Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran
napasan yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan
yang ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas
dan rasa berat di dada terutama pada malam hari atau dini hari yang umumnya
bersifat revrsibel baik dengan atau tanpa pengobatan .(Depkes RI, 2010)
Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif intermiten, reversibel dimana
trakea dan bronchi berespon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu
(Smeltzer&Bare, 2009).
Asma akut adalah penyakit pernapasan obstruktif yang ditandai oleh spame
akut otot polos bronkiolus. Hal ini menyebabkan obsktrusi aliran udara dan
penurunan ventilasi alveolus (Huddak & Gallo, 1997).
Jadi dapat disimpulkan bahwa asma adalah penyakit jalan napas obstruktif
yang disebabkan oleh berbagai stimulan, yang ditandai dengan spasme otot polos
bronkiolus.

B. Penyebab
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi
timbulnya serangan asthma bronkial.
a. Faktor predisposisi
Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi
biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena
adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asthma
bronkhial jika terpapar dengan faktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas
saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.

b. Faktor presipitasi

1
1) Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:
a) Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan, seperti: debu, bulu
binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi.
b) Ingestan, yang masuk melalui mulut, seperti : makanan dan obat-obatan.
c) Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit, seperti : perhiasan,
logam dan jam tangan.

2) Perubahan cuaca.
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma.
Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan
asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti: musim
hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin
serbuk bunga dan debu.

3) Stress
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga
bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma
yang timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami
stress/gangguan emosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah
pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi maka gejala asmanya belum
bisa diobati.

4) Lingkungan kerja.
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal
ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di
laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini
membaik pada waktu libur atau cuti.

5) Olah raga/aktifitas jasmani yang berat.

2
6) Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan
aktifitas jasmani atau olah raga yang berat. Lari cepat paling mudah
menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya
terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.

C. Manifestasi klinik.
1. Gejala awal berupa:
- Batuk terutama pada malam atau dini hari
- Sesak napas
- Napas berbunyi (mengi) yang terdengar jika pasien menghembuskan
napasnya
- Rasa berat di dada
- Dahak sulit keluar.
- Belum ada kelainan bentuk thorak
- Ada peningkatan eosinofil darah dan IG E
- BGA belum patologis
2. Gejala yang berat adalah keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa atau
disebut juga stadium kronik. Yang termasuk gejala yang berat adalah:
- Serangan batuk yang hebat
- Sesak napas yang berat dan tersengal-sengal
- Sianosis (kulit kebiruan, yang dimulai dari sekitar mulut)
- Sulit tidur dan posisi tidur yang nyaman adalah dalam keadaan duduk
- Kesadaran menurun
- Thorak seperti barel chest
- Tampak tarikan otot sternokleidomastoideus
- Sianosis
- BGA Pa O2 kurang dari 80%
- Suara nafas melemah bahkan tak terdengar (silent Chest)
(Direktorat Bina Farmasi dan Klinik, 2007)

3
Sedangkan menurut Smeltzer & Bare (2009) manifestasi klinis dari asma,
diantaranya:
- Tiga gejala umum asma adalah batuk, dispnea dan mengi. Serangan
asma biasanya bermula mendadak dengan batuk dan rasa sesak dalam
dada, disertai dengan pernapasan lambat, mengi dan laborius.
- Sianosis karena hipoksia
- Gejala retensi CO2 : diaforesis, takikardia, pelebaran tekanan nadi.

