku mutu air limbah, memeriksa
semua kadar parameter baku mutu air limbah, dan menyampaikan laporan tentang
hasil analisis air limbah dan debit harian. Adapun baku mutu air limbah akibat
penambangan batu bara dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Baku mutu air limbah kegiatan penambangan batu bara
Parameter Satuan Kadar Maksimum
pH 6-9
Residu Tersuspensi mg/l 400
Besi (Fe) Total mg/l 7
Mangan (Mn) Total mg/l 4
Sumber: Kepmen LH No. 113 (2003)
Identifikasi lahan penyumbang asam dengan metode survei manual dan
pengelolaan AAT dengan metoda active treatment sudah dilakukan PT. JBG.
Namun usaha ini membutuhkan tenaga dan biaya yang mahal. Sehingga dibutuhkan
teknik identifikasi yang lebih baik dan metode pengelolaan AAT yang lebih murah.
Pengelolaan AAT melalui lahan basah adalah praktek-praktek dalam kegiatan
reklamasi yang sudah biasa dilaksanakan perusahaan pertambangan (Iskandar et al.
2011). Namun metode ini menyisakan kolam-kolam dengan vegetasi berupa
rumput saja. Konsep ideal mengenai rawa buatan yang efektif dalam pengelolaan
AAT belum tersedia (Sandrawati 2012). Oleh sebab itu dibutuhkan modifikasi
metode lahan basah berupa rawa buatan menjadi hutan rawa agar tidak hanya
berhasil dalam pengelolaan AAT, tetapi juga menambah penilaian tingkat
keberhasilan reklamasi.
Dalam beberapa tahun terakhir, teknologi penginderaan jauh dan
spektroskopi telah berhasil digunakan untuk mengidentifikasi AAT dengan menilai
mineralogi sedimen air yang dialirkan dari tambang. Warna kuning dan warna
coklat kemerahan dari endapan membuat AAT dapat dilihat dengan jelas, bahkan
dapat diamati dari foto udara atau citra satelit. Menurut Choe et al. (2008) dan
Blahwar (2010), indikator spektral yang diperoleh dari survei lapangan logam berat
3
Perumusan Masalah
sebagai usaha lain dalam pengelolaan AAT yang lebih murah dan bersifat
berkelanjutan. Salah satu metode pengelolaan AAT yang murah adalah dengan
metode passive treatment melalui hutan rawa buatan.
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kerangka Pemikiran
2 TINJAUAN PUSTAKA
dalam tanah dan sekaligus melarutkan logam-logam dan garam dalam mineral.
Oleh sebab itu AAT memiliki karakteristik-karakteristik kimia sebagai berikut: (1)
pH rendah, umumnya pada kisaran 1.5 – 4, (2) konsentrasi logam-logam terlarut
tinggi, seperti besi, aluminium, mangan, cadmium, tembaga, timbal, seng, arsen,
merkuri, (3) angka kemasaman tinggi, setara 50 – 15.000 mg/L CaCO3, (4) kadar
sulfat dan salinitas tinggi (konsentrasi sulfat pada kisaran 500 – 10.000 mg/L dan
DHL 1.000 – 20.000 µS/cm), (5) konsentrasi oksigen rendah (misalnya kurang dari
6 mg/L), dan (6) kekeruhan dan TSS rendah (Australian Government 2007).
Kelompok utama dari mineral yang menghasilkan AAT adalah mineral
sulfida, karena sifatnya yang tidak stabil dan berpotensi menghasilkan asam.
Sulfida penting adalah arsenopirit (FeAsS), pirit (FeS2), kalkopirit (CuFeS2),
pyrrohotite (FeS), marcasite (FeS2) dan sfalerit ((Zn, Fe) S) (Jennings et all., 1999).
Selain mineral sulfida, produksi asam sulfat (H2SO4) yang biasanya ditemukan di
limbah tambang juga memiliki potensi produksi asam. Beberapa mineral penghasil
asam sulfat yaitu barit (BaSO4), anhidrit (CaSO4), gipsum (CaSO4 * 2H2O),
anglesite (PbSO4), dan jarosit (KFe3 (SO4) 2 (OH) 6)) (Jennings et. all., 1999).
Pembubaran sulfat dapat melepaskan H + dalam larutan, sehingga menurunkan pH.
Menurut The International Network for Acid Prevention setiap perusahaan
pertambangan harus membuat suatu pengendali operasional termasuk salah satunya
adalah Standard Operational Procedure (SOP). Pada umumnya standar yang
digunakan untuk panduan pengelolaan air asam tambang di setiap negara adalah air
limbah keluaran dari tambang yaitu memenuhi setiap peraturan yang berlaku, tetapi
juga hal ini harus tetap memperhatikan efektif dan efisiennya upaya pengelolaan.
Setiap perusahaan pertambangan, terlepas dari ukuran besar luasnya pertambangan
perlu mematuhi peraturan perundang-undangan nasional di negara mereka
beroperasi, misalnya di Indonesia adanya Keputusan Menteri Lingkungan Hidup
Nomor 113 Tahun 2003 tentang baku mutu air limbah bagi usaha dan atau kegiatan
penambangan batu bara. Tetapi menurut peraturan ini, setiap usaha/kegiatan dapat
menggunakan peraturan daerah misalnya peraturan dari gubernur atau bupati,
dengan syarat nilai baku mutu harus sama atau lebih ketat dari Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup Nomor 113. Meskipun begitu perusahaan pertambangan tidak
diwajibkan untuk mematuhi peraturan global pada The International Network For
Acid Prevention.
