Anda di halaman 1dari 16

3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Filsafat

Filsafat dari kata Arab yang berhubungan rapat dengan kata Yunani, bahkan

asalnya memang dari kata Yunani. Kata Yunaninya ialah pilosopia. Dalam bahasa

Yunani kata pilosopia merupakan kata majemuk yang terdiri atas pilo dan sopia. Pilo

artinya cinta dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu ingin, dan karena ingin itu, lalu

berusaha mencapai yang diinginkan itu. Sopia artinya kebijaksanaan. Bijaksana ini

pun kata asing, yang artinya pandai: mengerti dengan mendalam atau cinta dengan

mendalam. Jadi menurut namanya saja filsafat boleh diartikan ingin mencapai pandai,

cinta pada kebijakan (Poedjawijatna, 1986: 1-2).

Perkataan Inggris philosophy yang berarti filsafat berasal dari kata Yunani

“philosophia” yang lazim diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Akar katanya ialah

philos (philia, cinta) dan sophia (kearifan). Menurut pengertiannya yang semula dari

zaman Yunani Kuno itu filsafat berarti cinta kearifan. Namun, cakupan pengertian

sophia yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu sophia tidak hanya berarti

kearifan saja, melainkan meliputi pula kebenaran pertama, pengetahuan luas,

kebajikan intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian pengrajin dan bahkan

kecerdikkan dalam memutuskan soal-soal praktis (Gee, 1999: 1).


4

Menurut Surajiyo (2010: 1) secara etimologi kata filsafat, yang dalam Bahasa

Arab dikenal dengan istilah falsafah dan dalam Bahasa Inggris di kenal dengan istilah

philoshophy adalah dari Bahasa Yunani philoshophia terdiri atas kata philein yang

berarti cinta (love) dan shopia yang berarti kebijaksanaan (wisdom), sehingga

secara etimologi istilah filsafat berarti cinta kebijaksanaan (love of wisdom) dalam arti

yang sedalam-dalamnya. Dengan demikian, seorang filsuf adalah pecinta atau

pencari kebijaksanaan.

Muzayyin Arifin (2014: 3) menjelaskan, bahwa secara harfiah, filsafat

berarti “cinta kepada ilmu”. Filsafat berasal dari kata Philo yang artinya cinta

dan Sophos artinya ilmu/hikmah. Jadi dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa

setiap manusia yang mencintai suatu ilmu/hikmah yang mana dengan ilmu tersebut

dia mencari suatu kebenaran dengan mendalam dan tanpa batas maka disebut dengan

filsuf. Dan filsafat ini merupakan ilmu pertama yang diamalkan untuk menemukan

suatu kebenaran atau sebuah rumusan dari segala ilmu penegtahuan. Sebagaimana

Muzayyin di dalam bukunya yang sama menjelaskan, bahwa secara historis, filsafat

menjadi induk segala ilmu pengetahuan yang berkembang sejak zaman Yunani kuno

sampai zaman modern sekarang (Arifin, 2014: 3)

Harold H. Titus (1984: 11-14) menyebutkan bahwa filsafat tidak lain adalah

sekumpulan sikap yang terbentuk dari berpikir berpikir kritis tentang realitas

kehidupan dan alam. Dan bukankah hidup itu sendiri adalah bagaimana

subjeknyadapat menyikapi berbagai realitas yang ada yang berdasarkan itu pula
5

muncul sikap dan pola hidup dan kehidupan positif yang menyempurnakan bagi

identitas subjeknya? Pembentukannya secara nyata tentulah berdasarkan pada upaya

berpikir jernih tentang segala sesuatu yang ada dan atau yang diperkirakan ada.

Semakin jernih seseorang memandang berbagai ragam realitas yang ada, maka

semakin memunculkan sikap positif sebagai lambing kearifan seseorang dalam

menghadapi realitas itu. Hal ini tentu akan tampil dalam keseluruhan tingkah laku

kesehariannya.

