Sesak Gangguan Napas Pada Neonatus PDF
Sesak Gangguan Napas Pada Neonatus PDF
Ali Usman
Sub Bagian Perinatologi
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RS Hasan Sadikin
Bandung
PENDAHULUAN
Sesak napas (gangguan napas) pada neonatus masih merupakan salah satu
penyebab tingginya angka kesakitan dan kematian pada periode neonatal. Di
luar negeri kurang lebih 50% kematian neonatus disebabkan oleh gangguan
pernapasan. Di Indonesia, kematian neonatal dini 68,6% karena prematur/BBLR,
dan asfiksia (SKRT 2001). Data yang diperoleh dari UKK Perinatologi IDAI 2004,
kematian neonatus untuk bayi yang lahir di rumah sakit yang disebabkan oleh
asfiksia sebesar 23,2%, gawat napas 21,2%, untuk bayi yang lahir di luar rumah
sakit gawat napas sebesar 29,4% dan asfiksia 14,3%.
Kematian neonatus karena gawat napas begitu kompleks faktor
penyebabnya serta pada penyakit tertentu karena adanya keterbatasan dalam
tatalaksana terutama di fasilitas kesehatan yang tak tersedia secara lengkap
terapi oksigen seperti ventilator. Adanya penemuan baru serta teknologi
kedokteran yang canggih telah banyak berperan dalam menurunkan angka
kesakitan dan kematian neonatus.
Neonatus menderita sasak napas (gangguan napas) apabila ditemukan
gejala-gejala meningkatnya frekuensi pernapasan (lebih dari 60 kali permenit)
atau menurunnya frekuensi pernapasan (kurang dari 30 kali permenit). Pada
keadaan tertentu dapat disertai gejala dispnea (sesak napas/sianosis). Selain itu
neonatus juga dapat memperlihatkan kesulitan melakukan pertukaran udara
pernapasan berupa retraksi otot-otot pernapasan pada saat inspirasi
(epigastrium, suprasternal dan interkostal) serta pada saat ekspirasi merintih
karena hambatan mengeluarkan udara pernapasan misalnya pada penyakit
membran hialin (PMH/RDS/HMD).
Penyebab sesak napas (gangguan napas) pada neonatus sangat banyak
yang meliputi:
1. Obstruksi saluran napas bagian atas
2. Penyakit parenkim paru-paru
3. Malformasi thoraks
4. Kelainan di luar paru
Pada makalah ini yang akan dibahas adalah penyakit parenkim paru yang
berhubungan dengan kelahiran prematuritas yakni penyakit membran hialin
(PMH/HMD) atau sindroma distress pernapasan (RDS).
TATALAKSANA SINDROMA DISTRESS PERNAPASAN
BATASAN
Sindroma distress pernapasan (RDS/HMD) yang tidak diintubasi, tidak
mendapatkan terapi surfaktan pada neonatus, menunjukkan karakterisitik klinis
berupa frekuensi pernapasan lebih dari 60 kali permenit, dispnea (retraksi
interkostal, subkostal, sternal) dengan yang menyolok bentuk pernapasan
diafragma dan khas adanya grunting ekspirasi yang akan timbul 4-6 jam setelah
lahir (Roberton’s, 2005).
1. Respiratory Distress Sindrom (RDS/HMD) adalah gawat napas pada
neonatus (kurang bulan) yang terjadi segera atau beberapa saat setelah lahir
(4-6 jam) yang ditandai adanya kesukaran bernapas (pernapasan cuping
hidung, tipe pernapasan dispnea/takhipnea, retraksi suprasternal, interkostal,
epigastrik, sianosis) khas adanya grunting ekspirasi yang menetap dan
menjadi progresif dalam 48-96 jam pertama kehidupan, yang pada
pemeriksaan radiologi ditemukan adanya gambaran retikulogranular yang
uniform dan air bronkhogram (Gomella 2004, Cloherty, 2004)
INSIDENSI
Di negara-negara Eropa sebelum pemberian rutin antenatal steroid dan postnatal
surfaktan angka kejadian RDS 2-3%, di USA 1,72% dari kelahiran bayi hidup
periode 1986-1987. Setelah era modern dari pelayanan NICU turun menjadi 1%.
