Anda di halaman 1dari 18

KOMUNIKASI TEURAPETIK

Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang mendorong proses


penyembuhan klien. Dalam pengertian lain mengatakan bahwa komunikasi
terapeutik adalah proses yang digunakan oleh perawat memakai pendekatan
yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan pada
klien. Komunikasi terapeutik termasuk komunikasi interpersonal dengan titik
tolak saling memberikan pengertian antara perawat dengan klien. Persoalan
yang mendasar dari komunikasi ini adalah adanya saling membutuhkan
antara perawat dan klien, sehingga dapat dikategorikan ke dalam komunikasi
pribadi di antara perawat dan klien, perawat membantu dan klien menerima
bantuan.
Kualitas asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien sangat
dipengaruhi oleh hubungan perawat-klien. Bila perawat tidak
memperhatikan hal ini maka hubungan perawat-klien tersebut bukanlah
hubungan yang memberikan dampak terapeutik yang akhirnya mempercepat
proses kesembuhan tetapi lebih kepada hubungan sosial. Perawat yang
menguasai tehnik “ Komunikasi Terapeutik “ akan lebih efektif dalam
mencapai tujuan asuhn keperawatan. Dampak selanjutnya adalah
memberikan Kepuasan Profesional dalam pelayanan keperawatan dan akan
meningkatkan citra profesi serta rumah sakit.

1. Pengertian komunikasi terapeutik


Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang mendorong proses
penyembuhan klien. Dalam pengertian lain mengatakan bahwa komunikasi
terapeutik adalah proses yang digunakan oleh perawat memakai pendekatan
yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan pada
klien. Komunikasi terapeutik termasuk komunikasi interpersonal dengan titik
tolak saling memberikan pengertian antara perawat dengan klien. Persoalan
yang mendasar dari komunikasi ini adalah adanya saling membutuhkan
antara perawat dan klien, sehingga dapat dikategorikan ke dalam komunikasi
pribadi di antara perawat dan klien, perawat membantu dan klien menerima
bantuan.
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara
sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien
(Indrawati, 2003 48).
Komunikasi terapeutik termasuk komunikasi interpersonal dengan
titik tolak saling memberikan pengertian antar perawat dengan pasien.
Persoalan mendasar dan komunikasi in adalah adanya saling membutuhan
antara perawat dan pasien, sehingga dapat dikategorikan ke dalam
komunikasi pribadi di antara perawat dan pasien, perawat membantu dan
pasien menerima bantuan (Indrawati, 2003 : 48).
Komunikasi terapeutik bukan pekerjaan yang bisa dikesampingkan,
namun harus direncanakan, disengaja, dan merupakan tindakan profesional.
Akan tetapi, jangan sampai karena terlalu asyik bekerja, kemudian
melupakan pasien sebagai manusia dengan beragam latar belakang dan
masalahnya (Arwani, 2003 50).

2. Manfaat komunikasi terapeutik


Manfaat komunikasi terapeutik adalah untuk mendorong dan
menganjurkan kerja sama antara perawat dan pasien melalui hubungan
perawat dan pasien. Mengidentifikasi. mengungkap perasaan dan mengkaji
masalah dan evaluasi tindakan yang dilakukan oleh perawat (Indrawati,
2003 : 50).

3. Tujuan komunikasi terapeutik


a. Membantu pasien memperjelas dan mengurangi beban perasaan atau
pikiran sehingga dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi
yang ada.
b. Mengurangi keraguan, membantu mengambil tindakan yang efektif
dan mempertahankan kekuatan ego pasien.
c. Mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan dirinya sendiri dalam
hal peningkatan derajat kesehatan.
d. Mempererat hubungan atau interaksi antara klien dengan terapis
(tenaga kesehatan) secara profesional dan proporsional dalam rangka
membantu menyelesaikan masalah klien.
Tujuan terapeutik akan tercapai jika Perawat memiliki karakteristik
sebagai berikut:
a. Kesadaran diri terhadap nilai yang dianutnya
b. Kemampuan untuk menganalisa perasaannya sendiri.
c. Kemampuan untuk menjadi contoh peran
d. Altruistik
e. Rasa tanggung jawab etik dan moral
f. Tanggung jawab

4. Sikap perawat dalam komunikasi terapeutik


a. sikap (kehadiran) secara fisik
b. sikap (kehadiran) secara psikologis (dimensi respondan tindakan)

Menurut Egan ada Lima sikap atau cara untuk menghadirkan diri secara
fisik yang dapat memfasilitasi komunikasi yang terapeutik , yaitu :
1. Berhadapan. Maksud dari posisi ini adalah kita sudah siap melakukan
sesuatu untuk klien.
2. Mempertahankan kontak mata. Kontak mata berarti menghargai klien
dan menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi.
3. Membungkuk ke arah klien. Posisi ini menunjukkan keinginan untuk
mengatakan atau mendengar sesuatu.
4. Mempertahankan sikap terbuka, tidak melipat kaki atau tangan
menunjukkan keterbukaan untuk berkomunikasi, sebuah sikap
menerima kehadiran orang lain dalam komunikasi.
5. Tetap rileks. Tetap dapat mengontrol keseimbangan antara
ketegangan dan relaksasi dalam memberi respon kepada klien.
Selain hal-hal di atas sikap terapeutik juga dapat teridentifikasi melalui
perilaku non verbal. Stuart dan Sundeen (1998) mengatakan ada lima
kategori komunikasi non verbal, yaitu :
1. Isyarat vokal, yaitu isyarat paralingustik termasuk semua kualitas
bicara non verbal misalnya tekanan suara, kualitas suara, tertawa,
irama dan kecepatan bicara.
2. Isyarat tindakan, yaitu semua gerakan tubuh termasuk ekspresi wajah
dan sikap tubuh.
3. Isyarat obyek, yaitu obyek yang digunakan secara sengaja atau tidak
sengaja oleh seseorang seperti pakaian dan benda pribadi lainnya.
4. Ruang memberikan isyarat tentang kedekatan hubungan antara dua
orang. Hal ini didasarkan pada norma-norma social budaya yang
dimiliki.
5. Sentuhan, yaitu fisik antara dua orang dan merupakan komunikasi
non verbal yang paling personal. Respon seseorang terhadap tindakan
ini sangat dipengaruhi oleh tatanan dan latar belakang budaya, jenis
hubungan, jenis kelamin, usia dan harapan.

