Anda di halaman 1dari 55

CASE BASED DISCUSSION

NEPHROLITHIASIS, STENOSIS URETER dengan HIDRONEFROSIS

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Tugas Kepaniteraan Klinik Dan Melengkapi


Salah Satu Syarat Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Di Rawat Inap
Bagian Ilmu Bedah Urologi Rumah Sakit Islam Jemursari Surabaya

Oleh :
Moch. Riswanda Yuna Febrian (6120018027)

Pembimbing:
dr. Dwimantoro Iman Prilistyo, Sp. U

Departemen SMF Ilmu Bedah Urologi


Fakultas Kedokteran
Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya
2019
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
segala nikmat, rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas Case Based Discussion Bedah Urolohi dengan baik dan tepat waktu.
Tugas ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Ilmu
Bedah RSI Jemursari Surabaya Fakultas Kedokteran Universitas Nahdlatul Ulama
Surabaya. Di samping itu, melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar – besarnya kepada dr. Dwimantoro Iman P., Sp. U selaku
pembimbing dalam penyusunan tugas ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada rekan – rekan anggota Kepaniteraan SMF Bedah serta berbagai pihak yang
telah memberi dukungan dan bantuan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari sempurna dan tidak
luput dari kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat berharap adanya masukan,
kritik maupun saran yang membangun. Akhir kata penulis ucapkan terimakasih
yang sebesar – besarnya, semoga tugas ini dapat memberikan tambahan informasi
bagi kita semua.

Surabaya, 5 Januari 2020

Penulis

ii | B e d a h U r o l o g i
DAFTAR ISI

COVER ................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I LAPORAN KASUS .................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 14
2.1 Anatomi ....................................................................................................... 14
2.2 Obstruksi Saluran Kemih ............................................................................. 19
A. Definisi ........................................................................................................ 19
B. Etiologi ........................................................................................................ 20
C. Epidemiologi................................................................................................ 20
D. Patofisiologi ................................................................................................. 21
2.3 Hidronefrosis ............................................................................................... 24
A. Definisi ........................................................................................................ 24
B. Etiologi ........................................................................................................ 25
C. Manifestasi Klinis ........................................................................................ 26
D. Diagnosis ..................................................................................................... 26
E. Grading ........................................................................................................ 29
F. Penatalaksanaan ........................................................................................... 31
G. Prognosis ..................................................................................................... 32
BAB III RESUME ................................................................................................ 33
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 36

iii | B e d a h U r o l o g i
BAB I
LAPORAN KASUS

1.1. IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny. S
No. Rekam Medis : 319291
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 45 tahun
Alamat : Jambangan Surabaya
No. Telepon :-
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status Pernikahan : Menikah
Suku : Jawa
Agama : Islam
Tempat Pemeriksaan : Ruang Azzahra 202.2

1.2. ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Kaki kanan terasa nyeri
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke RSI Jemursari melalui TPPRI dengan keluhan
akan melakukan operasi batu saluran kemih, selain itu pasien juga mengeluh
kaki kanan terasa nyeri dan tertarik ketika dipakai untuk berjalan. Pasien
mengatakan awalnya dating ke RSI Jemursari pada bulan April 2019 dengan
keluhan nyeri kaki kanan nya, pasein memeriksakan diri ke dr. Sp Saraf,
setelah di lakukan foto rontgen pasien di diagnose scoliosis dan ditemukan
batu pada ginjal pasien batu berukuran +- 1,5 x 1 cm, kemudian pada bulan
8 pasien dikonsulkan ke dr. Sp U, pasien selanjutnya dilakukan ESWL 1 x,
setelah di ESWL ternyata batunya tidak turun dan hanya pecah, pasien
selanjutnya disarankan untuk melakukan operasi batunya, tetapi pasien
mengaku tidak berani hingga di coba ke pengobatan alternative sampai
akhirnya pada saat ini pasien mrs karena sudah berani operasi, pasien

1|Bedah Urologi
mengatakan tidak ada keluhan yang terasa di pinggang, tidak ada nyeri
tumpul, nyeri hilang timbul maupun nyeri menjalar hingga kebelakang tidak
ada. Demam (–), mual (–), muntah (–). BAK dbn, tidak pernah
mengeluhkan nyeri saat berkemih, sering berkemih, atau mengeluarkan batu
saat berkemih. BAB dbn. Pasien mengatakan memang kebiasaanya kurang
minum air dan sering minum teh.
Riwayat Penyakit Dahulu
DM tidak terkontrol (-)
HT tidak terkontrol (-)
Riwayat Keluarga
Disangkal
Riwayat Pengobatan
Urispas
1.3. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : Cukup
Kesadaran : Compos Mentis, 4 – 5 – 6
Tanda – tanda Vital
Tekanan Darah : 180/90 mmHg
Nadi : 98 x/menit regular, kuat angkat
RR : 18 x/menit
Temperatur : 36,4 °C axilar
SpO2 :-

Status Generalisata
Kepala/Leher : Anemis (–/–), Ikterus (–/–), Cyanosis (–), Dyspneu (-),
Pernafasan cuping hidung (–), Pembesaran kelenjar getah bening (–),
pembesaran kelenjar tiroid (–), peningkatan vena jugularis (–)
Thoraks
a. Pulmo
Inspeksi : bentuk simetris, tidak ada retraksi, pergerakan dada simetris.
Palpasi : pengembangan paru simetris, fremitus raba simetris

2|Bedah Urologi
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : vesikuler/vesikuler, rhonki–/–, wheezing –/–
b. Cor
Inspeksi : normochest, ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung kanan parasternal kanan ICS 4, batas jantung
kiriICS 5 MCL kiri.
Auskultasi : S1/S2 tunggal, murmur (–), gallop (–)
Abdomen
Inspeksi : Soepel, ada bekas operasi di suprapubis, massa (–)
Auskultasi : Bising usus normal
Palpasi : Soepel, nyeri tekan di epigastrium (–), hepar, lien tidak teraba,
tidak teraba Ballotement, nyeri tekan suprapubik (–)
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
Ekstremitas
Akral hangat kering merah, oedema (–), CRT < 2 detik.

Status Lokalis
Status Urologis :
Regio Flank :
Nyeri ketok costovertebrae –/–, teraba flank mass di sisi kanan (-)
Regio Suprapubik :
Tak tampak tenderness, Vesika urinaria teraba kosong, nyeri tekan (–)
Regio Genitalia eksterna :
dbn

Diagnosis Kerja
Suspect Batu Saluran Kemih
1.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium (20 Desember 2019)
Fungsi Ginjal
BUN 12,0 mg/dL 10 – 20
Kreatinin 0,98 mg/dL 0,62 – 1,10

3|Bedah Urologi
Karbohidrat
Glukosa Darah Acak 121 mg/dL < 145

Darah Lengkap (29 Desember 2019)


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Darah lengkap
Leukosit 7,08 Ribu/uL 3,80 – 10,6
Basophil 0,804 % 0–1
Neutrophil 57,65 % 39,3 – 73,7
Limfosit 31,540 % 25 – 40
Eosinophil 3,340 % 2–4
Monosit 6,662 % 2–8
Eritrosit 3,86 Juta/ uL 3,80 – 5,20
Haemoglobin 11,12 g/dL 11,7 – 15,5
Hematokrit 33,9 % 35 – 47
Indeks Eritrosit
MCV 87,8 fL 80 – 100
MCH 28,8 Pg 26,0 – 34,0
MCHC 32,8 % 32 – 36
RDW-CV 11,2 % 11,5 – 14,5
Trombosit 281 Ribu/uL 150 – 440
MPV 6,014 fL 7,2 – 11,1
Hemostasis
PPT 15,0 Detik 11,8 – 15,1
APTT 29,9 detik 25,0 – 38,4
Imunoserologi
HbsAg Rapid Non Reaktif Non Reaktif
Anti HIV Rapid Pre OP Non Reaktif Non Reaktif
Urine Lengkap (29 Desember 2019)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Kimia Urine
pH 5,0 5-8
Specific Gravity 1,015 1.005 – 1.030
Nitrit Urine Negatif Negatif
Protein Urine Negatif Negatif
Glukosa Urine Negatif Negatif
Keton Urine Negatif Negatif
Urobilinogen Urine 3,2 mg/dL 3,2 – 16
Lekosit Urine Negatif Negatif
Bilirubin Urine Negatif Negatif

4|Bedah Urologi
Blood Negatif Negatif
Mikroskopis Urine
Eritrosit 0–1 Plp 0–1
Lekosit 0–1 Plp 0–1
Sel Epitel 0–1 Plp 0–1
Kristal Negatif Negatif
Bakteri Negatif Negatif
Jamur Negatif Negatif
Parasit Negatif Negatif
Cast Negatif Negatif
Lain-lain Negatif Negatif
Makroskopis Urine
Warna Urine Kuning Kuning
Kejernihan Urine Jernih Jernih

Foto Vert. Lumbosacral AP/PA


(29 April 2019)

Kesimpulan :
Skoliosis lumbalis koveksitas ke
kiri.
Tampak batu radio opaque di
ureter proksimal kiri (ukuran 1,5 x
1 cm) DD Batu Radioopaque di
UPJ kiri.

5|Bedah Urologi
Foto Thorax PA (16 Agustus 2019)

Kesimpulan :
Saat ini Cord an Pulmo tak tampak
kelainan

Foto BOF (12 Desember 2019)

Kesimpulan :
Susp. Batu Radioopaque 1/3
tengah ureter kiri
Skoliosis Lumbalis

6|Bedah Urologi
IVP (30 Desember 2019)

7|Bedah Urologi
Kesimpulan :
Hidronefrosis Grade II kiri disertai batu radiopaque di ginjal kiri.
Spodylosis Lumbalis
Fungsi ginjal dan ureter kanan normal
Fungsi pengosongan buli normal

8|Bedah Urologi
1.5. DIAGNOSIS
Nefrolithiasis Sinistra + Stenosis Ureter Sinistra + Hidronefrosis Sinistra

1.6. Tatalaksana
Planning Terapi
 Terapi Non Farmakologis
 Konsumsi air putih min. 1500cc setiap hari

 Terapi Farmakologis
 Pro URS k/p DJ Stent tgl. 31 Desember 2019 jam 07.30
 Infus PZ 1000 cc dalam 24 jam
 Profilaksis Inj. Ceftriaxon 2 gram di OK

Planning Edukasi
 Minum air putih yang banyak
 Hindari konsumsi teh, kopi
 Konsumsi obat sesuai petunjuk dokter
 Kontrol rutin

