Anda di halaman 1dari 14

MENGEDUKASI DENGAN HATI

( Studi Kritis Atas Q.S At-Taghabun Ayat 14)

A. Lafadz Ayat dan Terjemahan

ِ ‫َيا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ِإ َّن ِم ْن أ َ ْز َو‬


ْ َ‫اج ُك ْم َوأ َ ْو ََل ِد ُك ْم َعدُوا لَ ُك ْم ف‬
‫اح َذ ُرو ُه ْم ۚ َو ِإ ْن‬
‫ور َر ِحي ٌم‬ ٌ ُ‫َّللا َغف‬ ْ َ ‫ت َ ْعفُوا َوت‬
َ َّ ‫صفَ ُحوا َوت َ ْغ ِف ُروا فَإ ِ َّن‬
“Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan
anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu
terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta
mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”. (Q.S At-Taghabun:14)

B. Gambaran Umum
Nama surat ialah At-Taghabun, artinya suatu hari yang orang tidak
akan datang lagi menyembunyikan rahasianya. Segala kesalahanan yang
telah pernah diperbuat di kala hidupnya, di hari itu akan dikumpulkan dan
dihisab, lalu dinilai berat dan ringannya.1 Nama At-Taghabun diambil dari
kata At-Tagabun yang terdapat pada ayat ke 9 yang artinya “hari
pengungkapan kesalahan-kesalahan”2
Istri dan anak-anak merupakan tanggung jawab bagi setiap kepala
rumah tangga, yaitu sang suami. Ayat dalam Al-Qur’an menyebutkan
bagaimana Allah SWT berfirman mengingatkan kepada hamba-Nya
bahwa istri dan anak bisa menjadi musuh atau fitnah. Salah satunya dalam
penggalan ayat surat At-Taghabun ayat 14. Musuh sudah pasti akan
merugikan, karena yang namanya musuh tidak akan memberikan

1
Hamka, Tafsir AL Azhar, PUSTAKA PANJI MAS, Depok, 2000, hlm. 108
2
Departemen Agama Ri, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Penerbit Lentera Abadi, Jakarta, 2010, hlm.
153

1
2

keuntungan. Tujuan utama musuh adalah memberikan kerugian yang


sebesar-besarnya kepada lawannya, sehingga tak ada daya upaya lagi
untuk melawan.
Sesungguhnya perintah untuk mentaati Allah SWT dan mentaati
rasul-Nya, sesudah disebutkan bahwa orang mukmin itu seharusnya
bertawakkal kepada Allah SWT dan tidak bersandar kecuali kepada-Nya,
di sini disebutkan pula bahwa sebagian dari anak-anak dan istri-istri itu
adalah musuh bagi bapak-bapak mereka dan suami-suami mereka yang
menghalang-halangi mereka dari ketaatan dan memalingkan mereka dari
penuaian dakwah yang mengandung pengangkatan urusan agama dan
peninggian kalimah-Nya. Oleh karena itu, maka berhati-hatilah kamu
terhadap anak-anak dan istri-istrimu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu mereka sehingga mereka tidak menjadi saudara-saudara setan yang
menggoda kamu untuk maksiat dan menghalangimu dari ketaatan.
Diriwayatkan bahwa Nabi saw, mengatakan, “Akan datang suatu
zaman bagi umatku yang di dalamnya kebinasaan seorang lelaki berada di
tangan istri dan anaknya, keduanya mencacinya dengan kekafiran agar dia
melakukan kejahatan sehingga bermasalah dia.”
Sebagian manusia karena cintanya dan sayangnya kepada istri dan
anak-anak agar mereka berada dalam kecukupan selama dia hidup dan
sesudah matinya, terdorong untuk melakukan apa-apa yang terlarang guna
mewujudkan penyebab kecukupan itu, sekalipun mereka tidak
menuntutnya, sehingga binasalah dia.
Sebagian musafir ada yang membawa permusuhan ini kepada
permusuhan duniawi dan mengatakan, “Sesungguhnya istri-istri dan anak-
anak itu terkadang mengganggu, menyengsarakan dan menyulitkan pada
suami dan para bapak mereka. Dan yang demikian ini sering kali
membawa kepada penyimpanan racun dalam lemak atau pembunuhan
mereka itu. Dan kenyataan merupakan pelajaran terbesar bagi orang yang
mau belajar.”
3