Prinsip utama pengelolaan air asam tambang adalah sedapat mungkin
mencegah terbentuknya air asam tambang (Gautama 2012). Menurut The
International Network for Acid Prevention, kunci dari upaya pencegahan adalah
dengan cara menutup batuan yang dapat menghalangi suplai oksigen dan air.
Metode yang umum diterapkan dalam penimbunan overburden adalah
encapsulation dan layering yaitu metode dengan menempatkan material Potential
Acid Forming (PAF) dan Non Acid Forming (NAF) sedemikian rupa. Melakukan
upaya pencegahan terbentuknya air asam tambang dapat meminimalkan beban
pengendalian dan pengolahan. Menurut Santoso dan Setiawan (2009) di Tambang
Batubara PT. KPC hasil pengukuran pH kolam pasca tambang (kolam Sangatta
North dan Kolam Surya) relatif stabil walaupun tidak diberikan perlakuan
dikarenakan proses penanganan air asam tambang yang diawali dengan proses
pencegahan pembentukan AAT dengan pemisahan material PAF dan NAF
sehingga penanganan penutupan menjadi proporsional.
8
berbagai fenomena baik pada skala besar maupun kecil. Sabins (1997) telah
menggunakan penginderaan jauh untuk eksplorasi geologi. Teknik interpretasi
langsung merupakan hal yang fundamental dalam melihat perubahan lingkungan
dengan mengevaluasi lanskap seperti vegetasi dan pola drainase (Lillesand dan
Kiefer 2000).
Dalam beberapa tahun terakhir, penginderaan jauh dan spektroskopi telah
berkembang dalam mengidentifikasi AAT dengan menilai mineralogi sedimen
sungai di lingkungan tambang. Mengidentifikasi endapan di saluran air adalah
metode yang valid menyimpulkan tingkat keasaman dalam lingkungan. Namun,
kemampuan untuk mendeteksi fenomena ini tergantung pada resolusi citra. Banyak
drainase yang mengalir dari tambang dan tailing berukuran sangat kecil. Citra harus
memiliki resolusi spasial sangat tinggi untuk secara efektif mendeteksi bahan
penyebab air asam tambang di jaringan drainase. Pemanfaatan citra resolusi tinggi
menambah tantangan baru untuk lebih tepat mengidentifikasi air asam tambang.
Warna kuning dan warna coklat kemerahan dari endapan membuat AAT dapat
dilihat dengan jelas, bahkan dapat diamati dari poto udara atau citra satelit. Choe
dkk. (2008) di Blahwar (2010) menguji kemungkinan menggunakan indikator
spektral yang diperoleh dari sampling lapangan untuk memperkirakan logam berat
dan juga untuk memperluas penggunaannya dalam pemetaan distribusi logam berat.
Parameter yang berasal dari spektrum contoh sedimen terkait dengan logam berat
dapat juga diidentifikasi dengan menggunakan citra Hymap Riaza et al. (2011).
Pemanfaatan metode Principles Component Analysis (PCA) pada citra Landsat juga
dapat menunjukan perubahan kenampakan kandungan yang ada pada suatu
kawasan. Ibrahim H. Khalifa & Mohamed O. Arnou (2012) mengidentifikasi logam
dari air asam tambang yang secara spasial dan temporal dapat ditunjukan dalam
aliran berbagai bentuk. Distribusi dan spesiasi mereka dipengaruhi oleh hidrologi,
kimia, dan proses biologis DAS (Kimball 1991). Yucel D.S et al. (2014) telah
mendeteksi perubahan areal dan visualisasi perubahan dari sembilan danau asam
tambang yang disebabkan oleh perusahaan tambang batu bara di Can Turkey 1977-
2011 dengan menggunakan Landsat, Quickbird dan citra satelit Worldview. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa jumlah danau asam tambang meningkat dan ini
menyebabkan risiko lingkungan terjadi. Blahwar et al. (2012), juga menghasilkan
penelitian bahwa citra resolusi tinggi dapat digunakan untuk mendeteksi endapan
besi pada jalur sungai yang menunjukkan kehadiran air asam tambang. Penelitian
ini akan menambah informasi teknik identifikasi mineral penghasil sulfida dalam
merencanakaan pengelolaan air asam tambang menggunakan hutan rawa buatan
dengan metode penginderaan jauh.
Penerapan teknologi penginderaan jauh dalam pemantauan penambangan
memiliki kelebihan yaitu:
1. cepat dan efisien dalam mengidentifikasi sumber polusi secara luas dan atau
dalam lingkup daerah aliran sungai (DAS),
2. akurat dalam membantu kegiatan pengecekan lapang dan evaluasi lokasi,
3. dapat membantu mengidentifikasi masalah hidrologi atau polusi tertentu,
dan
4. menyediakan landasan teknis dan ilmiah untuk pengembangan rencana
remediasi kawasan atau DAS.
