FAKULTAS FARMASI
TUGAS TERPADU
Disusun Oleh :
Kelompok 21
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan karunia-Nya,
penulis dapat menyelesaikan tugas terpadu bidang farmasi klinik dan komunitas
mengenai “Pemantauan Terapi Obat Pada Pasien Epilepsi”, sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Apoteker di Fakultas Farmasi Universitas Pancasila.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Shirly Kumala, M. Biomed., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Pancasila.
2. Dra. Titiek Martati, M.Si, Apt, selaku Ketua Program Studi Profesi Apoteker
Fakultas Farmasi Universitas Pancasila.
3. Para pembimbing dan seluruh karyawan rumah sakit tempat penulis mengambil
data
4. Seluruh Dosen dan Karyawan Fakultas Farmasi Universitas Pancasila
5. Keluarga tercinta khususnya kedua orang tua dari masing-masing penulis atas doa
dan bantuannya baik secara moril maupun materi
6. Rekan-rekan Apoteker angkatan 63 Fakultas Farmasi Universitas Pancasila atas
dukungan dan kerja samanya selama menempuh pendidikan
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam menulis laporan ini
untuk itu diharapkan kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan
perbaikan laporan ini. Penulis berharap laporan ini dapat memberikan manfaat bagi
rekan sejawat dan pihak yang membutuhkan.
Tim Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
iii
PEMBAHASAN DAN REKOMENDASI TERAPI ............................................... 125
A. PASIEN 1 ...................................................................................................... 125
B. PASIEN 2 ...................................................................................................... 128
C. PASIEN 3 ...................................................................................................... 130
BAB VI .................................................................................................................... 132
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................................ 132
A. KESIMPULAN ............................................................................................. 132
B. SARAN ......................................................................................................... 133
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 134
iv
DAFTAR TABEL
v
Tabel IV.27 Ringkasan Obat Pulang Pasien 2 ......................................................... 113
Tabel IV.28 Tanda-tanda Vital Objektif Pasien 3 .................................................... 114
Tabel IV.29 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Pasien 3 .......................................... 115
Tabel IV.30 Hasil Pemeriksaan Pemerikasaan kadar fenitoin dalam darah Pasien 3
.................................................................................................................................. 116
Tabel IV.31 Profil Penggunaan Obat Pasien 3......................................................... 116
Tabel IV.32 Pemilihan Obat Pasien 3 ...................................................................... 117
Tabel IV.33 Lama Terapi Pasien 3 ......................................................................... 118
Tabel IV.34 Efek Samping Obat Pasien 3 ............................................................... 118
Tabel IV.35 Drug Related Problem (Cipolle) Pasien 3 ........................................... 123
Tabel IV.36 Identifikas Drug Related Problem (PCNE) Pasien 3........................... 124
vi
DAFTAR GAMBAR
vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Epilepsi merupakan penyakit kronis di bidang neurologi dan penyakit kedua
terbanyak setelah stroke di dunia. Epilepsi ditemukan pada semua umur dan
dapat menyebabkan mortalitas. Epilepsi dapat menyerang pada laki-laki
ataupun perempuan. Menurut WHO secara umum diperkirakan ada 2,4 juta
kasus baru setiap tahun, dan 50% kasus terjadi pada masa kanak-kanak atau
remaja (1). Insiden tertinggi terjadi pada umur 20 tahun pertama, menurun
sampai umur 50 tahun, dan setelah itu meningkat lagi (2).
Epilepsi merupakan penyakit saraf yang ditandai dengan episode kejang
yang dapat disertai hilangnya kesadaran penderita. Meskipun biasanya disertai
hilangnya kesadaran, ada beberapa jenis kejang tanpa hilangnya kesadaran.
Penyakit ini disebabkan oleh ketidakstabilan muatan listrik pada otak yang
selanjutnya mengganggu koordinasi otot dan bermanifestasi pada kekakuan
otot atau pun hentakan repetitif pada otot (3).
