NIM : 180910201018 JURUSAN : ADMINISTRASI NEGARA MATKUL : HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
ANALISIS KASUS REKLAMASI DI WILAYAH DKI JAKARTA YANG
BERTETANGAN DENGAN AAUPB
Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Kemaritiman resmi memberlakukan
kebijakan moratorium atau penghentian sementara pengerjaan reklamasidi Teluk Jakarta. Keputusan ini diambil pemerintah, setelah sebelumnya proyek reklamasi yang digarap sejumlah pengembang properti terindikasi berbagai permasalahan. Masalah utama dari proyek reklamasi yang muncul ke permukaan publik adalah skandal korupsi. Dugaan korupsi proyek reklamasi tersebut menyeret sejumlah 90 petinggi DPRD DKI Jakarta dan perusahaan pemenang tender reklamasi. Awal mula perencanaan prosesnya diawali dengan kelahiran Keputusan Presiden (Kepres) No 52/1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Aturan ini diturunkan ke Peraturan Daerah (Perda) No 8/1995. Namun program ini ternyata tidak mulus. Setelah hilang akibat terpaan krisis ekonomi 1997-1998, kabar seputar reklamasi Teluk Jakarta baru muncul lagi pada 2003. Dan Peraturan Presiden (Perpres) No 122/2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Aturan ini menjadi dasar dimulainya kembali proyek reklamasi Jakarta. Proses pelaksanaan reklamasi sendiri dilakukan saat pemerintahan Basuki yang menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta tahun 2014. Pelaksanaan tersebut didorong karena wewenang direksi. Wewenang direksi adalah salah satu bentuk kebijakan atau instrumen yuridis pemerintah. Pembahasan mengenai kebijakan selalu dikaitkan dengan apa yang disebut sebagai kewenangan bebas/Freis Ermessen (discretion power). Freis Ermessen diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang. Menurut pasal 1 (9) UU no. 30 tahun 2014, diskresi adalah keputusandan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untukmengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalamhal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidaklengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Menggunakan diskresi sesuai dengan tujuannya merupakan salah satu hak bagi pejabat negara, tetapi dalampenggunaan diskresi harus sesuai dengan AAUPB sesuai prosedur AAUPB yang baik danpasal 52 (1) uu no. 30 tahun 2014, yaitu : 1. Sesuai dengan tujuan diskresi yang tercantum dalam UU No.30/2014; 2. Tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 3. Sesuai dengan asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB); 4. Berdasarkan alasan-alasan yang objektif; 5. Tidak menimbulkan konflik kepentingan; dan 6. Dilakukan dengan itikad baik. Selain memenuhi syarat-syarat material di atas, suatu diskresi juga wajib memenuhi persyaratan formil yang ditetapkan dalam UU No.30/2014 dimana pada intinya pejabat pemerintah yang menggunakan diskresi wajib memperoleh persetujuan Atasan dengan terlebih dahulu menguraikan maksud, tujuan, substansi serta dampak administrasi dan keuangan. Lalu dimana letak permasalahnnya? Jika dianalisis maka letak pemasalahnnya terdapat pada perijinan yang tidak sesuai dengan IMB dan pelaksanaannya pada beberapa pulau yang akan dibangun reklamasi. Hal ini setiap daerah yang melakukan reklamasi harus menyusun rencana zonasi sesuai dengan perda hal ini tercantum dalam Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) merupakan mandat dari Pasal 7, Pasal 9 dan Pasal 10 UU Nomor 27 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 1 Tahun 2014. Pemprov DKI Jakarta tidak dapat membuktikan tentang adanya Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil (RZWP-3-K) sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Undang – Undang tersebut. Sehingga perizinan pulau G bertentangan dengan ketentuan peratuan perundang – undangan dan melanggar asas kecermatan, ketelitian, kepastian hukum dalam