Anda di halaman 1dari 17

SESAK (GANGGUAN NAPAS) PADA NEONATUS

Ali Usman
Sub Bagian Perinatologi
Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RS Hasan Sadikin
Bandung

PENDAHULUAN
Sesak napas (gangguan napas) pada neonatus masih merupakan salah satu
penyebab tingginya angka kesakitan dan kematian pada periode neonatal. Di
luar negeri kurang lebih 50% kematian neonatus disebabkan oleh gangguan
pernapasan. Di Indonesia, kematian neonatal dini 68,6% karena prematur/BBLR,
dan asfiksia (SKRT 2001). Data yang diperoleh dari UKK Perinatologi IDAI 2004,
kematian neonatus untuk bayi yang lahir di rumah sakit yang disebabkan oleh
asfiksia sebesar 23,2%, gawat napas 21,2%, untuk bayi yang lahir di luar rumah
sakit gawat napas sebesar 29,4% dan asfiksia 14,3%.
Kematian neonatus karena gawat napas begitu kompleks faktor
penyebabnya serta pada penyakit tertentu karena adanya keterbatasan dalam
tatalaksana terutama di fasilitas kesehatan yang tak tersedia secara lengkap
terapi oksigen seperti ventilator. Adanya penemuan baru serta teknologi
kedokteran yang canggih telah banyak berperan dalam menurunkan angka
kesakitan dan kematian neonatus.
Neonatus menderita sasak napas (gangguan napas) apabila ditemukan
gejala-gejala meningkatnya frekuensi pernapasan (lebih dari 60 kali permenit)
atau menurunnya frekuensi pernapasan (kurang dari 30 kali permenit). Pada
keadaan tertentu dapat disertai gejala dispnea (sesak napas/sianosis). Selain itu
neonatus juga dapat memperlihatkan kesulitan melakukan pertukaran udara
pernapasan berupa retraksi otot-otot pernapasan pada saat inspirasi
(epigastrium, suprasternal dan interkostal) serta pada saat ekspirasi merintih
karena hambatan mengeluarkan udara pernapasan misalnya pada penyakit
membran hialin (PMH/RDS/HMD).
Penyebab sesak napas (gangguan napas) pada neonatus sangat banyak
yang meliputi:
1. Obstruksi saluran napas bagian atas
2. Penyakit parenkim paru-paru
3. Malformasi thoraks
4. Kelainan di luar paru
Pada makalah ini yang akan dibahas adalah penyakit parenkim paru yang
berhubungan dengan kelahiran prematuritas yakni penyakit membran hialin
(PMH/HMD) atau sindroma distress pernapasan (RDS).
TATALAKSANA SINDROMA DISTRESS PERNAPASAN

BATASAN
Sindroma distress pernapasan (RDS/HMD) yang tidak diintubasi, tidak
mendapatkan terapi surfaktan pada neonatus, menunjukkan karakterisitik klinis
berupa frekuensi pernapasan lebih dari 60 kali permenit, dispnea (retraksi
interkostal, subkostal, sternal) dengan yang menyolok bentuk pernapasan
diafragma dan khas adanya grunting ekspirasi yang akan timbul 4-6 jam setelah
lahir (Roberton’s, 2005).
1. Respiratory Distress Sindrom (RDS/HMD) adalah gawat napas pada
neonatus (kurang bulan) yang terjadi segera atau beberapa saat setelah lahir
(4-6 jam) yang ditandai adanya kesukaran bernapas (pernapasan cuping
hidung, tipe pernapasan dispnea/takhipnea, retraksi suprasternal, interkostal,
epigastrik, sianosis) khas adanya grunting ekspirasi yang menetap dan
menjadi progresif dalam 48-96 jam pertama kehidupan, yang pada
pemeriksaan radiologi ditemukan adanya gambaran retikulogranular yang
uniform dan air bronkhogram (Gomella 2004, Cloherty, 2004)

INSIDENSI
Di negara-negara Eropa sebelum pemberian rutin antenatal steroid dan postnatal
surfaktan angka kejadian RDS 2-3%, di USA 1,72% dari kelahiran bayi hidup
periode 1986-1987. Setelah era modern dari pelayanan NICU turun menjadi 1%.
Di negara berkembang termasuk Indonesia belum ada laporan tentang kejadian
RDS.

ETIOLOGI
Sebagai dasar penyebab RDS adalah defisiensi surfaktan akibat kelahiran
kurang bulan/prematuritas sehingga produksi sistem sintesis surfaktan alveoli
paru masih sangat imatur/kurang.

