Ruptur Uretra
Ruptur Uretra
BAB II
KERANGKA KONSEP
A. Konsep Medis
d. Uretra, yang mengeluarkan urin dari kandung kencing (Pearce, Evelyn C. 2009)
Uretra adalah saluran kecil yang dapat mengembang, berjalan dari kandung kemih sampai keluar
tubuh. Fungsinya menyalurkan urin dari tubuh, sebagai tempat pengeluaran urin dan sebagai
tempat pengeluaran sperma saat ejakulasi pada laki–laki. (Hidayah, Alimul. 2006)
Uretra merupakan saluran tempat pengaliran keluar urin dari kandung kemih. Uretra laki-laki
panjangnya sekitar 18 cm dan uretra wanita sekitar 3,5 cm. (Tim Widyatamma. 2010)
Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urin keluar dari buli-buli melalui proses miksi. Pada
pria organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan cairan mani. Uretra ini diperlengkapi dengan
spingter uretra interna yang terletak pada perbatasan buli-buli dan uretra, dinding terdiri atas otot
polos yang disyarafi oleh sistem otonomik dan spingter uretra eksterna yang terletak pada
perbatasan uretra anterior dan posterior, dinding terdiri atas otot bergaris yang dapat diperintah
sesuai dengan keingian seseorang. Panjang uretra dewasa ± 23-25 cm.
Striktur Uretra adalah berkurangnya diameter dan atau elastisitas uretra akibat digantinya jaringan
uretra dengan jaringan ikat yang kemudian mengerut sehingga lumen uretra mengecil (Mansjoer,
Arif. 2000).
Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra akibat adanya jaringan parut dan kontraksi (C.
Smeltzer, Suzanne. 2002).
Striktur uretra adalah penyempitan atau penyumbatan dari lumen uretra sebagai akibat dari
pembentukan jaringan fibrotik (jaringan parut pada uretra dan atau pada daerah peri uretra).
(Nursalam. 2008).
Striktur uretra adalah suatu kondisi penyempitan lumen uretra. Striktur uretra menyebabkan
gangguan dalam berkemih, mulai dari aliran berkemih yang kecil sampai tidak dapat mengeluarkan
urin keluar dari tubuh. (Muttaqin, Arif. 2012)
Dari beberapa pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa striktur uretra adalah suatu kondisi
penyempitan atau penyumbatan lumen uretra akibat dari adanya pembentukan jaringan fibrotik
(jaringan parut) sehingga dapat menyebabkan gangguan dalam berkemih. (Rahmadani, Siti. 2013).
3. Etiologi
Kongenital, uretritis gonore atau non gonore, ruptur uretra anterior atau posterior secara iatrogenik
maupun bukan. Pada wanita umumnya disebabkan radang kronis. Biasanya wanita tersebut berusia
di atas 40 tahun dengan sindrom sistitis berulang (Mansjoer, Arif. 2000).
Penyebab striktur umumnya adalah cedera uretral (akibat insersi peralatan bedah selama operasi
transuretral, kateter indwelling, atau prosedur sistoskopi), cedera akibat peregangan dan cedera
yang berhubungan dengan kecelakaan mobil, uretritis gonorheal yang tidak ditangani, dan
abnormalitas kongenital (Brunner & Suddarth. 2002).
Striktur uretra dapat disebabkan oleh setiap radang kronik atau cedera. Radang karena gonore
merupakan penyebab penting tetapi radang lain yang kebanyakan disebabkan penyakit kelamin lain.
Kebanyakan striktur terletak di pars membranasea walaupun juga terdapat di tempat lain, trauma
internal maupun eksternal pada uretra, kelainan bawaan (Nursalam. 2008).
Penyebab umum suatu penyempitan uretra adalah akibat traumatik atau iatrogenik. Penyebab
lainnya adalah inflamasi, proses keganasan, dan kelainan bawaan pada uretra (Muttaqin, Arif. 2012).
4. Insiden
Striktur uretra masih merupakan masalah yang sering ditemukan pada bagian negara tertentu.
Striktur uretra lebih sering terjadi pada pria dibanding wanita. Karena uretra pada wanita lebih
pendek dan jarang terkena infeksi. Segala sesuatu yang melukai uretra dapat menyebabkan striktur.
