Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

AL ISLAM

Disusun oleh:

Kyky Gian Pangestu 1810411177

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan
makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan
kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis
mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas ujian
tengah semester.

Saya tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini,
supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.
Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya


kepada guru Bahasa Indonesia kami yang telah membimbing dalam menulis
makalah ini.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Jember, 25 April 2019


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................................

DAFTAR ISI.....................................................................................................................................

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang......................................................................................................................

1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................................

1.3 Tujuan....................................................................................................................................

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 Ibadah....................................................................................................................................

2.1.1 Dalil tentang ibadah................................................................................................................

2.1.2 Hadist tentang ibadah.............................................................................................................

2.1.3 Tafsir tentang ibadah..............................................................................................................

2.1.4 Pendapat ulama tentang ibadah...............................................................................................

2.1.5 Argumentasi tentang ibadah...................................................................................................

2.2 Sholat

2.2.1 Dalil tentang sholat...............................................................................................................

2.2.2 Hadist tentang sholat.............................................................................................................

2.2.3 Tafsir tentang sholat..............................................................................................................

2.2.4 Pendapat ulama tentang sholat..............................................................................................

2.2.5 Argumentasi tentang sholat..................................................................................................

2.3 Puasa

2.3.1 Dalil tentang puasa...............................................................................................................

2.3.2 Hadist tentang puasa.............................................................................................................

2.3.3 Tafsir tentang puasa.............................................................................................................

2.3.4 Pendapat ulama tentang puasa.............................................................................................

2.3.5 Argumentasi tentang puasa..................................................................................................

2.4 Haji

2.4.1 Dalil tentang haji...................................................................................................................


2.4.2 Hadist tentang haji..............................................................................................................

2.4.3 Tafsir tentang haji...............................................................................................................

2.4.4 Pendapat ulama tentang haji................................................................................................

2.4.5 Argumentasi tentang haji....................................................................................................


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kehidupan manusia di dunia merupakan anugerah dari Allah swt dengan segala pemberiannya,
manusia dapat mengecap segala kenikmatan yang bisa dirasakan oleh dirinya tetapi dengan anugerah
tersebut kadangkala manusia lupa akan Dzat Allah swt yang telah memberikannya. Sebab
itu, manusia harus mendapatkan suatu bimbingan sehingga di dalam kehidupannya dapat berbuat
sesuai bimbingan Allah swt atau memanfaatkan anugerah Allah SWT. Hidup yang dibimbing oleh
syari’ah akan melahirkan kesadaran untuk berperilaku yang sesuai dengan tuntuan Allah swt dan
Rasul Nya, salah satu cara untuk mencapai tuntunan tersebut adalah dengan beribadah.
Ibadah merupakan suatu perkara yang perlu adanya perhatian terhadapnya, karena ibadah itu tidak
bisa dimain-mainkan apalagi disalahgunakan. Dalam islam ibadah harus berpedoman pada apa yang
telah Allah perintahkan dan apa yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammmad SAW kepada umat
islam, yang dilandaskan pada kitab yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad berupa kitab suci
Al-Qur’an dan segala perbuatan, perkataan, dan ketetapan nabi atau dengan kata lain disebut dengan
hadits nabi
Sebagai rasa syukur terhadap Allah swt, hendaknya kita sadar diri untuk beribadah kepada sang
Pencipta Langit dan Bumi beserta isinya sesuai syari’at Nya. Dalam ibadah, kita harus memperhatikan
jenis-jenis ibadah yang kita lakukan. Apakah ibadah tersebut termasuk dalam ibadah wajib, sunnah,
mubah, dan makruh.
1.2 Rumusan Masalah
A. Menjelaskan ibadah
B. Menjelaskan sholat
C. Menjelaskan puasa
D. Menjelaskan haji
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian ibadah
2. Untuk mengetahui sholat
3. Untuk mengetahui puasa
4. Untuk mengetahui haji
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Ibadah

Menurut bahasa ibadah adalah merendahkan diri, ketundukan dan kepatuhan akan aturan-aturan
agama. Sedangkan menurut istilah syar'i“Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup segala sesuatu
yang dicintai Allah dan diridhai-Nya', baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi
(batin) maupun yang tampak (lahir). Maka salat, zakat, puasa, haji, berbicara jujur, menunaikan
amanah, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung tali kekerabatan, menepati janji,
memerintahkan yang ma’ruf, melarang dari yang munkar, berjihad melawan orang-orang kafir dan
munafiq, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil (orang yang kehabisan
bekal di perjalanan), berbuat baik kepada orang atau hewan yang dijadikan sebagai pekerja,
memanjatkan do’a, berdzikir, membaca Al Qur’an dan lain sebagainya adalah termasuk bagian dari
ibadah. Begitu pula rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, takut kepada Allah, inabah (kembali taat)
kepada-Nya, memurnikan agama (amal ketaatan) hanya untuk-Nya, bersabar terhadap keputusan
(takdir)-Nya, bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya, merasa ridha terhadap qadha/takdir-Nya, tawakal
kepada-Nya, mengharapkan rahmat (kasih sayang)-Nya, merasa takut dari siksa-Nya dan lain
sebagainya

2.1.1 DALIL IBADAH

Dalil khusus adalah dalil-dalil yang secara khusus menunjukkan bahwa ibadah tertentu tidak boleh
dipersembahkan kepada selain Allah dan hanya boleh dipersembahkan kepada Allah saja. Jadi, dalil
khusus ini hanyalah menjelaskan secara khusus tentang pengesaan Allah dalam ibadah tertentu saja
dan bukan mencakup semua ibadah secara umum.

Misalnya beberapa firman Allah berikut ini.

Dalil do’a, firman Allah Ta’ala,

‫ع ْن يَ ْست َ ْك ِب ُرونَ الذِينَ ِإن ۚ لَ ُك ْم أ َ ْست َِجبْ ا ْدعُونِي َربُّ ُك ُم َوقَا َل‬
َ ‫سيَ ْد ُخلُونَ ِعبَادَتِي‬
َ ‫دَاخِ ِرينَ َج َهن َم‬

“Dan Tuhan kalian berfirman : Berdo’alah kalian kepada-Ku niscaya akan Ku-perkenankan bagi
kalian. Sesungguhnya, orang-orang yang enggan untuk beribadah kepada-Ku (pastilah) akan masuk
neraka dalam keadaan hina-dina” (QS. Ghaafir: 60).

Dalil khauf (takut), firman Allah Ta’ala,


‫ون تَخَافُو ُه ْم فَ َل‬
ِ ُ‫ُمؤْ مِ نِينَ ُك ْنت ُ ْم إِ ْن َوخَاف‬

“Maka janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kalian benar-benar orang
yang beriman” (QS. Ali ‘Imran: 175).

Dalil raja’ (harapan), firman Allah Ta’ala,

‫ع َم ًل فَ ْل َي ْع َم ْل َر ِب ِه ِلقَا َء َي ْر ُجو َكانَ فَ َم ْن‬ َ ِ ‫أ َ َحدًا‬


َ ‫ِر ِبه ِب ِع َبادَ ِة يُ ْش ِر ْك َو َل‬
َ ‫صا ِل ًحا‬

“Untuk itu barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhanya, maka hendaklah ia
mengerjakan amal shalih dan janganlah mempersekutukan (Allah) dengan seorangpun dalam
beribadah kepada Tuhannya” (QS. Al-Kahfi: 110).

Dalil tawakkal (berserah diri), firman Allah Ta’ala,

َ ‫ُمؤْ مِ نِينَ ُك ْنت ُ ْم إِ ْن فَت ََوكلُوا ّللاِ َو‬


‫علَى‬

“Dan bertawakallah kalian hanya kepada Allah , jika kalian benar-benar orang yang beriman” (QS.
Al-Maa`idah: 23).

Dalil khusyu’ (tunduk), firman Allah Ta’ala,

‫خَا ِشعِينَ لَنَا َوكَانُوا‬

“Sedang mereka itu selalu tunduk hanya kepada Kami” (QS. Al-Anbiyaa: 90).

Dalil khasyyah (takut), firman Allah Ta’ala,

‫اخش َْونِي ت َْخش َْو ُه ْم فَ َل‬


ْ ‫َو‬

“Maka janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku” (QS. Al-Baqarah: 150).

Dalil inabah (kembali kepada Allah), firman Allah Ta’ala,

‫ص ُرونَ َل ثُم ْالعَذَابُ يَأْتِيَ ُك ُم أ َ ْن قَ ْب ِل مِ ْن لَهُ َوأ َ ْس ِل ُموا َربِ ُك ْم إِلَى َوأَنِيبُوا‬
َ ‫ت ُ ْن‬

“Dan kembalilah kalian kepada Tuhan kalian serta berserah dirilah kepada-Nya (dengan mentaati
perintah-Nya), sebelum datang adzab kepada kalian, kemudian kalian tidak ditolong” (QS. Az-Zumar:
54).

Dalil isti’anah (memohon pertolongan), firman Allah Ta’ala,

َ‫نَ ْست َ ِعينُ َوإِياكَ نَ ْعبُدُ ِإياك‬

“Hanya kepada Engkau-lah kami beribadah dan hanya kepada Engkau-lah kami memohon
pertolongan” (QS. Al-Faatihah).
2.1.2 HADIST IBADAH

Ada beberapa nash yang menunjukkan bahwa beribadah sepenuhnya kepada Allah termasuk di antara
kunci-kunci rizki. Beberapa nash tersebut di antaranya adalah.

1. Hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al-Hakim dari Abu
Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda.