9|Bedah Urologi
FOLLOW UP

Tanggal Subject Object Assesment Planning

KU : cukup
GCS 456
TD : 180/90 mmHg
Nadi : 98 x/menit Pro URS k/p DJ Stent tgl. 31
regular, kuat angkat Desember 2019 jam 07.30
RR : 18 x/menit
Nyeri Kaki Kanan Infus PZ 1000 cc dalam 24 jam
Temperatur :
Pusing (–) Susp.
36,4°C axilar
Mual (–) Ureterolithiasis
29/12/19 A/I/D/C –/–/–/– Planning Edukasi
Muntah (–) (S)
Thorax dbn Minum air putih yang banyak
BAK dbn
Abdomen : Nyeri Hindari konsumsi teh, kopi
BAB dbn
tekan abdomen (–), Konsumsi obat sesuai petunjuk
Nyeri Flank (-) dokter
Nyeri Suprapubis(-) Kontrol rutin
Ekstremitas HKM,
CRT < 2 detik
GDA 119 mg/dL
KU : cukup
GCS 456
Pro URS k/p DJ Stent tgl. 31
TD 140/80 mmHg
Desember 2019 jam 07.30
Post IVP Nadi 82x/mnt
Infus PZ 1000 cc dalam 24 jam
Nyeri Kaki Kanan RR 20x/menit
Profilaksis Inj. Ceftriaxon 2
Nyeri pinggang kiri T 360C Susp.
gram di OK
hilang timbul A/I/D/C –/–/–/– Ureterolithiasis
30/12/19 Pusing (–) Thorax dbn (S)
Planning Edukasi
Mual (–) Abdomen : Nyeri Hidronefrosis
Minum air putih yang banyak
Muntah (–) tekan abdomen (–), Grade II (S)
Hindari konsumsi teh, kopi
BAK dbn Nyeri Flank (-)
Konsumsi obat sesuai petunjuk
BAB dbn Nyeri Suprapubis(-)
dokter
Ekstremitas HKM,
Kontrol rutin
CRT < 2 detik

KU : cukup
Infus PZ 1000 cc dalam 24 jam
GCS 456
Inj. Ceftriaxon 2 x 1 gram
TD 130/60 mmHg
Post OP URS + DJ Nefrolithiasis Inj. Antrain 3 x 1
Nadi 84x/mnt
Stent (S) Inj. Ranitidin 2 x 1
RR 20x/menit
Nyeri Kaki Kanan Stenosis Ureter Inj. Kalnex 2 x 500 mg
T 360C
Pusing (–) (S)
31/12/19 A/I/D/C –/–/–/–
Mual (–) Hidronefrosis Planning Edukasi
Thorax dbn
Muntah (–) (s) Minum air putih yang banyak
Abdomen : Nyeri
BAK dbn Post OP URS Hindari konsumsi teh, kopi
tekan abdomen (–),
BAB dbn + DJ Stent Konsumsi obat sesuai petunjuk
Nyeri Flank (-)
dokter
Nyeri Suprapubis(-)
Kontrol rutin
Ekstremitas HKM,

10 | B e d a h U r o l o g i
CRT < 2 detik

Tampak Ureter Yang Pucat karena terjadinya


stenosis

11 | B e d a h U r o l o g i
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi
Ginjal
Ginjal merupakan organ berbentuk bean-shaped yang terletak
retroperitoneal terhadapt posetrior dinding abdomen. Ginjal berada setinggi
kolumna vertebralis T12–L3. Panjangnya sekitar 10cm, lebar 5cm dan
ketebalan ± 2,5cm. Ginjal kanan letaknya lebih inferior dibandingkan dengan
ginjal kiri, dikarenakan ukuran lobus kanan hepar yang besar. Pada tepi
lengkungan medial masing – masing ginjal terdapat celah vertikal yang
dibatasi oleh pinggiran tebal dari substansi renal yang disebut dengan hilum.
Hilum akan meluas menuju rongga yang lebih besar disebut sinus renal.
Hilum akan menjalar dari depan kearah belakang, vena renalis, dua
percabangan arteri renalis, ureter dan ketiga cabang arteri renalis. Pembuluh
limfe dan serabut saraf simpatis juga melewati hilum (Hartanto, 2006).
Topografi ginjal dan hubungannya terhadap organ-organ lain adalah
sebagai berikut.
 Superior: diafragma
 Inferior: muskulus Quadratus lumborum
 Bagian posterior ginjal: secara diagonal melintang subcostal nerve and
vessel, and iliohypogastric & ilioinguinal nerve menurun.
 Ginjal kanan berhubungan dengan liver (dipisahkan oleh hepatorenal
recess), duodenum dan ascending colon.
 Ginjal kiri berhubungan dengan organ gaster, spleen, pankreas, jejenum,
dan descending colon.
Ginjal terdiri dari 4 lapisan yang melapisi, kapsul fibrosa, lemak
perirenal, fasia renal dan lemak pararenal. Secara anatomi ginjal memiliki
lapisan luar berwarna coklat gelap yang disebut korteks dan bagian dalam
berwarna coklat terang yang disebut medulla. Korteks ginjal terletak lebih
superfisial dan didalamnya terdapat berjuta-juta nefron. Nefron merupakan
unit fungsional terkecil ginjal. Medula ginjal yang terletak lebih profunfus

12 | B e d a h U r o l o g i
banyak terdapat duktuli atau saluran kecil yang mengalirkan hasil ultrafiltrasi
berupa urine. Nefron terdiri atas glomerulus, tubulus kontortus (TC)
proksimaos, loop of henle, tubulus kontortus distalis dan duktus kolegentes
(Hartanto, 2006 dan Anatomi, 2011).
Medulla ginjal terdiri dari sejumlah piramida ginjal dan papila
renalis. Bagian korteks ginjal yang meluas ke medulla diantara piramida yang
berdekatan dikenal sebagai kolumna renalis. Bagian basal dari piramida ginjal
yang meluas kebagian korteks berupa gambaran striadikenal sebagai
medullary rays (Hartanto, 2006)

13 | B e d a h U r o l o g i
Ureter
Ureter adalah organ berbentuk tabung kecil yang berfungsi
mengalirkan urine dari pielum (pelvis) ginjal ke dalam buli – buli. Pada orang
dewasa, panjangnya 25 – 30 cm dan diameternya 3 – 4 mm. Dindingnya
terdiri atas : (1) mukosa yang dilapisi oleh sel transisional, (2) otot poos
sirkuler, dan (3) otot polos longitudinal. Kontraksi dan relaksasi kedua otot
poloa itulah yang memungkinkan terjadinya gerakan peristaltik ureter guna
mengalirkan urine ke dalam buli – buli. Jika karena suatu sebab terdapat
sumbatan pada lumen ureter sehingga menyumbat aliran urine, otot polos
ureter akan berkontraksi secara berliebihan, yang bertujua untuk mendorong/
mengeluarkan sumbatan tersebut dari saluran kemih (Anatomi, 2011).

Untuk kepentingan pembedahan, ureter dibagi menjadi dua bagian,


yaitu ureter pars abdominalis yang membentang mulai dari pelvis renalis
samai menyilang vasa iliaka, dan ureter pars pelvika, yang membentangdaari
persilangannya dengan vasa iliaka samai muaranya di dalam buli-buli. Selain
itu, secara radiologi, ureter dibagi menjadi 3 bagian, yaitu (1) ureter 1/3
proksimal mulai dari pelvis renalis sampai batas atas sakrum, (2) ureter 1/3
medial mulai dari batas atas sakrum sampai pada batas bawah sakrum, dan (3)
ureter 1/3 distal mulai batas bawah sakrum hingga masuk ke buli-buli

14 | B e d a h U r o l o g i
Persarafan Ureter
Ureter mendapatkan persarafan oronomik simpatetik dan parasimpatetik.
 Simpatetik : Serabut preganglionik dari segmen spinal T10 – L2; serabut
post – ganglionik berasal dari coeliak, aortikorenal, mesentrika superior
dan pleksus otonomik hipogastrik iferior.
 Parasimpatetk: serabut vagal melalui coeliac ke ureter sebelah atas;
sedangkan serabut dari S2 – 4 ke ureter bawah.
Peranan persarafan otonom belum jelas, dan tidak berperan pada
peristaltik ureter (meskipun ada kemungkinan memodulasi gerakan tersebut).
Gelombang peristaltik berasal dari pacemaker yang berada di dalam intrinsik
sel otot polos yang terletak di kaliks minor sistem pelvikalises (Anatomi,
2011).

Buli – buli
Buli – buli atau vesika urinaria adalah organ berongga yang terdiri
atas 3 lapis otot detrusor yang saling beranyaman, yakni (1) terletak paling
dalam adalah otot longitudinal, (2) di tengah merupakan otot sirkuler, (3)
paling luar merupakan otot longitudinal. Pada dasar buli – buli kedua muara
ureter dan meatus uretra internum membentuk suatu segitiga yang disebut
trigonum buli – buli. Secara anatoms, buli – buli terdiri atas 3 permukaan,
yaitu (1) permukaan superior yang berbatasan dengan rogga peritoneum, (2)
dua permukaan inferolateral, (3) permukaan posterior. Permukaan superior
merupakan lokus minioris (daerah terlemah) dinding buli – buli. Kapasitas
maksimal buli – buli pada dewasa adalah 300 – 450 ml. Buli – buli yang terisi
penuh akan memberikan rangsangan pada saraf aferen dan mengaktifkan
pusat miksi di medula spinalis segmen sakral S2 – 4 (Anatamo, 2011).

15 | B e d a h U r o l o g i
Uretra
Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urine keluar dari buli –
buli melalui proses miksi. Secara anatomis, uretra dibagi menjadi 2 bagian
yaitu uretra posterior dan uretra anterior. Uretra juga memiliki dua buah
sfingter, yaitu sfingter uretra interna yang terletak pada perbatsan buli-buli
dan uretra, serta sfingter uretra eksterna yang terletak pada perbatasan uretra
anterior dan posterior. Sfingter uretra interna terdiri atas otot polos yang
dipersarafi oleh sistem simpatik, sehingga saat buli-buli penuh, sfingter ini
terbuka. Sfingter uretra eksterna terdiri atas otot lurik yang dipersaarafi oleh
sistem somatik. Aktifitas sfingter uretra ksterna dapat dikontrol oleh
keinginan seseorang. Panjang uretra wanita kurang lebih 3-5cm dan pria
dewasa 23 – 35cm (Anatomi, 2011).
Uretra posterior pada pria terdiri atas pars prostatika, yakni bagian
uretra yang dilingkupi oleh kelenjar prostat, dan uretra pars membranosa.
Uretra anterior adalah bagian uretra yang dibungkus leh korpus spongiosum
penis. Uretra anterior terdiri atas (1) pars bulbosa, (2) pars pendularis, (3)
fossa navikularis, dan (4) meatus uretra eksterna. Di dalam lumen uretra
anterior terdapat beberapa muara kelenjar yang yang berfungsi dalam kelenjar
reproduksi, yaitu kelenjar cowperi (Anatomi, 2011).

