A. Definisi
Anemia adalah berkurangnya kadar Hb dalam darah sehingga terjadi gangguan perfusi
O2 ke jaringan tubuh. Disebut gravis yang artinya berat dan nilai Hb di bawah 7 g/dl
sehingga memerlukan tambahan umumnya melalui transfusi. Anemia adalah berkurangnya
hingga di bawah nilai normal sel darah merah, kualitas hemoglobin dan volume packed red
bloods cells (hematokrit) per 100 ml darah (Price, 2006 : 256).
B. Etiologi
1. Anemia Micrositik Hipokrom
a. Anemia Defisiensi Besi
Disebabkan :
1) Asupan besi dalam makanan kurang
2) Perdarahan kronik
3) Gangguan absorbsi sedangkan kebutuhan meningkat
4) Pada anak-anak karena besi dalam susu dan makanan berkurang
b. Anemia Penyakit Kronik
Disebabkan :
1) Penyakit-penyakit infeksi seperti infeksi ginjal, infeksi paru dan lain-lain
2) Infeksi kronik seperti artrisis keumatia dan neoplasma
2. Anemia Macrositik (Anemia Megaloblastik)
a. Anemia Defisiensi Vitamin B12
Disebabkan oleh faktor :
1) Intrinsik
Karena gangguan absorbsi vitamin yang merupakan penyakit herediter autoimun
2) Ekstrinsik
Karena kekurangan masukan vitamin B12
b. Anemia Defisiensi Asam Folat
Disebabkan :
1) Asupan asam folat dalam makanan kurang
2) Masa absorbsi asam folat
3) Kebutuhan asam folat meningkat
4) Eksresi asam folat lebih dalam urine
5) Obat-obatan anti konvulsan dan sitostatik tertentu.
3. Anemia karena Perdarahan
Disebabkan :
a. Perdarahan akibat persalinan
b. Perdarahan menahun seperti pada penyakit cacingan dan sebagainya.
4. Anemia Hemolitik
Disebabkan 2 faktor :
a. Faktor Intrinsik
1) Kelainan membran seperti sterositosis heriditer.
2) Kelainan glikolisis seperti defisiensi piruvat kinase.
3) Kelainan enzim seperti defisiensi GG PD.
4) Hemoglobinopati seperti anemia sel sabit.
b. Faktor Ekstrinsik
1) Gangguan sistem imun
2) Mikroargiopati seperti NID
3) Infeksi seperti akibat plasmodium
4) Hipersplenisme
5) Luka bakar
5. Anemia Aplastik
Disebabkan 2 faktor :
a. Faktor Kongenital
Karena kelainan bawaan seperti sindrom fanconi disertai microsefali strabismus,
anomali jari.
b. Faktor yang didapat :
1) Bahan kimia, benzene, insektisida, senyawa Pb.
2) Obat-obatan : kloramfenikal, mesantoin, piri benzamin.
3) Radiasi
4) Faktor individu : alergi terhadap obat
5) Infeksi, keganasan, gangguan endokrin
C. Manifestasi Klinis
Secara umum gejala klinis anemia yang muncul merefleksikan gangguan fungsi dari
berbagai sistem dalam tubuh antara lain penurunan kinerja fisik, gangguan neurologik
(syaraf) yang dimanifestasikan dalam perubahan perilaku, anorexia (badan kurus
kerempeng), pica, serta perkembangan kognitif yang abnormal pada anak. Sering pula terjadi
abnormalitas pertumbuhan, gangguan fungsi epitel, dan berkurangnya keasaman lambung.
Cara mudah mengenal anemia dengan 5L, yakni lemah, letih, lesu, lelah, lalai. Kalau
muncul 5 gejala ini, bisa dipastikan seseorang terkena anemia. Gejala lain adalah munculnya
sklera (warna pucat pada bagian kelopak mata bawah). Anemia bisa menyebabkan kelelahan,
kelemahan, kurang tenaga dan kepala terasa melayang. Namun pada anemia berat, bisa
menyebabkan stroke atau serangan jantung.
