Anda di halaman 1dari 49

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Berat Badan Lahir Rendah

2.1.1. Definisi BBLR

Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat

lahir kurang dari 2500 gram tanpa memandang masa gestasi. Berat

lahir adalah berat bayi yang ditimbang satu jam setelah lahir. 8

Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir

kurang dari 2500 gram tanpa memandang usia kehamilan. Istilah

BBLR digunakan untuk WHO untuk mengganti istilah bayi pematur.

Untuk mendapatkan keseragaman dan karena disadari tidak semua

bayi dengan berat badan kurang dari 2.500 gram maka dibedakanlah

bayi premature dengan bayi berat badan lahir rendah. 9

2.1.2. Epidemiologi BBLR

Prevalensi bayi baru lahir rendah diperkirakan 15 % dari seluruh

kelahiran dunia dengan batasan 3,3% - 38% dan lebih sering terjadi

dinegara berkembang atau sosial ekonomi rendah. Secara statistic

menunjukan 90% kejadian BBLR didapatkan dinegara berkembang

dan angka kematiannya 35 kali lebih tinggi dibanding pada bayi

dengan berat lahir lebih dari 2500 gram. BBLR termasuk faktor utama

dalam peningkatan mortalitas, morbiditas, dan disabilitas neonatus.

9
10

Bayi dapat memberikan dampak jangka panjang terhadap

kehidupannya dimasa depan. Angka kejadian di Indonesia sangat

bervariasi antara satu daerah dengan daerah lain, yaitu berkisar 9-30%,

hasil studi di tujuh daerah multisenter diperoleh angka BBLR dengan

rentang 2,1% - 17,2%. Secara nasional berdasarkan analisa lanjut

SDKI, angka BBLR sekitar pada sasaran program perbaikan gizi

menuju Indonesia Sehat 2010 yakni 7%.8

2.1.3. Etilogi BBLR

Penyebab terbanyak terjadinya BBLR adalah kelahiran prematur.

Faktor ibu yang lain adalah umur, paritas, dan lain-lain. Faktor

placenta seperti penyakit vaskuler, kehamilan kembar, serta faktor

janin juga merupakan penyebab terjadinya BBLR.8

a. Faktor ibu

1. Penyakit

Seperti malaria, anemia, sifilis, infeksi TORCH, dan lain-lain

2. Komplikasi pada kehamilan

Komplikasi yang terjadi pada kehamilan ibu seperti perdarahan

antepartum, preeklamsia berat, eklamsia dan kelahiran

preterm.

3. Usia ibu dan paritas

Angka kejadian BBLR tertinggi ditemukan pada bayi yang

dilahirkan ibu-ibu dengan usia terlalu muda atau terlalu tua.


11

4. Faktor kebiasaan ibu

Faktor kebiasaan ibu juga berpengaruh seperti ibu perokok, ibu

pecandu alkohol dan ibu pengguna narkoba.

b. Faktor janin

Prematur, hidramnion, kehamilan kembar atau ganda, kelainan

kromosom.

c. Faktor lingkungan

Yang dapat berpengaruh antara lain: tempat tinggal didataran

tinggi, radiasi, sosio-ekonomi dan paparan zat beracun.8

2.1.4. Klasifikasi BBLR

a. Klasifikasi BBLR dapat dibagi berdasarkan derajatnya dan masa

gestasinya. Berdasarkan derajatnya, BBLR diklasifikasikan

menjadi tiga kelompok, antara lain:

1. Berat bayi lahir rendah (BBLR) dengan berat lahir 1500 – 2499

gram.

2. Berat bayi lahir sangat rendah (BBLSR) dengan berat badan

lahir 1000 – 1499 gram.

3. Berat bayi lahir ekstrem rendah (BBLER) atdengan berat badan

lahir < 1000 gram.8

b. Berdasarkan masa gestasinya, BBLR dapat dibagi menjadi dua

golongan, yaitu :

1. Prematuritas murni/Sesuai Masa Kehamilan (SMK) Bayi

dengan masa kehamilan kurang dari 37 minggu dan berat badan


12

sesuai dengan berat badan untuk usia kehamilan. Kepala relatif

lebih besar dari badannya, kulit tipis, transparan, lemak

subkutan kurang, tangisnya lemah dan jarang.

2. Dismaturitas/Kecil Masa Kehamilan (KMK) Bayi dengan berat

badan kurang dari berat badan yang seharusnya untuk usia

kehamilan, hal tersebut menunjukkan bayi mengalami retardasi

pertumbuhan intrauterine.

c. Retardasi Pertumbuhan Janin Intra Uterin (IUGR) / Dismaturitas

IUGR adalah bayi yang lahir dengan berat badan rendah dan

tidak sesuai dengan usia kehamilan, serta menunjukkan bayi

mengalami retardasi.

2.1.4. Patofisiologi BBLR

Semakin kecil dan semakin prematur bayi itu maka akan semakin tinggi

risiko gizinya. Beberapa faktor yang memberian efek pada masalah gizi,

antara lain:

a. Menurunya simpanan zat gizi, padahal cadangan makanan didalam

tubuh sedikit, hampir semua lemak, glikogen dan mineral zat besi,

kalsium fosfor dan seng dideposit selama 8 minggu terakhir

kehamilan. Dengan demikian bayi preterm mempunyai potensi

terhadap meningkatnya potensi hipoglikemia, anemia dan lain-lain.

Hipoglikemia dapat menyebabkan bayi kejang terutama bayi BBLR

prematur.
13

b. Kurangnya kemampuan untuk mencerna makanan. Bayi preterm

mempunyai lebih sedikit simpanan garam empedu, yang diperlukan

untuk mengabsorbsi lemak dibandingkan bayi aterm.

c. Belum matangnya fungsi mekanis dari saluran pencernaan, koordinasi

antara refleks hisap dan refleks menelan belum berkembang baik

sampai kehamilan 32-34 minggu, padahal bayi BBLR kebutuhan

nutrisinya lebih tinggi karena target pencapaian berat badannya lebih

besar, penundaan pengosongan lambung dan buruknya motilitas usus

terjadi pada bayi preterm.

d. Paru yang belum matang dengan peningakatan kerja napas dan

kebutuhan kalori yang meningkat.

e. Potensial untuk kehilangan panas lebih besar akibat luas permukaan

tubuh tidak sebanding dengan berat badan dan sedikitnya lemak pada

jaringan dibawah kult kehilangan panas ini akan meningkatkan

kebutuhan kalori.3

2.1.5. Karakteristik BBLR

Karakteristik yang dapat ditemukan pada premature murni adalah:

a. Berat badan kurang dari 2500 gram, panjang badan kurang dari 45 cm,

lingkar kepala kurang dari 33 cm, lingkar dada kurang dari 30 cm.

b. Gerakan kurang aktif otot masih hipotonis.

c. Umur kehamilan kurang dari 37 minggu.

d. Kepala lebih besar dan rambut lebih tipis dan halus.

e. Tulang-tulang tengkorak lunak, fontalenta besar dan sutura besar.


14

f. Tulang sedikit tulang rawannya dan berbentuk sederhana.

g. Jaringan payudara tidak ada dan puting susu kecil.

h. Pernafasan belum teratur dan sering mengalami apneu

i. Kulit tipis dan transparan, lanugo banyak terutama pada pelipis, dahi,

dan lengan.

j. Lemak subkutan kurang.

k. Genitalia belum sempurna, pada wanta labia mayora belum tertutup

oleh labia minora.

l. Refleks menghisap dan menelan serta refleks batuk masih lemah.

m. Bayi prematur mudah sekali mengalami infeksi karena daya tahan

tubuh masih lemah, kemampuan leukosit kurang dan pembentukan

antibody belum sempurna. Oleh karena itu tindakan preventif sudah

dilakukan sejak antenatal sehingga tidak terjadi persalinan dengan

prematuritas (BBLR).9

2.1.5. Diagnosis BBLR

Menegakan diagnosis BBLR adalah dengan mengukur berat lahir

bayi dalam jangka waktu satu jam. Dapat diketahui dengan melakukan

anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Antara

lain:

a. Pemeriksaan Fisik

Yang dapat dijumpai pada pemeriksaan fisik BBLR antara lain:

1. Berat badan

2. Tanda - tanda prematuritas pada bayi kurang bulan.


15

3. Tanda – tanda bayi cukup bulan atau lebih bulan (bila bayi

kecil untuk masa kehamilan).

b. Pemeriksaan Penunjang

Yang dapat dijumpai pada pemeriksaan penunjang BBLR antara

lain:

1. Pemeriksaan ballard skor.

2. Test kocok (shake test), dianjurkan pada bayi kurang bulan.

3. Darah rutin, glukosa darah, jika perlu dan tersedia diperiksa

kadar elektrolit dan analisa gas darah.