6. Teknik komunikasi terapetik


Teknik Komunikasi Terapeutik.
Ada dua persyaratan dasar untuk komunikasi yang efektif (Stuart dan
Sundeen, 1998) yaitu :
1. Semua komunikasi harus ditujukan untuk menjaga harga diri pemberi
maupun penerima pesan.
2. Komunikasi yang menciptakan saling pengertian harus dilakukan
lebih dahulu sebelum memberikan saran, informasi maupun masukan.
Stuart dan Sundeen, (1998) mengidentifikasi teknik komunikasi terapeutik
sebagai berikut :
1. Mendengarkan dengan penuh perhatian. Dalam hal ini perawat
berusaha mengerti klien dengan cara mendengarkan apa yang
disampaikan klien. Mendengar merupakan dasar utama dalam
komunikasi. Dengan mendengar perawat mengetahui perasaan klien.
Beri kesempatan lebih banyak pada klien untuk berbicara. Perawat
harus menjadi pendengar yang aktif.
2. Menunjukkan penerimaan.Menerima tidak berarti menyetujui,
menerima berarti bersedia untuk mendengarkan orang lain tanpa
menunjukkan keraguan atau ketidaksetujuan.
3. Menanyakan pertanyaan yang berkaitan.Tujuan perawat bertanya
adalah untuk mendapatkan informasi yang spesifik mengenai apa
yang disampaikan oleh klien.
4. Mengulangi ucapan klien dengan menggunakan kata-kata
sendiri.Melalui pengulangan kembali kata-kata klien, perawat
memberikan umpan balik bahwa perawat mengerti pesan klien dan
berharap komunikasi dilanjutkan.
5. Mengklasifikasi. Klasifikasi terjadi saat perawat berusaha untuk
menjelaskan dalam kata-kata ide atau pikiran yang tidak jelas
dikatakan oleh klien.
6. Memfokuskan.Metode ini bertujuan untuk membatasi bahan
pembicaraan sehingga percakapan menjadi lebih spesifik dan
dimengerti.
7. Menyatakan hasil observasi.Dalam hal ini perawat menguraikan kesan
yang ditimbulkan oleh isyarat non verbal klien.
8. Menawarkan informasi.Memberikan tambahan informasi merupakan
tindakan penyuluhan kesehatan untuk klien yang bertujuan
memfasilitasi klien untuk mengambil keputusan.
9. Diam.Diam akan memberikan kesempatan kepada perawat dan klien
untuk mengorganisir. Diam memungkinkan klien untuk
berkomunikasi dengan dirinya sendiri, mengorganisir pikiran dan
memproses informasi.
10. Meringkas.Meringkas pengulangan ide utama yang telah
dikomunikasikan secara singkat.
11. Memberi penghargaan.Penghargaan janganlah sampai menjadi beban
untuk klien dalam arti jangan sampai klien berusaha keras dan
melakukan segalanya demi untuk mendapatkan pujian dan
persetujuan atas perbuatannya.
12. Memberi kesempatan kepada klien untuk memulai
pembicaraan.Memberi kesempatan kepada klien untuk berinisiatif
dalam memilih topik pembicaraan.
13. Menganjurkan untuk meneruskan pembicaraan.Teknik ini
memberikan kesempatan kepada klien untuk mengarahkan hampir
seluruh pembicaraan.
14. Menempatkan kejadian secara berurutan.Mengurutkan kejadian
secara teratur akan membantu perawat dan klien untuk melihatnya
dalam suatu perspektif.
15. Memberikan kesempatan kepada klien untuk menguraikan
persepsinya,Apabila perawat ingin mengerti klien, maka perawat
harus melihat segala sesuatunya dari perspektif klien.
16. Refleksi.Refleksi memberikan kesempatan kepada klien untuk
mengemukakan dan menerima ide dan perasaannya sebagai bagian
dari dirinya sendiri.

SUMBER:
Cangara, Hafid. (2006), Pengantar Ilmu Komunikasi, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta
Ellis,R.,Gates, R, & Kenworthy,N. (2000). Komunikasi Interpersonal Dalam
Keperawatan: Teori dan Praktik.Alih Bahasa :Susi Purwoko. Jakarta,EGC.
Keliat, B.A. (2002), Hubungan Terapeutik Perawat-Klien, EGC, Jakarta.
Notoatmodjo, S 1997, Ilmu Perilaku dan komunikasi Kesehatan, Rineka Cipta,
Jakarta
Purwanto, H. (1998). Komunikasi untuk Perawat. EGC, Jakarta.
Kesehatan Maternal dan Neonatal, Jakarta.
Stuart.G.W. & Sundeen.S.J.(1998) . Buku Saku Keperawatan Jiwa.Alih Bahasa:
Achir Yani S. Hamid. ed ke-3. Jakarta, EGC
Suryani. (2005). Komunikasi Terapeutik Teori & Praktek. Jakarta, EGC.

