Anda di halaman 1dari 56

IDENTIFIKASI DAN MITIGASI AIR ASAM TAMBANG MELALUI

HUTAN RAWA BUATAN DI LAHAN PASCA TAMBANG

ARMAIKI YUSMUR

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Identifikasi dan Mitigasi Air
Asam Tambang Melalui Hutan Rawa Buatan di Lahan Pasca Tambang adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2018

Armaiki Yusmur
NIM A153140031
RINGKASAN

ARMAIKI YUSMUR. Identifikasi dan Mitigasi Air Asam Tambang Melalui Hutan
Rawa Buatan di Lahan Pasca Tambang. Dibimbing oleh MUHAMMAD ARDIANSYAH
dan IRDIKA MANSUR.

Metode identifikasi dan mitigasi sumber penyebab air asam tambang di lahan pasca
tambang berbeda dengan metode mitigasi air asam tambang (AAT) saat operasi
penambangan. Salah satu pilihan pengelolaan AAT adalah passive treatment melalui hutan
rawa buatan yang merupakan teknik yang dapat dilakukan di lahan pasca tambang.
Aplikasi penginderaan jarak jauh menggunakan teknologi Unmanned Aerial Vehicle
(UAV) untuk mengidentifikasi distribusi AAT telah dilakukan sebagai bagian dari proses
mitigasi yang telah dilakukan di PT. Jorong Barutama Greston. Citra UAV ditafsirkan
secara visual untuk menghasilkan peta tutupan lahan. Lahan terbuka dari peta tutupan lahan
digunakan sebagai batas wilayah analisis untuk mitigasi sumber AAT. Warna tanah pada
gambar UAV digunakan sebagai area contoh dalam proses klasifikasi terbimbing untuk
membedakan pH yang berbeda. Hasilnya menunjukkan bahwa distribusi tanah dengan pH
antara 2 - ≤3 adalah 1,2 ha, pH >3 - ≤4 adalah 4,5 ha, dan pH >4 - ≤5 adalah 9 ha. Analisis
ini dapat menunjukkan bahwa hasil pemetaan dengan menggunakan foto udara efektif
untuk mengetahui pH tanah di lahan kosong sebagai sumber penyumbang asam terhadap
air dalam void dan digunakan sebagai masukan untuk perencanaan revegetasi dan arahan
pengelolaan AAT melalui hutan rawa sebagai upaya perbaikan kualitas air melalui bio-
fitoremediasi.
Hutan rawa sebagai lahan basah merupakan salah satu usaha mitigasi AAT untuk
meningkatkan pH dan mengurangi kandungan logam berat. Keberhasilan hutan rawa yang
dibangun sebagai metode pasif melalui bio-fitoremediasi ditentukan oleh penentuan lokasi
yang tepat, pemilihan jenis tanaman, desain dan konstruksi hutan rawa serta pemeliharaan.
Typha latifolia, Melaleuca leucadendra, Melaleuca cajuputi, Nauclea subdita dan Nauclea
orientalis L. direkomendasikan sebagai tanaman pilihan lokal untuk fitoremediasi. Enam
variabel yang secara signifikan mempengaruhi penentuan lokasi untuk hutan rawa adalah
elevasi (T), kemiringan (S), tutupan lahan (L), area cathment (C), jarak dari saluran (K)
dan jarak dari kolam pemantauan (P). Model X = 0.2T + 0.2S + 0.1L + 0.15C + 0.3K +
0.05P diterapkan untuk menemukan area yang sangat sesuai untuk hutan rawa dengan nilai
α = 0,05 dan R-square (R2) 93,4%.

Kata kunci: AAT, UAV, pH, fitoremediasi, lahan basah, hutan rawa
.
SUMMARY

ARMAIKI YUSMUR. Acid Mine Drainage Identification and Mitigation


through Constructed Swamp Forest in Post Mining Area. Supervised by
MUHAMMAD ARDIANSYAH and IRDIKA MANSUR.

The method of identification and mitigation of the source of acid mine drainage
(AMD) in the post-mining area is different with the method of AMD mitigation during
the mining operation. Passive treatment through artificial swamp forest is an option to
apply in this area.
The application of remote sensing using Unmanned Aerial Vehicle (UAV)
technology to identify distribution of AMD as part of mitigation process has been done
in PT. Jorong Barutama Greston. The UAV imagery was interpreted visually to produce
land cover map. Bare land area from land cover map is used as the boundary of the
analysis area for the mitigation of AMD source. Color of soil surface in UAV images is
used as training area for supervised classification to distunguish different pH. The result
shows distribution of soil pH between 2 - ≤3 is 1,2 ha, pH >3 - ≤4 is 4,5 ha, and pH >4 -
≤5 is 9 ha. This analysis can show that mapping results using UAV image is effective to
identify soil pH in bare land as a source of acid to water in void and used as input for
revegetation planning and AMD mitigation through swamp forest as an effort to improve
water quality by bio-phytoremediation.
Swamp forest as a wetland is one recomendation for sustainable AMD
management to increase pH and reduce heavy metal content. The success of constructed
swamp forest as passive treatment for bio-phytoremediation is determined by the
selection of plant species, site location, design and construction of swamp forest as well
as maintenance. Typha latifolia, Melaleuca leucadendra, Melaleuca cajuputi, Nauclea
subdita and Nauclea orientalis L. are recommended as local selected plants for
phytoremediation. Obtained six variables that significantly affected to determination of
site location for constructed swamp forest are elevation (T), slope (S), land cover (L),
cathment area (C), distance from channel (K) and distance from the monitoring pool (P).
The model X = 0.2T + 0.2S + 0.1L + 0.15C + 0.3K + 0.05P applied to find suitable area
with α = 0.05 and the R-square (R2) value 93.4%.

Key words: AMD, UAV, pH, phytoremediation, wetland, swamp forest


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2018
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan
laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan
tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya


tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
IDENTIFIKASI DAN MITIGASI AIR ASAM TAMBANG MELALUI
HUTAN RAWA BUATAN DI LAHAN PASCA TAMBANG

ARMAIKI YUSMUR

Tesis
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:
Dr. Ir. Darmawan, MSc.
Judul Tesis : Identifikasi dan Mitigasi Air Asam Tambang Melalui Hutan Rawa
Buatan di Lahan Pasca Tambang
Nama : Armaiki Yusmur
NIM : A153140031

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc


Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Plt. Dekan Sekolah Pascasarjana


Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan

Dr. Boedi Tjahjono Dr.Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.Si

Tanggal Ujian: 23 Januari 2018 Tanggal Lulus:


PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya
sehingga penyusunan tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian ini adalah Identifikasi dan Mitigasi Air Asam Tambang Melalui Hutan
Rawa Buatan di Lahan Pasca Tambang.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah
dan Bapak Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc. selaku pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, arahan, masukan dan saran kepada penulis sehingga
penelitian ini dapat terselesaikan. Semoga keahlian yang didapatkan selama
penelitian ini menjadi bekal bagi penulis dalam mengembangkan karir.
Selain itu penulis juga mengucapkan terima kasih atas dukungan PT. Jorong
Barutama Greston dan staf yang telah mengijinkan pelaksanaan penelitian di lokasi
reklamasi, dan telah banyak membantu selama penelitian dilaksanakan. Semoga
PT. Jorong Barutama Greston dapat menjadi perusahaan tambang yang menjadi
contoh dan pioneer dalam menjaga lingkungan.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada SEAMEO BIOTROP dan
Global Innovation Initiative Project untuk dukungan pendanaan dalam kegiatan
penelitian, kepada Prof. Jerry R. Miller dari Western Carolina University, North
Carolina Amerika Serikat, atas segala bimbingan dan bantuannya selama 3 bulan
penulis mengikuti kegiatan Student Exchange demi menambah ilmu untuk
mendukung kegiatan penelitian ini.
Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan sebelumnya kepada kedua
orang tua serta seluruh keluarga, E. Sandra Fitria Asih, Audie Rizki Pratama Arsan,
Adlan Atthaya Valentino Arsan dan Chinta Carolina Arsan atas segala doa, kasih
sayangnya dan pengorbanannya yang tulus dalam proses pelaksanaan penelitian ini.
Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan bagi
perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang ilmu Mitigasi Bencana
Kerusakan Lahan di dunia pertambangan.

Bogor, 2 Februari 2018

Armaiki Yusmur
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL i
DAFTAR GAMBAR i
DAFTAR LAMPIRAN i
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 4
Manfaat Penelitian 5
Kerangka Pemikiran 5
2 TINJAUAN PUSTAKA 6
Air Asam Tambang (AAT) 6
Penginderaan Jauh dan Air Asam Tambang 8
3 METODE PENELITIAN 10
Lokasi Penelitian 10
Bahan dan Alat 11
Jenis dan Sumber Data 11
Teknik Analisis Data 12
Prosedur Analisis Data 12
Diagram Alir Penelitian 13
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 15
Wilayah Pengelolaan AAT di Lahan Pasca Tambang 15
Identifikasi Penutup Lahan dan Sumber Lahan Penyumbang AAT 16
Mitigasi Air Asam Tambang Melalui Hutan Rawa Buatan 20
a. Pengelolaan lahan asam di sekitar void 20
b. Pengelolaan air asam tambang dengan hutan rawa buatan 21
5 SIMPULAN DAN SARAN 31
Simpulan 31
Saran 31
DAFTAR PUSTAKA 32
LAMPIRAN 37
RIWAYAT HIDUP 42
DAFTAR TABEL

1 Baku mutu air limbah kegiatan penambangan batu bara 2


2 Beberapa sifat kimia overburden yang mengandung sulfida 6
3 Jenis dan sumber data penelitian 11
4 Matrik hubungan antara tujuan, jenis data, metode analisis dan
keluaran 12
5 Luasan Penutupan Lahan Tahun 2017 area penelitian di PT. Jorong
Barutama Greston 18
6 Overall accuracy dan indeks Kappa hasil analisis keasaman lahan
area penelitian di PT. Jorong Barutama Greston 20
7 Ilustrasi overlay data spasial dalam penentuan lokasi yang sesuai
untuk hutan rawa buatan 24
8 Rekapitulasi jumlah bibit yang digunakan hutan rawa buatan area
penelitian di PT. Jorong Barutama Greston 29

DAFTAR GAMBAR
1 Wilayah pengelolaan I AAT di PT. Jorong Barutama Greston 4
2 Kerangka Pemikiran 5
3 Peta Lokasi Ijin Usaha Pertambangan (IUP) di PT. Jorong Barutama
Greston 10
4 Diagram alir penelitian 14
5 Area catchment pada wilayah pengelolaan I di PT. Jorong Barutama
Greston 15
6 Area penelitian di Catchment wilayah pengelolaan I PT. Jorong
Barutama Greston 16
7 Tampakan 3 Dimensi area penelitian di PT. Jorong Barutama
Greston 17
8 Peta penutupan lahan area penelitian tahun 2017 di PT. Jorong
Barutama Greston 18
9 Peta sebaran titik survei pengambilan sampel tanah area penelitian
PT. Jorong Barutama Greston 19
10 Peta pH tanah di area penelitian PT. Jorong Barutama Greston 19
11 Diagram alir (flowchart) tahapan input-proses-output penentuan
lokasi hutan rawa buatan 23
12 Peta kesesuaian lahan untuk lokasi hutan rawa buatan area
penelitian di PT. Jorong Barutama Greston 25
13 Desain hutan rawa buatan area penelitian di PT. Jorong Barutama
Greston 27
14 Penampang melintang hutan rawa buatan 27
15 Proses pembangunan hutan rawa buatan di area penelitian PT.
Jorong Barutama Greston 28
16 Hasil pemantauan pH air di setiap kompartemen area penelitian PT.
Jorong Barutama Greston 30