4. Foto dada ataupun babygram diperlukan pada bayi baru lahir

dengan unsur kehamilan kurang bulan dimulai pada umur 8 jam

atau dapat diperkirakan akan terjadi sindrom gawat nafas.8

2.1.6. Komplikasi BBLR

a. Komplikasi dapat langsung terjadi pada bayi BBLR antara lain:

1. Hipotermia

2. Hipoglikemia

3. Gangguan cairan elektrolit

4. Hiperbilirubinemia

5. Sindroma gawat nafas

6. Paten duktus arteriosus

7. Infeksi

8. Perdarahan intravaskkuler

9. Apnea
16

10. Anemia

b. Masalah jangka panjang yang mungkin akan terjadi pada BBLR

antara lain:

1. Gangguan penglihatan (Retinopati)

2. Gangguan pendengaran

3. Penyakit paru kronis

4. Kenaikan angka kesakitan dan sering masuk rumah sakit

5. Kenaikan frekuensi kelainan bawaan.8

c. Masalah lainnya yang akan timbul karena BBLR antara lain:

1. Gangguan tumbuh kembang

Tingginya angka ibu hamil yang mengalami kurang gizi,

seiring dengan hidup resiko tinggi untuk melahirkan bayi

BBLR dibandingkan ibu hamil yang tidak menderita

kekurangan gizi. Apabila tidak meninggal pada awal

kelahiran, bayi BBLR akan tumbuh dan berkembang lebih

lambat, terlebih lagi apabila mendapatkan ASI ekslusif yang

kurang dan makanan pemdamping ASI tidak cukup. Oleh

karena itu bayi BBLR cenderung besar menderita status gizi

yang rendah. 9

Balita yang kurang gizi cenderung tumbuh menjadi remaja

yang mengalami gangguan pertumbuhan dan mempunyai

produktifitas yang rendah. Jika remaja ini tumbuh dewasa,

maka remaja ini akan tumbuh menjadi remaja yang pendek,


17

dan apabila itu wanita maka jelas wanita tersebut akan

mempunyai resiko melahirkan bayi BBLR lagi dan terus

berlangsung hingga hari ini.9

2. Hipotermi

Hal ini terjadi karena peningkatan penguapan akibat

kurangnya jaringan lemak dibawah kulit dan permukaan tubuh

yang lebih luas dibanding bayi yang memilki berat badan lahir

normal. Hipotermi pada BBLR juga terjadi karena pengaturan

suhu yang belum berfungsi dengan baik dan produksi panas

yang berkurang karena lemak coklat (brown fat) yang belum

cukup.9

3. Kematian

Pada saat kelahiran maupun sesudah kelahiran, bayi dengan

berat badan lahir rendah kecenderungan untuk terjadinya

masalah lebih besar jika dibandingkan dengan bayi dengan

berat badan yang lahirnya normal. Hal ini dikarenakan organ

tubuh yang belum berfungsi sempurna seperti bayi normal.

Oleh karena itu, ia mengalami kesulitan untuk hidup diluar

uterus ibunya. Semakin pendek masa keh amilannya maka

semakin belum sempurna organ-organ yang ada dalam

tubuhnya, sehingga mudah terjadi komplikasi serta

meningkatkan angka kematian bayi.9


18

2.1.7. Sistem Penilaian Maturitas

Sistem penilaian ini dikembangkan oleh Dr. Jeanne L Ballard, MD

untuk menentukan usia gestasi bayi baru lahir melalui penilaian

neuromuscular dan fisik. Penilaian neuromuscular meliputi postur,

square window, arm recoil, sudut popliteal, scraf sign, dan heel to ear

maneuver. Penilaian fisik yang diamati adalah kulit, lanugo,

permukaan plantar, payudara, mata/telinga, dan genitalia.11

a. Penilaian Maturitas Neuromuskular

1. Postur

tonus otot tubuh tercermin dalam postur tubuh bayi saat

istirahat dan adanya tahanan saat otot diregangkan. Ketika

pematangan berlangsung, berangsur-angsur janin mengalami

peningkatan tonus fleksor pasif dengan arah sentripetal,

dimana ekstremitas bawah sedikit lebih awal dari ekstremitas

atas. Pada awal kehamilan hanya pergelangan kaki yang

fleksi. Lutut mulai fleksi bersamaan dengan pergelangan

tangan. Pinggul mulai fleksi, kemudian diikuti dengan abduksi

siku, lalu fleksi bahu. Pada bayi prematur tonus pasif

ekstensor tidak mendapat perlawanan, sedangkan pada bayi

yang mendekati matur menunjukkan perlawanan tonus fleksi

pasif yang progresif. 11

Untuk mengamati postur, bayi ditempatkan terlentang dan

pemeriksa menunggu sampai bayi menjadi tenang pada posisi


19

nyamannya. Jika bayi ditemukan terlentang, dapat dilakukan

manipulasi ringan dari ekstremitas dengan memfleksikan jika

ekstensi atau sebaliknya. Hal ini akan memungkinkan bayi

menemukan posisi dasar kenyamanannya. Fleksi panggul

tanpa abduksi memberikan gambaran seperti posisi kaki

kodok.11

2. Square Window

Fleksibilitas pergelangan tangan dan atau tahanan terhadap

peregangan ekstensor memberikan hasil sudut fleksi pada

pergelangan tangan. Pemeriksa meluruskan jari-jari bayi dan

menekan punggung tangan dekat dengan jari-jari dengan

lembut. Hasil sudut antara telapak tangan dan lengan bawah

bayi dari preterm hingga posterm diperkirakan berturut-turut >

90 °, 90 °, 60 °, 45 °, 30 °, dan 0 °.11

3. Arm Recoil

Manuver ini berfokus pada fleksor pasif dari tonus otot

biseps dengan mengukur sudut mundur singkat setelah sendi

siku difleksi dan ekstensikan. Arm recoil dilakukan dengan

cara evaluasi saat bayi terlentang. Pegang kedua tangan bayi,

fleksikan lengan bagian bawah sejauh mungkin dalam 5 detik,

lalu rentangkan kedua lengan dan lepaskan.Amati reaksi bayi

saat lengan dilepaskan. Skor 0: tangan tetap terentang/ gerakan


20

acak, Skor 1: fleksi parsial 140-180 °, Skor 2: fleksi parsial

110-140 °, Skor 3: fleksi parsial 90-100 °.11

4. Popliteal Angle

Manuver ini menilai pematangan tonus fleksor pasif sendi

lutut dengan menguji resistensi ekstremitas bawah terhadap

ekstensi. Dengan bayi berbaring telentang, dan tanpa popok,

paha ditempatkan lembut di perut bayi dengan lutut tertekuk

penuh. Setelah bayi rileks dalam posisi ini, pemeriksa

memegang kaki satu sisi dengan lembut dengan satu tangan

sementara mendukung sisi paha dengan tangan yang lain.

Jangan memberikan tekanan pada paha belakang, karena hal ini

dapat mengganggu interpretasi. 11

Kaki diekstensikan sampai terdapat resistensi pasti terhadap

ekstensi. Ukur sudut yang terbentuk antara paha dan betis di

daerah popliteal. Perlu diingat bahwa pemeriksa harus

menunggu sampai bayi berhenti menendang secara aktif

sebelum melakukan ekstensi kaki. Posisi Frank Breech pralahir

akan mengganggu manuver ini untuk 24 hingga 48 jam pertama

usia karena bayi mengalami kelelahan fleksor berkepanjangan

intrauterine. Tes harus diulang setelah pemulihan telah

terjadi.11
21

5. Scarf Sign

Manuver ini menguji tonus pasif fleksor gelang bahu.

Dengan bayi berbaring telentang, pemeriksa mengarahkan

kepala bayi ke garis tengah tubuh dan mendorong tangan bayi

melalui dada bagian atas dengan satu tangan dan ibu jari dari

tangan sisi lain pemeriksa diletakkan pada siku bayi. Siku

mungkin perlu diangkat melewati badan, namun kedua bahu

harus tetap menempel di permukaan meja dan kepala tetap

lurus dan amati posisi siku pada dada bayi dan bandingkan

dengan angka pada lembar kerja, yakni, penuh pada tingkat

leher (-1); garis aksila kontralateral (0); kontralateral baris

puting (1); prosesus xyphoid (2); garis puting ipsilateral (3);

dan garis aksila ipsilateral (4). 11

6. Heel to Ear

Manuver ini menilai tonus pasif otot fleksor pada gelang

panggul dengan memberikan fleksi pasif atau tahanan terhadap

otot-otot posterior fleksor pinggul. Dengan posisi bayi

terlentang lalu pegang kaki bayi dengan ibu jari dan telunjuk,

tarik sedekat mungkin dengan kepala tanpa memaksa,

pertahankan panggul pada permukaan meja periksa dan amati

jarak antara kaki dan kepala serta tingkat ekstensi lutut

(bandingkan dengan angka pada lembar kerja). Penguji

mencatat lokasi dimana resistensi signifikan dirasakan. Hasil


22

dicatat sebagai resistensi tumit ketika berada pada atau dekat:

telinga (-1); hidung (0); dagu (1); puting baris (2); daerah pusar

(3); dan lipatan femoralis (4). 11

b. Penilaian Maturitas Fisik

1. Kulit

Pematangan kulit janin melibatkan pengembangan struktur

intrinsiknya bersamaan dengan hilangnya secara bertahap dari

lapisan pelindung, yaitu vernix caseosa. Oleh karena itu kulit

menebal, mengering dan menjadi keriput dan mengelupas dan

dapat timbul ruam selama pematangan janin. Fenomena ini

bisa terjadi dengan kecepatan berbeda-beda pada masing-

masing janin tergantung pada kondisi ibu dan lingkungan

intrauterin. Sebelum perkembangan lapisan epidermis dengan

stratum corneumnya, kulit agak transparan dan lengket ke jari

pemeriksa. Pada usia perkembangan selanjutnya kulit menjadi

lebih halus, menebal dan menghasilkan pelumas yaitu vernix,

yang menghilang menjelang akhir kehamilan. pada keadaan

matur dan post matur, janin dapat mengeluarkan mekonium

dalam cairan ketuban. Hal ini dapat mempercepat proses

pengeringan kulit, menyebabkan mengelupas, pecah-pecah,

dehidrasi seperti sebuah perkamen.10

2. Lanugo
23

Lanugo adalah rambut halus yang menutupi tubuh fetus.

Pada extreme prematurity kulit janin sedikit sekali terdapat

lanugo. Lanugo mulai tumbuh pada usia gestasi 24 hingga 25

minggu dan biasanya sangat banyak, terutama di bahu dan

punggung atas ketika memasuki minggu ke 28. Lanugo mulai

menipis dimulai dari punggung bagian bawah. Daerah yang

tidak ditutupi lanugo meluas sejalan dengan maturitasnya dan

biasanya yang paling luas terdapat di daerah lumbosakral.

Pada punggung bayi matur biasanya sudah tidak ditutupi

lanugo. Variasi jumlah dan lokasi lanugo pada masing-masing

usia gestasi tergantung pada genetik, kebangsaan, keadaan

hormonal, metabolik, serta pengaruh gizi. 10

3. Permukaan Plantar

Garis telapak kaki pertama kali muncul pada bagian

anterior ini kemungkinan berkaitan dengan posisi bayi ketika

di dalam kandungan. Bayi dari ras selain kulit putih

mempunyai sedikit garis telapak kaki lebih sedikit saat lahir.

Di sisi lain pada bayi kulit hitam dilaporkan terdapat

percepatan maturitas neuromuskular sehingga timbulnya garis

pada telapak kaki tidak mengalami penurunan. Namun

demikian penialaian dengan menggunakan skor Ballard tidak

didasarkan atas ras atau etnis tertentu. 10


24

Bayi sangat prematur dan ekrtrim imatur tidak mempunyai

garis pada telapak kaki. Untuk membantu menilai maturitas

fisik bayi tersebut berdasarkan permukaan plantar maka

dipakai ukuran panjang dari ujung jari hingga tumit. Untuk

jarak kurang dari 40 mm diberikan skor -2, untuk jarak antara

40 hingga 50 mm diberikan skor -1. 10

4. Payudara

Areola mammae terdiri atas jaringan mammae yang

tumbuh akibat stimulasi esterogen ibu dan jaringan lemak yang

tergantung dari nutrisi yang diterima janin. Pemeriksa menilai

ukuran areola dan menilai ada atau tidaknya bintik-bintik

akibat pertumbuhan papila montgomery. Kemudian dilakukan

palpasi jaringan mammae di bawah areola dengan ibu jari dan

telunjuk untuk mengukur diameternya dalam millimeter. 10

5. Mata dan telinga

Daun telinga pada fetus mengalami penambahan kartilago

seiring perkembangannya menuju matur. Pemeriksaan yang

dilakukan terdiri atas palpasi ketebalan kartilago kemudian

pemeriksa melipat daun telinga ke arah wajah kemudian

lepaskan dan pemeriksa mengamati kecepatan kembalinya

daun telinga. 10.

ketika dilepaskan ke posisi semula pada bayi prematur daun

telinga biasanya akan tetap terlipat ketika dilepaskan.


25

Pemeriksaan mata pada intinya menilai kematangan

berdasarkan perkembangan palpebra. Pemeriksa berusaha

membuka dan memisahkan palpebra superior dan inferior

dengan menggunakan jari telunjuk dan ibu jari. Pada bayi

ekstrim prematur palpebara akan menempel erat satu sama lain

Dengan bertambahnya maturitas palpebra kemudian bisa

dipisahkan walaupun hanya satu sisi dan meningggalkan sisi

lainnya tetap pada posisinya. banyak terdapat variasi

kematangan palpebra pada individu dengan usia gestasi yang

sama. Hal ini dikarenakan terdapat faktor seperti stres

intrauterin dan faktor humoral yang mempengaruhi

perkembangan kematangan palpebra. 10

6. Genital (Pria)

Testis pada fetus mulai turun dari cavum peritoneum ke

dalam scrotum kurang lebih pada minggu ke 30 gestasi.

Testis kiri turun mendahului testis kanan yakni pada sekitar

minggu ke 32. Kedua testis biasanya sudah dapat diraba di

canalis inguinalis bagian atas atau bawah pada minggu ke 33

hingga 34 kehamilan. Bersamaan dengan itu, kulit skrotum

menjadi lebih tebal dan membentuk rugae Testis dikatakan

telah turun secara penuh apabila terdapat di dalam zona

berugae. 10
26

Pada nenonatus ekstrim premature skrotum datar, lembut,

dan kadang belum bisa dibedakan jenis kelaminnya. Berbeda

halnya pada neonatus matur hingga posmatur, scrotum

biasanya seperti pendulum dan dapat menyentuh kasur ketika

berbaring. Pada cryptorchidismus skrotum pada sisi yang

terkena kosong, hipoplastik, dengan rugae yang lebih sedikit

jika dibandingkan sisi yang sehat atau sesuai dengan usia

kehamilan yang sama. 10

7. Genital (wanita)

Untuk memeriksa genitalia neonatus perempuan maka

neonatus harus diposisikan telentang dengan pinggul abduksi

kurang lebih 45o dari garis horisontal. Abduksi yang

berlebihan dapat menyebabkan labia minora dan klitoris

tampak lebih menonjol sedangkan aduksi menyebabkan

keduanya tertutupi oleh labia mayora. Pada neonatus dismatur

labia datar dan klitoris sangat menonjol dan menyerupai

penis.10

Sejalan dengan berkembangnya maturitas fisik, klitoris

menjadi tidak begitu menonjol dan labia minora menjadi

lebih menonjol. Mendekati usia kehamilan matur labia

minora dan klitoris menyusut dan cenderung tertutupi oleh

labia mayora yang membesar. 10


27

Labia mayora tersusun atas lemak dan ketebalannya

bergantung pada nutrisi intrauterin. Nutrisi yang berlebihan

dapat menyebabkan labia mayora menjadi besar pada awal

gestasi. Sebaliknya nutrisi yang kurang menyebabkan labia

majora cenderung kecil meskipun pada usia kehamilan matur

atau posmatur dan labia minora serta klitoris cenderung lebih

menonjol. 10

2.1.8. Penatalaksanaan BBLR

a. Bayi berat lahir rendah (BBLR) memerlukan penanganan yang

tepat dan umum untuk mengatasi masalah-masalah yang terjadi.

Penanganan BBLR meliputi hal-hal berikut:

1. Mempertahankan suhu dengan ketat. BBLR mudah

mengalami hipotermia. Oleh karena itu, suhu tubuhnya harus

dipertahankan dengan ketat. Hipotermi merupakan keadaan

bayi dengan suhu dibawah normal. Dikatakan hipotermi

sedang dengan suhu 32-36oc disebut hipotermi berat < 32oc.

hipotermi dapat menyebabkan kematian mengancam. 10

(i) Penyebab terjadinya hipotermi antara lain seperti jaringan

lemak subkutan yang tipis, perbandingan luas tubuh

dengan berat badan, cadangan glikogen dan brown fat

yang sedikit, BBL yang menggigil, dan kurangnya

pengetahuan pengelolaan bayi berisiko tinggi.