10
3 METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Gambar 3. Peta Lokasi Ijin Usaha Pertambangan (IUP) di PT. Jorong Barutama
Greston (PT. JBG)
Bahan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah foto udara dari
pesawat nirawak (Unmanned Aerial Vehicle/UAV) perekaman Agustus 2017 dan
data kontur. Untuk pengolahan dan pengecekan lapang dibutuhkan alat berupa
komputer dengan menggunakan perangkat lunak pengolah citra Erdas
Imagine/ENVI, ArcGIS, GPS (Global Positioning System), kamera digital dan peta
kerja, yang dihasilkan dari pengolahan awal foto udara.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer berupa data citra foto udara UAV digunakan untuk
memperoleh informasi kondisi penggunaan lahan terkini dan menduga sebaran
lahan penyumbang air asam tambang. Data sekunder yang digunakan meliputi data
peta kontur, peta lokasi kolam pengendapan, lokasi saluran/kanal, void dan data
tanaman yang sesuai untuk lahan asam dan tergenang. Data sekunder ini diperoleh
dari PT. JBG, sedangkan khusus data tanaman yang dapat ditanam pada hutan rawa
buatan diperoleh melalui penelusuran internet dan studi pustaka. Jenis data dan
sumber yang digunakan disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Jenis dan sumber data penelitian
No Jenis Data Skala Bentuk Sumber
1 Peta kontur 1:50 000 Dijital PT. JBG
2 Peta revegetasi 1:100 000 Dijital PT. JBG
3 Foto udara UAV 1:1000 Dijital PT. JBG
4 Lokasi sediment pond 1:50 000 Dijital PT. JBG
5 Peta saluran/kanal Dijital PT. JBG
6 Peta sebaran void Dijital PT. JBG
7 Data Tanaman Studi pustaka
12
Data elevasi dijital (DEM) yang dihasilkan dari data kontur pada area
kelompok pengelolaan diolah untuk membuat batas area tangkapan air dan arah
aliran, yang selanjutnya digunakan sebagai batas wilayah pengelolaan AAT.
Peta wilayah pengelolaan menjadi peta dasar untuk memotong foto udara. Hasil
pemotongan foto udara diinterpretasi secara visual untuk menghasilkan peta
tutupan lahan terkini. Selanjutnya tutupan lahan ini dijadikan sebagai input
penentuan area penyumbang asam dan lokasi yang sesuai untuk hutan rawa.
b. Identifikasi sebaran lahan asam sebagai sumber air asam tambang
menggunakan foto udara
Sebaran tanah dengan pH rendah sebagai lahan penyumbang AAT
diidentifikasi dengan klasifikasi terbimbing Maximum Likelihood Standard
berdasarkan perbedaan warna tanah pada foto udara. Pengambilan sample pH
tanah dilakukan sebagai area contoh untuk proses klasifikasi. Pengujian pH
tanah dilakukan di Laboratorium Tanah SEAMEO BIOTROP. Peta sebaran pH
tanah di wilayah studi digunakan sebagai rekomendasi pengolahan tanah di
sekitar void dan pemilihan jenis vegetasi yang sesuai serta menjadi input untuk
perencanaan hutan rawa.
c. Membuat hutan rawa buatan sebagai salah satu usaha mitigasi AAT di lahan
pasca tambang
Analisis spasial Weighted Aritmetic Overlay digunakan untuk
penentuan kawasan yang sangat sesuai untuk menjadi hutan rawa. Data peta
penutupan lahan, kemiringan lahan, elevasi, catchment area, jarak dari saluran
drainase dan jarak dari kolam monitoring digunakan sebagai input penentuan
area hutan rawa dengan bobot yang diperoleh dari para ahli (Expert Judgement)
dan diolah menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP). Desain hutan
rawa disusun berdasarkan kondisi lokasi dan standar dari Wetland Stewarship
Partnership yang telah menganut standard konvensi Ramsar tentang lahan basah.
Area hutan rawa buatan yang dibangun menjadi suatu usaha mitigasi dalam
pengelolaan air asam tambang secara alami untuk meningkatkan kualitas air dan
mendukung keberhasilan reklamasi di lahan pasca tambang.
Wilayah studi merupakan lahan reklamasi di area pasca tambang PT. Jorong
Barutama Greston (PT. JBG). Saat ini air limpasan (run off) yang mengalir di
sekitar void dari berbagai tutupan lahan masuk ke void dan berperan sebagai
penyumbang asam pada air di dalam void. Air limpasan void mengalir melalui
saluran kanal menuju kolam pengelolaan air (settling pond) sebelum dilepaskan ke
sungai. Untuk menganalisa arah aliran air yang memasok asam ke void maka perlu
penetapan batas wilayah pengelolaan air dengan mengetahui karakteristik daerah
aliran sungai atau daerah tangkapan air (catchment area).
Pada tahap awal ini, karakterisasi awal area catchment dilakukan dengan
cepat untuk menentukan wilayah pengelolaan. Peta topografi atau Digital Elevation
Model (DEM) merupakan data yang dapat dimanfaatkan untuk membatasi daerah
tangkapan air. Berdasarkan batasan ini maka dapat ditentukan luasan dan
karakteristik wilayah pengelolaan air asam tambang.
Area penelitian terletak di salah satu bagian dari 7 catchment di Wilayah
Pengelolaan I (Gambar 5). Area penelitian (Gambar 5 lokasi 1) merupakan
catchment dengan luas area 43,5 ha dari luas total catchment 423,8 ha. Area ini
merupakan area penimbunan dari penambangan Pit UEC yang sebagian sudah
ditanami dan sebagian masih berupa lahan terbuka serta memiliki void dengan luas
9,1 ha (Gambar 6). Daerah tangkapan air pada area penelitian ini memberikan
kontribusi yang besar terhadap pembentukan air asam tambang dengan debit aliran
limpasan yang langsung masuk ke dalam badan air void UEC.
