Anda di halaman 1dari 3

LOMBA

MENULIS OPINI

DALAM RANGKA HARI GURU NASIONAL

DAN HARI ULANG TAHUN PGRI KE-74

TINGKAT KABUPATEN WAY KANAN

2019
GURU MILENIAL DAN GURU KOLONIAL
“Oleh : Ilham Fitra Yogi”

Kata pepatah jawa guru adalah digugu lan ditiru. Apakah pepatah ini masih relevan
untuk zaman sekarang?. Dulu pada zaman kerajaan, guru menempati kedudukan yang sangat
mulia karena yang disebut adalah orang yang betul-betul sebagai panutan. Dia memiliki jiwa
yang besar, sifat yang patut diteladani, ilmu yang mumpuni dan karakter yang tidak dimiliki
oleh orang lain selain guru. Tetapi saat ini guru telah bergeser, pada waktu tahun 70-an
seorang guru masih sangat dihormati bukan karena hartanya dan penampilanya yang mewah
tetapi kerena kesopanan dan kesantunannya dalam bergaul dan bertingkah laku sehingga
murid pun segan dan hormat kepada mereka.
Tahun berganti tahun seiring dengan zaman dan teknologi maka bergeserlah nilai-
nilai dan makna yang ada pada diri seorang guru. Pada saat ini murid seakan tak lagi kagum
dan hormat kepada guru karena ilmunya dan sikapnya, tetapi mayoritas mereka justru lebih
segan kepada guru yang berpenampilan elegan dan bergaya mewah. Aura guru zaman dulu
dan sekarang sudah sangat berubah, guru zaman dahulu auranya lebih penuh pengabdian
mengajar mendidik dan membimbing, tanpa pamrih, serta paling anti membebani orang
tua/wali murid. Kita bisa membandingkan dengan guru zaman sekarang yang lebih menitik
beratkan pada menjalankan tugas rutin dan bukan pengabdian, hanya mengajarkan materi,
dan disibukkan dengan banyak berkas sehingga minim akan fokus terhadap anak didiknya.
Memang tidak semua guru seperti itu, tetapi kebanyakan memang guru zaman
sekarang adalah demikian faktanya. Kita tidak bisa menyalahkan hal seperti itu, dikarenakan
memang Kurikulum yang begitu padat, kebutuhan semakin banyak dan itu memang tidak
bisa dipungkiri. Hal ini adalah sebagai PR kita semua untuk mengubah paradigma yang ada
di Negara kita. Kita bisa lihat sebuah sosok pejuang pendidikan seperti Raden Mas Soewardi
Soerjaningrat diganti dengan nama Ki Hajar Dewantara, R.A Kartini dan masih banyak lagi
pahlawan-pahlawan pendidikan kita yang sangat berjasa dalam kemajuan pendidikan kita.
Dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara ada 2 hal yang harus dibedakan yaitu sistem
“Pengajaran” dan “Pendidikan” yang harus bersinergis satu sama lain. Pengajaran bersifat
memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan buta aksara). Sedangkan
pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan
mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik). Keinginan yang kuat dari Ki Hajar
Dewantara untuk generasi bangsa ini dan mengingat pentingnya guru yang memiliki
keistimewaan karakter, mentalitas, moralitas dan spiritualitas.
Mereka adalah sebagai cerminan yang kuat untuk menjadikan kita sebagai guru-guru
yang bertanggung jawab atas apa pun semua tentang murid yang nantinya akan kita ajar baik
anak kita atau pun anak didik kita. Beliau menjadikan sebuah cita-cita yang besar dan agung
yang seharusnya kita contoh pada zaman sekarang ini. Kita bisa lihat bagaimana sikap anak
didik pada zaman sekarang. Zaman dahulu, sosok guru di mata murid begitu sangat
bersahaja. Saking bersahajanya, ada perasaan malu jika berjumpa dengan guru di luar waktu
sekolah, seperti di pasar, di jalan, tempat undangan. Bahkan ketika aku masih SD, aku akan
sembunyi jika dari kejauhan melihat guruku melintas di depan rumahku. Rasa hormat murid
terhadap guru nyata terlihat. Sekarang, pemandangan semacam itu nyaris punah karena
pergeseran masa. Penghormatan terhadap guru seperti sengaja diabaikan, yang ada seolah tak
ada lagi usaha kearah itu. Panggilan murid kepada guru dengan ucapan “Hallo, Pak…!”
ketika berjumpa di jalan semakin memperkuat betapa semakin tidak berwibawanya guru di
mata murid. Guru tidak selalu ingin dihormati tetapi prilaku murid seperti itu membuat guru
menjadi sosok yang tidak perlu dihormati.
Ini terjadi pada mayoritas sekolah. Suatu hari tatkala seorang murid melakukan
kesalahan dan guru hendak memberi pelajaran berupa sanksi, sang murid justru terkesan
lebih berani dengan mata melotot berusaha menentang dan menantang guru tersebut. Sesuatu
yang jarang dilakukan oleh murid pada zaman dahulu. Jangankan mengucapkan sepatah kata,
memandang mata gurupun ketika terkena sanksi adalah sesuatu yang ditakuti pada saat itu.
Banyak sekarang ini kasus pengaduan anak ke orang tua yang berbuntut pidana
hanya karena dikenai sanksi oleh gurunya. Hadirnya Undang-Undang Perlindungan Anak
menambah semakin kebalnya imunitas terhadap murid dari segala bentuk sanksi karena
linknya diarahkan ke pengadilan. Sedangkan tidak ada sampai saat ini Undang-Undang
Perlindungan Guru. Sekarang siapa yang patut disalahkan? murid atau guru?
Sebenarnya semua tidak ada yang salah, solusi yang seharusnya sekarang kita pilih
dan lakukan adalah mari kita memulai untuk mengubah pandangan dan membangun
kesadaran serta beradaptasi dengan kurikulum yang berlaku pada sekolah kita sendiri, seperti
tanggung jawab PGRI sebagai organisasi profesi adalah juga ikut serta secara aktif dan
konstruktif dalam membangun kesadaran guru untuk melaksanakan kewajiban keprofesional
guru meskipun saat ini menurut mayoritas guru banyak sekali kesenjangan serta sangat jauh
dari kriteria keleluasaan dalam mendidik. Sehingga dari solusi tersebut dapat tercipta
keseimbangan antara harapan murid, guru, dan Undang-Undang yang diberlakukan.

Anda mungkin juga menyukai