28

(ii) Akibat yang bisa ditimbulkan oleh hipotermi antara lain

seperti hipoglikemia, kebutuhan oksigen meningkat,

asfiksia, metabolism meningkat dan menyebabkan

gangguan pertumbuhan, gangguan pembekuan darah,

syok, apneu dan perdarahan intra ventrikuler. 10

(iii)Mempertahankan suhu bisa dilakukan dengan beberapa

cara seperti pada tabel dibawah ini, antara lain:

Tabel 2.1. Cara Menghangatkan Bayi

Cara Petunjuk penggunaan


- Untuk semua bayi
Kontak kulit
- Untuk menghangatkan bayi dalam waktu singkat
dan menghangatkan bayi hipotermi (32-36,4oC)
apabila cara lain tidak mungkin dilakukan
- Untuk menstabilkan bayi dengan berat badan
KMC
<2500 gram , terutama direkomendasikan untuk
(Kangoro
perawatan berkelanjutan bayi dengan berat
Mother Care)
badan < 1800 gram.
- Tidak untuk bayi sakit berat (sepsis, gangguan
nafas berat)
- Tidak untuk ibu yang menderita penyakit berat
yang tidak dapat merawat bayinya.
- Untuk bayi sakit atau bayi dengan berat badan
Pemancar
1500 gram atau lebih dan pemeriksaan awal
panas
bayi, selama dilakukan tindakan, tau
menghangatkan kembali bayi hipotermi.
- Penghangat berkelanjutan bayi dengan berat
Inkubator
badan <1500 gram yang tidak dapat melakukan
KMC
29

- Penghangat berkelanjtan bayi dengan berat


Ruangan
<2.500 gram yang memerlukan tindakan
hangat
diagnostic atau prosedur pengobatan
- Tidak untuk bayi sakit berat
Sumber: Kukuh R.2018. Asuhan Neonatus Balita Dan Anak
Pra Sekolah hal.267. Yogyakarta : Pustaka pelajar.

Hal yang sederhana dan paling efektif digunakan untuk

mencegah hipotermi adalah metode Kangoroo Mother Care

(KMC).9

a) Definisi metode Kangaroo Mother Care

KMC didefinisikan sebagai kontak kulit dengan kulit,

antara kulit ibu dengan kulit bayi, dengan cara menyusui

secara dekat dan sesering mungkin. Pelaksanaannya

dimulai dari rumah sakit. hal tersebut dapat menjadi

alternatif konvensional perwatan bagi bayi dengan berat

badan lahir rendah (BBLR). 9

b) Manfaat metode KMC

Secara klinis dengan cara ini detak jantung bayi stabil

dan pernafasan lebih teratur, sehingga penyebaran oksigen

ke seluruh tubuhnya lebih baik. Selain itu dengan cara ini

mencegah bayi terkena hipotermi. Bayi dapat tidur dengan

nyenyak dan lama, lebih tenang, jarang menangis, dan

kenaikan berat badannya menjadi lebih cepat. Pertumbuhan

dan perkembangan motorikpun menjad lebih baik. Cara ini

juga mempermudah pemberian ASI, mempererat ikatan


30

batin antara ibu dan anak, serta mempersingkat masa

perawatan secara keseluruhan. Bagi orang tua hal ini turut

menumbuhkan rasa percaya diri dan kepuasan bekerja.

Perawatan dengan metode KMC merupakan perawatan

yang sederhana, praktis, efektif, dan ekonomis, sehingga

dapat dilakukan oleh ibu atau pengganti ibu. Hal ini juga

dapat mencegah kematian. 9

c) Mekanisme kerja perawatan KMC

Pada dasarnya mekanisme perawatan metode KMC

sama seperti dengan perawatan inkubator yang berfungsi

sebagai termoregulator memberikan lingkungan yang

bermonetral bagi setiap neonatus melalui aliran panas

konduksi dan radiasi. Lingkungan termoral adalah suhu

lingkungan agar bayi dapat mempertahankan suhu optimal

(36,5-37,5oc) dengan mengeluarkan energy atau kalori yang

minimal, terutama bagi BBLR yang persediaan sumber

kalorinya sangat terbatas. 9

Pengaliran panas melalui konduksi adalah identik kontak

antara kult ibu dan bayi, seperti dalam inkubator terjadi

konduksi panas dari badan inkubator ke kult bayi.

Pengaliran panas melalui radiasi adalah udara hangat dalam

inkubator seperti udara hangat dalam selimut atau baju

kangguru. Proses penghantaran panas tersebut dilakukan


31

terus menerus selama dibutuhkan oleh BBLR baik dalam

inkubator atau metode KMC, oleh karena itu metode KMC

hanya dibutuhkan selama neonatus sampai bayi bisa

mandiri tanpa perawatan inkubator atau sampa kondisi bayi

baik. Metode KMC dihentikan ketika bayi mencapai bobot

2500 gram. 9

d) Metode dan waktu pelaksanaan KMC

Tahapan menggunakan metode KMC

1) Persiapan ibu membersihkan daerah dada dan perut

dengan cara mandi dengan sabun 2-3 x sehari.

Membersihkan kuku dan tangan, baju yang dipakai harus

bersih. Selama pelaksanaan KMC tidak memakai BH.

Bagian bawah baju diikat dnegan pengikat baju atau

memakai kain baju yang dapat diregangkan.

2) Bayi jangan dimandikan tetap cukup dibersihkan dengan

kain hangat. Bayi harus memakai tutup kepala atau topi,

jika perlu gunakan popok. Posisi bayi vertical ditengah

payudara atau sedikit kesampng kanan atau kiri sesuai

kenyamanan ibu dan bayi. Usahakan kulit bayi kontak

langsung dengan kulit ibu terus menerus. Setelah posisi

ibu duduk dan bayi dalam dekapan ibu lalu ikat dengan

kain selendang mengelilingi ibu dan bayi.


32

3) Pelaksanaan metode ini dapat dilakukan pada waktu

segera setelah lahir, sangat awal 10-15 menit setelah

lahir, setelah 24 jam, setelah 7 hari perawatan, setelah

bayi dapat bernafas sendiri tanpa oksigen, setelah keluar

dari inkubator. 9

e) Kriteria keberhasilan perawatan metode kanguru adalah :

1) Suhu bayi stabil dan optimal

2) Kenaikan berat badan stabil

3) Produksi ASI yang adekuat

4) Bayi tumbuh dan berkembang optimal

5) Bayi dapat menetek kuat seperti normalnya. 9

2. Mencegah infeksi dengan ketat. Dalam penanganan BBLR

harus memperhatikan prinsip-prinsip pencegahan infeksi

karena sangat rentan terkena infeksi.8

3. Pengawasan nutrisi dan ASI. Refleks menelan pada BBLR

belum sempurna. Oleh karena itu, pemberian nutrisi harus

dilakukan dengan hati-hati. .8

4. Penimbangan ketat. Penimbangan berat badan harus

dilakukan secara ketat karena peningkatan berat badan

merupakan salah satu status gizi/nutrisi bayi dan erat

kaitannya dengan daya tahan tubuh. 8

5. Medikamentosa

a) Pemberian vitamin K1
33

Injeksi 1 mg IM sekali pemberian 1 mg pemberian saat

lahir.

b) Diatetik

Bayi premature atau BBLR mempunyai masalah

menyusui karena reflex menghisapnya masih lemah.

Untuk BBLR sebaiknya ASI dikeluarkan dengan pompa

atau diperas dan diberikan pada bayi dengan pipa

lambung atau pipet. Dengan memegang kepala dan

menahan bawah dagu, bayi dapat dilatih untuk menghisap

sementara ASI yang telah dikeluarkan yang diberikan

dengan pipet atau selang kecil yang menempel pada

puting, ASI merupakan pilhan utama:

1) Apabila bayi mendapatkan ASI, pastikan bayi

mendapatkan ASI yang cukup dengan cara apapun,

perhatikan cara pemberian ASI dan kemampuan bayi

menghisap putting paling kurang sehari sekali.Apabila

bayi sudah tidak mendapatkan cairan iv dan beratnya

naik 20 g/hari selama 3 hari berturut-turut, timbang

bayi 2 kali seminggu. 8

6. Jumlah cairan yang dibutuhkan bayi

Jumlah cairan yang dibutuhkan bayi (ml/kg) pada tabel

dibawah ini:
34

Tabel 2.2. Jumlah Cairan yang Dibutuhkan Bayi

Umur (hari)
Berat (g)
1 2 3 4 5+
>1500 60 80 100 120 150
<1500 80 100 120 140 150
Sumber: Kukuh R. 2018. Asuhan Neonatus Balita Dan Anak
Pra Sekolah hal.267. Yogyakarta : Pustaka pelajar.