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) tahun 2005, secara
konseptual, epilepsi dapat didefinisikan sebagai kelainan otak yang ditandai
oleh adanya kecenderungan untuk menimbulkan bangkitan epilepsi secara
terus menerus dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan
sosial (3).
Terapi yang memerlukan jangka waktu yang lama tentunya dapat
meningkatkan risiko terjadinya Drug Related Problems (DRPs) selama
pengobatan. DRPs adalah peristiwa yang tidak diinginkan yang dialami oleh
pasien yang melibatkan atau diduga melibatkan terapi obat dan gangguan pada
pencapaian tujuan terapi yang diinginkan. DRPs dapat dibedakan menjadi
DRPs aktual dan DRPs potensial.
2
B. TUJUAN
Tujuan pembuatan makalah tugas terpadu pemantauan terapi obat pada pasien
epilepsi adalah:
1. Mengaplikasikan ilmu tentang pengobatan epilepsi yang digunakan dan
yang dipelajari selama pendidikan dalam praktek pelayanan farmasi
komunitas dan klinik
2. Memantau terapi obat pada pasien epilepsi di pelayanan rawat inap
3. Mengidentifikasi dan mengatasi masalah yang terkait dengan obat pada
pasien epilepsi di pelayanan rawat inap
4. Mengevaluasi profil pengobatan pasien epilepsi berdasarkan data klinis di
pelayanan rawat inap
5. Merekomendasikan terapi obat berdasarkan hasil analisis
C. MANFAAT
Manfaat pembuatan makalah tugas terpadu pemantauan terapi obat pada pasien
epilepsi adalah:
1. Mahasiswa mendapatkan pengalaman untuk berinteraksi dengan tenaga
kesehatan lainnya, pasien dan keluarga pasien dalam melakukan
pemantauan terapi obat pada pasien epilepsi di sarana pelayanan kesehatan.
2. Mahasiswa dapat melakukan kajian penatalaksanaan terapi epilepsi dengan
tepat dan rasional.
BAB II
URAIAN TENTANG PENYAKIT
A. DEFINISI
Kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk menimbulkan
bangkitan epileptik yang terus menerus, dengan konsekuensi neurobiologis,
kognitif, psikologis, dan sosial. Definisi ini mensyaratkan terjadinya minimal
1 kali bangkitan epileptik. Bangkitan epileptik adalah terjadinya tanda/gejala
yang bersifat sesaat akibat aktivitas neuronal yang abnormal dan berlebihan di
otak (4)
B. KLASIFIKASI
Pada tahun 1981, ILAE membagi kejang menjadi kejang umum dan kejang
fokal (parsial) berdasarkan tipe bangkitan (yang diobservasi secara klinis
maupun hasil pemeriksaan elektrofisiologi), yaitu apakah aktivitas kejang
dimulai dari satu bagian otak, melibatkan banyak area, atau melibatkan kedua
hemisfer otak. ILAE membagi kejang menjadi kejang umum dan kejang parsial
dengan definisi sebagai berikut:
a. Kejang umum: gejala awal kejang dan/atau gambaran EEG
menunjukkan keterlibatan kedua hemisfer. Kejang umum adalah kejang
yang muncul bersumber dari daerah luas di korteks di kedua belahan otak,
pada kejang ini selalu disertai dengan hilangnya kesadaran (5). Kejang
umum dibagi menjadi beberapa kategori, antara lain Absen (petit mal),
mioclonik, klonik, tonik, tonik-klonik, atonik dan spasme infantil.