FAKTOR PREDISPOSISI :
1. Prematuritas
Resiko terjadinya RDS paralel/seiring dengan usia kehamilan, makin muda
gestasi makin tinggi kejadian RDS, pada kehamilan kurang dari 30 minggu
kejadian RDS sebesar 50% dibandingkan kehamilan antara 35-36 minggu
yang mengalami/menderita RDS turun menjadi 2%. Disamping faktor
imaturitas paru akibat prematuritas, keadaan-keadaan asfiksia, hipoksia,
hipotensi dan hipotermia merupakan faktor-faktor penghambat/kerusakan
sintesis surfaktan paru sehingga akan meningkatkan kebocoran kapiler
alveoli.
2. Gender/sex
Bahwa bayi laki-laki lebih banyak mengalami RDS daripada bayi perempuan.
Menurut. Farrel (1975) rasio RDS pada bayi laki-laki : perempuan adalah
1,7:1. Pada janin laki-laki rasio maturitas lecitin sphingomyelin (L:S)
terhambat dan phosphatidylglycerol (PG) munculnya lambat (Fleishk
dkk,1985)
3. Ras/bangsa
Pada bayi negro kejadian RDS lebih rendah dari bayi kulit putih pada
kehamilan kurang dari 32 minggu. Bayi negro yang mengalami RDS 40%
sedang bayi kaukasian 75% (Kavvadia, Greenough,1998).
4. Seksio Cesaria
Seksio cesaria meningkatkan risiko RDS (Usher dkk,1975). Walaupun
demikian faktor risiko tersebut tidak selalu/senantiasa tetap (Strang dkk,
1957). Menurut Annibabe,1995, Cohen dan Carbon, 1985, Marrisau dkk,
1995 mendapatkan data bayi-bayi yang lahir seksio cesaria gestasi 32-34
minggu mereka mengalami RDS dan TTN.
5. Depresi lahir/asfiksia lahir
Menurut Thibeault dkk (1984) bahwa asfiksia lahir meningkatkan risiko RDS.
Beeby dkk (1994) melaporkan bahwa bayi prematur (kurang dari 32 minggu)
yang lahir dengan apgar kurang dari 4 kejadian RDS 54% dibanding yang
nilai apgar lebih dari 4 sebanyak 42% (p<0.005). Selama fetal asfiksia, perfusi
alveoli paru menurun yang selanjutnya timbul iskemi dan kerusakan kapiler
paru. Jika janin mengalami recovery/perbaikan dari asfiksia akut, akan terjadi
hiperperfusi pulmonal. Dan apabila segera terjadi persalinan, cairan yang
kaya protein akan mengalir keluar melalui kapiler paru yang mengalami
kerusakan (Jeffrey dan Coates,1984). Kebocoran protein akan menghambat
aktifitas surfaktan pada permukaan alveoli (Ikegami, 1994). Kebocoran
protein dapat dicegah dengan pemberian surfaktan eksogen (Ikegami, 1992).
Salah satu kegunaan efek antenatal steroid mungkin dapat mengurangi
kebocoran kapiler paru (Ikegami dkk, 1987). Hubungan antara asfiksia dan
RDS juga mempengaruhi fakta bahwa hipoksia dan acidemia merupakan
predisposisi terjadinya pulmonary hipertension dan hipoperfusi dengan right
to left shunt dan menurunkan sintesa surfaktan dengan menghambat sintesa
enzim RDS yang disertai asfiksia lahir akan berkembang menjadi acute
respiratory distress sindrom (ARDS).
6. Maternal diabetes (DM)
Janin dari ibu DM, sintesa surfaktan menjadi abnormal. Insulin menghambat
maturitas alveoli tipe II dan menurunkan proporsi saturasi phosphatidylcholine
di dalam surfaktan (Gross dkk, 1980). Pada kehamilan ibu DM dibanding
bukan DM terjadi penurunan kadar surfaktan protein (SP)-A dalam cairan
amnion.
7. Hipotiroid
Aktifitas tiroid sangat penting dalam perkembangan prenatal pada sistem
surfaktan. Bayi kurang bulan yang menderita RDS mempunyai kadar hormon
tiroid lebih rendah dari darah tali pusat bayi-bayi kurang bulan kontrol
(Cuestas dkk 1976, Dhaniseddy dkk 1982)
8. Genetik
Ada faktor genetik yang merupakan faktor risiko RDS. Pada kehamilan
prematur, bila ibu hamil kurang bulan ada 1 bayi dengan RDS sebelumnya
pada kehamilan berikutnya akan melahirkan bayi RDS dengan risiko relatif
meningkat 3 kali (Nagourney dkk 1996)
9. Kembar/Twin
Bayi gemeli II tampaknya lebih besar risiko menderita RDS (Greenough dkk
1987, Obladenz Gluck 1977), walaupun demikian penelitian lain (Winn dkk,
1992) menyatakan tak berbeda antara bayi kembar atau tunggal.
10. Hipotermia
Pada bayi yang mengalami kedinginan, fungsi surfaktan terganggu
(defective) dan keadaan hipoksia dan asidemia akan merusak sintesa
surfaktan (Gluck dkk, 1972, Merritt, Farrel, 1976).
11. Nutrisi
Suplementasi inositol pada bayi dengan RDS akan memperbaiki outcome
(Hallman dkk, 1992), menurunkan risiko penyakit paru-paru kronik (CLD)
kematian dan beratnya ROP (Howlett, Ohtsson, 2003)
12. IUGR
Pada gestasi 28 minggu risiko RDS lebih berat dibanding pada gestasi 32
minggu dengan berat badan lahir yang sama. Beratnya derajat IUGR akan
meningkatkan kejadian RDS dan lebih berat. (Pzfer dkk, 1996, Thompson
dkk, 1992).
13. HDN
Perkembangan maturitas paru-paru bisa terhambat pada neonatal dengan
HDN berat dengan tanpa hydrops (Quinlan dkk,1984, Whitfield dkk, 1972).
Mekanisme yang mungkin terjadi adalah peningkatan kadar insulin
disebabkan hipertrofi sel islet pankreas seperti yang terjadi pada ibu
dengan DM. Kegagalan jantung dan edema paru akan menyebabkan
defisiensi produksi surfaktan.
14. Pemotongan tali pusat
Waktu pemotongan tali pusat dini, eritrosit kurang terutama jika disertai
asfiksia lahir. Risiko terjadinya RDS akan meningkat (Emmanoulides, 1971,
linderkamp dkk, 1978, Usher dkk, 1975) menganjurkan pada kelahiran bayi
kurang bulan pemotongan/klamping tali pusat setelah 1-1½ menit post natal.
Kindmond dkk (1993) dari studi retrospektif pada bayi kurang bulan (kurang
dari 33 minggu kehamilan) klamp tali pusat 30 detik lebih lambat ternyata tak
ada efek kematian tetapi juga memudahkan bayi melakukan ventilasi
beberapa hari pertama dan lebih sedikit menimbulkan transfusi darah.
PATOFISIOLOGI