ْ ‫ ِل ِعبَادَتِ ْي تَفَر‬، ْ ‫ص ْد أ َ ْمل‬


‫ يَقُ ْو ُل ت َ َعالَى ّللاَ ِإن‬: ‫غ !آدَ َم ابْنَ يَا‬ ُ َ ‫فَ ْق َركَ َوأ‬، ‫ش ْغلً يَدَكَ َملْتُ ت َ ْف َع ْل لَ َو ِإ ْن‬
َ َ‫ ِغنًى َرك‬، ‫سد‬ ُ ‫فَ ْق َر ْك‬
ُ ، ‫سد َِأ َولَ ْم‬

“Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai anak Adam!, beribadahlah sepenuhnya kepadaKu,
niscaya Aku penuhi (hatimu yang ada) di dalam dada dengan kekayaan dan Aku penuhi
kebutuhanmu. Jika tidak kalian lakukan niscaya Aku penuhi tanganmu dengan kesibukan [3] dan
tidak Aku penuhi kebutuhanmu (kepada manusia)” [4]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits tersebut menjelaskan, bahwasanya Allah menjanjikan
kepada orang yang beribadah kepadaNya sepenuhnya dengan dua hadiah sebaliknya mengancam bagi
yang tidak beribadah kepadaNya dengan sepenuhnya dengan dua siksa. Adapun dua hadiah itu adalah
Allah mengisi hati orang yang beribadah kepadaNya sepenuhnya dengan kekayaan serta memenuhi
kebutuhannya. Sedang dua siksa itu adalah Allah memenuhi kedua tangan orang yang tidak beribadah
kepadaNya sepenuhnya dengan berbagai kesibukan, dan ia tidak mampu memenuhi kebutuhannya,
sehingga ia tetap membutuhkan kepada manusia.

2. Hadits riwayat Imam Al-Hakim dari Ma’qil bin Yasar Radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

‫اركَ َرب ُك ْم يَقُ ْو ُل‬ ْ ‫ ِل ِعبِادَت ِْي تَفَر‬، ‫نِِغ قَ ْل َبكَ أ َ ْم َل‬، ‫تُبَا ِع ْدنِي لَ !آدَ َم يَاابْنَ ِر ْزقَا يَدَيْكَ َوأ َ ْمل‬
َ َ‫ َوتَعَالَى تَب‬: ‫غ!آدَ َم ابْنَ يَا‬

“Rabb kalian Yang Mahasuci laga Mahatinggi berfirman, ‘Wahai anak Adam!, fokuslah beribadah
kepadaKu , niscaya Aku penuhi hatimu dengan kekayaan dan Aku penuhi kedua tanganmu dengan
rizki. Wahai anak Adam!, Jangan jauhi Aku, sehingga Aku penuhi hatimu dengan kefakiran dan Aku
penuhi kedua tanganmu dengan kesibukan” [5]

Dalam hadits yang mulia ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, yang berbicara
berdasarkan wahyu mengabarkan tentang janji Allah, yang tak satu pun lebih memenuhi janji
daripadaNya, berapa dua jenis pahala bagi orang yang benar-benar beribadah kepada Allah
sepenuhnya. Yaitu, Allah pasti memenuhi hatinya dengan kekayaan dan kedua tangannya dengan
rizki.
Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan akan ancaman Allah kepada
orang yang menjauhiNya dengan dua jenis siksa. Yaitu Allah pasti memenuhi hatinya dengan
kefakiran dan kedua tangannya dengan kesibukan.

Dan semua mengetahui, siapa yang hatinya dikayakan oleh Yang Maha Memberi kekayaan, niscaya
tidak akan didekati oleh kemiskinan selama-lamanya. Dan siapa yang kedua tangannya dipenuhi rizki
oleh Yang Maha Memberi rizki dan Mahaperkasa, niscaya ia tidak akan pernah pailit selama-
lamanya. Sebaliknya, siapa yang hatinya dipenuhi dengan kefakiran oleh Yang Mahakuasa dan Maha
Menentukan, niscaya tak seorangpun mampu membuatnya kaya. Dan siapa yang disibukkan oleh
Yang Mahaperkasa dan Maha Memaksa, niscaya tak seorangpun yang mampu memberinya waktu
luang.

2.1.3 TAFSIR IBADAH

A.Surah Ad-Dzariyat ayat 56

ِ ‫س إِ ََّّل ِليَ ْعبُد‬


‫ُون‬ ِ ْ ‫َو َما َخلَ ْقتُ ْال ِج َّن َو‬
َ ‫اْل ْن‬

Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-
Ku, (Qs. Ad-Dzariyat: 56)

Tafsir surah Ad-Dzariyat ayat 56

Maksud ayat tersebut adalah Allah menciptakan manusia dengan tujuan untuk menyuruh mereka
beribadah kepada-Nya, bukan karena Allah butuh kepada mereka. Ayat tersebut dengan gamblang
telah menjelaskan bahwa Allah Swt dengan menghidupkan manusia di dunia ini agar mengabdi /
beribadah kepada-Nya. Bukan sekedar untuk hidup kemudian menghabiskan jatah umur lalu mati.

Ibadah terdiri dari ibadah murni (mahdhah) dan ibadah tidak murni (ghairu mahdhah). Ibadah
mahdhah adalah ibadah yang telah ditentukan oleh Allah, bentuk, kadar, atau waktunya, seperti shalat,
zakat, puasa dan haji. Ibadah ghairu mahdhah adalah segala aktivitas lahir dan batin manusia yang
dimaksudkannya untuk mendekatkan diri kepada Allah

Berdasarkan ayat tersebut, dengan mudah manusia bisa mendapat pencerahan bahwa eksistensi
manusia di dunia adalah untuk melaksanakan ibadah / menyembah kepada Allah Swt dan tentu saja
semua yang berlaku bagi manusia selama ini bukan sesuatu yang tidak ada artinya. Sekecil apapun
perbuatan itu. Kehadiran manusia ke bumi melalui proses kelahiran, sedangkan kematian sebagai
pertanda habisnya kesempatan hidup di dunia dan selanjutnya kembali menghadap Allah untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya semasa hidup di dunia.
Ayat ini pula dengan sangat jelas mengabarkan kepada kita bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia
tidak lain hanyalah untuk “mengabdi” kepada Allah SWT. Dalam gerak langkah dan hidup manusia
haruslah senantiasa diniatkan untuk mengabdi kepada Allah. Tujuan pendidikan yang utama dalam
Islam menurut Al-Qur’an adalah agar terbentuk insan-insan yang sadar akan tugas utamanya di dunia
ini sesuai dengan asal mula penciptaannya, yaitu sebagai abid. Sehingga dalam melaksanakan proses
pendidikan, baik dari sisi pendidik atau anak didik, harus didasarisebagai pengabdian kepada Allah
SWT semata.

2.1.4 PENDAPAT ULAMA TENTANG IBADAH

Waki’ bin Al Jarroh rahimahullah berkata, “Al A’masy selama kurang lebih 70 tahun tidak pernah
luput dari takbiratul ihrom.”

Masya Allah, lalu di manakah kita? Tatkala mendengar adzan saja tidak dipedulikan. Apalagi
seringnya telat dan bahkan sering menempati shaf terbelakang.

Al Qodhi Taqiyuddin Sulaiman bin Hamzah Al Maqdisi rahimahullah berkata, “Aku tidaklah pernah
shalat fardhu sendirian kecuali dua kali. Dan ketika aku shalat sendirian, aku merasa seakan-akan aku
tidak shalat.”

Lihatlah penyesalan Sulaiman bin Hamzah di atas. Ia teramat sedih luput dari shalat jama’ah. Berbeda
dengan kita yang tidak sesedih itu. Hati terasa tenang-tenang saja (tidak ada rasa menyesal) ketika
shalat di rumah. Kalau kita teringat akan pahala shalat jama’ah yang 27 derajat lebih mulia dari shalat
sendirian, tentu kita tidak akan meninggalkannya.

Muhammad bin Sama’ah rahimahullah berkata, “Selama 40 tahun aku tidak pernah luput dari
takbiratul ihram (bersama imam) walaupun sehari saja kecuali ketika ibuku meninggal dunia.”

Lihatlah Muhammad bin Sama’ah karena ada udzur saja beliau tinggalkan shalat jama’ah. Tidak
seperti kita yang selalu kemukakan beribu alasan, sibuklah, ada tugaslah, dan alasan lainnya yang
sebenarnya bukanlah udzur yang dibenarkan.

Dalam biografi Sa’id bin Al Musayyib rahimahullah di kitab Tahdzib At Tahdzib disebutkan,
“Selama 40 tahun tidaklah dikumandangkan adzan melainkan Sa’id telah berada di masjid.”

Lihatlah semangat yang luar biasa, berusaha tepat waktu ketika shalat, berusaha ontime sebelum
adzan. Tidak seperti kita yang masih asyik-asyikkan di depan TV, yang masih asyik-asyikan bercanda
dengan teman, yang lebih senang bersama dengan istri dan anak-anak. Wallahul musta’an.
Asy Sya’bi rahimahullah berkata, “Tidaklah adzan dikumandangkan semenjak aku masuk Islam
melainkan aku telah berwudhu saat itu.”

Lihatlah bagaimana semangat Asy Sya’bi yang selalu berusaha pula shalat on time, bahkan sudah
berwudhu sebelum waktu adzan.

2.1.5 ARGUMENTASI TENTANG IBADAH

''Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.'' (QS
adz-Dzariyat: 56). Era kehidupan yang terus berkembang sangat dinamis, membutuhkan tuntunan
yang mengarahkan dan menyadarkan perilaku manusia untuk lebih dekat dengan kehendak Sang
Maha Kuasa.

Kehendak itu dalam bentuk ibadah mengabdi kepada-Nya dalam seluruh aktivitas kehidupan. Jika
tidak, dikhawatirkan semakin berat beban kehidupan yang harus dipikul karena kemaksiatan dan
ketidakpatuhan yang semakin menggejala.

Kehidupan serbabebas, liar, dan tanpa kendali merupakan fakta nyata semakin jauhnya kehidupan
manusia dari rel yang telah digariskan oleh Sang Maha Pencipta. Akibatnya, kehidupan ini kerap
dihantui dengan bencana, musibah, dan malapetaka yang datang silih berganti, sebagai buah dari
pengingkaran dan keengganan manusia mengikuti petunjuk dan kehendak Allah SWT.

Ayat di atas layak untuk direnungkan bersama sebagai bahan muhasabah secara kolektif atas perilaku
kehidupan manusia sehari-hari. Ayat ini termasuk ayat iradatullah, dalam arti kehendak dan ketentuan
Allah SWT yang bersifat mengikat-siapa pun dari bangsa jin dan manusia. Iradah Allah sudah ada
sebelum penciptaan seluruh makhluk, termasuk manusia dan jin.

Kedua makhluk ini ditentukan dengan iradah Allah bahwa tujuan penciptaan mereka dalam kehidupan
ini adalah semata-mata untuk mengabdi beribadah kepada Allah SWT. Imam Ibnu Katsir menuturkan,
secara filosofis penciptaan jin dan manusia dalam ungkapannya, Sesungguhnya Aku menciptakan
mereka agar Aku perintahkan mereka beribadah kepada-Ku. Bukan karena hajat-Ku kepada mereka.