D. Patofisiologi
Suatu serangan akut asma akan disertai oleh banyak perubahan dijalan nafas
yang menyebabkan penyempitan: edema dan peradangan selaput lender,
penebalan membran basa, hipersekresi kalenjar mucus dan yang lebih ringan
kontraksi otot polos. Perubahan histology yang sama dpat dijumpai pada keadaan
tanpa serangan akut akibat pajanan kronik derajat rendah ke satu atau lebih
pemicu asma.
Melalui berbagai jalur, zat-zat pemicu tersebut merangsang degranulasi sel
mast dijalan nafas yang menyebabkan pembebasan berbagai mediator yang
bertanggung jawab untuk perubahan yang terjadi. Mediator yang terpenting
mungkin adalah leukotrien C, D dan E tetapi terdapat bukti bahwa histamine,
PAF, neuropeptida, zat-zat kemotaktik, dan berbagai protein yang berasal dari
eosinofil juga berperan penting dalam proses ini. obstruksi menyebabkan
peningkatan resistensi jala nafas (terutama pada ekspirasi karena penutupan jalan
nafas saat ekspirasi yang terlalu dini); hiperinflasi paru; penurunan elastisitas dan
frekuensi-dependent compliance paru; peningkatan usaha bernafas dan dispneu;
serta gangguan pertukaran gas oleh paru.
Obstruksi yang terjadi tiba-tiba besar kemungkinannya disebabkan oleh
penyempitan jalan nafas besar, dengan sedikit keterlibatan jalan nafas halus, dan
biasanya berespon baik terhadap terapi bronkodilator. Asma yang menetap dan
terjadi setiap hari hampir selalu memiliki komponen atau fase lambat yang
menyebabkan penyakit jalan nafas halus kronik dan kurang berespon terhadap
terapi bronkodilator saja.

4
Eosinofil diperkirakan merupakan sel efektor utama pada pathogenesis
gejala asma kronik, dimana beberapa mediatornya menyebabkan kerusakan luas
pada stel epitel bronkus serta perubahan-perubahan inflmatory. Walaupun banyak
sel mungkin sitokin (termasuk sel mast, sel epitel, makrofag dan eosinofil itu
sendiri) yang mempengaruhi diferensiasi, kelangsungan hidup, dan fungsi
eosinofil, sel TtypeTH2 dianggap berperan sentral, karena sel ini mampu
mengenali antigen secara langsung. Obstruksi pada asma biasanya tidak sama, dan
defek ventilasi-perkusi menyebabkan penurunan PaO2. Pada eksaserbasi asma
terjadi hiperventilasi yang disebabkan oleh dispneu. pada awalnya banyak keluar
dan Pa CO2 mungkin rendah namun seiring dengan semakinparahnya obstruksi,
PaCO2 meningkat karena hipoventilasi alveolus. Efek obstruksi berat yang timbul
mencakup hipertensi pulmonaris, peregangan ventrik.

E. Patway

5
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dijumpai napas menjadi cepat dan
dangkal, terdengar bunyi mengi pada pemeriksaan dada (pada serangan
sangat berat biasanya tidak lagi terdengar mengi, karena pasien sudah lelah
untuk bernapas) Pemeriksaan Fungsi Paru
2. Spirometri
Spirometri adalah mesin yang dapat mengukur kapasitas vital paksa (KVP)
dan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1). Pemeriksaan ini sangat
tergantung kepada kemampuan pasien sehingga diperlukan instruksi
operator yang jelas dan kooperasi pasien. Untuk mendapatkan nilai yang
akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang diperiksa. Sumbatan jalan
napas diketahui dari nilai VEP1 < 80% nilai prediksi atau rasio VEP1/KVP
< 75%.
Selain itu, dengan spirometri dapat mengetahui reversibiliti asma, yaitu
adanya perbaikan VEP1 > 15 % secara spontan, atau setelah inhalasi
bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian bronkodilator oral
10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/oral) 2 minggu.
Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis
tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan.
3. Peak Expiratory Flow Meter (PEF meter)
Sumbatan jalan napas diketahui dari nilai APE < 80% nilai prediksi. Selain
itu juga dapat memeriksa reversibiliti, yang ditandai dengan perbaikan nilai
APE > 15 % setelah inhalasi bronkodilator, atau setelah pemberian
bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid
(inhalasi/oral) 2 minggu.
Variabilitas APE ini tergantung pada siklus diurnal (pagi dan malam yang
berbeda nilainya), dan nilai normal variabilitas ini < 20%.
Cara pemeriksaan variabilitas APE
Pada pagi hari diukur APE untuk mendapatkan nilai terendah dan malam
hari untuk mendapatkan nilai tertinggi.

6
APE malam – APE pagi
Variabilitas harian = ------------------------------------- x 100%
½ (APE malam + APE pagi)
(Direktorat Bina Farmasi dan Klinik, 2007)
4. Pemeriksaan Tes Kulit (Skin Test)
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat
menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
5. Pemeriksaan Darah
Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi
hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.Pemeriksaan ini hanya dilakukan
pada penderita dengan serangan asma berat atau status asmatikus.