1) Absen/ Bangkitan Umum Lena (Petit Mal)
Merupakan kejang yang ditandai dengan hilangnya kesadaran secara
tiba-tiba disertai dengan berhentinya aktivitas motorik. Seserorang
yang mengalami kejang ini akan menghentikan aktivitasnya secara
tiba-tiba dan seperti melamun dengan pandangan kosong, setelah
kejang berakhir aktivitas akan dilanjutkan kembali seperti tidak
4
- Faktor Resiko
Penyebab/Faktor resiko epilepsi :
1. Infeksi :
- Meningitis
- Radang otak
- HIV/AIDS
- Malaria serebral
- Toksoplasmosis
- Ensefalopati (terkait campak- SSPE)
- Penyakit demam (Kejang demam)
2. Metabolik
- Kekurangan/ketergantungan piridoksin
- Penyakit Niemann-pick
- Kesalahan metabolism bawaan & penyakit mitokondria
3. Trauma
- Trauma kelahiran
- Cedera kepala
8
4. Anoxia
- Asfiksia lahir
5. Racun
- Alkohol dan penarikan alcohol
- Keracunan karbon monoksida
- Obat-obatan (penicillin IV dosis tinggi, strychnine, dll.)
- Keracunan timbal
- Keracunan Insektisida organo-fosfor
6. Lesi yang menempati ruang
- Hematoma
- Abses
- Tumor
- Tuberkuloma
- sistiserkosis
7. Gangguan Peredaran darah
- Kecelakaan serebrovaskular (stroke)
8. Bawaan/genetic
- Malformasi dan perkembangan cacat otak (hidrosefalus,
mikrosefali, dll.)
- Anomali pembuluh darah
- Tuberous sclerosis (Bourneville penyakit)
- Neurofibromatosis
9. Kondisi Degenaratif
- Demensia
10. Lain-lain
- Gangguan autoimun, mis. SLE (7)
- Patofisiologi
Dalam keadaan normal, lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung dengan
baik dan lancar. Apabila mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar neuron
menjadi kacau dikarenakan breaking system pada otak terganggu maka
neuron-neuron akan bereaksi secara abnormal. Neurotransmiter yang
9
1. Manifestasi Klinis:
a. Bangkitan dimulai dengan hilangnya kesadaran sejak awal bangkitan
hingga akhir bangkitan.
b. Aktivitas tonik (kaku) diikuti dengan aktivitas klonik (hentakan
ritmis) dari ekstremitas.
c. Dapat disertai gejala autonom, seperti mengompol dan mulut
berbusa.
2. Gejala dan tanda sebelum, dalam, dan pasca bangkitan:
a. Sebelum Bangkitan
Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan terjadinya
bangkitan, misalnya perubahan perilaku, perasaan lapar,
berkeringat, mengantuk, menjadi sensitif, dan lain-lain.
b. Selama Bangkitan
Seluruh tubuh kontraksi tonik, dapat disertai suara teriakan dan
nyaring, dan diikuti gerakan klonik berulang simetris di seluruh
tubuh.
c. Pasca Bangkitan
Bingung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur gaduh gelisah, dan
Todd’s paresis (kelemahan sementara pada tangan atau lengan).
Faktor pencetus adalah kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress
psikologis, alkohol.
D. Epidemiologi
Epilepsi merupakan salah satu gangguan saraf serius yang paling umum terjadi
yang mempengaruhi sekitar 65 juta orang di seluruh dunia. Ia mempengaruhi
1% penduduk pada usia 20 tahun dan 3% penduduk pada usia 75 tahun. Lebih
banyak terjadi pada laki-laki daripada perempuan, tetapi secara menyeluruh
selisihnya cukup kecil. Sebagian besar penderita (80%) tinggal di negara
berkembang. Angka penderita epilepsi aktif saat ini berkisar pada 5–10 per
1.000; epilepsi aktif diartikan sebagai penderita epilepsi yang pernah
mengalami kejang paling tidak satu kali dalam lima tahun terakhir. Epilepsi
11
berawal setiap tahun dalam 40–70 per 100.000 di negara maju dan 80–140 per
100.000 di negara berkembang. Kemiskinan merupakan sebuah risiko dan
mencakup baik bertempat asal dari sebuah negara yang miskin maupun
berstatus sebagai orang miskin relatif terhadap orang lain di dalam negara yang
sama. Di negara maju, epilepsi paling umum bermula pada orang muda atau
orang lansia. Di negara berkembang, awal epilepsi lebih umum terjadi pada
anak-anak yang berusia lebih tua dan pada orang dewasa muda karena lebih
tingginya angka trauma dan penyakit menular. Di negara maju, jumlah kasus
per tahun telah mengalami penurunan pada anak-anak dan peningkatan pada
orang lansia antara tahun 1970-an dan 2003. Hal ini sebagian disumbang oleh
kesintasan pasca-stroke yang lebih baik pada orang lansia.