D. Komplikasi
1. Daya tahan tubuh kurang
2. Mudah terkena infeksi
3. Serangan jantung
4. Mudah lelah
5. Gagal Ginjal Akut
E. Patofisiologi
Timbulnya anemia mencerminkan adanya kegagalan sum-sum tulang atau kehilangan
sel darah merah berlebihan atau keduanya. Kegagalan sum-sum tulang dapt terjadi akibat
kekurangan nutrisi, pajanan toksik, inuasi tumor, atau kebanyakan akibat penyebab yang
tidak diketahui. Sel darah merah dapat hilang melalui perdarahan atau hemolisis (destruksi)
pada kasus yang disebut terakhir, masalah dapat akibat efek sel darah merah yang tidak
sesuai dengan ketahanan sel darah merah normal atau akibat beberapa factor diluar sel darah
merah yang menyebabkan destruksi sel darah merah.
Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam system fagositik atau dalam
system retikuloendotelial terutama dalam hati dan limpa. Sebagai hasil samping proses ini
bilirubin yang sedang terbentuk dalam fagosit akan masuk dalam aliran darah. Setiap
kenaikan destruksi sel darah merah (hemolisis) segera direpleksikan dengan meningkatkan
bilirubin plasma (konsentrasi normalnya 1 mg/dl atau kurang kadar 1,5 mg/dl
mengakibatkan ikterik pada sclera.
Anemia merupakan penyakit kurang darah yang ditandai rendahnya kadar hemoglobin
(Hb) dan sel darah merah (eritrosit). Fungsi darah adalah membawa makanan dan oksigen
ke seluruh organ tubuh. Jika suplai ini kurang, maka asupan oksigen pun akan kurang.
Akibatnya dapat menghambat kerja organ-organ penting, Salah satunya otak. Otak terdiri
dari 2,5 miliar sel bioneuron. Jika kapasitasnya kurang, maka otak akan seperti komputer
yang memorinya lemah, Lambat menangkap. Dan kalau sudah rusak, tidak bisa diperbaiki.
F. Pathway
Kadar Hb turun
G. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan medik
a. Transpalasi sel darah merah.
b. Antibiotik diberikan untuk mencegah infeksi.
c. Suplemen asam folat dapat merangsang pembentukan sel darah merah.
2. Penatalaksanaan keperawatan
a. Menghindari situasi kekurangan oksigen atau aktivitas yang membutuhkan oksigen.
b. Diet kaya besi yang mengandung daging dan sayuran hijau.
3. Pemeriksaan penunjang
Kadar Hb, hematokrit, indek sel darah merah, penelitian sel darah putih, pengukuran
kadar folat, vitamin B12, trombosit, Pemeriksaan diagnostic untuk menentukan adanya
penyakit akut dan kronis serta sumber kehilangan darah kronis.
2. Intervensi Keperawatan
No Nanda Noc Nic
energi. kebutuhan.
9. Ciptakan lingkungan yang
menyenangkan untuk makan.
10. Dukung anggota keluarga
untuk membawa makanan
kesukaan klien dari rumah
A. Definisi
Lupus merupakan sistemik (SLE) adalah suatu penyakit inflamasi autoimun pada
jaringan penyembuhan yang dapat mencukup ruam kulit, nyeri sendi, dan keletihan. Penyakit
ini lebih sering terjadi pada prempuan dari pada pria dengan faktor 10:1. Androgen
mengurangi gejala SLE dan estrogen memperburuk keadaan tersebut. Gejala memburuk
selama fase luteal siklus menstruasi, namun tidak dipengaruhi pada derajat yang besar oleh
kehamilan ( Elizabeth 2009).
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit vaskuler kolagen (suatu penyakit
autoimun). Ini berarti tubuh manusia menghasilkan antibody terhadap organ tubuhnya
sendiri,yang dapat merusak organ tersebut dan fungsinya. Lupus dapat menyerang banyak
bagian tubuh termasuk sendi,ginjal,paru-paru seta jantung
SLE (systemic lupus erythematosus) adalah sejenis rema jaringan yang bercirikan nyeri
sendi (arthralgia),demam,malaise umum dan erythema dengan pola berbentuk kupu-kupu khas
dipipi muka. Darah mengandung antibody beredar terhadap IgG dan imunokompleks,yakni
kompleks antigen-antibodi-komplemen yang dapat mengendap dan mengakibatkan radang
pembuluh darah (vaskulitis) dan radang ginjal. Sama dengan rematik,SLE juga merupakan
penyakit auroimun,tetapi jauh lebih jarang terjadi dan terutama timbul pada prempuan.