DAFTAR LAMPIRAN
1 Data hasil analisis pH tanah di Laboratorium Tanah SEAMEO
BIOTROP 39
2 Pilihan vegetasi yang dapat ditanam pada lahan kering masam di
luar kawasan hutan dan manfaatnya 40
3 Jenis tanaman yang dapat digunakan untuk fitoremediasi di hutan
rawa buatan 41
1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Air asam tambang (AAT) adalah air yang mengandung sulfat bebas yang
terjadi dalam bentuk air lindian (leachate), air rembesan (seepage), atau air
penirisan (drainage), yang terpengaruh oleh proses oksidasi mineral-mineral
sulfida yang terdapat pada batuan, sebagai akibat kegiatan eksplorasi dan/atau
eksploitasi, sehingga mempunyai nilai pH rendah (Dirjenminerba 2013). AAT
dicirikan dengan pH yang rendah dan konsentrasi logam berat yang tinggi serta
elemen beracun lainnya. AAT akan selalu terjadi selama batuan sisa penambangan
yang masih mengandung mineral sulfida tersingkap dan teroksidasi oleh air dan
udara sehingga tercuci dan mengalir ke saluran drainase, sungai, rawa, danau dan
air tanah. Adanya proses geomorfik fluvial menunjang berpindahnya logam-logam
berat yang berasal dari lokasi-lokasi tambang ke perairan umum (Miller 1997). Hal
ini akan mengganggu kehidupan dan biodiversitas ekosistem perairan darat dan laut.
Ancaman bencana akibat AAT ini adalah menurunnya kualitas lingkungan
yang dicirikan seperti air menjadi sangat masam (pH kurang dari 4,0) dan nilai
sulfat yang tinggi (500 – 10.000 mg/L sulfat). Hal ini akan menyebabkan kehidupan
biota perairan menjadi terganggu. AAT juga dapat menyebabkan logam-logam
berat seperti arsen, kadmium, tembaga, perak dan seng lepas dari batuan sisa
tambang, dan masuk ke perairan. Bila peningkatan kadar beberapa jenis logam
tersebut melampaui ambang batas yang diijinkan, maka akan membahayakan
kehidupan manusia (Suryaningtyas 2010). Pembentukan AAT juga sulit dihentikan
jika telah terjadi, karena akan berlanjut sampai satu atau lebih reaktan habis atau
tidak tersedia lagi untuk reaksi selanjutnya. Proses ini dapat berlanjut selama
beberapa dekade atau bahkan berabad-abad setelah penambangan dihentikan
(Gautama 2017). Contohnya di Rio Tinto (Spanyol), AAT terus terjadi hingga saat
ini dari semenjak kegiatan penambangan dimulai tahun 3000 SM (Davis et al. 2000).
Untuk menghindari ancaman bencana akibat AAT perlu dilakukan usaha
mitigasi. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana baik
dengan upaya pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana (UU no. 27 Tahun 2007). Mitigasi AAT
dilakukan dengan mengetahui sumbernya atau dengan memaksimalkan
ketersediaan bahan penetralisir asam. Salah satu teknik preventif adalah dengan
memisahkan bahan penghasil asam (Potential Acid Forming/PAF) dan bahan tidak
berpotensi asam (Non Acic Forming/NAF) pada saat penambangan dilakukan. Agar
bahan PAF tidak menghasilkan AAT, bahan PAF disimpan dengan metode
encapsulasi atau dapat juga disimpan dalam kondisi selalu tergenang (Gautama,
2017). Hal ini dapat dilakukan jika proses penambangan masih berlangsung.
PT. Jorong Barutama Greston (PT. JBG) merupakan salah satu perusahaan
tambang batu bara yang telah melakukan eksploitasi batubara sejak 1999 dengan
menggunakan metode tambang terbuka. Ijin konsesi yang akan habis di tahun 2018
(Bisnis.com 2014), membuat PT. JBG harus membuat perencanaan penutupan
tambang sesuai peruntukannya. Kegiatan reklamasi dan revegetasi telah dilakukan
sejak tahun 2005 (Nurjannah 2014). Namun berdasarkan Perencanaan Penutupan
Tambang (Mine Closure Planning), masih akan tersisa 12 void yang masih terisi
2

air dan memiliki resiko terdampak AAT. Oleh sebab itu PT. JBG harus menjaga
kualitas airnya dengan memantau kondisi air dalam void dan mengalirkannya ke
perairan bebas sesuai baku mutu lingkungan.
Salah satu upaya pengelolaan air void agar terjaga kualitasnya adalah
dengan melakukan active treatment yaitu memberikan kapur secara in pit treatment.
Kapur dicairkan dan dialirkan ke dalam void agar kualitas air selalu terjaga.
Beberapa waktu lamanya, kualitas air dapat berada dalam baku mutu lingkungan,
namun akibat penataan lahan di sekitar void yang kurang baik, air di dalam void
kembali asam. Hal ini diduga karena masih adanya tebing dan lahan terbuka yang
mengandung PAF yang terpapar akibat erosi dan mengalirkan asam ke dalam void.
Sehingga perusahaan harus melakukan upaya pemberian kapur kembali di kolam
penaatan sebelum air dialirkan ke perairan bebas.
Aturan pemerintah yang tertuang dalam Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No 113 tahun 2003 tentang baku mutu air limbah bagi usaha
dan atau kegiatan penambangan batu bara mewajibkan setiap penanggung jawab
usaha dan atau kegiatan penambangan batu bara mengelola air yang terkena
dampak dari kegiatan penambangan melalui kolam pengendapan (sediment pond).
Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan penambangan batu bara juga wajib
untuk melakukan swapantau kadar parameter baku mutu air limbah, memeriksa
semua kadar parameter baku mutu air limbah, dan menyampaikan laporan tentang
hasil analisis air limbah dan debit harian. Adapun baku mutu air limbah akibat
penambangan batu bara dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Baku mutu air limbah kegiatan penambangan batu bara
Parameter Satuan Kadar Maksimum
pH 6-9
Residu Tersuspensi mg/l 400
Besi (Fe) Total mg/l 7
Mangan (Mn) Total mg/l 4
Sumber: Kepmen LH No. 113 (2003)
Identifikasi lahan penyumbang asam dengan metode survei manual dan
pengelolaan AAT dengan metoda active treatment sudah dilakukan PT. JBG.
Namun usaha ini membutuhkan tenaga dan biaya yang mahal. Sehingga dibutuhkan
teknik identifikasi yang lebih baik dan metode pengelolaan AAT yang lebih murah.
Pengelolaan AAT melalui lahan basah adalah praktek-praktek dalam kegiatan
reklamasi yang sudah biasa dilaksanakan perusahaan pertambangan (Iskandar et al.
2011). Namun metode ini menyisakan kolam-kolam dengan vegetasi berupa
rumput saja. Konsep ideal mengenai rawa buatan yang efektif dalam pengelolaan
AAT belum tersedia (Sandrawati 2012). Oleh sebab itu dibutuhkan modifikasi
metode lahan basah berupa rawa buatan menjadi hutan rawa agar tidak hanya
berhasil dalam pengelolaan AAT, tetapi juga menambah penilaian tingkat
keberhasilan reklamasi.
Dalam beberapa tahun terakhir, teknologi penginderaan jauh dan
spektroskopi telah berhasil digunakan untuk mengidentifikasi AAT dengan menilai
mineralogi sedimen air yang dialirkan dari tambang. Warna kuning dan warna
coklat kemerahan dari endapan membuat AAT dapat dilihat dengan jelas, bahkan
dapat diamati dari foto udara atau citra satelit. Menurut Choe et al. (2008) dan
Blahwar (2010), indikator spektral yang diperoleh dari survei lapangan logam berat
3

dapat menghasilkan pemetaan distribusi logam berat Fe dengan menggunakan citra


Hymap. Riaza et al. (2011) juga memetakan lokasi sebaran pirit menggunakan data
citra Hyperion. Ibrahim H. Khalifa dan Mohamed O. Arnou (2012)
mengidentifikasi logam Cu dan Mn dari air asam tambang yang secara spasial dan
temporal dapat ditunjukan dalam aliran berbagai bentuk. Distribusi dan jenisnya
dipengaruhi oleh hidrologi, kimia, dan proses biologis DAS (Kimball 1991). Selain
itu, pemanfaatan satelit resolusi tinggi juga banyak digunakan dalam pemantauan
AAT. Yucel et al. (2014) telah mendeteksi perubahan areal dan visualisasi
perubahan dari sembilan danau asam tambang yang disebabkan oleh perusahaan
tambang batubara di Can Turkey 1977-2011 dengan menggunakan Landsat,
Quickbird dan citra satelit Worldview. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
jumlah danau asam tambang meningkat dan ini menyebabkan risiko lingkungan
meningkat. Blahwar et al. (2012), juga menghasilkan penelitian bahwa citra
resolusi tinggi dapat digunakan untuk mendeteksi endapan besi pada jalur sungai
yang menunjukkan kehadiran air asam tambang.

Perumusan Masalah

Metode identifikasi dan mitigasi sumber penyebab air asam tambang di


lahan pasca tambang tentunya berbeda dengan metode mitigasi AAT saat operasi
penambangan masih berlangsung. Batuan PAF yang sudah disebar dan tercampur
dengan NAF dan top soil saat proses reklamasi, tidak dapat dipisahkan lagi.
Keterpaparan batuan PAF ini membuat senyawa sulfida kembali bereaksi sehingga
menghasilkan pirit dan ketika hujan mengalir masuk ke dalam void dan
menyebabkan turunnya pH air di dalam void. Metode identifikasi sumber lahan
yang menyebabkan asam selama ini dilakukan secara manual yaitu dengan
membuat plot seukuran 1m x 1m dan dianalisa pH tanah dan kandungan PAF-nya.
Usaha ini dilakukan secara manual dan sangat membutuhkan survei yang detil
sehingga membutuhkan tenaga dan biaya yang banyak karena area reklamasi yang
sangat luas. Sehingga dibutuhkan metode yang lebih efektif dan efisien dalam
memetakan sebaran lahan penyumbang asam.
Berdasarkan data survei awal pra penelitian bulan Februari 2017, terdapat 3
void utama yang masih digenangi air di lahan reklamasi wilayah pengelolaan I yaitu
void M23E_E, M4E_E dan UE_C. Air dari ketiga void ini dialirkan ke satu kolam
penaatan WWM-05 sebagai lokasi monitoring titik outlet air sebelum dilepas ke
perairan bebas (Gambar 1). Void M23E_E dan M4E_E merupakan void yang sudah
memiliki pH 5 sampai 6 dengan metode active treatment. Di sisi lain, void UE_C
masih asam karena masih banyak lahan dan dinding terbuka di sekitar void yang
diperkirakan menyumbangkan keasaman air di void. Hal ini menyebabkan proses
pemberian kapur tetap dilakukan di kolam penaatan sehingga sangat membebani
perusahaan akibat pembiayaan yang besar setiap tahunnya. Sehingga perlu
dilakukan pembatasan wilayah pengelolaan AAT pada setiap void. Oleh sebab itu
dibutuhkan metode pengelolaan air dari void menuju kolam penaatan yang berbiaya
murah dan pengelolaan yang minimal.
Berkembangnya teknologi penginderaan jauh memberikan banyak pilihan
bagi perusahaan dalam melakukan pemantauan sumber penyebab AAT. Usaha
preventif sudah tidak dapat dilakukan lagi dan pengelolaan AAT dengan metode
active treatment belum berhasil maksimal. Sehingga perlu dicari metode lain
4

sebagai usaha lain dalam pengelolaan AAT yang lebih murah dan bersifat
berkelanjutan. Salah satu metode pengelolaan AAT yang murah adalah dengan
metode passive treatment melalui hutan rawa buatan.

Gambar 1. Wilayah pengelolaan I AAT di PT. Jorong Barutama Greston


Berdasarkan beberapa kondisi yang dihadapi di atas, maka terdapat
beberapa permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana menentukan wilayah pengelolaan air asam tambang di lahan
pasca tambang
2. Bagaimana kondisi penutupan lahan terkini pada lokasi wilayah
pengelolaan tersebut
3. Bagaimana mengidentifikasi sumber lahan penyumbang air asam tambang
dengan penginderaan jauh
4. Bagaimana melakukan mitigasi air asam tambang menggunakan hutan rawa
buatan di lahan pasca tambang

Tujuan Penelitian

Untuk menjawab permasalahan diatas, penelitian ini dilakukan dengan


tujuan sebagai berikut:
1. Menentukan wilayah pengelolaan air asam tambang di lahan pasca tambang.
2. Mengetahui kondisi penutupan lahan terkini.
3. Mengidentifikasi sumber lahan penyumbang air asam tambang dengan
penginderaan jauh.
4. Memitigasi ancaman bencana akibat air asam tambang melalui hutan rawa
buatan di lahan pasca tambang.
5

Manfaat Penelitian

Hasil kegiatan ini diharapkan dapat memberikan data dan informasi


berkaitan dengan sebaran lahan yang berpotensi menghasilkan AAT menggunakan
penginderaan jauh, sehingga data dan informasi tersebut dapat digunakan untuk
pengelolaan void, menilai pengelolaan kawasan pasca tambang yang telah
dilakukan, mencari alternatif penanganan AAT lebih murah, dan pengamatan air
yang keluar dari kolam penaatan. Melalui data dan informasi tersebut juga dapat
dilakukan rekomendasi area utama untuk program revegetasi lahan bekas tambang
sehingga dapat mengurangi resiko akibat AAT dan untuk memperoleh nilai tambah
dari vegetasi yang ditanam, sehingga diharapkan program reklamasi tambang dapat
kegiatan masyarakat setelah pasca tambang. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
menjadi arahan dalam pengelolaan air asam tambang bagi PT. JBG menambah nilai
bagi PT. JBG dalam meningkatkan predikatnya sebagai green mining.

Kerangka Pemikiran

Identifikasi AAT di lahan pasca tambang dianalisa berdasarkan wilayah


pengelolaannya. Data penginderaan jauh digunakan untuk mengetahui sumber air
asam tambang baik pada lahan reklamasi yang sudah ditanami maupun air yang
berada di dalam void. Mitigasi sumber AAT di lahan reklamasi dilakukan melalui
identifikasi sebaran pH tanah di lahan reklamasi yang mengandung PAF. Sumber
lahan yang memiliki pH dibawah 5 menjadi sumber AAT bagi air di void. Void
yang asam akibat AAT diperbaiki kualitas airnya melalui bentuk mitigasi AAT
menggunakan hutan rawa buatan dengan tujuan meningkatkan kualitas air,
menurunkan kandungan logam berat daan meningkatkan keberhasilan reklamasi
dengan menanam jenis yang tahan di air asam dan dapat menetralisir logam berat.
Kerangka pemikiran mitigasi AAT melalui hutan rawa buatan dapat dilihat pada
Gambar 2.