6. Pengembangan komunikasi terapetik


7. Tahapan hubungan terapetik perawat klien
Dalam membina hubungan terapeutik (berinteraksi) dengan pasien, perawat
mempunyai empat tahapan yang pada setiap tahapnya mempunyai tugas
yang berbeda-beda dan harus diselesaikan oleh perawat (Stuart dan Sundeen,
dalam Christina, dkk, 2003) :

1. Tahap persiapan (Prainteraksi)


Tahap Persiapan atau prainteraksi sangat penting dilakukan sebelum
berinteraksi dengan klien (Christina, dkk, 2002). Pada tahap ini perawat
menggali perasaan dan mengidentifikasi kelebihan dan kekurangannya, juga
mencari informasi tentang klien. Kemudian perawat merancang strategi
untuk pertemuan pertama dengan klien. Tahap ini harus dilakukan oleh
perawat untuk memahami dirinya dan menyiapkan diri (Suryani, 2005).

Tugas perawat pada tahap ini antara lain:


Mengeksplorasi perasaan, harapan, dan kecemasan. Sebelum berinteraksi
dengan klien, perawat perlu mengkaji perasaannya sendiri (Stuart, G.W
dalam Suryani, 2005). Perasaan apa yang muncul sehubungan dengan
interaksi yang akan dilakukan. Apakah ada perasaan cemas? Apa yang
dicemaskan? (Suryani, 2005).
Menganalisis kekuatan dan kelemanhan sendiri. Kegiatan ini sangat penting
dilakukan agar perawat mampu mengatasi kelemahannya secara maksimal
pada saat berinteraksi dengan klien. Misalnya seorang perawat mungkin
mempunyai kekuatan mampu memulai pembicaraan dan sensitif terhadap
perasaan orang lain, keadaan ini mungkin bisa dimanfaatkan perawat untuk
memudahkannya dalam membuka pembicaraan dengan klien dan membina
hubungan saling percaya (Suryani, 2005).

Mengumpulkan data tentang klien. Kegiatan ini juga sangat penting karena
dengan mengetahui informasi tentang klien perawat bisa memahami klien.
Paling tidak perawat bisa mengetahui identitas klien yang bisa digunakan
pada saat memulai interaksi (Suryani, 2005).

Merencanakan pertemuan yang pertama dengan klien. Perawat perlu


merencanakan pertemuan pertama dengan klien. Hal yang direncanakan
mencakup kapan, dimana, dan strategi apa yang akan dilakukan untuk
pertemuan pertama tersebut (Suryani, 2005).

2. Tahap perkenalan (Orientasi)


Perkenalan merupakan kegiatan yang dilakukan saat pertama kali bertemu
atau kontak dengan klien (Christina, dkk, 2002). Pada saat berkenalan,
perawat harus memperkenalkan dirinya terlebih dahulu kepada klien
(Brammer dalam Suryani, 2005). Dengan memperkenalkan dirinya berarti
perawat telah bersikap terbuka pada klien dan ini diharapkan akan
mendorong klien untuk membuka dirinya (Suryani, 2005). Tujuan tahap ini
adalah untuk memvalidasi keakuratan data dan rencana yang telah dibuat
dengan keadaan klien saat ini, serta mengevaluasi hasil tindakan yang lalu
(Stuart, G.W dalam Suryani, 2005).

Tugas perawat pada tahap ini antara lain:


Membina rasa saling percaya, menunjukkan penerimaan, dan komunikasi
terbuka. Hubungan saling percaya merupakan kunci dari keberhasilan
hubungan terapeutik (Stuart, G.W dalam Suryani, 2005), karena tanpa adanya
rasa saling percaya tidak mungkin akan terjadi keterbukaan antara kedua
belah pihak. Hubungan yang dibina tidak bersifat statis, bisa berubah
tergantung pada situasi dan kondisi (Rahmat, J dalam Suryani 2005). Karena
itu, untuk mempertahankan atau membina hubungan saling percaya perawat
harus bersikap terbuka, jujur, ikhlas, menerima klien apa adanya, menepati
janji, dan menghargai klien (Suryani, 2005).

Merumuskan kontrak pada klien (Christina, dkk, 2002). Kontrak ini sangat
penting untuk menjamin kelangsungan sebuah interaksi (Barammer dalam
Suryani, 2005). Pada saat merumuskan kontrak perawat juga perlu
menjelaskan atau mengklarifikasi peran-peran perawat dan klien agar tidak
terjadi kesalah pahaman klien terhadap kehadiran perawat. Disamping itu
juga untuk menghindari adanya harapan yang terlalu tinggi dari klien
terhadap perawat karena klien menganggap perawat seperti dewa penolong
yang serba bisa dan serba tahu (Gerald, D dalam Suryani, 2005). Perawat
perlu menekankan bahwa perawat hanya membantu, sedangkan kekuatan
dan keinginan untuk berubah ada pada diri klien sendiri (Suryani, 2005).