Sebabnya tidak diketahui,penanganannya dengan kortikosteroida atau secara alternative
dengan sediaan enzim (papain 200mg + pangkreatin 100mg + vitamin E 10mg) 2 dd 1 kapsul
(tan&kirana,2007)
SLE
E. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis SLE sangat bervariasi, baik dalam keterlibatan organ pada suatu waktu
maupun keparahan manifestasi penyakit pada organ tersebut. Sebagai tambahan,perjalanan
penyakit berbeda antarpasien. Keparahan dapat bervariasi dari ringan ke sedang sehingga parah
atau bahkan membahayakan hidup. Karena perbedaan multisystem dari manifestasi
kliniksnya,lupus telah menggantikan sifilis sebagai great imitator.
Kebanyakan pasien dengan SLE memiliki penyakit ringan samapai sedang dengan gejala
kronis,diselingi oleh peningkatan aktivitas penyakit secara terhadap atau tiba-tiba. Pada sebagian
kecil pasien dikarakteristikkan dengan peningkatan aktivitas penyakit dan remisi klinik
sempurna. Pada keadaan yang sangat jarang,pasien mengalami episode aktif SLE singkat diikuti
dengan remisi lambat.
Gambaran klinis SLE menjadi rumit karena dua hal. Pertama,walapun SLE dapat
menyebabkan berbagai tanda dan gejala, tidak semua tanda dan gejala pada pasien dengan SLE
disebabkan oleh penyakit infeksi virus, dapat menyerupai SLE. Kedua, efek samping
pengobatan,khususnya penggunaan glukokortikoid jangka panjang, harus dibedakan dengan
tanda dan gejala.
1. Manifestasi Konstitusional
Demam muncul pada sebagian besar pasien dengan SLE aktif,namun penyebab
infeksius tetap harus dipikirkan,terutama pada pasien dengan terapi imunosupresi.
Penurunan berat badan dapat timbul awal penyakit,dimana peningkatan berat badan, khusus
pada pasien yang diterapi dengan glukokortikoid, dapat menjadi lebih jelas lebih jelas pada
tahap selanjutnya. Kelelahan dan malaise merupakan salah satu gejala yang paling umum
dan seringkali merupakan gejala yang memperberat penyakit. Penyebab pasti gejala-gejala
ini belum jelas. Aktivitas penyakit, efek samping pengobatan, gangguan
neuroendokrinologis, dan faktor psikogenik terlibat dalam timbulnya gejala konstitusional.
Pada kasus ini dijumpai gejala demam namun gejala ini mungkin juga disebabkan oleh
infeksi pneumonia. Penurunan berat badan juga ditemukan pada pasien. Sesuai dengan teori
yang mengatakan kelelahan dan malaise merupakan salah satu gejala yang paling umum
yang memperberat penyakit,gejala ini turut ditemukan kasus ini.
2. Manifestasi Mukokutan
Foto sensitivitas dapat dikenali dengan pembentukan ruam, eksaserbasi ruam yang telah
ada sbelumnya, reaksi terhadap sinar matahari yang berlebihan (exaggerated sunburn), atau
gejala sepereti gatal atau parastesisi setelah terpajan sinar matahari atau sumber cahaya
buatan. Zfotosensitivitas sering ditemukan dan dapat terjadi pada semua kelompok ras dan
etnis, walapun belum ada studi mengenai prevalensinya dipopulasi umum. Ruam berbentuk
kupu-kupu yang khas, yaitu ruam kemerahan di area malar pipi dan persambungan hidung
yang membagi lipatan nasolabial, lebih dikenal sebagai malar rash atau butterfly ras. Ruam
ini dapat ditemukan pada 20-25% pasien. Gejala ini dapat meningkat dan sangat meradang,
bertahan selams berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Gejala ini hilang tanpa jaringan
parut.
Plak eritematosa dengan adherent scale dan telangiektasis umumnya terdapat
diwajah,leher dan kulit kepala. Lupus kutis akut dalam bentuk eritema inflamasi yang jelas
dapat dipicu oleh pacaran sinar ultraviolet. Lesi lupus subakut dan kronik lebih sering
ditemukan di kulit yang terpapar sinar matahari dalam waktu lama (lengan depan, daerah V
dileher ) tanpa pacaran sinar matahari dalam waktu dekat. Lesi kulit lainnya termasuk livedo
riticularis, eritema periungual, eritema palmaris, nodulpalmaris, vesikel atau bula, urtikaria
akut atau kronik, panniculitis, purpuravaskulitis, dan ulkus vaskulitis. Alopesia dapat timbul
akibatlesi pada kulit kepala, namun biasanya muncul pada puncak SLE. Alopesia bersifat
reversible, kecuali jika terdapat lesi discoid kepala. Ulkus oral dan nasal cukup sering terjadi
dan harus dibedakab dari infers virus maupun jamur.