Gambar 2. Kerangka Pemikiran


6

2 TINJAUAN PUSTAKA

Air Asam Tambang (AAT)

Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (2013), mendefinisikan air asam


tambang sebagai berikut:
“Air tambang yang mengandung sulfat bebas yang terjadi sebagai air
lindian (leachate), air rembesan (seepage), atau air penirisan (drainage), yang
kemudian terpengaruh oleh proses oksidasi mineral-mineral sulfida yang terdapat
pada batuan, sebagai akibat kegiatan eksplorasi dan/atau eksploitasi, sehingga air
tersebut mempunyai nilai pH rendah (< 7)”
Perlu diketahui, air asam sebenarnya tidak saja terbentuk akibat kegiatan
penambangan saja, tetapi setiap kegiatan yang berpotensi menyebabkan terbuka
dan teroksidasinya mineral sulfida, akan menyebabkan terbentuknya air asam.
Beberapa kegiatan seperti pertanian, pembuatan jalan dan drainase, dan pengolahan
tanah lainnya pada areal yang mengandung mineral belerang, tentu akan
menghasilkan air asam. Karakteristik pun sama dengan air asam tambang.
Pada proses penambangan khususnya pertambangan terbuka akan
menghasilkan timbunan-timbunan overburden dan tailing dalam jumlah yang besar,
dalam beberapa kasus yang terjadi, jika bahan ini mengandung mineral-mineral
sulfida yang tidak stabil dalam kondisi oksidatif, maka bahan ini berpotensi
menimbulkan asam yang dikenal dengan air asam tambang atau acid mine drainage
(AMD). Sifat-sifat kimia overburden yang mengandung mineral sulfida dapat
dikenali melalui pengukuran pH dalam H2O2 yang menghasilkan tingkat
kemasaman sangat masam (Tabel 2). Pada kondisi lingkungan masam tersebut,
logam-logam berat yang terkandung dalam overburden dan tailing akan lebih
mudah larut dan terbawa aliran sehingga mencemari air permukaan dan air bawah
permukaan. Dalam kondisi seperti itu tanaman juga tidak dapat tumbuh secara
optimal (Iskandar 2008).
Tabel 2. Beberapa sifat kimia overburden yang mengandung sulfida
No Kedalaman Pengamatan pH (1:1) Sulfida
Permukaan
(Ground Data/GD) H2O H2O2 (%)
1 GD 1 (0-20 cm) 2.24 1.22 3.58
2 GD 1 (20-40 cm) 5.15 1.80 4.60
3 GD 2 (0-20 cm) 3.34 1.88 4.14
4 GD 2 (20-40 cm) 6.74 3.19 5.20
5 GD 4 (0-20 cm) 6.98 3.86 2.66
6 GD 4 (20-40 cm) 7.27 3.87 2.86
Sumber: Pusdi Reklatam (2007)
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa bahan yang menjadi sumber
potensial terbentuknya air asam tambang adalah mineral-mineral yang mengandung
sulfida, terutama pirit (FeS2). AAT terbentuk karena teroksidasinya pirit dengan
melibatkan oksigen dan air. Ketika air yang bersifat masam ini mengalir melewati
misalnya tumpukan batuan limbah, tumpukan batubara, dinding lubang tambang
atau masuk ke air tanah, air ini akan bereaksi lebih lanjut dengan mineral-mineral
7

dalam tanah dan sekaligus melarutkan logam-logam dan garam dalam mineral.
Oleh sebab itu AAT memiliki karakteristik-karakteristik kimia sebagai berikut: (1)
pH rendah, umumnya pada kisaran 1.5 – 4, (2) konsentrasi logam-logam terlarut
tinggi, seperti besi, aluminium, mangan, cadmium, tembaga, timbal, seng, arsen,
merkuri, (3) angka kemasaman tinggi, setara 50 – 15.000 mg/L CaCO3, (4) kadar
sulfat dan salinitas tinggi (konsentrasi sulfat pada kisaran 500 – 10.000 mg/L dan
DHL 1.000 – 20.000 µS/cm), (5) konsentrasi oksigen rendah (misalnya kurang dari
6 mg/L), dan (6) kekeruhan dan TSS rendah (Australian Government 2007).
Kelompok utama dari mineral yang menghasilkan AAT adalah mineral
sulfida, karena sifatnya yang tidak stabil dan berpotensi menghasilkan asam.
Sulfida penting adalah arsenopirit (FeAsS), pirit (FeS2), kalkopirit (CuFeS2),
pyrrohotite (FeS), marcasite (FeS2) dan sfalerit ((Zn, Fe) S) (Jennings et all., 1999).
Selain mineral sulfida, produksi asam sulfat (H2SO4) yang biasanya ditemukan di
limbah tambang juga memiliki potensi produksi asam. Beberapa mineral penghasil
asam sulfat yaitu barit (BaSO4), anhidrit (CaSO4), gipsum (CaSO4 * 2H2O),
anglesite (PbSO4), dan jarosit (KFe3 (SO4) 2 (OH) 6)) (Jennings et. all., 1999).
Pembubaran sulfat dapat melepaskan H + dalam larutan, sehingga menurunkan pH.
Menurut The International Network for Acid Prevention setiap perusahaan
pertambangan harus membuat suatu pengendali operasional termasuk salah satunya
adalah Standard Operational Procedure (SOP). Pada umumnya standar yang
digunakan untuk panduan pengelolaan air asam tambang di setiap negara adalah air
limbah keluaran dari tambang yaitu memenuhi setiap peraturan yang berlaku, tetapi
juga hal ini harus tetap memperhatikan efektif dan efisiennya upaya pengelolaan.
Setiap perusahaan pertambangan, terlepas dari ukuran besar luasnya pertambangan
perlu mematuhi peraturan perundang-undangan nasional di negara mereka
beroperasi, misalnya di Indonesia adanya Keputusan Menteri Lingkungan Hidup
Nomor 113 Tahun 2003 tentang baku mutu air limbah bagi usaha dan atau kegiatan
penambangan batu bara. Tetapi menurut peraturan ini, setiap usaha/kegiatan dapat
menggunakan peraturan daerah misalnya peraturan dari gubernur atau bupati,
dengan syarat nilai baku mutu harus sama atau lebih ketat dari Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup Nomor 113. Meskipun begitu perusahaan pertambangan tidak
diwajibkan untuk mematuhi peraturan global pada The International Network For
Acid Prevention.
Prinsip utama pengelolaan air asam tambang adalah sedapat mungkin
mencegah terbentuknya air asam tambang (Gautama 2012). Menurut The
International Network for Acid Prevention, kunci dari upaya pencegahan adalah
dengan cara menutup batuan yang dapat menghalangi suplai oksigen dan air.
Metode yang umum diterapkan dalam penimbunan overburden adalah
encapsulation dan layering yaitu metode dengan menempatkan material Potential
Acid Forming (PAF) dan Non Acid Forming (NAF) sedemikian rupa. Melakukan
upaya pencegahan terbentuknya air asam tambang dapat meminimalkan beban
pengendalian dan pengolahan. Menurut Santoso dan Setiawan (2009) di Tambang
Batubara PT. KPC hasil pengukuran pH kolam pasca tambang (kolam Sangatta
North dan Kolam Surya) relatif stabil walaupun tidak diberikan perlakuan
dikarenakan proses penanganan air asam tambang yang diawali dengan proses
pencegahan pembentukan AAT dengan pemisahan material PAF dan NAF
sehingga penanganan penutupan menjadi proporsional.
8

Menurut The International Network for Acid Prevention, metode


pengolahan air asam tambang ada tiga yaitu pengolahan aktif (active treatment),
pasif (passive treatment) dan in situ treatment. Pada umumnya setiap metode
tersebut melakukan beberapa perlakuan yaitu penetralan, penghapusan logam,
desalinasi, dan penurunan target polutan tertentu.
Metode aktif dilakukan dengan cara mengolah air asam tambang dengan
bahan kimia dengan tujuan meningkatkan pH, menetralkan keasaman dan
mengendapkan logam terlarut. The International Network for Acid Prevention
menyatakan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih senyawa alkali
untuk netralisasi termasuk diantaranya adalah penanganan bahan (termasuk
jalan/transportasi bahan, penyimpanan, penyusunan dan penggunaan dosis).
Perusahaan dapat menetralisasi dengan senyawa kimia kapur tohor. Hal ini harus
dilakukan terus menerus sehingga perlakuan aktif memerlukan biaya yang besar.
Untuk mengurangi pengeluaran biaya yang besar perusahaan tambang dapat
melakukan pengolahan air asam tambang secara pasif dengan metode pembuatan
rawa yang ditanami vegetasi (wetland). Tetapi metode ini hanya digunakan untuk
air asam dengan debit rendah dan parameter air yang tidak ekstrim. Hasil Penelitian
Cynthia et al. (2010), bahwa sistem passive treatment yang merupakan gabungan
sistem kapur dan rawa buatan (wetland) secara efektif dan efisien dapat
meningkatkan pH dan menurunkan kandungan padatan tersuspensi, logam dan
sulfat air asam tambang. Setelah diberi perlakuan dengan proses pasif atau aktif
dialirkan ke lingkungan melalui titik outlet yang selalu diamati kondisinya setiap
bulan.
Indikator keberhasilan pengelolaan air asam tambang adalah air limbah
keluaran dari unit pengolahan limbah sesuai atau dibawah Baku Mutu Limbah Cair
(BMLC). Dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 113 Tahun 2003
beberapa hal yang dipersyaratkan dalam peraturan ini yaitu:
a. Melakukan swapantau (self monitoring) kadar parameter baku mutu air
limbah, sekurang-kurangnya memeriksa pH air limbah dan mencatat debit
air limbah harian.
b. Mengambil dan memeriksa semua kadar parameter baku mutu air limbah
secara periodik sekurang-kurangnya 1 kali dalam 1 bulan yang dilaksanakan
oleh pihak laboratorium yang terakreditasi.
c. Untuk parameter air limbah yang dipantau adalah pH, TSS, Besi, Mangan.

Penginderaan Jauh dan Air Asam Tambang

Berbagai penelitian untuk mengetahui resiko dan kerentanan akibat


pertambangan telah banyak dilakukan. Pemanfaatan teknologi GIS dan
penginderaan jauh dijadikan sebagai tools yang mempermudah pemetaan
perubahan penggunaan lahan dan identifikasi lokasi yang terdampak air asam
tambang. Untuk penyelidikan AAT menggunakan data penginderaan jauh, area
yang dipengaruhi oleh air asam tambang dapat diidentifikasi menggunakan
berbagai teknik image analysis untuk setiap set data. Teknik visual dan GIS juga
dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan mengukur perubahan dalam studi
pemantauan.
Sejak tahun 1970-an, penginderaan jauh telah digunakan untuk tujuan
penelitian lingkungan dan geologi. Satelit dan poto udara digunakan untuk meneliti
9

berbagai fenomena baik pada skala besar maupun kecil. Sabins (1997) telah
menggunakan penginderaan jauh untuk eksplorasi geologi. Teknik interpretasi
langsung merupakan hal yang fundamental dalam melihat perubahan lingkungan
dengan mengevaluasi lanskap seperti vegetasi dan pola drainase (Lillesand dan
Kiefer 2000).
Dalam beberapa tahun terakhir, penginderaan jauh dan spektroskopi telah
berkembang dalam mengidentifikasi AAT dengan menilai mineralogi sedimen
sungai di lingkungan tambang. Mengidentifikasi endapan di saluran air adalah
metode yang valid menyimpulkan tingkat keasaman dalam lingkungan. Namun,
kemampuan untuk mendeteksi fenomena ini tergantung pada resolusi citra. Banyak
drainase yang mengalir dari tambang dan tailing berukuran sangat kecil. Citra harus
memiliki resolusi spasial sangat tinggi untuk secara efektif mendeteksi bahan
penyebab air asam tambang di jaringan drainase. Pemanfaatan citra resolusi tinggi
menambah tantangan baru untuk lebih tepat mengidentifikasi air asam tambang.
Warna kuning dan warna coklat kemerahan dari endapan membuat AAT dapat
dilihat dengan jelas, bahkan dapat diamati dari poto udara atau citra satelit. Choe
dkk. (2008) di Blahwar (2010) menguji kemungkinan menggunakan indikator
spektral yang diperoleh dari sampling lapangan untuk memperkirakan logam berat
dan juga untuk memperluas penggunaannya dalam pemetaan distribusi logam berat.
Parameter yang berasal dari spektrum contoh sedimen terkait dengan logam berat
dapat juga diidentifikasi dengan menggunakan citra Hymap Riaza et al. (2011).
Pemanfaatan metode Principles Component Analysis (PCA) pada citra Landsat juga
dapat menunjukan perubahan kenampakan kandungan yang ada pada suatu
kawasan. Ibrahim H. Khalifa & Mohamed O. Arnou (2012) mengidentifikasi logam
dari air asam tambang yang secara spasial dan temporal dapat ditunjukan dalam
aliran berbagai bentuk. Distribusi dan spesiasi mereka dipengaruhi oleh hidrologi,
kimia, dan proses biologis DAS (Kimball 1991). Yucel D.S et al. (2014) telah
mendeteksi perubahan areal dan visualisasi perubahan dari sembilan danau asam
tambang yang disebabkan oleh perusahaan tambang batu bara di Can Turkey 1977-
2011 dengan menggunakan Landsat, Quickbird dan citra satelit Worldview. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa jumlah danau asam tambang meningkat dan ini
menyebabkan risiko lingkungan terjadi. Blahwar et al. (2012), juga menghasilkan
penelitian bahwa citra resolusi tinggi dapat digunakan untuk mendeteksi endapan
besi pada jalur sungai yang menunjukkan kehadiran air asam tambang. Penelitian
ini akan menambah informasi teknik identifikasi mineral penghasil sulfida dalam
merencanakaan pengelolaan air asam tambang menggunakan hutan rawa buatan
dengan metode penginderaan jauh.
Penerapan teknologi penginderaan jauh dalam pemantauan penambangan
memiliki kelebihan yaitu:
1. cepat dan efisien dalam mengidentifikasi sumber polusi secara luas dan atau
dalam lingkup daerah aliran sungai (DAS),
2. akurat dalam membantu kegiatan pengecekan lapang dan evaluasi lokasi,
3. dapat membantu mengidentifikasi masalah hidrologi atau polusi tertentu,
dan
4. menyediakan landasan teknis dan ilmiah untuk pengembangan rencana
remediasi kawasan atau DAS.
10