Al-Farabi, seorang filsuf muslim mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu

pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang

sebenarnya (Ahmadi, 2001: 2-3)

Menurut Bakry dalam Abbas Hamami (1976: 2), ilmu filsafat adalah ilmu

yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam

semesta dan juga manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang

bagaimana hakikatna sejauh yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap

manusia seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.

Pandangan yang mendalam, menyeluruh, dan sistematis ini menghendaki

manusia untuk selalu mempunyai daya pikir yang sadar, mendalam, teliti, dan teratur

ketika berfilsafat. Hal ini sesuai dengan yang dirumuskan Ramayulis, bahwa

berfilsafat adalah berpikir rasional, spekulatif, sistematis, radikal, dan universal

(Ramayulis, 2015: 2)
6

Secara terminologi, menurut Surajiyo (2010: 4) filsafat adalah ilmu

pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam dengan

menggunakan akal sampai pada hakikatnya. Filsafat bukan mempersoalkan gejala-

gejala atau fenomena, tetapi yang dicari adalah hakikat dari sesuatu

fenomena. Hakikat adalah suatu prinsip yang menyatakan “sesuatu” adalah “sesuatu”

itu adanya. Filsafat mengkaji sesuatu yang ada dan yang mungkin ada secara

mendalam dan menyeluruh. Jadi filsafat merupakan induk segala ilmu.

Perbedaan definisi itu disebabkan oleh berbedanya konotasi filsafat pada

tokoh-tokoh itu karena perbadaan keyakinan dengan pandangan hidup yang dianut

mereka. Perbedaan itu juga dapat muncul karena perkembangan filsafat itu sendiri

yang menyebabkan beberapa pengetahuan khusus memisahkan diri dari filsafat

(Nuryamin, 2017: 1-2)

Hatta sebagaimana dikutip oleh Ahmad Tafsir (1990: 8) mengatakan bahwa

pengertian filsafat itu lebih baik tidak dibicarakan lebih dahulu, nanti bila orang telah

banyak membaca atau mempelajari filsafat, orang itu akan mengerti dengan

sendirinya apa filsafat itu menurut konotasi filsafat yang ditangkapnya. Langeveld

juga berpendapat demikian, katanya setelah orang berfilsafat sendiri, barulah ia

maklum apa filsafat itu dan makin dalam ia berfilsafat, akan makin mengerti ia apa

filsafat itu.
7

Menurut al-Syaibany (1979: 25), filsafat bukanlah hikmah itu sendiri,

melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha untuk mendapatkannya, memusatkan

perhatian padanya dan menciptakan sikap positif terhadapnya. Selanjutnya ia

menambahkan bahwa filsafat dapat pula berarti mencari hakekat sesuatu, berusaha

manautkan sebab dan akibat dan berusaha manafsirkan pengalaman-pengalaman

manusia

Menurut A. hanafi mengatakan bahwa pengertian filsafat telah mengalami

perubahan-perubahan sepanjang masanya. Lebih lanjut A. Hanafi mengatakan bahwa

kata filsafat berasal dari kata Philo yang berarti cinta dan Sophia yang berarti

pengetahuan (Hanafi, 1981: 9)

Harun Nasution mengatakan bahwa, filsafat berasal dari kata Yunani yang

tersusun dari dua kata Philein dalam arti cinta dan Sophos dalam arti hikmah

(Wisdom) orang Arab memindahkan kota Yunani Philosophia ke dalam bahasa

mereka dengan menyesuaikannya dengan tabiat susunan kata-kata Arab, yaitu filsafa

dengan pola fa’lala, fa’lala dan fi’lal. Dengan demikian kata benda dari kata kerja

falsafa seharusnya menjadi falsafah atau filsaf (Nuryamin, 2017: 3-4)

Selanjutnya kata filsafat yang banyak terpakai dalam bahasa Indonesia,

menurut Harun Nasution bukan berasal dari kata Arab falsafah dan bukan pula dari

kata Barat Philoshopy. Di sini dipertanyakan tentang apakah filsafat diambil dari kata
8

barat dan safah dari kata Arab, sehingga terjadi gabungan antara keduanya dan

menimbulkan kata filsafat (Zuaerini, 1992: 3).