Pandangan ini diperjelas dengan ayat setelahnya yang menjadi ciri khas metode Ibnu Katsir, Aku
tidak menghendaki rezeki dari mereka, dan tidak pula Aku menghendaki agar mereka memberi makan
kepada-Ku. (QS adz-Dzariyat: 57).

Ayat ini penting untuk dikemukakan secara korelatif. Ketaatan atau ketundukan seseorang umumnya
identik dengan dorongan faktor kebutuhan atau kepentingan. Karena itu, Allah SWT menafikan hal
tersebut, bahkan menyatakan sebaliknya: Dialah justru Yang Maha Memberi lagi Mahakuat. (QS adz-
Dzariyat: 58).
Di ayat yang lain, Allah SWT menegaskan sifat fakir manusia, dalam arti sangat berhajat dan
bergantung kepada Allah SWT dalam segala hal, sedang Allah Maha Mencukupi seluruh kebutuhan
hamba-Nya lagi Maha Terpuji. Hai sekalian manusia, kalianlah yang sangat fakir (membutuhkan)
kepada Allah. Dan Allah Dialah Yang Mahakaya lagi Maha Terpuji. (QS Fathir: 15)

Ketiga deklarasi Alquran di atas merupakan argumentasi yang tak terbantahkan bahwa memang
seharusnya manusia hanya tunduk, taat, dan mengabdi kepada Allah SWT dalam seluruh
kehidupannya, sebagai hak dan konsekuensi mendasar dari tujuan utama penciptaan. Jika tidak,
berarti manusia sudah keluar dari ketentuan azali yang bersifat mengikat tersebut.

Rasulullah SAW membahasakan ibadah sebagai hak Allah yang harus dipenuhi oleh seluruh hamba-
Nya. Sebagai timbal baliknya, Allah SWT tidak akan mengazab mereka yang taat beribadah dengan
tidak melakukan syirik dalam semua peribadatan mereka.

Dalam ruang kehidupan yang luas dan variatif, menunaikan Ibadah kepada Allah dalam maknanya
yang komprehensif memiliki tingkat urgensi yang tinggi dalam kehidupan seorang Muslim.

Pertama, ibadah adalah identitas keislaman dan keimanan seseorang kepada Allah SWT.
Identitas ibadah inilah yang akan menjadi pembeda antarseseorang, kelompok masyarakat, maupun
umat dalam kehidupan.

Kedua, ibadah merupakan simbol dan tanda ketundukan seseorang di hadapan Sang Pencipta.
Kesalahan iblis yang mendasar adalah keengganan untuk tunduk dan patuh kepada Allah SWT dalam
bentuk sujud kepada Nabi Adam AS. Karena itu, iblis layak menerima hukuman yang bersifat
permanen: terlaknat dan dijauhkan dari rahmat Allah SWT.

2.2 SHOLAT

Sholat berasal dari bahasa Arab As-Sholah, dan secara bahasa (Etimologi) berarti do'a. Sedangkan
secara Istilah/Syari'ah (Terminologi), sholat adalah perkataan dan perbuatan tertentu/khusus yang
dibuka/dimulai dengan takbir (takbiratul ihram) diakhiri/ditutup dengan salam.

Sholat merupakan rukun perbuatan yang paling penting diantara rukun Islam yang lain sebab ia
mempunyai pengaruh yang baik bagi kondisi akhlaq manusia. sholat didirikan sebanyak lima kali
setiap hari, dengannya akan didapatkan bekas/pengaruh yang baik bagi manusia dalam suatu
masyarakatnya yang merupakan sebab tumbuhnya rasa persaudaraan dan kecintaan diantara kaum
muslimin ketika berkumpul untuk menunaikan ibadah yang satu di salah satu dari sekian rumah milik
Allah subhanahu wa ta'ala (masjid).

2.2.1 DALIL TENTANG SHOLAT


Dalil tujuan pelaksanaan sholat terdapat dalam Al-quran surat (20:14) yang tertera sebagai berikut :

‫ – ِل ِذ ْك ِري الص َلة َ َوأَق ِِم فَا ْعبُ ْدنِي أَنَا ِإل ِإلَهَ َل ّللاُ أَنَا ِإننِي‬20:14

Artinya :

Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan laksanakanlah shalat
untuk mengingat Aku. ( Surah Taha [20:14] )

Dalam surat Ta Ha (20:14) tersebut menjelaskan bahwa tujuan sholat adalah agar setiap hambanya
senangtiasa selalu berdzikir kepada Allah. Arti berdzikir disini adalah selalu mengingat Allah
dimanapun dan kapanpun. Seperti ketika kita takbir membaca ‘’ Allahuakbar’’ yang beratri Allah
maha besar menjelaskan tentang keagungan Allah. Ketika hati kita selalu mengingat Allah membuat
jiwa kita menjadi tenang dan tentram.

Dan juga Al Quran Surat (29:45)

‫ي َما اتْ ُل‬ ُ ِ ‫ع ِن ت َ ْن َهى الص َلة َ ِإن ۖ الص َلة َ َوأَق ِِم ْال ِكت َا‬ ْ ِ‫صنَعُونَ َما ْعلَ ُم َِي َوّللاُ ۗ أ َ ْك َب ُر ّللاِ َولَ ِذ ْك ُر ۗ َو ْال ُمنك َِر حْ شَاء‬
َ ِ‫ب مِ نَ ِإلَيْكَ أوح‬ َ ‫َِالف‬ ْ َ‫– ت‬
29:45

Artinya :

Bacalah Kitab (Al-Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah shalat.
Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat
Allah (shalat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan. ( Surah Al-‘Ankabut [29:45] )

Sedangkan dalam surat Al Ankabut (29:45) menyebutkan bahwa sholat mampu menghindarkan kita
dari perbuatan keji dan mungkar. Dalam ayat tersebut berarti jika sholat kita baik, benar dan khusyuk,
hal tersebut membuat nurani kita paham akan segala larangan yang diperintahkan untuk tidak
dilakukan yang bisa disebut dengan kualitas ketaqwaan seseorang. Karena kualitas ketaqwaan
seseorang akan selalu menjaga hati, lisan dan perbuatan dari niat menyakiti dan mendzalimi
seseorang.

2.2.2 HADIST TENTANG SHOLAT

hadits yang pertama, dari Abu Hurairah Radhiyallahuanhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallambersabda:
‫سبُ َما أَو َل إِن‬
َ ‫ع َم ِل ِه مِ ْن ال ِقيَا َم ِة يَ ْو َم العَ ْبدُ بِ ِه يُ َحا‬ َ ‫سدَتْ َوإِ ْن َوأ َ ْن َج َح أ َ ْفلَ َح فَقَ ْد‬
َ ‫صلَ َحتْ فَإ ِ ْن‬
َ ُ‫ص َلتُه‬ َ َ‫َاب فَقَ ْد ف‬
َ ‫س َر خ‬
َ ‫َو َخ‬

"Sesungguhnya amal hamba yang pertama kali akan dihisab adalah shalatnya. Jika shalatnya baik, dia
sukses dan berhasil dan jika shalatnya rusak, dia sangat rugi" (HR. Nasai dan Turmudzi)

hadits yang kedua, dari Abu Hurairah Radhiyallahuanhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bertanya kepada para sahabat:

‫ب نَ ْه ًرا أ َن لَ ْو أ َ َرأ َ ْيت ُ ْم‬


ِ ‫س َي ْوم ُكل ِف ْي ِه َي ْغت َ ِس ُل أ َ َح ِد ُك ْم ِب َبا‬ َ ‫قَالُ ْوا ؟‬
َ ‫ش ْيء دَ َر ِن ِه مِ ْن َي ْبقَى َه ْل َمرات َخ ْم‬

ِ ‫طايَا ِبِ ِهنَ للاُ يَ ْم ُحو ْال َخ ْم ِس الصلَ َوا‬


َ .‫ قَا َل‬: َ‫ت َمث َ ُل َكذَلِك‬
َ‫ش ِْء دَ َرنِ ِه مِ ْن يَ ْبقَى ل‬ َ ‫اْل َخ‬:

“Apa pendapat kalian jika di depan pintu seseorang di antara kalian terdapat sungai, di dalamnya ia
mandi lima kali sehari, apakah masih tersisa kotoran (di badannya) meski sedikit ?” Para shahabat
menjawab : “Tentu tidak tersisa sedikit pun kotoran (di badannya)” Beliau berkata: “Demikian pula
dengan sholat lima waktu, dengan sholat itu Allah menghapus dosa-dosa” (HR. Bukhari I/197 no.505,
dan Muslim I/462 no.667, dari Abu Hurairah rodhiyallahu anhu)

hadits yang ketiga, dari Anas bin Malik Rodhiyallahuanhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallambersabda:

"Allah memiliki Malaikat yang bertugas memanggil setiap kali shalat wajib 'Wahai manusia, datangi
api yang akan menyiksa kalian yang kalian nyalakan sendiri (dengan dosa & maksiat), lalu
padamkanlah (dengan shalat)." (HR. Thabrani dalam Mu'jam Al-Ausath)

hadits yang keempat, Anas bin Malik Rodhiyallahuanhu, beliau mengatakan;


"Diwajibkan kepada Nabi shallallahu'alaihi wa sallam 50 kali shalat pada malam isra. Kemudian
dikurangi hingga tinggal lima waktu, Kemudian beliau dipanggil, 'Wahai Muhammad, sesungguhnya
ketetapan-Ku tidak akan berubah. Dari shalat lima waktu ini, engkau mendapatkan pahala 50'." (HR.
Ahmad, Bukhari, Turmudzi dan yang lainnya)

hadist yang kelima, dari Utsman bin Affan Rodhiyallahuanhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam,bersabda:

"Ketika datang waktu shalat wajib, kemudian seorang muslim melakukan wudhu dengan sempurna,
memperhatikan khyusu dan rukuknya, maka shalat itu akan menjadi kaffarah (penebus) untuk dosa-
dosa sebelumnya, selama dia tidak melakukan dosa besar." (HR. Muslim)

hadits yang ke enam, dari Abu Qatadah Rodhiyallahuanhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam,bersabda:

ُ ‫اس أَس َْوأ‬


ِ ‫س ِرقَةً الن‬ َ ، ‫قَالُ ْوا‬: ‫ْف للاِ َرسُ ْو َل يَا‬
َ ‫صلَتِ ِه مِ ْن يَس ِْر ُق الذِي‬ َ ‫صلَتِهِ؟ مِ ْن يَس ِْر ُق َو َكي‬ ُ ‫س ُج ْودُهَا َولَ ُر ُك ْو‬
َ ‫قَا َل‬: َ‫ع َها يُتِ ُّم ل‬ ُ .

