Dokumen - Tips Jurnal-Fix
Dokumen - Tips Jurnal-Fix
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemantauan hemodinamik adalah suatu pengukuran terhadap sistem
kardiovaskuler yang dapat dilakukan baik secara invasif atau noninvasive.
Pemantauan tersebut merupakan suatu teknik pengkajian pada pasien kritis,
mengetahui kondisi perkembangan pasien, serta untuk antisipasi kondisi pasien
yang memburuk. Pemantauan hemodinamik juga dapat membantu mengevaluasi
respon pasien terhadap terapi, menentukan diagnosa medis, memberikan informasi
mengenai keadaan pembuluh darah, jumlah darah dalam tubuh, dan kemampuan
jantung untuk memompa darah (Burchell, L. & Powers, A., 2011).
Pengkajian secara noninvasif dapat dilakukan melalui pemeriksaan, salah
satunya adalah pemeriksaan vena jugularis (jugular venous pressure). Pemantauan
hemodinamik invasive dilakukan dengan tujuan untuk mengukur dan mengetahui
gelombang tekanan dalam ruang-ruang jantung. Kelebihan teknik invasif yaitu
dapat digunakan sebagai salah satu cara dalam pengambilan sampel darah,
pemeriksaan laboratorium, pemberian obat-obatan/cairan dan pemasangan pacu
jantung. Salah satu teknik pengukuran hemodinamik invasive yaitu Central Venous
Pressure (CVP). CVP merupakan pengukuran langsung dari atrium kanan atau
vena cava superior. CVP mencerminkan preload ventrikel kanan dan kapasitas vena
sehingga dapat diketahui volume pembuluh darah atau cairan, ketidakseimbangan
cairan, dan efektifitas jantung sebagai pompa (Wooods, 2010). Menurut Dellinger,
et al. (2013) dalam Surviving Sepsis Campaign Guidelines (SSCG), pengukuran
CVP telah menjadi standar untuk manajemen pasien dengan sepsis berat dan septik
syok dan dijadikan sebagai indikator untuk terapi cairan.
Ada berbagai cara untuk mengukur CVP, mulai dari yang konvensional
dengan menentukan titik nol dan kemudian memperhatikan undulasi pada
manometer dan nilai dibaca pada akhir ekspirasi atau yang biasa disebut dengan
water monometer, atau dengan cara yang lebih canggih yaitu dengan
menyambungkan CVC dengan monitor sehingga nilai CVP muncul di monitor
yang biasa disebut dengan transduser, dan ada juga dengan cara membaca
gelombang CVP yang muncul di monitor. Membaca gelombang CVP ini biasa
1
dilakukan oleh para dokter yang berpengalaman untuk menentukan nilai CVP
(Burchell, L & Powers, A, 2011).
Jain, et al. (2010) menyatakan bahwa cara pengukuran CVP yang berbeda-
beda menghasilkan nilai CVP yang berbeda sehingga manajemen terapi cairan yang
diberikan juga berbeda. Hal ini tentu saja menjadi sangat berbahaya jika terapi yang
diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan tubuh yang akhirnya dapat menyebabkan
kematian. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menelaah jurnal yang berjudul
Variability in Central Venous Pressure Management and the Potential Impact on
Fluid Management ini lebih jauh tentang perbedaan cara mengukur CVP dan
dampaknya pada manajemen terapi cairan yang diberikan kepada pasien.
B. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui cara-cara yang digunakan untuk mengukur CVP.
2. Untuk mengetahui dampak pengukuran CVP terhadap manajemen terapi cairan
yang diberikan.