16 | B e d a h U r o l o g i
Panjang uretra wanita kurang lebih 4cm dengan diameter 8mm.
Berada dibawah simfisis pubis dan bermuara di bagian anterior vagian. Di
dalam uretra bermuara kelenjar periuretra, diantaranya kelenjar skene.
Kurang lebih sepertiga medial uretra, terdapat sfingter uretra eksterna yang
terdiri dari otot bergaris (Anatomi, 2011).

2.2. Batu Ginjal


A. Definisi

Urolitiasis atau dikenal dengan penyakit batu saluran kemih yang


selanjutnya disingkat BSK adalah terbentuknya batu yang disebabkan
oleh pengendapan substansi yang terdapat dalam air kemih yang
jumlahnya berlebihan atau karena faktor lain yang mempengaruhi daya
larut substansi.

17 | B e d a h U r o l o g i
Gambar 3.1 Contoh Urolithiasis

B. Etiologi
Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya dengan
gangguan aliran urin, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih,
dehidrasi, dan keadaan-keadaan lain yang masih belum terungkap
(idiopatik). Secara epidemiologis terdapat beberapa faktor yang
mempermudah terjadinya batu saluran kemih pada seseorang. Faktor-
faktor itu adalah faktor intrinsik yaitu keadaan yang berasal dari tubuh
seseorang dan faktor ekstrinsik yaitu pengaruh yang berasal dari
lingkungan sekitarnya.
a. Faktor intrinsik itu antara lain adalah :
1. Herediter (keturunan)
Penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya.
2. Umur
Penyakit ini paling sering didapatkan pada usia 30-50 tahun.
3. Jenis kelamin
Jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan
pasien perempuan.

18 | B e d a h U r o l o g i
Gambar 3.2 Kejadian Urolithiasis Berdasarkan Usia dan Jenis
Kelamin

b. Faktor ekstrinsik diantaranya adalah:


1. Geografi
Pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu saluran
kemih yang lebih tinggi daripada daerah lain sehingga dikenal
sebagi daerah stone belt (sabuk batu), sedangkan daerah Bantu di
Afrika Selatan hampir tidak dijumpai penyakit batu saluran kemih.
2. Iklim dan temperatur
3. Asupan air
Kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium pada
air yang dikonsumsi, dapat meningkatkan insiden batu saluran
kemih.
4. Diet
Diet tinggi purin, oksalat dan kalsium mempermudah terjadinya
penyakit batu saluran kemih.
5. Pekerjaan

19 | B e d a h U r o l o g i
Penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya
banyak duduk atau kurang aktivitas atau sedentary life.

C. Epidemiologi
Urolithiasis merupakan penyakit tersering ketiga di bidang urologi
di samping infeksi saluran kemih dan pembesaran prostat benigna.
Kejadian pada pria empat kali lebih tinggi daripada wanita, kecuali
untuk batu amonium magnesium fosfat (struvit), lebih sering
terdapat di wanita dan usia rata-rata BSK terjadi pada usia 30 sampai
50 tahun. Angka kejadian BSK di Indonesia tahun 2002 berdasarkan
data yang dikumpulkan dari rumah sakit di seluruh Indonesia adalah
37.636 kasus baru, dengan jumlah kunjungan 58.959 penderita.
Sedangkan jumlah pasien yang dirawat adalah 19.018 penderita, dengan
jumlah kematian 378 penderita.
D. Klasifikasi
Urolithiasis dapat di klasifikasikan berdasarkan lokasi batu,
karakteristik x-ray, etiologi proses pembuatan batu dan komposisi batu.
Klasifikasi ini penting dalam menatalakasanakan pasien karena dapat
mempengaruhi terapi dan juga prognosis.
1. Lokasi batu
 Nefrolithiasis : Batu yang terbentuk pada pielum, tubuli
hingga calyx ginjal.
 Ureterolithiasis : Batu yang terdapat pada ureter.
 Cystolithiasis : Batu yang terdapat pada vasika urinaria.
 Urethrolithiasis : Batu pada saluran uretra
2. Karakteristik radiologi
 Radiopaque : kalsium oksalat dihidrat, kalsium oksalat
monohidrat, kalsium fosfat.
 Poor radiopaque : magnesium ammonium fosfat, apatit,
sistein.
 Radiolucent : usam urat, ammonium urat, xantin, 2,8
dihidroxy-adenine.

20 | B e d a h U r o l o g i
3. Etiologi
 Non-infeksi : kalsium oksalat, kalsium fosfat, asam urat.
 Infeksi : magnesium ammonium fosfat, apatit,
ammonium urat.
 Genetik : sistein, xantin, 2,8 dihidroksiadenin.
4. Komposisi
Batu saluran kemih pada umumnya mengandung unsur kalsium
oksalat atau kalsium fosfat 75%, asam urat 6%, magnesium-
amonium-fosfat 15%, sistin, silikat dan senyawa lain 1-2%.
 Batu Kalsium
Batu jenis ini paling banyak dijumpai yaitu kurang lebih
70-80 % dari seluruh batu ginjal. Kandunganya terdiri atas kalsium
oksalat, kalsium phospat, maupun campuran dari keduanya.
Sebagian besar berpendapat bahwa batu kalsium oksalat awalnya
terutama dibentuk oleh agregasi dari kalsium phospat yang ada
pada renal calyx epithelium. Konkresi kalsium phospat mengikis
urothelium dan kemudian terpapar pada urine dan membentuk
suatu nidus/inti batu untuk deposisi kalsium oxalat. Kemudian
deposisi kalsium oxalat tumbuh hingga batu tersebut cukup besar
untuk menghancurkan urothelial dan kemudian tersebar ke dalam
ductus collecting.
Faktor faktor yang mempengaruhi tebentuknya batu
kalsium adalah hiperkalsiuri yaitu kadar kalsium di dalam urine
lebih besar dari 250-300 mg/24 jam. Selain itu hiperoksaluri
dimana eksresi oksalat lebih dari 45 gr per hari. Keadaan ini
banyak dijumpai pada pasien yang banyak mengkonsumsi
makanan kaya oksalat seperti soft drink, arbei, jeruk sitrun, teh,
kopi, dan sayuran berwarna hijau terutama bayam. Kadar asam urat
melenihih 850 mg/24 jam juga merupakan faktor predisposisi
terbentuknya batu, karna asam urat ini akan berperan sebagai nidus
untuk terbentuknya batu kalsium oksalat.

21 | B e d a h U r o l o g i
Sitrat dan magnesium dapat berikatan dengan kalsium dan
membentuk ikatan yang mudah larut sehingga menghalangi ikatan
kalsium dengan oksalat. Sehingga keadaan hipositraturia dan
hipomagnesuria dapat menjadi faktor predisposisi terbentuknya
batu kalsium.
 Batu asam urat
Asam urat adalah hasil metabolisme dari purin. Asam urat
100x lebih larut dalam pH > 6 dibanding pad pH<5,5. Faktor
predisposisi terutama adalah suasana asam yang berlebihan dalam
tubuh (asidosis) pH< 6, dehydrasi dimana urine < 2 liter/hari. Hasil
metabolisme purin ini akan mengalami presipitasi pda tubulus
renalis dan menyebabkan batu asam urat. Batu asam urat
menempati persentasi sekitar 5-10% dari keseluruhan batu saluran
kemih. 75-80 % adalah asam urat murini sisanya adalah campuran
dengan kalsium oksalat. Pada pemeriksaan IVP batu ini bersifat
radiolusen sehingga tampak sebagai bayangan filling defect dan
harus dibedakan dengan bekuan darah dsb.
 Batu struvit
Disebabkan oleh infeksi dari organisme yang memproduksi
urease yang mampu metubah urin menjadi suasan basa seperti
proteus mirabilis (paling banyak) diikuti oleh Klebsiella,
Enterobacter atau Pseudomonas. Suasana basa ini memudahkan
magnesium, amonium, fosfat, karbonat untuk membentuk batu
magnesium fosfat dan karbonat apatit.
 Batu cysteine
Batu sistin dibentuk pada pasien dengan kelainan
kongenital yaitu adanya defek pada gen yang mentransport cystein
atau gangguan asbsorbsi sistin pada mukosa usus.

22 | B e d a h U r o l o g i
Gambar 3.3 Gambaran bentuk batu kalsium oksalat

Gambar 3.4 Gambaran bentuk batu struvit

Gambar 3.5 Gambaran bentuk batu asam urat

Gambar 3.6 Gambaran bentuk batu sistin

23 | B e d a h U r o l o g i
E. Patofisiologi
Terdapat 2 mekanisme pembentukan batu yaitu supersaturasi atau
infeksi. Batu yang dihasilkannyapun dapat berbeda, pada supersaturasi
(free stone formation) batu yang terbentuk biasanya adalah batu asam
urat dan sistein. Pada infeksi batu yang terbentuk adalah hasil dari
metabolisme bakteri. Sedangkan formasi batu yang frekuensinya paling
banyak, kalkulus yang mengandung kalsium, lebih kompleks masih
belum dapat jelas dimengerti.
Batu terdiri dari bahan-bahan organik maupun anorganik yang
terlarut dalam urin. Kristal-kristal tersebut tetap berada dalam keadaan
metastable dalam urin jika tidak ada keadaan keadaan tertentu yang
menyebabkan terjadinya presipitasi kristal. Kristal yang saling
mengadakan presipitasi membentuk inti batu yang kemudian akan
mengadakan agregasi dan menarik bahan bahan lain sehingga menjadi
Kristal yang lebih besar. Kristal tersebut bersifat rapuh dan belum
cukup membuntukan saluran kemih. Maka dari itu agregat Kristal
menempel pada epitel saluran kemih dan membentuk retensi kristal.
dengan mekanisme inilah bahan bahan lain diendapkan pada agregat
tersebut hingga membentuk batu yang cukup besar untuk menyumbat
saluran kemih.
Kondisi metastable dapat dipengaruhi oleh suhu, pH larutan,
adanya koloid di dalam urin, konsentrasi solute di dalam urin, laju
aliran urin di dalam saluran kemih, atau adanya korpus alienum di
dalam saluran kemih yang bertindak sebagai inti batu. Batu asam urat
lebih mudah terbentuk dalam suasana asam, sedangkan magnesium
ammonium fosfat cenderung terformasi dalam keadaan basa. Lebih dari
80% batu saluran kemih terdiri atas batu kalsium. Kalsium dapat
berikatan dengan oksalat, fosfat membentuk batu kalsium fosfat dan
kalsium oksalat.
Ada beberapa zat yang dapat bertindak sebagai inhibitor
pembentukan batu. Ion magnesium dapat menghambat pembentukan
batu kalsium oksalat dengan cara berikatan dengan oksalat. Demikian

