Anda di halaman 1dari 5

MAKALAH SEJARAH

“DUALISME KEPEMIMPINAN NASIONAL“

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 4
ROMANTIR RULAN (Ketua)
PUTRI WULANDARI R.M (Narasumber) GURU PEMBIMBING :
RISKI WAHYUDI (Moderator) EFENDY,S.Pd
RISKI RAHMAWI ( Narasumber)
REZA AR-RIFAI (Notulen)

SMA NEGERI 1 SINABANG


2019/2020
A. Latar Belakang
Dualisme kepemimpinan Nasional saat masa Soekarno-Soeharto pada tahun 1966-1967
identik dengan adanya 2 pemimpin dengan kewenangan yang sama sebagai kepala pemerintahan
yaitu, Soekarno mejabat sebagai Presiden dan Soeharto yang menjadi pengemban surat perintah.
Kondisi dualisme kepemimpinan yang terjadi di Indonesia saat itu merupakan suatu hal yang
cukup membuat pemerintahan Indonesia pora-poranda dikarenakan Indonesia pada waktu itu
dipimpin lebih dari satu orang.
Pembagian wewenang dan tugas juga terbagi dua gaya kepemimpinan yang ada, sehingga
menyebabkan kondisi politik Indonesia tidak stabil. Pada tahun 1966, terjadi gejala krisis
kepemimpinan nasional yang mengarah pada dualisme kepemimpinan. Dimana pihak presiden
Soekarno masih menjabat presiden, namun status martabat nya kian menurun dratis. Soekarno
dianggap tidak aspiratif terhadap tuntunan masyarakat yang mendesak supaya PKI dibubarkan.
Ditambah dengan ditolaknya pidato pertanggung jawabannya hingga dua kali oleh MPRS.
Sementara itu setelah Soeharto mendapat surat perintah sebelas maret dari presiden
soekarno dan sehari dibubarkan nya PKI, namanya semakin populer. Dalam pemerintahan yang
masih dipimpin oleh presiden soekarno, soeharto sebagai orang yang menerima super semar dari
presiden soekarno, diberi mandat oleh MPRS untuk membentuk suatu kabinet, yang diberi nama
dengan kabinet ampera. Walaupun presiden soekarno sebagai pemimpin kabinet, tetapi
pelaksanaan pimpinan dan tugas harian dipegang oleh Soeharto. Kondisi seperti ini menyebabkan
munculnya “dualisme kepemimpinan nasional”, yaitu soekarno sebagai seorang pimpinan
pemerintahan sedangkan soeharto sebagai pelaksana pemerintahan. Soekarno tidak banyak
melakukan tindakan-tindakan pemerintahan, sedangkan soeharto banyak menjalankan tugas-tugas
harian pemerintahan. Kondisi inilah yang bisa memunculkan suatu ketimpangan kepemimpinan
dengan kondisi politik yang inkonsisten serta menimbulkan pertentangan politik dalam
masyarakat, yang mengarah pada munculnya pendukung soekarno dan pendukung soeharto.
Kondisi ini jelas membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa indonesia.

Pada sidang MPRS yang digelar sejak akhir bulan Juni sampai awal Juli 1966 memutuskan
untuk menjadikan Supersemar sebagai Tap MPRS. Dengan dijadikannya Supersemar sebagai Tap
MPRS secara hukum supersemar sudah tidak lagi bisa dicabut sewaktu-waktu oleh Presiden
Soekarno. Bahkan sebaliknya secara hukum Soeharto mempunyai kedudukan yang sama dengan
Soekarno, yaitu sebagai Mandataris MPRS. Dalam sidang ini juga, majelis membatasi hak
prerogatif Soekarno selaku Presiden. Secara eksplisit dinyatakan bahwa gelar “Pemimpin Besar
Revolusi” tidak mengandung kekuatan hukum. Presiden soekarno masih diizinkan untuk
membacakan pidato pertanggungjawabannya yang diberi judul “Nawaksara”. Pada tanggal 22 Juni
1966, presiden Soekarno menyampaikan pidato “Nawaksara” dalam persidangan MPRS. Pidato
itu berisi sembilan pokok persoalan yang dianggap penting oleh presiden Soekarno selaku
mandataris MPR. Isi pidato tersebut sedikit menyinggung dan menyebabkan sebuah peristiwa
pertumpahan darah yang terjadi pada tanggal 30 September 1965.

Melalui Keputusan Nomor 5/MPRS/1966, MPRS memutuskan untuk minta kepada


presiden supaya melengkapi laporan pertanggung jawabannya, khususnya mengenai penyebab
terjadinya peristiwa Gerakan 30 September (G30SPKI) beserta epilognya dan masalah
kemunduran ekonomi serta akhlak. Pada tanggal 10 Januari 1967 Presiden soekarno mengirimkan
surat kepada pimpinan MPRS yang isinya sebagai Pelengkap Nawaksara. Dalam Pelengkap
Nawaksara itu presiden mengemukakan bahwa mandataris MPRS hanya mempertanggung
jawabkan pelaksanaan garis-garis Besar Haluan Negara dan bukan hal-hal yang lain. Nawaksara
baginya hanya sebatas progress report yang ia sampaikan secara sukarela. Ia juga menolak untuk
seorang diri mempertanggung jawabkan terjadinya peristiwa Gerakan 30 September, kemerosotan
ekonomi, dan akhlak.