A. PREMATURITAS

Sintesis dan Pelepasan Surfaktan ↓

Tegangan permukaan Alveoli ↑

Atelektasis

Hipoksemia, Hiperkarbia

Asisdosis (respiratorik dan


Metabolik)

Resistensi Pulmonal dan vasokontriksi ↑

Kebocoran Kapiler Pulmonal

Membran Hialin (Hambatan Difusi ↑)


B.

DEFISIENSI ALVEOLAR
HIPOKSEMIA
SURFAKTAN HIPERVENTILATION

HIPOTERMIA

HIPOTENSI ASIDEMIA

ALVEOLAR PULMONARY
HIPERVENTILATION HIPOPERFUSION

Keterangan (lihat bagan A dan B):


Kelahiran prematur dibawah 35 minggu akan mengakibatkan produksi surfaktan
oleh sel alveoli tipe II akan berkurang, sintesis dan pelepasan surfaktan akan
menurun. Selanjutnya tegangan permukaan alveoli akan meningkat. Keadaan
tersebut menyebabkan fungsi pengembangan dan pengempisan paru-paru saat
inspirasi dan ekspirasi terganggu yang dapat menyebabkan terjadinya
atelektasis difus di seluruh lapangan paru kiri dan kanan. Akibat dari proses
oksigenisasi yang tak sempurna akan menyebabkan hipoksemia/PaO2 rendah
(<50 mmHg), hiperkarbia/PCO2 tinggi (>55 mmHg) dan terjadi asidemia/pH
darah rendah (pH<7,25) baik respiratorik maupun metabolik.
Pada tahapan selanjutnya terjadi resistensi pulmonal dan vasokonstriksi
yang meningkat. Kemudian terjadi kerusakan dan kebocoran kapiler paru yang
akhirnya terbentuklah membran hialin yang manifestasi kliniknya tergantung
berat ringannya kelainan paru akibat defisiensi surfaktan yang memberikan
manifestasi klinis gangguan napas, gawat napas sampai gagal napas.

PATOLOGI HMD
Gandy dkk (1970) secara singkat dari hasil patologi anatomi menerangkan
bahwa bayi-bayi dengan diagnosis HMD/RDS yang tidak mendapatkan terapi
surfaktan setengah jam setelah lahir adalah sebagai berikut: sel-sel epitel alveoli
menjadi terlepas/terpisah-pisah dari membrana basalis dan potongan-potongan
kecil berbentuk membran hialin pada daerah-daerah yang rata (denuded). Pada
waktu yang bersamaan ada jaringan intertisiel yang difus. Sistem limfatik dilatasi
oleh adanya cairan paru-paru janin yang clearencenya tertunda/terlambat dan
selanjutnya pembuluh-pembuluh kapiler ke membran tampak endapan. Ada
sangat sedikit granula osmiofilik dalam sel-sel alveoli tipe II, pada tempat ini
berisi vakuola-vakuola yang diduga akibat dari semua lameler tadi yang telah
keluar. Pada stadium awal perubahan-perubahan tersebut lebih kearah
potongan-potongan kecil tetapi dalam 24 jam kemudian lebih meluas secara
umum membentuk formasi membran yang terjadi di dalam, duktus-duktus
transisional dan bronkhiolus. Garis membran hialin meluas kearah terminal dan
bronkhiolus paru.