Di negara berkembang termasuk Indonesia belum ada laporan tentang kejadian
RDS.
ETIOLOGI
Sebagai dasar penyebab RDS adalah defisiensi surfaktan akibat kelahiran
kurang bulan/prematuritas sehingga produksi sistem sintesis surfaktan alveoli
paru masih sangat imatur/kurang.
FAKTOR PREDISPOSISI :
1. Prematuritas
Resiko terjadinya RDS paralel/seiring dengan usia kehamilan, makin muda
gestasi makin tinggi kejadian RDS, pada kehamilan kurang dari 30 minggu
kejadian RDS sebesar 50% dibandingkan kehamilan antara 35-36 minggu
yang mengalami/menderita RDS turun menjadi 2%. Disamping faktor
imaturitas paru akibat prematuritas, keadaan-keadaan asfiksia, hipoksia,
hipotensi dan hipotermia merupakan faktor-faktor penghambat/kerusakan
sintesis surfaktan paru sehingga akan meningkatkan kebocoran kapiler
alveoli.
2. Gender/sex
Bahwa bayi laki-laki lebih banyak mengalami RDS daripada bayi perempuan.
Menurut. Farrel (1975) rasio RDS pada bayi laki-laki : perempuan adalah
1,7:1. Pada janin laki-laki rasio maturitas lecitin sphingomyelin (L:S)
terhambat dan phosphatidylglycerol (PG) munculnya lambat (Fleishk
dkk,1985)
3. Ras/bangsa
Pada bayi negro kejadian RDS lebih rendah dari bayi kulit putih pada
kehamilan kurang dari 32 minggu. Bayi negro yang mengalami RDS 40%
sedang bayi kaukasian 75% (Kavvadia, Greenough,1998).
4. Seksio Cesaria
Seksio cesaria meningkatkan risiko RDS (Usher dkk,1975). Walaupun
demikian faktor risiko tersebut tidak selalu/senantiasa tetap (Strang dkk,
1957). Menurut Annibabe,1995, Cohen dan Carbon, 1985, Marrisau dkk,
1995 mendapatkan data bayi-bayi yang lahir seksio cesaria gestasi 32-34
minggu mereka mengalami RDS dan TTN.
5. Depresi lahir/asfiksia lahir
Menurut Thibeault dkk (1984) bahwa asfiksia lahir meningkatkan risiko RDS.
Beeby dkk (1994) melaporkan bahwa bayi prematur (kurang dari 32 minggu)
yang lahir dengan apgar kurang dari 4 kejadian RDS 54% dibanding yang
nilai apgar lebih dari 4 sebanyak 42% (p<0.005). Selama fetal asfiksia, perfusi
alveoli paru menurun yang selanjutnya timbul iskemi dan kerusakan kapiler
paru. Jika janin mengalami recovery/perbaikan dari asfiksia akut, akan terjadi
hiperperfusi pulmonal. Dan apabila segera terjadi persalinan, cairan yang
kaya protein akan mengalir keluar melalui kapiler paru yang mengalami
kerusakan (Jeffrey dan Coates,1984). Kebocoran protein akan menghambat
aktifitas surfaktan pada permukaan alveoli (Ikegami, 1994). Kebocoran
protein dapat dicegah dengan pemberian surfaktan eksogen (Ikegami, 1992).
Salah satu kegunaan efek antenatal steroid mungkin dapat mengurangi
kebocoran kapiler paru (Ikegami dkk, 1987). Hubungan antara asfiksia dan
RDS juga mempengaruhi fakta bahwa hipoksia dan acidemia merupakan
predisposisi terjadinya pulmonary hipertension dan hipoperfusi dengan right
to left shunt dan menurunkan sintesa surfaktan dengan menghambat sintesa
enzim RDS yang disertai asfiksia lahir akan berkembang menjadi acute
respiratory distress sindrom (ARDS).