3. Untuk melihat implikasi keperawatan dari jurnal tersebut pada peningkatan
pemberian asuhan keperawatan di Indonesia.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Tekanan vena sentral (Central venous pressure, CVP) adalah tekanan
intravaskular di dalam vena cava torakal. Tekanan vena sentral menggambarkan
banyaknya darah yang kembali ke dalam jantung dan kemampuan jantung untuk
memompa darah kedalam sistem arterial. Perkiraan yang baik dari tekanan
atrium kanan, merupakan faktor yang menentukan dari volume akhir diastolik
ventrikel kanan. Tekanan vena sentral menggambarkan keseimbangan antara
volume intravaskular, venous capacitance, dan fungsi ventrikel kanan. Prosedur
memasukkan kateter intravena yang fleksibel ke dalam vena sentral bertujuan
untuk memberikan terapi melalui vena sentral dengan ujung dari kateter berada
pada superior vena cava. Kateter ini disebut Central Venous Catheter (CVC)
(Burchell, L. & Powers, A., 2011).
3
syok septic harus dipertahankan dalam rentang normal yaitu 8-12 mmHg dan
12-15 mmHg pada pasien dengan ventilator.
B. Penempatan CVC
Penempatan kateter vena sentral bisa melalui:
1. Vena jugularis interna
2. Vena subklavia. Tempat yang paling umum digunakan untuk penempatan
CVC
3. Vena jugularis eksternal
4. Vena femoralis.
4
yang kemungkinan akan menyebabkan flebitis mencakup agen kemoterapi
yang digunakan dalam pengobatan dan pengelolaan kondisi keganasan.
4. Kurangnya akses perifer.
Pada beberapa pasien akut, ketika tidak ada akses vena perifer, pemasangan
CVC dapat dilakukan. Hal ini biasanya dilakukan untuk tujuan rehidrasi,
administrasi pengobatan dan produk darah
E. Langkah Pemasangan :
Siapkan alat
5
Lakukan cuci tangan steril
Gunakan sarung tangan steril
Tentukan daerah yang akan dipasang ; vena yang biasa digunakan sebagai
tempat pemasangan adalah vena subklavia atau internal jugular.
Posisikan pasien trendelenberg, atur posisi kepala agar vena jugularis
interna maupun vena subklavia lebih terlihat jelas, untuk mempermudah
pemasangan.
Lakukan desinfeksi pada daerah penusukan dengan cairan antiseptic
Pasang duk lobang yang steril pada daerah pemasangan.
Sebelum penusukan jarum / keteter, untuk mencegah terjadinya emboli
udara, anjurkan pasien untuk bernafas dalam dan menahan nafas.
Masukkan jarum / kateter secara gentle, ujung dari kateter harus tetap
berada pada vena cava, jangan sampai masuk ke dalam jantung. Teknik
pemasangan yang sering digunakan adalah teknik Seldinger, caranya
adalah dengan menggunakan mandarin yang dimasukkan melalui jarum,
jarum kemudian dilepaskan, dan kateter CVP dimasukkan melalui
mandarin tersebut. Jika kateter sudah mencapai atrium kanan, mandarin
ditarik, dan terakhir kateter disambungkan pada IV set yang telah
disiapkan dan lakukan penjahitan daerah insersi
Setelah selesai pemasangan sambungkan dengan selang yang
menghubungkan dengan IV set dan selang untuk mengukur CVP.
Lakukan fiksasi / dressing pada daerah pemasangan , agar posisi kateter
terjaga dengan baik.
Rapikan peralatan dan cuci tangan kembali
Catat laporan pemasangan, termasuk respon klien (tanda-tanda vital,
kesadaran, dll), lokasi pemasangan, petugas yang memasang, dan hasil
pengukuran CVP serta cairan yang digunakan.
Setelah dipasang, sebaiknya dilakukan foto rontgent dada untuk
memastikan posisi ujung kateter yang dimasukkan, serta memastikan tidak
adanya hemothorax atau pneumothorax sebagai akibat dari pemasangan.
6
F. Cara Pengukuran
Ada berbagai cara untuk mengukur CVP, mulai dari yang konvensional
dengan menentukan titik nol dan kemudian memperhatikan undulasi pada
manometer dan nilai dibaca pada akhir ekspirasi atau yang biasa disebut
dengan water monometer, atau dengan cara yang lebih canggih yaitu dengan
menyambungkan CVC dengan monitor sehingga nilai CVP muncul di layar
monitor, dan ada juga dengan cara membaca gelombang CVP yang muncul di
monitor. Membaca gelombang CVP ini biasa dilakukan oleh para dokter yang
berpengalaman untuk menentukan nilai CVP (Burchell, L & Powers, A,
2011).