Menggali pikiran dan perasaan serta mengidentifikasi masalah klien. Pada


tahap ini perawat mendorong klien untuk mengekspresikan perasaannya.
Dengan memberikan pertanyaan terbuka, diharapkan perawat dapat
mendorong klien untuk mengekspresikan pikiran dan perasaannya sehingga
dapat mengidentifikasi masalah klien. merumuskan tujuan dengan klien.
Perawat perlu merumuskan tujuan interaksi bersama klien karena tanpa
keterlibatan klien mungkin tujuan sulit dicapai. Tujuan ini dirumuskan
setelah klien diidentifikasi.

Fase orientasi, fase ini dilaksanakan pada awal setiap pertemuan kedua dan
seterusnya, tujuan fase ini adalah memvalidasi keakuratan data, rencana yang
telah dibuat dengan keadaan klien saat ini, dan mengevaluasi hasil tindakan
yang lalu. Umumnya dikaitkan dengan hal yang telah dilakukan bersama
klien (Cristina, dkk, 2002).

3. Tahap kerja
Tahap kerja ini merupakan tahap inti dari keseluruhan proses komunikasi
terapeutik (Stuart, G.W dalam Suryani, 2005). Pada tahap ini perawat dan
klien bekerja bersama-sama untuk mengatasi masalah yang dihadapi klien.
Pada tahap kerja ini dituntut kemampuan perawat dalam mendorong klien
mengungkap perasaan dan pikirannya. Perawat juga dituntut untuk
mempunyai kepekaan dan tingkat analisis yang tinggi terhadap adanya
perubahan dalam respons verbal maupun nonverbal klien.

Pada tahap ini perawat perlu melakukan active listening karena tugas perawat
pada tahap kerja ini bertujuan untuk menyelesaikan masalah klien.
Melalui active listening, perawat membantu klien untuk mendefinisikan
masalah yang dihadapi, bagaimana cara mengatasi masalahnya, dan
mengevaluasi cara atau alternatif pemecahan masalah yang telah dipilih.

Perawat juga diharapkan mampu menyimpulkan percakapannya dengan


klien. Tehnik menyimpulkan ini merupakan usaha untuk memadukan dan
menegaskan hal-hal penting dalam percakapan, dan membantu perawat-klien
memiliki pikiran dan ide
yang sama (Murray, B & Judth dalam Suryani, 2005). Tujuan tehnik
menyimpulkan adalah membantu klien menggali hal-hal dan tema emosional
yang penting (Fontaine & Fletcner dalam Suryani, 2005)

4. Tahap terminasi
Terminasi merupakan akhir dari pertemuan perawat dengan klien (Christina,
dkk, 2002). Tahap ini dibagi dua yaitu terminasi sementara dan terminasi
akhir (Stuart, G.W dalam Suryani, 2005). Terminasi sementara adalah akhir
dari tiap pertemuan perawat-klien, setelah terminasi sementara, perawat akan
bertemu kembali dengan klien pada waktu yang telah ditentukan. Terminasi
akhir terjadi jika perawat telah menyelesaikan proses keperawatan secara
keseluruhan.

Tugas perawat pada tahap ini antara lain:


Mengevaluasi pencapaian tujuan dari interaksi yang telah dilaksanakan.
Evaluasi ini juga disebut evaluasi objektif. Dalam mengevaluasi, perawat
tidak boleh terkesan menguji kemampuan klien, akan tetapi sebaiknya
terkesan sekedar mengulang atau
menyimpulkan.

Melakukan evaluasi subjektif. Evaluasi subjektif dilakukan dengan


menanyakan perasaan klien setelah berinteraksi dengan perawat. Perawat
perlu mengetahui bagaimana perasaan klien setelah berinteraksi dengan
perawat. Apakah klien merasa bahwa interaksi itu dapat menurunkan
kecemasannya? Apakah klien merasa bahwa interaksi itu ada gunanya? Atau
apakah interaksi itu justru menimbulkan masalah baru bagi klien.

Menyepakati tindak lanjut terhadap interaksi yang telah dilakukan. Tindakan


ini juga disebut sebagai pekerjaan rumah untuk klien. Tindak lanjut yang
diberikan harus relevan dengan interaksi yang akan dilakukan berikutnya.
Misalnya pada akhir interaksi klien sudah memahami tentang beberapa
alternative mengatasi marah. Maka untuk tindak lanjut perawat mungkin bisa
meminta klien untuk mencoba salah satu dari alternative tersebut.

Membuat kontrak untuk pertemuan berikutnya. Kontrak ini penting dibuat


agar terdapat kesepakatan antara perawat dan klien untuk pertemuan
berikutnya. Kontrak yang dibuat termasuk tempat, waktu, dan tujuan
interaksi.

Stuart G.W. (1998) dalam Suryani (2005), menyatakan bahwa proses terminasi
perawat-klien merupakan aspek penting dalam asuhan keperawatan,
sehingga jika hal tersebut tidak dilakukan dengan baik oleh perawat, maka
regresi dan kecemasan dapat terjadi lagi pada klien. Timbulnya respon
tersebut sangat dipengaruhi oleh kemampuan perawat untuk terbuka, empati
dan responsif terhadap kebutuhan klien
pada pelaksanaan tahap sebelumnya.

