Manajemen Kinerja BUMD Sebelum kita bahas tentang manajemen kinerja BUMD, ada
baiknya kita memahami konsep tentang BUMD terlebih dahulu. Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD) adalah perusahaan yang didirikan dan dimiliki oleh pemerintah daerah.
Kewenangan pemerintah daerah membentuk dan mengelola BUMD ditegaskan dalam
Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan
provinsi sebagai daerah otonom.
2) Dipimpin oleh direksi yang diangkat dan diberhentikan oleh kepala daerah atas
pertimbangan DPRD.
8) Seluruh atau sebagian besar modalnya milik negara, baik berupa bank maupun
nonbank.
Direksi bertanggung jawab penuh atas BUMD, dan mewakili BUMD di pengadilan
Tentang manajemen kinerja BUMD masih bersifat konvensional karena masih
mengandalkan DP3 (Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan), yang sulit untuk diukur
secara kuantitatif, sebaliknya pelaksanaan evaluasi kinerja nya sangat dipengaruhi
oleh subjektif atasan atau pimpinan. Dengan sistem penilaian kinerja seperti ini, akan
sulit dilakukan perbaikan kinerja seseorang, dan dapat terjadi kesalahan rancangan
pekerjaan. Padahal manajemen kinerja itu sendiri merupakan serangkaian proses yang
ditujukan untuk menciptakan pemahaman bersama terhadap tujuan organisasi. Proses-
proses tersebut antara lain meliputi perencanaan kinerja, pelatihan kinerja, dan
evaluasi kinerja. Melalui proses-proses kinerja tersebut, maka diharapkan aparat
(sebagai anggota organisasi pemerintahan) dapat bekerja dengan baik, sehingga tujuan
organisasi dapat tercapai. Menurut mangkuprawira (2011) penilaian kinerja karyawan
memiliki manfaat dilihat dari berbagai perspektif pengembangan perusahaan, yaitu:
perbaikan kinerja, penyesuaian kompensasi, keputusan penempatan, kebutuhan
pelatihan dan pengembangan, perencanaan dan pengembangan karir, defisiensi proses
penempatan staf, ketidakakuratan informasi, kesalahan rancangan pekerjaan,
kesempatan kerja yang adil, dan tantangan-tantangan eksternal. Keberadaan BUMD
sendiri belum sepenuhnya dikelola secara profesional, masih bersifat KKN dan
bernuansa politis. Karenanya upaya BUMD untuk meningkatkan kinerja perusahaan
melalui peningkatan kinerja SDM nya akan mengalami kesulitan pada tataran
implementasi konsep manajemen kinerja yang memang dirancang secara profesional.
Koordinator Indonesia Budgeting Center (IBC), Arif Nuralam menilai BUMD-
BUMD kerapkali dijadikan alat kepentingan politik. Sehingga kinerjanya banyak
yang buruk. Akibatnya, minim sekali BUMD yang mempunyai kontribusi signifikan
terhadap Pendapatan Asli Daerah. Bahkan dari sisi pelayanan pun masih buruk
(skalanews, 2012). Dengan kondisi demikian pelaksanaan manajemen kinerja dan
upaya BUMD untuk meningkatkan kinerja melalui kinerja SDM nya masih jauh dari
harapan dan sulit untuk diterapkan secara profesional, hal ini dapat dijelaskan dengan
alasan utama, yaitu:
1. Dari sisi alat ukur yang digunakan tidak memenuhi standar penilaian kinerja
profesional, sulit diukur dan sangat subjektif
2. Dari keberadaan BUMD yang sarat kepentingan para birokrat dan politisi
membuat lembaga ini sulit bergerak untuk maju dan bersaingan dengan
perusahaan-perusahaan swasta.
Ketiadaan standar kinerja untuk setiap pegawai dalam DP3 menyebabkan penilaian
kinerja tidak valid, tidak reliabel serta penuh dengan halo error, leniency error dan
recency error . penilaian didasarkan dari hubungan baik antara penilai dengan ternilai.
Pengukuran kum juga sering dimanipulatif (Wirawan, 2009).
Meskipun keadaan seperti digambarkan diatas namun BUMD yang memiliki
keinginan meningkatkan SDM dapat dilakukan dengan beberapa cara (Menurut
Maarif , 2012), yaitu:
3. Menerapkan sistem penilaian kinerja yang adil, dapat diukur dan memiliki standar
yang jelas.
1. BUMD akan menjadi lebih transparan, sehingga dapat mengurangi praktek KKN.
3. BUMD akan memperoleh akses pemasaran ke pasar global, selain pasar domestic.
4. BUMD akan memperoleh modal ekuitas baru berupa fresh money sehingga
pengembangan usaha menjadi lebih cepat.
5. BUMD akan memperoleh transfer of technology, terutama teknologi proses
produksi.
7. Mengurangi defisit APBD, karena dana yang masuk sebagian untuk menambah
kas APBD.
Jika privatisasi dilakukan, maka setidaknya ada 8 faktor utama yang harus menjadi
perhatian agar privatisasi tersebut sukses (Fernandez, et al. 2006) yaitu:
4. Adanya komitmen dari bupati/walikota dan anggota DPRD serta direksi BUMD
terkait
6. Sumberdaya tersedia
Dengan mendasarkan pada 8 faktor hasil penelitian Fernandez (2006) di sektor publik
di Amerika, maka perioritas pembenahan dan pembaharuan dalam proses privatisasi
BUMD tersebut adalah:
1. Membuat visi yang jelas tentang perubahan dari BUMD sekarang ke model
privatisasi serta mengkomunikasikannya secara jelas. Memastikan melalui survey
apakah privatisasi merupakan kebutuhan bagi perubahan BUMD di daerah-daerah.
Apakah dengan privatisasi tidak akan meniadakan tujuan pendirian utama BUMD.
jika privatisasi tidak berjalan, maka prioritas pembenahan terhadap BUMD lebih kepada
managerial BUMD itu sendiri. Beberapa langkah terhadap perubahan managerial tersebut
adalah:
2. Pemerintah dan DPRD menunjuk beberapa orang yang akan berperan sebagai
komisaris perusahaan sebagai perpanjangan tangan pemerintah dan DPRD,
sehingga pemerintah dan DPRD tidak boleh campur tangan secara langsung
terhadap manajemen perusahaan