Mata dan mulut kering (sindrom Sicca) dapat disebabkan oleh inflamasi autoimun pada
kelenjar lakrimal dan saliva, yang mungkin tumpang tindih dengan sindrom sjogren.
Umumnya mata dan mulut kering merupakan efek samping pengobatan. Pada kasus ini
ditemukan manifestasi mukokutan. Sesuai dengan teori, pada pasien ini ditemukan
fotosensitivitas, yaitu eksaserbasi ruam dengan pajanan pada sinar matahari. Pada kasus ini
juga ditemukan ruam berbentuk kupu-kupu (malar rash atau butterfly rash) pada bagian pipi
dan hidung pasien. Alopesia juga ditemukan pada pasien ini yang mengeluh rambutnya yang
sering rontok waktu menyikat rambut.
3. Manifestasi Muskuloskeletal
Artritis SLE biasanya meradang dan mucul bersamaan dengan sinovitis dan nyeri,
bersifat nonerosif dan nondeforming. Manifestasi yang jarang adalah deformitas jaccoud
yang menyerupai artritis rheumatoid namun berkurang dan tidak terbukti secara radiologis
menyebabkan desttruksi kartilago dan tulang. Kelemahan otot biasanya merupakan akibat
terapi glukokortikoid atau antimalaris, namun myositis dengan peningkatan enzim otot
jarang ditemukan dan biasannya merupakan gejala yang tumpah tindih. Tenosinovitis dan
bursitis jarang ditemukan. Ruput tendon dapat merupakan komplikasi terapi glukokortikoid.
Ostenekrosis (nekrosisavaskuler) dapat disebabkan oleh penyakit maupun efek pengobatan
gukokortikoid, biasanya terjadi pada kaput femoralis, kaput hormonal, lempemg tibia dan
talus. Artralgia dan myalgia merupakan gejala lain yang sering ditemukan, dapat
disebabakanoleh penyakit, efek samping pengobatan, glucocorticoid withdrawal syndrome,
endokrinopati dan faktor psikogenik. Pada kasus ini, ditemukan nyeri pada sendi yaitu nyeri
pada sendi jari pada kedua tangan yang tidak disertai dengan gangguan pergerakkan. Ini
sesuai dengan manifetasi muskuloskletal yang ditemukan pada pasien SLE yaitu non erosive
dan non deforming arthritis.
4. Manifestasi Kardiovaskular
Perikarditis meruapakan gejala khas dengan nyeri substernal posisional dan terkadang
dapat ditemukan rub. Ekokardiografi dapat menunjukkan efusi atau dalam kasus kronik
penebalan dan fibrosis pericardium. Tamponade atau hemodinamik konstriktif jarang
ditemukan, namun dapat diinduksi oleh karbamazepin. Miokarditis jarang terjadi, namun
harus dicurigai pada pasien dengan SLE aktif dan gejala dada tidak khas, perubahan ECG
minimal, aritmia atau perubahan hemodinamik. Miokarditis dapat mengakibatkan
kardiomiopati dilatasi dengan tanda gagal jantung kiri. Endokarditid trombotik nonifeksi
(Libman-sacks) jarang dan seringkali tidak menimbulkan gejala, namun dapat menimbulkan
disfungsi katup mitral atau katup aorta atau embilisasi.
Arterisklerosis premature dengan angina pektrois dan infark miokardium merupakan
sumber mortalitas dan morbilitas jangka panjang yang paling serius. Penyakit sendiri,
hiperkoagulasi, terapi glukokortikoid kronik,menopause premature, serta faktor diet dan
gaya hidup dapat menyebabkan arterosklerosis. Fenomena Raynaud, vasospasme yang
diindikasi dingin pada jari.sering ditemukan pada SLE. Penyempitan arteri ireversibel
ditangan dan kaki sering tumpang tindih dengan scleroderma. Gambaran patologis yang
sama pada sirkulasi paru dapat menyebabkan hipertensi pulmonal, komplikasi yang jarang
namun seringkali fatal. Sebagian besar cedera vascular trombotik pada pasien SLE dimediasi
oleh antibody antifosfolipid (aPL), ditemukan pada sekitar 30% pasien SLE. aPL dapat
menyebabkan thrombosis arteri dan vena spontan pada semua ukuran pembuluh darah.