6. Maternal diabetes (DM)
Janin dari ibu DM, sintesa surfaktan menjadi abnormal. Insulin menghambat
maturitas alveoli tipe II dan menurunkan proporsi saturasi phosphatidylcholine
di dalam surfaktan (Gross dkk, 1980). Pada kehamilan ibu DM dibanding
bukan DM terjadi penurunan kadar surfaktan protein (SP)-A dalam cairan
amnion.
7. Hipotiroid
Aktifitas tiroid sangat penting dalam perkembangan prenatal pada sistem
surfaktan. Bayi kurang bulan yang menderita RDS mempunyai kadar hormon
tiroid lebih rendah dari darah tali pusat bayi-bayi kurang bulan kontrol
(Cuestas dkk 1976, Dhaniseddy dkk 1982)
8. Genetik
Ada faktor genetik yang merupakan faktor risiko RDS. Pada kehamilan
prematur, bila ibu hamil kurang bulan ada 1 bayi dengan RDS sebelumnya
pada kehamilan berikutnya akan melahirkan bayi RDS dengan risiko relatif
meningkat 3 kali (Nagourney dkk 1996)
9. Kembar/Twin
Bayi gemeli II tampaknya lebih besar risiko menderita RDS (Greenough dkk
1987, Obladenz Gluck 1977), walaupun demikian penelitian lain (Winn dkk,
1992) menyatakan tak berbeda antara bayi kembar atau tunggal.
10. Hipotermia
Pada bayi yang mengalami kedinginan, fungsi surfaktan terganggu
(defective) dan keadaan hipoksia dan asidemia akan merusak sintesa
surfaktan (Gluck dkk, 1972, Merritt, Farrel, 1976).
11. Nutrisi
Suplementasi inositol pada bayi dengan RDS akan memperbaiki outcome
(Hallman dkk, 1992), menurunkan risiko penyakit paru-paru kronik (CLD)
kematian dan beratnya ROP (Howlett, Ohtsson, 2003)
12. IUGR
Pada gestasi 28 minggu risiko RDS lebih berat dibanding pada gestasi 32
minggu dengan berat badan lahir yang sama. Beratnya derajat IUGR akan
meningkatkan kejadian RDS dan lebih berat. (Pzfer dkk, 1996, Thompson
dkk, 1992).
13. HDN
Perkembangan maturitas paru-paru bisa terhambat pada neonatal dengan
HDN berat dengan tanpa hydrops (Quinlan dkk,1984, Whitfield dkk, 1972).
Mekanisme yang mungkin terjadi adalah peningkatan kadar insulin
disebabkan hipertrofi sel islet pankreas seperti yang terjadi pada ibu
dengan DM. Kegagalan jantung dan edema paru akan menyebabkan
defisiensi produksi surfaktan.
14. Pemotongan tali pusat
Waktu pemotongan tali pusat dini, eritrosit kurang terutama jika disertai
asfiksia lahir. Risiko terjadinya RDS akan meningkat (Emmanoulides, 1971,
linderkamp dkk, 1978, Usher dkk, 1975) menganjurkan pada kelahiran bayi
kurang bulan pemotongan/klamping tali pusat setelah 1-1½ menit post natal.
Kindmond dkk (1993) dari studi retrospektif pada bayi kurang bulan (kurang
dari 33 minggu kehamilan) klamp tali pusat 30 detik lebih lambat ternyata tak
ada efek kematian tetapi juga memudahkan bayi melakukan ventilasi
beberapa hari pertama dan lebih sedikit menimbulkan transfusi darah.
