Anda di halaman 1dari 6

“ ILMU MATEMATIKA BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER“

OLEH : NURIL ISKANDAR

SMK IBRAHIMY 1 SUKOREJO


SITUBONDO JAWA TIMUR
2019
Saat ini, kita sering mendengar berita tentang kekerasan, pembunuhan, pelecehan seksual,
penyalahgunaan narkoba, dan tindakan kriminal lainnya. Korupsi pun telah merajalela di
Indonesia. Pada tanggal 30 Januari 2016, Transparency International merilis indeks korupsi
negara-negara dunia tahun 2015 dan Indonesia menempati peringkat 86 dari 168 negara
(www.rmol.com). Akhir-akhir ini kita juga diresahkan dengan kasus LGBT (Lesbian
Gay Biseksual Transgender) yang mulai masuk ke Indonesia dan menyuarakan persamaan
HAM kepada pemerintah di negara kita. Padahal hal tersebut tidak sesuai dengan norma adat,
agama dan sosial bangsa kita serta merupakan suatu perilaku penyimpangan seksual.
Masalah-masalah tersebut terjadi salah satunya disebabkan oleh terkikisnya karakter bangsa
dimana warga negara kita kurang menjunjung tinggi dan mulai melupakan nilai dan norma
yang ada. Jika kita membiarkan karakter bangsa semakin melemah dan semakin
terbawa arus globalisasi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa maka bukannya
tidak mungkin negara kita akan semakin terpuruk dan hancur.
Generasi muda khususnya siswa dan mahasiswa merupakan aset yang akan
menentukan bagaimana kondisi negara ini nantinya, apakah akan tetap berada dalam
keterpurukan moral dan karakter dimana penyimpangan terjadi dimana-mana ataukah
menjadi negara yang penduduknya aman, tentram dan sejahtera. Jika kita tengok kembali
sejarah perjalanan bangsa Indonesia dulu, gerakan mahasiswa memiliki andil besar dalam
peristiwa sumpah pemuda 1928, gerakan-gerakan menuju kemerdekaan 1945, lahirnya
Orde Baru tahun 1966 dan Reformasi tahun 1998. Kini di tengah zaman dimana
terkikisnya karakter telah melanda bangsa kita, siswa dan mahasiswa dihadapkan pada
tantangan yang berat untuk memantapkan karakter dan jati dirinya sebagai agen perubahan,
sebagai generasi penerus yang akan menyampaikan nilai-nilai dan menyebarkan kebaikan
pada masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagai generasi yang akan
menggantikan generasi terdahulu yang karakter dan perilakunya sudah rusak, serta sebagai
generasi yang akan memperbaharui kerusakan dan penyimpangan negatif yang telah
mengancam sendi-sendi kehidupan di negara kita.

4.1 Pengertian Karakter


Berbicara tentang karakter, kita perlu memahami istilah karakter terlebih dahulu.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, karakter diartikan sebagai tabiat, watak, sifat-sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan orang lain. Donie
Koesumo A. memahami karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai
ciri atau karakteristik atau gaya serta sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari
bentukan-bentukan yang diterima oleh lingkungan (Muslich: 2011). Dengan demikian,
karakter merupakan watak atau kepribadian seseorang dan dapat dibentuk dari lingkungan.
Karakter yang diharapkan oleh negara pada setiap warganya ialah karakter yang baik.
Seorang tokoh pendidikan karakter, Thomas Lickona (2004) mengemukakan ciri orang yang
memiliki karakter yang baik antara lain mereka mengetahui hal yang baik (knowing the
good), menginginkan hal yang baik (desiring the good), dan melakukan hal yang baik (doing
the good). Karakter bangsa yang diharapkan oleh negara Indonesia mengacu pada nilai-nilai
Pancasila, UUD 1945, peraturan pemerintah dan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Lalu
pendidikan Karakter seperti apa yang diharapkan oleh negara kita? Mengacu pada Undang-
undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 mengenai tujuan pendidikan nasional, watak
atau karakter yang diharapkan ialah beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.