Keadaan hiperkoagulasi lain, seperti defisiensi protein C dan protein S, faktor V Leiden dan
antitrombin III dapat menyebabkan terjadinya trombisis, namun defisiensi faktor-faktor ini
lebih dihubungkan dengan terjadinya thrombosis vena dibandingkan trpmbosis arteri.
5. Manifestasi Paru
Pleurisy sering ditemukan pada SLE nyeri dada khas pleuritik, rub, dan efusi dengan
bukti radiografi dapat ditemukan pada sebagian pasien, namun sebagian lain mungkin hanya
berupa gejala tanpa temuan obyektif. Infeksi parenkim paru pneumonitis atau alveolitis dan
dibuktikan dengan batuk, hemoptysis, serta infiltrate paru jarang terjadi namun dapat
membahayakan hidup. Perdarahan alveolus difus dapat timbul atau tanpa pneumonitis akut
dan memilik angka mortalitas yang sangat tinggi. Pneumonitas lupus kronik dengan
perubahan fibrotic dan paru mirip dengan fibrosis paru idiopatik, dengan perjalanan yang
progresif dan prognosis yang buruk. Penyakit paru restriktif juga dapat diakibatkan oleh
perubahan pleuritik jangka panjang, miopati atau fibrosis otot pernapasan, termasuk
diafragma dan bahkan neuropati nervus frenikus. Emboli paru rekuren disebabkan oleh
antibody antifosfilipid harus disingkirkan pada pasien dengan gejala paru yang tidak dapat
dijelaskan.
6. Manifestasi Ginjal
Nefritis lupus muncul pada sebagian pasien dengan SLE. Spektrum keterlibatan
patologis dapat bervariasi dari proliferasi mesangial yang sama sekali tidak menimbulkan
gejala sampai glumerulonefritis membranoproliferatif difus agresif yang menuju gagal
ginjal. Gambaran klinis ditandai dengan temuan minimalis, termasuk proteinuria ringan dan
hematuria mikroskopik, sindrom nefrotik, dengan proteinuria berat, hipoalbuminemia,
edema perifer, hipertrigliseridemia, dan hiperkoagulasi atau sindrom nefritik dengan
hipertensi, sedimen eritrosit atau Kristal eritrosit pada sediaan sedimen urin dan penurunan
laju filtrasi glomerulus progresif dengan peningkatan kreatinin serum dan uremia. Pada
kasus ini ditemukan kelainan ginjal yang disuspek nefritis karena ditemukan kelainan ginjal
yang disuspek nefritis karena ditemukan proteinuria 25,00mg/dL dan leucocyte pada urin
25,00 leu/πL
7. Manifestasi Neurologis dan Psikiatrik
Keterlibatan sistem saraf pusat (SSP) terjadi pada 5-15% pasien dan terkadang merujuk
pada SLE neuropsikiartrik atau serebritis lupus. Pasien dapat memiliki manifestasi obyektif
seperti meningitis asepsis atau meningoensefalitis, kejang, khorea, ataksia, stroke dan
myelitis tramsversa. Pada pasien seperti ini diagnosis dapat didukung oleh temuan abnormal
pada analisis cairan serebrospinal, seperti peningkatan kadar protein, pleiositosi, dan /atau
autoantibodi karakteristik, pada CT scan atau MRI, dapat ditemukan lesi inflamasi pada
substansia alba dan grisea atau bahkan pada biopsy leptomeningeal dengan bukti inflamasi.
Gambaran alternatis lupus SSP adalah gangguan psikiatrik mayor yaitu psikosis. Pada kasus
ini cairan serebrospinal dan pencitraan menujukkan hasil normal dan diagnosis banding dari
penysakit psikogenik primer dan/atau reaksi obat sangat sulit untuk ditentukan. Masalah ini
adalah gangguan kognitif dan kepribadian ringan. Sakit kepala sering ditemukan dengan
intesitas yang beragam. Sakit kepala lupus yang berat dan menyerupai migren yang hanya
responsive terhadap glikokortikoid merupakan kasus yang jarang. Neuropati kranial dan
perifer dapat terjadi dan dapat menggambarkan vaskulitis pembuluh darah kecil atau infark
pada pasien ini disuspek lupus serbri karena penurunankesadaran.