24 | B e d a h U r o l o g i
pula sitrat jika berikatan dengan ion kalsium akan membentuk garam
kalsium sitrat sehingga dapat mengurangi formasi batu yang
berkomponen kalsium. Beberapa proteinpun dapat bertindak sebagai
inhibitor dengan cara menghambat pertumbuhan kristal, menghambat
agregasi kristal maupu menghambat retensi kristal. senyawa itu antara
lain adalah: glikosaminoglikan, protein Tamm Horsfall, nefrokalsin dan
osteopontin.
F. Gejala klinis
Batu pada kaliks ginjal memberikan rada nyeri ringan sampai
berat karena distensi dari kapsul ginjal. Begitu juga baru pada pelvis
renalis, dapat bermanifestasi tanpa gejala sampai dengan gejala berat.
Umumnya gejala batu saluran kemih merupakan akibat obstruksi aliran
kemih dan infeksi. Keluhan yang disampaikan oleh pasien tergantung
pada posisi atau letak batu, besar batu, dan penyulit yang telah terjadi.
Keluhan yang paling dirasakan oleh pasien adalah nyeri pada
pinggang. Nyeri ini mungkin bisa merupakan nyeri kolik ataupun
bukan kolik. Nyeri kolik terjadi karena aktivitas peristaltik otot polos
sistem kalises ataupun ureter meningkat dalam usaha untuk
mengeluarkan batu dari saluran kemih. Peningkatan peristaltik itu
menyebabkan tekanan intraluminalnya meningkat sehingga terjadi
peregangan dari terminal saraf yang memberikan sensasi nyeri.
Nyeri ini disebabkan oleh karena adanya batu yang menyumbat
saluran kemih, biasanya pada pertemuan pelvis ren dengan ureter
(ureteropelvic junction), dan ureter. Nyeri bersifat tajam dan episodik
di daerah pinggang (flank) yang sering menjalar ke perut, atau lipat
paha, bahkan pada batu ureter distal sering ke kemaluan. Mual dan
muntah sering menyertai keadaan ini.
Nyeri non kolik terjadi akibat peregangan kapsul ginjal karena
terjadi hidronefrosis atau infeksi pada ginjal. Pada pemeriksaan fisik
mungkin didapatkan nyeri ketok pada daerah kosto-vertebra, teraba
ginjal pada sisi sakit akibat hidronefrosis, terlihat tanda-tanda gagal

25 | B e d a h U r o l o g i
ginjal, retensi urine, dan jika disertai infeksi didapatkan demam-
menggigil.
Jika terjadi komplikasi seperti hidronefrosis ataupun infeksi
maka gejala obstruksi saluran kemih bagian atas seperti demam dan
mual muntah pun dapat dirasakan oleh pasien4.
G. Diagnosis
1. Anamnesis
Pasien dengan BSK mempunyai keluhan yang bervariasi
mulai dari tanpa keluhan, sakit pinggang ringan sampai dengan
kolik, disuria, hematuria,retensio urine, anuria. Keluhan ini dapat
disertai dengan penyulit seperti demam, dan tanda-tanda gagal
ginjal. Setalah itu, menggali penyakit terdahulu yang dapat menjadi
faktor pencetus terbentuknya batu seperti riwayat ISK dengan batu
saluran kemih, kelainan anatomi, renal insuffciency,dll.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien dengan BSK dapat bervariasi
mulai dari tanpa kelainan fisik sampai tanda-tanda sakit berat,
tergantung pada letak batu dan penyulit yang ditimbulkan. Pada
pemeriksaan fiisk khusus urologi dapat dijumpai :
 Sudut kosto vertebra : Nyeri tekan, nyeri ketok dan
pembesaran ginjal
 Supra simfisis : nyeri tekan, teraba batu, buli-buli penuh
 Genitalia eksterna : teraba batu di uretra
 Colok dubur : teraba batu pada buli-buli pada saan melakukan
palpasi bimanual
3. Pemeriksaan Laboratorium
Dilakukannya pemeriksaan urin rutin untuk melihat adanya
eritrosuria, leukosituria, bakteriuria, pH urin dan kultur urin. Pada
pemeriksaan darah dilakukan untuk melihat hemoglobin, leukosit,
ureum dan kreatinin. Pada hasil urinalisis bila pH >7,5 : lithiasis
disebabkan oleh infeksi dan bila pH <5,5 : lithiasis karena asam
urat.

26 | B e d a h U r o l o g i
4. Pencitraan
Diagnosis klinis sebaiknya didukung dengan prosedur
pencitraan yang tepat. Pemeriksaan rutin yang dilakukan yaitu foto
polos perut dengan pemeriksaan ultrasonografi atau dengan
intavenous pyelography atau spiral CT.
Pada pemeriksaan IVP tidak boleh dilakukan pada pasien-
pasien berikut ini:
 Dengan alergi kontras
 Dengan level kreatinin serum >200 mmol/L atau >2 mg/dl
 Dengan pengobatan metformin
 Dengan myelomatosis
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk penegakkan
diagnosis dan rencana terapi antara lain:
1. Foto Polos Abdomen
Pembuatan foto polos abdomen bertujuan untuk melihat
kemungkinan adanya batu radio opak di saluran kemih. Batu-batu
jenis kalsium oksalat dan kalsium fosfat bersifat radio opak dan
paling sering dijumpai diantara batu lain, sedangkan batu asam urat
bersifat non opak (radio lusen). Urutan radioopasitas beberapa
batu saluran kemih seperti pada tabel 1.
Tabel 1. Urutan radioopasitas beberapa batu saluran kemih
Jenis Batu Radioopasitas
Kalsium Opaque
MAP Semiopaque
Urat/sistin Non-opaque
2. Pielografi Intra Vena (PIV/IVP)
Pemeriksaan ini bertujuan menilai keadaan anatomi dan fungsi
ginjal. Selain itu PIV dapat mendeteksi adanya batu semi-opak
ataupun batu non opak yang tidak dapat terlihat oleh foto polos
abdomen. Jika PIV belum dapat menjelaskan keadaan sistem
saluran kemih akibat adanya penurunan fungsi ginjal, sebagai
penggantinya adalah pemeriksaan pielografi retrograd.

27 | B e d a h U r o l o g i
3. Ultrasonografi
USG dikerjakan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan
PIV, yaitu pada keadaan-keadaan: alergi terhadap bahan kontras,
faal ginjal yang menurun, dan pada wanita yang sedang hamil.
Pemeriksaan USG dapat menilai adanya batu di ginjal atau di buli-
buli (yang ditunjukkan sebagai echoic shadow), hidronefrosis,
pionefrosis, atau pengkerutan ginjal.
4. Pemeriksaan Mikroskopik Urin, untuk mencari hematuria dan
Kristal.
5. Renogram, dapat diindikasikan pada batu staghorn untuk
menilai fungsi ginjal.
6. Analisis batu, untuk mengetahui asal terbentuknya.
7. Kultur urin, untuk mecari adanya infeksi sekunder.
8. DPL, ureum, kreatinin, elektrolit, kalsium, fosfat, urat, protein,
fosfatase alkali serum.

Gambar 3.7 Temuan Radiologi Pada Nefrolitiasis

H. Penatalaksanaan
Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih
secepatnya harus dikeluarkan agar tidak menimbulkan penyulit yang
lebih berat. Indikasi untuk melakukan tindakan atau terapi pada batu
saluran kemih adalah jika batu telah menimbulkan obstruksi, infeksi,
atau harus diambil karena suatu indikasi sosial. Obstruksi karena batu
saluran kemih yang telah menimbulkan hidroureter atau hidronefrosis

28 | B e d a h U r o l o g i
dan batu yang sudah menimbulkan infeksi saluran kemih, harus segera
dikeluarkan.
Kadang kala batu saluran kemih tidak menimbulkan penyulit
seperti diatas, namun diderita oleh seorang yang karena pekerjaannya
(misalkan batu yang diderita oleh seorang pilot pesawat terbang)
memiliki resiko tinggi dapat menimbulkan sumbatan saluran kemih
pada saat yang bersangkutan sedang menjalankan profesinya dalam hal
ini batu harus dikeluarkan dari saluran kemih. Pilihan terapi antara
lain:
1. Terapi Konservatif
Pada dasarnya penatalaksanaan batu saluran kemih secara
farmakologis meliputi dua aspek:
 Menghilangkan rasa nyeri/kolik yang timbul akibat adanya batu,
dan
 Menangani batu yang terbentuk, yaitu dengan meluruhkan batu dan
juga mencegah terbentuknya batu lebih lanjut (atau dapat juga
sebagai pencegahan/profilaksis).
Panduan khusus dalam menatalaksana batu saluran kemih:
a. Pasien dengan dehidrasi harus tetap mendapat asupan cairan yang
adekuat
b. Tatalaksana untuk kolik ureter adalah analgesik, yang dapat dicapai
dengan pemberian opioid (morfin sulfat) atau NSAID.
c. Pada pasien dengan kemungkinan pengeluaran batu secara spontan,
dapat diberikan regimen MET (medical expulsive therapy).
Regimen ini meliputi kortikosteroid (prednisone), calcium channel
blocker (nifedipin) untuk relaksasi otot polos uretra dan alpha
blocker (terazosin) atau alpha-1 selective blocker (tamsulosin)
yang juga bermanfaat untuk merelaksasikan otot polos uretra dan
saluran urinari bagian bawah. Sehingga dengan demikian batu
dapat keluar dengan mudah (85% batu yang berukuran kurang dari
3 mm dapat keluar spontan).