Orang dapat terlahir dengan striktur uretra meskipun hal itu jarang terjadi (Muttaqin.A, 2011).
5. Patofisiologi
Pada keadaan ini, kandung kemih harus berkontraksi lebih kuat hingga sampai pada suatu saat
kemudian akan melemah. Otot kandung kemih semula menebal sehingga terjadi trabekulasi pada
fase kompensasi, kemudian timbul sakulasi (penonjolan mukosa masih di dalam otot) dan divertikel
(menonjol ke luar) pada fase dekompensasi. Pada fase ini akan timbul residu urin yang memudahkan
terjadinya infeksi. Tekanan di dalam kandung kemih yang tinggi akan menyebabkan refluks sehingga
urin masuk kembali ke ureter, bahkan sampai ke ginjal. Infeksi dan refluks dapat menyebabkan
pielonefritis akut atau kronik yang kemudian menyebabkan gagal ginjal. (Mansjoer, Arif. 2000).
Lesi pada epitel uretra atau putusnya kontinuitas, baik oleh proses infeksi maupun akibat trauma,
akan menimbulkan terjadinya reaksi peradangan dan fibroblastik. Iritasi dan urin pada uretra akan
mengundang reaksi fibroblastik yang berkelanjutan dan proses fibrosis makin menghebat sehingga
terjadilah penyempitan bahkan penyumbatan dari lumen uretra serta aliran urin mengalami
hambatan dengan segala akibatnya. Ekstravasasi urin pada uretra yang mengalami lesi akan
mengundang terjadinya peradangan periuretra yang dapat berkembang menjadi abses periuretra
dan terbentuk fistula uretrokutan (lokalisasi pada penis, perineum dan atau skrotum). (Nursalam,
2008).
Struktur uretra terdiri atas lapisan mukosa dan lapisan submukosa. Lapisan mukosa pada uretra
merupakan lanjutan dari mukosa buli-buli, ureter, dan ginjal. Mukosanya terdiri atas epitel
kolumnar, kecuali pada daerah dekat orifisium eksterna epitelnya skuamosa dan berlapis.
Submukosanya terdiri atas lapisan erektil vaskular. Striktur uretra dapat diakibatkan dari proses
peradangan, iskemik, atau traumatik. Apabila terjadi iritasi uretra, maka akan terjadi proses
penyembuhan cara epimorfosis, artinya jaringan yang rusak diganti oleh jaringan ikat yang tidak
sama dengan semula. Jaringan ikat ini menyebabkan terbentuknya jaringan parut yang memberikan
manifestasi hilangnya elastisitas dan memperkecil lumen uretra. (Muttaqin, Arif. 2012).
6. Pathway
Striktur Uretra
Respons obstruksi
- Intermitensi
- Miksi tidak puas
- Pembengkakan penis
Respons iritasi
- Frekuensi meningkat
- Nokturia
- Urgensi
- Disuria
Gangguan pemenuhan
eliminasi urin
Nyeri miksi
- Trabekulasi
- Selula
- Refluks vesiko-ureter
- Hidroureter
- Hidronefrosis
- Pielonefritis
- Gagal ginjal
Tindakan pembedahan
Preoperasi
Pascaoperasi
Nyeri
Luka pascabedah
Sumbatan pada uretra dan tekanan kandung kemih yang tinggi dapat menyebabkan imbibisi urin
keluar kandung kemih atau uretra proksimal dari striktur. Gejala yang khas adalah pancaran miksi
kecil dan bercabang. Gejala yang lain adalah iritasi dan infeksi seperti frekuensi, urgensi, disuria,
kadang-kadang dengan infiltrat, abses dan fistel. Gejala lanjut adalah retensio urin. (Mansjoer, Arif.
2000).
Kekuatan pancaran dan jumlah urin berkurang dan gejala infeksi dan retensi urinarius terjadi. Sriktur
menyebabkan urin mengalir balik dan mencetuskan sistitis, prostatitis, dan pielonefritis. Gejala dan
tanda striktur biasanya mulai dengan hambatan arus kemih dan kemudian timbul sindrom lengkap
obstruksi leher kandung kemih seperti digambarkan pada hipertrofia prostat. Striktur akibat radang
uretra sering agak luas dan mungkin multiple. (C. Smeltzer, Suzanne. 2002).