8. Penerapan strategi komunikasi dalam hubungan terepetik perawatklien

10. Hambatan komunikasi terapetik


11. Penerapan komunikasi terapetik secara psikologis

1.Hubungan komunikasi terapetik dalam proses keperawatan


2. Pengalaman komunikasi terapetik dalam setiap proses keperawatan
3. Penggunaan komunikasi terapetik dalam wawancara keperawatan
4. Penerapan strategi (Sp) komunikasi pada setiap tahap proses keperawatan:
pengkajian, diagnosis, perencanaan, implimentasi dan evaluasi
5. Penerapan strategi komunikasi dalam hubungan perawat-klien

Perkembangan komunikasi pada bayi dn anak


PERKEMBANGAN KOMUNIKASI PADA BAYI DAN ANAK

1. Masa bayi (0-1 tahun)


Bayi belum dapat mengekspresikan perasaan dan pikirannya dengan kata –
kata oleh karena itu, komunikasi pada bayi lebih banyak menggunakan
komunikasi nonverbal. Pada saat lapar, haus, basah, dan perasaan yang tidak
nyaman lainnya, bayi hanya bisa mengekspresikan dengan cara menangis.
Walau demikian, sebenarnya bayi dapat berespon terhadap tingkah laku
orang dewasa yang berkomunikasi dengannya secara nonverbal, misalnya
memberikan sentuhan, mendekap, menggendong, berbicara dengan lemah
lembut.

Ada beberapa respon nonverbal yang bisa ditunjukkan bayi, misalnya


menggerakkan badan, tangan, dan kaki. Hal ini terutama terjadi pada bayi
usia kurang dari enam bulan sebagai cara menarik perhatian orang. Stranger
anxiety atau cemas dengan orang asing yang tidak dikenalnya adalah ciri
perilaku pada bayi usia lebih dari enam bulan., dan perhatiannya berpusat
pada ibunya. Oleh karena itu, perhatikan saat berkomunikasi dengannya.
Jangan langsung ingin menggendong atau memangkunya karena bayi aakan
merasa takut. Lakukan komunikasi terlebih dahulu dengan ibunya, dan/atau
mainan yang dipegangnya. Tunjukkan bahwa kita ingin membina hubungan
yang baik denganya dan ibunya.
( Yupi Supartini, 2004 : 81-82)
2. Masa Balita (sampai 5 tahun)
Karakteristik anak usia balita (terutama anak usia di bawah tiga tahun)
mempunyai sikap egosentris,. Selain itu, anak juga memiliki perasaan takut
pada ketidaktahuannya sehingga anak perlu diberi tahu apa yang akan terjadi
padanya.

Dari aspek bahasa, anak belum mampu berbicara fasih. Oleh karena itu saat
menjelaskan, gunakan kata – kata yang sederhana, singkat dan gunakan
istilah yang dikenalnya. Posisi tubuh yang baik saat berbicara padanya adalah
jongkok, duduk dukursi kecil, atau berlutut sehingga pandangan mata kitz
akan sejajar denganya.
( Yupi Supartini, 2004 : 83-84)

3. Anak Usia 5 sampai 8 tahun


Anak usia ini sangat peka terhadap stimulus yang dirasakannya akan
mengancam keutuhan tubuhnya. Oleh karena itu, apabila perawat akan
melakukan suatu tindakan, ia akan bertanya mengapa dilakukan, untuk apa,
dan bagaimana caranya dilakukan ? anak membutuhkan penjelasan atas
pertanyaanya. Gunakan bahasa yang dapat dimengerti anak dan berikan
contoh yang jelas sesuai dengan kemampuan kognitifnya. ( Yupi Supartini,
2004 : 84)

4. Anak usia 8 sampai 12 tahun


Anak usia sekolah sudah lebih mampu berkomunikasi dengan orang dewasa.
Perbendaharaan kata sudah lebih banyak dikuasai dan anak sudah mampu
berpikir secara konkret. Apabila akan melakukan tindakan, perawat dapat
menjelaskanya dengan mendemontrasikan pada mainan anak. Misalnya,
bagaimana perawat akan menyuntik diperagakan terlebih dahulu pada
bonekanya. ( Yupi Supartini, 2004: 84)

5. Anak usia remaja

Seperti telah disebutkan pada beberapa bagian di kegiatan belajar


sebelumnya, fase remaja adalah masa transisi atau peralihan dari akhir masa
kanak-kanak menuju masa dewasa. Dengan demikian, pola pikir dan tingkah
lakunya merupakan peralihan dari anak-anak menjadi orang dewasa juga.
Anak harus diberi kesempatan untuk belajar memecahkan masalah secara
positif. Apabila anak merasa cemas atau stress jelaskan bahwa ia dapat
mengajak bicara teman sebayanya dan/ atau orang dewasa yang ia percaya,
termasuk perawat yang selalu bersedia menemani dan mendengarkan
keluhanya. Menghargai keberadaan identitas diri dan harga dirinya
merupakan hal yang prinsip untuk diperhatikan dalam berkomunikasi,
tunjukka ekspresi wajah yang bersahabat denganya, jangan memotong
pembicaraan saat ia sedang mengekspresikan perasaan dan pikiranya, dan
hindari perkataan yang menyinggung harga dirinya. Kita harus menghormati
privasinya dan beri dukungan pada apa yang telah dicapainya secara positif
dengan selalu memberikanya penguatan positif (misalnya, memberi pujian). (
Yupi Supartini, 2004 : 84-85)