29 | B e d a h U r o l o g i
d. Pemberian analgesik yang dikombinasikan dengan MET dapat
mempermudah pengeluaran batu, mengurangi nyeri serta
memperkecil kemungkinan operasi. Pemberian regimen ini hanya
dibatasi selama 10-14 hari, apabila terapi ini gagal (batu tidak
keluar) maka pasien harus dikonsultasikan lebih lanjut pada
urologis. Pada batu dengan komposisi predominan kalsium, sulit
untuk terjadi peluruhan (dissolve). Oleh sebab itu tatalaksana lebih
mengarah pada pencegahan terbentuknya kalkulus lebih lanjut. Hal
ini dapat dicapai dengan pengaturan diet, pemberian inhibitor
pembentuk batu atau pengikat kalsium di usus, peningkatan asupan
cairan serta pengurangan konsumsi garam dan protein. Adapun
batu dengan komposisi asam urat dan sistin (cystine) lebih mudah
untuk meluruh, yaitu dengan bantuan agen alkalis. Agen yang
dapat digunakan adalah sodium bikarbonat atau potasium sitrat. pH
dijaga agar berada pada kisaran 6.5-7.0. Dengan cara demikian
maka batu yang berespon terhadap terapi dapat meluruh, bahkan
hingga 1 cm per bulan.
Pada pasien batu asam urat, jika terdapat
hiperurikosurik/hiperurisemia dapat diberikan allopurinol. Selain itu,
pada pasien dengan batu sistin, dapat diberikan D-penicillamine, 2-
alpha-mercaptopropionyl-glycine yang fungsinya mengikat sistin
bebas di urin sehingga mengurangi pembentukan batu lebih lanjut.
Di bawah ini adalah obat yang dapat digunakan untuk
menatalaksana batu saluran kemih :
1. Opioid analgesik, berfungsi sebagai penghilang rasa nyeri. Dapat
digunakan kombinasi obat (seperti oxycodone dan acetaminophen)
untuk menghilangkan rasa nyeri sedang sampai berat. Hanya jika
diperlukan (prn= pro re nata)
 Morphine sulphate 2-5 mg IV setiap 15 menit jika
diperlukan (jika RR<16 x/menit dan sistolik < 100 mmHg),
atau

30 | B e d a h U r o l o g i
 Oxycodone dan acetaminophen 1-2 tablet/kapsul PO setiap
4-6 jam jika diperlukan, atau
 Hydrocodone dan acetaminophen 1-2 tablet/kapsul PO
setiap 4-6 jam jika diperlukan.
2. Obat antiinflamasi non-steroid, bekerja dengan menghambat
aktivitas COX yang bertanggung jawab dalam sintesis prostaglandin
(PGD) sebagai mediator nyeri. Bermanfaat dalam mengatasi kolik
ginjal.
 Ketorolac 30 mg IV (15 mg jika usia >65 tahun, gangguan
fungsi ginjal atau BB <50 kg) diikuti dosis 15 mg IV setiap
6 jam jika diperlukan. Dianjurkan untuk tidak digunakan
melebihi 5 hari karena kemungkinan tukak lambung.
 Ibuprofen 600-800 mg PO setiap 8 jam.
3. Kortikosteroid, merupakan agen antiinflamatorik yang dapat
menekan peradangan di ureter. Juga memiliki efek imunosupresif.
 Prednisone 10 mg PO dua kali sehari. Penggunaan
prednisone dibatasi tidak boleh melebihi 5-10 hari.
4. Calcium channel blockers, merupakan obat yang mengganggu
konduksi ion Ca2+ pada kanal kalsium sehingga menghambat
kontraksi otot polos.
 Nifedipine 30 mg/hari PO extended release cap
5. Alpha blocker, merupakan antagonis dari reseptor α1-adrenergic.
Dalam keadaan normal reseptor α1-adrenergic merupakan bagian
dari protein berpasangan protein G (G protein-coupled receptor).
Protein ini berfungsi dalam signaling dan aktivasi protein kinase C
yang memfosforilasi berbagai protein lainnya. Salah satu efeknya
adalah konstriksi otot polos; dengan adanya alpha blockers maka
konstriksi otot polos (pada saluran kemih) tersebut dihambat.
 Tamsulosine 0.4 mg tablet PO setiap hari selama 10 hari.
Tamsulosin merupakan alpha-1 blocker yang digunakan
untuk memudahkan keluarnya batu saluran kemih.
 Terazosin 4 mg PO setiap hari selama 10 hari.

31 | B e d a h U r o l o g i
6. Obat urikosurik, merupakan obat yang menghambat nefropati dan
pembentukan kalkulus oksalat.
 Allopurinol 100-300 mg PO setiap hari. Allopurinol
merupakan obat yang menghambat enzim xantin oksidase,
suatu enzim yang mengubah hipoxantin menjadi asam urat.
7. Agen alkalis
 Potassium citrate 30-90 mEq/hari PO dibagi menjadi 3-4
kali sehari, dimakan bersama makanan.
8. Diuretic
 Thiazide, hidroklorothiazide 25-50 mg perhari.
2. ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy)
Berbagai tipe mesin ESWL bisa didapatkan saat ini. Walau
prinsip kerjanya semua sama, terdapat perbedaan yang nyata antara
mesin generasi lama dan baru, dalam terapi batu ureter. Pada
generasi baru titik fokusnya lebih sempit dan sudah dilengkapi
dengan flouroskopi, sehingga memudahkan dalam pengaturan
target/posisi tembak untuk batu ureter. Hal ini yang tidak terdapat
pada mesin generasi lama, sehingga pemanfaatannya untuk terapi
batu ureter sangat terbatas. Meskipun demikian mesin generasi
baru ini juga punya kelemahan yaitu kekuatan tembaknya tidak
sekuat yang lama, sehingga untuk batu yang keras perlu beberapa
kali tindakan.
Dengan ESWL sebagian besar pasien tidak perlu dibius,
hanya diberi obat penangkal nyeri. Pasien akan berbaring di suatu
alat dan akan dikenakan gelombang kejut untuk memecahkan
batunya Bahkan pada ESWL generasi terakhir pasien bisa
dioperasi dari ruangan terpisah. Jadi, begitu lokasi ginjal sudah
ditemukan, dokter hanya menekan tombol dan ESWL di ruang
operasi akan bergerak. Posisi pasien sendiri bisa telentang atau
telungkup sesuai posisi batu ginjal. Batu ginjal yang sudah pecah
akan keluar bersama air seni. Biasanya pasien tidak perlu dirawat
dan dapat langsung pulang.

32 | B e d a h U r o l o g i
3. Endourologi
Tindakan Endourologi adalah tindakan invasif minimal
untuk mengeluarkan batu saluran kemih yang terdiri atas memecah
batu, dan kemudian mengeluarkannya dari saluran kemih melalui
alat yang dimasukkan langsung ke dalam saluran kemih. Alat itu
dimasukkan melalui uretra atau melalui insisi kecil pada kulit
(perkutan). Proses pemecahan batu dapat dilakukan secara
mekanik, dengan memakai energi hidraulik, energi gelombang
suara, atau dengan energi laser. Beberapa tindakan endourologi
antara lain:
a. PNL (Percutaneous Nephro Litholapaxy) yaitu
mengeluarkan batu yang berada di dalam saluran ginjal dengan
cara memasukkan alat endoskopi ke sistem kalises melalui
insisi pada kulit. Batu kemudian dikeluarkan atau dipecah
terlebih dahulu menjadi fragmen-fragmen kecil.
b. Litotripsi (untuk memecah batu buli-buli atau batu uretra
dengan memasukkan alat pemecah batu/litotriptor ke dalam
buli-buli).
c. Ureteroskopi atau uretero-renoskopi. Keterbatasan URS
adalah tidak bisa untuk ekstraksi langsung batu ureter yang
besar, sehingga perlu alat pemecah batu seperti yang
disebutkan di atas. Pilihan untuk menggunakan jenis pemecah
batu tertentu, tergantung pada pengalaman masing-masing
operator dan ketersediaan alat tersebut.
d. Ekstraksi Dormia (mengeluarkan batu ureter dengan
menjaringnya melalui alat keranjang Dormia).
4. Bedah Terbuka
Di klinik-klinik yang belum mempunyai fasilitas yang
memadai untuk tindakan-tindakan endourologi, laparoskopi,
maupun ESWL, pengambilan batu masih dilakukan melalui
pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka itu antara lain adalah:
pielolitotomi atau nefrolitotomi untuk mengambil batu pada

33 | B e d a h U r o l o g i
saluran ginjal, dan ureterolitotomi untuk batu di ureter. Tidak
jarang pasien harus menjalani tindakan nefrektomi atau
pengambilan ginjal karena ginjalnya sudah tidak berfungsi dan
berisi nanah (pionefrosis), korteksnya sudah sangat tipis, atau
mengalami pengkerutan akibat batu saluran kemih yang
menimbulkan obstruksi atau infeksi yang menahun.
Beberapa variasi operasi terbuka untuk batu ureter mungkin
masih dilakukan. Tergantung pada anatomi dan posisi batu,
ureterolitotomi bisa dilakukan lewat insisi pada flank, dorsal atau
anterior. Meskipun demikian dewasa ini operasi terbuka pada batu
ureter kurang lebih tinggal 1 -2 persen saja, terutama pada
penderita-penderita dengan kelainan anatomi atau ukuran batu
ureter yang besar10.
5. Pemasangan Stent
Meskipun bukan pilihan terapi utama, pemasangan stent
ureter terkadang memegang peranan penting sebagai tindakan
tambahan dalam penanganan batu ureter. Misalnya pada penderita
sepsis yang disertai tanda-tanda obstruksi, pemakaian stent sangat
perlu. Juga pada batu ureter yang melekat (impacted).
Setelah batu dikeluarkan dari saluran kemih, tindakan
selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah upaya menghindari
timbulnya kekambuhan. Angka kekambuhan batu saluran kemih
rata-rata 7% per tahun atau kurang lebih 50% dalam 10 tahun.

34 | B e d a h U r o l o g i
Algoritme penatalaksanaan non medika mentosa pada
urolithiasis

2.3 Obstruksi Saluran Kemih


A. Definisi
Obstruksi saluran kemih atau sering disebut dengan uropati
obstruktif, bisa terjadi pada seluruh bagian saluran kemih, mulai dari kaliks
hingga meatus uretra eksterna. Sistem saluran kemih dibagi menjadi dua
bagian besar, yakni bagian atas yang dimulai dari sistem kalises hingga
muara ureter dan bagian bawah, yaitu buli – buli dan uretra. Penyebab
paling umum terjadinya obstruksi saluran kemih bagian bawah adalah BPH,
batu kantung kemih, striktur uretra dan keganasan pada vesica urinaria,
prostat dan uretra. Sedangkan pada wanita, prolaps organ seperti vesica
urinaria, rectum atau usus melalui vagina dapat menyebabkan obstruksi
fungsional melalui penekanan uretra atau kinking.
Obstruksi ini dibedakan atas obstruksi akut atau kronik, unilateral
atau bilateral (pada saluran kemih atas, dan parsial atau total. Obstruksi
dapat menyebabkan dilatasi pelvis renalis maupun kaliks, yang dikenal
sebagai hidronefrosis. Hidronefrosis dapat menjadi petanda adanya
obstruksi saluran kemih.

35 | B e d a h U r o l o g i
B. Etiologi
Penyebab nefropati obstruksi bervariasi tergantung dengan usia
pasien. Kelainan anatomi lebih sering pada anak-anak. Kelaian pada anak-
anak yang sering ditemukan antara lain obstruksi ureteropelvic junction,
obstruksi ureterovesical junction, atresia katup uretra posterior, atresia uretra
dan neuropati kandung kemih yang sering ditemukan. Penyebab obstruksi
pada orang dewasa antara lain pembesaran prostat, tumor, batu saluran
kemih, striktur ureter dan fibrosis retroperitoneal yang sering dijumpai
(Ucero, 2010).
Obstruksi saluran kemih bisa disebabkan oleh berbagai sebab,
yakni karena penyakit bawaan (congenital) atau didapat (acquired), dan
penyakit yang ada di dalam lumen (intraluminar) atau desakan dari lumen
(ekstraluminar) saluran kemih. Obstruksi saluran kemih sebelah atas
mengakibatkan kerusakan saluran kemih (ureter dan ginjal) pada sisi yang
terkena, tetapi obstruksi di saluran kemih bagian bawah akan berakibat pada
kedua sistem saluran kemih bagian atas. Etiologi obstruksi saluran kemih
dapat dilihat pada Tabel 2.1. (Basuki, 2011).