DIAGNOSIS
Manifestasi klinis
Bayi baru lahir kurang bulan yang menunjukkan kesukaran bernafas yang terjadi
beberapa saat setelah lahir (4-6 jam post natal), yakni pernapasan cuping
hidung, tipe pernapasan dispnea (40-60x/menit) atau takipnea (>60x/menit),
retraksi dinding dada (interkostal, subkostal, suprasternal), retraksi epigastrik,
grunting ekspirasi (merintih) disertai sianosis pada udara kamar yang menetap
atau menjadi progresif setelah 48-96 jam pertama kehidupan.
Derajat berat ringannya RDS dapat ditentukan berdasarkan penilaian
khusus Skor Silverman, yaitu :
a. Derajat ringan : 1-3
b. Derajat sedang : 4-6
c. Derajat berat : 7-10.

Pada perjalanan klinis neonatus mengalami hipotensi, hipotermia, edema


perifer, edema paru. Pada auskultasi terdengar ronkhi halus inspiratoir. Dalam
perjalanan klinis dapat timbul infeksi dan pirau PDA.

Pemeriksaan Penunjang
1. Foto thoraks : gambaran khas adanya retikulogranular yang uniform dan air
bronkhogram
2. Laboratorium (Cloherty 1998, 2004;Gomella 2004;Roberton’s 2005)
A. Tes Pematangan Paru
• Tes kocok : dari aspirat lambung
Foam tes : dari cairan amnion 0,5 cc aspirat lambung/cairan amnion +
0,5 cc alkohol 96% dalam tabung berdiameter 0,5 cm, dikocok dan
dilihat apakah ada gelembung (buble).
Hasil (-) : resiko tinggi timbulnya RDS
Hasil (+)-(+++) : paru-paru matur
• Pemeriksaan Rasio lecitin sphingomielin (L/S rasio) dilakukan dengan
kromatografi, hasil :
L/S rasio > 2:1 : paru-paru matur, 98% hasil adalah akurat, 2%
mengalami RDS
L/S rasio < 2:1 : paru-paru imatur (resiko tinggi HMD):
a. L/S rasio 1,5-1,9 : 1, sebanyak 50% mengalami RDS
b. L/S rasio < 1,5 : 1, sebanyak 73% mengalami RDS
Hasil tersebut tidak berlaku untuk kelainan :
1. Bayi dari ibu DM
2. Asfiksia intrapartum
3. Eritroblastosis fetalis
Hasil tersebut mungkin juga tidak berlaku untuk :
1. IUGR
2. Solusio plasenta
3. Preeklampsi
4. Hidrops fetalis
• TDx-Fetal Lung Maturity (FLM II)
Penilaian rasio surfaktan-albumin dengan memakai teknologi
polarisasi fluoresensi (Abbott diagnostic). Cara ini sederhana, otomatis
dan mudah dilakukan hasilnya dalam 1½ jam kemudian. Secara rutin
tampaknya sama efektifnya dengan L/S rasio.
Hasil : < 40mg/g : paru-paru imatur
40-59 mg/g : intermediet
60mg/g : paru-paru matur
• Pemeriksaan lamellar body
Dilakukan dengan cara amniosintesis. Cairan amnion disentrifus,
selanjutnya dihitung jumlah lamellar body dengan bilik hitung untuk
memeriksa jumlah trombosit. COP jumlah lamellar body 28000/mm³
paru-paru matur.

B. Pemeriksaan darah
• Darah tepi : kadar hemoglobin, hematokrit, gambaran darah tepi tidak
menunjukkan tanda-tanda infeksi.
• Analisis gas darah (AGD) :
Menunjukkan adanya hipoksemia (PaO2 < 50 mmHg), asidemia (pH <
7,25), ketoasidosis metabolik, respiratorik atau kombinasi.
• Kultur darah : streptokokus negatif.