8. Manifestasi Gastrointestinal
Gejala gastrointestinal nonspesifik, termasuk nyeri perut difus dan mual, kas untuk
pasien SLE. Peritonitis steril dengan asites jarang namun merupakan komplikasi abdomen
yang serius. Banyak gejala gastrointestinal atas berhubungan dengan terapi yaitu NSAID dan
atau gastropati terkait glukokortikoid. Duodenitis dapat menimbulkan gejala. Pada kasus
jarang, vaskulitis usus dapat menimbulkan kegawatan bedah akut. Terkadang pankreatitis
dapat merupakam gejala penyakit atau merupakan efek pengobatan. Peningkatan enzim hati
terkafdang dihubungkan dengan hepatiris noninfeksi pada SLE, yang tidak dapat dibedakan
dengan hepatitis autoimun melalui gambar histologis. Peningkatan enzim hati juga dapat
disebabkan oleh penggunaan NSAID, azatrioprin atau metotreksat dan penggunaan jangka
panjang glukokortikoid yang dapst menyebablkan perlemakan hati dengan peningkatan
transaminase ringan.
9. Manifestasi Hematologi
Splenomegali dan limafadenopati difus sering merupakan temuan yang sering namun
nonspesifik pada SLE aktif. Anemia merupakan temuan khas, dapat disebabkan oleh
hemolysis dengan hasil tes coombs positif, kadar haptoglobin rendah dan kadar laktat
dehydrogenase tinggi atau dengan mielosupresi. Mekanisme tidak langsung mencakup
penurunan sintesis eritropoietin dan mielosupresi uremikum pada pasien nefritis lupus. Hal
ini dapat diperberat dengan perdarahan ringan kronik dan ketidask cukupan asupan makanan.
Leukopenia dan limfopenia sangat sering terjadi namun jarang mencapai kadar kritis. Studi
oleh Ng dkk menghungkan limfopenia dengan peningkatan risiko terjadinya infeksi pada
pasien SLE. Leukositosis dapat sdisebabkan oleh glukokortikoid. Trombisitopenia ringan
(100000-150000/πL) dapat disebabkan oleh antibody antifosfolipid. Trombositopenia
autoimun berat (kurang dari 50000/πL), disebabkan oleh antibody antiplatelet dapat
mempersulit diagnosis SLE dan awalnya mungkindidiagnosis sebagai purpura
trombositopenik idiopatik. Pada kasus ini ditemukan kelainan atau manifestasi hematologi
sesuai dengan gambaran yang sering ditemukan pada pasien SLE. Pada kasus ini, ditemukan
gejala anemia dengan nilai haemoglobin yang rendah.
10. Manifestasi Mata
Eksudat dan infarks retina (baan sitoid) relative jarang dan merupakan temuan
nonspesifik. Konjungtivitas dan episkleritis terkadang dapat ditemukan pada penyakit aktif.
Mata kering dapat menunjukan tumpang tindih dengan sindrom sjogren. Kebutaan singkat
atau permanen dapat disebabkan oleh neuritis optic atau oklusi arteri atau vena retina.
F. Klasifikasi
Subcommitte for systemic lupus erythematosus criteria of the America rheumatism
association diagnostic and therapeutic criteria committw tahun 1982 merevisi kreteria untuk
klasifikasi SLE. Subcommitte ini mengajukan diagnosis SLE jika terdapat empat diantra 11
kriteria berikut beruntun atau secara stimultan, selama sati interval observasi :
1. Ruam dibagian malar wajah
2. Ruam berbentuk discoid
3. Fotosensitivitas
4. Ulkus dimulut
5. Setositosis (pleuritis, pericarditis)
6. Gangguan ginjal
7. Gangguan neurologis ( kejang atau psikosis )
8. Arthritis
9. Gangguan hematologis (anemia hemolitik,leucopenia,trombositopenia)
10. Gangguan imunologi
11. Antibody nuclear
R leonard mengusulkan jembatan keledai berikut untuk mengingat kriteria diagnosis SLE.
A Rash Points MD. Arthritis renal disease ( penyakit ginjal), ANA serositis, Hematologi
disrders, photosensitivita, oral ulcers ( ulkus dimulut) immunological disorder,neurologic
disorder, Malar rash,Discoid rash Ann Rheum Dis 2001.
G. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan termasuk penatalaksanaan penyakit akut dan kronik :
1. Mencegah penurunana progresif fungsi organ, mengurangi kemungkinan penyakit akut,
meminimalkan penyakit yang berhubungan dengan kecacatan dan mencegah komplikasi
dari terapi yang diberikan.