"Pencuri yang paling jelek adalah orang yang mencuri shalatnya" Para sahabat bertanya, “Wahai
Rasulullah, bagaimana mencuri dari sholat?”. Rasulullah berkata, “Dia tidak sempurnakan ruku dan
sujudnya” (HR Ahmad dan Ibn Hibban)

2.2.3 TAFSIR TENTANG SHOLAT

AL-BAQARAH AYAT 43-46

ْ ‫( الرا ِكعِينَ َم َع َو‬43) َ‫اس أَت َأ ْ ُم ُرون‬


‫ار َكعُوا الزكَاة َ َوآتُوا الص َلة َ َوأَقِي ُموا‬ َ ‫س ْونَ ِب ْال ِب ِر الن‬ َ ‫( ت َ ْع ِقلُونَ أَفَ َل ا ْل ِكت‬44)
َ ُ‫َاب تَتْلُونَ َوأ َ ْنت ُ ْم أ َ ْنف‬
َ ‫س ُك ْم َوت َ ْن‬
َ َ‫( ْالخَا ِشعِين‬45) ‫ظنُّونَ ينَ ِِالذ‬
َ ِ‫علَى إِل لَ َكب‬
‫يرة َوإِن َها َوالص َلةِ بِالصب ِْر َوا ْستَعِينُوا‬ ُ َ‫اجعُونَ ِِإِلَيْه َوأَن ُه ْم َربِ ِه ْم ُم َلقُو أَن ُه ْم ي‬ ِ ‫( َر‬46)

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang ruku’. Mengapa
kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri
padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka, tidaklah kamu berpikir? Jadikanlah sabar dan
shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian sungguh berat, kecuali bagi orang-
orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan kembali
kepadanya” (QS. Al-Baqarah [2]: 43-46)

2.2.4 PENDAPAT ULAMA TENTANG SHOLAT

Menurut Ahli Kalam

‫له والخضوع التدلل مع التعطيم غاية وتعظيمه توحيدللا‬

“Mengesakan Allah, mengagungkan-Nya secara sungguh-sungguh serta merendahkan diri


kepada-Nya.”

o Menurut Ahli Tasawuf

‫لربه تعظيما نفسه هوي خلف علي المكلف فعل‬

“Pekerjaan yang dilakukan oleh orang yang cakap (mukallaf) dalam rangka menentang keinginan
hawa nafsunya dan mengagungkan Tuhannya.”

Apabila kita perhatikan dari berbagai definisi di atas, maka ada dua unsur ibadah yang sangat
fundamental. Pertama mengikat diri dengan syari’at Allah Ta’ala yang diserukan oleh para rasul-Nya,
meliputi perintah larangan, penghalalan dan pengharaman sebagai perwujudan ketundukan dan
ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kedua, ketaatan serta ketundukan tersebut harus tumbuh
dari kecintaan hati kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala karena sesungguhnya Dia-lah yang paling
berhak untuk dicintai dan disembah sehubungan dengan nikmat yang diberikannya.

Dengan demikian, pengertian ibadah di atas saling berkaitan dan saling menyempurnakan satu dengan
yang lain. Artinya, tidak dipandang seseorang itu telah melakukan ibadah secara sempurna kalau ia
hanya mengerjakan ibadah dalam pengertian ulama kalam saja. Artinya, ia juga harus melakukan
ibadah sebagaimana yang dimaksud oleh ahli fiqh (fuqaha’) dan juga yang dimaksudkan oleh ahli
tasawwuf, dan begitu sebaliknya.

2.2.5 ARGUMENTASI TENTANG SHOLAT

1) Shalat adalah kewajiban paling utama setelah dua kalimat syahadat dan merupakan salah satu
rukun islam.

Rasulullah shallallahu alaihi wa salam bersabda, “Islam itu dibangun di atas lima perkara,
yaitu: bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan sesungguhnya
Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji ke
Baitulloh, dan berpuasa pada bulan Romadhon.”[2]

2) Shalat merupakan pembeda antara muslim dan kafir.


Rasulullah shallallahu alaihi wa salam bersabda, “Sesungguhnya batasan antara seseorang dengan
kekafiran dan kesyirikan adalah shalat. Barangsiapa meninggalkan shalat, maka ia kafir” [3]. Salah
seorang tabi’in bernama Abdullah bin Syaqiq rahimahullah berkata, “Dulu para shahabat Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amal yang apabila ditinggalkan
menyebabkan kafir kecuali shalat.”[4]

3) Shalat adalah tiang agama dan agama seseorang tidak tegak kecuali dengan menegakkan shalat.

Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Inti (pokok) segala
perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya) adalah shalat.”[5]

4) Amalan yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal hamba yang pertama kali akan
dihisab pada hari kiamat adalah shalatnya. Apabila shalatnya baik, dia akan mendapatkan
keberuntungan dan keselamatan. Apabila shalatnya rusak, dia akan menyesal dan merugi. Jika ada
yang kurang dari shalat wajibnya, Allah Tabaroka wa Ta’ala mengatakan,’Lihatlah apakah pada
hamba tersebut memiliki amalan shalat sunnah?’ Maka shalat sunnah tersebut akan menyempurnakan
shalat wajibnya yang kurang. Begitu juga amalan lainnya seperti itu.” Dalam riwayat lainnya,
”Kemudian zakat akan (diperhitungkan) seperti itu. Kemudian amalan lainnya akan dihisab seperti itu
pula.”[6]

5) Shalat merupakan Penjaga Darah dan Harta Seseorang

Rasulullah shalallahu alaihi wa salam bersabda, ”Aku diperintahkan untuk memerangi manusia
sampai mereka mau mengucapkan laa ilaaha illalloh (Tiada sesembahan yang haq kecuali Allah),
menegakkan shalat, dan membayar zakat. Apabila mereka telah melakukan semua itu, berarti mereka
telah memelihara harta dan jiwanya dariku kecuali ada alasan yang hak menurut Islam (bagiku untuk
memerangi mereka) dan kelak perhitungannya terserah kepada Allah Ta’ala.”[7]

2.3 PUASA

Secara bahasa Shaum (puasa) bermakna “imsaak” yaitu menahan. Secara istilah syar’i maka puasa
adalah beribadah kepada Allah subahanahu wata’ala dengan cara menahan diri dari makan, minum
dan dari segala yang membatalkannya, sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.

Niat puasa tempatnya adalah dalam hati, tidak boleh melafalkan niat ini secara lisan, sebab
melafalkannya secara lisan adalah perkara bid’ah. Niat ini boleh diniatkan pada waktu kapanpun
dalam malam hari itu, walaupun sudah dekat waktu fajar. Ketentuan puasa wajib adalah wajib berniat
puasa sebelum fajar. Tentang sifat niat ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan:
“Setiap orang yang tahu bahwa keesokan harinya adalah awal Ramadhan dan ia (dalam hatinya)
berkeinginan untuk berpuasa besoknya, maka sudah dianggap sebagai niat, dan ini merupakan amalan
seluruh kaum muslimin”.

Adapun puasa sunat maka boleh diniatkan sebelum waktu zawal (yaitu waktu dimana matahari tepat
berada ditengah langit = sekitar 15 menit sebelum azan zuhur) dengan syarat pada pagi hari itu anda
belum makan/minum (sejak fajar), sebagaimana yang sering dilakukan oleh Nabi shallallahu’alaihi
wasallam.

Adapun puasa sunat yang dikhususkan pada waktu tertentu seperti puasa hari Asyura atau puasa
Arafah maka sebagian ulama mensyaratkan agar berniat pada malam harinya sebelum fajar.

2.3.1 DALIL TENTANG PUASA

Dalil-dalil tentang kewajiban puasa Ramadhan sangatlah banyak dalam nash-nash Al-Qur`an dan
Sunnah. Di antaranya adalah firman Allah Ta’âla,

‫سف ٍَر‬َ ‫علَى‬ َ ‫ت فَ َم ْن َكانَ مِ ْن ُك ْم َم ِريضًا أ َ ْو‬ ٍ ‫ أَيَّا ًما َم ْعدُودَا‬. َ‫علَى الَّذِينَ مِ ْن قَ ْب ِل ُك ْم لَعَ َّل ُك ْم تَتَّقُون‬َ ‫ِب‬ ِّ ِ ‫علَ ْي ُك ُم‬
َ ‫الصيَا ُم َك َما ُكت‬ َ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ُكت‬
َ ‫ِب‬
‫ش ْه ُر‬ ُ َ ‫ع َخي ًْرا فَ ُه َو َخي ٌْر لَهُ َوأ َ ْن ت‬
َ . َ‫صو ُموا َخي ٌْر لَ ُك ْم ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم ت َ ْع َل ُمون‬ َ ‫ط َّو‬َ َ ‫ِين فَ َم ْن ت‬
ٍ ‫ط َعا ُم ِم ْسك‬َ ٌ‫علَى ا َّلذِينَ يُطِ يقُونَهُ ِف ْديَة‬َ ‫فَ ِعدَّة ٌ مِ ْن أَي ٍَّام أُخ ََر َو‬
‫سف ٍَر‬ َ ‫علَى‬ َ ‫ص ْمهُ َو َم ْن َكانَ َم ِريضًا أ َ ْو‬ ُ َ‫ش ْه َر فَ ْلي‬
َّ ‫ش ِهدَ مِ ْن ُك ُم ال‬
َ ‫ان فَ َم ْن‬ ِ َ‫ت مِ نَ ْال ُهدَى َو ْالفُ ْرق‬ ِ َّ‫ضانَ الَّذِي أ ُ ْن ِز َل فِي ِه ْالقُ ْرآنُ ُهدًى لِلن‬
ٍ ‫اس َوبَ ِِّينَا‬ َ ‫َر َم‬
. َ‫علَى َما َهدَا ُك ْم َولَعَلَّ ُك ْم ت َ ْش ُك ُرون‬
َ َ‫َّللا‬ َّ ُ‫فَ ِعدَّة ٌ مِ ْن أَي ٍَّام أُخ ََر ي ُِريد‬
َّ ‫َّللاُ بِ ُك ُم ْاليُس َْر َو ََّل ي ُِريدُ بِ ُك ُم ْالعُس َْر َو ِلت ُ ْكمِ لُوا ْال ِعدَّة َ َو ِلت ُ َكبِ ُِّروا‬