7. Jumlah ASI untuk bayi berat 1250-1490 gram

Tabel 2.3. Jumlah ASI yang dbutuhkan bayi

Pemberian Umur (hari)


Jumlah ASI tiap 1 2 3 4 5 6 7
3 jam (ml/kg) 1 15 18 22 26 28 30
Sumber : Kukuh R. 2018. Asuhan Neonatus Balita Dan Anak

Pra Sekolah hal.267. Yogyakarta : Pustaka pelajar

2.2.Asfiksia Neonatarum

2.2.1. Definisi Asfiksia Nonatarum

Asfiksia adalah suatu keadaan bayi baru lahir tidak bisa bernafas

secara spontan dan teratur. Asfiksia juga dapat diartikan sebagai

depresi yang dialami bayi pada saat dilahirkan dengan menunjukan

gejala tonus otot yang menurun dan mengalami kesulitan dalam

mempertahankan pernafasan yang wajar. Kondisi ini menyebabkan

kurangnya masukan oksigen dan pengeluaran karbondioksida. 9

Asfiksia neonatarum adalah suatu keadaan bayi baru lahir tidak bisa

bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Keadaan ini

disertai dengan hipoksia, hiperkapnea dan berakhir dengan asidosis.10


35

2.2.2. Etiologi Asfiksia

a. Gangguan sirkulasi dari ibu ke janin, diantaranya disebabkan oleh

beberapa hal sebagai berikut:

1. Gangguan aliran pada tali pusat, hal ini biasanya berhubungan

dengan lilitan tali pusat, simpul pada tali pusat, tekanan yang

kuat, pada tali pusat, ketuban telah pecah yang menyebabkan

tali pusat menumbung, dan kehamilan lebih bulan (post-term).

2. Adanya pengaruh obat, misalnya SC yang menggunakan

narkosa.

3. Faktor dari ibu selama kehamilan antara lain:

a) Gangguan his, misalnya atenia uteri yang dapat

menyebabkan hipertoni.

b) Adanya perdarahan placenta previa dan solution placenta

yang dapat menyebabkan turunnya tekanan darah secara

mendadak.

c) Vasokontriksi arterial pada kasus hipertensi kehamilan,

preklampisia, dan eklampsia.


d)
Kasus solution placenta yang dapat menyebabkan gangguan

pertukaran gas oksigen dan karbondioksia.10

b. Menurut Towel asfiksia dapat disebabkan beberapa faktor yakni

faktor ibu, placenta, fetus, dan neonatus:


36

1. Ibu

Apabila ibu mengalami hipoksia, maka janin juga akan

mengalami hipoksia yang berkelanjutan menjadi asfiksia dan

komplikasi lain.

2. Plasenta

Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan

kondisi placenta misalnya solution placenta.

3. Fetus

Kompresi umbilikus akan dapat mengakibatkan terganggunya

aliran darah dalam pembuluh darah umbilikus dan

menghambat pertukran gas antara ibu dan janin.10

4. Neonatus

Depresi pusat pernafasan pada bayi baru lahir dapat terjadi

karena beberapa hal berikut:

a) Pemakaian anastesi yang berlebihan pada ibu.

b) Trauma yang terjadi selama persalian.

c) Kelainan kongenital pada bayi.10

2.2.3. Patofisiologi Asfiksia

Oksigen sangat penting bagi kehidupan sebelum dan setelah

persalinan. Selama didalam Rahim, janin mendapatkan oksigen dan

nutrisi dari ibu melalui mekanisme difusi melalui placenta yang berasal

dari ibu dberikan kepada darah janin. Sebelum lahir alveoli bayi

menguncup dan berisi cairan. Paru janin tidak berfungsi sebagai


37

sumber oksigen atau jalan mengeluarkan karbon dioksida sehingga

paru tidak perlu diperfusi atau dialiri darah dalam jumlah yang besar.5

Setelah lahir, bayi tidak berhubungan dengan placenta lagi sehingga

akan bergantung pada paru sebagai sumbu utama oksigen. Oleh karena

itu, beberapa saat setelah lahir paru harus segera terisi oksigen dan

pembuluh paru haus berelaksasi untuk memberikan perfusi pada

alveoli dan menyerap oksigen untuk diedarkan keseluruh tubuh.5

Biasanya BBL akan melakukan usaha untuk menghirup udara ke

dalam paru. Hal ini menyebabkan cairan paru keluar dari alveoli ke

jaringan interstial paru, sehingga oksigen dapat diantarkan ke arteri

pulmonal dan menyebabkan arteriol berelaksasi. Jika keadaan ini

terganggu maka arteriol pulmonal akan tetap kontriksi dan pembuluh

darah arteri sistemik tidak mendapat oksigen sehingga tidak dapat

memberikan perfusi ke organ-organ tubuh yang penting seperti otak,

jantung, ginjal dan lain-lain. Bila keadaan ini berlangsung lama maka

akan menyebabkan kerusakan jaringan otak dan organ lain yang dapat

menyebabkan kematian dan kecacatan.5

Transisi dari kehidupan janin intrauterine ke ekstrauterin,

menunjukan perubahan sebagai berikut:

a. Alveoli paru-paru janin

Alveoli paru janin dalam uterus berisi cairan paru. Pada saat

mengambil nafas pertama kali, udara memasuki alveoli paru dan

keluar cairan paru diabsorbsi oleh jaringan paru. Pada nafas kedua
38

dan berikutnya, udara yang masuk kedalam alveoli bertambah

banyak dan cairan paru diabsorbsi sehingga seluruh alveoli berisi

udara dan oksigen.aliran darah paru meningkat secara drastis. Hal

ini disebabkan oleh ekspansi paru yang membutuhkan tekanan

puncak inspirasi dan tekanan akhir ekspirasi yang lebih tinggi.

Ekspansi paru dan peningkatan oksigen alveoli, keduanya

menyebabkan penurunan resistensi vaskuler paru dan peningkatan

lairan darah paru setelah lahir. Aliran intarkradial dan ektrakradial

mulai beralih arah yang kemudia diikuti oleh penutupan duktus

arteriosus. Kegagalan penurunan persisten pada BBL dengan aliran

darah paru yang tidak adekuat dan hipoksemia relatif. Ekspansi

paru yang tidak adekuat menyebabkan gagal nafas.

Pernafasan adalah tanda vital pertama yang berhenti ketika BBL

kekurangan oksigen.pada periode awal, bayi akan mengalami

pernafasan cepat yang disebut gasping primer. Setelah periode

awal ini akan diikuti dengan keadaan bayi tidak bernafas atau

apneu, yang disebut dengan apneu primer. Pada saat ini fekuensi

jantung mulai menurun namun tekanan darah masih tetap bertahan.

Bila keadaan ini berlangsung lama dan tidak dilakukan

pertolongan pada BBL, maka bayi akan melaukan usaha nafas

megap-megap yang disebut gasping sekunder. Kemudian masuk

kedalam periode apneu sekunder. Pada saat ini frekeunsi jantung

semakin menurun dan tekanan darah semakin menurun yang dapat


39

menyebabkan kematian bayi bila tdak segera ditolong. Sehingga

setiap menjumpai kasus dengan apneu, harus dianggap sebagai

apneu sekunder dan segera dilakukan resusitasi.5

2.2.4. Penilaian Asfiksia berdasarkan APGAR Skor

a. Asfiksia berat nilai APGAR 0-3

Pada kasus afiksia berat bayi akan mengalami asidosis, sehingga

memerlukan erbaikan dan resusitasi aktif dengan segera. Tanda dan

gejala yang muncul pada asfiksia berat adalah sebagai berikut:

1. Frekuensi jantung kecil < 40x per menit.

2. Tidak ada usaha nafas.

3. Tonus otot lemah bahkan hamper tidak ada.

4. Bayi yang tidak dapat memberikan reaksi jika diberikan

rangsangan.

5. Bayi tampak pucat bahkan sampai berwana abu-abu

6. Terjadi kekurangan oksigen berlanjut sebelum atau sesudah

persalinan.

b. Asfiksia sedang nilai APGAR 4-6

Pada asfiksia sedang tanda dan gejala yang mucul sebagai berikut:

1. Frekuensi jantung 60-80x per menit.

2. Usaha napas ambat.

3. Tonus otot biasanya dalam keadaan baik.

4. Bayi masih bisa bereaksi terhadap rangsang yang diberikan.

5. Bayi tampak sianosis.


40

6. Tidak terjadi kekurangan oksigen yang bermakna selama

proses persalinan.

c. Asiksia ringan nilai APGAR 7-10

Pada asfiksia ringan tanda dan gejala yang sering muncul adalah

sebagai berikut:

1. Takipnea deangan nafas lebih dari 60x per menit.

2. Bayi tampak sianosis.

3. Adalana retraksi sela iga.

4. Bayi merintih (grunting).

5. Adanya pernafasan cuping hidung.

6. Bayi kurang aktifitas.


7.
Dari pemeriksaan auskultasi diperoleh hasil ronchi, rales dan

wheezing positif.10

Tabel 2.4. Nilai APGAR

Tanda 0 1 2
Appearance Biru pucat Tubuh kemerahan, Tubuh dan
ekstremitas biru ekstremitas
kemerahan
Pulse Tidak ada <100x/ menit >100x/ menit
Grimace Tidak ada Gerakan sedikit Menangis
Activity Lumpuh Fleksi lemah Aktif
Respiration Tidak ada Lemah meirntih Tangisan kuat
Sumber: Nanny Vivian. 2013. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita
hal. 3. Jakarta: Salemba Medika.10

2.2.5. Penilaian Asfiksia berdasaran Down Skor

a. Down Skor < 4 distres pernafasan ringan


41

Dapat diberikan oksigen dengan menggunakan nasa canula.

b. Down Skor 4-5 distres pernafasan moderat

Perlu menggunakan nasal CPAP

c. Down Skor > 6 distres pernafasan berat

Diperlukan analisis gas darah dan jika perlu dilakuan intubasi.