Cara mengukur CVP dengan water monometer adalah sebagai berikut:
Mensejajarkan letak jantung (atrium kanan) dengan skala pengukur
Letak jantung dapat ditentukan dengan cara membuat garis pertemuan
antara sela iga ke empat (ICS IV) dengan garis pertengahan axilla
Menentukan nilai CVP, dengan memperhatikan undulasi pada
manometer dan nilai dibaca pada akhir ekspirasi
7
diaragma ditekan, peningkatkan jumlah aliran listrik ke amplifier-monitor.
Sistem amplifier-monitor kemudian mengubah sinyal listrik kecil yang yang
diteruskan oleh transduser ke layar pada tingkat dapat dibaca. Ada beberapa
tipe sistem amplifier-monitor yang digunakan tetapi semua mempunyai
fungsi dasar yang sama. Alat ini terdiri dari tombol on-off, sebuah digital
yang dapat dibaca dan oskiloskop untuk mendisplai tekanan, indicator untuk
mendisplai sistolik, diastolic, atau nilai tekanan rata-rata, sistem alarm
audible dengan batas tinggi dan rendah yang dapat diatur, pengontrol ukuran
atau pencapaian bentuk gelombang, dan pengontrol pengaturan dan kalibrasi.
Untuk memperoleh pengukuran yang akurat yakinkan bahwa posisi
pasien datar, dengan titik nol manometer pada setinggi area interkostal
keempat. Ketinggian ini tepat pada garis mid aksila klien dan dapat
ditentukan dengan pengukuran sekitar 5 cm di bawah sternum. Titik ini
dikenal sebagai aksis flebostatik. Konsistensi penting, dan semua pembacaan
harus dilakukan pada pasien dengan posisi yang sama dan titik nol dihitung
dengan cara yang sama. Jika penyimpangan dari prosedur yang rutin harus
dilakukan, seperti bila pasien tidak dapat mentolerir posisi datar dan
pembacaan harus dilakukan pasien dengan posisi semi fowler, ini bermanfaat
untuk mencatat pada lembar atau rencana perawatan pasien untuk
memberikan konsistensi pada pembacaan selanjutnya.
8
bentuk gelombang yang karakteristik. Pada gelombang CVP terdapat tiga
gelombang positif (a, c, dan v) yang berkaitan dengan tiga peristiwa dalam
siklus mekanis yang meningkatkan tekanan atrium dan dua gelombang (x
dan y) yang dihubungkan dengan berbagai fase yang berbeda dari siklus
jantung dan sesuai dengan gambaran EKG normal.
Gelombang a : diakibatkan oleh peningkatan tekanan atrium pada saat
kontraksi atrium kanan. Dikorelasikan dengan gelombang P pada EKG
Gelombang c : timbul akibat penonjolan katup atrioventrikuler ke dalam
atrium pada awal kontraksi ventrikel iso volumetrik. Dikorelasikan
dengan akhir gelombang QRS segmen pada EKG
Gelombang x descent : gelombang ini mungkin disebabkan gerakan ke
bawah ventrikel selama kontraksi sistolik. Terjadi sebelum timbulnya
gelombang T pada EKG
Gelombang v : gelombang v timbul akibat pengisisan atrium selama
injeksi ventrikel (ingat bahwa selama fase ini katup AV normal tetap
tertutup) digambarkan pada akhir gelombang T pada EKG
Gelombang y descendent : diakibatkan oleh terbukanya tricuspid valve
saat diastol disertai aliran darah masuk ke ventrikel kanan. Terjadi
sebelum gelombang P pada EKG.
