OLEH:
I WAYAN WIRATMAJA S / 18769902 / KELAS B
Dalam artikelnya yang berjudul “Struktur Sosial dan Anomie,” Robert K. Merton (1938)
menggunakan konsep-konsep anomie dan teori penyimpangan di dalam analisa tentang system
reward orang Amerika. Merton mengatakan bahwa sebuah keadaan umum anomie menyebarkan
masyarakat Amerika karena ada sebuah kontradiksi (“disjunction”) antara tujuan budaya dan
cara untuk berhasil. Tujuan budaya keberhasilan (misalnya, memiliki uang banyak, memiliki
rumah sendiri, memiliki mobil) disebarkan secara luas bersamaan dengan idiologi yang dimiliki
setiap orang yaitu peluang yang sama untuk mencapai tujuan ini. Namun, kenyataannya peluang-
peluang itu terdistribusikan dengan adil. Alat utama untuk mencapai keberhasilan, pendidikan
dan pekerjaan tidak dapat diperoleh dengan adil. Kualitas pendidikan dan peluang kerja dan
reward sangat bervariasi sesuai dengan kelas social. Disequilibrium terjadi ketika tujuan budaya
dan cara-caranya tidak disinkronkan, ketika sejumlah besar orang tidak mendapatkan akses ke
tujuan budaya dan cara-caranya (menghasilkan hambatan social).
Menurut teori hambatan Merton, masyarakat Amerika mempromosikan tujuan budaya tentang
kesuksesan dengan memasukkan 3 aksioma (keyakinan) kepada semua anggotanya :
1. Setiap orang berjuang demi kesuksesan, karena kesuksesan terbagi secara sama bagi
semua orang.
2. Kegagalan hanyalah jalan memutar sementara hingga mencapai kesuksesan.
3. Kegagalan sesungguhnya adalah orang yang mengurangi atau menarik mundur ambisinya
untuk sukses.
1) Aksioma itu mencegah kecaman dari akar structural social dengan menempatkan kesalahan
atas kegagalan itu pada individu.
1. Kesesuaian -> mode adaptasi yang paling umum menyatakan bahwa manusia menerima
cara budaya dan tujuan budaya. Pemuda yang menunda kepuasan dengan bekerja keras di
sekolah, untuk mendapatkan pekerjaan, untuk mampu membeli rumah, mobil dan barang
mewah, sedang menyesuaikan dengan harapan dan nilai-nilai masyarakat.
2. Inovasi -> menandakan para individu yang menerima tujuan budaya tetapi menganut cara
atau alat non-konvensional untuk mendapatkan tujuan, misalnya, mereka mungkin saja
mencontek untuk mendapatkan terbaik di sekolah atau di pekerjaan, atau mereka bisa saja
menipu atau mencuri untuk memperoleh kekayaan. Di antara banyak pemuda-pemuda di
pusat kota, perdagangan obat-obatan bisa saja dipandang seperti bisnis konvensional lain
sebagai cara untuk membuat keuntungan.
3. Ritualisme -> mengacu kepada tipe adaptasi “anggur asam” (Aesop’s Fox, tidak mampu
mencapai anggur tersebut, dirasionalkan bahwa dia tidak menginginkan anggur itu karena
anggur itu asam). Individu yang dihalangi dari tujuan kesuksesan menyesuaikan diri
dengan meninggalkannya; namun, individu it uterus menyesuiakan diri dengan hukum
dan norma-norma masyarakat. Konsep Oscar Lewis (1966) tentang “budaya kemiskinan”
mengutip model adaptasi ini. Banyak orang dalam lingkungan miskin menyerah tentang
“Mimpi Amerika”; namun mereka terus berjuang dan hidup dengan menaati hukum.
Banyak pemuda yang bersekolah telah menerima fakta bahwa mereka tidak akan bisa
lanjut ke perguruan tinggi. Mereka menerima kegagalan mereka sendiri; tetapi mereka
terus “bersekolah,”
4. Retreatisme (kemunduran) -> melibatkan penolakan baik tujuan budaya maupun cara
budaya. Beberapa contoh luar biasa dari model adaptasi ini termasuk orang-orang yang
keluar (DO) dari arus utama kehidupan dan menjadi consumer penyalahgunaan obat-
obatan, atau pemuda yang DO dari kehidupan konvensional untuk bergabung dengan
pengikut keagamaan atau beberapa subkultur menyimpang lainnya, atau seorang
eksekutif bisnis yang meninggalkan keluarga dan pekerjaannya untuk hidup di antara
tuna wisma.