3 METODE PENELITIAN

Lokasi Penelitian

Secara administrasi PT. JBG terletak di Desa Swarangan, Kecamatan


Jorong, Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan. Secara geografis,
lokasi penambangan PT. JBG terletak pada 3°45’07” – 4°00’15” LS dan 114°45’23”
–115°05’53” BT dengan luas 9000 ha (Gambar 3). Area pelabuhan terletak di Desa
Swarangan, Kecamatan Jorong, Kabupaten Tanah Laut.
PT. JBG melakukan kegiatan penambangan batubara di Desa Swarangan
yang memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:
- Utara : Kecamatan Jilatan
- Timur : Kecamatan Asam-asam
- Selatan : Laut Jawa dan Desa Swarangan
- Barat : Kecamatan Penyipalan

Gambar 3. Peta Lokasi Ijin Usaha Pertambangan (IUP) di PT. Jorong Barutama
Greston (PT. JBG)

Jenis Tanah dan Topografi


Tanah pada areal kegiatan tambang batubara di PT. JBG didominasi oleh
tanah Podsolik (Ultisol). Tanah Aluvial (Inceptisol) hanya terdapat disekitar Sungai
Asam-asam, Sungai Katal-katal dan Sungai Nahiya dalam luasan yang sempit.
Ketiga sungai ini merupakan sungai utama yang mengalir di daerah penelitian.
Topografi wilayah tambang PT. JBG datar, bergelombang, dan berbukit. Daerah
dengan topografi berbukit hampir sebagian besar dimiliki oleh Kabupaten Tanah
Laut. Daerah yang relatif datar dan bergelombang pada umumnya terdapat di
sepanjang pantai dan muara sungai.
11

Iklim dan Curah Hujan


Lokasi PT. JBG dipengaruhi oleh iklim tropika basah dengan ciri khas,
curah hujan yang cukup tinggi dengan penyebaran merata sepanjang tahun.
Menurut klasifikasi Koppen daerah ini diklasifikasikan sebagai Af, karena selalu
basah dengan curah hujan > 60 mm atau tipe A menurut klasifikasi Schmidth
Ferguson. Berdasarkan data curah hujan dan hari hujan 2003-2017, curah hujan
rata-rata tahunan 2359.4 mm. Curah hujan rata-rata bulanan berkisar antara 97.87-
277.25 mm. Rata-rata curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Juli sebesar 277.25
mm, sedangkan rata-rata curah hujan terendah terjadi pada bulan September dengan
curah hujan sebesar 97.87 mm. Hari hujan rata-rata bulanan selama tahun 2003 –
2017 adalah 12 hari, sedangkan untuk jumlah hari hujan terbesar terjadi pada bulan
Desember yaitu sebanyak 25 hari dan hujan terendah terjadi pada bulan September
yaitu sebanyak 1 hari. Suhu udara bulanan periode 2003-2017 rata-rata 27.1°C
dengan suhu terendah terjadi pada bulan Januari (25.6°C), sedangkan suhu tertinggi
terjadi pada bulan Oktober (28.9°C).

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah foto udara dari
pesawat nirawak (Unmanned Aerial Vehicle/UAV) perekaman Agustus 2017 dan
data kontur. Untuk pengolahan dan pengecekan lapang dibutuhkan alat berupa
komputer dengan menggunakan perangkat lunak pengolah citra Erdas
Imagine/ENVI, ArcGIS, GPS (Global Positioning System), kamera digital dan peta
kerja, yang dihasilkan dari pengolahan awal foto udara.

Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer berupa data citra foto udara UAV digunakan untuk
memperoleh informasi kondisi penggunaan lahan terkini dan menduga sebaran
lahan penyumbang air asam tambang. Data sekunder yang digunakan meliputi data
peta kontur, peta lokasi kolam pengendapan, lokasi saluran/kanal, void dan data
tanaman yang sesuai untuk lahan asam dan tergenang. Data sekunder ini diperoleh
dari PT. JBG, sedangkan khusus data tanaman yang dapat ditanam pada hutan rawa
buatan diperoleh melalui penelusuran internet dan studi pustaka. Jenis data dan
sumber yang digunakan disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Jenis dan sumber data penelitian
No Jenis Data Skala Bentuk Sumber
1 Peta kontur 1:50 000 Dijital PT. JBG
2 Peta revegetasi 1:100 000 Dijital PT. JBG
3 Foto udara UAV 1:1000 Dijital PT. JBG
4 Lokasi sediment pond 1:50 000 Dijital PT. JBG
5 Peta saluran/kanal Dijital PT. JBG
6 Peta sebaran void Dijital PT. JBG
7 Data Tanaman Studi pustaka
12

Teknik Analisis Data

Data dianalisis melalui beberapa tahap pada tujuan penelitian. Unit


penelitian adalah yang difokuskan pada wilayah pengelolaan air 1 di area pasca
tambang IUP PT. JBG. Hubungan metode analisis data, tujuan penelitian dan
keluarannya dapat dilihat pada matriks hubunganantara tujuan, jenis data, metode
analisis dan keluaran yang diharapkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Matrik Hubungan Antara Tujuan, Jenis Data, Metode Analisis dan
Keluaran
No Tujuan Jenis Data Metode Keluaran
Analisis
1 Membuat peta - Peta Topografi - Analisis Peta catchment
wilayah - DEM Hidrologi area sebagai
pengelolaan wilayah
pengelolaan air
asam tambang
2 Mengetahui - Foto Udara Interpretasi Peta penutupan
kondisi - Peta wilayah visual lahan, Peta lokasi
penutupan lahan pengelolaan void, kolam
terkini penaatan dan
saluran/kanal
3 Mengidentifikasi - Foto Udara Klasifikasi Peta sebaran pH
sumber lahan - Peta lahan Terbimbing tanah
penyumbang terbuka dengan
AAT metode
Maximum
Likelihood
Standard
4 Mitigasi AAT - Peta kontur - Analisis Lokasi yang sesuai
melalui hutan - Peta kemiringan Spasial untuk hutan rawa
rawa buatan lahan - Studi buatan, jenis
- Peta lokasi kolam pustaka vegetasi yang
pengendapan sesuai, desain
- Peta penutup konstruksi dan
lahan pemeliharaan
- Peta lokasi
saluran/kanal
- Peta catchment
area

Prosedur Analisis Data

Analisis data dilakukan menggunakan foto udara yang direkam melalui


pesawat nirawak (Unmanned Aerial Vehicle/UAV). Perangkat lunak pengolahan
citra Er Mapper dan ArcGIS digunakan sebagai tools untuk membantu analisis.
a. Membuat peta wilayah pengelolaan dan penutupan lahan terkini
13

Data elevasi dijital (DEM) yang dihasilkan dari data kontur pada area
kelompok pengelolaan diolah untuk membuat batas area tangkapan air dan arah
aliran, yang selanjutnya digunakan sebagai batas wilayah pengelolaan AAT.
Peta wilayah pengelolaan menjadi peta dasar untuk memotong foto udara. Hasil
pemotongan foto udara diinterpretasi secara visual untuk menghasilkan peta
tutupan lahan terkini. Selanjutnya tutupan lahan ini dijadikan sebagai input
penentuan area penyumbang asam dan lokasi yang sesuai untuk hutan rawa.
b. Identifikasi sebaran lahan asam sebagai sumber air asam tambang
menggunakan foto udara
Sebaran tanah dengan pH rendah sebagai lahan penyumbang AAT
diidentifikasi dengan klasifikasi terbimbing Maximum Likelihood Standard
berdasarkan perbedaan warna tanah pada foto udara. Pengambilan sample pH
tanah dilakukan sebagai area contoh untuk proses klasifikasi. Pengujian pH
tanah dilakukan di Laboratorium Tanah SEAMEO BIOTROP. Peta sebaran pH
tanah di wilayah studi digunakan sebagai rekomendasi pengolahan tanah di
sekitar void dan pemilihan jenis vegetasi yang sesuai serta menjadi input untuk
perencanaan hutan rawa.
c. Membuat hutan rawa buatan sebagai salah satu usaha mitigasi AAT di lahan
pasca tambang
Analisis spasial Weighted Aritmetic Overlay digunakan untuk
penentuan kawasan yang sangat sesuai untuk menjadi hutan rawa. Data peta
penutupan lahan, kemiringan lahan, elevasi, catchment area, jarak dari saluran
drainase dan jarak dari kolam monitoring digunakan sebagai input penentuan
area hutan rawa dengan bobot yang diperoleh dari para ahli (Expert Judgement)
dan diolah menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP). Desain hutan
rawa disusun berdasarkan kondisi lokasi dan standar dari Wetland Stewarship
Partnership yang telah menganut standard konvensi Ramsar tentang lahan basah.
Area hutan rawa buatan yang dibangun menjadi suatu usaha mitigasi dalam
pengelolaan air asam tambang secara alami untuk meningkatkan kualitas air dan
mendukung keberhasilan reklamasi di lahan pasca tambang.

Diagram Alir Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan tahapan seperti Gambar 4. Data Digital


Elevation Model (DEM) yang dibuat dari kontur digunakan untuk membatasi
wilayah pengelolaan untuk mengetahui area limpasan dan aliran air. Data foto udara
dipotong sesuai wilayah pengelolaan dan digunakan untuk mengidentifikasi
penutupan lahan terkini dan sebaran pH tanah di lahan terbuka sebagai mitigasi
lahan penyumbang AAT dengan teknik interpretasi citra. Hasil analisa dijadikan
sebagai bahan masukan untuk usaha mitigasi air asam tambang melalui hutan rawa
buatan.
14

Gambar 4. Diagram Alir Penelitian


15

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Wilayah Pengelolaan AAT di Lahan Pasca Tambang

Wilayah studi merupakan lahan reklamasi di area pasca tambang PT. Jorong
Barutama Greston (PT. JBG). Saat ini air limpasan (run off) yang mengalir di
sekitar void dari berbagai tutupan lahan masuk ke void dan berperan sebagai
penyumbang asam pada air di dalam void. Air limpasan void mengalir melalui
saluran kanal menuju kolam pengelolaan air (settling pond) sebelum dilepaskan ke
sungai. Untuk menganalisa arah aliran air yang memasok asam ke void maka perlu
penetapan batas wilayah pengelolaan air dengan mengetahui karakteristik daerah
aliran sungai atau daerah tangkapan air (catchment area).
Pada tahap awal ini, karakterisasi awal area catchment dilakukan dengan
cepat untuk menentukan wilayah pengelolaan. Peta topografi atau Digital Elevation
Model (DEM) merupakan data yang dapat dimanfaatkan untuk membatasi daerah
tangkapan air. Berdasarkan batasan ini maka dapat ditentukan luasan dan
karakteristik wilayah pengelolaan air asam tambang.
Area penelitian terletak di salah satu bagian dari 7 catchment di Wilayah
Pengelolaan I (Gambar 5). Area penelitian (Gambar 5 lokasi 1) merupakan
catchment dengan luas area 43,5 ha dari luas total catchment 423,8 ha. Area ini
merupakan area penimbunan dari penambangan Pit UEC yang sebagian sudah
ditanami dan sebagian masih berupa lahan terbuka serta memiliki void dengan luas
9,1 ha (Gambar 6). Daerah tangkapan air pada area penelitian ini memberikan
kontribusi yang besar terhadap pembentukan air asam tambang dengan debit aliran
limpasan yang langsung masuk ke dalam badan air void UEC.