2. Gunakan obat-obatan antinflamasi nonsteroid (NSAID) dengan kortikosteroid untuk
meminimalkan kebutuhan kortikosteroid.
3. Gunakan krortikosteroid topical untuk manifestasi kutan aktif.
4. Gunakan pemberian bolus IV sebagai alternative untuk penggunaan dosis oral tinggil
tradisional.
5. Atasi manifestasi kutan, mukuloskeletal dan sistemik ringan dengan obat-obat
antimalarial.
6. Preparat imunosupresif (percobaan) diberikan untuk bentuk SLE yang serius
H. Pemeriksaan Penunjang
SLE merupakan suatu penyakit autoimun pada jaringan ikat yang menujukan berbagai
manifestasi,paling sering berupa artitis. Dapat juga timbul manifestasi dikulit, ginjal dan
neorologis. Penyakit ini ditandai dengan adanya periode aktivitas (ruam) dan remisi. SLE
ditegakan atas dasar gambaran klinis disertai dengan penanda serologis, khususnya beberapa
autoantibodi yang paling sering digunakan adalah antinukelar antibody ( ANA, terapi antibody
ini juga dapat ditemukan pada wanita yang tidak menderita SLE. Antibody yang kurang spesifik
adalah antibouble standed DNA antibody (anti DNA), pengukuran bermanfaat untuk menilai
ruam pada lupus. Anti-Ro, anti-La dan antibody antifosfolipidpenting untuk diukur karena
meningkatkan resiko pada kehamilan. Penatalaksanaan SLE harus dilaksanakan secara
multidisiplin. Priode aktifitas penyakit dapat sulit untuk didiagnosa. Keterlibatan ginjal sering
kali disalah artikan dengan pre-eklamsia, tetapi temuan adanya peningkatan antibody anti DNA
serta penurunan tingkat komplemen membantu mengarahkan pada ruam.
Antibody fosfolipid dapat timbul tanpa SLE tetapi menandakan resiko keguguran.
Temuan pemeriksaan laboratorium :
1. Tes flulorensi untuk menentukan antinuclear antibody (ANA), positif dengan titer
tinggi pada 98% penderita SLE.
2. Pemeriksaan DMA double standed tinggi,spesifik untuk menentukan SLE
3. Bila titel antibobel strandar tinggi, spesifik untuk diagnose SLE
4. Tes sifilis bias positif palsu pada pemeriksaan SLE.
5. Pemeriksaan zat antifosfolipid antigen (seperti antikardolipin antibody) berhubungan
dengan menentukan adanya thrombosis pada pembuluh arteri, vena atau pada abortus
spontan, bayi meninggal dalam kandungan dan trombositopeni.
Pemeriksaan laboratorium ini diperiksa pada penderita SLE atau lupus meliputi darah
lengkap, laju sedimentasi darah, antibodyantinuklir (ANA), anti-AND, SLE, CRP, analyses
urin, komplemen 3 dan 4 pada pemeriksaan diagnosis yang dilakukan adalah biopsy.
I. Kompilkasi
1. Ginjal
Sebagaian besar penderita menunjukan adanya penimbunan protein didalam sel-sel
tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus (peradangan ginjal yang menetap) pada
akhirnya bias terjadi gagal ginjal sehingga penderita perlu mengalami dialysis atau
pencangkokan ginjal.
2. Sistem saraf
Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Komplikasi yang paling sering
ditemukan adalah dispungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi kelainan bias terjadi pada
bagaiamanapun dari otak, korda spinalis, maupun sistem saraf. Kejang, pesikosa, sindroma
otak organic dan sekitar kepala merupakan beberapa kelainan sistem saraf yang bias terjadi.
3. Penggumplan darah
Kelainan darah ditemukan pada 85% penderita lupus bisa terbentuk bekuan darah
didalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke dan emboli paru. Jumlah
thrombosis berkurang dan tubuh membentuk antibody yang melawan faktor pembekuan
darah yang bisa menyebabkan perdarahan yang berarti.
4. Kardiovaskuler
Perdangan berbagai bagian jantung seperti pericarditis, endocarditis maupun
miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat keadaan tersebut.
5. Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura (penimbunan
cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari keadaan tersebut timbul nyeri dada dan
sesak napas.