Dari beberapa kutipan di atas dapat diketahui bahwa pengertian filsafat dari

segi kebahasaan atau semantic adalah cinta terhadap pengetahuan atau kebijaksanaan.

Atau sebagai sikap dan pandangan seseorang yang memikirkansegala sesuatunya

secara mendalam dan melihat dari yang luas dan menyeluruh dengan segala

sesuatunya. Dengan demikian filsafat adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang

menempatkan pengetahuan atau kebijaksanaan sebagai sasaran utamanya. Kata cinta

tersebut selanjutnya menunjuk kepada panggilan hati nurani yang secara murni rela

melakukan segala kegiatan tanpa paksaan dari luar. Itulah sebabnya kata Avuddin

Nata, bahwa seseorang yang melakukan kegiatan mencari keebenaran, pengetahuan

atau hikmah yang kemudian disebut filosof-diartikan sebagai orang yang mencintai

kebenaran, pengetahuan atau kebijaksanaan adalah orang yang pola hidupnya

Nampak unik. Ia terkadang kurang menyukai kebendaan serta hal-hal yang membawa

kepada kerendahan dan lainnya yang kurang ideal. Kehidupannya lebur dalam

perenungan dan pikiran untuk mencari kebenaran itu (Nata, 1997: 2)


9

B. Pengertian Filsafat Pendidikan

Pemikiran filsafat diarahkan oleh faktor yang meliputi berbagai bidang

kehidupan manusia, seperti politik, ekonomi, hukum dan juga pendidikan. Dalam

kaitannya dengan pendidikan, filsafat memiliki makna sebagai pemikiran yang

rasional, mendalam, sistematis, universal, dan spekulasi tentang pendidikan

(Nuryamin, 2017: 31).

Kristiawan (2016: 9) dalam bukunya mengatakan bahwa filsafat pendidikan

adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan,

yang nantinya akan menentukan “mau dibawa kemana” siswa karena hal itu yang

melandasi dan membimbing ke arah pencapaian tujuan pendidikan. Oleh sebab itu,

filsafat yang dianut oleh suatu bangsa atau kelompok masyarakat tertentu atau yang

dianut oleh perorangan (dalam hal ini Dosen/Guru) akan sangat mempengaruhi tujuan

pendidikan yang ingin dicapai.

Dalam hal ini, filsafat dan pendidikan memang merupakan dua istilah yang

berdiri pada makna dan hakikat masing-masing, namun ketika keduanya digabungkan

ke dalam satu tema khusus, maka ia pun memiliki makna tersendiri yang menunjuk

ke dalam suatu kesatuan pengertian yang tidak terpisahkan (Muhmidayeli, 2013: 33).

Untuk mendapatkan pengertian filsafat pendidikan yang lebih sempurna

(jelas), perlu untuk memahami pengertian pendidikan itu sendiri. Pendidikan adalah

suatu proses usaha membimbing, mengarahkan potensi hidup manusia yang berupa
10

kemampuan dasar dan kehidupan pribadinya sebagai makhluk individu dan makhluk

sosial serta dalam hubungannya dengan alam sekitarnya agar menjadi pribadi yang

bertanggung jawab (Jalaluddin dan Idi, 2019: 9)

Banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli mengenai filsafat

pendidikan. Nuryamin (2017: 33) mengatakan bahwa filsafat pendidikan adalah

konsep berfikir tentang masalah pendidikan seperti masalah manusia sebagai suyek

dan obyek pendidikan, kurikulum, metode, lingkungan, guru dan sebagainya. Filsafat

pendidikan dapat memperoleh manfaat, tujuan-tujuan, dan fungsi-fungsi ang

diharapkan dan diidamkan, filsafat itu harus diambil dari berbagai sumber.