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu.
Maka, barang siapa di antara kalian sakit atau berada dalam perjalanan (lalu berbuka), (dia wajib
berpuasa) sebanyak hari yang ia tinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Wajib bagi orang-orang yang
berat menjalankannya, (jika mereka tidak berpuasa), membayar fidyah, (yaitu) memberi makan
seorang miskin. Barangsiapa yang mengerjakan kebajikan dengan kerelaan hati, itulah yang lebih baik
baginya. Berpuasa lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. (Beberapa hari yang ditentukan itu
ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur`an sebagai petunjuk
bagi manusia, penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu, dan pembeda (antara yang hak dan yang
bathil). Oleh karena itu, barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu,
hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa yang sakit atau berada dalam perjalanan (lalu
berbuka), (dia wajib berpuasa) sebanyak hari yang ia tinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Allah
menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian. Hendaklah
kalian mencukupkan bilangan (bulan) itu dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-
Nya yang diberikan kepada kalian supaya kalian bersyukur.” [Al-Baqarah: 183-185]

Dalam hadits Abdullah bin Umar riwayat Al-Bukhâry dan Muslim, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa
sallam menerangkan bahwa puasa adalah salah satu rukun Islam yang agung dan mulia,
َ‫ضان‬
َ ‫ص ْو ِم َر َم‬ ِ ِّ ‫ َو ْال َح‬، ِ‫الزكَاة‬
َ ‫ َو‬، ‫ج‬ َّ ِ‫ َوإِيتَاء‬، ِ‫صالَة‬
َّ ‫ َوإِقَ ِام ال‬، ِ‫َّللا‬ ُ ‫َّللاُ َوأ َ َّن ُم َح َّمدًا َر‬
َّ ‫سو ُل‬ َّ َّ‫ش َهادَةِ أ َ ْن َّلَ إِلَهَ إَِّل‬
َ ‫علَى َخ ْم ٍس‬
َ ‫اْل ْسالَ ُم‬
ِ ‫ِي‬َ ‫بُن‬

“Islam dibangun di atas lima (perkara, pondasi): Syahadat Lâ Ilâha Illallâh wa Anna Muhammadan
‘Abduhu wa Rasûluhu, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berhaji ke Rumah Allah, dan berpuasa
Ramadhan.”

Juga dalam hadits Thalhah bin Ubaidullah radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhâry dan Muslim, ketika
seorang A’raby bertanya kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam tentang Islam, beliau
bersabda,

َّ‫ إَِّل‬.َ‫ َّل‬: ‫غي ُْرهُ فَقَا َل‬ َّ َ‫عل‬


َ ‫ى‬ َ ‫ فَقَا َل ه َْل‬. َ‫ضان‬ َ ‫ش ْه ِر َر َم‬ َ ‫صيَا ُم‬ِ ‫ع َو‬ َّ ‫ إَِّلَّ أ َ ْن ت‬.َ‫ َّل‬: ‫غي ُْره َُّن قَا َل‬
َ ‫َط َّو‬ َ ‫ى‬ َّ َ‫عل‬َ ‫ فَقَا َل َه ْل‬. ‫ت فِى ْاليَ ْو ِم َواللَّ ْيلَ ِة‬
ٍ ‫صلَ َوا‬َ ‫س‬ ُ ‫َخ ْم‬
َّ ‫ قَا َل فَأ َ ْد َب َر‬. ‫ع‬
‫الر ُج ُل َوه َُو َيقُو ُل‬ َّ ‫ ِإَّلَّ أ َ ْن ت‬.َ‫ َّل‬: ‫غي ُْرهَا قَا َل‬
َ ‫َط َّو‬ َ ‫ى‬ َّ َ‫عل‬
َ ‫الزكَاة َ فَقَا َل ه َْل‬ َّ ‫سلَّ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ِ‫َّللا‬َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫ َوذَك ََر لَه ُ َر‬. ‫ع‬ َّ ‫أ َ ْن ت‬
َ ‫َط َّو‬
َ ‫ أ َ ْفلَ َح ِإ ْن‬: ‫سلَّ َم‬
. َ‫صدَق‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫َّللا‬ ُ ُ‫علَى َهذَا َوَّلَ أ َ ْنق‬
ُ ‫ فَقَا َل َر‬.ُ‫ص مِ ْنه‬
َّ ‫سو ُل‬ َ ُ‫َّللاِ َّلَ أ َ ِزيد‬
َّ ‫َو‬

“Shalat lima waktu (diwajibkan) dalam sehari dan semalam.” Maka, ia berkata, “Apakah ada
kewajiban lain terhadapku?” Beliau menjawab, “Tidak ada, kecuali hanya ibadah sunnah. Juga puasa
Ramadhan.” Maka, ia berkata, “Apakah ada kewajiban lain terhadapku?” Beliau menjawab, “Tidak
ada, kecuali hanya ibadah sunnah,” dan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam menyebutkan
(kewajiban) zakat terhadapnya. Maka, ia berkata, ‘Apakah ada kewajiban lain terhadapku?’ Beliau
menjawab, ‘Tidak ada, kecuali hanya ibadah sunnah.” Kemudian, orang tersebut pergi seraya berkata,
“Demi Allah, saya tidak akan menambah di atas hal ini dan tidak akan menguranginya.’ Maka,
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ia telah beruntung apabila jujur.’.”

Selain itu, hadits yang semakna dengan ini diriwayatkan pula oleh Al-Bukhâry dan Muslim dari hadits
Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhu, dan diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Jâbir bin
Abdillah radhiyallâhu ‘anhumâ.

Selanjutnya, dalil lain terdapat dalam hadits Umar bin Khaththab radhiyallâhu ‘anhu riwayat Muslim
,dan hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhâry dan Muslim, tentang kisah Jibril
yang masyhur ketika beliau bertanya kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam tentang Islam,
Iman, Ihsan, dan tanda-tanda hari kiamat. Ketika ditanya tentang Islam, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa
sallam menjawab,

َ َ ‫ضانَ َوت َ ُح َّج ْالبَيْتَ إِ ِن ا ْست‬


‫طعْتَ إِلَ ْي ِه‬ َ ‫وم َر َم‬
َ ‫ص‬ َ ‫صالَة َ َوتُؤْ ت‬
َّ ‫ِى ا‬
ُ َ ‫لزكَاة َ َوت‬ َ ‫َّللاِ َوتُق‬
َّ ‫ِيم ال‬ ُ ‫َّللاُ َوأ َ َّن ُم َح َّمدًا َر‬
َّ ‫سو ُل‬ َّ َّ‫اْل ْسالَ ُم أ َ ْن ت َ ْش َهدَ أ َ ْن َّلَ إِلَهَ إَِّل‬
ِ
.ً‫سبِيال‬ َ

“Islam adalah bahwa engkau bersaksi bahwa tiada yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah dan
sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah, engkau menegakkan shalat, mengeluarkan zakat,
berpuasa Ramadhan, serta berhaji ke rumah (Allah) bila engkau sanggup menempuh jalan untuk itu.”
Berdasarkan dalil-dalil di atas, para ulama bersepakat bahwa siapapun yang mengingkari kewajiban
puasa dianggap kafir, keluar dari Islam, dan dianggap telah mengingkari suatu perkara, yang
kewajibannya telah dimaklumi secara darurat dalam syariat Islam.

2.3.2 HADIST TENTANG PUASA

Dalil-dalil tentang kewajiban puasa Ramadhan sangatlah banyak dalam nash-nash Al-Qur`an dan
Sunnah. Di antaranya adalah firman Allah Ta’âla,

‫سف ٍَر‬َ ‫علَى‬ َ ‫ت فَ َم ْن َكانَ مِ ْن ُك ْم َم ِريضًا أ َ ْو‬ ٍ ‫ أَيَّا ًما َم ْعدُودَا‬. َ‫علَى الَّذِينَ مِ ْن قَ ْب ِل ُك ْم لَعَ َّل ُك ْم تَتَّقُون‬َ ‫ِب‬َ ‫الصيَا ُم َك َما ُكت‬ِّ ِ ‫علَ ْي ُك ُم‬ َ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ُكت‬
َ ‫ِب‬
‫ش ْه ُر‬ ُ َ ‫ع َخي ًْرا فَ ُه َو َخ ْي ٌر لَهُ َوأ َ ْن ت‬
َ . َ‫صو ُموا َخي ٌْر لَ ُك ْم إِ ْن ُك ْنت ُ ْم ت َ ْعلَ ُمون‬ َ ‫ط َّو‬َ َ ‫ِين فَ َم ْن ت‬
ٍ ‫طعَا ُم ِم ْسك‬ َ ٌ‫علَى الَّذِينَ يُطِ يقُونَهُ فِ ْديَة‬ َ ‫فَ ِعدَّة ٌ مِ ْن أَي ٍَّام أُخ ََر َو‬
‫سف ٍَر‬ َ ‫علَى‬ َ ‫ص ْمهُ َو َم ْن َكانَ َم ِريضًا أ َ ْو‬ ُ ‫ش ْه َر فَ ْل َي‬
َّ ‫ش ِهدَ مِ ْن ُك ُم ال‬
َ ‫ان فَ َم ْن‬ِ َ‫ت مِ نَ ْال ُهدَى َو ْالفُ ْرق‬ ِ َّ‫ضانَ الَّذِي أ ُ ْن ِز َل فِي ِه ْالقُ ْرآنُ ُهدًى لِلن‬
ٍ ‫اس َو َب ِِّينَا‬ َ ‫َر َم‬
. َ‫علَى َما َهدَا ُك ْم َولَ َعلَّ ُك ْم ت َ ْش ُك ُرون‬
َ َ‫َّللا‬ َّ ُ‫فَ ِعدَّة ٌ مِ ْن أَي ٍَّام أ ُ َخ َر ي ُِريد‬
َّ ‫َّللاُ ِب ُك ُم ْاليُس َْر َو ََّل ي ُِريدُ ِب ُك ُم ْالعُس َْر َو ِلت ُ ْكمِ لُوا ْال ِعدَّة َ َو ِلت ُ َك ِب ُِّروا‬