(7)
(6)
(5)
(4)
(3)
(2)
(1)
Kualitas air dari hulu void sangat dipengaruhi oleh kondisi keasaman lahan
yang dilalui aliran air dan berperan sebagai penyumbang asam ke dalam void. Oleh
sebab itu pendekatan area catchment digunakan sebagai dasar konsep pengelolaan
AAT. Dengan memahami proses pembentukan AAT, maka mitigasi dan resiko
pengendalian AAT di area catchment dapat dilakukan dengan langkah-langkah
yang tepat dan biaya yang efisien.
Gambar 8. Peta penutupan lahan area penelitian tahun 2017 di PT. Jorong
Barutama Greston
Tabel 5. Luasan Penutupan Lahan Tahun 2017 area penelitian di PT. Jorong
Barutama Greston
Penutupan
Lahan Luas %
Lahan terbuka 14,7 33,8
Tubuh air 10,1 23,2
Vegetasi 18,7 43,0
Total 43,5 100
Poto udara yang dihasilkan dari UAV juga memberikan karakteristik warna
yang berbeda pada setiap obyek yang direkam pada area catchment. Air dalam void
tampak berwarna kuning kecoklatan hingga hitam, vegetasi berwarna hijau dan
lahan terbuka memberikan pantulan warna putih hingga hitam tergantung
karakteristik tanah. Tidak semua tutupan lahan berpotensi sebagai sumber asam
bagi void, tetapi pada penelitian ini diasumsikan bahwa lahan terbuka yang
memiliki warna abu sampai kehitaman akan memiliki pH yang bervariasi.
Pendekatan ini divalidasi dengan pengambilan sampel tanah untuk pengecekan pH
tanah di laboratorium (Lampiran 1). Pengambilan sampel tanah dilakukan pada
tanah yang memiliki pewarnaan yang berbeda. Peta posisi titik sampel dapat dilihat
pada Gambar 9.
Identifikasi sumber asam dilakukan dengan membuat peta sebaran
keasaman (pH) tanah di area penelitian. Area lahan terbuka yang diperoleh dari peta
penutupan lahan dijadikan pembatas (masking) melalui proses pemotongan untuk
memperoleh foto udara lahan terbuka saja. Selanjutnya data ini diinterpretasi
menggunakan metode klasifikasi terbimbing Maximum Likelihood Standard
dengan bantuan titik sampel yang diperoleh saat survei. Analisis citra menunjukkan
terdapat 3 kelas wilayah dengan pH yang berbeda seperti Gambar 10. Hasil analisis
menunjukkan bahwa terdapat 1,2 ha lahan terbuka memiliki pH tanah antara 2
sampai 3, 4,5 ha antara 3 sampai 4 dan 9 Ha memiliki pH antara 4 sampai 5.
19
Gambar 9. Peta sebaran titik survei pengambilan sampel tanah di area penelitian
PT. Jorong Barutama Greston
Pemetaan sebaran pH tanah ini dapat menunjukan bahwa masih banyak
lahan yang memiliki pH dibawah 4. Lahan ini merupakan tanah yang mengandung
PAF dalam kondisi terpapar udara secara langsung. Ketika hujan datang, Fe yang
terdapat pada batuan akan membentuk pirit dan terbawa aliran permukaan masuk
ke dalam void. Hal ini menyebabkan air void akan kembali asam walaupun sudah
dilakukan pemberian kapur ke dalam void. Oleh sebab itu lahan – lahan di area
terbuka haruslah segera ditanami dan ditambahkan bahan organik dan top soil guna
meningkatkan keberhasilan revegetasi dan mengurangi sumber air asam tambang
yang terbentuk. Lahan yang memiliki pH yang sangat asam dapat diberikan kapur
dan ditanam jenis tanaman yang tahan asam. Perbedaan sebaran pH tanah dapat
menjadi rekomendasi untuk menentukan kebutuhan pupuk dan kompos dalam
proses revegetasi.
Gambar 10. Peta sebaran pH tanah di area penelitian PT. Jorong Barutama Greston
20
Hasil analisis ini diuji akurasi menggunakan overall accuracy dan indeks
Kappa (Tabel 6). Berdasarkan perhitungan dihasilkan overall accuracy 73 %
dengan indeks Kappa 52% dimana menjelaskan bahwa hasil analisis sudah
memiliki tingkat akurasi tinggi dengan tingkat kepercayaan diatas 52%.
Tabel 6. Overall accuracy dan indeks Kappa hasil analisis keasaman lahan area
penelitian di PT. Jorong Barutama Greston
Referensi
pH
2-3 3-4 4-5 TOTAL
1 0 1 2
Hasil
2-3
Klasifikasi
3-4 2 2 0 4
4-5 0 1 8 9
TOTAL 3 3 9 15
Overall Accuracy = 0,73
Kappa Coefficient = 0,52
membutuhkan biaya yang mahal. Sehingga penggunaan bahan organik dan kompos
sangat direkomendasikan untuk perbaikan kualitas lahan dan peningkatan
keberhasilan revegetasi dengan biaya lebih murah.