PATOFISIOLOGI
A. PREMATURITAS
Atelektasis
Hipoksemia, Hiperkarbia
DEFISIENSI ALVEOLAR
HIPOKSEMIA
SURFAKTAN HIPERVENTILATION
HIPOTERMIA
HIPOTENSI ASIDEMIA
ALVEOLAR PULMONARY
HIPERVENTILATION HIPOPERFUSION
PATOLOGI HMD
Gandy dkk (1970) secara singkat dari hasil patologi anatomi menerangkan
bahwa bayi-bayi dengan diagnosis HMD/RDS yang tidak mendapatkan terapi
surfaktan setengah jam setelah lahir adalah sebagai berikut: sel-sel epitel alveoli
menjadi terlepas/terpisah-pisah dari membrana basalis dan potongan-potongan
kecil berbentuk membran hialin pada daerah-daerah yang rata (denuded). Pada
waktu yang bersamaan ada jaringan intertisiel yang difus. Sistem limfatik dilatasi
oleh adanya cairan paru-paru janin yang clearencenya tertunda/terlambat dan
selanjutnya pembuluh-pembuluh kapiler ke membran tampak endapan. Ada
sangat sedikit granula osmiofilik dalam sel-sel alveoli tipe II, pada tempat ini
berisi vakuola-vakuola yang diduga akibat dari semua lameler tadi yang telah
keluar. Pada stadium awal perubahan-perubahan tersebut lebih kearah
potongan-potongan kecil tetapi dalam 24 jam kemudian lebih meluas secara
umum membentuk formasi membran yang terjadi di dalam, duktus-duktus
transisional dan bronkhiolus. Garis membran hialin meluas kearah terminal dan
bronkhiolus paru.
DIAGNOSIS
Manifestasi klinis
Bayi baru lahir kurang bulan yang menunjukkan kesukaran bernafas yang terjadi
beberapa saat setelah lahir (4-6 jam post natal), yakni pernapasan cuping
hidung, tipe pernapasan dispnea (40-60x/menit) atau takipnea (>60x/menit),
retraksi dinding dada (interkostal, subkostal, suprasternal), retraksi epigastrik,
grunting ekspirasi (merintih) disertai sianosis pada udara kamar yang menetap
atau menjadi progresif setelah 48-96 jam pertama kehidupan.
Derajat berat ringannya RDS dapat ditentukan berdasarkan penilaian
khusus Skor Silverman, yaitu :
a. Derajat ringan : 1-3
b. Derajat sedang : 4-6
c. Derajat berat : 7-10.
Pemeriksaan Penunjang
1. Foto thoraks : gambaran khas adanya retikulogranular yang uniform dan air
bronkhogram
2. Laboratorium (Cloherty 1998, 2004;Gomella 2004;Roberton’s 2005)
A. Tes Pematangan Paru
• Tes kocok : dari aspirat lambung
Foam tes : dari cairan amnion 0,5 cc aspirat lambung/cairan amnion +
0,5 cc alkohol 96% dalam tabung berdiameter 0,5 cm, dikocok dan
dilihat apakah ada gelembung (buble).
Hasil (-) : resiko tinggi timbulnya RDS
Hasil (+)-(+++) : paru-paru matur
• Pemeriksaan Rasio lecitin sphingomielin (L/S rasio) dilakukan dengan
kromatografi, hasil :
L/S rasio > 2:1 : paru-paru matur, 98% hasil adalah akurat, 2%
mengalami RDS
L/S rasio < 2:1 : paru-paru imatur (resiko tinggi HMD):
a. L/S rasio 1,5-1,9 : 1, sebanyak 50% mengalami RDS
b. L/S rasio < 1,5 : 1, sebanyak 73% mengalami RDS
Hasil tersebut tidak berlaku untuk kelainan :
1. Bayi dari ibu DM
2. Asfiksia intrapartum
3. Eritroblastosis fetalis
Hasil tersebut mungkin juga tidak berlaku untuk :
1. IUGR
2. Solusio plasenta
3. Preeklampsi
4. Hidrops fetalis
• TDx-Fetal Lung Maturity (FLM II)
Penilaian rasio surfaktan-albumin dengan memakai teknologi
polarisasi fluoresensi (Abbott diagnostic). Cara ini sederhana, otomatis
dan mudah dilakukan hasilnya dalam 1½ jam kemudian. Secara rutin
tampaknya sama efektifnya dengan L/S rasio.
Hasil : < 40mg/g : paru-paru imatur
40-59 mg/g : intermediet
60mg/g : paru-paru matur
• Pemeriksaan lamellar body
Dilakukan dengan cara amniosintesis. Cairan amnion disentrifus,
selanjutnya dihitung jumlah lamellar body dengan bilik hitung untuk
memeriksa jumlah trombosit. COP jumlah lamellar body 28000/mm³
paru-paru matur.