(7)

(6)

(5)
(4)

(3)
(2)

(1)

Gambar 5. Area catchment pada wilayah pengelolaan I di PT. Jorong Barutama


Greston
16

Gambar 6. Area penelitian di Catchment wilayah pengelolaan I PT. Jorong


Barutama Greston

Kualitas air dari hulu void sangat dipengaruhi oleh kondisi keasaman lahan
yang dilalui aliran air dan berperan sebagai penyumbang asam ke dalam void. Oleh
sebab itu pendekatan area catchment digunakan sebagai dasar konsep pengelolaan
AAT. Dengan memahami proses pembentukan AAT, maka mitigasi dan resiko
pengendalian AAT di area catchment dapat dilakukan dengan langkah-langkah
yang tepat dan biaya yang efisien.

Identifikasi Penutupan Lahan dan Sumber Lahan Penyumbang AAT

Teknologi penginderaan jauh adalah teknologi yang bermanfaat untuk


pertambangan. Citra dan informasi yang diperoleh dapat digunakan pada setiap
tahapan siklus pertambangan. Teknologi ini dapat dimanfaatkan untuk menentukan
potensi bahan mineral dan singkapan pada saat eksplorasi, mengawasi kegiatan
operasional tambang, mendeteksi kerusakan akibat pertambangan, melihat
perkembangan kegiatan reklamasi pasca tambang dan mengawasi aset perusahaan
tambang. Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh dapat meminimalkan resiko
dan biaya.
Teknologi penginderaan jauh modern saat ini memberikan kesempatan yang
sangat baik untuk memantau kerusakan lingkungan pasca tambang. Namun, sensor
dan platform yang akan digunakan harus memadai untuk bentuk masalah yang
ditangani. Citra resolusi tinggi dari satelit dan poto udara adalah salah satu data
yang banyak digunakan untuk pemetaan detil pemantauan kerusakan lingkungan
pasca tambang.
Ketersediaan data, penutupan awan dan harga adalah beberapa kendala yang
banyak ditemui dalam pemanfaatan data citra resolusi tinggi. Wilayah yang
17

terpencil dan merupakan kawasan hutan menyebabkan pilihan ketersediaan data


sangat kurang. Karakterikstik keawanan yang menyebar merata di Pulau
Kalimantan dimana penelitian dilakukan menyebabkan kurang baiknya kualitas
data. Oleh sebab itu pemanfaatan poto udara menggunakan pesawat nirawak
(Unmanned Aerial Vehicle/UAV) dalam penelitian ini.
Pemetaan menggunakan UAV telah diterima secara luas sebagai metode
baru untuk memperoleh data citra spasial (Sippo 2013). Pemetaan UAV biasanya
terdiri dari komponen berikut: pesawat nirawak dengan autopilot (menggunakan
sayap "fixed wing" atau menggunakan baling-baling "rotation wing"), perangkat
lunak perencanaan misi penerbangan, kamera dan sistem kontrol peluncuran dan
pendaratan. Perangkat lunak fotogrametri digunakan untuk memproses gambar
yang diperoleh menjadi produk data, orthomosaics dan awan titik 3 dimensi (3D
point clouds) sehingga siap digunakan dalam sistem dan perencanaan di Sistem
Informasi Geografis. Phantom 4 Pro adalah jenis pesawat nirawak untuk pemetaan
yang memiliki sensor pendukung penerbangan yang pintar, dapat merekam dengan
kualitas kejernihan gambar yang sangat baik dan telah dilengkapi sensor infrared
untuk menghindari rintangan (DJI 2016).
Pesawat UAV Phantom 4 Pro yang dilengkapi dengan kamera digital RGB
digunakan untuk mengidentifikasi penutupan lahan dan sebaran keasaman tanah
pada area penelitian. UAV diterbangkan mengikuti jalur penerbangan yang diatur
oleh perangkat lunak perencanaan penerbangan secara otomatis Drone deploy.
Hasil fotogrametri dari UAV menghasilkan foto udara mosaik ortho dengan
resolusi spasial sangat tinggi yaitu 10 cm. Tampakan 3 dimensi dan Digital Terrain
Model (DTM) area penelitian juga dihasilkan melalui pengolahan otomatis
perangkat lunak tersebut (Gambar 7). Data foto udara RGB diinterpretasi secara
visual untuk mendapatkan jenis penutupan lahan. Peta penutupan lahan
menggambarkan sebaran lahan terbuka, vegetasi dan tubuh air yang terdapat di area
penelitian (Gambar 8). Hasil pemetaan menunjukan 33,8% area merupakan lahan
terbuka, 43% vegetasi dan 23,2% merupakan tubuh air. Daftar luasan penutupan
lahan dapat dilihat pada Tabel 5.

Gambar 7. Tampakan 3 Dimensi area penelitian di PT. Jorong Barutama Greston


18

Gambar 8. Peta penutupan lahan area penelitian tahun 2017 di PT. Jorong
Barutama Greston
Tabel 5. Luasan Penutupan Lahan Tahun 2017 area penelitian di PT. Jorong
Barutama Greston
Penutupan
Lahan Luas %
Lahan terbuka 14,7 33,8
Tubuh air 10,1 23,2
Vegetasi 18,7 43,0
Total 43,5 100

Poto udara yang dihasilkan dari UAV juga memberikan karakteristik warna
yang berbeda pada setiap obyek yang direkam pada area catchment. Air dalam void
tampak berwarna kuning kecoklatan hingga hitam, vegetasi berwarna hijau dan
lahan terbuka memberikan pantulan warna putih hingga hitam tergantung
karakteristik tanah. Tidak semua tutupan lahan berpotensi sebagai sumber asam
bagi void, tetapi pada penelitian ini diasumsikan bahwa lahan terbuka yang
memiliki warna abu sampai kehitaman akan memiliki pH yang bervariasi.
Pendekatan ini divalidasi dengan pengambilan sampel tanah untuk pengecekan pH
tanah di laboratorium (Lampiran 1). Pengambilan sampel tanah dilakukan pada
tanah yang memiliki pewarnaan yang berbeda. Peta posisi titik sampel dapat dilihat
pada Gambar 9.
Identifikasi sumber asam dilakukan dengan membuat peta sebaran
keasaman (pH) tanah di area penelitian. Area lahan terbuka yang diperoleh dari peta
penutupan lahan dijadikan pembatas (masking) melalui proses pemotongan untuk
memperoleh foto udara lahan terbuka saja. Selanjutnya data ini diinterpretasi
menggunakan metode klasifikasi terbimbing Maximum Likelihood Standard
dengan bantuan titik sampel yang diperoleh saat survei. Analisis citra menunjukkan
terdapat 3 kelas wilayah dengan pH yang berbeda seperti Gambar 10. Hasil analisis
menunjukkan bahwa terdapat 1,2 ha lahan terbuka memiliki pH tanah antara 2
sampai 3, 4,5 ha antara 3 sampai 4 dan 9 Ha memiliki pH antara 4 sampai 5.
19

Gambar 9. Peta sebaran titik survei pengambilan sampel tanah di area penelitian
PT. Jorong Barutama Greston
Pemetaan sebaran pH tanah ini dapat menunjukan bahwa masih banyak
lahan yang memiliki pH dibawah 4. Lahan ini merupakan tanah yang mengandung
PAF dalam kondisi terpapar udara secara langsung. Ketika hujan datang, Fe yang
terdapat pada batuan akan membentuk pirit dan terbawa aliran permukaan masuk
ke dalam void. Hal ini menyebabkan air void akan kembali asam walaupun sudah
dilakukan pemberian kapur ke dalam void. Oleh sebab itu lahan – lahan di area
terbuka haruslah segera ditanami dan ditambahkan bahan organik dan top soil guna
meningkatkan keberhasilan revegetasi dan mengurangi sumber air asam tambang
yang terbentuk. Lahan yang memiliki pH yang sangat asam dapat diberikan kapur
dan ditanam jenis tanaman yang tahan asam. Perbedaan sebaran pH tanah dapat
menjadi rekomendasi untuk menentukan kebutuhan pupuk dan kompos dalam
proses revegetasi.

Gambar 10. Peta sebaran pH tanah di area penelitian PT. Jorong Barutama Greston
20

Hasil analisis ini diuji akurasi menggunakan overall accuracy dan indeks
Kappa (Tabel 6). Berdasarkan perhitungan dihasilkan overall accuracy 73 %
dengan indeks Kappa 52% dimana menjelaskan bahwa hasil analisis sudah
memiliki tingkat akurasi tinggi dengan tingkat kepercayaan diatas 52%.
Tabel 6. Overall accuracy dan indeks Kappa hasil analisis keasaman lahan area
penelitian di PT. Jorong Barutama Greston
Referensi
pH
2-3 3-4 4-5 TOTAL
1 0 1 2
Hasil

2-3
Klasifikasi

3-4 2 2 0 4
4-5 0 1 8 9
TOTAL 3 3 9 15
Overall Accuracy = 0,73
Kappa Coefficient = 0,52

Pemanfaatan foto udara UAV pada penelitian ini memberikan beberapa


fakta dan manfaat dalam identifikasi sumber lahan penyumbang asam yaitu:
- Foto udara UAV dapat digunakan untuk identifikasi tutupan lahan dan
sumber lahan penyumbang asam
- Dalam mengoperasikan pesawat nirawak UAV dapat dilakukan secara
otomatis sehingga tidak membutuhkan pilot yang profesional
- Perekaman kawasan seluas 45 ha dapat dilakukan hanya dalam waktu 20
menit (tergantung jenis UAV)
- Proses mozaik poto udara dapat dilakukan dengan mudah menggunakan
web online gratis misalnya www.dronedeploy.com
- Perbedaan warna tanah pada foto udara menunjukan perbedaan pH tanah di
lapangan
Setelah mengetahui lahan penyumbang asam pada air di void, sebaran pH
tanah disekitarnya, dan mengetahui karakteristik area penelitian, data ini
selanjutnya digunakan untuk mengembangkan metode mitigasi air asam tambang,
pemilihan vegetasi untuk revegetasi, dan prioritas perbaikan kondisi air yang keluar
menuju sungai dari lokasi penelitian dengan menggunakan hutan rawa buatan.

Mitigasi Air Asam Tambang Melalui Hutan Rawa Buatan


a. Pengelolaan lahan asam di sekitar void
Mitigasi sumber air asam tambang yang berasal dari lahan di sekitar void di
mulai dengan melakukan pengelolaan lahan asam di sekitar void. Pada saat ini
usaha pengelolaan lahan kering yang asam telah berkembang dan disesuaikan
dengan kemampuan dan kondisi setempat. Dalam meningkatkan kesuburan tanah,
ada tiga cara yang dapat dilakukan yaitu cara kimia, fisik-mekanik dan biologi.
Setiap teknik memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga dalam praktek ketiga
cara tersebut seringkali diterapkan secara bersama-sama.
Pemberian kapur dan pupuk kimia merupakan cara meningkatkan
kesuburan tanah secara kimia yang menjadi solusi yang cepat dan nyata dalam
mengembalikan kesuburan pada lahan asam (Alibasyah 2016). Namun metode ini
21

membutuhkan biaya yang mahal. Sehingga penggunaan bahan organik dan kompos
sangat direkomendasikan untuk perbaikan kualitas lahan dan peningkatan
keberhasilan revegetasi dengan biaya lebih murah.
Bahan organik dapat menurunkan unsur Al terlarut dan meningkatkan pH
dan menjadi sumber hara esensial bagi pertumbuhan tanaman. Penambahan bahan
organik juga dapat memperbaiki struktur tanah, meningkatkan kapasitas tukar
kation tanah dan menjadi bahan makanan bagi mikroba dan mikro fauna tanah
dalam menambah kesuburan tanah (Muzaiyanah dan Subandi 2016). Pemberian
bahan organik disarankan sebanyak 3 – 5 kg per lubang tanam. Juniarto (2017)
menjelaskan bahwa penggunaan kompos 5 kg memberikan pengaruh yang terbaik
dalam peningkatan diameter, tinggi dan jumlah daun tanaman Jabon di lahan pasca
tambang. Efisiensi pengadaan bahan organik dapat dilakukan dengan mencari
sumber pupuk organik yang mudah didapatkan di sekitar area pasca tambang atau
dari tanaman legume dan cover crop yang digunakan untuk mengurangi erosi,
kekeringan, tumbuhnya gulma alang-alang dan mengurangi aliran asam ke void.
Penanaman cover crop dan tanaman cepat tumbuh serta pemilihan spesies
tanaman lokal yang berperakaran dalam yang toleran terhadap Al yang tinggi dan
pH yang rendah perlu dipertimbangkan untuk menunjang keberhasilan revegetasi
area reklamasi di lahan pasca tambang (Peraturan Pemerintah No. 78/2010,
Peraturan Mentri ESDM No. 7/2014). Pemilihan jenis lokal disesuaikan dengan
fungsi kawasan dan rencana pasca tambang. Area penelitian yang merupakan
kawasan hutan harus dihutankan kembali dengan menanam jenis yang tahan
terhadap tanah asam. Beberapa jenis tanaman dapat tumbuh pada lahan asam yaitu
Sungkai (Perunema inerme), Sengon putih (Paraserienthes falcataria), Mahoni
(Swietenia mahagoni), Jabon (Anthocephalus cadamba), Meranti (Dipterocorpus
Spesi), Galam (Melaleuca leucadendra), Kayu Putih (Melaleuca cajuputi), pinus
(Pinus mercusii), Gempol (Nuclea orientalis) dan Beringin (Ficus benjamina).
Untuk cover crop dan penghasil bahan organik direkomendasikan sereh wangi,
Mucuna chochinensis, Calliandra, Gliricidia dan Peltophorum. Jenis lain yang
direkomendasikan untuk lahan bukan kawasan hutan dapat dilihat pada Lampiran
2 (Hairiah et al. 2003).
Berdasarkan pada uraian diatas maka usaha pengelolaan tanah masam yang
terintegrasi merupakan strategi pengelolaan yang lebih menjanjikan untuk
mencapai produktivitas lahan yang berkelanjutan. Peningkatan kesuburan tanah
dengan pemberian bahan organik dan penambahan kapur, akan meningkatkan
pertumbuhan mikroba dan mikro fauna tanah dalam memperbaiki struktur tanah.
Pemilihan jenis vegetasi dan cover crop yang tahan asam dan memiliki nilai
ekonomi seperti getah, minyak dan buah juga berfungsi sebagai pemasok bahan
organik dan penyumbang unsur hara. Penataan lahan dengan membuat teras,
conturing, menjaga lahan terhindar dari erosi. Sehingga kondisi ini pada akhirnya
akan menjadi inisiasi terbentuknya siklus hara tertutup di hutan.