G. Penatalaksanaan
Prinsip umum dalam pengobatan pada asma bronkhiale :

1. Menghilangkan obstruksi jalan nafas


2. Mengenal dan menghindari faktor yang dapat menimbulkan serangan asma.
3. Memberi penerangan kepada penderita atau keluarga dalam cara pengobatan
maupun penjelasan penyakit.

Penatalaksanaan asma dapat dibagi atas :

a. Pengobatan dengan obat-obatan, seperti :


1) Beta agonist (beta adrenergik agent)
2) Methylxanlines (enphy bronkodilator)
3) Anti kolinergik (bronkodilator)
4) Kortikosteroid
5) Mast cell inhibitor (lewat inhalasi)

b. Tindakan yang spesifik tergantung dari penyakitnya, misalnya :


1) Oksigen 4-6 liter/menit.

7
2) Agonis B2 (salbutamol 5 mg atau veneteror 2,5 mg atau terbutalin 10
mg) inhalasi nabulezer dan pemberiannya dapat di ulang setiap 30 menit-
1 jam. Pemberian agonis B2 mg atau terbutalin 0,25 mg dalam larutan
dextrose 5% diberikan perlahan.
3) Aminofilin bolus IV 5-6 mg/kg BB, jika sudah menggunakan obat ini
dalam 12 jam.
4) Kortikosteroid hidrokortison 100-200 mg itu jika tidak ada respon segera
atau klien sedang menggunakan steroid oral atau dalam serangan sangat
berat.

H. Fokus pengkajian keperawatan


1. Pengumpulan data.

a. Identitas klien.
Pengajian mengenai nama, umur dan jenis kelamin perlu di kaji pada
penyakit status asthmatikus. Serangan asma pada usia dini memberikan
implikasi bahwa sangat mungkin terdapat status atopi. Sedangkan serangan
pada usia dewasa dimungkinkan adanya faktor non atopi.
Alamat menggambarkan kondisi lingkungan tempat klien berada, dapat
mengetahui kemungkinan faktor pencetus serangan asma. Status perkawinan,
gangguan emosional yang timbul dalam keluarga atau lingkungan
merupakan faktor pencetus serangan asma, pekerjaan, serta bangsa perlu
juga digaji untuk mengetahui adanya pemaparan bahan alergen. Hal lain
yang perlu dikaji tentang : Tanggal MRS, Nomor Rekam Medik, dan
Diagnosa medis
b. Riwayat penyakit sekarang.
Klien dengan serangan asma datang mencari pertolongan dengan keluhan,
terutama sesak napas yang hebat dan mendadak kemudian diikuti dengan
gejala-gejala lain yaitu : Wheezing, Penggunaan otot bantu pernapasan,
Kelelahan, gangguan kesadaran, Sianosis serta perubahan tekanan darah.
Perlu juga dikaji kondisi awal terjadinya serangan.

8
c. Riwayat penyakit dahulu.
Penyakit yang pernah diderita pada masa-masa dahulu seperti infeksi
saluran napas atas, sakit tenggorokan, amandel, sinusitis, polip hidung.
Riwayat serangan asma frekuensi, waktu, alergen-alergen yang dicurigai
sebagai pencetus serangan serta riwayat pengobatan yang dilakukan untuk
meringankan gejala asma
d. Riwayat kesehatan keluarga.
Pada klien dengan serangan status asthmatikus perlu dikaji tentang riwayat
penyakit asma atau penyakit alergi yang lain pada anggota keluarganya
karena hipersensitifitas pada penyakit asma ini lebih ditentukan oleh faktor
genetik oleh lingkungan.
e. Riwayat psikososial
Gangguan emosional sering dipandang sebagai salah satu pencetus bagi
serangan asma baik ganguan itu berasal dari rumah tangga, lingkungan
sekitar sampai lingkungan kerja. Seorang yang punya beban hidup yang
berat berpotensial terjadi serangan asma. yatim piatu, ketidakharmonisan
hubungan dengan orang lain sampai ketakutan tidak bisa menjalankan
peranan seperti semula