9
Tambahkan nilai tertinggi dengan nilai terendah
Bagi hasilnya dengan 2
Hasilnya adalah nilai CVP
Gelombang A pada CVP muncul setelah gelombang P pada EKG
berakhir dan menggambarkan kontraksi atrium. Nilai yang tinggi dari
gelombang A merupakan tekanan atrium saat kontraksi maksimal.
Selama gelombang A muncul, tekanan atrium lebih besar dibandingkan
dengan tekanan diastolic ventrikel sehingga katup trikuspid terbuka dan
terjadi pengisian ventrikel.
2. Tentukan z-point.
Tentukan z-point yang muncul di pertengahan sampai akhir
kompleks QRS pada EKG
Baca z-point
Z-point muncul sebelum penutupan katup trikuspid. Oleh karena itu,
z-point merupakan indikator end diastolic pressure ventrikel kanan. Z-
point sangat berguna saat gelombang A tidak muncul, misalnya pada
atrial fibrilasi.
10
Disritmia jantung
Pembedahan leher
Insersi kawat pacemaker
H. Komplikasi
Pemasangan CVC dapat mengakibatkan timbulnya beberapa hal antara lain :
Infeksi lokal
Disritmia
Laserasi pada pembuluh darah
Perforasi ventrikel kanan
Tromboflebitis
Hematoma pada daerah pemasangan CVC
Pneumothorax
Malpositioned catheter
Emboli udara
Untuk mencegah terjadinya infeksi, Centre for Disease Control and
Prevention (CDC, 2011) memperbaharui panduan untuk pencegahan infeksi
yang disebabkan karena pemasangan kateter intravaskular. CDC membaginya
dalam dua kategori yaitu kategori IA yang sangat direkomendasikan untuk
dilakukan dan didukung oleh evidence based yang kuat dan kategori IB yang
direkomendasikan untuk dilakukan dan didukung oleh beberapa penelitian dan
teori yang kuat tetapi evidence based-nya kurang.
Menurut CDC (2011), yang termasuk dalam kategori IA adalah CVC
harusnya tidak dipasang di daerah femoral karena kemungkinan tinggi terjadinya
komplikasi, infeksi, dan trombosis iliofemoral. Jika pemasangan CVC di daerah
femur dilakukan saat keadaan darurat, ada baiknya untuk segera mengganti
lokasi pemasangan ke tempat yang lain. Selain itu, CDC mengharuskan
pemakaian sarung tangan pada saat pemasangan CVC, dan segera melepas CVC
jika tidak lagi dibutuhkan.
Kategori IB menurut CDC (2011) adalah mempertahankan kondisi steril
saat pemasangan dan perawatan CVC dan barrier precautions yang maksimal
seperti penggunaan cap, masker, gaun steril, dan sarung tangan steril. Mencuci
11
tangan dengan sabun biasa atau hand rubs yang berbasis alkohol sebelum dan
setelah palpasi lokasi pemasangan CVC, juga pada saat sebelum dan setelah
memasang, dan saat mengganti, memperbaiki, atau membersihkan lokasi
pemasangan dan kateternya.
I. Peran perawat
Perawat mempunyai peranan yang sangat penting pada klien yang
terpasang CVC. Peranan perawat dimulai dari sebelum, saat pemasangan dan
setelah CVC terpasang pada klien.
1. Sebelum pemasangan
a. Mempersiapkan alat-alat pemasangan, penusukan dan pemantauan
b. Mempersiapkan pasien yaitu memberikan penjelasan mengenai
prosedur dan tujuan pemantauan serta mengatur posisi pasien.
2. Saat pemasangan
a. Memelihara alat-alat yang digunakan selalu dalam keadaan steril
b. Memantau tanda dan gejala komplikasi yang dapat terjadi pada saat
pemasangan
c. Membuat klien merasa nyaman dan aman selama prosedur
dilakukan.
