Anda di halaman 1dari 7

BAB I

AUDIOMETRI

Ketajaman pendengaran sering diukur dengan suatu audiometri. Alat ini


menghasilkan nada-nada murni dengan frekuensi melalui earphone. Pada sestiap
frekuensi ditentukan intensitas ambang dan diplotkan pada sebuah grafik sebagai
prsentasi dari pendengaran normal. Hal ini menghasilkan pengukuran obyektif
derajat ketulian dan gambaran mengenai rentang nada yang paling terpengaruh.

Audiometer adalah perangkat elektro-akustik untuk tes tingkat kemampuan


pendengaran (Hearing Level) manusia (pasien), yang hasilnya dinyatakan oleh
audiogram. Audiometer menghasilkan nada murni (pure tone) sebagai sinyal uji
dan white noise sebagai sinyal masking. Pada test pendengaran, audiogram
merupakan grafik frekuensi terhadap dBHL (desibel Hearing Level) yang
menyatakan ambang dengar dari pasien. Dengan ambang dengar ini maka
pemeriksa dapat menentukan jenis, derajat, dan lokasi gangguan pendengaran pada
penderita gangguan pendengaran.

Prinsip kerja audiometer berbasis komputer mengacu pada audiometer


konvensional, yaitu menghasilkan nada murni yang akan direspon oleh pasien
(naracoba) pada frekuensi-frekuensi 125 Hz hingga 8000 Hz dalam pita satu oktaf.
Pada audiometer, intensitas suara dapat dirubah-ubah sesuai dengan prosedur dan
kebutuhan pengujian dalam rentang pendengaran -10dBHL s.d 110dBHL.
Beberapa keunggulan audiometer berbasis computer dibandingkan dengan
audiometer konvensional antara lain memiliki sistem database untuk pasien yang
dapat memudahkan untuk mencari, menyimpan serta analisis data pasien, serta
fungsi-fungsi lain yang dapat dioperasikan pada komputer. Kemudahan-
kemudahan yang lain dapat diperoleh jika digunakan komputer portable.
Dalam dunia industri sekarang ini, banyak digunakan berbagai macam
mesin-mesin dan peralatan yang menimbulkan suara yang keras sehingga dampak
bising di Industri ini semakin dirasakan oleh para pekerja. Dampak ini dirasakan
baik secara langsung maupun tidak langsung. Efek pemaparan bising yang secara
langsung dirasakan para pekerja adalah gangguan komunikasi, gangguan
konsentrasi, cepat marah, detak nadi meningkat, dan kenaikan nilai ambang
pendengaran yang sifatnya sementara. Efek yang tidak langsung dan biasanya tidak
dirasakan oleh para pekerja adalah penurunan tajam pendengaran secara perlahan-
lahan, berlangsung dalam waktu yang cukup lama yang kemudian bersifat
irreversibel sehingga menimbulkan tuli tetap.

Ketulian akibat kerja akibat terpapar kebisingan yang terjadi selama waktu
kerja dapat bersifat parsial atau total mengenai satu atau kedua telinga dan ketulian
bersifat sensorineural. Istilah ketulian akibat bising digunakan sebagai suatu
kelainan yang terjadi karena sifat kumulatif dari paparan bising, kerusakan bersifat
permanen dan timbul setelah beberapa tahun terpapar kebisingan diatas NAB.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya ketulian akibat bising yang permanen
antara lain : faktor intensitas paparan bising, lamanya seseorang terpapar
kebisingan dan kepekaan seseorang terhadap kebisingan.

Seseoarang yang mengalami ketulian akibat bising biasanya kesulitan dalam


menangkap percakapan terutama dalam suasana gaduh/bising (“Cocktail party
deafnes”). Oleh karena itu penurunan ambang dengar akibat bising terjadi pada
frekwensi tinggi, penderita mendapat kesulitan untuk menangkap bunyi konsonan
dan lebih mudah menangkap bunyi vokal. Ketulian akibat bising (Noise induced
hearing loss /NIHL) seringkali disertai tinitus (biasanya bunyi berdenging bernada
tinggi tetapi kadang-kadang bernada rendah seperti tiupan angin atau desis).
BAB II
CARA KERJA AUDIOMETRI

a. Prinsip Pemeriksaan
Ambang dengar (hearing threshold) adalah intensitas terendah yang masih dapat
didengar, dinyatakan dalam dB.
Pemberian rangsangan bunyi pada telinga melalui hantaran udara pada frekwensi
tertentu dengan intensitas paling rendah yang masih dapat didengar, hasilnya
adalah grafik audiogram.
Kepekaan terhadap nada murni diukur pada frekwensi 500, 1000, 2000, 3000,
4000, 6000 dan 8000 Hz.
Kisaran normal ambang dengar antara 0 – 25 dB.

b. Persiapan pemeriksaan.
Sebelum pemeriksaan probondus harus terbebas dari paparan bising minimal
selama 16 jam untuk menghindari adanya temporary threshold shift (TTS).

c. Tahapan pemeriksaan audiometri.