Ringkasnya, bila permusuhan ukhrawi yang dimaksudkan, maka


istri-istri dan anak-anak itu terkadang membahayakan para suami dan para
bapak itu dari mengerjakan kebaikan karenanya. Dan bila yang dimaksud
adalah permusuhan di dunia, maka permusuhan itu adalah permusuhan
hakiki di antara mereka dan mempunyai bekas-bekasnya di dunia pula.
Kemudian Allah menunjukkan kepada mereka agar memaafkan sebagian
kesalahan itu.3
Yang terpenting sekali dijadikan inti dalam Surat ini ialah tentang
musibah yang menimpa diri manusia di dalam hidupnya. Karena hidup itu
bukanlah menempuh jalan datar saja. Asal beriman kepada Allah, suatu
musibah tidaklah akan memberati fikiran. Diberi peringatan lagi bahwa
istri dan anak-anak, kalau manusia tidak awas dan waspada, mungkin akan
menjadi musuh dan mungkin akan menjadi fitnah. Padahal istri adalah
teman dalam hidup dan anak-anak adalah penyambung keturunan.
Manusia disuruh berhati-hati membuat seimbang hidup menuju
ridha Allah dengan hidup sehari-hari sebagai seorang suami atau seorang
ayah. Istri dan anak bisa jadi perhiasan hidup, jadi kebanggan, tetapi bisa
pula menjadi penghalang kaki manusia, penghambat dalam perjalanannya
yang lurus.4

C. Makna Mufradat

Arti Ayat
Wahai ‫يََٰٓأَيُّ َها‬
Orang-orang َ‫ٱلَّذِين‬
yang
(Mereka) ‫َءا َمنُ َٰٓو ۟ا‬
beriman

3
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, CV. Toha Putra, Semarang, 1993, hlm. 211
4
Hamka, Tafsir AL Azhar, PUSTAKA PANJI MAS, Depok, 2000, hlm. 109
4

Sesungguhnya ‫إِ َّن‬


Dari ‫ِم ْن‬
Isteri-isteri ‫أ َ ْز َو ِج ُك ْم‬
kalian
Dan ‫َو‬
anak-anakmu ‫أ َ ْو ََل ِد ُك ْم‬
Musuh ‫عد ًُّوا‬
َ
Bagimu ‫لَّ ُك ْم‬
Maka berhati- ‫ٱحذَ ُرو ُه ْم‬
ْ َ‫ف‬
hatilah kepada
mereka
Dan jika ‫َو ِإن‬
Memaafkan ۟ ُ‫ت َ ْعف‬
‫وا‬
Berhati lapang ۟ ‫صفَ ُح‬
‫وا‬ ْ َ‫ت‬
Mengampuni ۟ ‫ت َ ْغ ِف ُر‬
‫وا‬
Maka ‫فَإ ِ َّن‬
sesungguhnya
(kami)
Allah ‫لّلا‬
Sangat ‫غفُور‬
َ
mengampuni
Penyayang ‫َّر ِحيم‬
5

D. Analisis Struktural Kalimat dan Grammarnya


 ‫ِم ْن‬

Di pangkal ayat diterangkan dengan memakai min, yang berarti


daripada, artinya setengah daripada, tegasnya bukanlah semua istri atau
semua anak menjadi musuh, hanya kadang-kadang atau pernah ada. Hasil
dari sikap mereka telah merupakan suatu musuh yang menghambat cita-
cita seorang Mu’min sebagai suami atau sebagai ayah. Contoh dari istri
yang menjadi musuh suami akan kita temukan pada akhir surat At-Tahrim,
surat 66; yaitu istri-istri dari dua orang Nabi, Nabi Nuh dan Nabi Luth;
lain sikap suami mereka lain pula pekerjaan mereka. Contoh permusuhan
dari pihak anak bertemu pula pada Nabi Nuh, ketika salah seorang dari
anaknya tidak suka ikut beliau menaiki bahtera yang telah disediakan,
sehingga anak itu turut tenggelam. Sampai Tuhan memberikan keputusan
kepada Nabi Nuh;

“Sesungguhnya dia bukanlah anak engkau; sesungguhnya dia ini adalah


mempunyai amalan yang tidak shalih (perbuatan yang tidak baik).” (Hud:
46)

Sebab itu si anak sudah dianggap orang lain, bukan keluarga lagi.