3. Setelah pemasangan
a. Mengkorelasikan nilai CVP dengan keadaan klinis klien
b. Mencatat nilai tekanan dan kecenderungan perubahan hemodinamik
c. Memantau perubahan hemodinamik setelah pemberian obat-obatan
d. Mencegah terjadinya komplikasi dan mengetahui gejala dan tanda
komplikasi
e. Memberikan rasa nyaman dan aman pada klien
f. Memastikan letak alat-alat yang terpasang pada posisi yang tepat
dengan memantau gelombang pada monitor dan monitor hasil foto
toraks
g. Mengevaluasi gelombang, menginterprestasi data, dan
mengkonsulkan pada dokter
12
BAB III
PEMBAHASAN
Dari tabel 1 di atas, dapat diketahui bahwa usia rata-rata sampel pada
penelitian ini adalah antara usia 23-82 tahun dengan 50% diantaranya adalah lelaki.
Pasien medikal 49% dan bedah 51% dengan 69% diantaranya terpasang ventilator
mekanik. 18% dari sampel penelitian merupakan pasien yang hasil pengukuran
CVP-nya harus dilaporkan kepada tim pengobatan untuk tujuan terapi.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan nilai CVP yang
diperoleh dari monitor dan nilai yang diperoleh dari dokter dengan membaca
gelombang CVP yang telah dicetak. Penelitian ini dilakukan dengan
membandingkan nilai CVP yang diperoleh dari monitor kemudian
didokumentasikan ke flow sheet dengan nilai CVP yang diperoleh dari hasil
pembacaan gelombang CVP oleh empat orang dokter yang sedang menjalani
residensi di bagian penyakit dalam dan anastesi. Rekaman gelombang CVP yang
13
diberikan kepada dokter terdiri dari gelombang CVP selama tiga kali siklus
pernapasan. Setelah selesai membaca gelombang, para dokter ini kemudian diminta
untuk menjelaskan cara mereka untuk menginterpretasikan gelombang CVP
tersebut. Hasilnya, keempat dokter tersebut menggunakan metode yang sama dalam
menginterpretasikan gelombang CVP tersebut. Nilai CVP-P dan CVP-M kemudian
dibagi dalam tiga kelompok berdasarkan resusitasi cairan dari perspektif klinik
yaitu kurang dari 8 mmHg, 8-10 mmHg, dan lebih dari 12 mmHg. Dari hasil
analisa data menggunakan SPSS 13.0, dengan menggunakan analisis Cohen,
diperoleh kesamaan antara CVP-P dan CVP-M paling tinggi pada kelompok kurang
dari 8 mmHg (93%), kemudian pada kelompok lebih dari 12 mmHg (88%), dan
yang paling rendah pada kelompok 8-12 mmHg (65.5%) Hal ini ditunjukkan dalam
tabel berikut :
Table 2. Percentage agreement for calssification of volume
resuscitation (CVP) between physician and
bedside monitor
14
Kolom kedua sampai empat menunjukkan kriteria standar yang akan
digunakan untuk menentukan resusitasi cairan berdasarkan nilai CVP hasil
pengukuran dokter. Sedangkan kolom lima sampai tujuh menunjukkan perubahan
strategi resusitasi berdasarkan nilai CVP dari monitor.
Keterbatasan penelitian ini adalah bahwa peneliti tidak menentukan salah
satu dari kedua metode pengukuran CVP yang digunakan dalam penelitian ini
sebagai kriteria standar untuk mengukur nilai CVP sehingga resusitasi cairan tidak
bisa dilakukan berdasarkan hasil penelitian ini. Empat dokter yang membaca
gelombang CVP ada dalam institusi yang sama yang memungkinkan adanya bias
yang sama pada metode interpretasi dan mengurangi variabilitas antar dokter.
Selain itu, peneliti tidak menguji kemampuan perawat dalam cara
pendokumentasian nilai CVP-M ke flow sheet. Tujuannya adalah untuk melihat
kemampuan pengambilan keputusan dokter atau perawat secara cepat dalam
kondisi tertentu. Berdasarkan Surviving Sepsis Campaign Guidelines (SSCG),
pengukuran CVP telah menjadi standar untuk manajemen pasien dengan sepsis
berat dan septik syok dan dijadikan sebagai indikator untuk terapi cairan (Dellinger,
et al., 2008). Akan tetapi, pada penelitian ini tidak banyak sampel penelitian yang
merupakan pasien dengan sepsis saat pengukuran CVP dilakukan. Seandainya
semua sampel penelitian adalah pasien sepsis, perbedaan antara nilai CVP-P dan
nilai CVP-M akan berkurang.