C. Epidemiologi
Pada penelitian mengenai obstruksi saluran kemih pada 59.064
otopsi dari usia neonatus sampai geriatric, ditemukan prevalensi
hidronefrosis sekitar 3,1 persen. Tidak ada perbedaan hidronefrosis antara
laki-laki dan perempuan sampai usia 20 tahun. Namun prevalensi
hidronefrosis lebih tinggi pada perempuan usia 20 – 60 tahun. Ini
disebabkan adanya pengaruh kehamilan dan keganasan pada ginekologi.
Sedangkan pada laki-laki prevalensi hidronefrosis meningkat setelah usia 60
tahun, ini disebabkan oleh pembesaran prostat (Singh, 2012). 78% kasus
urosepsis disebabkan oleh obstruksi saluran kemih (Wagenlehner FM, et al,
2009) dan angka mortalitas akibat urosepsis mencapai 16,1 %.
Berbagai etiologi obstruksi saluran kemih (Basuki, 2011)
DIDAPAT
KONGENITAL
NEOPLASIA INFLAMASI
Ginjal Kista Ginjal Tumor Ginjal Tuberculosis

36 | B e d a h U r o l o g i
Kista Peripelvik (Wilm / Grawitz) Infeksi
Obstruksi PUJ TCC pelvis Echinococcus
(termasuk vasa aberan) Mieloma multiple
Striktura
Ureterokel Tuberculosis
Refluks vesikoureter Schistosomiasis
Kanker ureter
Ureter Klep ureter Abses
(primer / metastasis)
Ginjal ektopik Uretritis Sistika
Ureter retrokaval Endometriosis
Prune – belly
Buli – buli Kanker buli – buli Sistitis
BPH Prostatitis
Katup Uretra Posterior
Kanker Prostat Abses Parauretra
Uretra Fimosis
Kanker Uretra Stenosis meatus
Hipospadia / Epispadia
Kanker Penis uretra eksterna

D. Patofisiologi
Obstruksi saluran kemih akan menyebabkan kerusakan struktur
maupun fungsi ginjal yang tergantung pada lama obstruksi, derajat
obstruksi, unilateral atau bilateral, dan adanya infeksi yang menyertainya.
Perubahan yang terjadi pada ke empat variabel pada saat obstruksi
berlangsung dibagi dalam tiga waktu kritis yaitu: Fase I atau akut (0 – 90
menit), fase II atau pertengahan (2 – 5 jam), dan fase III atau lanjut (24 jam)
dan fase pascaobstruksi. Dimana tekanan intrakalises, aliran darah ginjal
(RBF), rerata laju filtrasi glomerulus (GFR), dan fungsi tubulus distalis
(DTP) akan semakin memburuk sesuai dengan semakin lamanya waktu
kritis.
Urine yang alirannya terhambat, pada minggu pertama obstruksi
akan menyebabkan dilatasi saluran kemih. Urine akan masuk ke jaringan
parenkim ginjal dan menyebabkan edema ginjal sehingga berat ginjal
bertambah, yang selanjutnya mulai terjadi atrofi sel parenkim. Setelah
beberapa minggu, atrofi akan lebih dominan daripada edema sehingga berat
ginjal berkurang. Ginjal akan terlihat berwarna gelap karena terdapat bagian
yang mengalami iskemia, edema sel darah merah, dan nekrosis. Obstruksi
yang berlangsung lama akan menyebabkan kerusakan nefron yang progresif
yang dimulai dari penekanan sistem pelvikalises ke dalam parenkim ginjal.
Selanjutnya medula dan kortreks ginjal akan mengalami atrofi. Akibat

37 | B e d a h U r o l o g i
tekanan yang terus menerus, akan terlihat kerusakan pada kaliks ginjal yang
pada keadaan normal, ujung proksimal nya berbentuk cekung. Tekanan
urine yang terus menerus menyebabkan pelvis dan kalises ginjal mengalami
dilatasi.
Secara histopatologis juga terjadi dilatasi dan atrofi tubulus,
pembentukan cast, fibrosis interstisial, dan kerusakan glomeruli. Glomeruli
lebih tahan terhadap proses kerusakan akibat obstruksi dibandingkan
tubulus; demikian pula setelah sumbatan dibebaskan, peyembuhan fungsi
glomeruli dan bagian korteks ginjal lebih cepat dari pada tubulus dan bagian
medulla ginjal. Kerusakan medulla ginjal yang parah terjadi karena
kerusakan tubulus koligentes dan tubulus distalis. Setelah lebih dari 1
minggu, terjadi penyembuhan pasca – obstruksi diikuti dengan
penyembuhan sebagian fungsi ginjal. Pada percobaan binatang, setelah
mengalami obstruksi total selama 4 – 6 minggu, hanya sebagian kecil fungsi
glomerulus yang dapat kembali normal setelah sumbatan ureter dibebaskan.
GFR akan pulih setelah 28 minggu hingga satu setengah tahun setelah
obstruksi total. Faktor lain yang dapat mempengaruhi penyembuhan pasca-
obstruksi adalah adanya infeksi dan iskemia pada ginjal yang mengalami
obstruksi. Jika obstruksi tidak dihilangkan, kematian sel akan terjadi dalam
waktu 15 hari lesi histologis ini akan tetap ada meskipun obstruksi sudah
dihilangkan. Hal inilah yang menjelaskan insufisiensi ginjal yang menetap
meskipun sumbatan sudah dihilangkan.
Peningkatan tekanan intrapelvik akibat obstruksi akan diteruskan
ke sistem kalises ginjal, sehingga merusak papilla ginjal dan struktur
kalises. Pada keadaan normal, kaliks minor berbentuk konkaf dengan kedua
ujungnya tajam, melalui pemeriksaan pielografi intravena (IVU)
perubahannya dapat diamati. Tekanan dari intrapelvis yang diteruskan ke
kalises, akan menyebabkan peregangan kalises dan menimbulkan perubahan
pada bentuk kalises minor ginjal. Perubahan yang terjadi adalah : Kedua tepi
kaliks menjadi tumpul, Kaliks menjadi datar (konkavitas menghilang),
Kaliks menjadi konveks, dan Semakin lama parenkim ginjal tertekan ke
perifer sehingga korteks menipis (Basuki, 2011).

38 | B e d a h U r o l o g i
Kecurigaan akan uropati obstruktif akut ditunjukkan dengan
munculnya gejala klinis berupa nyeri kolik pada pinggang yang menjalar
sepanjang perjalanan ureter, hematuri makroskopik (berasal dari batu
saluran kemih), gejala gastrointestinal, demam dan menggigil jika disertai
infeksi, perasaan panas pada saat berkemih, dan urine keruh. Nyeri
merupakan manifestasi hiperperistaltik otot saluran kemih bagian atas, yang
bisa terjadi mulai dari infundibulum hingga ureter sebelah distal. Pada
pemeriksaan fisis, ginjal yang mengalami hidronefrosis mungkin teraba
pada palpasi (ballotemen) atau terasa nyeri pada saat perkusi (nyeri ketok
CVA). Perlu dicari kemungkinan penyebab obstruksi dari saluran kemih
bagian bawah, yang menyebabkan obstruksi saluran kemih bagian atas,
misalkan BPH, striktur uretra, kanker prostat, kanker buli–buli, kanker
serviks, sehingga perlu dilakukan tindakan colok dubur atau colok vagina.
Pada pemeriksaan juga bisa didapatkan buli buli yang membesar, kadang
pasien juga datang dalam kondisi anuria (Tseng, T.Y, et al, 2009).
Pemeriksaan laboratorium urinalisis dapat menunjukkan adanya
inflamasi saluran kemih, yakni didapatkannya lekosituria dan eritrosituria.
Nitrit dalam urine menunjukkan adanya infeksi saluran kemih karena
bakteri yang menyebabkan infeksi saluran kemih membuat enzim reduktase
yang mengubah nitrat menjadi nitrit. Pemeriksaan produksi urine per hari,
pH urine, berat jenis urine, dan kandungan elektrolit dapat digunakan untuk
menilai fungsi tubulus ginjal. Kenaikan nilai faal ginjal menunjukkan
adanya kelainan fungsi ginjal.
Pemeriksaan USG merupakan pemeriksaan penunjang diagnosis
yang pertama dilakukan untuk mendiagnosis adanya uropati obstruktif. Pada
fase awal obstruksi akut, gambaran hidronefrosis sering tidak terlihat,
terutama jika pasien mengalami dehidrasi; sehingga dapat terjadi negatif
palsu (false negative). Nilai negatif palsu pemeriksaan USG pada diagnosis
obstruksi saluran kemih ±35%. IVU (pielografi intravena) sampai saat ini
masih dipakai sebagai sarana diagnosis uropati obstruksi bagian atas.
Pielografi intravena dapat menilai faal dan struktur ginjal. Pada obstruksi
akut, terdapat peningkatan opasitas pada foto nefrogram, yang disebabkan

39 | B e d a h U r o l o g i
oleh kegagalan fungsi tubulus; dan keterlambatan gambaran pielogram. Dari
urogram juga dapat dikenali adanya penyebab obstruksi, mungkin berupa
batu opak; serta kelainan akibat obstruksi mulai dari kalises, pelvis renalis,
dan urteter berupa kaliektasis, hidronefrosis, penipisan korteks, atau
hidrouretero-nefrosis, pemeriksaan ini tidak mungkin dikerjakan pada
insufiensi ginjal atau pasien lain yang tidak memenuhi sarat. Pielografi
retrograd dapat secara tepat menggambarkan dan menentukan letak
penyumbatan pada ureter. Pada keadaan tertentu seorang spesialis urologi
dapat menentukan adanya sumbatan, lokasi sumbatan, sekaligus melakukan
tindakan terhadap penyebab sumbatannya dengan melakukan
ureterorenoskopi (URS). Renografi dapat menunjukkan gangguan fungsi
ginjal dan ada atau tidak adanya obstruksi. Pada ginjal yang fungsi sekresi
maupun eksresinya normal (tanpa ada obstruksi pasca renal), kurve
renografi meningkat dan akan mencapai puncaknya, yang kemudian
menurun. Namun pada obstruksi saluran kemih, kurva nya tidak pernah
menurun (Basuki, 2011).