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu.
Maka, barang siapa di antara kalian sakit atau berada dalam perjalanan (lalu berbuka), (dia wajib
berpuasa) sebanyak hari yang ia tinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Wajib bagi orang-orang yang
berat menjalankannya, (jika mereka tidak berpuasa), membayar fidyah, (yaitu) memberi makan
seorang miskin. Barangsiapa yang mengerjakan kebajikan dengan kerelaan hati, itulah yang lebih baik
baginya. Berpuasa lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. (Beberapa hari yang ditentukan itu
ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur`an sebagai petunjuk
bagi manusia, penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu, dan pembeda (antara yang hak dan yang
bathil). Oleh karena itu, barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu,
hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa yang sakit atau berada dalam perjalanan (lalu
berbuka), (dia wajib berpuasa) sebanyak hari yang ia tinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Allah
menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian. Hendaklah
kalian mencukupkan bilangan (bulan) itu dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-
Nya yang diberikan kepada kalian supaya kalian bersyukur.” [Al-Baqarah: 183-185]

Dalam hadits Abdullah bin Umar riwayat Al-Bukhâry dan Muslim, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa
sallam menerangkan bahwa puasa adalah salah satu rukun Islam yang agung dan mulia,

َ‫ضان‬
َ ‫ص ْو ِم َر َم‬ ِ ِّ ‫ َو ْال َح‬، ِ‫الزكَاة‬
َ ‫ َو‬، ‫ج‬ َّ ِ‫ َو ِإيتَاء‬، ِ‫صالَة‬
َّ ‫ َوإِقَ ِام ال‬، ِ‫َّللا‬ ُ ‫َّللاُ َوأ َ َّن ُم َح َّمدًا َر‬
َّ ‫سو ُل‬ َّ َّ‫ش َهادَةِ أ َ ْن َّلَ ِإلَهَ ِإَّل‬
َ ‫علَى َخ ْم ٍس‬
َ ‫اْل ْسالَ ُم‬
ِ ‫ي‬ َ ِ‫بُن‬

“Islam dibangun di atas lima (perkara, pondasi): Syahadat Lâ Ilâha Illallâh wa Anna Muhammadan
‘Abduhu wa Rasûluhu, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berhaji ke Rumah Allah, dan berpuasa
Ramadhan.”
Juga dalam hadits Thalhah bin Ubaidullah radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhâry dan Muslim, ketika
seorang A’raby bertanya kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam tentang Islam, beliau
bersabda,

َّ‫ إَِّل‬.َ‫ َّل‬: ‫غي ُْرهُ فَقَا َل‬ َّ َ‫عل‬


َ ‫ى‬ َ ‫ فَقَا َل ه َْل‬. َ‫ضان‬ َ ‫ش ْه ِر َر َم‬ َ ‫صيَا ُم‬ِ ‫ع َو‬ َّ ‫ إَِّلَّ أ َ ْن ت‬.َ‫ َّل‬: ‫غي ُْره َُّن قَا َل‬
َ ‫َط َّو‬ َ ‫ى‬ َّ َ‫عل‬َ ‫ فَقَا َل َه ْل‬. ‫ت فِى ْاليَ ْو ِم َواللَّ ْيلَ ِة‬
ٍ ‫صلَ َوا‬َ ‫س‬ ُ ‫َخ ْم‬
َّ ‫ قَا َل فَأ َ ْد َب َر‬. ‫ع‬
‫الر ُج ُل َوه َُو َيقُو ُل‬ َّ ‫ ِإَّلَّ أ َ ْن ت‬.َ‫ َّل‬: ‫غي ُْرهَا قَا َل‬
َ ‫َط َّو‬ َ ‫ى‬ َّ َ‫عل‬
َ ‫الزكَاة َ فَقَا َل ه َْل‬ َّ ‫سلَّ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ِ‫َّللا‬َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫ َوذَك ََر لَه ُ َر‬. ‫ع‬ َّ ‫أ َ ْن ت‬
َ ‫َط َّو‬
َ ‫ أ َ ْفلَ َح ِإ ْن‬: ‫سلَّ َم‬
. َ‫صدَق‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ِ‫َّللا‬ ُ ُ‫علَى َهذَا َوَّلَ أ َ ْنق‬
ُ ‫ فَقَا َل َر‬.ُ‫ص مِ ْنه‬
َّ ‫سو ُل‬ َ ُ‫َّللاِ َّلَ أ َ ِزيد‬
َّ ‫َو‬

“Shalat lima waktu (diwajibkan) dalam sehari dan semalam.” Maka, ia berkata, “Apakah ada
kewajiban lain terhadapku?” Beliau menjawab, “Tidak ada, kecuali hanya ibadah sunnah. Juga puasa
Ramadhan.” Maka, ia berkata, “Apakah ada kewajiban lain terhadapku?” Beliau menjawab, “Tidak
ada, kecuali hanya ibadah sunnah,” dan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam menyebutkan
(kewajiban) zakat terhadapnya. Maka, ia berkata, ‘Apakah ada kewajiban lain terhadapku?’ Beliau
menjawab, ‘Tidak ada, kecuali hanya ibadah sunnah.” Kemudian, orang tersebut pergi seraya berkata,
“Demi Allah, saya tidak akan menambah di atas hal ini dan tidak akan menguranginya.’ Maka,
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ia telah beruntung apabila jujur.’.”

Selain itu, hadits yang semakna dengan ini diriwayatkan pula oleh Al-Bukhâry dan Muslim dari hadits
Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhu, dan diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Jâbir bin
Abdillah radhiyallâhu ‘anhumâ.

Selanjutnya, dalil lain terdapat dalam hadits Umar bin Khaththab radhiyallâhu ‘anhu riwayat Muslim
,dan hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhâry dan Muslim, tentang kisah Jibril
yang masyhur ketika beliau bertanya kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam tentang Islam,
Iman, Ihsan, dan tanda-tanda hari kiamat. Ketika ditanya tentang Islam, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa
sallam menjawab,

َ َ ‫ضانَ َوت َ ُح َّج ْالبَيْتَ إِ ِن ا ْست‬


‫طعْتَ إِلَ ْي ِه‬ َ ‫وم َر َم‬
َ ‫ص‬ َ ‫صالَة َ َوتُؤْ ت‬
َّ ‫ِى‬
ُ َ ‫الزكَاة َ َوت‬ َ ‫َّللاِ َوتُق‬
َّ ‫ِيم ال‬ ُ ‫َّللاُ َوأ َ َّن ُم َح َّمدًا َر‬
َّ ‫سو ُل‬ َّ َّ‫اْل ْسالَ ُم أ َ ْن ت َ ْش َهدَ أ َ ْن َّلَ إِلَهَ إَِّل‬
ِ
.ً‫سبِيال‬ َ

“Islam adalah bahwa engkau bersaksi bahwa tiada yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah dan
sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah, engkau menegakkan shalat, mengeluarkan zakat,
berpuasa Ramadhan, serta berhaji ke rumah (Allah) bila engkau sanggup menempuh jalan untuk itu.”

Berdasarkan dalil-dalil di atas, para ulama bersepakat bahwa siapapun yang mengingkari kewajiban
puasa dianggap kafir, keluar dari Islam, dan dianggap telah mengingkari suatu perkara, yang
kewajibannya telah dimaklumi secara darurat dalam syariat Islam.

Seluruh dalil di atas menunjukkan keutamaan puasa yang sangat besar dan menunjukkan bahwa
betapa agung nikmat dan rahmat Allah bagi umat Islam.
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ dan Rasul-Nya telah menjelaskan berbagai macam keutamaan puasa
secara umum dan keutamaan puasa Ramadhan secara khusus. Agar kita dapat bersegera dalam hal
menggapai rahmat Allah dan bergembira terhadap karunia dan nikmat-Nya, berikut ini, kami
menyebutkan beberapa keutamaan puasa. Di antaranya adalah:

2.3.3 TAFSIR TENTANG SHOLAT

‫ش ْه ُر‬ َ ‫اس ُهدًى ْالقُ ْرآنُ فِي ِه أ ُ ْن ِز َل الذِي َر َم‬


َ َ‫ضان‬ ِ ‫ُِو ْالف ْال ُهدَى مِ نَ َوبَيِنَات لِلن‬
َ ‫ان‬ِ َ‫ْرق‬

“Bulan Ramadhan adalah bulan bulan diturunkannya Al Qur’an. Al Quran adalah petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang
bathil)” (QS. Al Baqarah: 185)

Usaha yang mulia ini bisa dimulai dari sebuah ayat yang sering dibacakan, dikumandangkan, bahkan
dihafal oleh kaum muslimin, yaitu surat Al Baqarah ayat 183, yang membahas tentang ibadah puasa.
Ayat yang mulia tersebut berbunyi:

‫ِب آ َمنُوا الذِينَ أَيُّ َها يَا‬


َ ‫علَ ْي ُك ُم ُكت‬ َ َ‫ت َتقُونَ لَعَل ُك ْم قَ ْب ِل ُك ْم مِ ْن الذِين‬
َ ‫علَى ُكت‬
ِ ‫ِب َك َما‬
َ ‫الصيَا ُم‬

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-
orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183)

Ayat ini mengandung banyak pelajaran berharga berkaitan dengan ibadah puasa. Mari kita kupas
hikmah yang mendalam dibalik ayat yang mulia ini.

‫آ َمنُوا الذِينَ أَيُّ َها يَا‬

“Wahai orang-orang yang beriman”

Dari lafadz ini diketahui bahwa ayat ini madaniyyah atau diturunkan di Madinah (setelah hijrah, pen),
sedangkan yang diawali dengan yaa ayyuhan naas, atau yaa bani adam, adalah ayat makkiyyah atau
diturunkan di Makkah[1].

Imam Ath Thabari menyatakan bahwa maksud ayat ini adalah : “Wahai orang-orang yang beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya, membenarkan keduanya dan mengikrarkan keimanan kepada
keduanya”[2]. Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini: “Firman Allah Ta’ala ini ditujukan kepada orang-
orang yang beriman dari umat manusia dan ini merupakan perintah untuk melaksanakan ibadah
puasa”[3].

Dari ayat ini kita melihat dengan jelas adanya kaitan antara puasa dengan keimanan seseorang.
Allah Ta’ala memerintahkan puasa kepada orang-orang yang memiliki iman, dengan demikian
Allah Ta’ala pun hanya menerima puasa dari jiwa-jiwa yang terdapat iman di dalamnya. Dan puasa
juga merupakan tanda kesempurnaan keimanan seseorang.