Bahan organik dapat menurunkan unsur Al terlarut dan meningkatkan pH
dan menjadi sumber hara esensial bagi pertumbuhan tanaman. Penambahan bahan
organik juga dapat memperbaiki struktur tanah, meningkatkan kapasitas tukar
kation tanah dan menjadi bahan makanan bagi mikroba dan mikro fauna tanah
dalam menambah kesuburan tanah (Muzaiyanah dan Subandi 2016). Pemberian
bahan organik disarankan sebanyak 3 – 5 kg per lubang tanam. Juniarto (2017)
menjelaskan bahwa penggunaan kompos 5 kg memberikan pengaruh yang terbaik
dalam peningkatan diameter, tinggi dan jumlah daun tanaman Jabon di lahan pasca
tambang. Efisiensi pengadaan bahan organik dapat dilakukan dengan mencari
sumber pupuk organik yang mudah didapatkan di sekitar area pasca tambang atau
dari tanaman legume dan cover crop yang digunakan untuk mengurangi erosi,
kekeringan, tumbuhnya gulma alang-alang dan mengurangi aliran asam ke void.
Penanaman cover crop dan tanaman cepat tumbuh serta pemilihan spesies
tanaman lokal yang berperakaran dalam yang toleran terhadap Al yang tinggi dan
pH yang rendah perlu dipertimbangkan untuk menunjang keberhasilan revegetasi
area reklamasi di lahan pasca tambang (Peraturan Pemerintah No. 78/2010,
Peraturan Mentri ESDM No. 7/2014). Pemilihan jenis lokal disesuaikan dengan
fungsi kawasan dan rencana pasca tambang. Area penelitian yang merupakan
kawasan hutan harus dihutankan kembali dengan menanam jenis yang tahan
terhadap tanah asam. Beberapa jenis tanaman dapat tumbuh pada lahan asam yaitu
Sungkai (Perunema inerme), Sengon putih (Paraserienthes falcataria), Mahoni
(Swietenia mahagoni), Jabon (Anthocephalus cadamba), Meranti (Dipterocorpus
Spesi), Galam (Melaleuca leucadendra), Kayu Putih (Melaleuca cajuputi), pinus
(Pinus mercusii), Gempol (Nuclea orientalis) dan Beringin (Ficus benjamina).
Untuk cover crop dan penghasil bahan organik direkomendasikan sereh wangi,
Mucuna chochinensis, Calliandra, Gliricidia dan Peltophorum. Jenis lain yang
direkomendasikan untuk lahan bukan kawasan hutan dapat dilihat pada Lampiran
2 (Hairiah et al. 2003).
Berdasarkan pada uraian diatas maka usaha pengelolaan tanah masam yang
terintegrasi merupakan strategi pengelolaan yang lebih menjanjikan untuk
mencapai produktivitas lahan yang berkelanjutan. Peningkatan kesuburan tanah
dengan pemberian bahan organik dan penambahan kapur, akan meningkatkan
pertumbuhan mikroba dan mikro fauna tanah dalam memperbaiki struktur tanah.
Pemilihan jenis vegetasi dan cover crop yang tahan asam dan memiliki nilai
ekonomi seperti getah, minyak dan buah juga berfungsi sebagai pemasok bahan
organik dan penyumbang unsur hara. Penataan lahan dengan membuat teras,
conturing, menjaga lahan terhindar dari erosi. Sehingga kondisi ini pada akhirnya
akan menjadi inisiasi terbentuknya siklus hara tertutup di hutan.
yang sesuai untuk melakukan analisis multi kriteria. Diagram alur proses
(flowchart) untuk menggambarkan tahapan input-proses-output penentuan lokasi
hutan rawa buatan dapat dilihat pada Gambar 11.
dimana:
X = Kesesuaian lokasi untuk hutan rawa buatan
T = Perbedaan elevasi antara void dan kolam penaatan (mdpl)
S = Kemiringan lahan (%)
L = Penutupan lahan
C = Lokasi catchment
K = Jarak dari saluran/kanal
P = Jarak dari kolam pemantauan
Ilustrasi detil dari proses overlay data spasial dari persamaan 1 diatas dapat
dilihat pada Tabel 7. Data diolah menggunakan proses Weighted Arithmetic
Overlay menggunakan perangkat lunak ArcGIS. Berdasarkan nilai akhir X,
kesesuaian lokasi dibagi atas empat lokasi yaitu:
- Lokasi yang sangat sesuai (SS) memiliki nilai 5
- Lokasi yang sesuai (S) memiliki nilai 4
- Lokasi yang tidak sesuai (TS) memiliki nilai 3
- Lokasi yang sangat tidak sesuai (STS) memiliki nilai 2
24
Tabel 7. Ilustrasi overlay data spasial dalam penentuan lokasi yang sesuai untuk
hutan rawa buatan
Berdasarkan hasil analisa diatas dihasilkan lokasi yang sesuai untuk hutan
rawa buatan adalah seperti Gambar 12.
25
Gambar 12. Peta kesesuaian lahan untuk lokasi hutan rawa buatan area penelitian
di PT. Jorong Barutama Greston
kompartemen ini proses kenaikan pH dan penyerapan logam berat terjadi secara
anaerob. Air yang telah meningkat kualitasnya dialirkan melalui Pos Pengamatan
(lokasi 3) dan seterusnya masuk ke Kolam Penaatan sebelum di lepas ke perairan
bebas (lokasi 4). Desain penampang melintang hutan rawa dapat dilihat pada
Gambar 14.
Keberadaan hutan rawa yang diharuskan berada antara antara void dan
kolam penaatan sebagai bentuk mitigasi dan jaminan kualitas air yang dihasilkan
hutan rawa masih dapat terkonrol dan berada dibawah baku mutu lingkungan. Hal
ini untuk menghindari jika suatu saat terdapat jumlah air yang masuk ke hutan rawa
melebihi batas maksimum yang mengakibatkan fungsi hutan rawa tidak maksimal,
maka perlakuan active treatment di kolam penaatan masih dapat difungsikan.