6. Otot dan kerangka tubuh
Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan kebanyakan menderita
arthritis. Persendian yang sering terkena adalah persendian pada jaringan tangan,
pergelangan tangan dan lutut. Kematian jaringan pada tulang panggul dan bahu sering
merupakan penyebab dari nyeri didaerah tersebut.
7. Kulit
Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu ditulang pipi dan pangkal hidung.
Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar matahari.
J. Pengkajian
1. Anamnesis
a. Penyakit lupus eritematosus sistemik bisa terjadi pada wanita maupun pria, namun
penyakit ini sering diderita oleh wanita, dengan perbandingan wanita dan pria 8:1
b. Biasanya ditemukan pada ras-ras tertentu seperti negro, cina dan filiphina
c. Lebih sering pada usia 20-4- tahun, yaitu usia produktif
d. Faktor ekonomi dan geografis tidak mempengaruhi distribusi penyakit ini
2. Keluhan Utama
Pada umumnya pasien mengeluh mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas,
anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra dari pasien
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu dikaji tentang riwayat penyakit dahulu,apakah pernah menderita penyakit ginjal
atau manifestasi SLE yang serius, atau penyakit autoimun yang lain.
4. Riwayat Penyakit Sekarang
a. Perlu dikaji yaitu gejala apa yang pernah dialami pasien (misalnya ruam malar-
fotosensitif, ruam discoid-bintik-bintik eritematosa menimbulkan : artaralgia/arthritis,
demam, kelelahan, nyeri dada pleuritik, pericarditis, bengkak pada pergelangan kaki,
kejang, ulkus dimulut.
b. Mulai kapan keluhan dirasakan.
c. Faktor yang memperberat atau memperingan serangan.
d. Keluhan-keluhan lain menyertai.
5. Riwayat Pengobatan
Kaji apakah pasien mendapat terapi dengan klorpromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid dan isoniazid, Dilantin, penisilamin dan kuinidin.
6. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami penyakityang sama atau
penyakit autoimun yang lain
7. Pemeriksaan Fisik
Dikaji secara sistematis :
a. B1 (Breath)
Irama dan kecepatan nafas, kesimetrisan pergerakan nafas, penggunaan otot nafas
tambahan, sesak, suara nafas tambahan (rales,ronchi), nyeri saat inspirasi, produksi
sputum, reaksi alergi. Patut dicurigai terjadi pleuritis atau efusi pleura.
b. B2 (Blood)
Tanda-tanda vital, apakah ada nyeri dada,suara jantung (s1,s2,s3), bunyi systolic click
(ejeksi clik pulmonal dan aorta), bunyi mur-mur. Friction rup pericardium yang menyertai
miokarditis dan efusi pleura. Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis
menunjukan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan,siku,jari kaki dan permukaan
ekstensor lengan dibawah atau sisi lateral tangan.
c. B3 (Brain)
Mengukur tingkat kesadaran (efek dari hipoksia) Glasgow Coma Scale secara
kuantitatif dan respon otak : compos mentis sampai coma (kualitatif), orientasi pasien.
Seiring terjadinya depresi dan psikosis juga serangan kejang-kejang.
d. B4 (Bladder)
Pengukuran urine tamping (menilai fungsi ginjal), warna urine (menilai filtrasi
glomelorus)
e. B5 (Bowel)
Pola makan, nafsu makan, muntah, diare, berat badan dan tinggi badan, turgor kulit,
nyeri tekan, apakah ada hepatomegaly, pembesaran limpa
K. Diagnosa
1. Nyeri kronis berhubungan dengan ketidak mampuan fisik-psikososial kronis (metastase
kanker, injuri neurologis, arthritis).
2. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan inflamasi
3. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidak
mampuan untuk memasukkan nutrisi karena gangguan pada mukosa mulut
4. Kelelahan berhubungan dengan kondisi fisik yang buruk karena suatu penyakit
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan deficit imunologi
L. Perencanaan/Intervensi
Price, Wilson. 2006. Patofisiologi Vol 2 ; Konsep Kllinis Proses-proses Penyakit. Penerbit Buku
Kedokteran. EGC. Jakarta.
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol 3. Jakarta: EGC
Carpenito, L.J. 2000. Diagnosa Keperawatan, Aplikasi pada Praktik Klinis, edisi 6. Jakarta: EGC
Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New Jersey:Upper
Saddle River
Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition. New Jersey:
Upper Saddle River
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima Medika
Smeltzer & Bare. 2002. Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta: EGC
Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan, edisi 7. EGC : Jakarta