B. Pemeriksaan darah
• Darah tepi : kadar hemoglobin, hematokrit, gambaran darah tepi tidak
menunjukkan tanda-tanda infeksi.
• Analisis gas darah (AGD) :
Menunjukkan adanya hipoksemia (PaO2 < 50 mmHg), asidemia (pH <
7,25), ketoasidosis metabolik, respiratorik atau kombinasi.
• Kultur darah : streptokokus negatif.
TATALAKSANA
Sebagai dasar pegangan/kunci terapi neonatus dengan RDS adalah (Cloherty
2004) :
1. Mencegah hipoksemia dan asidosis dengan mengusahakan :
• Metabolisme jaringan berlangsung normal
• Mengoptimalkan produksi surfaktan
• Mencegah terjadinya right to left shunt
2. Manajemen cairan seoptimal mungkin dengan mengutamakan mencegah
atau menghindari hipovolemia dan syok di satu sisi dan menghindari edema
terutama edema paru.
3. Menghidari atau menekan kebutuhan metabolisme
4. Mencegah meningkatnya atelektasis dan edema paru.
5. Meminimalkan pengaruh oksidan terhadap kerusakan paru-paru (alveoli)
6. Meminimalkan kerusakan paru karena penggunaan ventilator
Dalam realisasinya tatalaksana tersebut diatas secara sistematik yang
seharusnya dilakukan adalah :
Waktu pemberian :
1. Terapi profilaksis
Diberikan pada neonatus sangat prematur yang risiko tinggi mengalami
RDS.
Komplikasi :
• Pendarahan paru tetapi sangat jarang
• Yang sering adalah PDA pada bayi < 1000 gram. Risiko ini akan
menurun dengan pemberian glukokortikoid antenatal dan indometacin
B. Pemberian oksigen
Pemberian oksigen harus cukup untuk memperbaiki tekanan arteriel pada
50-80 mmHg.
• Usahakan jangan lebih dari kebutuhan normal FiO2 untuk menghindari
kerusakan paru dan retina (BPD dan ROP).
• Pemberian oksigen dihangatkan dan kelembaban normal yang
dibutuhkan adalah konsentrasi oksigen bukan kecepatan (flow),
sebaiknya O2 konsentrasi dicek paling tidak setiap jam, pemberian
bisa melalui head box, CPAP, atau ventilasi mekanik.
• Monitor analisis gas darah (PaO2, PaCO2, pH).
C. Pemakaian CPAP
Indikasi :
• Segera setelah lahir bayi dengan RDS ringan diberikan FiO2 < 0,4
untuk mempertahankan PaO2 50-80 mmHg dan PaCO2 < 55 mmHg
• CPAP yang dini akan mengurangi pemakaian ventilasi mekanik dan
kejadian morbiditas paru-paru jangka panjang
Pada RDS, CPAP akan membantu mencegah atelektasis, trauma paru-
paru menurun, melindungi dan menjaga fungsi surfaktan dan
mempertahankan peningkatan PaO2 pada penurunan konsentrasi O2
Cara pemakaian :
• Mulai CPAP dengan nasal prongs atau tube nasopharingeal dengan
menggunakan flow ventilator yang kontinyu. Tekanan positif mulai 5-7
cmH2O, berikan flow 5-10 L/menit, tekanan positif bisa dinaikkan 1-2
cmH2O sampai maksimal 8 cmH2O.
• Observasi respirasi rate, usaha napas dan monitor SiO2 (saturasi O2).
NGT tetap terpasang untuk dekompresi udara lambung
Menyapih/weaning :
Jika bayi membaik mulailah dengan menurunkan FiO2 bertahap 0,05 (5%)
sampai < 0,3 (0,21). Tekanan CPAP diturunkan 1-2 cmH2O. Setiap
perubahan sebaiknya periksa AGD dan monitor SiO2. Penghentian CPAP
biasanya pada tekanan 4-6 cmH2O.
D. Ventilasi mekanik
1. Intubasi endotrakheal
Intubasi dan ventilasi mekanik dilakukan apabila gagal dengan CPAP.