Dengan hal ini perusahaan akan selalu bisa menjamin kualitas air yang keluar ke
perairan bebas tetap terjaga.
Gambar 13. Desain hutan rawa buatan area penelitian di PT. Jorong Barutama
Greston
(a) (b)
(c) (d)
(e) (f)
Gambar 15. Proses pembangunan hutan rawa buatan (a) Perencanaan area hutan rawa buatan di
lokasi terpilih, (b) Pembangunan konstruksi kompartemen, (c) Pemberian bahan
organik berupa tandan kosong sawit dan kompos sebagai substrat dasar kompartemen,
(d) Penanaman rumput tifa dan gempol, (e) Hutan rawa buatan yang telah selesai
dibangun, (f) Inkubasi anaerob setelah ditanam dan digenangi air
29
Untuk lebih jelas akan dibahas fungsi dan rancangan konstruksi hutan rawa
buatan secara detil sebagai berikut :
Kolam sedimen (pengendap lumpur)
Aliran air yang keluar dari void akan mengalir di sepanjang saluran kanal.
Dinding kanal yang terbuat dari tanah berpotensi membawa partikel sedimen tanah
sehingga harus ditampung di kolam pengendap lumpur. Kolam pengendap lumpur
ini berfungsi sebagai tempat mengendapkan lumpur, atau material padatan yang
bercampur dari limpasan yang disebabkan adanya aktifitas penambangan maupun
karena erosi. Disamping tempat pengendapan sedimen, kolam ini menjadi bak
kontrol bagi perusahaan untuk pemeliharaan hutan rawa. Pada bagian ini juga
berfungsi untuk penyerapan dan proses oksidasi Fe. Kolam ini dirancang seperti
kolam biasa dengan dinding dan dasar dari tanah.
Kolam kompartemen I, II, III dan IV
Kolam kompartemen I memiliki ukuran 15m x 55m. Air dari kolam
pengendap lumpur akan dialirkan melalui kanal terbuka ke kolam kompartemen I.
Kolam kompartemen I dirancang berfungsi untuk mengaktifkan bakteri pereduksi
sulfat dengan mendesain dasar kolam dilapisi 30cm bahan organik yang terbuat dari
tandan kosong dan ditutupi oleh kompos setinggi 20 cm. Bahan organik yang ada
berfungsi untuk menaikan pH air, menjadi tempat hidup bakteri pereduksi sulfat
dan juga berfungsi sebagai media tumbuh bagi Typha sp dan Gempol (Nauclea
orientalis L.) yang ditanam diatas lapisan tanah ini. Jenis tumbuhan ini memiliki
potensi sebagai penyerap jenis logam berat seperti Al dan As (Bonanno dan Cirelli
2017). Tanaman tifa ditanam dengan jarak 0,5m x 0,5m atau lebih rapat. Ketinggian
air pada kolam ini dan kolam seterusnya diusahakan setinggi 20-30 cm.
Kolam II, III dan IV memiliki luas yang sama dengan kolam kompartemen
I. Setelah melewati kolam kompartemen I, air dialirkan ke kolam kompartemen II
yang ditanami typha sp, gempol (Nauclea orientalis L.). Bagian dasar kolam
kompartemen II disusun seperti kolam kompartemen satu yang terdiri dari tandan
kosong dan kompos. Penanaman gempol bermanfaat untuk menyerap dan
mengakumulasi Fe, Mn, Cu, Zn dan Pb (Tuheteru 2015). Tanaman Tifa dapat
ditanam dengan jarak tanam 0,5m x 0,5m atau lebih rapat, sedangkan Gempol
ditanam dengan jarak 1m x 1m. rincian jumlah tanaman yang ditanam dapat dilihat
pada Tabel 8.
Tabel 8. Rekapitulasi jumlah bibit yang digunakan hutan rawa buatan area
penelitian di PT. Jorong Barutama Greston
Jenis Tanaman Luas Tanam/ Populasi Total Bibit di 4
Kompartemen kompartemen
Typha sp. 825 500 batang 2000 batang
Nauclea orientalis 825 300 batang 1200 batang
Gambar 16. Hasil pemantauan pH air setiap kompartemen area penelitian di PT.
Jorong Barutama Greston
31
Simpulan
Identifikasi dan mitigasi air asam tambang melalui hutan rawa buatan di
lahan pasca tambang dapat memberikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Wilayah pengelolaan AAT pada lahan pasca tambang ditentukan dari
batasan catchment area.
2. Foto udara nirawak (UAV) dapat digunakan untuk analisa sumber asam
tambang
3. Penutupan lahan terkini pada wilayah penelitian adalah 14,7 ha lahan
terbuka, 10,1 ha tubuh air dan 18,7 ha area bervegetasi.
4. Sumber air asam tambang pada void berasal dari lahan terbuka sekitar void
yang memiliki pH antara 2 sampai 3 seluas 1,2 ha, pH 3 sampai 4 seluas 4,5
ha dan pH 4 sampai 5 seluas 9 ha.
5. Mitigasi AAT melalui hutan rawa buatan di lahan pasca tambang dapat
dilakukan dengan:
- Menanam jenis tanaman yang tahan di air asam dan hyperaccumulator
seperti rumput Tifa (Typha latifolia) dan Gempol (Nauclea orientalis
L).