b. Pengelolaan air asam dengan hutan rawa buatan


Mitigasi air asam tambang pada void awalnya dilakukan secara active
treatment melalui teknik in pit treatment yaitu dengan memberikan kapur langsung
ke dalam void. Teknik seperti ini memerlukan biaya yang sangat besar. Sehingga
perlu teknik lain yang lebih murah, alami dan bersifat berkelanjutan agar saat
22

perusahaan meninggalkan lokasi tambang nantinya, pengaruh air asam tambang


telah berkurang atau bahkan tidak ada lagi.
Pemanfaatan lahan basah sebagai salah satu metode passive treatment
dalam mitigasi berbagai cemaran akibat aktivitas industri, pertambangan dan
domestik sudah lama dikembangkan dan menjadi pilihan utama (Norton 1992;
Mays dan Edwards 2001; Sasaki et al. 2003; Sheoran dan Sheoran 2006; Dhir 2013;
Tuheteru 2015; Denholm 2016). Lahan basah terbukti dapat meningkatkan pH dan
menurunkan kadar logam terlarut (Dhir 2013; Tuheteru 2015; Denholm 2016).
Penelitian de Klerk et al. (2015) yang dilaporkan dalam laporan tahun 2016 pada
Komisi Penelitian Air (Water Research Commission) Afrika Selatan menunjukan
bahwa di lahan basah Zaalklapspruit pH dan alkalinitas meningkat ke kisaran air
tawar alami dan logam berat dapat diendapkan dari kolom air pada tahun pertama
penelitian. Konsentrasi sulfat menurun sebesar 65% dan total padatan terlarut
menurun sebesar 50% dibandingkan dengan tingkat prerehabilitasi. Di De Sale,
Pensilvania, Amerika, penerapan lahan basah bisa meningkatkan pH dari 3.1
menjadi 6.9, dan menurunkan kandungan Fe, Mn dan Al hingga dibawah 1 mg/l
(Denholm 2016).
Hutan rawa merupakan hutan yang tumbuh dan berkembang pada kawasan
atau wilayah yang selalu tergenang air tawar. Hutan rawa buatan adalah suatu
sistem yang dibangun dan dirancang menyerupai hutan rawa alami yang dibangun
untuk keperluan pengolahan air yang tercemar. Proses pengolahan air yang
tercemar di hutan rawa merupakan proses yang alami yang melibatkan tumbuhan
air, sedimen, dan mikroorganisme dengan bantuan sumber energi dari matahari
(Vymazal 2008). Tumbuhan, bahan organik, dan bakteri yang menempel pada
substrat sedimen berperan secara fisik, fisika kimia dan biokimia dalam penguraian
zat pencemar dan peningkatan pH (Novotny dan Olem 1994). Sistem hutan rawa
buatan yang menggunakan komposisi bahan organik merupakan sistem anaerobik
yang akan menstimulasi pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat dan meningkatkan
pH serta mengendapkan logam dalam bentuk sulfida. Keberadaan tumbuhan juga
mendukung pertumbuhan mikroba dan dapat menyerap senyawa logam berat
(Henny 2009).
Beberapa faktor penentu keberhasilan hutan rawa buatan sebagai lahan
basah dalam mitigasi AAT adalah penentuan lokasi yang tepat, pemilihan jenis
tanaman yang sesuai, desain dan konstruksi lahan basah serta pemeliharaan (Kivaisi
2001; Dhir 2013; Denholm 2016).

a. Penentuan lokasi yang sesuai untuk hutan rawa buatan


Penerapan teknik hutan rawa buatan untuk penerapan fitoremediasi AAT
tentunya memerlukan perencanaan yang matang. Pemilihan lokasi yang sesuai
sangat penting dan menentukan langkah awal dalam pembangunan hutan rawa
buatan. Untuk itu perlu dilakukan kajian analisis kesesuaian lahan untuk hutan rawa
buatan sebagai penerapan fitoremediasi AAT pada kawasan penelitian agar metode
ini dapat diterapkan pada kawasan yang lain.
Kebutuhan data untuk analisa lokasi hutan rawa adalah penutupan lahan,
asessibilitas (letak kolam penataan/monitoring, letak saluran/kanal), dan kondisi
fisik wilayah meliputi kemiringan lahan, elevasi dan area catchment. Pemilihan
lokasi dilakukan dengan menggabungkan kriteria tersebut dengan metode overlay
data spasial. Sistem Informasi Geografis (SIG) digunakan untuk menganalisa lokasi
23

yang sesuai untuk melakukan analisis multi kriteria. Diagram alur proses
(flowchart) untuk menggambarkan tahapan input-proses-output penentuan lokasi
hutan rawa buatan dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Diagram alir (flowchart) tahapan input-proses-output penentuan


lokasi hutan rawa buatan
Penilaian oleh para ahli (Expert judgement) digunakan sebagai metode
untuk menentukan bobot dari setiap variable yang telah dipilih. Empat orang ahli
dari PT. JBG memberikan pendapat untuk menentukan variabel yang memiliki
pengaruh terbesar dalam penentuan lokasi hutan rawa buatan. Berdasarkan
pendapat para ahli tersebut, persamaan penentuan lokasi untuk lokasi hutan rawa
buatan dianalisa menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP)
sehingga menghasilkan persamaan sebagai berikut:

X = 0,2T + 0,2S + 0,1L + 0,15C + 0,3K + 0,05P ……. (1)

dimana:
X = Kesesuaian lokasi untuk hutan rawa buatan
T = Perbedaan elevasi antara void dan kolam penaatan (mdpl)
S = Kemiringan lahan (%)
L = Penutupan lahan
C = Lokasi catchment
K = Jarak dari saluran/kanal
P = Jarak dari kolam pemantauan

Ilustrasi detil dari proses overlay data spasial dari persamaan 1 diatas dapat
dilihat pada Tabel 7. Data diolah menggunakan proses Weighted Arithmetic
Overlay menggunakan perangkat lunak ArcGIS. Berdasarkan nilai akhir X,
kesesuaian lokasi dibagi atas empat lokasi yaitu:
- Lokasi yang sangat sesuai (SS) memiliki nilai 5
- Lokasi yang sesuai (S) memiliki nilai 4
- Lokasi yang tidak sesuai (TS) memiliki nilai 3
- Lokasi yang sangat tidak sesuai (STS) memiliki nilai 2
24

Tabel 7. Ilustrasi overlay data spasial dalam penentuan lokasi yang sesuai untuk
hutan rawa buatan

Berdasarkan hasil analisa diatas dihasilkan lokasi yang sesuai untuk hutan
rawa buatan adalah seperti Gambar 12.
25

Gambar 12. Peta kesesuaian lahan untuk lokasi hutan rawa buatan area penelitian
di PT. Jorong Barutama Greston

b. Pemilihan Jenis Tanaman


Pemilihan jenis tanaman dilakukan berdasarkan tingkat toleransi terhadap
pH yang rendah, tahan terhadap genangan dan toksisitas terhadap logam berat.
Pemanfaatan tanaman yang dapat tumbuh dan berkembang pada air asam yang
tergenang (lahan basah) menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan
fitoremediasi. Menurut Kivaisi (2001), salah satu kelemahan lahan basah AAT
adalah pengetahuan pengelola tentang ekologi lahan basah di tropika dan jenis asli
masih terbatas. Selama ini, tumbuhan yang digunakan di lahan basah umumnya
didominasi oleh bangsa rerumputan (monokotil) dan jenis herba lainnya seperti
Eriphorum angustiolium, Eleocharis sp., Juncus inflexus, Phragmites australis,
Salvinia sp. dan Typha latifolia dan lainnya. Beberapa jenis tanaman lain yang dapat
dimanfaatkan untuk fitoremediasi AAT dapat dilihat pada Lampiran 3.
Pemanfaatan vegetasi in situ sangat dianjurkan dalam pemilihan tanamanuntuk
hutan rawa buatan yang akan dibangun. Jenis rumput dan tanaman air lokal yang
tahan asam yang banyak ditemui di sekitar lokasi penelitian yaitu Typha latifolia.
Sementara jenis tanaman kehutanan lokal penghasil kayu yang direkomendasikan
adalah Melaleuca leucadendra, Melaleuca cajuputi, Nauclea subdita dan Nauclea
orientalis L. Kayu putih (Melaleuca cajuputi) dapat tumbuh baik dan berkembang
dalam kondisi tergenang dan keasaman tinggi (Mansur 2013), Gelam (Melaleuca
leucadendra) dan Bangkal (Nauclea subdita) merupakan tanaman asli rawa yang
hidup di hutan rawa Kalimantan Selatan. Gempol (Nauclea orientalis), selain
merupakan tanaman dari habitat rawa di wilayah Indonesia, Gempol memiliki
adaptasi yang tinggi di lahan tergenang asam dan juga mampu menyerap logam
berat (Tuheteru 2015).
26

c. Desain dan konstruksi hutan rawa buatan


Desain hutan rawa
Kajian tentang desain dan konstruksi lahan basah atau pun hutan rawa
buatan di luar negri sudah banyak dilakukan. Namun atribut penentu yang
merupakan variabel yang paling penting untuk peningkatan kualitas air masih
banyak dikaji. Pembuatan hutan rawa buatan diharapkan menyerupai hutan rawa
alami sehingga bagian tepi kolam dibuat agak landai. Kelerengan yang kurang dari
5%, memilih daerah aliran sungai kecil yang mengalir ke hutan rawa buatan,
menghindari penggunaan struktur pipa, dan menanam tanaman spesies lokal dapat
meminimalisasi perawatan (WSP 2009). Beberapa metode digabungkan dalam
mendesain lahan basah seperti pemaparan diatas batu gamping, penggunaan aliran
vertikal pada kolam yang dilapisi bahan organik dan batu gamping (vertical flow
pond) dan penggunaan tanaman lokal sebagai pereduksi logam berat (Danehy 2002;
Nairm 2016; Denholm 2016). Kunci dari metode ini adalah pola aliran yang
menyebar, kedalaman permukaan air yang dangkal dan pertumbuhan tanaman local
yang kuat menjadi atribut kunci yang mendorong fungsi peningkatan kualitas air
yang diinginkan.
Berdasarkan faktor kunci tersebut maka dirancanglah desain hutan rawa
buatan dengan memperhatikan beberapa hal berikut (WSP 2009):
- Lokasi dipilih merupakan lokasi yang paling sesuai. Hal ini harus
memperhatikan logistik (misalnya aksesibilitas ke area hutan rawa untuk
pemeliharaan), sesuai dengan tujuan kegiatan, pendanaan dan dukungan
setempat.
- Daerah yang dipilih merupakan area terendah dan memiliki ketersediaan
lahan yang cukup luas (diameter 25m atau lebih besar) dan lebih tinggi dari
sungai sehingga terhindar dari dampak negatif banjir setempat
- Desain bangunan disesuaikan dengan bentuk lokasi yang tersedia
- Desain hutan rawa dibangun menyerupai hutan rawa alami
- Hindari pembuatan bagian tepi hutan rawa yang curam
- Memperhitungkan kapasitas tampung sehingga terhindar dari banjir
musiman
- Mengintegrasikan daerah penyangga ke dalam desain sehingga
menyediakan konektivitas dengan habitat di sekelilingnya
- Menggunakan spesies tanaman local
Hutan rawa buatan dirancang seperti kolam yang saling menyambung yang
terdiri dari kolam pengendapan (sediment pond), empat kolam yang ditanami
rumput tifa dan tanaman hutan rawa dan dibatasi oleh tanggul (Gambar 13). Untuk
menyesuaikan fungsi hutan rawa buatan sebagai pengatur kualitas air maka lokasi
pembangunan hutan rawa harus berada antara void dan kolam penaatan. Air
limpasan yang terpengaruh AAT keluar dari void dialirkan melalui kanal menuju
kolam sediment pond (lihat Gambar 13 lokasi 1). Pada lokasi 1 terdapat dua pintu
air yang mengatur debit air yang keluar dari kolam sediment pond. Pada saat debit
air yang masuk sesuai kapasitas tampung maka air akan dialirkan ke lokasi 2, jika
debit air melebihi kapasitas tamping maka pintu air satu lagi bekerja mengatur dan
membuang limpasan air langsung ke saluran utama yang menyatu dengan outlet
kolam hutan rawa. Air yang kemudian masuk ke kolam hutan rawa buatan yang
terdiri atas empat kompartemen yang telah diisi bahan substrat dasar berupa tandan
kosong sawit dan kompos serta ditanami rumput Tifa dan Gempol. Pada
27

kompartemen ini proses kenaikan pH dan penyerapan logam berat terjadi secara
anaerob. Air yang telah meningkat kualitasnya dialirkan melalui Pos Pengamatan
(lokasi 3) dan seterusnya masuk ke Kolam Penaatan sebelum di lepas ke perairan
bebas (lokasi 4). Desain penampang melintang hutan rawa dapat dilihat pada
Gambar 14.
Keberadaan hutan rawa yang diharuskan berada antara antara void dan
kolam penaatan sebagai bentuk mitigasi dan jaminan kualitas air yang dihasilkan
hutan rawa masih dapat terkonrol dan berada dibawah baku mutu lingkungan. Hal
ini untuk menghindari jika suatu saat terdapat jumlah air yang masuk ke hutan rawa
melebihi batas maksimum yang mengakibatkan fungsi hutan rawa tidak maksimal,
maka perlakuan active treatment di kolam penaatan masih dapat difungsikan.
Dengan hal ini perusahaan akan selalu bisa menjamin kualitas air yang keluar ke
perairan bebas tetap terjaga.