3. Bentuk komunikasi prabicara


4. 1. Tangisan
5. Tangisan kelahiran bayi yang memecahkan kesunyian, membuat
sebaris senyum kesyukuran terpancar pada wajah seorang ibu.
Tangisan seorabng bayi merupakan bentuk komunikasi dari seorang
bayi kepada orang dewasa dimana dengan tangisan itu, bayi dapat
memberikan pasan dan orang dewasa menangkap pesan yang
diberikan sang bayi.
6.
7. Pada awal kehidupan paska lahir, menangis merupakan salah satu
cara pertama yang dapat dilakukan bayi untuk berkomunikasi dengan
dunia luar. Melalui tangisan dia memberi tahu kebutuhannya seperti
lapar, dingin, panas, lelah, dan kebutuhan untuk diperhatikan. Bayi
hanya akan menangis bila yia merasa sakit atau tertekan. Bayi yang
sehat dan normal frekuensi tangisan menurun pada usia enam bulan
karena keinginan dan kebutuhan mreka cukup terpenuhi. Frekuensi
tangis seharusnya menurun sejalan dengan meningkatnya
kemampuan bicara.
8.
Perawat harus banyak berlatih mengenal macam – macam arti
tangisan bayi untuk memenuhi kebutuhannya dan mengajarkan
kepada ibu, karena ibu muda memerlukan bantuan ini.

2. Ocehan dan celoteh


9. Bentuk komunikasi prabicara disebut “ocehan” (cooing) atau
“celoteh” (babbling). Ocehan timbul karena bunyi eksplosif awal yang
disebabakan oleh perubahan gerakan mekanisme ‘suara’. Ocehan ini
terjadi pada bulan awal kehidupan bayi seperti : merengek, menjerit,
menguap, bersin, menangis dan mengeluh.
10. Sebagian ocehan akan berkembang menjadi celoteh dan sebagian akan
hilang. Sebagian bayi mulai berceloteh pada awal bulan kedua,
kemudian meningkat cepat antara bulan ke enam dan kedelapan.
Celoteh merupakan indikator mekanisme perkembangan otot saraf
bayi.
11.
12. Nilai celoteh :
a) Berceloteh adalah praktek verba sebagsi dasar perkembangan
gerakan terlatih yang dikehendaki dalam bicara. Celoteh
mempercepat ketrampilan berbicara.

b) Celoteh mendorong keinginan berkomunikasi dengan orang


lain. Berceloteh membantu bayi merasakan bahwa dia merupakan
kelompok sosial.

3. Isyarat
Yaitu gerakan anggota badan tertentu yang berfungsi sebagai
pengganti atau pelengkap bicara. Bahasa isyarat bayi dapat
mempercepat komunikasi dini pada anak.

Contoh :
a) Mendorong puting susu dari mulut artinya kenyang atau tidak
lapar.
b) Tersenyum dan mengacungkan tangan yang berarti ingin
digendong
c) Menggeliat, meronta, menangis pada saat ibu mengenakan
pakaiannya atau memandikannya. Hal ini berarti bayi tidak suka akan
pembatasan gerak.

4. Ungkapan emosional
Adalah melalui perubahan tubuh dan roman muka.
Contoh :
13. a) Tubuh yang mengejang atau gerakan – gerakan tangan atau
kaki disertai jeritan dan wajah tertawa adalah bentuk ekspresi
kegembiraan pada bayi.
14.
15. b) Menegangkan badan, gerakan membanting tangan atau kaki,
roman muka tegang dan menangis adlah bentuk ungkapan marah
atau tidak suka.(Kemenkes,2013)

4. Peran bicara dalam komunikasi

Pada Bayi

a) Merupakan ungkapan sayang pada bayi


b) Mengajak bicara bayi akan merangsang kinerja saraf otak dan
merangsang pendengaran
untuk merangsang pada indra pendengaran
c) Membuat rasa nyaman pada bayi sehingga bayi tidak merasa diabaikan
dan merasa selalu
diperhatikan.
d) Melatih bayi untuk mengucapkan kata-kata sederhana, sehingga lambat
laun bayi akan menirukanya

2. Pada Anak

a) Persiapan Fisik
Persiapan ini tergantung pada pertumbuhan dan perkembangan anak,
terutama dalam kematanganan mekanisme bicara. Pertumbuhan organ-organ
bicara yang kurang sempurna sangat mempengaruhi kemampuan bicara
anak.

b) Persiapan Mental
Tergantung pada kematangan otak ( asosiasi otak), yang berkembang 1-18
bulan, saat yang tepat diajak bicara. Meskipun bayi tidak bisa merespon
dengan kata-kata, namun suara atu bicara yang kita tunjukkan pada bayi bayi
akan menjadi stimulus bayi dan akan direspon dengan bahasanya sendiri,
misalnya dengan senyum atau tertawa.

c) Motivasi dan Tantangan


Ajaran dan dorongan bayi untuk mengucapkan dan apa yang bisa diucapkan
oleh bayi. Dalam hal ini perlu disadari bahwa yang diucapkan bayi belum
sempurna, mungkin yang keluar baru berupa suara-suara atau kata-kata yang
belum jelas sehingga butuh kesabaran dan ketelatenan dalam mengajarkan
bicara kepada bayi atau anak.

d) Model Untuk Ditiru


Salah satu faktor yang mempengaruhi kemapuan bicara adalah stimulus
suara. Ucapan-ucapan yang sering kita sampaikan kepada bayi menjadi
model yang bisa ditiru oleh bayi pada perkembangan bicara selanjutnya.
Dengan demikian ucapan yang kita sampaikan hendaknya ucapan yang baik
dan mendidik.

e) Bimbingan
Upaya untuk membantu ketrampilan bicara anak dapat dilakukan dengan
cara : menyediakan model yang baik, mengatakan dengan perlahan dan jelas,
serta membetulkan kesalahan yang diucapkan anak.

f) Kesempatan Praktek Atau Untuk Berlatih


Agar bayi atau anak dapat segera bicara, maka bayi perlu diajarkan atau
diberikan untuk meniru kata-kata yang sering kita ucapkan.