- Menentukan lokasi yang sesuai untuk hutan rawa dengan
memperhatikan elevasi (T), kemiringan lahan (S), penutupan lahan (L),
cathment area (C), jarak dari saluran/kanal (K) dan jarak dari kolam
monitoring (P) dengan persamaan model X = 0,2T + 0,2S + 0,1L +
0,15C + 0,3K + 0,05P.
- Merancang desain hutan rawa buatan secara parallel yang terdiri dari
kolam sedimen, kolam yang berisi bahan organik tandan kosong sawit,
kompos dan tanaman yang dialiri air sedalam 30 cm.
Saran
Perhitungan debit yang masuk ke dalam hutan rawa buatan harus dilakukan
untuk memperkirakan volume air yang dapat ditampung di hutan rawa. Pemilihan
vegetasi untuk pengolahan AAT pada hutan rawa buatan yang dapat meningkatkan
pH air, mengurangi kandungan logam berat dan merupakan spesies lokal sangat
disarankan untuk diterapkan di tempat lain. Belum banyak yang diketahui tentang
potensi jangka panjang hutan rawa buatan untuk memberikan manfaat peningkatan
kualitas air akibat AAT sehingga perlu dilakukan pemantauan jangka panjang untuk
melihat kemampuan hutan rawa buatan dalam mengatasi dampak kualitas air yang
terkait dengan AAT dalam jangka waktu yang lebih lama.
32
DAFTAR PUSTAKA
Alibasyah, R. 2016. Perubahan Beberapa Sifat Fisika dan Kimia Ultisol Akibat
Pemberian Pupuk Kompos dan Kapur Dolomit pada Lahan Berteras. Jurnal
Floratek 11 (1): 75-87.
Australian Government. 2007. Managing Acid and Metalliferous Drainage.
Leading Practice Sustainable Development Program for the Mining Industry.
Canberra (AU). Commonwealth of Australia.
Blahwar B. 2010. Identification Of The Extent Of Artisanal Coal Mining And
Related Acid Mine Water Hazards Using Remote Sensing And Field
Sampling: A Case Study In Jaintia Hills Of North-Eastern India [Disertasi].
Enschede (NL): ITC. 2010.
Blahwar B, Srivastavb S.K., Smeth J.B. 2012. Use of high-resolution satellite
imagery for investigating acid mine drainage from artisanal coal mining in
North-Eastern India. India (IN): Geocarto International, 27: 231–247.
Bonanno G, Cirelli GL. 2017. Comparative analysis of element concentrations and
translocation in three wetland congener plants: Typha domingensis, Typha
latifolia and Typha angustifolia. The Journal of Ecotoxicology and
Environmental Safety. 143 (2017): 92 – 101.
Chunkao K, Nimpee C, Duangmal K. 2012. The King’s initiatives using water
hyacinth to remove heavy metals and plant nutrients from wastewater through
Bueng Makkasan in Bangkok Thailand. Ecological Engineering. 39 (2012):
40 – 52.
Cynthia, H, Guruh S.A, Evi S. 2010. Pengolahan Air Asam Tambang Menggunakan
Sistem “Passive Treatment”. Dalam: Prosiding Seminar Nasional Limnologi
V tahun 2010. Bogor 1 Desember 2010.
Davis, R. A. Jr., Welty, A. T., Borrego, J., Morales, J. A., Pendon, J. G., Ryan, J.
G. 2000. "Rio Tinto estuary (Spain): 5000 years of pollution". Environmental
Geology. 39 (10): 1107–1116.
DJI. 2016. Panduan Penggunaan PHANTOM 4 PRO/PRO+. [Internet]. [Diunduh
5 Januari 2018]. Tersedia pada: http://jogjasky.com/download/buku-
panduan-phantom-4-propro-v-1-0/?wpdmdl=27047.
Dhir B. 2013. Phytoremediation: Role of Aquatic Plants in Environmental CleanUp.
New Delhi (IN) : Springer.
Denholm C.P, T. P. Danehy, M. H. Dunn, S. L. Busler, C. A. Neely, R. M. Mahony,
D. A. Guy. 2016. Long-Term Effectiveness of Three Passive Systems
Treating Acidic, High-Metal, Abandoned Coal Mine Discharges Near De
Sale, Pennsylvania. Makalah. Dalam: 33rd Annual Meeting of the ASMR,
June 4-9, 2016, Spokane, Washington.
Düzgün H.S, Demirel N. 2011. Remote Sensing of the Mine Environment. New
York (US): CRC Press.
[ESDM] Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara 2013. Kumpulan Pedoman
Teknis Lingkungan Pertambangan. Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral. Jakarta (ID). Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara.
Gautam M, Agrawal M. 2017. Phytoremediation of metals using vetiver
(Chrysopogon zizanioides (L.) Roberty) grown under different levels of red
33
Norbert S, Ali C.A, Mohamed K.R, Sharir K. 2016. Gabungan Nisbah Jalur Terbaik
untuk Diskriminasi Litologi di Pulau Dayang Bunting dan Pulau Tuba,
Langkawi, Malaysia. (MY): Sains Malaysiana 45(5)(2016): 659–667.
Novotny V, Olem H. 1994. Water Quality, Prevention, Identification, and
Management of Diffuse Pollution. New York (USA). Van Nostrand-Reinhold
Publishers.
Nurjanah, A.S. 2014. Potensi Simpanan Karbon Pada Tegakan Revegetasi Lahan
Pasca Tambang PT Jorong Barutama Greston, Kalimantan Selatan [Skripsi].
Bogor (ID): Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, IPB.