Gambar 13. Desain hutan rawa buatan area penelitian di PT. Jorong Barutama
Greston

Gambar 14. Penampang melintang hutan rawa buatan


28

Konstruksi hutan rawa


Hutan rawa buatan terdiri dari kolam pengendap lumpur, kolam
kompartemen I, II, III dan IV sebagai hutan rawa. Pembangunan kolam dirancang
untuk fungsi yang berbeda. Pada tahap perencanaan dilakukan pengambilan foto
udara di lokasi yang telah ditetapkan dan dirancang bentuk desain hutan rawa
buatan sesuai kondisi lokasi (Gambar 15a). Penataan lahan dan pembuatan kolam
kompartemen dan tanggul dilakukan menggunakan excavator (Gambar 15b).
Setelah bangunan kolam selesai dibangun, kolam kompartemen untuk hutan rawa
diisi dengan material bahan organik tandan kosong sawit dan kompos (Gambar 15c).
Kemudian di semua kompartemen hutan rawa buatan ditanami dengan rumput Tifa
dan Gempol (Gambar 15d). Setelah proses penanaman selesai, air dari void
dialirkan melalui kanal dan masuk ke kolam pengendapan dan dialirkan ke
kompartemen hutan rawa buatan (Gambar 15e). Setelah terisi air kolam
kompartemen hutan rawa buatan diinkubasi selama 10 hari (Gambar 15f). Selama
proses inkubasi, hutan rawa buatan akan tereduksi. Pada kondisi tereduksi pH air
genangan akan stabil pada nilai 6 sampai 7.

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)
Gambar 15. Proses pembangunan hutan rawa buatan (a) Perencanaan area hutan rawa buatan di
lokasi terpilih, (b) Pembangunan konstruksi kompartemen, (c) Pemberian bahan
organik berupa tandan kosong sawit dan kompos sebagai substrat dasar kompartemen,
(d) Penanaman rumput tifa dan gempol, (e) Hutan rawa buatan yang telah selesai
dibangun, (f) Inkubasi anaerob setelah ditanam dan digenangi air
29

Untuk lebih jelas akan dibahas fungsi dan rancangan konstruksi hutan rawa
buatan secara detil sebagai berikut :
Kolam sedimen (pengendap lumpur)
Aliran air yang keluar dari void akan mengalir di sepanjang saluran kanal.
Dinding kanal yang terbuat dari tanah berpotensi membawa partikel sedimen tanah
sehingga harus ditampung di kolam pengendap lumpur. Kolam pengendap lumpur
ini berfungsi sebagai tempat mengendapkan lumpur, atau material padatan yang
bercampur dari limpasan yang disebabkan adanya aktifitas penambangan maupun
karena erosi. Disamping tempat pengendapan sedimen, kolam ini menjadi bak
kontrol bagi perusahaan untuk pemeliharaan hutan rawa. Pada bagian ini juga
berfungsi untuk penyerapan dan proses oksidasi Fe. Kolam ini dirancang seperti
kolam biasa dengan dinding dan dasar dari tanah.
Kolam kompartemen I, II, III dan IV
Kolam kompartemen I memiliki ukuran 15m x 55m. Air dari kolam
pengendap lumpur akan dialirkan melalui kanal terbuka ke kolam kompartemen I.
Kolam kompartemen I dirancang berfungsi untuk mengaktifkan bakteri pereduksi
sulfat dengan mendesain dasar kolam dilapisi 30cm bahan organik yang terbuat dari
tandan kosong dan ditutupi oleh kompos setinggi 20 cm. Bahan organik yang ada
berfungsi untuk menaikan pH air, menjadi tempat hidup bakteri pereduksi sulfat
dan juga berfungsi sebagai media tumbuh bagi Typha sp dan Gempol (Nauclea
orientalis L.) yang ditanam diatas lapisan tanah ini. Jenis tumbuhan ini memiliki
potensi sebagai penyerap jenis logam berat seperti Al dan As (Bonanno dan Cirelli
2017). Tanaman tifa ditanam dengan jarak 0,5m x 0,5m atau lebih rapat. Ketinggian
air pada kolam ini dan kolam seterusnya diusahakan setinggi 20-30 cm.
Kolam II, III dan IV memiliki luas yang sama dengan kolam kompartemen
I. Setelah melewati kolam kompartemen I, air dialirkan ke kolam kompartemen II
yang ditanami typha sp, gempol (Nauclea orientalis L.). Bagian dasar kolam
kompartemen II disusun seperti kolam kompartemen satu yang terdiri dari tandan
kosong dan kompos. Penanaman gempol bermanfaat untuk menyerap dan
mengakumulasi Fe, Mn, Cu, Zn dan Pb (Tuheteru 2015). Tanaman Tifa dapat
ditanam dengan jarak tanam 0,5m x 0,5m atau lebih rapat, sedangkan Gempol
ditanam dengan jarak 1m x 1m. rincian jumlah tanaman yang ditanam dapat dilihat
pada Tabel 8.

Tabel 8. Rekapitulasi jumlah bibit yang digunakan hutan rawa buatan area
penelitian di PT. Jorong Barutama Greston
Jenis Tanaman Luas Tanam/ Populasi Total Bibit di 4
Kompartemen kompartemen
Typha sp. 825 500 batang 2000 batang
Nauclea orientalis 825 300 batang 1200 batang

Berdasarkan hasil pengukuran diperoleh hasil pengamatan pH air pada


setiap kompartemen hutan rawa buatan seperti Gambar 16.
30

Gambar 16. Hasil pemantauan pH air setiap kompartemen area penelitian di PT.
Jorong Barutama Greston
31

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Identifikasi dan mitigasi air asam tambang melalui hutan rawa buatan di
lahan pasca tambang dapat memberikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Wilayah pengelolaan AAT pada lahan pasca tambang ditentukan dari
batasan catchment area.
2. Foto udara nirawak (UAV) dapat digunakan untuk analisa sumber asam
tambang
3. Penutupan lahan terkini pada wilayah penelitian adalah 14,7 ha lahan
terbuka, 10,1 ha tubuh air dan 18,7 ha area bervegetasi.
4. Sumber air asam tambang pada void berasal dari lahan terbuka sekitar void
yang memiliki pH antara 2 sampai 3 seluas 1,2 ha, pH 3 sampai 4 seluas 4,5
ha dan pH 4 sampai 5 seluas 9 ha.
5. Mitigasi AAT melalui hutan rawa buatan di lahan pasca tambang dapat
dilakukan dengan:
- Menanam jenis tanaman yang tahan di air asam dan hyperaccumulator
seperti rumput Tifa (Typha latifolia) dan Gempol (Nauclea orientalis
L).
- Menentukan lokasi yang sesuai untuk hutan rawa dengan
memperhatikan elevasi (T), kemiringan lahan (S), penutupan lahan (L),
cathment area (C), jarak dari saluran/kanal (K) dan jarak dari kolam
monitoring (P) dengan persamaan model X = 0,2T + 0,2S + 0,1L +
0,15C + 0,3K + 0,05P.
- Merancang desain hutan rawa buatan secara parallel yang terdiri dari
kolam sedimen, kolam yang berisi bahan organik tandan kosong sawit,
kompos dan tanaman yang dialiri air sedalam 30 cm.

Saran

Perhitungan debit yang masuk ke dalam hutan rawa buatan harus dilakukan
untuk memperkirakan volume air yang dapat ditampung di hutan rawa. Pemilihan
vegetasi untuk pengolahan AAT pada hutan rawa buatan yang dapat meningkatkan
pH air, mengurangi kandungan logam berat dan merupakan spesies lokal sangat
disarankan untuk diterapkan di tempat lain. Belum banyak yang diketahui tentang
potensi jangka panjang hutan rawa buatan untuk memberikan manfaat peningkatan
kualitas air akibat AAT sehingga perlu dilakukan pemantauan jangka panjang untuk
melihat kemampuan hutan rawa buatan dalam mengatasi dampak kualitas air yang
terkait dengan AAT dalam jangka waktu yang lebih lama.
32

DAFTAR PUSTAKA

Alibasyah, R. 2016. Perubahan Beberapa Sifat Fisika dan Kimia Ultisol Akibat
Pemberian Pupuk Kompos dan Kapur Dolomit pada Lahan Berteras. Jurnal
Floratek 11 (1): 75-87.
Australian Government. 2007. Managing Acid and Metalliferous Drainage.
Leading Practice Sustainable Development Program for the Mining Industry.
Canberra (AU). Commonwealth of Australia.
Blahwar B. 2010. Identification Of The Extent Of Artisanal Coal Mining And
Related Acid Mine Water Hazards Using Remote Sensing And Field
Sampling: A Case Study In Jaintia Hills Of North-Eastern India [Disertasi].
Enschede (NL): ITC. 2010.
Blahwar B, Srivastavb S.K., Smeth J.B. 2012. Use of high-resolution satellite
imagery for investigating acid mine drainage from artisanal coal mining in
North-Eastern India. India (IN): Geocarto International, 27: 231–247.
Bonanno G, Cirelli GL. 2017. Comparative analysis of element concentrations and
translocation in three wetland congener plants: Typha domingensis, Typha
latifolia and Typha angustifolia. The Journal of Ecotoxicology and
Environmental Safety. 143 (2017): 92 – 101.
Chunkao K, Nimpee C, Duangmal K. 2012. The King’s initiatives using water
hyacinth to remove heavy metals and plant nutrients from wastewater through
Bueng Makkasan in Bangkok Thailand. Ecological Engineering. 39 (2012):
40 – 52.
Cynthia, H, Guruh S.A, Evi S. 2010. Pengolahan Air Asam Tambang Menggunakan
Sistem “Passive Treatment”. Dalam: Prosiding Seminar Nasional Limnologi
V tahun 2010. Bogor 1 Desember 2010.
Davis, R. A. Jr., Welty, A. T., Borrego, J., Morales, J. A., Pendon, J. G., Ryan, J.
G. 2000. "Rio Tinto estuary (Spain): 5000 years of pollution". Environmental
Geology. 39 (10): 1107–1116.
DJI. 2016. Panduan Penggunaan PHANTOM 4 PRO/PRO+. [Internet]. [Diunduh
5 Januari 2018]. Tersedia pada: http://jogjasky.com/download/buku-
panduan-phantom-4-propro-v-1-0/?wpdmdl=27047.
Dhir B. 2013. Phytoremediation: Role of Aquatic Plants in Environmental CleanUp.
New Delhi (IN) : Springer.
Denholm C.P, T. P. Danehy, M. H. Dunn, S. L. Busler, C. A. Neely, R. M. Mahony,
D. A. Guy. 2016. Long-Term Effectiveness of Three Passive Systems
Treating Acidic, High-Metal, Abandoned Coal Mine Discharges Near De
Sale, Pennsylvania. Makalah. Dalam: 33rd Annual Meeting of the ASMR,
June 4-9, 2016, Spokane, Washington.
Düzgün H.S, Demirel N. 2011. Remote Sensing of the Mine Environment. New
York (US): CRC Press.
[ESDM] Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara 2013. Kumpulan Pedoman
Teknis Lingkungan Pertambangan. Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral. Jakarta (ID). Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara.
Gautam M, Agrawal M. 2017. Phytoremediation of metals using vetiver
(Chrysopogon zizanioides (L.) Roberty) grown under different levels of red
33

mud in sludge amended soil. Journal of Geochemical Exploration.