TATALAKSANA
Sebagai dasar pegangan/kunci terapi neonatus dengan RDS adalah (Cloherty
2004) :
1. Mencegah hipoksemia dan asidosis dengan mengusahakan :
• Metabolisme jaringan berlangsung normal
• Mengoptimalkan produksi surfaktan
• Mencegah terjadinya right to left shunt
2. Manajemen cairan seoptimal mungkin dengan mengutamakan mencegah
atau menghindari hipovolemia dan syok di satu sisi dan menghindari edema
terutama edema paru.
3. Menghidari atau menekan kebutuhan metabolisme
4. Mencegah meningkatnya atelektasis dan edema paru.
5. Meminimalkan pengaruh oksidan terhadap kerusakan paru-paru (alveoli)
6. Meminimalkan kerusakan paru karena penggunaan ventilator
Dalam realisasinya tatalaksana tersebut diatas secara sistematik yang
seharusnya dilakukan adalah :

A. Terapi pemberian surfaktan


Berdasarkan clinical trial terapi surfaktan pada bayi RDS menunjukkan
keberhasilan. Terapi surfaktan diberikan melalui ETT yang diberikan dalam
beberapa menit setelah lahir (terapi profilaksis) ataupun diberikan setelah
timbul tanda-tanda dan gejala RDS (rescue therapy).
Surfaktan dari manusia, binatang (sapi, landak) atau surfaktan sintesis telah
diteliti. Secara umum dari hasil penelitian tersebut menunjukkan perbaikan
didalam oksigenasi dan penurunan penggunaan ventilator setelah beberapa
jam sampai beberapa hari paska terapi. Pada penelitian yang lebih besar
menurunkan kejadian kebocoran dan kematian. Survanta adalah dari ekstrak
paru-paru sapi produksi USA.

Waktu pemberian :
1. Terapi profilaksis
Diberikan pada neonatus sangat prematur yang risiko tinggi mengalami
RDS.

Persyaratan pemberian terapi profilaksis :


• Staf yang terampil cukup
• Fasilitas lengkap di kamar bersalin, meja resusitasi dilengkapi
penghangat, kelembaban udara, oksigen (blander), neonatal
monitoring
• Dilakukan di ruang bersalin sewaktu melakukan resusitasi

2. Terapi rescue (early rescue)


Dilakukan di ruang bayi/bersalin pada usia 1-2 jam setelah resusitasi dan
diagnosis RDS telah ditegakkan serta setelah oksigenasi adekuat,
ventilasi, perfusi dan dipasang neonatal monitoring.

Cara dan dosis pemberian :


Dosis :4 ml (100 mg fosfolipid/kgbb dibagi 4 dosis) untuk paru-paru kiri
atas kanan atas dan kiri bawah kanan bawah
Cara :
• Diberikan sewaktu penghubung (konektor) ventilasi dilepas melalui
feeding tube/spuit disposible. Jika melalui feeding tube dipakai dengan
panjang lebih dari ETT.
• Selanjutnya pasang ventilator paling tidak 30 detik atau sampai stabil
antara pemberian seperempat dosis
• Posisi bayi dirubah sewaktu pemberian pada paru-paru kiri atas kanan
atas dan kiri bawah kanan bawah
• Ulangi pemberian jika diperlukan pada interval 6 jam
Respon terapi :
• Pemberian kombinasi steroid antenatal dan surfaktan hasilnya lebih
baik dibanding hanya diberikan terapi surfaktan
• Pemberian terapi surfaktan berulang dibanding terapi surfaktan sekali
akan memberikan hasil lebih baik dalam hal perbaikan oksigenasi,
ventilasi, penurunan risiko pneumothoraks dan peningkatan survival

Komplikasi :
• Pendarahan paru tetapi sangat jarang
• Yang sering adalah PDA pada bayi < 1000 gram. Risiko ini akan
menurun dengan pemberian glukokortikoid antenatal dan indometacin

B. Pemberian oksigen
Pemberian oksigen harus cukup untuk memperbaiki tekanan arteriel pada
50-80 mmHg.
• Usahakan jangan lebih dari kebutuhan normal FiO2 untuk menghindari
kerusakan paru dan retina (BPD dan ROP).
• Pemberian oksigen dihangatkan dan kelembaban normal yang
dibutuhkan adalah konsentrasi oksigen bukan kecepatan (flow),
sebaiknya O2 konsentrasi dicek paling tidak setiap jam, pemberian
bisa melalui head box, CPAP, atau ventilasi mekanik.
• Monitor analisis gas darah (PaO2, PaCO2, pH).

C. Pemakaian CPAP
Indikasi :
• Segera setelah lahir bayi dengan RDS ringan diberikan FiO2 < 0,4
untuk mempertahankan PaO2 50-80 mmHg dan PaCO2 < 55 mmHg
• CPAP yang dini akan mengurangi pemakaian ventilasi mekanik dan
kejadian morbiditas paru-paru jangka panjang
Pada RDS, CPAP akan membantu mencegah atelektasis, trauma paru-
paru menurun, melindungi dan menjaga fungsi surfaktan dan
mempertahankan peningkatan PaO2 pada penurunan konsentrasi O2

Cara pemakaian :
• Mulai CPAP dengan nasal prongs atau tube nasopharingeal dengan
menggunakan flow ventilator yang kontinyu. Tekanan positif mulai 5-7
cmH2O, berikan flow 5-10 L/menit, tekanan positif bisa dinaikkan 1-2
cmH2O sampai maksimal 8 cmH2O.
• Observasi respirasi rate, usaha napas dan monitor SiO2 (saturasi O2).
NGT tetap terpasang untuk dekompresi udara lambung

Masalah yang dijumpai pada CPAP :


• CPAP bisa mempengaruhi venous return ke jantung sehingga
menurunkan curah jantung.
• Hiperkarbia menunjukkan CPAP terlalu tinggi dan tidal volume
menurun
• Penggunaan nasal prongs/tube nasopharingeal tidak berfungsi jika
bayi menangis atau mulut membuka atau bila terjadi distensi
abdomen. Dalam keadaan ini perlu intubasi.