2.4 Hidronefrosis
A. Definisi
Hidronefrosis adalah dilatasi piala dan perifer ginjal pada satu atau
kedua ginjal akibat adanya obstruksi pada aliran normal urin menyebabkan
urin mengalir balik sehingga tekanan di ginjal meningkat. Jika obstruksi
terjadi di uretra atau kandung kemih tekanan balik akan mempengaruhi
kedua ginjal, tetapi kalau obtruksi terjadi di salah satu ureter akibat adanya
batu atau kekakuan, maka hanya satu ginjal saja yang rusak (Tanagho,
2004).
Hidronefrosis adalah obstruksi aliran kemih proksimal terhadap
kandung kemih dapat mengakibatkan penimbunan cairan bertekanan dalam
pelviks ginjal dan ureter yang dapat mengakibatkan absorbsi hebat pada
parenkim ginjal (Wein, 2007).
Dari kedua pengertian di atas dapat di simpulkan bahwa
hidronefrosis adalah bendungan dalam ginjal yang di sebabkan oleh

40 | B e d a h U r o l o g i
obstruksi yang terdapat pada ureter yang di sebabkan karena adanya batu
ureter, sehingga terjadi tekanan balik ke ginjal.

B. Etiologi
Hidronefrosis biasanya terjadi akibat adanya sumbatan pada
sambungan ureteropelvik (sambungan antara ureter dan pelvis renalis):
a. Kelainan struktural, misalnya jika masuknya ureter ke dalam pelvis
renalis terlalu tinggi
b. Lilitan pada sambungan ureteropelvik akibat ginjal bergeser ke bawah
c. Batu di dalam pelvis renalis
d. Penekanan pada ureter oleh :
 Jaringan fibrosa
 Arteri atau vena yang letaknya abnormal
 Tumor.
Hidronefrosis juga bisa terjadi akibat adanya penyumbatan
dibawah sambungan ureteropelvik atau karena arus balik air kemih dari
kandung kemih:
a. Batu di dalam ureter
b. Tumor di dalam atau di dekat ureter
c. Penyempitan ureter akibat cacat bawaan, cedera, infeksi, terapi
penyinaran atau pembedahan
d. Kelainan pada otot atau saraf di kandung kemih atau ureter
e. Pembentukan jaringan fibrosa di dalam atau di sekeliling ureter akibat
pembedahan, rontgen atau obat – obatan (terutama metisergid)
f. Ureterokel (penonjolan ujung bawah ureter ke dalam kandung kemih)
g. Kanker kandung kemih, leher rahim, rahim, prostat atau organ panggul
lainnya
h. Sumbatan yang menghalangi aliran air kemih dari kandung kemih ke
uretra akibat pembesaran prostat, peradangan atau kanker
i. Arus balik air kemih dari kandung kemih akibat cacat bawaan atau
cedera

41 | B e d a h U r o l o g i
j. Infeksi saluran kemih yang berat, yang untuk sementara waktu
menghalangi kontraksi ureter.

C. Manifestasi Klinis
Pasien mungkin asimtomatik jika awitan terjadi secara bertahap.
Obstruksi akut dapat menimbulkan rasa sakit dipanggul dan pinggang. Jika
terjadi infeksi maka disuria, menggigil, demam dan nyeri tekan serta piuria
akan terjadi. Hematuri dan piuria mungkin juga ada. Jika kedua ginjal kena
maka tanda dan gejala gagal ginjal kronik akan muncul, seperti :
(McAninch, 2008)
 Hipertensi (akibat retensi cairan dan natrium).
 Gagal jantung kongestif.
 Perikarditis (akibat iritasi oleh toksik uremi).
 Pruritis (gatal kulit).
 Butiran uremik (kristal urea pada kulit).
 Anoreksia, mual, muntah, cegukan.
 Penurunan konsentrasi, kedutan otot dan kejang.
 Amenore, atrofi testikuler.

D. Diagnosis
Diagnosa Penyakit Hidronefrosis bisa merasakan adanya massa di
daerah antara tulang rusuk dan tulang pinggul, terutama jika ginjal sangat
membesar. Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya kadar urea yang
tinggi karena ginjal tidak mampu membuang limbah metabolik ini (Rasad,
2006).
Beberapa prosedur digunakan utnuk mendiagnosis hidronefrosis :
 USG, memberikan gambaran ginjal, ureter dan kandung kemih

42 | B e d a h U r o l o g i
a. Ginjal normal
b. Mild Hidronefrosis
c. Moderate Hidronefrosis
d. Severe Hidronefrosis

 Pielografi Intra Vena (PIV) atau Intravenous Pyelography (IVP)


Pielografi Intra Vena (PIV) atau Intravenous Pyelography
(IVP) atau dikenal dengan Intra Venous Urography atau urografi adalah
foto yang dapat menggambarkan keadaan system urinaria melalui bahan
kontras radio – opak. Pencitraan ini dapat menunjukkan adanya kelainan
anatomi dan kelainan fungsi ginjal (Dermroredjo, 2006).
Tujuan dari pemeriksaan kontras radiologi BNO – IVP adalah
untuk mendapatkan gambaran radiologi, anatomi dan fisiologi serta
mendeteksi kelainan patologis dari ginjal, ureter, dan buli – buli.
Pemeriksaan ini juga bertujuan menilai keadaan anatomi dan fungsi
ginjal. Selain itu BNO – IVP dapat mendeteksi adanya batu semi – opak
ataupun batu non opak yang tidak dapat terlihat oleh foto polos abdomen.
Jika BNO – IVP belum dapat menjelaskan keadaan sistem saluran kemih
akibat adanya penurunan fungsi ginjal, sebagai gantinya adalah
pemeriksaan pielografi retograde.

43 | B e d a h U r o l o g i
BNO – IVP mampu mendokumentasikan aliran kontras pada
batu ginjal atau BSK dan juga dapat melihat aliran kontras pada saluran
kemih bagian atas. Hasil foto radiologi tersebut dapat diinterpretasikan
oleh dokter ahli radiologi. Ketidaksiapan dalam mempersiapkan foto
BNO – IVP dapat menyebabkan terjadinya kesalahan prosedur dan
menghasilkan hasil foto radiologi yang tidak diharapkan (Dermroredjo,
2006).
Untuk medapatkan hasil yang maksimal perlu dilakukan
persiapan yaitu puasa, yang dimaksudkan agar usus besar dan kecil
bersih dari fecalit dan gas sehingga tidak menutup kontur ginjal atau
kontras dalam traktus urinaria.
Pada menit – menit pertama tampak kontras mengisi glomeruli
dan tubuli ginjal sehingga terlihat pencitraan dari parenkim (nefrogram)
ginjal. Fase ini disebut sebagai fase nefrogram. Selanjutnya kontras akan
mengisi system pelvikalises pada fase pielogram. Tujuan dari fase ini
adalah untuk mengetahui apakah fungsi ekskresi dari ginjal masih baik
atau tidak.
Perlu diwaspadai bahwa pemberian bahan kontras secara
intravena dapat menimbulkan reaksi alergi berupa urtikaria, syok
anafilaktik, sampai timbulnya laringospasmus. Disamping itu foto IVP
tidak boleh dikerjakan pada pasien gagal ginjal, karena pada keadaan ini
bahan kontras tidak dapat diekskresi oleh ginjal dan menyebabkan
kerusakan ginjal yang lebih parah karena bersifat nefrotoksik
(Dermroredjo, 2006).
Syarat – syarat seseorang boleh melakukan IVP yakni:
 Tidak memiliki riwayat alergi
 Fungsi ginjalnya baik. Cara untuk mengetahuinya yakni dengan
mengukur kadar BUN atau kreatininnya. Karena kontras itu bersifat
nefrotoksik dan dikeluarkan lewat ginjal, jadi apabila ginjal rusak atau
tidak berfungsi, akan sangat berbahaya bagi pasien.

44 | B e d a h U r o l o g i
Indikasi dilakukannya pemeriksaan IVP yakni untuk melihat
anatomi dan fungsi dari traktus urinarius yang terdiri dari ginjal, ureter,
dan bladder, yang meliputi:
 Kelainan congenital
 Radang atau infeksi
 Massa atau tumor
 Trauma
Persiapan pemeriksaan IVP :
1. Sehari sebelum pemeriksaan dilakukan, pasien diminta untuk makan –
makanan lunak yang tanpa serat (seperti bubur kecap) maksudnya
supaya makanan tersebut mudah dicerna oleh usus sehingga faeces
tidak keras.
2. Makan terakhir pukul 19.00 (malam sebelum pemeriksaan) supaya
tidak ada lagi sisa makanan diusus, selanjutnya puasa sampai
pemeriksaan berakhir.
3. Malam hari pukul 21.00, pasien diminta untuk minum laksatif
(dulcolax) sebanyak 4 tablet.
4. 8 Jam sebelum pemeriksaan dimulai, pasien tidak diperkenankan
minum untuk menjaga kadar cairan.
5. Pagi hari sekitar pukul 06.00 (hari pemeriksaan), pasien diminta untuk
memasukkan dulcolax supossitoria melalui anus, supaya usus benar-
benar bersih dari sisa makanan / faeces.
6. Selama menjalani persiapan, pasien diminta untuk tidak banyak bicara
dan tidak merokok supaya tidak ada intestinal gas (gas disaluran
pencernaan) (Dermroredjo, 2006).

45 | B e d a h U r o l o g i
E. Grading
Ada 4 grade hidronefrosis (Kim DS, 2010):

I. Hidronefrosis derajat 1.
Disebut juga hidronefrosis derajat ringan. Penimbunan urine pada derajat
ini sangat rendah dan belum terjadi kerusakan parenkim ginjal. Dilatasi
pelvis renalis tanpa dilatasi kaliks. Kaliks berbentuk blunting, alias
tumpul.
II. Hidronefrosis derajat 2.
Disebut juga hidronefrosis derajat ringan. Penimbunan urine pada derajat
ini sangat rendah dan belum terjadi kerusakan parenkim ginjal. Dilatasi
pelvis renalis dan kaliks mayor. Kaliks berbentuk flattening, alias
mendatar.

46 | B e d a h U r o l o g i
III. Hidronefrosis derajat 3.
Penimbunan urine sudah mencapai pelvis ginjal dan kaliks. Dilatasi
pelvis renalis, kaliks mayor dan kaliks minor. Tanpa adanya penipisan
korteks. Kaliks berbentuk clubbing, alias menonjol.
IV. Hidronefrosis derajat 4.
Penimbunan urine mencapai pelvis ginjal dan kaliks tetapi sudah terjadi
penipisan dari parenkim ginjal. Dilatasi pelvis renalis, kaliks mayor dan
kaliks minor. Serta adanya penipisan korteks Calices berbentuk
ballooning alias menggembung.