1.Berikan instruksi yang jelas dan tepat. Probandus perlu mengetahui apa yang
harus didengar dan respon apa yang harus diberikan jika mendengar nada. Oleh
karena itu lakukan pengenalan nada pada probondus, kemudian probondus
diinstruksikan untuk menekan tombol bila mendengar nada
2.Pasang headphone dengan posisi warna merah untuk telinga kanan dan warna
biru untuk telinga kiri
3.Pemeriksaan dimulai pada telinga kanan dimulai pd frekuensi 1000 Hz dengan
intensitas 40 – 50 dB, bila orang yang diperiksa mendengar maka ia akan menekan
tombol sinyal dan petunjuk lampu akan menyala.
4.Turunkan secara bertahap intensitas suara sebesar 10 dB sampai tidak
mendengar, naikkan lagi intensitas suara dengan setiap kenaikan sebesar 5 dB
sampai orang yang diperiksan mendengar lagi. Berikan rangsangan sampai 3 kali
bila respon hanya 1 kali dari 3 kali test maka naikan lagi 5 dB dan berikan
rangsangan 3 kali. Bila telah didapat respon yang tetap maka perpaduan antara
penurunan dan penambahan merupakan Batas Ambang Dengar.
5.Catat hasil dalam lembar data pemeriksaan dan pada audiochart.
6.Untuk pemeriksaan frekuensi berikutnya, mulailah pada tingkat 15 dB lebih
rendah dari ambang dengar pada frekuensi 1000 Hz ( misalnya bila pada frekuensi
1000 Hz dimulai intensitas 50 dB, maka pada frekuensi 2000 Hz dimulai dengan
intensitas 30-35 dB )
7.Lakukan pemeriksaan untuk frekuensi diatas 1000 Hz dengan cara yang sama,
dan terakhir pemeriksaan pada frekuensi 500 Hz.
ANALISA HASIL
1)Sumbu membujur menunjukkan frekwensi. Dari kiri ke kanan frekwensi rendah
(500 Hz) sampai frekwensi tinggi (8000 Hz).
2)Sumbu melintang adalah intensitas suara dan intensitas terendah yang masih
dapat didengar disebut ambang dengar. Nilai normal ambang pendengaran antara 0
– 25 dB
3)Frekwensi percakapan adalah frekwensi 500, 1000, 2000 dan 3000 Hz.
4)Untuk menentukan ambang dengar rata-rata, jumlahkan ambang dengar
frekwensi percakapan dan dibagi 4.
5)Diharapkan semua test audiogram (monitoring) di tempat kerja berada dalam
batas normal artinya tidak ada ambang dengar lebih dari 25 dB. Bila ambang
dengar lebih dari 25 dB terutama pada frekwensi 500 Hz dan 1000 Hz,
kemungkinan background noise terlalu tinggi.
6)Gambaran patognomonik (khas) audiogram ketulian akibat kebisingan dilihat
pada frekwensi 4000 Hz, berbentuk takik (V).
7)Untuk monitoring, interpretasi hasil pemeriksaan pendengaran dinyatakan
dengan :
a.Dalam batas normal
b.Penurunan ambang dengar telinga kiri / kanan atau
c.Penurunan ambang dengar pada telinga kiri dan kanan.

8)Kriteria Audiogram
a.Untuk membuat base line (pre employment).
Ambang dengar rata-rata frekwensi percakapan tidak melebihi 25 dB.
b.Untuk tujuan monitoring,
Bandingkan perubahan ambang dengar rata-rata audiogram awal bekerja dengan
audiogram yang baru.
Pergeseran ambang dengar bermakna signifikan bila terjadi perubahan ambang
dengar rata-rata lebih dari 10 dB pada frekwensi 3000; 4000; 6000 dan 8000 Hz.
Standard Threshold Shift (STS) adalah 10 dB
Pergeseran ambang dengar bermakna signifikan bila terjadi perubahan ambang
dengar lebih dari 15 dB pada salah satu frekwensi 3000; 4000; 6000 atau 8000 Hz.

9) Tuli karena kebisingan


a.Terjadinya NIHL setelah terpapar lebih dari 7 tahun.
b.Tidak ada keluhan sakit telinga.
c.Umumnya terjadi pada kedua telinga.
d.Jenis kerusakan sensorineural (saraf).
e.Patognomonis pada frekwensi 4000 Hz berbentuk takik (V).
f.Standard Threshold Shift (STS) lebih dari 10 dB.

Anda mungkin juga menyukai