Sikap istri-istri dan anak-anak yang demikian samalah dengan


memusuhi. Tetapi oleh karena mereka bukan musuh yang harus ditentang
dan dihadapi, Tuhan pun memberikan bimbingan bagaimana cara
menghadapi mereka. Pertama hendaklah memberi maaf saja, kedua
anggap saja soal itu telah habis dan janganlah berputus asa, bimbinglah
mereka dengan dada lapang, semoga mereka akan tunduk juga akhirnya
kelak, sebab suami atau ayahnya menghadapi mereka dengan bijaksana.
Kalau mereka terlanjur berbuat tantangan, tetapi akhirnya mereka tunduk
dan patuh, maka segala kesalahan mereka yang telah lalu itu hendaklah
diampuni.
6

Tuhan menyuruh seorang suami atau seorang ayah meniru sifat


Tuhan, yaitu sudi memberi ampun dan bersifat kasih sayang. Dengan
kekerasan tidaklah didikan itu akan berhasil. Itulah sebabnya maka
seorang laki-laki yang beriman, kalau tidak dapat memilih jalan lain lagi,
bolehlah dia beristeri seorang ahlul-kitab dengan tidak memaksa isterinya
itu masuk Islam lebih dahulu. Tetapi hendaklah dia hendaklah
menunjukkan dihadapan istrinya itu budi dan sopan-santun seorang yang
beriman. Semoga dengan sikapnya itu, istrinya akhir kelaknya akan
tertarik ke dalam Islam.

Demikian juga di dalam menghadapi dan mendidik anak. Karena


kadang-kadang terlalu jauh berbeda alam fikiran ayah dengan anak. Tetapi
asal saja seorang ayah mendidik puteranya dengan budi pekerti yang dapat
dicontoh, ayah akan tetap menjadi kebanggan dari anaknya. Ilmu jiwa
menunjukkan bahwa ayah yang budiman itu dipandang sebagai favourit,
yaitu orang yang dibanggakan oleh puteranya. Maka janganlah sampai
anak itu menampak kekurangan budi pada ayahnya, sehingga dia
kehilangan pegangan.5

 ‫عد ًُّوا لَ ُك ْم‬


َ

Kata ‘aduwwan lakum terdiri dari dua kata, yaitu kata ‘aduww dan lakum.
Kata ‘aduww berarti musuh atau lawan, jamaknya adalah a’daa’ dari fi’il
‘adaa-ya’duu-‘adwan wa ‘adawaanan wa ‘udwaanan, yang berarti
memusuhi, membenci dan berbuat zalim.

Kata ‘aduwwan lakum pada ayat 14 surah At-Taghabun berarti


musuh bagi kamu, maksudnya sebagian para istri dan anak-anak bagaikan
musuh, karena kadang-kadang mereka dapat memalingkan para suami atau
para ayah dari tuntunan agama, atau menuntut sesuatu yang berada di luar
kemampuan, sehingga akhirnya suami atau ayah itu melakukan
pelanggaran.
5
Hamka, Tafsir AL Azhar, PUSTAKA PANJI MAS, Depok, 2000, hlm. 110
7

Kata ‘aduww disebut 35 kali dalam Al-Qur’an, antara lain dalam Surah
At-Taghabun ayat 14 dan semuanya berarti musuh. 6

 ‫فَاحْ ذَ ُرو‬

“Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka.” Ibnu Zaid mengatakan:


“Maksudnya, terhadap agama kalian.” (Dr. Abdullah bin Muhammad Alu
Syaikh. 2017. Jakarta: PUSTAKA IMAM ASY-SYAFI’I Tafsir Ibnu
Katsir)

‫ َحذَ َر‬: ‫ ْال َحذَ ُر‬artinya adalah bersikap hati-hati terhadap sesuatu yang
ditakuti. Dikatakan ‫حذَ َر‬ َ (saya bersikap hati-hati) – ‫ َحذَ ًرا‬dan ُ‫( َخذ ِْرتُه‬saya
mewaspadainya).7

 ‫صفَ ُح ْو‬
ْ َ‫ت‬

‫صفَ َح‬ َّ ‫صفَ ُح ْال‬


َ : ‫ش ْي ِء‬ َ artinya adalah permukaan dan sisi diri sesuatu, seperti
‫ص ْف َحةُ ْال َوجْ ِه‬
َ (permukaan wajah), ‫ْف‬ ِ ‫سي‬ َ (sisi pedang) dan ‫ص ْف َحةُ ْال َح َج ِر‬
َّ ‫ص ْف َحةُ ال‬ َ
ُ ‫ص ْف‬
(permukaan batu). Sedangkan arti ‫ح‬ َّ ‫ ال‬sendiri adalah membiarkan suatu
kesalahan, dalam artian memaafkannya. Akan tetapi ia lebih tinggi dari pada
ْ memaafkan)8 (hlm 476)
kata ‫)ال َع ْف ُو‬