4.2 Pentingnya Budaya Membaca Untuk Mewujudkan Pendidikan Indonesia


yang Berkarakter
Tragedi nol buku, demikian sastrawan senior Taufiq Ismail sampaikan dalam
sebuah audiensi dengan Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI)
tahun 2010. Tragedi nol buku, sebuah ungkapan keprihatinan dari seorang sastrawan senior
terhadap budaya bangsa ini. Kalimat tersebut lahir dari kontemplasi beliau melihat budaya
baca bangsa ini. Budaya baca yang sangat rendah. Taufiq Ismail melakukan penelitian
tentang kewajiban membaca buku sastra pada SMA di 13 negara pada Juli - Oktober 1997.
Beliau melakukan serangkaian wawancara dengan tamatan SMA 13 negara dan bertanya
beberapa hal antara lain :
1) Kewajiban membaca buku
2) Tersedianya buku wajib di perpustakaan sekolah
3) Bimbingan menulis dan,
4) Pengajaran sastra di tempat mereka
Ternyata hasil penelitiannya sungguh mengejutkan. Siswa SMA Indonesia tidak wajib
membaca buku sastra sama sekali sehingga dianggap sebagai siswa yang bersekolah tanpa
kewajiban membaca.
Tidak berlebihan bila beliau menggunakan kata tragedi dalam kalimat tersebut.
Tragedi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti peristiwa yang menyedihkan. Patut
bila seorang Taufiq Ismail sedih melihat budaya baca kita yang begitu rendah. Sedih melihat
budaya kita yang semakin jauh dari tradisi membaca. Dalam kesempatan tersebut beliau
membandingkan dimasa perjuangan kemerdekaan. Tidak heran bila tokoh kemerdekaan
bangsa ini memiliki pemikiran yang visioner dalam membangun bangsa ini. Memiliki
langkah-langkah yang strategis dalam merebut kemerdekaan dari tangan penjajah.
Kemampuan mengorganisir perjuangan kemerdekaan itu diperoleh dari bahan mereka yang
beraneka ragam. Gagasan brilian dalam melawan segala tipu muslihat penjajah merupakan
rangkuman dari intisari buku-buku yang mereka baca. selama 70 tahun sampai saat ini, kita
telah menelantarkan kewajiban membaca di sekolah-sekolah. Kita tidak lagi mewajibkan
siswa-siswa untuk membaca lagi. Membaca turun derajatnya dengan menjadi sekedar
anjuran, himbauan, dan ajakan. Keprihatinan Taufiq Ismail tersebut sangat beralasan,
didukung oleh sebuah fakta atau temuan dari berbagai lembaga yang melakukan studi tentang
hal tersebut. Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2009 melakukan
studi tentang minat baca terhadap 65 negara. Dari studi PISA tersebut, Indonesia menempati
urutan ke-57 dari 65 negara yang di survei tentang minat baca. Indonesia masih kalah dengan
Thailand, yang menempati posisi ke-50. Begitupun bila dibandingkan dengan Jepang, jarak
Indonesia semakin lebih jauh. Jepang menempati posisi ke-8 dalam hasil survei tersebut.
Studi yang sama juga dilakukan oleh United Nations Development Programme (UNDP)
terhadap minat baca beberapa negara di dunia. Tidak jauh berbeda dengan temuan PISA
sebelumnya, dari temuan UNDP tersebut, Indonesia menempati posisi ke-96. Urutan tersebut
memaksa dahi kita berkerut. Memaksa kita mengelus dada. Minat baca kita berada pada
posisi titik nadir.
Ini adalah tragedi besar, sama halnya dengan musibah-musibah yang pernah
terjadi belakangan ini. Tragedi nol buku ini sama dahsyatnya dengan bencana tsunami yang
terjadi beberapa tahun yang lalu di Nanggroe Aceh Darussalam. Bila bencana tsunami korban
fisik lebih besar, maka tragedi nol buku ini menghancurkan dari dimensi karakter dan
mentalitas bangsa. Sama dengan kekhawatiran kita bersama tentang perluasan dan
penyebaran penggunaan narkoba yang semakin membesar. Melihat keadaan tersebut, tidak
ada cara lain untuk membentuk budaya membaca ini selain dengan menjadikan membaca
sebagai kewajiban melalui Gerakan Indonesia Membaca. Bagi Umat Islam, membaca bukan
sekedar anjuran atau himbauan namun sebuah kewajiban. Membaca adalah perintah Allah
SWT yang pertama dan sekaligus utama bagi umat Islam. Bahkan perintah sholat turun jauh