Namun pada saat itu, sebuah kabinet baru telah terbentuk dan diberi nama Kabinet Ampera
(Amanat Penderitaan Rakyat). Kabinet tersebut diresmikan pada 28 Juli 1966. Kabinet ini
mempunyai tugas pokok untuk menciptakan stabilitas dibidang politik dan ekonomi. Program
kabinet tersebut antara lain memperbaiki kehidupan rakyat, terutama di bidang sandang dan
pangan, dan melaksanakan pemilihan umum sesuai dengan Ketetapan MPR RI No.
XI/MPRS/1966. Sesuai dengan UUD 1945, Presiden Soekarno adalah pemimpin Kabinet. Akan
tetapi pelaksanaan pimpinan pemerintahan dan tugas harian dilakukan oleh Presidium Kabinet
yang diketuai oleh Letnan Jenderal Soeharto. Sehubungan dengan permasalahan yang ditimbulkan
oleh “Pelengkap Nawaksara” dan bertambah gawatnya keadaan politik pada 9 Februari 1967
DPRGR mengajukan resolusi dan memorandum kepada MPRS agar mengadakan Sidang
Istimewa.

Sementara itu usaha-usaha untuk menenangkan keadaan berjalan terus. Untuk itu pimpinan
ABRI mengadakan pendekatan pribadi kepada Presiden Soekarno agar ia menyerahkan kekuasaan
kepada pengemban ketetapan MPRS RI No. IX/MPRS/1966, yaitu Jenderal Soeharto sebelum
Sidang Umum MPRS. Hal inilah salah satu cara untuk mencegah perpecahan di kalangan rakyat
dan menyelamatkan lembaga kepresidenan dan pribadi Presiden Soekarno. Salah seorang sahabat
Soekarno, Mr. Hardi, menemui Presiden Soekarno dan memohon supaya Presiden Soekarno
membuka prakarsa untuk mengakhiri dualisme kepemimpinan negara, karena dualisme
kepemimpinan inilah yang menyebabkan pertengkaran konflik politik yang tidak kunjung
berhenti. Mr. Hardi menyarankan supaya Soekarno sebagai mandataris MPRS, menyatakan non
aktif di depan sidang Badan Pekerja MPRS dan menyetujui pembubaran PKI.

Setelah sang presiden Soekarno menyetujui saran Mr. Hardi. Untuk itu disusunlah “Surat
Penugasan mengenai Pimpinan Pemerintahan Sehari-hari kepada Pemegang Surat Perintah 11
Maret 1966. Kemudian, Presiden menulis nota pribadi kepada Jenderal Soeharto. Pada 7 Februari
1967, Mr. Hardi menemui Jenderal Soeharto dan menyerahkan konsep tersebut. Pada 8 Februari
1967, Soeharto membahas surat Presiden bersama keempat Panglima Angkatan. Para panglima
menyimpulkan bahwa draft surat tersebut sudah tidak dapat diterima karena bentuk surat
penugasan tersebut tidak membantu menyelesaikan situasi konflik. Kesimpulan itu disampaikan
Soeharto kepada Presiden Soekarno pada 10 Februari 1967. Presiden menanyakan kemungkinan
mana yang terbaik. Soeharto mengajukan draft berisi pernyataan bahwa Presiden berhalangan, atau
menyerahkan kekuasaan kepada Pengemban Surat Perintah 11 Maret 1966.

Pada awalnya Presiden Soekarno tidak menyetujui adanya usulan draft tersebut, namun
setelah menunggu keputusan yang lama akhirnya, Presiden Soekarno berubah pikiran ia
memerintahkan agar Soeharto beserta Panglima Angkatan berkumpul di Bogor pada hari Minggu
tanggal 19 Februari 1967, Presiden menyetujui draft yang dibuat, dan pada tanggal 20 Februari
draft surat itu telah ditandatangani oleh Presiden. Ia meminta supaya diumumkan pada hari Rabu
tanggal 22 Februari 1967. Tepat pada pukul 19.30, Presiden Soekarno membacakan pengumuman
resmi pengunduran dirinya. Pada tanggal 12 Maret 1967 Jenderal Soeharto dilantik menjadi
pejabat Presiden Republik Indonesia oleh Ketua MPRS Jenderal Abdul Haris Nasution.

B. Dampak

Dan disnilah dapat terlihat adanya dampak dari dualisme kepemimpinan nasional di
indonesia yang menyebabkan terjadinya persaingan konflik adapun diantara nya:
Rakyat menjadi bingung, menganut pemimpin pemerintahan Soekarno atau Soeharto
Kondisi ekonomi, sosial, dan budaya menjadi tidak stabil sehingga indonesia mengalami inflasi
besar-besaran

Pemahaman ideologi yang ada di indonesia juga menjadi tidak stabil Mudah terjadi perang
antar saudara dan persaingan antar rakyat Sering terjadinya pertumpahan darah antar masyarakat.
Jadi, dualisme kepemimpinan pada dasar nya tidak membawa arti bagus bagi indonesia karena
menyebabkan kondisi politik terpecah belah menjadi dua pihak. Yaitu, pihak Soekarno dan
Soeharto tetapi pada akhirnya kekuasaan yang diutamakan merupakan berasal dari pihak Soeharto
sedangkan pihak Soekarno tidak mendapat dukungan apapun sehingga, dualisme kepemimpinan
sejatinya tidak ada sisi positif nya sama sekali bagi bangsa indonesia karena ada atau tanpa
presiden Soekarno Indonesia secara penuh dipimpin oleh Soeharto.

Anda mungkin juga menyukai