 ‫عفَا‬
َ

Kata ‫ ْال َع ْف ُو‬artinya niat untuk mendapatkan sesuatu. Disebutkan dalam

sebuah kalimat ُ‫عفَاه‬


َ artinya iya bermaksud untuk mendapatkannya, atau
dapat juga dengan menggunakan kalimat ُ‫عتَفَاه‬
ْ ‫ ِا‬yaitu niat untuk
َ َ‫ت ْال َّر ْي ُح ْالد‬
mengkonsumsi apa yang dimilikinya. Kalimat ‫ار‬ ِ َ‫عف‬
َ artinya
ِ َ‫عف‬
angin itu melumat dan menebarkan debu di suatu daerah. Kalimat ‫ت‬ َ
6
Departemen Agama Ri, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Penerbit Lentera Abadi, Jakarta, 2010, hlm.
171
7
Ahmad Zaini Dahlan, Kamus Al-Qur’an Jilid 1. Pustaka Khazanah Fawa’id, Depok, 2017, hlm. 474
8
Ahmad Zaini Dahlan, Kamus Al-Qur’an Jilid 2. Pustaka Khazanah Fawa’id, Depok, 2017, hlm.
476
8

ُ ‫ ْالد‬artinya daerah itu telah binasa, dengan demikian seakan ia sedang


‫َّار‬
diuji. Kalimat ُ‫عفَا ْالنَّبَت‬ َ artinya tumbuhan itu telah tumbuh lebat. Begitu
juga kalimat ‫ج ُر‬ َّ ‫غفَا ْال‬
َ ‫ش‬ َ artinya pohon itu telah tumbuh besar seperti kamu
‫عفَا النَّبَتُ ِف ْي ِ ل‬
mengatakan ِ‫الزيَادَة‬ َ artinya aku bermaksud menghilangkan
dosa dan berpaling darinya.

Kata objek (dosa) dalam kalimat tersebut hakikatnya di buang,


َ bergantung pada dhamirnya, maka kata ‫ ْال َع ْف ُو‬artinya
sedangkan huruf ‫ع ْن‬
adalahmenjauhkan dari dosa. 9

E. Elemen Ujaran

‫يا أَيّها الذين امنوا‬

ِ ‫إ ّن من أزو‬
‫اجكم وأوَلدكم عد ّوا لكم فاحذروهم‬

‫وإن تعفوا وتصفحوا وتغفروا‬

ّ ‫فإ ّن‬
‫َّللا غفور رحيم‬
F. Asbaabun Nuzuul
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat, ...inna min azwa-
jikum wa auladikum aduwwal lakum fahdzaruhum ... (... sesungguhnya di
antara isteri-isterimu dan anak-anakmu, ada yang menjadi musuh bagimu,
maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka ...) (Q.S. 64 At-Taghabun:
14) turun berkenaan dengan beberapa orang penduduk Mekah yang masuk
Islam, akan tetapi istri-istri dan anak-anaknya menolak hijrah ataupun
ditinggal hijrah ke Madinah. Lama kelamaan mereka pun hijrah juga.
Sesampainya di Madinah, mereka melihat kawan-kawannya telah banyak
mendapat pelajaran dari Nabi saw. Karenanya mereka bermaksud

9
Departemen Agama Ri, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Penerbit Lentera Abadi, Jakarta, 2010, hlm.
755
9

menyiksa istri dan anak-anaknya yang menjadi penghalang untuk


berhijrah. Maka turunlah ayat selanjutnya,

‫غفُور َر ِحيم‬ ْ َ ‫ َو ِإ ْن ت َ ْعفُوا َوت‬....