Keluhan: kesulitan dalam berkemih, harus mengejan, pancaran mengecil, pancaran bercabang dan
menetes sampai retensi urin. Pembengkakan dan getah atau nanah di daerah perineum, skrotum
dan terkadang timbul bercak darah di celana dalam. Bila terjadi infeksi sistemik penderita febris,
warna urin bisa keruh (Nursalam, 2008).
8. Pemeriksaan Penunjang
Analisis urin dan kultur untuk mencari adanya infeksi. Ureum dan kreatinin darah untuk melihat
fungsi ginjal. Diagnosis pasti dibuat dengan uretrografi retrograd (untuk melihat uretra anterior)
atau antegrad (untuk melihat uretra posterior). Dapat pula dilakukan uroflowmetri dan uretroskopi.
(Mansjoer, Arif 2000).
a. Laboratorium
b. Uroflowmetri
Uroflowmetri adalah pemeriksaan untuk menentukan kecepatan pancaran urin. Volume urin yang
dikeluarkan pada waktu miksi dibagi dengan lamanya proses miksi. Kecepatan pancaran urin normal
pada pria adalah 20 ml/detik dan pada wanita 25 ml/detik. Bila kecepatan pancaran kurang dari
harga normal menandakan adanya obstruksi.
c. Radiologi
Diagnosis pasti dibuat dengan uretrografi sehingga dapat melihat letak penyempitan dan besarnya
penyempitan uretra. Untuk mengetahui lebih lengkap mengenai panjang striktur adalah dengan
sistouretrografi yaitu memasukkan bahan kontras secara antegrad dari buli-buli dan secara retrograd
dari uretra. Dengan pemeriksaan ini, panjang striktur dapat diketahui sehingga penting untuk
perencanaan terapi atau operasi (Muttaqin, Arif. 2012).
9. Pencegahan
Elemen penting dalam pencegahan adalah menangani infeksi uretral dengan tepat. Pemakaian
kateter uretral untuk drainase dalam waktu lama harus dihindari dan perawatan menyeluruh harus
dilakukan pada setiap jenis alat uretral, termasuk kateterisasi. (Smeltzer.C, Suzanne. 2002)
Pada pasien yang datang dengan retensio urin harus dilakukan sistostomi kemudian baru dilakukan
pemeriksaan uretrografi untuk mengetahui adanya striktur uretra. Pada pasien dengan infiltrat urin
atau abses dilakukan insisi, sistostomi, baru kemudian dilakukan uretrografi.
Bila panjang striktur uretra lebih dari 2 cm atau terdapat fistula uretrokutan, atau residif, dapat
dilakukan urethroplasty. Bila panjang striktur kurang dari 2 cm dan tidak ada fistel maka dilakukan
bedah endoskopi dengan alat Sachse. Untuk striktur uretra anterior dapat dilakukan otis uretrotomi.
(Mansjoer, Arif.2000)
Tidak ada terapi medis untuk mengobati penyakit striktur uretra. Intervensi utama untuk mengatasi
masalah striktur uretra adalah dengan pembedahan. Beberapa jenis pembedahan yang dapat
dilaksanakan adalah sebagai berikut.
a. Pelebaran uretra, baik secara uretrotomi internal atau pemasangan stent uretra.
Penanganan dapat mencakup dilatasi secara bertahap terhadap area yang menyempit
(menggunakan logam yang kuat atau bougies) atau secara bedah. Jika striktur menghambat pasase
kateter, ahli urologi menggunakan beberapa filiform bougies untuk membuka jalan. Ketika salah
satu bougie mampu mencapai kandung kemih, maka dilakukan fiksasi, dan urin akan didrainase dari
kandung kemih. Jalan yang telah terbuka tersebut kemudian didilatasi dengan memasukkan alat
pendilatasi yang mengikuti filiform sebagai petunjuk. Setelah dilatasi, rendam duduk menggunakan
air panas dan analgesik non-narkotik diberikan untuk mengendalikan nyeri. Medikasi antimikrobial
diresepkan untuk beberapa hari setelah dilatasi untuk mencegah infeksi. Eksisi bedah atau
uretroplasti mungkin diperlukan untuk kasus yang parah. Sistostomi suprapubis mungkin diperlukan
untuk beberapa pasien.