Lalu, apakah iman itu?

Iman secara bahasa artinya percaya atau membenarkan. Sebagaimana dalam ayat Al Qur’an:

‫صا ِدقِينَ ُكنا َولَ ْو لَنَا ِب ُمؤْ مِ ن أ َ ْنتَ َو َما‬


َ

“Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang
benar” (QS. Yusuf: 17)

Secara gamblang Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjelaskan makna iman dalam sebuah
hadits:

‫وشره خيره بالقدر وتؤمن اآلخر واليوم ورسله وكتبه وملئكته باهلل تؤمن أن اإليمان‬

“Iman adalah engkau mengimani Allah, mengimani Malaikat-Nya, mengimani Kitab-kitab-Nya,


mengimani para Rasul-Nya, mengimani hari kiamat, mengimani qadha dan qadar, yang baik maupun
yang buruk”[4]

Demikianlah enam poin yang harus dimiliki oleh orang yang mengaku beriman. Maka orang enggan
mempersembahkan ibadah kepada Allah semata, atau menyembah sesembahan lain selain Allah, perlu
dipertanyakan kesempurnaan imannya. Orang yang enggan mengimana Muhammad adalah
Rasulullah atau meninggalkan sunnahnya, mengada-adakan ibadah yang tidak beliau tuntunkan, perlu
dipertanyakan kesempurnaan imannya. Orang yang tidak percaya adanya Malaikat, tidak percaya
datangnya kiamat, tidak percaya takdir, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya.

Namun jangan anda mengira bahwa iman itu sekedar percaya di dalam hati. Imam Asy Syafi’i
menjelaskan:

‫ ونية وعمل قول اإليمان أن أدركناهم ممن بعدهم من والتابعين الصحابة من اإلجماع وكان‬، ‫باآلخر الثلثة من واحد يجزئ ل‬

“Setahu saya, telah menjadi ijma para sahabat serta para tabi’in bahwa iman itu berupa perkataan,
perbuatan, dan niat (perbuatan hati), jangan mengurangi salah satu pun dari tiga hal ini”[5].

Dengan demikian tidak dapat dibenarkan orang yang mengaku beriman namun enggan melaksanakan
shalat, enggan membayar zakat, dan amalan-amalan lahiriah lainnya. Atau wanita yang mengatakan
“Walau saya tidak berjilbab, yang penting hati saya berjilbab”. Jika imannya benar, tentu hati yang
‘berjilbab’ akan ditunjukkan juga secara lahiriah, yaitu memakai jilbab dan busana muslimah dengan
benar. Oleh karena itu pula, puasa sebagai amalan lahiriah merupakan konsekuensi iman.

2.3.4 pendapat ulama tentang puasa


Taqiyu al-Din Abi Bakar bin Muhammad al-Husaini, puasa sebagai menahan diri dalam hal tertentu
dari orang tertentu, di dalam waktu yang tertentu pula, disertai dengan beberapa syarat.

Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh Sunnah, puasa sebagai menahan diri dari segala apa juga yang
membatalkan puasa, semenjak terbitnya fajar sampai terbenam matahari dengan disertai niat.

Muhammad bin Ismail al-Kahlani, puasa sebagai menahan diri dari makan, minum, dan hubungan
seksual dan lain-lain yang telah diperintahkan menahan diri dari padanya sepanjang hari menurut cara
yang telah di syariatkan. Disertai pula menahan diri dari perkataan sia-sia (membuat), perkataan yang
merangsang (porno) perkataan-perkataan lain baik yang haram maupun yang makruh pada waktu
yang telah ditetapkan dan menurut syarat yang telah ditentukan.

Dapat ditarik makna bahwa puasa atau siyam adalah suatu ibadah kepada Allah swt, dengan syarat
dan rukun tertentu dengan jalan menahan diri dari makan, minum, hubungan seksual dan lain-lain
perbuatan yang dapat merugikan atau mengurangi makna atau nilai dari pada puasa, semenjak terbit
fajar sampai terbenamnya matahari.

2.3.5 ARGUMENTASI TENTANG PUASA

1. Dalam hadits shahih, Nabi bersabda:

‫الحجهوالعرفة‬
“Haji itu adalah melaksanakan Wuquf di'Arafah”
Dari hadits ini para ulama sepakat bahwa WUQUF (berdiam sementara) di 'Arafah pada tanggal 9
Dzulhijjah, adalah RUKUN HAJI. Siapa yang tidak melaksanakan-nya, ibadah Haji-nya tidak sah
alias batal dan harus diulang tahun depan. Maka dari itu pula pemerintah Saudi punya kebijakan: Bagi
jamaah Haji yang sakit saat musim Haji, dirawat di RS saat tanggal 9 Dzulhijjah, mereka TETAP
DIBAWA KE ARAFAH UNTUK IKUT WUQUF MESKIPUN HANYA SEBENTAR. Pokoknya
disempatkan “kepanasan” di Padang 'Arafah. Ini untuk memenuhi syarat sah Haji.

2. Arafah sendiri adalah nama sebuah tempat di pinggiran Kota Makkah, tempat melaksanakan Wuquf
Haji. Tidak ada manusia tinggal/bermukim di sana. Ia ramai hanya saat Musim Haji saja.
Disunnahkan shaum sunnah di HARI 'ARAFAH adalah bertepatan dengan saat jamaah Haji sedang
WUQUF di 'Arafah. Makanya disebut Shaum Yaum 'Arafah (Shaum di Hari 'Arafah). Sebab jika
tidak begitu, ya buat apa ia disebut sebagai Shaum 'Arafah...?

3. Tersebar pandangan-pandangan sejumlah Ustad, diantaranya Ustad DR.Jeje Zainuddin, Ustad


Firanda Andirja, Ustad Imtihan Asy-Syafi’i, Ustad Adi Hidayat; baik melalui tulisan/artikel maupun
video-video pendek yang SEMUANYA NYARIS SEIRAMA DAN MENGERUCUT PADA SATU
ARGUMEN: bahwa patokan shaum arafah itu BUKAN TEMPAT, tapi TANGGAL. Pokoknya setiap
jatuh tanggal 9 Dzulhijjah, itulah SHAUM 'ARAFAH.

Kami jawab: Lha terus itu dinamakan 'Arafah, dari mana? Apa setiap yang namanya 9 Dzulhijjah itu
disebut 'Arafah? Kalau ada orang ulang tahun tanggal 9 Dzulhijjah, apa bisa disebut: Dia ulang tahun
pada hari 'Arafah? Kan tidak mungkin.!? Disebut 'Arafah, ya itu nama tempat, bukan nama tanggal
dalam kalender. Shaum Sunnah 'Arafah terikat dengan IBADAH HAJI, yaitu pelaksanaan WUQUF di
'Arafah. Dan itu terlaksana di tanggal 9 Dzulhijjah.

2.4 HAJI

HAJI, adalah rukun (tiang agama) islam yang kelima setelah syahadat, shalat, zakat dan puasa,
menunaikan ibadah haji adalah bentuk ritual tahunan yang dilaksanakan kaum muslimin sedunia yang
mampu ( material, fisik, dan keilmuan ) dengan berkunjung dan melaksanakan beberapa kegiatan di
beberapa tempat di arab saudi pada suatu waktu yang dikenal sebagai musim haji ( ulan Dzulhijah ).
Hal ini berbeda dengan ibadah umrah yang biasa dilaksanakn sewaktu – waktu.
Kegiatan inti ibadah haji dimulai pada tanggal 8 dzulhijjah ketika umat islam bermalam di mina,
wukuf (berdiam diri) dipadang arafah pada tanggal 9 dzulhijjah, dan berakhir setelah melempar
jumrah (melempar batu simbolisasi setan ) pada tanggal 10 dzulhijjah, masyarakat indonesia biasa
menyebut juga hari raya idul adha sebagai hari raya haji kerena bersamaan dengan perayaan ibadah
haji ini.

2.4.1 DALIL TENTANG HAJI

َ‫ع ِن ْٱل َٰعَلَمِ ين‬


َ ‫غنِى‬ ً ‫سبِ ا‬
َّ ‫يال ۚ َو َمن َكف ََر فَإ ِ َّن‬
َ َ‫ٱَلِل‬ َ ‫ع إِلَ ْي ِه‬
َ ‫طا‬ ِ ‫اس حِ ُّج ٱ ْلبَ ْي‬
َ َ ‫ت َم ِن ٱ ْست‬ ِ َّ‫علَى ٱلن‬
َ ِ‫َو ِ ََّلِل‬

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya
Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”.

Menurut Imam Ibnu Kastir, ayat di atas merupakan dalil yang dijadikan dasar kewajiban haji oleh
kebanyakan ulama. Sebagian ulama lain menjadikan surah AlBaqarah ayat 196 sebagai dasar
kewajiban haji.

ِ‫َوأَتِ ُّموا ْال َح َّج َو ْالعُ ْم َرة َ ِ ََّلِل‬

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah kalian karena Allah.”


Sementara itu, hadis yang dijadikan dasar kewajiban haji adalah hadis riwayat Imam Bukhari dan
Muslim dari Abu Hurairah;

ِ ‫ج ْال َب ْي‬
‫ت‬ ِ ِّ ِ‫ َوح‬٬ َ‫ضان‬ َ ‫ و‬٬ ‫الزكا َ ِة‬
َ ‫ص ْو ِم َر َم‬ َّ ‫ َواِقَ ِام ال‬٬ِ‫ َوا َ َّن ُم َح َّمدًا َرسُ ْو ُل اهللا‬٬ُ‫ش َهادَةِ ا َ ْن آل اِلَهَ اَِّلَّ اهللا‬
َّ ِ‫صالَةِ َو ِا ْيتَاء‬ َ ‫علَى َخ ْم ٍس‬ َ ‫ِى ا َِّل ْسالَ ُم‬ َ ‫بُن‬
ً‫س ِب ْيال‬
َ ‫ع اِ َل ْي ِه‬ َ َ ‫ِل َم ْن اِ ْست‬
َ ‫طا‬

“Islam dibangun atas lima perkara; bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bersaksi bahwa
Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, menunaikan zakat, puasa di bulan Ramadan dan
melakukan haji ke Baitullah bagi orang yang mampu melakukan perjalanan ke sana.”