2. Pola fungsi kesehatan


a. Pola resepsi dan tata laksana hidup sehat
Gejala asma dapat membatasi manusia untuk berperilaku hidup normal
sehingga klien dengan asma harus merubah gaya hidupnya sesuai kondisi
yang memungkinkan tidak terjadi serangan asma

b Pola nutrisi dan metabolisme


Perlu dikaji tentang status nutrisi klien meliputi, jumlah, frekuensi, dan
kesulitan-kesulitan dalam memenuhi kebutuhannya. Serta pada klien sesak,
potensial sekali terjadinya kekurangan dalam memenuhi kebutuhan nutrisi,
hal ini karena dipsnea saat makan, laju metabolisme serta ansietas yang
dialami klien

9
c. Pola eliminasi
Perlu dikaji tentang kebiasaan BAB dan BAK mencakup warna bentuk,
kosentrasi, frekuensi, jumlah serta kesulitan dalam melaksanakannya.

d. Pola tidur dan istirahat


Perlu dikaji tentang bagaimana tidur dan istirahat klien meliputi berapa
lama klien tidur dan istirahat. Serta berapa besar akibat kelelahan yang
dialami klien. Adanya wheezing, sesak dan ortopnea dapat mempengaruhi
pola tidur dan istirahat klien

e. Pola aktifitas dan latihan


Perlu dikaji tentang aktifitas keseharian klien seperti olah raga, bekerja dan
aktifitas lainnya. Aktifitas fisik dapat terjadi faktor pencetus terjadinya asma
yang disebut dengan Exerase Induced Asthma

f. Pola hubungan dan peran


Gejala asma sangat membatasi gejala klien untuk menjalani kehidupan
secara normal. Klien perlu menyesuaikan kondisinya dengan hubungan dan
peran klien baik dilingkungan rumah tangga, masyarakat ataupun
lingkungan kerja

g. Pola persepsi dan konsep diri


Perlu dikaji tentang persepsi klien tarhadap penyakitnya. Persepsi yang
salah dapat menghambat respon kooperatif pada diri klien. Cara memandang
diri yang salah juga akan menjadi stresor dalam kehidupan klien. Semakin
banyak stresor yang ada pada kehidupan klien dengan asma meningkatkan
kemungkinan serangan asma yang berulang.

h. Pola sensori dan kognitif


Kelainan pada pola persepsi dan kognitif akan mempengaruhi konsep diri
klien dan akhirnya mempengaruhi jumlah stresor yang dialami klien

10
sehingga kemungkinan terjadi serangan asma yang berulangpun akan
semakin tinggi.

i. Pola reproduksi seksual


Reproduksi seksual merupakan kebutuhan dasar manusia, bila kebutuhan ini
tidak terpenuhi akan terjadi masalah dalam kehidupan klien. Masalah ini
akan menjadi stressor yang akan meningkatkan kemungkinan terjadinya
serangan asma.

j. Pola penangulangan stress


Stress dan ketegangan emosional merupakan faktor instrinsik pencetus
serangan asma maka perlu dikaji penyebab terjadinya stres. Frekuensi dan
pengaruh terhadap kehidupan klien serta cara penanggulangan terhadap
stresor

k. Pola tata nilai dan kepercayaan


Kedekatan klien pada sesuatu yang ia yakini dunia percayai dapat
meningkatkan kekuatan jiwa klien. Keyakinan klien terhadap Tuhan Yang
Maha Esa serta pendekatan diri pada-Nya merupakan metode
penanggulangan stres yang konstruktif

3. Pemeriksaan fisik pada pasien Asma Bronchiale


a. Status kesehatan umum
Perlu dikaji tentang kesadaran klien, kecemasan, gelisah, kelemahan suara
bicara, tekanan darah nadi, frekuensi pernapasan yang meningkatan,
penggunaan otot-otot pembantu pernapasan sianosis batuk dengan lendir
lengket dan posisi istirahat klien
b. Integumen
Dikaji adanya permukaan yang kasar, kering, kelainan pigmentasi, turgor
kulit, kelembapan, mengelupas atau bersisik, perdarahan, pruritus, ensim,