Metode diversi urin yang jarang dilakukan adalah sistostomi suprapubis. Kateter khusus biasanya
dimasukkan ke kandung kemih melalui insisi dinding abdomen bawah atau melalui pungsi dengan
trokar. Umumnya, sistostomi dilakukan pada pasien yang mengalami obstruksi pada bagian bawah
kandung kemih ( obstruksi prostatik ) yang menyebabkan kateter uretral tidak dapat dimasukkan.
Sistostomi dapat bersifat sementara ( sampai bedah korektif dilakukan ) atau permanen.
1. Pengkajian
Keluhan utama pada striktur uretra bervariasi sesuai dengan derajat penyempitan lumen pada
uretra. Keluhan utama yang lazim adalah pancaran urin kecil dan bercabang. Keluhan lain biasanya
adalah berhubungan dengan gejala iritasi dan infeksi seperti frekuensi, urgensi, disuria,
inkontinensia, urin yang menetes, kadang-kadang dengan penis yang membengkak, infiltrat, abses,
dan fistel. Keluhan yang lebih berat adalah tidak bisa mengeluarkan urin atau tidak bisa miksi
(retensi urin).
Pada pemeriksaan fisik dengan palpasi pada penis didapatkan adanya suatu kelainan akibat fibrosis
di uretra, infiltrat, abses, atau terbentuknya suatu fistula.
Pengkajian terhadap klien dengan gangguan urologi meliputi pengumpulan data dan analisa data.
Dalam pengumpulan data, sumber data klien diperoleh dari diri klien sendiri, keluarga, perawat,
dokter ataupun dari catatan medis. Pengumpulan data meliputi :
a. Biodata klien dan penanggung jawab klien. Biodata klien terdiri dari nama, umur, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan, status, agama, alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, dan
diagnosa medik.
b. Biodata penanggung jawab meliputi : umur, pendidikan, pekerjaan, alamat, dan hubungan
keluarga.
c. Keluhan utama merupakan keluhan klien pada saat dikaji, klien yang mengatakan tidak dapat
BAK (Buang Air Kecil) seperti biasa dan merasakan nyeri pada daerah post operasi striktur uretra
(sistostomi).
d. Riwayat kesehatan masa lalu atau lampau akan memberikan informasi-informasi tentang
kesehatan atau penyakit masa lalu yang pernah diderita pada masa lalu.
e. Pemeriksaan fisik, dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi terhadap bagian
sistem tubuh, maka akan ditemukan hal-hal sebagai berikut : Keadaan umum pada klien post operasi
striktur uretra perlu dilihat dalam hal : keadaan umumnya meliputi penampilan, kesadaran, gaya
bicara. Pada post operasi striktur uretra mengalami gangguan pola eliminasi BAK (Buang Air Kecil)
sehingga dilakukan pemasangan kateter tetap.
f. Sistem pernafasan, perlu dikaji mulai dari bentuk hidung, ada tidaknya sakit pada lubang
hidung, pergerakan cuping hidung pada waktu bernafas, kesimetrisan gerakan dada pada saat
bernafas, auskultasi bunyi nafas dan gangguan pernafasan yang timbul. Apakah bersih atau ada
ronchi, serta frekuensi nafas. Hal ini penting karena imobilisasi berpengaruh pada pengembangan
paru dan mobilisasi secret pada jalan nafas.
g. Sistem kardiovaskuler, mulai dikaji warna konjungtiva, warna bibir, ada tidaknya peninggian
vena jugularis dengan auskultasi dapat dikaji bunyi jantung pada dada dan pengukuran tekanan
darah dengan palpasi dapat dihitung frekuensi denyut nadi.
h. Sistem pencernaan, yang dikaji meliputi keadaan gigi, bibir, lidah, nafsu makan, peristaltik usus,
dan BAB (Buang Air Besar). Tujuan pengkajian ini untuk mengetahui secara dini penyimpangan pada
sistem ini.