Terlepas dari semua keterbatasan yang dimiliki oleh penelitian ini, hasil
penelitian Jain, et al. (2010) ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai CVP
yang diperoleh dari metode pengukuran CVP dengan menggunakan monitor dan
pengukuran nilai CVP dengan menggunakan gelombang CVP. Nilai CVP yang
berbeda tentu saja memberi dampak pada strategi resusitasi cairan yang diberikan.
Berdasarkan Surviving Sepsis Campaign Guidelines (SSCG), nilai CVP normal
adalah 8-12 mmHg. Jika kurang dari 8 mmHg mengindikasikan hipovolemia dan
jika lebih dari 12 mmHg mengindikasikan kelebihan volume cairan dalam tubuh
atau hipervolemia. Pada pasien dengan sepsis berat dan septik syok, nilai CVP
harus dipertahankan pada nilai normal yaitu 8-12 mmHg (Dellinger, et al., 2013).
Penentuan strategi resusitasi cairan seperti penambahan atau pembatasan cairan
harus berdasarkan nilai CVP yang diperoleh. Hal ini mengindikasikan bahwa
15
pengukuran nilai CVP harus dilakukan dengan akurat untuk memperoleh hasil yang
akurat pula. Hasil pengukuran nilai CVP yang tidak akurat akan berdampak pada
kesalahan pemberian terapi yang bisa berdampak pada kematian (Marik, et al.
2008)
Murakawa & Kobayashi dalam Marik et al. (2011) menyatakan bahwa
hipovolemia yang tidak terkoreksi meningkatkan hipoperfusi organ dan terjadinya
iskemia. Hipervolemia yang ditunjukkan dengan nilai CVP yang tinggi pada pasien
dengan penurunan fungsi jantung dan disfungsi renal juga meningkatkan risiko
kematian (Damman, et al., 2009 ; Uthof, et al., 2010). Pemberian resusitasi cairan
yang tepat dan sesegera mungkin menurunkan kemungkinan kegagalan organ dan
memberikan hasil yang memuaskan pada proses penyembuhan pasien dengan
sepsis berat dan syok septik (Rivers, et al., 2001).
16
BAB IV
IMPLIKASI KEPERAWATAN
17
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dari jurnal yang berjudul Variability in Central
Venous Pressure Management and the Potential Impact on Fluid Management,
penulis menarik kesimpulan bahwa ada berbagai metode pengukuran CVP yaitu
dengan menggunakan water monometer, monitor, dan pembacaan gelombang
CVP. Perbedaan metode pengukuran CVP yang digunakan akan berdampak
pada nilai CVP yang diperoleh. Oleh karena itu, diperlukan kriteria standar
metode yang digunakan untuk mengukur CVP sehingga strategi terapi cairan
yang diberikan bisa cepat dan tepat.
B. Saran
Berdasarkan uraian kesimpulan di atas, penulis memberi saran sebagai
berikut :
1. Agar mahasiswa keperawatan dan perawat di Intensive Care Unit (ICU)
secara khusus diajarkan semua metode pengukuran CVP, termasuk
membaca gelombang CVP walaupun alat untuk merekam gelombang CVP
belum umum digunakan di RS di Indonesia, khususnya di RS Universitas
Hasanuddin
2. Perawat ICU memperhatikan rekomendasi CDC dalam tahap persiapan,
pemasangan, dan perawatan CVC untuk mencegah terjadinya infeksi
akibat pemasangan kateter intravaskular.
3. Penulis menyarankan agar dilakukan penelitian tentang pengukuran CVP
menggunakan water monometer dan keakuratannya dalam menentukan
nilai CVP.
18
DAFTAR PUSTAKA
19