Menyapih/weaning :
Jika bayi membaik mulailah dengan menurunkan FiO2 bertahap 0,05 (5%)
sampai < 0,3 (0,21). Tekanan CPAP diturunkan 1-2 cmH2O. Setiap
perubahan sebaiknya periksa AGD dan monitor SiO2. Penghentian CPAP
biasanya pada tekanan 4-6 cmH2O.

D. Ventilasi mekanik
1. Intubasi endotrakheal
Intubasi dan ventilasi mekanik dilakukan apabila gagal dengan CPAP.
Bayi mengalami apnea, hipoksemia dengan asidosis respiratorik.
Indikasi ventilasi mekanik :
• PaO2 < 50 mmHg atau SiO2 < 90% dengan pemberian FiO2 > 0,5
• PaCO2 > 55 mmHg
• Apnea

2. Mode ventilator
Yang paling sering dipakai adalah pressure cycle. Volume cycled
jarang dipakai. Penggunaan ventilasi osilasi frekuensi tinggi bisa
dipakai jika ventilasi mekanik tersebut mengalami kegagalan.

3. Setting awal
• Respiratory rate : 30-60 x/menit
• Rasio inspirasi-ekspirasi (I-E ratio) : 1:2
• Peak Inspiratory Pressure (PIP) : 18-30 cm H2O
tergantung berat badan. Bayi < 28 minggu : 25 cmH2O
• Positive end expiratory pressure (PEEP) : 4-6 cm H2O
• Waktu inspirasi (TI) : 0,4-0,5 detik
• Konsentrasi O2 (FiO2) : 0,5-1

PaCO2 sebaiknya dipertahankan 45-55 mmHg sebab keadaan


asidosis bisa menyebabkan keadaan eksaserbasi RDS. PaCO2 dapat
diturunkan dengan meningkatkan minute volume (MV). MV
dipengaruhi oleh respiratory rate atau volume tidal atau keduanya.
PaCO2 dapat diturunkan dengan menaikkan PIP, menurunkan PEEP,
menaikkan waktu inspirasi (TI) atau meningkatkan respiratory rate.
Penentuan setting memerlukan pengalaman klinik dan penilaian
bayi yang harus dilakukan secara hati-hati. PaO2 selalu meningkat
sebagai respon terhadap peningkatan FiO2 dan atau MAP.
Selama masa akut analisis gas darah harus selalu dilakukan
setiap 4-6 jam atau dapat lebih sering jika terjadi perubahan yang
cepat. AGD diperiksa ulang 15-20 menit pasca perubahan setting
ventilasi. Perubahan mode FiO2 dapat dimulai dengan menggunakan
oksimetri.

4. Penyapihan
Penyapihan (weaning) bisa dilakukan dengan 2 cara :
I. Tekanan inspirasi (PIP) bisa diturunkan sampai 20 cmH2O dan
PEEP 5 cmH2O dengan menurunkan tekanan1-2 cmH2O. FiO2
diturunkan bertahap 5% sampai 0,3-0,4. RR diturunkan 2-4 x/menit
atau 6-10 x/menit sesuai dengan peningkatan pernapasan spontan
bayi. Penghentian ventilator tergantung besarnya bayi, kondisi dan
upaya pernapasan makanik paru. Pada bayi < 2kg, penyapihan
dilakukan setelah RR sekitar 10x/menit serta bayi stabil pada
pemberian FiO2 < 0,3 dan PIP < 18 cmH2O. Pada bayi yang lebih
besar dapat dilakukan pada setting yang lebih tinggi. Setelah
ekstubasi bisa dilanjutkan dengan CPAP via nasal prongs atau
NPCPAP. Waktu akan ekstubasi lambung dikosongkan 4 jam
sebelum ekstubasi. Pemberian makanan peroral dihentikan dulu.