i. Sistem genitourinaria, dapat dikaji dari ada tidaknya pembengkakan dan nyeri pada daerah
pinggang, observasi dan palpasi pada daerah abdomen bawah untuk mengetahui adanya retensi urin
dan kaji tentang keadaan alat-alat genitourinaria bagian luar mengenai bentuknya ada tidaknya nyeri
tekan dan benjolan serta bagaimana pengeluaran urinnya, lancar atau ada nyeri waktu miksi, serta
bagaimana warna urin.
j. Sistem muskuloskeletal, yang perlu dikaji pada sistem ini adalah derajat Range of Motion dari
pergerakan sendi mulai dari kepala sampai anggota gerak bawah, ketidaknyamanan atau nyeri yang
dilaporkan klien waktu bergerak, toleransi klien waktu bergerak dan observasi adanya luka pada otot
harus dikaji juga, karena klien imobilitas biasanya tonus dan kekuatan ototnya menurun.
k. Sistem integument, yang perlu dikaji adalah keadaan kulitnya, rambut dan kuku, pemeriksaan
kulit meliputi : tekstur, kelembaban, turgor, warna dan fungsi perabaan.
l. Sistem neurosensori, yang dikaji adalah fungsi serebral, fungsi saraf cranial, fungsi sensori serta
fungsi refleks.
m. Pola aktivitas sehari-hari, pola aktivitas sehari-hari pada klien yang mengalami post operasi
striktur uretra meliputi frekuensi makan, jenis makanan, porsi makan, jenis dan kuantitas minum
dan eliminasi yang meliputi buang air besar (Frekuensi, warna, konsistensi) serta buang air kecil
(frekuensi, banyaknya urin yang keluar setiap hari dan warna urin). Kebersihan diri (frekuensi mandi,
mencuci rambut, gosok gigi, ganti pakaian, menyisir rambut dan menggunting kuku). Olahraga
(frekuensi dan jenis) serta rekreasi (frekuensi dan tempat rekreasi).
n. Data psikososial, pengkajian yang dilakukan pada klien imobilisasi pada dasarnya sama dengan
pengkajian psikososial pada gangguan sistem lain yaitu mengenai konsep diri (gambaran diri, ideal
diri, harga diri, peran diri, dan identitas diri) dan hubungan interaksi klien baik dengan anggota
keluarganya maupun dengan lingkungan dimana ia berada. Pada klien dengan post operasi striktur
uretra dan imobilisasi adanya perubahan pada konsep diri secara perlahan-lahan yang mana dapat
dikenali melalui observasi terhadap adanya perubahan yang kurang wajar dan status emosional
perubahan tingkah laku, menurunnya kemampuan dalam pemecahan masalah dan perubahan status
tidur. Data spiritual Klien dengan post operasi striktur uretra perlu dikaji tentang agama dan
kepribadiannya, keyakinan : harapan serta semangat yang terkandung dalam diri klien yang
merupakan aspek penting untuk kesembuhan penyakitnya.
a. Sirkulasi
c. Eliminasi
Gejala: penurunan kekuatan atau aliran urin, ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih
dengan lengkap, dorongan dan frekuensi berkemih, nokturia, disuria, hematuria.
e. Keamanan : Demam
2. Diagnosa Keperawatan
Pernyataan yang menggambarkan respon manusia (keadaan sehat atau perubahan pola interaksi
aktual atau potensial) dari individu atau kelompok tempat perawat secara legal mengidentifikasi dan
perawat dapat memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan atau untuk
mengurangi, menyingkirkan, atau mencegah perubahan (Rohmah, Nikmatur & Saiful Walid. 2013).
Diagnosa keperawatan adalah penilaian atau kesimpulan yang diambil dari pengkajian keperawatan,
menjelaskan status kesehatan, masalah aktual, maupun resiko yang dapat di prioritaskan.
Diagnosa keperawatan yang muncul menurut Muttaqin, Arif. 2012 :
a. Gangguan pemenuhan eliminasi urin berhubungan dengan retensi urin, obstruksi uretra
sekunder dari penyempitan lumen uretra.
c. Nyeri berhubungan dengan peregangan dari terminal saraf, disuria, resistensi otot prostat, efek
mengejan saat miksi sekunder dari obstruksi uretra, nyeri pascabedah.
g. Gangguan konsep diri ( gambaran diri ) berhubungan dengan risiko kerusakan organ seksual.