Menurut John Dewey dalam Jalaluddin dan Abdullah Idi (2019: 6), filsafat

pendidikan merupakan suatu pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik

yang menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan (emosional), menuju

tabiat manusia, maka filsafat bisa juga diartikan sebagai teori umum pendidikan.

Filsafat pendidikan dipahami sebagai kaidah filosofis dalam bidang

pendidikan yang menggambarkan aspek-aspek pelaksanaan falsafah umum dan

menitikberatkan pada pelaksanaan prinsip-prinsip dan kepercayaan yang menjadi

dasar dari falsafah umum dalam upaya memecahkan persoalan-persoalan pendidikan

secara praktis (Nuryamin, 2017: 33)

Jalaluddin dan Abdullah Idi (2019: 6) dalam bukunya yang mengutip dari al-

Syaibany menjelaskan, bahwa filsafat pendidikan adalah aktivitas pikiran yang teratur
11

yang menjadikan filsafat tersebut sebagai jalan untuk mengatur, menyeleraskan dan

memadukan proses pendidikan. Artinya, filsafat pendidikan dapat menjelaskan nilai-

nilai dan maklumat-maklumat yang diupayakan untuk pengalaman kemanusiaan

merupakan faktor yang integral.

Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany dalam Nuryamin (2017: 32)

menyebutkan bahwa filsafat pendidikan adalah pelaksanaan pandangan filsafat dan

kaidah-kaidah filsafat dalam bidang pengalaman kemanusiaan yang disebut dengan

pendidikan. Aktivitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat sebagai jalan

untuk mengatur, menyelaraskan, dan memadukan proses pendidikan. Artinya filsafat

pendidikan dapat menjelaskan nilai-nilai dan maklumat-maklumat yang diupayakan

untuk mencapainya.

Ketika konsentrasi dan fokus kajian filsafat ditujukan pada perosalan-

persoalan yang berhubungan dengan seluk beluk pendidikan secara khusus, maka

berarti upaya filosofis diarahkan pada suatu bidang kajian yang dalam hal ini adalah

problem kependidikan sebagai sebuah realitas. Upaya semacam inilah yang disebut

filsafat pendidikan (Muhmidayeli, 2013: 33)

Selain itu, Anas Salahudin (2011: 22-23) merumuskan beberapa pengertian

dari filsafat pendidikan, di antaranya yaitu;


12

1. Filsafat pendidikan adalah pengetahuan yang memikirkan hakikat

pendidikan secara komperhensif dan kontemplatif tentang sumber, seluk

beluk pendidikan, fungsi, dan tujuan pendidikan.

2. Filsafat pendidikan adalah pengetahuan yang mengkaji proses pendidikan

dan teori-teori pendidikan.

3. Filsafat pendidikan mengkaji hakikat guru dan anak didik dalam proses

pembelajaran di kelas dan di luar kelas.

4. Filsafat pendidikan mengkaji berbagai teori kependidikan, metode, dan

pendekatan dalam pendidikan.

5. Filsafat pendidikan mengkaji strategi pembelajaran alternatif

6. Filsafat pendidikan mengkaji hakikat tentang kurikulum pendidikan.

7. Filsafat pendidikan mengkaji hakikat evaluasi pembelajaran.

8. Filsafat pendidikan mengkaji hakikat alat-alat dan media pembelajaran.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa filsafat pendidikan merupakan

cabang filsafat yang berusaha untuk memahami pendidikan secara lebih mendalam,

menafsirkannya dengan menggunakan konsep-konsep umum yang dapat menjadi

petunjuk atau arah bagi tujuan-tujuan dan kebijakan pendidikan. Sebagai cabang

filsafat, pemikiran filsafat terhadap pendidikan juga mempunyai ciri spekulatif,

preskritif, dan analitik


13

C. Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan

Ruang lingkup filsafat adalah semua lapangan pemikiran manusia yang

komprehensif. Segala sesuatu yang mungkin ada dan benar-benar ada (nyata),

baik material konkret maupun nonmaterial (abstrak). Jadi, objek filsafat itu tidak

terbatas (Syam, 1988:22).