AAUPB. Ternyata dibalik perijinan yang tidak sesuai dengan perundang – undangan terduga terdapat kasus dugaan suap Raperda RZWP-3-K dan Gugatan Hukum berkaitan dengan Perizinan Reklamasi ini yang telah menjadikan beberapa anggota DPRD sebagai tersangka. Hal ini menunjukan bahwa, para penyeleggara negara telah melanggar Asas kepentingan umum, dimana mereka telah terbukti mencampuradukkan kewenangan, di mana pejabat Tata Usaha Negara memiliki wewenang yang sudah ditentukan dalam perat perundang-undangan (baik dari segi materi, wilayah, waktu) untuk melakukan tindakan hukum dalam rangka melayani/mengatur warga negara. Asas ini menghendaki agar pejabat Tata Usaha Negara tidak menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain selain yang telah ditentukan dalam peraturan yang berlaku atau menggunakan wewenang yang melampaui batas. Sehingga setelah naiknya Anis sebagai gubernur maka langkah awal yang dilakukan Anies adalah menarik draft Raperda RZWP3K dan RTRKSP dari DPRD DKI pada awal Desember 2017 diikuti dengan keluarnya Pergub Nomor 58 Tahun 2018 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Badan Koordinasi dan Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Lewat aturan itu dibentuk Badan Koordinasi dan Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta atau BKP Pantura Jakarta tahun 2018. Setelah itu, menyerahkan pengelolaan tiga pulau, yakni Pulau C, D, dan G kepada PT Jakpro, salah satu BUMD milik DKI dan sebanyak 13 pulau yang izinnya dicabut di antaranya, izin Pulau A, B, dan E yang dipegang PT Kapuk Naga Indah, izin Pulau J dan K oleh PT Pembangunan Jaya Ancol, izin Pulau L dan M oleh PT Manggala Krida Yudha, izin Pulau O dan F oleh PT Jakarta Propertindo (Jakpro), izin Pulau P dan Q oleh KEK Marunda Jakarta, izin Pulau H oleh PT Taman Harapan Indah, serta izin Pulau I oleh PT Jaladri Kartika Eka Paksi. Disimpulkan bahwa, pada awal pelaksanaan reklasmasi ini terdapat beberapa hambatan terutama dalam pemberian ijin dan penetapan dasar hukumnya. Dimana terjadi banyak beberapa cabut ijin karena menolak reklamasi tersebut dan akhirnya dikembalikan kembali. Ini termasuk mempermainkan asas kepastian hukum. Jadi demi kepastian hukum, setiap keputusan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah tidak untuk dicabut kembali, sampai dubuktikan sebaliknya dalam proses peradilan. Adapun aspek yang bersifat formal dari asas kepastian hukum membawa serta bahwa ketetapan yang memberatkan dan ketentuan yang terkait pada ketetapan-ketetapan yang menguntungkan, harus disusun dengan kata-kata yang jelas. Sehingga tidak dijadikan sebagai bahan untuk menguntungkan diri sendiri. Jika peraturan tidak jelas maka akan, memeberikan celah kepada para penyelenggara negara untuk melakukan korupsi dengan embel – embel pemberian ijin seperti pada kasus reklamasi tersebut. Selanjutnya, setelah asas kepastian hukum lalu asas kecermatan ini menghendaki pemerintah bertindak cermat dalam melakukan aktivitas penyelenggaraan tugas pemerintahan sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi warga negara. Dalam menerbitkan ketetapan, pemerintah harus mempertimbangkan secara cermat dan teliti semua faktor yang terkait dengan materi ketetapan, mendengar dan mempertimbangkan alasan-alasan yang diajukan oleh pihak yang berkepentingan, mempertimbangkan akibat hukum yang timbul dari ketetapan. Hal ini dilihat bahwa pada kasus reklamasi terjadi penolakan dari masyarakat dan para aktivis pecinta likungan karena menganggap reklamasi dapat merusak lingkungan dan ekosistem dalam jangka panjang. Dengan adanya korupsi tersebut para penyelenggara negara telah melanggar asas kepentingan umum, dimana menghendaki agar pemerintah dalam melaksanakan tugasnya selalu mengutamakan kepentingan umum, yakni kepentingan yang mencakup semua aspek kehidupan orang banyak.