3. Intervensi (perencanaan)
Rencana keperawatan adalah pengembangan strategi desain untuk mencegah, mengurangi dan
mengatasi masalah-masalah yang telah diidentifikasi dalam diagnosis keperawatan. Desain
perencanaan menggambarkan sejauh mana perawat mampu menetapkan cara menyelesaikan
masalah dengan efektif dan efisien (Rohmah, Nikmatur & Saiful Walid, 2013).
Tujuan dari rencana keperawatan praoperatif adalah mengadaptasikan keluhan nyeri, pemenuhan
eliminasi urin, penurunan kecemasan dan terpenuhinya kebutuhan informasi tentang asuhan
perioperatif.
a. Gangguan pemenuhan eliminasi urin berhubungan dengan retensi urin, obstruksi uretra
sekunder dari penyempitan lumen uretra.
Tujuan : dalam waktu 5 x 24 jam pola eliminasi optimal sesuai kondisi klien.
Kriteria Evaluasi :
1) Eliminasi urin tanpa ada keluhan subjektif, seperti nyeri dan urgensi.
Intervensi Rasional
b. Risiko tinggi trauma berhubungan dengan kerusakan jaringan pasca prosedur pembedahan.
Kriteria Evaluasi :
Tabel 2. Intervensi dan rasional risiko tinggi trauma berhubungan dengan kerusakan jaringan pasca
prosedur pembedahan.
Intervensi Rasional
Lepas kateter pada hari ke 1-3 Menurunkan risiko cedera pada uretra.
pascaoperasi
Kolaborasi :
c. Nyeri berhubungan dengan peregangan dari terminal saraf, disuria, resistensi otot prostat, efek
mengejan saat miksi sekunder dari obstruksi uretra, nyeri pascabedah.
Tujuan : dalam waktu 1 x 24 jam nyeri berkurang atau hilang atau teradaptasi.
Kriteria Evaluasi :
1) Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi. Skala nyeri 0-1 (0-4).
Intervensi Rasional
1. Istirahatkan pasien
Istirahat akan menurunkan kebutuhan
oksigen jaringan perifer sehingga akan
meningkatkan suplai darah ke jaringan.
Kriteria hasil :
2) Hitung Sel Darah Putih (SDP) dan hitung diferensial Sel Darah Putih (SDP) tetap dalam rentang
normal.
4) Urin tetap berwarna kuning jernih, tidak berbau, tidak ada endapan.
5) Luka dan insisi terlihat bersih, merah muda, dan bebas dari drainase purulen.
Tabel 4. Intervensi dan rasional risiko tinggi infeksi berhubungan dengan port de entree luka
pascabedah.
Intervensi Rasional
Tujuan : dalam waktu 1 x 24 jam tingkat kecemasan pasien berkurang atau hilang.
Kriteria Evaluasi :
Tabel 5. Intervensi dan rasional Kecemasan berhubungan dengan prognosis pembedahan, tindakan
diagnostik invasif.
Intervensi Rasional
Tujuan : Dalam waktu 1 x 24 jam terpenuhinya pengetahuan pasien dan keluarga tentang
pembedahan.
Kriteria evaluasi :
3) Pasien dan keluarga secara subjektif menyatakan bersedia dan termotivasi untuk melakukan
aturan atau posedur prabedah yang telah dijelaskan.
5) Pasien dan keluarga mampu mengulang kembali secara narasi intervensi prosedur
pascaanestesi atau perencanaan pasien pulang.
6) Pasien dan keluarga memahami respons pembedahan secara fisologis dan psikologis.
Tabel 6. Intervensi dan rasional pemenuhan informasi berhubungan dengan rencana pembedahan,
prognosis penyakit.
Intervensi Rasional
1. Persiapan intestinal.
Pembersihan dengan enema atau
laksatif mungkin dilakukan pada malam
sebelum operasi dan mungkin diulang
jika tidak efektif. Pembersihan ini
adalah untuk mencegah defekasi
selama anestesi atau untuk mencegah
trauma yang tidak diinginkan pada
intestinal selama pembedahan
abdomen.
g. Gangguan konsep diri ( gambaran diri ) berhubungan dengan risiko kerusakan organ seksual.