2.4.2 HADIST TENTANG HAJI

ُ‫ليس له‬
َ ‫المبرور‬
ُ َ ‫ العمرة ُ إلى العمرةِ كف‬:‫عن أبي هريرة رضي للا عنه أن رسول للا صلى للا عليه وسلم قال‬
‫ والح ُّج‬، ‫ارة ل َما بينَه َما‬
ُ‫جزاء إل الجنة‬

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Ibadah


umrah ke ibadah umrah berikutnya adalah penggugur (dosa) di antara keduanya, dan haji yang
mabrur tiada balasan (bagi pelakunya) melainkan surga” (HR al-Bukhari dan Muslim).

2.4.3 TAFSIR TENTANG HAJI

‫ع ِن ْالعَالَمِ ين‬
َ ‫غنِي‬ ً ِ‫سب‬
َّ ‫يال َو َم ْن َكف ََر فَإ ِ َّن‬
َ َ‫َّللا‬ َ ‫ع إِلَ ْي ِه‬
َ ‫طا‬ ِ ‫اس حِ ُّج ْالبَ ْي‬
َ َ ‫ت َم ِن ا ْست‬ ِ َّ‫علَى الن‬
َ ِ‫َو ِ ََّلِل‬

Artinya: Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) siapa yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya
Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam (Ali Imran [3]:97)

Dalam ayat ini Allah SWT mewajibkan kepada manusia untuk mengunjungi Baitullah manakala
mereka memiliki kemudahan untuk menunaikannya. Tetapi jika mereka tidak mau, maka itu adalah
sikap kufur. Ayat ini menyatakan masalah kewajiban haji secara umum kepada semua manusia.
Menurut Sayyid Quthb, hal ini mengisyaratkan dua hal:

Pertama, haji ini sudah diwajibkan atas kaum Yahudi, meskipun mereka mendebat kaum muslimin
dalam hal salat menghadap kiblat, padahal mereka sendiri sebenarnya telah dituntut oleh Allah SWT
untuk menunaikan haji ke rumah ini dan menghadap kepadanya. Karena, Baitullah ini merupakan
rumah pertama yang dibangun untuk ibadah bagi manusia. Dengan demikian, kaum Yahudi telah
menyimpang, mengabaikan perintah Allah dan telah melanggar.

Kedua, ayat ini mengisyaratkan bahwa semua manusia dituntut untuk mengakui (memeluk) Islam,
menunaikan kewajiban dan syiar-syiarnya, serta menghadap dan berhaji ke Baitullah yang menjadi
tempat kiblatnya kaum mukminin. Jika tidak mengakui kewajiban haji ini, maka hal itu berarti kufur,
bagaimanapun dia mengaku beragama, sedang Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari alam
semesta. Maka Allah SWT tidak membutuhkan keimanan dan haji mereka. Tetapi iman dan ibadah itu
hanyalah untuk kemaslahatan dan keuntungan mereka sendiri.

2.4.4 PENDAPAT ULAMA TENTANG HAJI

banyak masalah fiqih terjadi perbedaan pendapat di dalamnya. Jika orang awam yang tidak dapat
mengkaji kitab para ulama lalu dia beramal sesuai yang paling mudah baginya, maka ini haram.
Karena itu para ulama berkata, “Siapa yang mencari-cari keringanan, maka dia akan menjadi orang
fasik.’ Telah diketahui bahwa pilihan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullah,
sebagaimana disebutkan penanya, bahwa orang yang haji Tamatu, cukup bagiya sai yang pertama dia
lakukan saat umrah. Dia memiliki sejumlah dalil yang di dalamnya terdapat syubhat. Akan tetapi,
pendapat yang benar adalah bahwa orang yang melakukan haji Tamatu, dia harus melakukan dua kali
sai; Sai haji dan sai umrah. Sebagaimana hal ini ditunjukkan oleh hadits Aisyah radhiiallahu anha dan
Ibnu Abbas radiallahu anhuma dan keduanya terdapat dalam shahih Bukhari, dan inilah pendapat
yang dipakai oleh jumhur ulama. Kajiannya memang menunjukkan demikain, karena haji dan umrah
dalam haji tamatu, satu sama lain adalah ibadah yang terpisah, karena itu, jika umrahnya rusak,
hajinya tidak rusak. Jika hajinya rusak, umrahnya tidak rusak. Jika seseorang melakukan salah satu
larangan ihram dalam umrah, maka hukumnya tidak berlaku dalam haji. Jadi, haji adalah ibadah
terpisah dengan rukun-rukunnya, wajib-wajibnya dan larangan-larangannya. Umrah juga terpisah
dengan rukun-rukunnya, wajib-wajibnya dan larangan-larangannya. Maka berdasarkan riwayat yang
ada serta kajiannya menunjukkan bahwa masing-masing umrah dan haji di lakukan sai bagi orang
yang lakukan haji tamatu.

Oleh karena itu, jika anda mengikuti pendapat syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullalh
berdasarkan fatwa dari orang yang anda percaya dan amanah, maka tidak ada kewajiban apa-apa bagi
anda. Akan tetapi, jangan mengulangi perbuatan seperti itu, dan lakukan dua kali sai, sai untuk haji
dan sai untuk umrah, jika anda haji Tamatu.”

2.4.5 ARGUMENTASI TENTANG HAJI

Namun perlu diketahui, kewajiban haji hanya berlaku satu kali seumur hidup. Meskipun orang
tersebut kaya dan banyak harta bukan berati tiap tahun wajib haji. Hal ini sebagaimana dijelaskan
Syeikh Musthafa Bugha dalam Fiqhul Manhaji bahwa seluruh ulama sepakat bahwa haji diwajibkan
bagi orang mampu hanya satu kali, kecuali kalau setelah itu dia melakukan nadzar, dia harus
menunaikan nadzarnya.

Dalil dari pendapat ini adalah hadis riwayat Muslim dan Nasa’I di mana Rasulullah berkata, “Wahai
manusia, diwajibkan atas kalian haji, maka naik hajilah”. Tiba-tiba ada seorang laki-laki bertanya,
“Apakah kewajiban haji itu tiap tahun Rasulullah?” Rasul diam dan tidak menjawab sampai dia
mengulangi pertanyaan itu tiga kali. Rasul berkata, “Biarkan apa yang aku tinggalkan, karena kalau
aku katakana wajib, kalian tidak akan mampu……”.
Dari hadis ini, ulama memahami bahwa kewajiban haji itu hanya satu kali. Apalagi Rasulullah sendiri
semasa hidup beliau hanya satu kali haji. Bahkan, menurut Kiai Ali Mustafa Yaqub, bagi orang yang
sudah pernah naik haji, daripada haji kedua, ketiga, dan seterusnya, lebih baik harta yang akan
digunakan sebagai ongkos haji tersebut dimanfaatkan untuk membantu pendidikan orang miskin,
membantu orang tidak mampu, dan lain-lain.

Karena dalam fikih disebutkan ibadah sosial lebih utama daripada ibadah individual. Melakukan
ibadah yang bermanfaat untuk orang banyak, lebih utama ketimbang ibadah yang manfaatnya hanya
untuk diri sendiri.

BAB 3

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Islam di ajarkan untuk dapat membawa manusia ke jalan yang benar dan yang di ridhoi oleh Allah
SWT. Agar mereka dapat hidup dengan damai dan sentausa. Islam meliputi banyak aspek yang akan
dituju yang akan dilaksanakan oleh umat manusia yang menjalankannya, dan arti dari agama ini
sangat bearrti dan berguna bagi manusia karena tidak hanya pada arti melainkan islam mempunyai
tujuan, sumber, ruang lingkup dan karakteristik tersendiri yang telah di bahas pada sub bab
sebelumnya. Semua aspek tersebut memiliki makna yang sangat luas jika dipahami dengan sungguh –
sungguh dan benar. Karena islam bertujuan untuk membimbing manusia ke jalan yang benar maka
islam menurunkan Al-quran dan Al-hadist, dengan berpedoman pada Al-quran dan Al-hadist manusia
pasti akan menemukan jalan untuk mengatasi masalah hidupnya dan menuntun ke jalan yang di ridhoi
oleh Allah SWT.

3.2 KRITIK DAN SARAN

Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan
detail dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber–sumber yang lebih banyak yang
tentunya dapat di pertanggung jawabkan.
Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penulisan juga bisa untuk menanggapi terhadap
kesimpulan dari bahasan makalah yang telah dijelaskan. Untuk bagian terakhir dari makalah adalah
daftar pustaka. Pada kesempatan lain akan saya jelaskan tentang daftar pustaka makalah.

DAFTAR PUSAKA

 Ali, A.Mukti.1991. Memahami Aspek Tentang Ajaran Islam. Bandung: Mizan.


 Ilyas, yunahar. 1991. Akhlak. Yogyakarta : Pustaka.
 Shihab, M. Quraish. 2003.Wawasan Al-Quran.Bandung: Mizan
 Al-Qur’an al-Karim.

 Amin Suma, Prof. Dr. Drs. H. Muhammad, Tafsir Ahkam Ayat-Ayat Ibadah. Tangerang:
Lentera Hati. 2016

 Hashri, al, Ahmad Muhammad. Tafsir Ayat Ahkam. Beirut: Dar al-Jalil. 1991

 Ibn Katsir, Abu al-Fida Isma’il al-Jauzi. Al-Tafsir al-Azhim (Tafsir Ibn Katsir). Jeddah
 Maraghi, Mustafa Ahamd. al, Tafsir al-Maraghi. Mesir: Mustafa Al-Babi Al-Halabi. 1974

 Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah. Tangerang: Lentera Hati. 2001

 Hamka, Prof. Dr. Buya. Tafsir Al-Azhar. Singapura: Kejaya Pnont Pte Ltd. 2007

 [1] Al-Hashri, Tafsir Ayat Ahkam, (Dar al-Jayl, Beirut-Lubnan)

 [2] Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, VOL. 1, vol. 1, Dar (al-Fikr, Beirut-Lubnan), halaman
104

 [3] K. HAL. O. Shaleh, dkk., Asbabun Nuzul, (Diponegoro, Bandung, 1980), halaman 24; al-
Maraghi, halaman 105.

 [4] Ibn Katsir, Tafsir al-Quran al-Karim, VOL. 1, (al-Haramayn, Sinqafurah), (t.t.), halaman
84.

 [5] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Singapura : Kejaya Pnont Pte Ltd, 2007). Halaman 4100

 [6] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta : Lentera Hati, 2001). Halaman 165

Anda mungkin juga menyukai