Menurut Will Durant dalam Jalaluddin dan Abdullah Idi (2019: 13-14)

ruang lingkup studi filsafat itu ada lima: logika, estetika, etika, politik dan

metafisika.

1. Logika. Studi mengenai metode-metoe ideal mengenai berpikir dan

meneliti dalam melaksanakan observasi, introspeksi, dedukasi dan

induksi, hipotensis dan analisis eksperimental dan lain-lain, yang

merupakan bentuk-bentuk aktivitas manusia melalui upaya logika

agar bisa dipahami. Studi logika kadang kurang menarik perhatian

sebagian orang, namun studi ini pada prinsipnya suatu kejadian

yang penting dalam sejarah umat manusia dan sebagai revisi

terhadap metode berpikir dan meneliti.

2. Estetika. Studi tentang bentuk dan keindahan atau kecantikan yang

sesungguhnya dan merupakan filsafat mengenai kesenian.

3. Etika. Studi mengenai tingkah laku yang terpuji yang dianggap

sebagai ilmu pengetahuan yang nilainya tinggi. Menurut sacrotes,


14

bahwa etika sebagai pengetahuan tentang baik, buruk, jahat dan

mengenai kebijaksanaan hidup.

4. Politik. Suatu studi tentang organisasi sosial yang utama dan bukan

sebagaimana yang diperkirakan orang, tetapi juga sebagai seni

pengetahuan dalam melaksanakan pekerjaan kantor. Politik

merupakan pengetahuan mengenai organisasi sosial seperti monarki,

aristokrasi, demokrasi, sosialisme, markisme, feminisme, dan lain-

lain, sebagai ekspresi actual filsafat politik.

5. Metafisika. Suatu studi mengenai realita tertinggi dari hakikat semua

benda, nyata dari benda (ontologi) dan dari akal pikiran manusia

(ilmu jiwa filsafat) serta suatu studi mengenai hubungan kokoh antara

pikiran seseorang dan benda dalam proses pengamatan dan

pengetahuan (epistemologi)

Jalaluddin dan Sa’id (1994: 17) di dalam bukunya mengutip dari Tim Dosen

IKIP Malang menjelaskan, bahwa Secara makro (umum) apa yang menjadi obyek

pemikiran filsafat yaitu dalam ruang lingkup yang menjangkau permasalahan

kehidupan manusia, alam semesta dan alam sekitarnya adalah juga merupakan obyek

pemikiran filsafat pendidikan. Tetapi seara mikro (khusus) yang menjadi ruang

lingkup filsafat pendidikan meliputi;

1. Merumuskan secara tegas sifat hakikat pendidikan (The Nature Of

Education).
15

2. Merumuskan sifat hakikat manusia sebagai subjek dan objek pendidikan

(The Nature Of Man).

3. Merumuskan secara tegas hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan,

agama, dan kebudayaan.

4. Merumuskan hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan, dan teori

pendidikan.

5. Merumuskan hubungan antara negara (ideologi), filsafat pendidikan, dan

politik pendidikan (sistem pendidikan).

6. Merumuskan sistem nilai-norma atau isi moral pendidikan yang

merupakan tujuan pedidikan.

Berbeda dengan yang di atas, Anas Salahudin (2011: 24) di dalam bukunya

“Filsafat Pendidikan” merumuskan, bahwa ruang lingkup filsafat pendidikan adalah

sebagai berikut;

1. Pendidik

2. Murid atau anak didik

3. Materi pendidikan

4. Perbuatan mendidik

5. Metode pendidikan

6. Evaluasi pendidikan

7. Tujuan pendidikan
16

8. Alat-alat pendidikan

9. Dan lingkungan pendidikan.

Untuk lebih jelasnya, berikut ini diuraikan satu persatu.