Bayi mengalami apnea, hipoksemia dengan asidosis respiratorik.
Indikasi ventilasi mekanik :
• PaO2 < 50 mmHg atau SiO2 < 90% dengan pemberian FiO2 > 0,5
• PaCO2 > 55 mmHg
• Apnea
2. Mode ventilator
Yang paling sering dipakai adalah pressure cycle. Volume cycled
jarang dipakai. Penggunaan ventilasi osilasi frekuensi tinggi bisa
dipakai jika ventilasi mekanik tersebut mengalami kegagalan.
3. Setting awal
• Respiratory rate : 30-60 x/menit
• Rasio inspirasi-ekspirasi (I-E ratio) : 1:2
• Peak Inspiratory Pressure (PIP) : 18-30 cm H2O
tergantung berat badan. Bayi < 28 minggu : 25 cmH2O
• Positive end expiratory pressure (PEEP) : 4-6 cm H2O
• Waktu inspirasi (TI) : 0,4-0,5 detik
• Konsentrasi O2 (FiO2) : 0,5-1
4. Penyapihan
Penyapihan (weaning) bisa dilakukan dengan 2 cara :
I. Tekanan inspirasi (PIP) bisa diturunkan sampai 20 cmH2O dan
PEEP 5 cmH2O dengan menurunkan tekanan1-2 cmH2O. FiO2
diturunkan bertahap 5% sampai 0,3-0,4. RR diturunkan 2-4 x/menit
atau 6-10 x/menit sesuai dengan peningkatan pernapasan spontan
bayi. Penghentian ventilator tergantung besarnya bayi, kondisi dan
upaya pernapasan makanik paru. Pada bayi < 2kg, penyapihan
dilakukan setelah RR sekitar 10x/menit serta bayi stabil pada
pemberian FiO2 < 0,3 dan PIP < 18 cmH2O. Pada bayi yang lebih
besar dapat dilakukan pada setting yang lebih tinggi. Setelah
ekstubasi bisa dilanjutkan dengan CPAP via nasal prongs atau
NPCPAP. Waktu akan ekstubasi lambung dikosongkan 4 jam
sebelum ekstubasi. Pemberian makanan peroral dihentikan dulu.
1. Algoritme penyapihan
E. Terapi suportif (Cloherty, 2004) :
1. Termoregulasi
Suhu bayi dipertahankan jangan terlalu tinggi atau rendah yaitu 37ºC
(36,5ºC - 37ºC)
2. Nutrisi parenteral dan enteral
Hari 1 : Glukosa 10% 70-80 ml/kgbb/24 jam
Hari 2 : Ditambah NaCl 3% 2-3 mEq/kgbb, KCl 2 mEq/kgbb dan
kalsium 100-200 mg/kgbb/hari. Na bikarbonat dapat diberikan sesuai
analisis gas darah
3. Mempertahankan sirkulasi yang optimal
Mempertahankan sirkulasi darah dengan monitoring denyut jantung,
tekanan darah dan perfusi perifer. Untuk mempertahankan perfusi
dapat diberikan darah, volume ekspander dan obat-obatan. Dopamin
sering digunakan untuk mempertahankan perfusi dan output urine dan
mencegah asidosis metabolik. Dosis awal 2,5-5 jika Ht <
40% berikan transfusi darah.
4. Mencegah infeksi dengan pemberian antibiotik
5. Sedasi
Umumnya digunakan untuk mengontrol ventilasi pada kebanyakan
bayi dan lorazepam dapat diberikan sebagai analgetik. Pemberian
pankuronium sebagai relaksasi otot masih kontroversial.