Tujuan : dalam waktu 1 jam pasien mampu mengembangkan koping yang positif.
Kriteria evaluasi :
2) Mampu menyatakan atau mengomunikasikan dengan orang terdekat tentang situasi dan
perubahan yang sedang terjadi.
4) Mengakui dan menggabungkan perubahan ke dalam konsep diri dengan cara yang akurat tanpa
harga diri yang negatif.
Tabel 7. Intervensi dan rasional gangguan konsep diri (gambaran diri) berhubungan dengan risiko
kerusakan organ seksual.
Intervensi Rasional
4. Implementasi (pelaksanaan)
a. Pengertian
Implementasi adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Kegiatan dalam implementasi juga meliputi pengumpulan data berkelanjutan, mengobservasi
respons klien selama dan sesudah implementasi tindakan, serta menilai data yang baru.
c. Tahap-tahap pelaksanaan
1) Tahap persiapan
f) Memperhatikan hak-hak pasien, antara lain hak atas pelayanan kesehatan sesuai dengan
standar pelayanan kesehatan, hak atas informasi, hak untuk menentukan nasib sendiri, dan hak
atas second opinion.
2) Tahap pelaksanaan
b) Mendokumentasikan tindakan, yang meliputi tindakan atau aktivitas perawat, hasil atau
respons klien, tanggal atau jam, nomor diagnosis keperawatan dan tanda tangan.
Dalam melaksanakan rencana tersebut harus diperlukan kerja sama dengan tim kesehatan yang lain,
keluarga klien dan klien sendiri. Hal–hal yang perlu diperhatikan:
5. Evaluasi
a. Pengertian
Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan keadaan pasien (hasil yang
diamati) dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan.
b. Tujuan evaluasi
c. Proses evaluasi
a) Tujuan dari aspek kognitif. Pengukuran perubahan kognitif dapat dilakukan dengan dua cara:
Menanyakan kembali segala sesuatu yang telah dijelaskan oleh perawat untuk mengklarifikasi
pemahaman klien atau keluarga terhadap pengetahuan yang telah diberikan.
(2) Komprehensif
Pertanyaan komprehensif adalah pertanyaan yang diajukan berdasarkan pemahaman klien terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya. Contoh: ciri apa yang Anda rasakan?
Pertanyaan berdasarkan aplikasi fakta adalah pertanyaan yang ditujukan untuk mengidentifikasi
pemahaman klien pada tingkat aplikasi. Perawat mengajukan beberapa situasi atau kondisi yang
mungkin terjadi pada klien dan klien diminta untuk menentukan alternatif pemecahan masalahnya.
Contoh: apa yang akan Anda lakukan bila ketika Anda berjalan, kemudian ada perasaan sesak?
(4) Tulis
Teknik yang kedua digunakan untuk mengukur pencapaian tujuan kognitif adalah dengan
mengajukan pertanyaan tertulis. Pertanyaan-pertanyaan ini sudah disiapkan sebelumnya dan
berdasarkan tujuan dan kriteria evaluasi yang telah ditetapkan.
b) Tujuan aspek afektif. Untuk mengukur pencapaian tujuan aspek afektif, dapat dilakukan
dengan dua cara:
(1) Observasi
Observasi adalah melakukan pengamatan secara langsung terhadap perubahan emosional klien:
apakah klien telah kooperatif, apakah mekanisme koping telah efektif.
Umpan balik, masukan, dan pengamatan dari staf yang lain dan juga dipakai sebagai salah satu
informasi tentang aspek afektif klien.
c) Psikomotor
Pengukuran perubahan aspek psikomotor dapat dilakukan melalui observasi secara langsung
terhadap perubahan perilaku klien.