sesudah perintah membaca. Semua menyadari bahwa buku menjadi salah satu pilar penting
dalam membangun karakter bangsa. Karena buku bukan sekedar memberikan kita segudang
ilmu pengetahuan atau sekedar memuaskan dahaga intelektualisme kita. Mengenyangkan
akal kita semata. Namun, buku juga memiliki peran dalam membentuk cara berpikir, bertutur,
dan berbuat. Buku bisa menguatkan jiwa yang ringkih. Itulah buku, benda yang memiliki
andil besar dalam melahirkan peradaban-peradaban besar di muka bumi ini.
4.3 Analisis Peran Siswa dalam Mewujudkan Pendidikan Indonesia yang
Berkarakter
Buku, demikian besar pengaruhnya dalam menentukan arah dan kebesaran
sebuah peradaban. Tidak heran bila banyak negara begitu peduli terhadap minat baca
bangsanya. Berbagai langkah dan upaya dilakukan agar minat baca warganya meningkat.
Berbagai stimulus diberikan untuk mendorong agar warganya memiliki kebiasaan atau
budaya membaca. Kita bisa mencontoh Jepang dalam membangun budaya baca warganya. Di
Jepang ada program atau gerakan yang bernama 20 minutes reading of mother and child.
Gerakan atau program ini mengharuskan seorang ibu untuk mengajak anaknya membaca
buku 20 menit sebelum tidur. Ini merupakan salah satu contoh dari upaya Jepang dalam
meningkatkan budaya baca warganya.
Disinilah seharusnya para siswa bisa mengambil peran penting. “Beri aku 10
pemuda maka akan kugoncangkan dunia,” itulah sepenggal pidato Soekarno, founding father
bangsa ini, yang mengisyaratkan begitu penting peran para pemuda dalam mengubah
kehidupan bangsa ini. Siswa adalah orang yang belajar di Sekolah. Tetapi pada dasarnya
makna siswa tidak sesempit itu. Terdaftar sebagai siswa di sebuah lembaga pendidikan
hanyalah syarat administratif menjadi seorang siswa, tetapi menjadi seorang siswa
mengandung pengertian yang lebih luas dari sekedar masalah administratif itu sendiri.
Menyandang gelar siswa merupakan suatu kebanggaan sekaligus tantangan. Betapa tidak,
ekspektasi dan tanggung jawab yang diemban oleh siswa begitu besar.
Siswa sebagai generasi muda yang memiliki peranan penting dalam meningkatkan mutu
pendidikan khususnya minat baca. Siswa adalah insan akademis yang juga sebagai makhluk
sosial. Dengan tingkat intelektual yang dimiliki seorang siswa, diharapkan dapat memberikan
perubahan yang berarti terhadap kemajuan pendidikan di Indonesia.
Siswa yang sebenar-benarnya adalah siswa yang tidak sekedar memikirkan
kepentingan akademis semata. Namun jauh tersirat dalam benaknya tentang arti dan kualitas
hidupnya sebagai pribadi yang mampu mengabdi terhadap masyarakat. Pribadi yang
diharapkan dalam hal ini adalah pribadi yang mampu melihat permasalahan disekitarnya serta
menjadi bagian penentu arah dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Suatu keadaan
yang sangat menyedihkan terhadap rendahnya minat baca di Indonesia hendaknya menjadi
perhatian para siswa.
Fungsi agent of social change yang melekat pada jati diri seorang siswa,
hendaklah bukan sebatas slogan-slogan demontrasi saja. Namun suatu pemikiran yang
rekonstruktif dan solutif terhadap permasalahan minat baca. Sebagai seorang siswa ada
beberapa peran penting seperti yang dikemukakan oleh Isjoni dalam meningkatkan mutu
pendidikan dalam hal ini minat baca yakni: (1) berperan sebagai petugas knowledge transfer
dari dunia sekolah menuju luar sekolah dalam upaya mencerdaskan bangsa dalam berbagai
bidang terutama kalangan menengah ke bawah; (2) sebagai pelopor dalam pembentukan
community development untuk memacu dinamisasi kehidupan masyarakat kelas menengah ke
bawah.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat kita artikan bahwa siswa sebagai calon
guru yang profesional harus memiliki pribadi yang unggul. Ada beberapa upaya yang dapat
dilakukan para siswa dalam meningkatkan minat baca di Indonesia, antara lain :