5. Teknik komunikasi dengan bayi


 TEKHNIK KOMUNIKASI DENGAN BAYI DAN ANAK :
TEKHNIK VERBAL DAN NON VERBAL

1. Teknik Verbal

a) Melalui orang atau pihak ketiga


 Khususnya mengahadapi anak usia bayi dan todler, hindari
berkomunikasi secara langsung pada anak, melainkan gunakan pihak
ketiga yaitu dengan cara berbicara terlebih dahulu dengan orang
tuanya yang sedang berapa disampingnya, mengomentari pakaian
yang sedang dikenakanya. Hal ini pada dasarnya adalah untuk
menanamkan rasa percaya anak pada perawatan terlebih dahulu
sebelum melakukan tindakan yang menjadi tujuan.
 (Yupi Supartini, 2004 : 86)

b) Bercerita sebagai alat komunikasi


 Dengan bercerita kita bisa menyampaikan pesan tertentu pada anak
misalnya, bercerita tentang anak pintar dan saleh yang sedang sakit
yang mematuhi nasihat orang tua dan perawat sehingga diberi
kesembuhan oleh ALLAH Yang Mahaesa. Jadi, ini cerita harus
disesuaikan dengan kondisi anak dan pesan yang ingin kita
sampaikan kepada anak. selama bercerita gunakan bahasa yang
sederhana dan mudah dimengerti anak. penggunaan gambar-gambar
yang menarik dan lucu saat bercerita akan membuat penyampaian
cerita lebih menarik bagi anak sehingga pesan yang ingin disampaikan
dapat diterima anak secara efektif. (Yupi Supartini, 2002 : 86-87)

c) Fasilitasi anak untuk berespons
 Satu hal yang penting yang harus diingat, selama berkomunikasi
jangan menimbulkan kesan bahwa hanya kita yang dominan berbicara
pada anak, tetapi fasilitasi juga anak untuk berespons terhadap pesan
yang kita sampaiakan. Dengarkan ungkapanya dengan baik, tetapi
hati-hati dalam merefleksikan ungkapan yang negatif. Misalnya, saat
anak bicara, “saya mau pulang, saya tidak ada suka tinggal di rumah
sakit “. Untuk merespons perkataan anak seperti ini katakan, “ tentu
saja kamu akan pulang jika... supaya kamu senang berada dirumah
sakit bagaimana kalau kita buat permainan yang lain setiap harinya.
Suster akan merencanakanya kalau kamu setuju.
 (Yupi Supartini, 2002 : 87)

d) Meminta anak untuk menyebutkan keinginanya


 Untuk mengetahui apa yang sedang dikeluhkan anak, minta anak
untuk menyebutkan keinginanya. Katakan apabila suster menawarkan
pilihan keinginan, apa yang paling diinginkan anak saat itu.
Keinginan yang diungkapkanya akan meningkatkan perasaan dan
pikirannya saat itu sehingga dapat mengetahui masalah dan potensial
yang dapat terjadi pada anak. (Yupi Supartini, 2002 : 87)

e) Biblioterapi
 Buku atau majalah dapat juga digunakan untuk membantu anak
mengekspresikan pikiran dan perasaanya. Bantu anak
mengekspresikan perasanya dengan menceritakan isi buku atau
majalah. Untuk itu perawat harus tahu terlebih dahulu ini dari buku
atau majalah tersebut dan simpulkan pesan yang ada didalamnya
sebelum bercerita pada anak.
 (Yupi Supartini, 2002 : 87)

f) Pilihan pro dan kontra


 Cara lain untuk mengetahui perasaan dan pikiran anak adalah dengan
mengajukan satu situasi, biarkan anak menyimak dengan baik,
kemudian mintalah anak untuk memulihkan hal yang positif dan
negatif memuat pendapatnya dari situasi tersebut. (Yupi Supartini,
2002 : 88)

g) Penggunaan skala peringkat
 Skala peringkat digunakan untuk mengkaji kondisi tertentu, misalnya
mengkaji intensitas nyeri. Skala peringkat dapat berkisar antara 0 pada
satu titik ekstrim dan 10 pada satu titik ekstrim lainya. Nilai tingkat
nyeri 1 sampai lima. Kemudian kita tentukan kondisi anak berada
pada angka berapa saat mengungkapkan perasaan sedih, nyeri, dan
cemas tersebut.
 0 diartikan sebagai perasaan skala tidak nyeri
1-2 diartikan sebagai skala nyeri ringan
Lebih dari 3-7 diartikan sebagai skala nyeri sedang
Lebih dari 7- 9 diartikan nyeri yang sangat berat
Lebih dari 9-10 diartikan nyeri yang sangat hebat
(Yupi Supartini, 2002 : 88)
2. Teknik Non Verbal

a) Menulis
 Menulis adalah pendekatan komunikai yang secara efektif tiadak saja
dilakukan pada anak tetapi juga pada remaja.

 Perwat dapat memulai komunikasi dengan anak dengan cara
memeriksa atau menyelidiki tentang tulisan dan mungkin juga
meminta untuk membaca beberapa bagian. Dengan menulis perawat
dapat mengetahui apa yang dipikirkan anak dan bagaimana perasaan
anak.

b) Menggambar
 Teknik ini dilakukan dengan cara meminta anak untuk
menggambarkan sesuatu terkait dengan dirinya, misalnya perasaan,
apa yang dipikirkan, keinginan.