F. Menghindari komplikasi
a. Akut : - kebocoran
- infeksi
- perdarahan intrakranial
- PDA
b. Jangka panjang : Bronchopulmonari displasia / penyakit paru kronik
Begitu neonatus masuk ke NICU dalam 30-60 menit pertama yang harus
dilakukan adalah (Roberton’s 2005) bayi dalam inkubator dengan suhu
35º-36ºC
1. Timbang berat lahir
2. Periksa fisik dengan teliti
3. Ukur lingkar kepala
4. Hubungkan dengan monitor jantung dan pernapasan
5. Ukur suhu tubuh
6. Pasang umbilical arteriel kateter, bila gagal melaui canula arteri perifer
dan periksa /ukur PaO2 serta pH
7. Periksa tekanan darah secara kontinyu dengan memasang monitoring
melalui kanula arteri
8. Ambil sampel darah untuk Hb, leukosit, lakukan cross match semua
neonatus yang sakit bila memerlukan transfusi darah.
9. Ambil sampel untuk kultur termasuk kultur darah dan pungsi lumbal
10. Sampel darah untuk pemeriksaan elektrolit
11. Periksa faktor koagulasi untuk bayi-bayi sakit dan memar (bruish) dan
yang gestasinya < 30 minggu
12. Pasang kanula perifer untuk pemberian antibiotik
13. Bayi-bayi dalam kondisi kritis dan BBLASR pasang kateter umbilikalis
atau vena sentralis
14. Foto thoraks
15. Berikan surfaktan, bila belum diberikan di kamar bersalin
16. Menjelaskan atau informed consent kepada orang tua
RINGKASAN
Di negara berkembang termasuk di Indonesia kematian perinatal, neonatal
masih terlalu tinggi dibanding negara maju. Kematian neonatal (dini) 68,6%
karena prematuritas dan asfiksia lahir (SKRT 2001). Data UKK Perinatologi IDAI
(2004) baik bayi yang lahir di rumah sakit maupun di luar rumah sakit kematian
neonatal karena gawat napas dan asfiksia berkisar 50%.
Salah satu penyebab gangguan napas/gawat napas adalah RDS. Dengan
masih tingginya kejadian BBLR/BKB (bayi kurang bulan ) maka kejadian RDS
pun masih cukup tinggi.
Selama ini kematian perinatal (neonatal dini), neonatal masih menduduki
urutan utama 3 besar. Walaupun demikian jangan khawatir dengan tatalaksana
RDS yang mutakhir akan dapat menurunkan kematian neonatal yang bermakna.
DAFTAR PUSTAKA
Anniballe DJ, Hulsey TC, Wag Ner CL et al 1995 Comparative neonatal morbidity
of abdominal and vaginal deliveries after uncomplicated pregnancies.
Archieves of Pediartrics dand Adolescent Medicine 149:862-867.
Beeby PJ, Elliott EJ, Henderson-Smart DJ, Rieger ID 1994 Predictive value of
umbilical artery pH in preterm infant. Archieves of Disease in Childhood.
Fetal and Neonatal Edition 71:F93-F96.
Fleisher B, Kulovich MV, Hallman M, Gluck L. 1985 Lung profile: sex difference
in normal pregnancy. Obstetrics and Gynaecology 66:327-330.
Ikegami M 1994 Survactant inactivation. In: Boynton BR, Carlo WA, Jobe AH
(eds) New therapies for neonatal respiratory failure. Cambirdge University
Press, Cambridge,pp.36-48.
Kindmond S, Aitchison TC, Holland BM, Jones JG, Turner TL, Wardrop CA 1993
Umbilical cord clamping and preterm infants: a randomized trial. British
Medical Journal 306:172-175.
Nagourney BA, Kramer MS, Klebanoff MA, Usher RH 1996 Reccurent respiratory
distress syndrome in successive in preterm pregnancies. Journal of
Pediatrics 129:591-596.
Piper JM, Xenakis EM, mc Farland M 1996 Do growth retarded premature infants
have differents rates of perinatal morbidity and mortality than appropriately
grown premature infants? Obstetrics and Gynaecology 87:169-174.
Quinlan RW, Buhi WC, Cruz AC 1984 Fetal pulmonary maturity in isoimmunized
pregnancies. Americans Journal of Obstetrics and Gynaecology
148;787-789.
Thibeault DW, Hall FK, Sheehan MB, Hall RT 1984 Postasphyxial lung disease
in newborn infants with severe perinatal acidosis. American Journal of
Obstetrics and Gynaecology 150:393-399.