Perubahan fungsi tubuh merupakan komponen yang paling sering menjadi kriteria evaluasi. Dari
pengamatan di rumah sakit, pada umumnya dari daftar diagnosis keperawatan yang ada kebanyakan
bersifat fisik sehingga kriteria hasil yang ingin dicapai mengacu pada aspek perubahan fungsi
tubuh.mengingat begitu banyaknya aspek perubahan fungsi tubuh, untuk mengukur perubahannya
dapat dilakukan dengan tiga cara, antara lain:
(1) Observasi;
(2) Interview;
2) Penentuan Keputusan
a) Klien telah mencapai hasil yang telah ditentukan dalam tujuan. Kondisi ini dicapai apabila
semua data yang ditentukan dalam kriteria hasil sudah terpenuhi.
b) Klien masih dalam proses mencapai hasil yang ditentukan. Kondisi ini dicapai apabila sebagian
saja dari kriteria hasil yang ditentukan terpenuhi.
c) Klien tidak dapat mencapai hasil yang telah ditentukan. Kondisi ini ditentukan apabila hanya
sebagian kecil atau tidak ada sama sekali dari kriteria hasil yang dapat terpenuhi. Dapat juga terjadi
kondisi klien semakin buruk sehingga timbul masalah yang baru.
d. Macam evaluasi
d) Rekapitulasi dan kesimpulan status kesehatan klien sesuai dengan kerangka waktu yang
ditetapkan.
Pertanyaan yang sering diajukan, yaitu kapan sebenarnya evaluasi itu dilakukan? Evaluasi pada
dasarnya dilakukan untuk mengetahui apakah tujuan yang ditetapkan sudah dicapai atau belum.
Oleh karena itu, evaluasi dilakukan sesuai dengan kerangka waktu penetapan tujuan (evaluasi hasil),
tetapi selama proses pencapaian tujuan perubahan yang terjadi pada klien juga harus selalu
dipantau (evaluasi proses). Dari pertanyaan di atas, dapat diketahui bahwa evaluasi proses itu dapat
dilakukan sewaktu-waktu sesuai dengan perubahan klien dan evaluasi hasil dilakukan pada akhir
pencapaian tujuan. Beberapa rumah sakit menetapkan kebijakan yang berbeda, evaluasi hasil diukur
tiap shift jaga, sedangkan rumah sakit lain evaluasi proses ditetapkan tiap 24 jam sekali, kecuali
untuk kasus gawat darurat dan intensive care. Pada prinsipnya, semakin cepat perubahan yang
terjadi pada klien baik ke arah perbaikan atau penurunan, semakin sering evaluasi proses itu
dilakukan.
f. Komponen SOAP/SOAPIER
Untuk memudahkan perawat mengevaluasi atau memantau perkembangan klien, digunakan
komponen SOAP/SOAPIE/SOAPIER. Penggunaannya tergantung dari kebijakan setempat. Pengertian
SOAPIER adalah sebagai berikut.
1) S : Data Subjektif
Perawat menuliskan keluhan pasien yang masih dirasakan setelah dilakukan tindakan keperawatan.
2) O : Data Objektif
Data objektif adalah data berdasarkan hasil pengukuran atau observasi perawat secara langsung
kepada klien, dan yang dirasakan klien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
3) A : Analisis
Interpretasi dari data subjektif dan data objektif. Analisis merupakan suatu masalah atau diagnosis
keperawatan yang masih terjadi atau juga dapat dituliskan masalah atau diagnosis baru yang terjadi
akibat perubahan status kesehatan klien yang telah teridentifikasi datanya dalam data subjektif dan
objektif.
4) P : Planning
Perencanaan keperawatan yang akan dilanjutkan, dihentikan, dimodifikasi, atau ditambahkan dari
rencana tindakan keperawatan yang telah ditentukan sebelumnya.
5) I : Implementasi
Implementasi adalah tindakan keperawatan yang dilakukan sesuai dengan instruksi yang telah
teridentifikasi dalam komponen P (Perencanaan). Jangan lupa menuliskan tanggal dan jam
pelaksanaan.
6) E : Evaluasi
7) R : Reassesment
Reassesment adalah pengkajian ulang yang dilakukan terhadap perencanaan setelah diketahui hasil
evaluasi, apakah dari rencana tindakan perlu dilanjutkan, dimodifikasi, atau dihentikan.
Hasil yang diharapkan setelah dilakukan intervensi, meliputi hal-hal sebagai berikut (Muttaqin, Arif.
2012) :
6. Dokumentasi
Merupakan terminasi antara perawat dan klien. Setiap tindakan proses keperawatan dari pengkajian
sampai evaluasi dilakukan pendokumentasian sebagai pertanggungjawaban perawat.