Tabel 2.5. penilaian menggunakan Down skor

0 1 2
Frekuensi <60 x/menit 60-80 x/menit >80 x/menit
nafas
Rektraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi berat
Sianosis Tidak ada sianosis Sianosis hilang dengan Sianosis menetap
O2 walaupun diberi O2
Air entry Udara masuk Penurunan ringan udara Tidak ada udara
bilateral baik masuk masuk
Merintih Tidak merintih Dapat didengar dengan Dapat didengar
stetoskop tanpa alat bantu
Sumber : Nanny Vivian. 2013. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak

Balita hal. 3. Jakarta: Salemba Medika.10

2.1.6. Penatalaksanaan Asfiksia

Jika bayi mengalami asfiksia sebelum atau setalah lahir mereka

menunjukan serangkaian kejadian yang nyata yang menyebabkan apneu

primer ataupun sekunder. Kekurangan oksigen menyebabkan periode

pernafasan cepat yang sementara. Jiia kekurangan ini berlanjut gerakan

nafas berhenti dan bayi masuk ke tahap apneu yang disebut apneu primer.

Hal ini disebabkan oleh kecepatan jantung dan hilangnya tonus

neuromskuler. Bayi yang mengalami apneu sekunder tidak akan


42

merespon stimulasi dan tidak akan kembali bernafas secara spontan.

Kecuali jika diberikan bantuan ventilasi, bayi akan meninggal. Secara

klinis apneu primer dan sekunder tidak dapat dibedakan. Oleh karena itu

semua harus dianggap apneu sekunder dan resusitasi harus segera

dilakukan. Langkah-langkah resusitasi antara lain:

a. Petugas yang terampil selalu siap

b. Tempat tidur perawatan bayi yang memilki pemanas dan terang

c. Peralatan untuk penyaluran oksigen bertekanan positif intermiten

melalui masker wajah dan melakukan intubasi trakea disertai

penghisapan dan oksigenasi tekanan positif

d. Obat, spuit, jarum dan kateter untuk kemungkinan pemberian bahan

penambah volume, nalokson (narcan), natrium bicarbonate, dan

efineprin secara intravena

e. Mencegah kehilangan panas

f. Membuka jalan nafas. Jalan nafas dibuka dengan menghisap mulut

dan hidung jika tidak terdapat mekonium. Trakea mungkin

memerlukan penghisapan secara langsung.

g. Evaluasi bayi. Amati pernafasan, kecepatan jantung dan warna untuk

menentukan langkah-langkah apa yang diperlukan. Tiga langkah ini

harus dilakukan dalam 20 detik atau kurang.

h. Upaya bernafas. Mula-mula evaluasi upaya bernafas. Jika tidak ada

lakukan ventilasi tekanan positif. Jika ada, evaluasi kecepatan

jantung.
43

i. Warna. Evaluasi warna dilakukan terakhir. Jka bayi tampak merah

muda atau hanya memperlihatkan sianosis ringan di perifer, lanjutkan

pengamatan biasa. Jika bayi emperlihatkan sianosis sentral, diberikan

oksigen aliran bebas dengan konsentrasi 80-90%. Hal ini dilanjutkan

selama bay masih sianotik.

j. Kcepatan jantung (lanjutan). Kecepatan jantung dievaluasi setelah 15-

30 detik pemberian ventlasi tekanan-positif. Jika kecepatan jantung

sekarang lebih dari 100 denyut per menit, akukan evaluasi warna

seperti pada langkah sebelumnya. Jika kecepatannya anatar 60-100

denyut per menit, kemudian meningkat, ventilasi dilanjutkan. Jika

kcepatan jantng kurang dari 60 atau kurang dari 80 denyut per menit,

dan tidak meningkat, ventilasi dilanjutkan dan dmulai penekanan

dada. Pada keadaan ini harus dipertimbangkan pemasangan intubasi

trakea.

k. Penekanan dada. Mulai melakukan penekanan dada dengan kecepatan

2 kali perdetik dengan jeda setengah detik setiap tiga kali penekanan

untuk ventilasi. Penekanan dihentikan setiap 3 detik selama 6 detik

sementara kecepatan jantung diperiksa. Jika denyut jantung tetap

kurang dari 80 denyut permenit setelah 30 detik ventiasi dan

penekanan dada, dimulai resusitasi kimiawi.

l. Resusitasi kimiawi. Resusitasi kimiawi terdiri dari epinefrin, ekspansi

volume, dan mungkin nalokson. Epinefrin 1:10.000 diberikan degan

cepat, baik secara intravena atau melalui selang trakea dengan dosis
44

0,1 hingga 0,3 ml/kg. Ekspansi volume dengan 10 ml.kg darah

kengkap, albumin 5 hingga 10 menit pada kasus yang dicurigai

mengalami hipovolemia. Natrium bicarbonate, berupa larutan 4,2

persen (0,5mEq/L), diberikan perlahan selama paling sedikit 2 menit

(1 mEq/kg per menit) pada kasus henti yang lama tidak berespon

terhadap terapi lain atau jika gas darah menunjukan asidemia

metabolik yang berat. Bicarbonate hanya diberikan setelah tercipta

ventilasi yang efektif. Nalokson hidroklorida diindikasikan untuk bayi

dengan depresi pernafasan yang hebat dan riwayat pemakaian

narkotik baru-baru ini oleh ibu. Untuk neonatus prematur dan aterm,

nalokson sebaiknya diberikan melalui intravena atau intratrakeal

dengan dosis 0,1 mg/kg. dosis ulangan sering diperlukan karena

durasi kerja beberapa narkotik melebihi durasi kerja nalokson (1

hingga 4 jam). Jika diberikan secara intramuscular atau subcutan,

penyerapan dapat tertunda jika bayi mengalami vasokontriksi.

m. Intubasi trakea. Intubasi trakea diperlukan pada 4 keadaan:

1. Jika diperlukan ventilasi tekanan positif jangka panjang.

2. Jika ventilasi melalui kantong dan masker tidak efektif.

3. Jika diperlukan penghisapan melalui trakea.


4.
Jika dicurigai terjadi hernia diafragma.12

2.1.7. Cara pemberian oksigen

a. inkubator

b. Head box
45

c. Nasal kanul low flow high flow

d. Nasal CPAP

e. Nasal Intermittent Positive Pressure Ventilation (NIPPV)

Ventilator.12

2.1.8. Hubungan BBLR dengan Asfiksia

Asfiksia atau gagal bernafas spontan saat lahir atau beberapa menit

setalh lahir sering menimbulkan penyakit berat pada BBLR. Hal ini

disebabkan oleh karena kurangnya surfaktan (tratio lecithin atau

sfingomielin kurang dari 2). Pertumbuhan dan perkembangan yang

belum sempurna, oto pernafasan yang masih lemah dan tulang iga

yang mudah melengkung atau pliable thorax.9

2.2. Hipoglikemik

1.3.1. Definisi Hipoglikemik

Hipoglikemia adalaha kadar glukosa plasma yang kurang dari 45

mg/dL pada bayi atau anak-anak, dengan atau tanpa gejala. Untuk

neonatus aterm berusia kurang dari 72 jam dipakai batas kadar glukosa

plasma 35 mg/dL. Sedangkan untuk neonatus premature dan KMK

(kecil masa kehamilan) yang berusia kurang dari 1 minggu disebut

mengalami hipoglikemia bila kadar glukosa plasma kurang dari 25

mg/dL. 12
46

Hipoglikemia didefinisikan sebagai suatu kadaan dimana kadar gula

darah (glukosa) secara abnormal rendah. Dalam keadaan normal, tubuh

mempertahankan kadar gula darah antara 70-110 mg/dL. 9

1.3.2. Prinsip Dasar

Kadar glukosa darah pada keadaan puasa merupakan hasil dari

proses gluconeogenesis dan glikogenolisis oleh sistem endokrin

normal. Hormone pertumbuhan (growth hormone-GH), Kortisol,

gulkogen dan epinefrin yang disebut counter-regulatory hormone

memunyai sifat meningkatkan glukosa darah ; sedangkan insulin

menurunkan gula darah. 90% glukosa digunakan oleh SSP (organ lain

yang mutlak membutuhkan glukosa adalah sel darah merah, adrenal

dan medulla ginjal).12

Terdapat berbagai adaptasi berbagai kehidupan diluar uterus dan

homeostatis glukosa. Dalam keadaan normal kadar glukosa darah bayi

lebih rendah dari pada anak. Kadar glukosa darah janin sebesar 70%

kadar glukosa darah ibu. Pada waktu bayi lahir masukan glukosa dari

ibu berhenti secara mendadak sehingga homeostatis pasca lahir

dipertahankan dengan peningkatan glukogen 3-5 kali lipat, kadar

insulin menurun dan tidak segera meningkat setelah makan,

peningkatan katekolamin, peningkatan GH, peningkatan FFA (Free

fatty acid) dan badan keton, terjadi maturasi enzim glukoneoganik dan
47

pelepasan glukosa darah dari simpanan glikogen (biasanya cukup

untuk bayi normal bias bertahan puasa selama 4 jam).12

2.3.4. Etiologi Hipoglikemik

Berdasarkan patofisologinya, maka hipoglikemia dapat disebabkan

oleh masukan glukosa dari makanan yang kurang (starvasi), penurunan

masukan glukosa dari simpanan glikogen, penurunan masukan glukosa

karena gangguan glukogenesis dan glikogenisis, pengeluaran

berlebihan kedalam simpalan (pada hiperinsulinisme) dan pengeluaran

yang meningkat karena kebutuhan meningkat.