1. Para pendidik adalah guru, orang tua, tokoh masyarakat, dan siapa saja yang

memfungsikan dirinya untuk mendidik. siapa saja dapat menjadi pendidik dan

melakukan upaya untuk mendidik secara formal maupun nonformal. Para

pendidik haruslah orang yang patut diteladani. Dan pendidik itu harus

membina, mengarahkan, menuntun, dan mengembangkan minat, serta bakat

anak didik, agar tujuan pendidikan tercapai dengan baik (Uhbiyati, 2005: 14)

Para pendidik adalah subjek yang melaksanakan pendidikan. Pendidik

mempunyai peran penting dalam berlngsungnya pendidikan. baik atau

tidaknya pendidikan berpengaruh besar terhadap hasil pendidikan. Para

pendidik memikul tanggung jawab yang berat untuk memaajukan kehidupan

bangsa. Oleh karena itu, negara bertanggungjawab untuk meningkatkan

kinerja para pendidik melalui berbagai peningkatan. Misalnya, peningkatan

kesejahteraan para pendidik, menaikkan tunjangan fungsional para pendidik,

membantu dana pendidikan lanjutan hingga meraih gelar doktor, dan

memberikan beasiswa untuk berbagai penelitian (Salahuddin, 2011: 24-25)

Anak Didik secara filosofis merupakan objek para pendidikan dalam

melakukan tindakan yang bersifat medidik. Dikaji dari beberapa segi, seperti
17

usia anak didik, kondisi ekonomi keluarga, minat dan bakat anak didik, serta

tingkat intelegensinya, itu membuat seorang pendidik mengutamakan

fleksibilitas dalam mendidik. Anak didik merupakan subjek pendidika, yaitu

orang yang menjalankan dan mengamalkan materi pendidikan yang diberikan

oleh pendidik. Agar pendidikan dapat berhasil dengan sebaik-baiknya, maka

jalan pendidikan yang ditempuh harus sesuaai dengan perkembangan

psikologis anak didik (Salahuddin, 2011: 24-25)

2. Materi Pendidikan, yaitu bahan-bahan atau pengalaman-pengalaman belajar

yang disusun sedemikian rupa (dengan susunan yang lazim dan logis) untuk

disajikan atau disampaikan kepada anak didik (Salahuddin, 2011: 25)

3. Perbuatan mendidik adalah seluruh kegiatan, tindakan, perbuatan, dan sikap

yang dilakukan oleh pendidikan sewaktu menghadapi atau mengasuh anak

didiknya disebut dengan tahzib. Mendidik artinya meningkatkan pemahaman

anak didik tentang kehidupan, medalami pemahaman terhadap ilmu

pengetahuan dan manfaatnya untuk diterapkan dalam kehidupan nyata dan

sebagai pandangan hidup (Salahuddin, 2011: 26)

4. Metode pendidikan, yaitu strategi yang relevan yang dilakukan oleh dunia

pendidikan pada saat menyampaikan materi pendidikan kepada anak didik.

metode berfungsi mengolah, menyusun, dan menyajikan materi pendidikan,

agar materi pendidikan tersebut dapat dengan mudah diterima dan dimiliki

oleh anak didik (Salahuddin, 2011: 26)


18

5. Evaluasi dan Tujuan Pendidikan. Evaluasi yaitu sistem penilaian yang

diterapkan kepada peserta didik, untuk mengetahui keberhasilan pendidikan

yang dilaksanakannya. Evaluasi pendidikan sangat bergantung pada tujuan

pendidikan. jika tujuannya membentuk siswa yang kreatif, cerdas, beriman,

dan bertakwa, maka sistem evaluasi ynag dioperasionalkan harus mengarah

pada tujuan yang dimaksud (Salahuddin, 2011: 26)

6. Alat-alat Pendidikan dan Lingkungan Pendidikan merupakan fasilitas

yang digunakan untuk mendukung terlaksananya pendidikan. Sedangkan

lingkungan pendidikan adalah segala seusuatu yang terdapat disekitar

lingkungan pendidikan yang mendukung terealisasinya pendidikan

(Salahuddin, 2011: 26)

Anda mungkin juga menyukai