F. Penatalaksanaan
Tujuannya adalah untuk mengaktivasi dan memperbaiki penyebab
dari hidronefrosis (obstruksi, infeksi) dan untuk mempertahankan dan
melindungi fungsi ginjal.
Untuk mengurangi obstruksi urin akan dialihkan melalui tindakan
nefrostomi atau tipe disertasi lainnya. Infeksi ditangani dengan agen anti
mikrobial karena sisa urin dalam kaliks akan menyebabkan infeksi dan
pielonefritis. Pasien disiapkan untuk pembedahan mengangkat lesi
obstrukstif (batu, tumor, obstruksi ureter). Jika salah satu fungsi ginjal rusak
parah dan hancur maka nefrektomi (pengangkatan ginjal) dapat dilakukan
(McAninch, 2008).
Pada hidronefrosis akut:
 Jika fungsi ginjal telah menurun, infeksi menetap atau nyeri yang hebat,
maka air kemih yang terkumpul diatas penyumbatan segera dikeluarkan
(biasanya melalui sebuah jarum yang dimasukkan melalui kulit).
 Jika terjadi penyumbatan total, infeksi yang serius atau terdapat batu,
maka bisa dipasang kateter pada pelvis renalis untuk sementara waktu.
Pada Hidronefrosis kronis :
Diatasi dengan mengobati penyebab dan mengurangi penyumbatan
air kemih. Ureter yang menyempit atau abnormal bisa diangkat melalui
pembedahan dan ujung – ujungnya disambungkan kembali. Kadang perlu
dilakukan pembedahan untuk membebaskan ureter dari jaringan fibrosa.

47 | B e d a h U r o l o g i
Jika sambungan ureter dan kandung kemih tersumbat, maka dilakukan
pembedahan untuk melepaskan ureter dan menyambungkannya kembali di
sisi kandung kemih yang berbeda (McAninch, 2008).

G. Prognosis
Pembedahan pada hidronefrosis akut biasanya berhasil jika infeksi
dapat dikendalikan dan ginjal berfungsi dengan baik. Prognosis untuk
hidronefrosis kronis belum bisa dipastikan (McAninch, 2008).

48 | B e d a h U r o l o g i
BAB III
RESUME

• Pasien perempuan umur 45 tahun dengan keluhan utama terasa kemeng di


pinggang sisi kanan. Pasien mengeluh terasa kemeng di pinggang sisi kanan
sejak 1 bulan SMRS. Kemeng dirasakan hilang timbul, tidak menjalar ke
tempat lain, dan pasien tidak bisa menentukan kemengnya membaik atau
memburuk dengan apa. Demam (–), mual (–), muntah (–). BAK dbn, tidak
pernah mengeluhkan nyeri saat berkemih, sering berkemih, atau mengeluarkan
batu saat berkemih. BAB dbn. Makan minum baik. Riwayat penyakit lain: DM
(+) tidak terkontrol, HT (+) tidak terkontrol, asam urat & kolesterol (+), Batu
ginjal kanan (sudah dilakukan Nephrolitotomy tahun 2015), Kista Ginjal
(2015). Riwayat keluarga : disangkal. Riwayat pengobatan rutin : Glimepirid
(DM) & Amlodipin (HT).
• Dari pemeriksaan fisik didapatkan sebagai berikut, keadaan umum tampak
sakit ringan, Kesadaran compos mentis kooperatif, Tekanan darah 138/85
mmHg, Nadi 64x/menit, Pernafasan 18x/menit, Suhu 36,4 °C, Keadaan gizi
berat badan lebih, TB 155 cm, BB 61 kg, BMI 25. Pada pemeriksaan abdomen
didapatkan: nyeri tekan (+) di regio suprapubik.
• Pada pemeriksan laboratorium Fungsi Ginjal BUN 15,8 mg/dL dan SK 1,28
mg/dL (↑). DL Eritrosit 4,34 juta/uL (↓), Haemoglobin 11,91 g/dL (↓), dan
Hematokrit 36,2 % (↓), Pemeriksaan Hemostasis PPT & APTT dbn, HbsAg
Rapid Non Reaktif, Anti HIV Rapid Non Reaktif, Serum Elektrolit dbn, Fungsi
Hati SGOT & SGPT dbn, UL : warna urine jernih, eritrosit 2 – 4 plp.
• Pada pemeriksaan penunjang lain: Foto Polos Abdomen (BOF) tak tampak
batu radio opaque sepanjang tractus urinarius, Spondilosis, dan Skoliosis
lumbalis. Foto thoraks Cor Prominent. USG Urologi didaptkan Hidronephrosis
ginjal kanan. Foto CT Stonography didapatkan Hidronephrosis berat kanan
yang disebabkan oleh striktur ureter prokimal, tak tampak jelas gambaran batu,
Batu ginjal kiri (700 HU) di calyx interpole uk. 3mm dan 2mm, dan Kista
ginjal kiri uk. 8 x 9 cm (Bosniak II).

49 | B e d a h U r o l o g i
• Obstruksi saluran kemih disebut juga uropati obstruktif, bisa terjadi pada
seluruh bagian saluran kemih, mulai dari kaliks hingga meatus uretra eksterna.
Penyebab paling umum terjadinya obstruksi saluran kemih bagian bawah pada
wanita adalah batu kandung kemih, striktur uretra dan keganasan. Pada wanita
prolaps organ seperti vesica urinaria, rectum atau usus melalui vagina dapat
menyebabkan obstruksi fungsional melalui penekanan uretra atau kinking.
• Obstruksi ini dibedakan atas obstruksi akut / kronik, unilateral / bilateral (pada
saluran kemih atas, dan parsial / total. Obstruksi dapat menyebabkan dilatasi
pelvis renalis maupun kaliks, yang dikenal sebagai hidronefrosis. Hidronefrosis
dapat menjadi petanda adanya obstruksi saluran kemih
• Planning diagnosis dilakukan pemeriksaan BUN, SK untuk mengetahui apakah
ada peningkatan yang dapat menandakan terjadi reflux vesikoureter, atau gagal
ginjal akut. UL untuk mengetahui apakah pada pasien didapatkan kemungkinan
infeksi saluran kemih. Dilakukan foto polos abdomen (BOF) untuk mengetahui
apakah didapatkan gambaran radio opaque yang menandakan adanya batu
saluran kemih. Kemudian dilakukan USG selain untuk mengetahui adanya batu
saluran kemih, juga untuk mengetahui kondisi ginjal, apakah ada
hidronephrosis yang menandakan adanya obstruksi saluran kemih, dan untuk
menemukan kemungkinan lain seperti adanya massa. Selanjutnya dilakukan
CT Stonography untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai
grading dari hidronephrosisnya.
• Planning terapi diberikan: Inf. PZ 1000 mL dalam 24jam untuk memberikan
asupan cairan, karna pada pasien didapatkan hasil pemeriksaan SE stabil. Inj.
Cefoperazon diberikan 2 gram langsung saat di OK untuk antibiotik
profilaksis, dan dilanjutkan untuk terapeutik diberikan 2 x 1 gram saat di
ruangan. Inj. Dexketoprofen diberikan 3 x 25 mg kalau merasakan nyeri. Inj.
Omeprazol untuk meredakan keluhan akibat peningkatan produksi asam
lambung sebanyak 2 x 40 mg. Inj. Asam traneksamat 2 x 100mg diberikan
pada pasien ini untuk menghentikan komplikasi perdarahan pasca operasi.
Novorapid 3x4 UI diberikan SC setiap sebelum makan untuk menurunkan gula
darah post prandial dan Samsulin diberikan 8 UI SC saat malam untuk
menurunkan gula darah basal. Tablet Concor (gol. Β blocker) diberikan 1 x 2,5

50 | B e d a h U r o l o g i
mg digunakan untuk hipertensi dengan menurunkan frekuensi denyut jantung.
Tablet Amlodipin (gol. CCB) diberikan 1 x 5 mg digunakan untuk mengurangi
kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan resistensi vaskular perifer dan
menurunkan tekanan darah. Tablet Candesartan (gol. ARB) diberikan 1 x 16
mg saat malam hari untuk mencegah kejadian kardiovaskular. Tablet Spirola
(gol. diuretik) diberikan 1 x 25 mg juga untuk menurunkan kejadian
kardiovaskular. Tablet Asthin Force (Astaxanthin) diberikan 1 x sehari sebagai
antioksidan.
• Planning Intervensi : Ureterorenoscopy (URS) merupakan tindakan diagnostik
yang dilakukan dengan memasukkan alat endoskopi semirigid melalui uretra
menelusuri sepanjang tractus urinarius untuk mengetahui apakah ada kelainan
di situ.
• Indikasi dilakukan operasi URS pada pasien ini adalah karna pada pasien
ditemukan batu di sisi kiri, sehingga untuk eksplorasi tractus urinarius terutama
sisi kiri. Namun, based on literature ada beberapa indikasi dilakukan operasi,
jika: 1. Batu ureter dan ginjal; 2. Biopsi tumor / polyp ureter; 3. Reseksi tumor;
4. Dilatasi Striktur.

51 | B e d a h U r o l o g i
DAFTAR PUSTAKA

Anatomi Sistem Urogenitalia. 2011. In: Dasar – dasar Urologi. 1st ed. Malang:
Sagung Seto. p. 5 – 20.
Basuki B. Prunomo. 2011. Dasar – Dasar Urologi, Perpustakaan Nasional RI,
Katalog Dalam Terbitan (KTO) Jakarta.
Dermroredjo, Sutaryan. 2006. Pemeriksaan IVP pada Hidronefrosis. Yogyakarta:
Laboratorium Radiologi RSUP Sardjito.
Kim DS, et al. 2010. High – Grade Hydronephrosis Predict Poor Outcomes After
Radical Cystectomy in Patients With Bladder Cander. J Korean Med Sei;
25: 369 – 373.
Hartanto H, Listiawati E, ed. 2006. Pelvis: Bagian II Cavitas Pelvis. In: Anatomi
Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. 6th ed. Jakarta: EGC. p.339 – 3 80.
McAninch, Jack W. 2008. Disorder Of The Kidney, from Smith’s General
Urology 17th edition. USA: Mc Graw – Hill.
Rasad, Sjahriar, Kartoleksono, Sukonto, Ekayuda, Iwan. 2006. Radiologi
Diagnostik, Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Singh, Strandhoy, Assimos. 2012. Pathophysiology of Urinary Tract Obstruction
in Wein, Kavoussi, Novick, Partin, Peters. CampbellWalsch Urology,
10th Ed, Saunders.
Tanagho EA, McAninch JW. 2004. Smith’s General Urology Edisi ke – 16. New
York : Lange Medical Book.
Ucero A.C, Gonçalves S., BenitoMartin, et al. 2010. Obstructive Renal Injury:
From Fluid Mechanics To Molecular Cell Biology Dove Medical Press.
Wagenlehner, F.M., Weidner, W. & Naber, K.G. 2009. An update on
uncomplicated urinary tract infections in women. Curr Opin Urol, 19,
368 – 374.
Wein, Alan J. Et Al. 2007. Campbell-Walsh Urology. Ninth Edition. Volume 1.
Philadelphia: Saunders.

52 | B e d a h U r o l o g i

Anda mungkin juga menyukai