a. Masukan gula dari makanan yang kurang (starvasi)

Keadaan ini dapat timbu akibat keterlambatan pemberian

makanan pada bayi baru lahir (pemberian asi pertama

meningkatkan kadar gula darah sebesar 18-27 mg/dL) ; pemberian

makanan yang tidak adekuat, misalnya diberikan 30 ml dextrose

5% (yang hanya mengandung 6 kal) sbegai pengganti susu,

sedangkan 30 ml susu mengandung 24 kal dan muntah berulang.

b. Penurunan masukan gula dari simpanan glikogen

Keadaan ini dapat terjadi pada IURG, stravasi pada hamil,

prematuritas, salah satu dari bayi kembar (yang kecil) pada periode

neonatal. Anak yang lebih besar usianya dengan cadangan glikogen

yang jelek akan mengalami hipoglikemia karena starvasi terutama

bila disertai gangguan gluconeogenesis (pembentukan glukosa dari

sumber non karbohidrat).


48

c. Penurunan masukan gula karena gangguan glukoneogensis dan

glikogenesis

Keadaan ini dapat terjadi pada Glychogen Storage Disease,

galaktosemia, intoleransi fructose, defisiensi GH (hipopituitarisme)

dan insufisiensi adrenortikal (primer atau sekunder).

d. Pengeluaran berlebihan kedalam simpanan (pada

hiperinsulinisme)

Pada keadaan ini terjadi pengeluaran glukosa yang berlebihan

dari cairan ekstraseluler karena insulin mengubah glukosa kedalam

bentuk simpanannya yaitu lemak dan glikogen. Hiperinsulinisme

juga menurunkan masukan gula kedalam cairan ekstraseluler

dengan menghambat glikogenolisis dan glukogeneolisis.

Penyebab hiperinsulinisme antara lain adalah bayi dari ibu yang

diabetes,ibu ibu yang hiperglikemia, menyebabkan bayi mengalami

juga hiperglikemia sehingga terjadi hyperplasia sel beta pancreas

dan meningkatkan kadar insulin. Setelah lahir kadar insulin masih

tetap tinggi sehingga timbul hipoglikemia. Pemberian glukosa iv

yang berlebihan pada ibu hamil. Nesidiablastosis, adenoma

prankeas, sindrom beckwith-wiedeman, obat-obatan.

e. Pengeluaran yang meningkat karena kebutuhan energy meningkat.

Penyebab pengeluaran gula yang meningkat antara lan sepsis,

syok, asfiksia, hipotermi, respiratory distress syndrome,

hiperviskositas dan panas.12


49

2.3.5. Patologi Hipoglikemia pada Neonatus

a. Metabolisme glukosa pada janin

Homeostatis glukosa yang terjadi pada neonatus dan anak

membutuhkan beberapa penjelasan spesifik. Pertama karena adanya

transisi kehidupan dari intrauterin ke ekstrauterin. Kedua adanya

penggunaan kadar glukosa yang meningkat pada neonatus

dibandingkan dewasa.12

Pada janin glukosa melewati sawar plasenta secara difusi yang dapat

menyebabkan janin tidak dependent terhadap proses glikogenolisis dan

glukoneogenesis karena terus disuplai dengan glukosa dari ibu.

Mekanisme glukoneogenesis terus berkembang seutuhnya saat

mendekati persalinan. 12

Pada trisemester terakhir janin akan mengakumulasi cadangan

lemak, glikogen serta mengalami peningkatan aktivitas. Saat lahir

neonatus memiliki cadangan lemak dan glikogen yang cukup untuk

waktu yang singkat apabila terjadi penurunan kalori. Beberapa jam

setelah lahir konsentrasi glukosa plasma akan menurun sedangkan

asam lemak bebas menjadi meningkat. Namun cadangan glikogen

menjadi terbatas sehingga dependent terhadap proses glukoneogenesis.

Bila seorang ibu saat hamil mendapat nutrisi yang adekuat, maka pada

janin tidak terjadi glukoneogenesis. Selain di dalam kandungan, energi

pokok yang digunakan oleh janin adalah glukosa dan asam amino.

Glukosa pada ibu masuk kejanin melalui plasenta secara difusi karena
50

adanya perbedaan konsentrasi pada ibu dan plasma janin, dimana

kadar glukosa plasma janin 70-80% sama dengan kadar dalam vena

ibu.12

b. Sistem endokrin

Insulin merupakan hormon regulasi glukosa plasma. Insulin bekerja

untuk menurunkan produksi glukosa endogen dan dapat meningkatkan

pemakaian glukosa di perifer. Insulin menstimulasi membran sel otot

skelet, otot jantung dan jaringan lemak adipose serta penyimpanan

glukosa menjadi glikogen. Dalam keadaan konsentrasi yang rendah,

insulin merupakan inhibitor proses lipolisis dan proteolisis. 12

Beberapa substrat seperti asam lemak bebas, badan keton dan asam

amino dapat meningkatkan pelepasan insulin dari sel beta pankreas

baik secara langsung maupun tidak langsung. Hormon kontraregulasi

seperti adrenokortikotropik (ACTH), kortisol, glukagon, epinefrin dan

growth hormon memiliki efek meningkatkan kadar glukosa plasma

dengan menghambat uptake glukosa oleh otot (epinefrin, kortisol dan

growth hormon), meningkatkan proses glukoneogenesis endogen

melalui roteolisis (kortisol), aktivitas lipolisis dan meningkatkan

proses glukoneogenesis berbahan asam lemak bebas (epinefrin,

glukagon, growth hormon, ACTH dan kortisol), menghambat sekresi

insulin dari pankreas (epinefrin), aktivasi enzim glikogenolisis dan

glukoneogenesis (epinefrin dan glukagon) serta meningkatkan


51

produksi dan menginduksi enzim gluconeogenesis dalam jangka yang

panjang (glukagon dan kortisol). 12

Bila kadar glukosa darah meningkat setelah makan, maka sekresi

insulin akan meningkat dan merangsang hepar untuk menyimpan

glukosa sebagai glikogen. Bila sel pada hepar dan otot kelebihan

glukosa, maka kelebihan glukosa tersebut akan disimpan sebagai

lemak. Bila kadar glukosa menurun, maka glukagon akan merangsang

hepar untuk proses glikogenolisis dan melepaskan glukosa kembali ke

dalam darah. 12

Pada keadaan lapar, hepar akan mempertahankan kadar glukosa

melalui proses glukoneogenesis. Glukoneogenesis merupakan proses

pembentukan glukosa dari asam amino. Otot memberikan simpanan

glikogen dan memecah protein otot menjadi asam amino yang

merupakan substrat untuk proses glukoneogenesis di hepar. Asam

amino dalam sirkulasi akan dikatabolisme menjadi keton, sedangkan

asetoasetat dan beta hidroksi butirat digunakan untuk membantu bahan

bakar untuk sebagian besar jaringan termasuk otot. 12

Hipotalamus akan merangsang sistem saraf simpatis dan epinefrin

yang disekresi oleh adrenal yang akan menyebabkan pelepasan

glukosa oleh hepar. Bila terjadi hipoglikemia yang berkelanjutan untuk

beberapa hari, maka hormon pertumbuhan dan kortisol disekresi dan

akan terjadi penurunan penggunaan glukosa oleh sebagian besar sel

dalam tubuh. Glukagon merupakan hormon yang pertama kali dalam


52

mengatasi terjadinya hipoglikemia, apabila gagal maka epinefrin yang

memegang peranan penting.12

c. Kompensasi terhadap keadaan hipoglikemia.