5. Pemberontakan -> adalah penolakan tujuan dan cara yang ada dan pengganti tujuan dan
cara yang baru. Individu-individu yang memilih bentuk adaptasi ini seringkali berupaya
untuk merusak aturan social yang ada dan mengganti dengan aturan yang baru.
Kelompok subversive dan terroris, serta beberapa geng remaja nakal, telah dijelaskan
dalam gaya ini. Konotasi negative biasanya dikaitkan dengan kelompok semacam ini dan
kegiatan mereka karena terculture (oposisi tertata terhadap cara budaya) juga bisa
dipandang sebagai bentuk pemberontak, khususnya selama tahap perkembangannya yang
lebih banyak konflik pada tahun 1960-an, pemuda yang menghadapi budaya menolak
obsesi dengan kesuksesan moneter dan dorongan untuk nilai. Pemberontakan adalah
gerakan kembali ke dasar penghargaan yang lebih besar dari sifat dan focus alamiah
tentang badan yang sehat dan lingkungan yang sehat, dan meletakkan perilaku terhadap
orang lain. Ketika banyak pemuda dari tahun 60-an dikriminalisasi dan dihukum atas
sifat mereka yang tidak sesuai dan memberontak, gerakan ini relative berhasil: Banyak
dari nilai-nilai yang melawan budaya ini telah diadopsi secara luas.
Teori ini dikemukakan Albert K. Cohen dalam bukunya delinquent boys (1955) yang
berusaha memecahkan masalah bagaimana kenakalan sub-culture dimulai dengan
menggabungkan perspektif teori Disorganisasi Sosial dari Shaw dan McKay, teori Differential
Association dari Edwin H.Sutherland dan teori Anomie Albert K. Cohen berusaha menjelaskan
terjadinya peningkatan perilaku delinkuen di daerah kumuh (slum). Karena itu, konklusi
dasarnya menyebutkan bahwa perilaku delinkuen di kalangan remaja, usia muda masyarakat
kelas bawah, merupakan cermin ketidakpuasan terhadap norma dan nilai kelompok kelas
menengah yang mendominasi kultur Amerika.
Kondisi demikian mendorong adanya konflik budaya yang oleh Albert K. Cohen disebut
sebagai Status Frustration. Akibatnya, timbul keterlibatan lebih lanjut anak-anak kelas bawah
dan gang-gang dan berperilaku menyimpang yang bersifat “nonutilitarian, malicious
andnegativistic (tidak berfaedah, dengki dan jahat)”.
Konsekuensi logis dari konteks diatas, karena tidak adanya kesempatan yang sama dalam
mencari status sosial pada struktur sosial maka para remaja kelas bawah akan mengalami
problem status di kalangan remaja. Akhirnya, Albert K.Cohen bersama James Short melakukan
klasifikasi sub-sub budaya delinkuen, menjadi :
1. Criminal Sub-culture, bilamana masyarakat secara penuh berintegrasi, gang akan berlaku
sebagai kelompok para remaja yang belajar dari orang dewasa. Aspek itu berkorelasi
dengan organisasi kriminal. Kriminal sub-culture menekankan aktivitas yang
menghasilkan keuntungan materi, uang atau harta benda dan berusaha menghindari
penggunaan kekerasan.
2. Retreatist Sub-culture, dimana remaja tidak memiliki struktur kesempatan dan lebih
banyak melakukan perilaku menyimpang (mabuk-mabukan, penyalah gunaan narkoba
dan lain sebagainya).
3. Conflict Sub-culture, terdapat dalam suatu masyarakat yang tidak terintegrasi, sehingga
suatu organisasi menjadi lemah. Gang sub-culture demikian ini cenderung
memperlihatkan perilaku yang bebas. Ciri khas gang ini seperti adanya kekerasan,
perampasan harta benda dan perlikau menyimpang lainnya.