1. Algoritme penyapihan
E. Terapi suportif (Cloherty, 2004) :
1. Termoregulasi
Suhu bayi dipertahankan jangan terlalu tinggi atau rendah yaitu 37ºC
(36,5ºC - 37ºC)
2. Nutrisi parenteral dan enteral
Hari 1 : Glukosa 10% 70-80 ml/kgbb/24 jam
Hari 2 : Ditambah NaCl 3% 2-3 mEq/kgbb, KCl 2 mEq/kgbb dan
kalsium 100-200 mg/kgbb/hari. Na bikarbonat dapat diberikan sesuai
analisis gas darah
3. Mempertahankan sirkulasi yang optimal
Mempertahankan sirkulasi darah dengan monitoring denyut jantung,
tekanan darah dan perfusi perifer. Untuk mempertahankan perfusi
dapat diberikan darah, volume ekspander dan obat-obatan. Dopamin
sering digunakan untuk mempertahankan perfusi dan output urine dan
mencegah asidosis metabolik. Dosis awal 2,5-5 jika Ht <
40% berikan transfusi darah.
4. Mencegah infeksi dengan pemberian antibiotik
5. Sedasi
Umumnya digunakan untuk mengontrol ventilasi pada kebanyakan
bayi dan lorazepam dapat diberikan sebagai analgetik. Pemberian
pankuronium sebagai relaksasi otot masih kontroversial.

F. Menghindari komplikasi
a. Akut : - kebocoran
- infeksi
- perdarahan intrakranial
- PDA
b. Jangka panjang : Bronchopulmonari displasia / penyakit paru kronik

Begitu neonatus masuk ke NICU dalam 30-60 menit pertama yang harus
dilakukan adalah (Roberton’s 2005) bayi dalam inkubator dengan suhu
35º-36ºC
1. Timbang berat lahir
2. Periksa fisik dengan teliti
3. Ukur lingkar kepala
4. Hubungkan dengan monitor jantung dan pernapasan
5. Ukur suhu tubuh
6. Pasang umbilical arteriel kateter, bila gagal melaui canula arteri perifer
dan periksa /ukur PaO2 serta pH
7. Periksa tekanan darah secara kontinyu dengan memasang monitoring
melalui kanula arteri
8. Ambil sampel darah untuk Hb, leukosit, lakukan cross match semua
neonatus yang sakit bila memerlukan transfusi darah.
9. Ambil sampel untuk kultur termasuk kultur darah dan pungsi lumbal
10. Sampel darah untuk pemeriksaan elektrolit
11. Periksa faktor koagulasi untuk bayi-bayi sakit dan memar (bruish) dan
yang gestasinya < 30 minggu
12. Pasang kanula perifer untuk pemberian antibiotik
13. Bayi-bayi dalam kondisi kritis dan BBLASR pasang kateter umbilikalis
atau vena sentralis
14. Foto thoraks
15. Berikan surfaktan, bila belum diberikan di kamar bersalin
16. Menjelaskan atau informed consent kepada orang tua

RINGKASAN
Di negara berkembang termasuk di Indonesia kematian perinatal, neonatal
masih terlalu tinggi dibanding negara maju. Kematian neonatal (dini) 68,6%
karena prematuritas dan asfiksia lahir (SKRT 2001). Data UKK Perinatologi IDAI
(2004) baik bayi yang lahir di rumah sakit maupun di luar rumah sakit kematian
neonatal karena gawat napas dan asfiksia berkisar 50%.
Salah satu penyebab gangguan napas/gawat napas adalah RDS. Dengan
masih tingginya kejadian BBLR/BKB (bayi kurang bulan ) maka kejadian RDS
pun masih cukup tinggi.
Selama ini kematian perinatal (neonatal dini), neonatal masih menduduki
urutan utama 3 besar. Walaupun demikian jangan khawatir dengan tatalaksana
RDS yang mutakhir akan dapat menurunkan kematian neonatal yang bermakna.

DAFTAR PUSTAKA

Anniballe DJ, Hulsey TC, Wag Ner CL et al 1995 Comparative neonatal morbidity
of abdominal and vaginal deliveries after uncomplicated pregnancies.
Archieves of Pediartrics dand Adolescent Medicine 149:862-867.

Beeby PJ, Elliott EJ, Henderson-Smart DJ, Rieger ID 1994 Predictive value of
umbilical artery pH in preterm infant. Archieves of Disease in Childhood.
Fetal and Neonatal Edition 71:F93-F96.

Cloherty JP. Respiratory Distress Syndrom. Dalam : Cloherty & Stark


(penyunting) Manual of Neonatal Care. Edisi ke-5. Boston : Little Brown
and Co. 2004;341-8.

Cohen M, Carson BS, 1985 Respiratory morbidity benefit of awaiting onset of


labour after elective cesarean section. Obstetrics and Gynaecology
65:818-824.
Cuestas RA, Lindall A, Engel RR 1976 Low thyroid hormones and respiratory
distress syndrome of the newborn. New England Journal of Medicine
295:297-302.

Dhanireddy R, Smith YF, Harmosh M et al 1983 Respiratory distress syndrome


in the newborn: relationship ti serum prolactin, thyroxine and sex. Biology
of the Neonate 43:9-15.

Dimitriou G, Greenough A 1995 Measurement of lung volume and optimization of


oxygenation during high frequency oscillation. Archieves of Disease in
Childhood. Fetal and Neonatal Edition 72:F180-F183.