َّ ‫ص َف ُحوا َوتَ ْغ ِف ُروا فَإ ِ َّن‬
َ َ‫ّلا‬

( ... dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni
[mereka] maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang) (Q.S. 64 At-Taghabun; 14), yang menegaskan bahwa Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan al-Hakim –keduanya
menganggap Hadits ini sahih-, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas.
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa surah 64 At-Taghabun
seluruhnya turun di Mekah, kecuali ayat, Yaa ayyuhhal ladziina aamanuu
inna min azwaajikum wa aulaadikum ‘aduwwal lakum fahdzaruuhum...
(Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan
anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah
kamu terhadap mereka...) (Q.S. 64 At-Taghabun: 14). Ayat tersebut turun
berkenaan dengan ‘Auf bin Malik al-Asyja’i yang mempunyai anak-istri
yang selalu menangisinya apabila akan pergi berperang, bahkan
menghalanginya dengan berkata: “Kepada siapa engkau akan menitipkan
kami?” Ia pun merasa kasihan kepada mereka hingga tidak jadi berangkat
perang.
Selanjutnya ayat-ayat lainnya sampai akhir surah 64 At-Taghabun
ini diturunkan di Madinah.

G. Munasabah Baynal Ayat


Surat At-Taghabun ayat 8 tidak terlepas dari ayat sebelumnya, yaitu:
Q.S. At-Taghabun ayat 13:

َ‫ّلاِ فَ ْليَتَ َو َّك ِل ْال ُمؤْ ِمنُون‬ َ ‫ّلاُ ََل إِلَهَ إِ ََّل ُه َو ۚ َو‬
َّ ‫علَى‬ َّ
10

(Dia-lah) Allah, tidak ada Tuhan selain Dia. Dan hendaklah orang-orang
mukmin bertawakkal kepada Allah.

Dalam ayat selanjutnya juga dijelaskan yaitu:

At-Taghabun ayat 15:

َ ‫ّلاُ ِع ْندَهُ أ َ ْجر‬


‫ع ِظيم‬ َّ ‫إِنَّ َما أ َ ْم َوالُ ُك ْم َوأ َ ْو ََلد ُ ُك ْم فِتْنَة ۚ َو‬

Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan


di sisi Allah-lah pahala yang besar.

H. Analisis/Historis
a. Konteks zaman dahulu

Ayat di atas serupa dengan ayat yang lalu yakni keduanya memberi
pelajaran, nasihat dan hiburan kepada kaum muslimin yang ditimpa
keresahan akibat anak atau pasangan mereka tidak jarang menimbulkan
rasa kesal mereka. At-Tirmidzi meriwayatkan bahwa menurut Ibn ‘Abbas
ayat ini turun berkaitan dengan kasus sekian banyaknya penduduk Mekah
yang ingin berhijrah tetapi dihalangi oleh istri dan anak-anak mereka.
Kemudian setelah pada akhirnya mereka berhijrah, mereka menemukan
rekan-rekan mereka yang telah terlebih dahulu berhijrah, telah memiliki
pengetahuan yang memadai tentang Islam. Ketika itu mereka menyesal
dan bermaksud menjatuhi hukuman terhadap istri dan anak-anak mereka
yang menjadi penyebab ketinggalan itu. Riwayat lain menyatakan bahwa
ayat di atas turun di Madinah berkaitan dengan kasus ‘Auf Ibn Malik al
Asyja’iy yang istri dan anak-anaknya selalu bertangisan jika ia hendak ikut
berperang, sambil melarangnya ikut, khawatir mereka ditinggal mati oleh
‘Auf. Menyadari hal itu, ia mengadu kepada Nabi saw, dan turunlah ayat
ini.
11