doi:10.1016/j.gexplo.2017.03.003.
Gautama, R.S. 2012. Pengelolaan Air Asam Tambang. [Presentasi]. Dalam: Forum
Pengelola Lingkungan Pertambangan Mineral & Batubara. Bimbingan
Teknis Reklamasi dan Pasca Tambang 20 Juni 2012.
Gautama, R.S. 2017. Mine water management in surface mining. [Makalah].
Dalam: Workshop on Mine Reclamation and Mine Water Management:
Transformation of degraded land into Productive Landscape. Bogor, 21 - 23
November 2017.
Hairiah, K., M. A. Sardjono, S. Sabarnurdin. 2003. Pemecahan Masalah: Upaya
Menuju Pertanian Berkelanjutan [Internet]. [Diunduh 5 Oktober 2017].
Tersedia pada: http://www.worldagroforestry.org/SEA/Publications/Files/
book/BK0028-04/BK0028-04-3.pdf.
Henny C. 2009. Teknologi Perbaikan Kualitas Air Kolong Asam/AMD. Bogor (ID).
Pusat Penelitian Limnologi LIPI.
Iskandar. 2008. Rekayasa Perbaikan Kualitas Tanah pada Kegiatan Reklamasi
lahan Bekas Tambang. Di dalam: Prosiding Seminar dan Workshop
Reklamasi dan Pengelolaan Kawasan Pasca Penutupan Tambang. Pusdi
Reklatam, Bogor. 22 Mei 2008.
Iskandar, Sujatmiko, Gautama R.S. 2011. Acid Mine Drainage Management in
Indonesian Mines. Makalah. 7th Australian Workshop on AMD. Darwin,
June 21-24, 2011.
Kementrian Lingkungan Hidup. 2008. Pedoman Teknis Pengelolaan Air Limbah
Tambang Batubara Terbuka. Jakarta (ID). Tim Penyusun Buku KLH.
[KLHRI] Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2003. Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup No 113 Tahun 2003 tentang Baku Mutu
Air Limbah Bagi Usaha Dan Atau Kegiatan Penambangan Batu Bara. Jakarta
(ID): Jakarta. Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia
Liliesand T.M, Kiefer R.W. 2000. Pengantar Penginderaan Jauh. Yogya (ID).
Gajah Mada University Press.
Mansur I. 2013. Teknik Silvikultur Untuk Reklamasi Lahan Bekas Tambang. Bogor
(ID). SEAMEO BIOTROP.
Mays PA, Edwards GS. 2001. Comparison of Heavy metal accumulation in natural
wetland and constructed wetlands receiving acid mine drainage. Ecol Eng.
16:487-500.
Miller, J.R. 1997. The Role Of Fluvial Geomorphic Processes In The Dispersal Of
Heavymetals From Mine Sites. Indianapolis (US): Journal of Geochemical
Exploration 58 (1997) 101 – 118.
Muzaiyanah, S dan Subandi. 2016. Peranan Bahan Organik dalam Peningkatan
Produksi Kedelai dan Ubi Kayu pada Lahan Kering Masam. Jurnal Iptek
Tanaman Pangan Vol. 11 No. 2, 2016: 149 -158.
Nairm 2016; Comprehensive Watershed Restoration via Ecological Engineering:
The Role of Passive Treatment. Makalah. Dalam: 33rd Annual Meeting of
the ASMR, June 4-9, 2016, Spokane, Washington.
Norton PJ. 1992. The Control of Acid Mine Drainage with Wetlands. Mine Water
Environ. 11(3):27-34.
34

Norbert S, Ali C.A, Mohamed K.R, Sharir K. 2016. Gabungan Nisbah Jalur Terbaik
untuk Diskriminasi Litologi di Pulau Dayang Bunting dan Pulau Tuba,
Langkawi, Malaysia. (MY): Sains Malaysiana 45(5)(2016): 659–667.
Novotny V, Olem H. 1994. Water Quality, Prevention, Identification, and
Management of Diffuse Pollution. New York (USA). Van Nostrand-Reinhold
Publishers.
Nurjanah, A.S. 2014. Potensi Simpanan Karbon Pada Tegakan Revegetasi Lahan
Pasca Tambang PT Jorong Barutama Greston, Kalimantan Selatan [Skripsi].
Bogor (ID): Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, IPB.
Rafsanjani, A. 2015. Pengaruh Bahan Organik Terhadap Eh dan pH, serta
Korelasinya terhadap P Tersedia pada Tanah yang Digenangi [Skripsi]. Bogor
(ID): Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian,
IPB.
Riaza A, Buzzi J, Meléndez E.G., Carrère V, Müller A.2011. Monitoring the Extent
of Contamination from Acid Mine Drainage in the Iberian Pyrite Belt (SW
Spain) Using Hyperspectral Imagery. Remote Sensing, 3, 2166-2186.
Sabins, F.F. 1999. Remote Sensing for Mineral Exploration. Ore.Geology Reviews
14: 157-183.
Sandrawati, A. 2012. Pengelolaan Air Asam Tambang Melalui Rawa Buatan
Berbasis Bahan In Situ di Pertambangan Batu Bara. Studi Kasus di Site
Pertambangan Sambarata, PT. Berau Coal, Kabupaten Berau, Provinsi
Kalimantan Timur) [Thesis]. Bogor (ID): Program Studi Agroteknologi,
Fakultas Pertanian, IPB.
Santoso, A.D, Setiawan A. 2009. Mengapa pH Kolam Bekas Tambang Relatif
Stabil (Studi kasus pada Kolam Surya dan Sangatta North di Areal PT. KPC
Sangatta Kalimantar Timur). Jurnal Hidrosfir Indonesia. 4(1):9-15.
Sasaki K, Ogino T, Endo Y, Kurosawa K. 2003. Field study on heavy metal
acumulation in natural wetland receiving acid mine drainage. Mater Trans.
44(9):1877-1884.
Scheneider IAH, Rubio J, Misra M, Smith RW. 1995. Eichhornia Crassipes As
Biosorbent For Heavy Metal Ions. Journal of Minerals Engineering. 8 (9):
979 – 988.
Sengupta, M. 1993.Environmental Impacts Of Mining, Monitoring, Restoration,
And Control. New York (USA): Lewis Publishers.
Sheoran AS, Sheoran V. 2006. Heavy metal removal mechanism of acid mine
drainage in wetlands: A critical review. Miner Eng. 19:105-116.
Sippo M. 2013. Experiences in UAS Photogrammetry. GIM International [Internet].
[Diunduh 5 Januari 2018]. Tersedia pada: https://www.gim-
international.com/content/article/experiences-in-uas-photogrammetry.
Suryaningtyas, D.T. 2010. Air Asam Tambang. Modul Pelatihan Pengelola
Lingkungan Tambang. Bogor 5-9 Oktober 2010.
Tuheteru F.D. 2015. Potensi Lonkida (Nauclea Orientalis L.) Untuk Fitoremediasi
Lahan Basah Air Asam Tambang. Bogor (ID): Departemen Silvikultur,
Fakultas Kehutanan, IPB.
Vymazal J. 2008. Constructed Wetland for Waste Water Treatment: A Review. In
Sagupta M, Dalwani R (Ed). Proceeding of Taal 2007. The 12th World Lake
Conference. Jaipur (India): 29 October 2007.
35

Wetland Stewarship Partnership. 2009. Wetland Ways; Interim Guidelines for


Wetland Protection and Conservation in British Colombia. Chapter 11:
Wetland Enhancement and Restoration. Colombia (Co). Wetland Stewarship
Partnership.
Yucel D, Yucel M.A, Baba A. 2014. Change detection and visualization of acid
mine lakes using time series satellite image data in geographic information
systems (GIS): Can (Canakkale) County, NW Turkey. Turkey (TR): Environt
Earth Science. 72(11): 4311–4323.
36
37

LAMPIRAN
38
39

LAMPIRAN 1. Data hasil analisis pH tanah di Laboratorium Tanah SEAMEO


BIOTROP
40

LAMPIRAN 2. Pilihan vegetasi yang dapat ditanam pada lahan kering masam di
luar kawasan hutan dan manfaatnya
Kelompok Nama Lokal Nama Ilmiah Manfaat
Tanaman Pangan Sorgum Sorghum bicolor Biji, batang, daun
Palawija Kacang tanah Arachis hypogea Umbi
Kacang tunggak Vigna unguiculata Buah
Gude Cajanus cajan
Tanaman Keras Kopi Coffea canephora Buah
Teh Camellia sinensis Daun
Kelapa Sawit Elais guinensis Buah
Karet Hevea brassilinensis Getah
Pohon Buah Rambutan Nephelium lappaceum Buah
Nangka Artocarpus heterophylus Buah
Duren Durio Zibethinus Buah
Cempedak Artocarpus integer Buah
Duku Lansium domesticum Buah
Manggis Garcinia mangostana Buah
Jambu air Syzygium aqueum Buah
Jambu biji Psidium guajava Buah
Jambu mede Anacardium occidantale Buah
Mangga Mangifera indica Buah
Sirsak Anona muricata Buah
Pete Parkia speciosa Buah
Jengkol Pithecellobium jiringa Buah
Tanaman Sungkai Perunema inerme Kayu
penghasil kayu Pulai Alstonia spp Kayu
Bulangan Gmelina arborea Kayu
Sengon putih Paraserienthes falcataria Kayu
Kemiri sunan Reutealis trisperma Kayu
Mahoni Swietenia mahagoni Kayu
Jabon Anthocephalus cadamba Kayu
Akasia Acacia mangium Kayu
Tanaman pagar Petaian Peltophorum dasyrrachis Bahan organik
Gamal Gliricidia sepium Bahan organik
Flemingia Flemingia congesta Bahan organik
Lamtoro Leucaena leucocephala Bahan organik/Buah
Tanaman LCC Orok-orok Crotalaria juncea Bahan organik
Callopo Calopogonium mucunoides Bahan organik
Callopo Calopogonium caeruleum Bahan organik
Centro Centrosema pubescens Bahan organik
Kacang asu Pueraria phaseoloides Bahan organik
Kacang benguk Mucuna pruriens var. utilis Bahan organik
Tanaman liar Melastoma Melastoma sp. Obat
Krinyu Chromolaena odorata Obat
41

LAMPIRAN 3. Jenis tanaman yang dapat digunakan untuk fitoremediasi di hutan


rawa buatan

Kelompok Nama Lokal Nama Ilmiah


Tanaman air Tifa Typha latifolia
(rumput-rumputan dan herba) Alang-alang Carex aquatilis
Scirpus cyperinus
Igusa Juncus effusus
Akar wangi Chrysopogon zizanioides
Kiambang Salvinia sp.
Purun tikus Fimbristylis globulosa
Eceng gondok Eichhornia crassipes
Rumput katun Eriphorum angustifolium
Hairgrass Pendek Eleocharis sp.
Juncus inflexus
Phragmites australis
Bidens aristosa
Scripus validus
Purun danau Lepironia sp.
Cyperus sp.
Hypolythrum sp.
Fimbris tylis sp.
Lemna sp.
Scleria sp.
Rynchospora sp.
Tanaman keras di area genangan Longkida Nauclea orientalis L.
Galam Melaleuca leucadendra
Kayu putih Melaleuca cajuputi
Bangkal Nauclea subdita
Poplar Populus spp.
Willow Salix spp.
Black Tupelo Nysa sylvatica
Sweetgum
Amerika Liquidambar styraciflua
Sumber: Dikumpulkan dari berbagai sumber
42

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat pada tanggal 31


Mei 1978 sebagai anak bungsu dari pasangan H. Makmurni Dt. Kayo dan Yusnibar.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Siteba 2 Padang pada tahun
1990. Selanjutnya penulis mengikuti pendidikan menengah di SMP Negeri 29
Padang (lulus Tahun 1993) dan SMA Negeri 3 Padang (lulus tahun 1996). Penulis
menempuh pendidikan sarjana di Program Studi Agrometeorologi, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Institut Pertanian Bogor
melalui jalur PMDK dan lulus pada tahun 2003.
Semenjak menyelesaikan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di tahun 2000,
Penulis telah bekerja di SEAMEO BIOTROP sampai sekarang. Tahun 2008,
Penulis berkeluarga dengan E. Sandra Fitria Asih dan saat ini telah dikaruniakan
tiga orang anak; Audie Rizki Pratama Arsan, Adlan Atthaya Valentino Arsan,
Chinta Carolina Arsan. Pada Tahun 2014 penulis melanjutkan studi Magister di
Program Studi Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan pada Program Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.
Penelitian yang dilakukan Penulis dalam thesis ini merupakan bagian
kegiatan kerjasama SEAMEO BIOTROP dengan PT. Jorong Barutama Greston
dalam kegiatan Manajemen Air Tambang dan didukung juga oleh British Council
dalam kegiatan Global Innovation Initiative (GII). Penulis mendapat kesempatan
menjadi Exchange Student di Western Carolina University, North Carolina,
Amerika Serikat selama 3 bulan dalam rangka kegiatan penelitian yang
dilaksanakan. Penulis aktif dan menjabat sebagai pengurus di organisasi profesi
Masyarakat Ahli Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN) dan anggota Kelompok
Kerja Penilai Kesesuaian Bidang Informasi Geospasial.

Anda mungkin juga menyukai