Emmanouilides GC, Moss AJ 1971 Respiratory distress in the newborn. Effects


of cord clamping before and after onset of respiration. Biology of Neonate
18:363-368.

Fleisher B, Kulovich MV, Hallman M, Gluck L. 1985 Lung profile: sex difference
in normal pregnancy. Obstetrics and Gynaecology 66:327-330.

Gandy G, Jacobson W, Gairdner D 1970 Hyaline membrane disease. I. Cellular


changes. Archieves of Disease in Childhood 45:289-310.

Gluck L, Kulovich MV, Eidelman AI, Cordero L, Khazin AF 1972. Biochemical


development of surfactant activity in mammalian lung. IV. Pulmonary
lechitin synthesis in the human fetus and newborn and etiology of the
respiratory distress syndrome. Pediatrics Research 6:81-99.

Gomella TL. Neonatology, management, procedures, on-call problems, diseases


and drug: hyaline membrane disease (HMD). 5th ed. Appleton and Lange,
2004:539-43.

Greenough A. Milner AD. In : Rennie JM, eds. Roberton’s textbook of


neonatology. Philadelphia: Elsevier, 2005;468-85.

Hallman M, Bry K, Hoppu K, Lappi M, Pohjavuori M 1992 Inositol


supplementation in premature infants with respiratory distress syndrome.
New England Journal of Medicine 326:1233-1239.

Ikegami M 1994 Survactant inactivation. In: Boynton BR, Carlo WA, Jobe AH
(eds) New therapies for neonatal respiratory failure. Cambirdge University
Press, Cambridge,pp.36-48.

Ikegami M, Berry D, Elkady T, Pettenazo A, Seidner S, Jobe A 1987


Corticosteroids and surfactant change lung function and protein leaks in
the lungs of ventilated premature rabbits. Journal of Clinical Investigation
79:1371-1378.
Ikegami M, Jobe AH, Tabor BL, Rider ED, Lewis JF 1992 Lung albumin recovery
in surfactant treated preterm ventilated lambs. American Review of
Respiratory Disease 145:1005-1008.

Jeffries AL, Coates G, O’Brodovich H 1984 Pulmonary epithelial permeability in


hyaline membrane disease. New England Journal of Medicine
311:1075-1080.

Kavvadia V, Greenough A 1998 Influence of ethnic origin on respiratory distress


syndrome in very premature infants. Archieves of Disease in Childhood.
Fetal and Neonatal Edition 78:F25-F28.

Kindmond S, Aitchison TC, Holland BM, Jones JG, Turner TL, Wardrop CA 1993
Umbilical cord clamping and preterm infants: a randomized trial. British
Medical Journal 306:172-175.

Linderkamp O, Versmold HT, Fendel H, Riegel KP, Betke K 1978 Association of


neonatal respiratory distress with birth asphyxia and deficiency of red cell
mass in premature infants. European Journal of Pediatrics 129:167-173.

Nagourney BA, Kramer MS, Klebanoff MA, Usher RH 1996 Reccurent respiratory
distress syndrome in successive in preterm pregnancies. Journal of
Pediatrics 129:591-596.

Obladen M, Gluck L 1977 RDS and tracheal phospholipids composition in twins:


independent of gestasional age. Journal of Pediatrics 90:799-802.

Piper JM, Xenakis EM, mc Farland M 1996 Do growth retarded premature infants
have differents rates of perinatal morbidity and mortality than appropriately
grown premature infants? Obstetrics and Gynaecology 87:169-174.

Quinlan RW, Buhi WC, Cruz AC 1984 Fetal pulmonary maturity in isoimmunized
pregnancies. Americans Journal of Obstetrics and Gynaecology
148;787-789.

Thibeault DW, Hall FK, Sheehan MB, Hall RT 1984 Postasphyxial lung disease
in newborn infants with severe perinatal acidosis. American Journal of
Obstetrics and Gynaecology 150:393-399.

Thompson PJ, Greenough A, Gamsu HR, Nicolaides KH 1992 Ventilatory


requirements for respiratory distress syndrome in small for gestasional
age infants. European Journal of Pediatrics 151:528-531
Usher RH, Allen AC, McLean FH 1971 Risk of respiratory distress syndrome
related to gestasional age, route of delivery and maternal diabetes.
American Journal of Obstetrics and Gynaecology 111:826-832.

Usher RH, Saigal S, O’Neill A, Surainder Y, Chua L 1975 Estimation of RBC


volume in premature infants with and without respiratory distress
syndrome. Biology of the Neonate 26:241-248.

Winn HN, Romero R, Roberts A, Liu H, Hobbins JC 1992 Comparison of fetal


lung maturation in preterm singleton and twins pregnancies. American
Journal of Perinatology 9:326-328.

Anda mungkin juga menyukai