Rafsanjani, A. 2015. Pengaruh Bahan Organik Terhadap Eh dan pH, serta
Korelasinya terhadap P Tersedia pada Tanah yang Digenangi [Skripsi]. Bogor
(ID): Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian,
IPB.
Riaza A, Buzzi J, Meléndez E.G., Carrère V, Müller A.2011. Monitoring the Extent
of Contamination from Acid Mine Drainage in the Iberian Pyrite Belt (SW
Spain) Using Hyperspectral Imagery. Remote Sensing, 3, 2166-2186.
Sabins, F.F. 1999. Remote Sensing for Mineral Exploration. Ore.Geology Reviews
14: 157-183.
Sandrawati, A. 2012. Pengelolaan Air Asam Tambang Melalui Rawa Buatan
Berbasis Bahan In Situ di Pertambangan Batu Bara. Studi Kasus di Site
Pertambangan Sambarata, PT. Berau Coal, Kabupaten Berau, Provinsi
Kalimantan Timur) [Thesis]. Bogor (ID): Program Studi Agroteknologi,
Fakultas Pertanian, IPB.
Santoso, A.D, Setiawan A. 2009. Mengapa pH Kolam Bekas Tambang Relatif
Stabil (Studi kasus pada Kolam Surya dan Sangatta North di Areal PT. KPC
Sangatta Kalimantar Timur). Jurnal Hidrosfir Indonesia. 4(1):9-15.
Sasaki K, Ogino T, Endo Y, Kurosawa K. 2003. Field study on heavy metal
acumulation in natural wetland receiving acid mine drainage. Mater Trans.
44(9):1877-1884.
Scheneider IAH, Rubio J, Misra M, Smith RW. 1995. Eichhornia Crassipes As
Biosorbent For Heavy Metal Ions. Journal of Minerals Engineering. 8 (9):
979 – 988.
Sengupta, M. 1993.Environmental Impacts Of Mining, Monitoring, Restoration,
And Control. New York (USA): Lewis Publishers.
Sheoran AS, Sheoran V. 2006. Heavy metal removal mechanism of acid mine
drainage in wetlands: A critical review. Miner Eng. 19:105-116.
Sippo M. 2013. Experiences in UAS Photogrammetry. GIM International [Internet].
[Diunduh 5 Januari 2018]. Tersedia pada: https://www.gim-
international.com/content/article/experiences-in-uas-photogrammetry.
Suryaningtyas, D.T. 2010. Air Asam Tambang. Modul Pelatihan Pengelola
Lingkungan Tambang. Bogor 5-9 Oktober 2010.
Tuheteru F.D. 2015. Potensi Lonkida (Nauclea Orientalis L.) Untuk Fitoremediasi
Lahan Basah Air Asam Tambang. Bogor (ID): Departemen Silvikultur,
Fakultas Kehutanan, IPB.
Vymazal J. 2008. Constructed Wetland for Waste Water Treatment: A Review. In
Sagupta M, Dalwani R (Ed). Proceeding of Taal 2007. The 12th World Lake
Conference. Jaipur (India): 29 October 2007.
35
LAMPIRAN
38
39
LAMPIRAN 2. Pilihan vegetasi yang dapat ditanam pada lahan kering masam di
luar kawasan hutan dan manfaatnya
Kelompok Nama Lokal Nama Ilmiah Manfaat
Tanaman Pangan Sorgum Sorghum bicolor Biji, batang, daun
Palawija Kacang tanah Arachis hypogea Umbi
Kacang tunggak Vigna unguiculata Buah
Gude Cajanus cajan
Tanaman Keras Kopi Coffea canephora Buah
Teh Camellia sinensis Daun
Kelapa Sawit Elais guinensis Buah
Karet Hevea brassilinensis Getah
Pohon Buah Rambutan Nephelium lappaceum Buah
Nangka Artocarpus heterophylus Buah
Duren Durio Zibethinus Buah
Cempedak Artocarpus integer Buah
Duku Lansium domesticum Buah
Manggis Garcinia mangostana Buah
Jambu air Syzygium aqueum Buah
Jambu biji Psidium guajava Buah
Jambu mede Anacardium occidantale Buah
Mangga Mangifera indica Buah
Sirsak Anona muricata Buah
Pete Parkia speciosa Buah
Jengkol Pithecellobium jiringa Buah
Tanaman Sungkai Perunema inerme Kayu
penghasil kayu Pulai Alstonia spp Kayu
Bulangan Gmelina arborea Kayu
Sengon putih Paraserienthes falcataria Kayu
Kemiri sunan Reutealis trisperma Kayu
Mahoni Swietenia mahagoni Kayu
Jabon Anthocephalus cadamba Kayu
Akasia Acacia mangium Kayu
Tanaman pagar Petaian Peltophorum dasyrrachis Bahan organik
Gamal Gliricidia sepium Bahan organik
Flemingia Flemingia congesta Bahan organik
Lamtoro Leucaena leucocephala Bahan organik/Buah
Tanaman LCC Orok-orok Crotalaria juncea Bahan organik
Callopo Calopogonium mucunoides Bahan organik
Callopo Calopogonium caeruleum Bahan organik
Centro Centrosema pubescens Bahan organik
Kacang asu Pueraria phaseoloides Bahan organik
Kacang benguk Mucuna pruriens var. utilis Bahan organik
Tanaman liar Melastoma Melastoma sp. Obat
Krinyu Chromolaena odorata Obat
41
RIWAYAT HIDUP