Dalam keadaan normal tubuh akan mempertahankan hipoglikemia

dengan cara menurunkan sekresi insulin dan meningkatkan sekresi

glukagon, epinefrin, hormon pertumbuhan dan kortisol. Perubahan

hormon tersebut dikombinasi dengan meningkatnya keluaran glukosa

dihepar. Respon pertama yang terjadi adalah meningkatkan produksi

glukosa dari hepar dengan melepaskan cadangan glikogen dihepar

serta menurunkan sekresi insulin dan meningkatkan sekresi

glukagon.12

Bila cadangan glikogen habis maka terjadi peningkatan kerusakan

protein karena efek kortisol yang meningkat serta proses

glukoneogenesis hepar diganti dengan glikogenolisis sebagai sumber

produksi glukosa. Kerusakan protein tersebut yaitu meningkatnya

asam amino glukogenik, alanin dan glutamine dalam plasma. 12

Penurunan kadar glukosa perifer pada keadaan awal dapat

menurunkan kadar insulin, yang kemudian di ikuti peningkatan kadar

epinefrin, kortisol dan hormon pertumbuhan. Ketiga proses tersebut

dapat meningkatkan lipolisis dan asam lemak bebas dalam plasma

yang digunakan sebagai bahan bakar alternatif bagi tubuh dan

menghambat penggunaan glukosa. 12


53

Hipoglikemia terjadi apabila satu atau lebih mekanisme

keseimbangan tersebut mengalami kegagalan atau penurunan glukosa

yang berlebihan seperti pada kondisi hiperinsulinemia atau produksi

yang kurang seperti pada penyakit “glycogen storage” serta kombinasi

defisiensi hormone pertumbuhan dan kortisol. 12

d. Perbedaan metabolisme glukosa pada bayi dan dewasa. Pada orang

dewasa setelah makan hingga 14 jam kemudian.

metabolisme glukosa 2 mg/kgBB/menit kemudian menurun

menjadi 1,8 mg/kgBB/menit pada 30 menit setelah makan. Kadar

metabolisme glukosa pada bayi dan anak pada 14 jam setelah makan

jumlahnya 3 kali lipat lebih besar pada orang dewasa dan saat 30 menit

kemudian setelah makan kadarnya akan menurun menjadi

3,8mg/kgBB/menit. 12

Pada bayi dan anak kemampuan tubuh tidak semaksimal pada orang

dewasa sehingga akan terjadi penurunan progresif dari konsentrasi

glukosa plasma dalam darah yang singkat. Perbedaan adaptasi puasa

pada orang dewasa dan anak disebabkan karena perbedaan massa otak,

dimana kadar otak anak lebih besar dibandingkan tubuh sehingga

penurunan glukosa terjadi lebih cepat akibat dari proses pemakaian. 12

Glikogenolisis yang terjadi pada anak tidak sebanyak yang terjadi

pada dewasa karena massa otot pada anak lebih kecil dibandingkan

pada dewasa sehingga cara mepertahankan glukosa plasma banyak

menggunakan proses glukoneogenesis. 12


54

2.3.6. Klasifikasi Hipoglikemia pada neonatus

a. Bersifat sementara dan biasanya terjadi pada bayi baru lahir, misalnya

karena masukan glukosa yang kurang (starvasi, kelaparan), hipotermia,

BBLR, syok, dan pada bayi dari ibu diabetes.

b. Bersifat menetap atau berulang yang dapat terjadi akibat difisiensi

hormone, hiperinsulinis, serta kelainan metabolisme karbohidrat dan

asam amino. 12

2.3.7. Gejala Klinis Hipoglikemia

Gejala klinis sangat bervariasi dan bergantung pada usia pasien. Pada

neonatus gejala klinis dapat berupa tremor, sianosis, hipotermia, kejang,

apneu, atau pernafasan tidak teratur, letargi atau apatis, berkeringat,

takipneu atau takikardia dan tidak mau minum. 12

2.3.8. Diagnosis Hipoglikemia

Secara klinis diagnosis hipoglikema ditegakan berdasarkan gabungan

dari adanya gejala hipoglikemia, kadar glukosa plasma yang rendah

(kurang dari 45 mg/dL atau 25 mg/dL tergantung usia), dan respon klinik

yang positif terhadap pemberian gula. Adapun alur diagnosis hipoglikemia

dapat dilihat pada algoritma. 12

2.3.9. Penatalaksanaan Hipoglikemik

Pada neonatus yang beresiko tinggi gula darah harus diukur setiap 2

jam dengan dekstrostik selama 12 jam pertama, selanjutnya setiap 6 jam

sampai 48 jam. Kalau dekstrostik menunjukan nilai yang rendah, maka

pemeriksaan kadar gula darah kuantitatif harus dilakukan. Pada kejadian


55

hipoglikemia, segera dilakukan perbaikan terhadap faktor-faktor yang

mungkin memperburuk keadaan seperti suhu lingkungan dan oksigenase.

Berikut dijelaskan tata laksana hipoglikemia dengan gejala atau tanpa

gejala. 12

a. Hipoglikemia asimptomatik (tanpa gejala)

Hasil pemeriksaan gula darah yang rendah harus segera diterapi

dengan memberikan minum glukosa 10% yang kemudia diikuti

susu formula 2-3 jam berikutnya. Lakukan pemantauan glukosa

dara setiap 30-60 menit sampai stabil normoglikemia, kemudian

setiap kali akan minum (3 jam). Bila kadar gula setelah pemberian

glukosa per oral tetap kurang dari 45 mg/dL atau timbul gejala

(simptomatik), maka glukosa intravena harus diberkan.

b. Hipoglikemia simptomatik (dengan gejala)

Berikan glukosa 10% secara intavena sebanyak 2ml/kg dengan

perlahan selama 1 menit. Lanjutkan dengan pemberian infus

glukosa 10% dan pertimbangkan juga pemberian elektrolit.

Kebutuhan glukosa diperkirakan sekitar 8-10 mg/kg/menit. Untuk

memberikan glukosa sebanyak 8mg/kg/menit dibutuhkan dextrose

10% dengan kecepatan 110 ml/kg/hari intravena.

Bila kebutuhan glukosa melebihi 12mg/kg/menit segera lakukan

pemeriksaan kadar gula darah, insulin, kortisol, growth hormone,

laktat, TSH dan FT, untuk mendeteksi adanya gangguan hormone.

Setelah itu diberikan hidrokortson suksinat 10mg/kg/hari dengan


56

dosis terbagi 2. Bila perlu lakukan konsultasi endokrinologi.

Segera setelah keadaan stabil, pemberian susu peroral dimulai dan

glukosa intravena dikurangi secara bertahap lalu dihentikan bila

pemberian oral sudah mencukupi kebutuhan. 12

Glukosa darah kurang dari 25 mg/Dl ( 1 mmol/L) atau terdapat

tanda hipoglikemik, maka lakukan:

1. Pasang jalur iv jika belum terpasang

2. Berikan glukosa 10% per 2ml per kg secara iv bolus pelan

dalam 5 menit.

3. Jika jalur iv tidak dapat dipasang dengan cepat, berikan larutan

glukosa melalui pipa lambung dengan dosis yang sama.

4. Infus glukosa 10% sesuai kebutuhan.

5. Jika kadar glukosa masih kurang dari 25 mg/dL ulangi

pemberian bolus glukosa seperti sebelumnya dan lanjutkan

pemberian infus.

6. Jika kadar glukosa 25-45 mg/dL lanjutkan infus dan ulangi

pemeriksaan kadar glukosa setiap tiga jam sampai kadar

glukosa 45 mg/dL atau lebih.

7. Jika glukosa darah 45 mg/dL atau lebih dalam dua kali

pemeriksaan berturut-turut mengikuti petunjuk tentang

frekuensi pemeriksaan kadar glukosa darah kembali normal.


57

8. Anjurkan ibu menyusui, jika bayi tidak dapat menyusui berikan

ASI peras degan menggunakan salah satu alternatif cara

pemberian minum.

9. Jika kemampuan bayi meningkat turunkan pemberian cairan

infus setiap hari secara bertahap, jangan menghentikan infusan

glukosa secara tiba-tiba. 12

c. Terapi hipoglikemia

Batasan

1. Gula darah < 20 mg/dL ( bayi premature)

2. Gula darah < 30 mg/dL (bayi matur 72 jam sesudah lahir)

3. Gula darah < 40 mg/dL (bayi matur > 72 jam sesudah lahir)
4.
Gula darah < 45 – 60 mg/dL (bayi dan anak).13

d. Terapi:

1. Bila anak sadar dan kooperatif menggunakan glukosa oral

2. Bila anak terdapat perubahan status mental diberikan bolus

glukosa 25% 2 ml/kg iv atau io, lanjutkan maintenance D10%.

Glukosa 25% = dextrose 40% + dextrose 10% (1:1)


3.
Jika tidak terdapat akses iv dan anak tidak dapat diberi glukosa

secara oral, maka berikan glucagon 0,5 – 1 mg secara sc atau

im.14

Anda mungkin juga menyukai