b. Konteks saat ini


Dikehidupan ini, amat banyak anak dan istri yang menjadi musuh
bagi suami dan bapaknya. Lantaran miskin misalnya, sang anak enggan
dan menolak ketika orang tuanya menyuruh anaknya untuk solat, sang
anak dengan sombong mengatakan, “Bapak dan ibu rajin shalat aja masih
miskin dan gak kaya-kaya!”
Karena rasa cinta dan sayang kepada istri dan anaknya, agar
keduanya hidup mewah dan senang, seorang suami atau ayah tidak segan
berbuat yang dilarang agama seperti korupsi. Contoh lain adalah seperti
memaksa suami membeli segala kebutuhan yang dia inginkan. Ada teman
atau tetangganya membeli barang canggih dan bermerk, dia minta kepada
suaminya dengan rayuan manisnya untuk dibelikan. sedangkan kondisi
suaminya hanya bekerja sebagai buruh. Kemudian selalu merayu
suaminya agar mencintainya melebihi segala-galanya. Bisa jadi karena
suami tidak memiliki iman yang kuat, ada yang melakukan sesuatu untuk
memperkaya diri secara cepat seperti dengan bersemedi. Supaya memiliki
banyak harta dan mampu membeli segalanya. Lebih jauh lagi, ketika ada
seorang suami yang kebetulan menjadi pengurus dalam urusan agama
Allah, kemudian istri menghalang-halanginya. Dalam arti, sang suami
sudah melaksanakan kewajibannya sebagai seorang suami untuk
menafkahi dengan baik secara lahir maupun batin. Berusaha untuk
menjadi suami yang pengertian atas keadaan istri. Namun ketika suami
tersebut diberikan kesempatan untuk mengurusi agama Allah, seperti
menjadi pengurus Maj’lis Taklim atau pengurus Masjid, mengurusi anak-
anak yatim, mengurusi kegiatan-kegiatan ibadah dan dakwah, bakti sosial
dan lain sebagainya yang bersifat menghidup-hidupkan agama Allah, sang
istri malah merasa sedih dan kecewa. Lalu sebagai bentuk kesedihan dan
kekecewaannya setiap kali suaminya melakukan kegiatan ibadah tersebut
berusaha mengahalanginya. Dengan segala upaya agar suaminya tetap di
rumah, merayunya supaya menemaninya di rumah dengan alasan kesepian
atau takut ditinggalkan sendirian dan lain sebagainya.
12

Masih banyak lagi fenomena anak dan istri yang menjadi musuh
bagi suami dan bapaknya. Alih-alih berbakti, mereka malah menjadi
penentang yang nyata karena satu dan lain hal. Oleh karena itu, ia harus
berhati-hati, dan sabar menghadapi anak dan istrinya. Mereka perlu
dibimbing, tidak perlu ditekan, sebaiknya dimaafkan dan tidak perlu
dimarahi, tetapi diampuni. Allah sendiri pun Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya:

“.... Tetapi jika kamu bersabar, itu lebih baik bagimu. Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang.” (An-Nisa :25)

Tak ada cara penyelesaian pada setiap masalah yang terbaik kecuali
dengan cara-cara yang bijaksana. Seperti halnya persoalan yang ada dalam
Surat Attaghobun ayat 14, Allah SWT sudah jelas mengajarkan kepada
kita, umat muslim atas peristiwa yang telah terjadi pada zaman hijrah
Rosulullah SAW dahulu.

I. Hikmah
a. Diantara istri dan anak, ada yang menjadi musuh bagi suami dan orang
tuanya, maka berhati-hatilah menghadapi keduanya. Didiklah dengan
perilaku hal yang baik, supaya mereka menjadi Qurrota A’yun bagi
sang suami
b. Ketika istri dan anak melakukan kesalahan, memaafkan dan
mengampuni mereka adalah lebih baik dari pada menindas dan
memarahi mereka. Allah saja Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
c. Didiklah istri dan anak tidak hanya menuruti nafsu yang mendidiknya
dengan cara yang tidak baik. Didiklah mereka dengan hati, supaya
mereka menjadi penyejuk hati di dalam keluarga.
13

DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. Hamka. 2000. Tafsir Al Azhar. Jakarta: PUSTAKA PANJI MAS.

Departemen Agama Ri. 2010. Al- Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta. Penerbit Lentera
Abadi.

Ahmad Mustafa Al-Maragi. 1993. Tafsir Al-Maragi. Semarang: CV. Toha Putra.
14

M. Quraish Shihab. 2003. Tafsir AL-Misbah. Jakarta: Lentera Hati.

Ahmad Zaini Dahlan, Lc. 2017. Kamus Al-Qur’an Jilid 1. Depok: Pustaka
Khazanah Fawa’id.

http://sultonimubin.blogspot.com/2013/08/at-taghabun-11-18-dan-terjemah.html

Dahlan Saleh. 2002. Asbaabun Nuzuul. Bandung: CV Penerbit Diponegoro.

Dr. Abdullah bin Muhammad Alu Syaikh. 2017. Tafsir Ibnu Katsir: PUSTAKA
IMAM SYAFI’I.

Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili. 2012. Tafsir Al-Wasith. Depok: GEMA INSANI.

Ahmad Zaini Dahlan, Lc. 2017. Kamus Al-Qur’an Jilid 2. Depok: Pustaka
Khazanah Fawa’id.

Anda mungkin juga menyukai