 Pengembangan dari teknik menggambar ini adalah anak dapat
menggambarkan keluarganya dan dilakukan secara bersama antara
keluarga (ibu/ayah) dengan anak.

c) Kontak mata, postur dan jarak fisik
 Pembicaraan atau komunikasi akan teras lancar dan efektif jika kitan
sejajar. Saat berkomunikasi dengan anak, sikap ini dapat dilakukan
dengan cara membungkuk atau merendahkan posisi kita sejajar
dengan anak. dengan posisi sejajar akan memungkinkan kita dapat
memungkinkan kontak mata dengan anak dan mendengarkan secara
jelas apa yang dikomunikasikan anak.

d) Ungkapan marah
 Anak mengungkapakan perasaan marahnya dan dengarkanlah
dengan baik dan penuh perhatian apa yang menyebabkan ia merasa
jengkel dan marah. Untuk memberikan ketenangan anak pada saat
marah, duduklah dekat dia, pegang tangannya atau pundaknya atau
peluklah dia.

e) Sentuhan
 Adalah kontak fisik yang dilakukan dengan cara memegang sebagian
tangan atau bagian tubuh anak misalnya pundak, usapan di kepala,
berjabat tangan atau pelukan, bertujuan untuk memberikan perhatian
dan penguatan terhadap komunikasi yang dilakukan antara anak dan
orang tua. (Kemenkes, 2013)
5. Penerapan strategi pelaksanaan Komunikasi terapetik pada bayi
PENERAPAN STRATEGI PELAKSANAAN KOMUNIKASI
TERAPEUTIK PADA BAYI DAN ANAK

1. Penerapan komunikasi pada bayi (0-1 tahun)

Bayi terlahir dengan kemampuan menangis karena dengan cara itu mereka
berkomunikasi. Bayi menyampaikan keinginanya melalui komunikasi non
verbal. Bayi akan tampak tenang dan merasa nyaman dan aman jika ada
kontak fisik yang dekat terutama dengan orang yang dikenalnya (ibu).
Tangisan bayi itu adalah cara bayi memberitahukan bahwa ada sesuatu yang
tidak enak dia rasakan, lapar, popok basah, kedinginan,lelah dan lain-lain.
(Kemenkes, 2013 :14-15)

2. Penerapan komunikasi pada kelompok todler (1-3 tahun) dan


prasekolah (3-6 tahun)

Pada usia ini, anak sudah mampu berkomunikasi secara verbal maupun non
verbal. Ciri khas kelompok ini adalah egosentris, dimana mereka melihat
segala sesuatu hanya berhubungan dengan dirinya sendiri dan melihat segala
sesuatu dengan sudut pandangnya sendiri.

Contoh penerapan komunikasi dalam perawatan :


a) Memberitahu apa yang terjadi pada diri anak
b) Memberikan kesempatan pada anak untuk menyentuh alat
pemeriksaan yang akan digunakan
c) Nada suara rendah dan bicara lambat. Jika tidak menjawab harus
diulang lebih jelas dengan
pengarahan yang sederhana
d) Hindarkan sikap mendesak untuk dijawab seperti kata-kata “jawab
dong”
e) Mengalihkan aktifitas saat komunikasi misalnya dengan memberikan
mainan saat komunikasi
f) Menghindari konfrontasi langsung
g) Jangan sentuh anak tanpa disetujui dari anak
h) Bersalam dengan anak saat memulai interaksi, karena bersalaman
dengan anak merupakan cara
untuk menghilangkan perasaan cemas
i) Mengajak anak menggambar, menulis atau bercerita untuk menggali
perasaan dan fikiran anak.
(Kemenkes, 2013 :15-16)

3. Komunikasi pada usia sekolah (7-11 tahun)

Pada masa anak akan banyak mencari tahu terhadap hal-hal baru dan akan
belajar menyelesaikan masalah yang dihadapinya berdasarkan pengetahuan
yang dimilikinya, berani mengajukan pendapat dan melakukan klarifikasi
yang tidak jelas baginya.
Contoh penerapan komunikasi dalam keperawatan
a) Memperhatikan tingkat kemampuan bahasa anak dengan
menggunakan kata-kata sederhana
yang spesifik
b) Menjelaskan sesuatu yang ingin diketahui anak
c) Pada usia ini keingintahuan pada aspek fungsional dan prosedural dari
objek tertentu sangat tinggi,
maka jelaskan arti, fungsi dan prosedurnya
d) Jangan menyakiti atau mengancam sebab ini akan membuat anak tidak
mampu berkomunikasi
secara afektif.
(Kemenkes, 2013 :17)

1.Perkembangan komunikasi terapeutik pada anak


2. Bentuk komunikasi prabicara
3. Peran bicara dalam komunikasi
4. Tekhnik komunikasi dengan anak
a. Teknik verbal
b. Teknik non verbal
5. Penerapan strategi pelaksanaan komunikasi terapetik pada bayi
6. Penerapan strategi pelaksanaan komunikasi terapetik pada anak

Komunikasi pada orang dewasa


1Karakteristik orang dewasa
2. Teknik komunikasi terapetik
3. Pendekatan pada orang dewasa
4. Teknik komunikasi terapetik pada orang dewasa

Anda mungkin juga menyukai