1. Sadar bahwa membaca itu penting


Kesadaran merupakan sesuatu hal yang sangat penting dalam kelangsungan hidup.
Ketika adanya kesadaran seseorang bahwa membaca itu penting, maka ia berusaha untuk
mencapai sesuatu yang diinginkannya. Sebaliknya jika kesadaran itu tidak ada, maka tidak
akan pernah memiliki motivasi ingin tahu.

2. Intropeksi diri
Maksudnya seorang siswa harus betul-betul mengintropeksi dirinya, baik secara
kognitif, afektif dan psikomotorik. Setelah pribadinya terbenahi, maka ia dapat memberikan
sejumlah ilmu yang diperolehnya kepada masyarakat, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Contohnya berkomunikasi secara efektif dan empatik dengan orang tua, sesama
siswa, dan masyarakat; memanfatkan teknologi informasi secara tepat untuk menyampaikan
pentingnya budaya membaca.

3. Melakukan kontrol terhadap kebijakan pemerintah.


Seorang siswa harus peka terhadap kebijakan pemerintah dan mengajukan suatu
pendapat dan saran sebagai solusi untuk meningkatkan minat baca di Indonesia.

4. Sebagai fasilitator, merupakan peran penting siswa dalam memberikan pelayanan seperti
buku untuk memudahkan dalam kegiatan membaca.

5. Sebagai pelopor dalam pembentukan kelompok baca untuk memacu dinamisasi


masyarakat kalangan menengah ke bawah.

6. Sebagai pembangkit dan pendorong terhadap kelompok baca yang sudah ada di
masyarakat yang selama ini belum berfungsi dan berusaha untuk memfungsikannya.
Dengan terbebasnya bangsa ini dari tragedi nol buku maka pembangunan bangsa ini
dapat berjalan dengan lancar serta membawa bangsa ini kepada kejayaan dan kesejahteraan.
Oleh karena itu, kita sebagai siswa/mahasiswa yang akan menggantikan pemimpin-pemimpin
bangsa nantinya sudah saatnya menjalankan peran dan fungsinya sebagai siswa, sehingga
diharapkan nantinya bisa menjadi pengontrol dan penggerak kelak ketika pada saatnya
menggantikan posisi para pemimpin-pemimpin bangsa.
+Pendidikan karakter harus dilakukan secara menyeluruh. Pembentukan karakter
harus dimulai sedini mungkin, orangtua harus mampu mendidik dan membina anak-anaknya,
agar kelak menjadi generasi penerus yang dapat membanggakan bangsa dan Negara.
Pendidikan karakter juga harus tetap diterapkan dalam lingkungan sekolah. para guru dan
para pendidik harus mampu mengajarkan dan membina cikal bakal pemimpin Indonesia di
masa mendatang.

Anda mungkin juga menyukai