11
serta adanya bekas atau tanda urtikaria atau dermatitis pada rambut di kaji
warna rambut, kelembaban dan kusam.
c. Kepala.
Dikaji tentang bentuk kepala, simetris adanya penonjolan, riwayat trauma,
adanya keluhan sakit kepala atau pusing, vertigo kejang ataupun hilang
kesadaran.
d. Mata.
Adanya penurunan ketajaman penglihatan akan menambah stres yang
dirasakan klien. Serta riwayat penyakit mata lainya
e. Hidung
Adanya pernafasan menggunakan cuping hidung, rinitis alergi dan fungsi
olfaktori
f. Thorak
1) Inspeksi
Dinding torak tampak mengembang, diafragma terdorong ke bawah
disebabkan oleh udara dalam paru-paru susah untuk dikeluarkan karena
penyempitan jalan nafas. Frekuensi pernafasan meningkat dan tampak
penggunaan otot-otot tambahan
2) Palpasi.
Pada palpasi dikaji tentang kesimetrisan, ekspansi dan taktil fremitus. Pada
asma, paru-paru penderita normal karena yang menjadi masalah adalah
jalan nafasnya yang menyempit
3) Perkusi
Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan
diafragma menjadi datar dan rendah disebabkan karena kontraksi otot
polos yang mengakibatkan penyempitan jalan nafas sehingga udara susah
dikeluarkan dari paru-paru.
4) Auskultasi.
Terdapat suara vesikuler yang meningkat disertai dengan expirasi lebih
dari 4 detik atau lebih dari 3x inspirasi, dengan bunyi pernafasan wheezing
karena sekresi mucus yang kental dalam lumen bronkhioulus dan spasme

12
otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas
menjadi sangat meningkat
g. Kardiovaskuler.
Jantung dikaji adanya pembesaran jantung atau tidak, bising nafas dan
hyperinflasi suara jantung melemah. Tekanan darah dan nadi yang
meningkat serta adanya pulsus paradoksus
h. Abdomen.
Perlu dikaji tentang bentuk, turgor, nyeri, serta tanda-tanda infeksi karena
dapat merangsang serangan asma frekwensi pernafasan, serta adanya
konstipasi karena dapat nutrisi
i. Ekstrimitas.
Dikaji adanya edema extremitas, tremor dan tanda-tanda infeksi pada
extremitas karena dapat merangsang serangan asma

I. Fokus Intervensi Keperawatan


Setelah pengumpulan data klien, mengorganisasi data dan menetapkan
diagnosis keperawatan maka tahap berikutnya adalah perencanaan. Pada tahap ini
perawat membuat rencana perawatan dan menentukan pendekatan apa yang
digunakan untuk memecahkan masalah klien. Ada tiga fase dalam tahap
perencanaan yaitu menentukan prioritas, menentukan tujuan dan merencanakan
tindakan keperawatan. Perencanaan dari diagnosis-diagnosis keperawatan diatas
adalah sebagai berikut:
Rencana tindakan :
 Pantau TTV, termasuk pengkajian pernafasan tiap 2 jam.
 Berikan oksigen sesuai pesanan dan untuk distress pernafasan dan
sianosis; pemantauan oksigen transkutan.
 Hindari penggunaan kadar O2 terlalu tinggi karena dapat menekan
pernafasan secara bermakna.
 Berikan bronkodilator melalui nebulizer sesuai pesanan dan kaji status
pernafasan sebelum dan sesudah pemberian.

13
 Berikan infus bronkodilator secara intravena sesuai pesanan.
 Jamin bahwa pasien menerima maksimum untuk usia dan berat badan
melalui parenteral dan oral.
 Izinkan pasien memilih posisi yang paling nyaman.
 Periksa kadar teofilin dan berikan dosis bolus dari bronkodilator secara
intravena sesuai pesanan untuk mempertahankan kadar obat terapeutik.
 Patau gas darah.
 Pantau terhadap tanda dan gejala gagal pernafasan dan siapkan untuk
intubasi darurat bila ada hal berikut terjadi: pernafasan cepat dan dangkal,
penurunan bunyi nafas, pengisian kapiler lambat, takikardia, penurunan
kesadaran.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

14
Daftar Pustaka

15
Smeltzer, S.D., Bare, B.G. (2009). Buku ajar keperawatan medikal bedah
brunner and suddarth. Jakarta: EGC

Stein, J. H. (2011). Panduan klinis ilmu penyakit dalam. Jakarta: EGC

Syaifuddin. (2013). Anatomi fisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran


EGC

16

Anda mungkin juga menyukai