Menurut Kleinman (1995) di Amerika Utara menunjukkan bahwa di
antara pasien epilepsi dalam pengobatan biomedis yang diikuti selama dua
puluh tahun, dua pertiga akan menjadi bebas kejang selama lima tahun atau
lebih. Mereka juga melaporkan bahwa kejang berulang di 25% pasien yang
melanjutkan pengobatan, sedangkan terjadi pada 45% dari mereka yang
berhenti minum obat. Penelitian epidemiologi klinis menunjukkan bahwa jika
kejang tidak terkontrol pada tahun pertama setelah onset, hanya 60% pasien
yang dapat diharapkan untuk memasuki remisi dan setelah empat tahun kejang
tidak terkendali, angka ini turun drastis sampai 10%. Ahli epilepsi China belum
menerbitkan data pada masing-masing isu prognostik. Temuan menunjukkan
bahwa Cina melakukan penilaian retrospektif 40% dari 448 pasien dengan
epilepsi yang tidak menerima obat anti-epilepsi telah pergi ke remisi selama
dua tahun dan 27% telah melakukannya selama lima tahun (8). Kemungkinan
sekitar 70 juta orang didunia menderita epilepsi pada suatu waktu. Dari
perkiraan 70 juta orang yang hidup dengan epilepsi di dunia, hamper 50 juta
tidak memiliki akses keperawatan maupun mendapatkan perawatan yang
berkualitas (9)
12
E. Diagnosis (6)
1. Pemeriksaan elektro-ensefalografi (EEG)
Electroencephalography (EEG) merupakan alat yang dapat menggambarkan
aktivitas otak sebagai gelombang dimana frekuensi gelombang tersebut
diukur perdetik (Hz). EEG dapat mendeteksi berbagai jenis abnormalitas
baik yang bersifat fokal maupun difus, juga bisa untuk menentukan jenis
dan lokasi seizure.
Rekaman EEG merupakan pemeriksaan pada dugaan suatu bangkitan untuk:
a. Membantu menunjang diagnosis
b. Membantu penentuan jenis bangkitan maupun sintrom epilepsi
c. Membatu menentukan prognosis
d. Membantu penentuan perlu/ tidaknya pemberian OAE
2. Pemeriksaan pencitraan otak
Berguna untuk mendeteksi lesi epileptogenik diotak. MRI beresolusi tinggi
(minimal 1,5 Tesla) dapat mendiagnosis secara non-invasif berbagai macam
lesi patologik misalnya mesial temporal sclerosis, glioma, ganglioma,
malformasi kavernosus, DNET ( dysembryoplastic neuroepithelial tumor ),
tuberous sclerosiss. Fuctional brain imaging seperti Positron Emission
Tomography (PET), Singel Photon Emission Computed Tomography
(SPECT) dan Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) bermanfaat dalam
memberikan informasi tambahan mengenai dampak perubahan metabolik
dan perubahan aliran darah regional di otak berkaitan dengan bangkitan.
Indikasi pemeriksaan neuroimaging (CT scan kepala atau MRI kepala)
pada kasus kejang adalah bila muncul kejang unprovoked pertama kali pada
usia dewasa. Tujuan pemeriksaan neuroimaging pada kondisi ini adalah
untuk mencari adanya lesi structural penyebab kejang. CT scan kepala lebih
ditujukan untuk kasus ke gawat daruratan, karena teknik pemeriksaannya
lebih cepat. Di lain pihak MRI kepala diutamakan untuk kasus elektif. Bila
ditinjau dari segi sensitivitas dalam menentukan lesi kasus elektif. Bila
ditinjau dari segi sensitivitas dalam menentukan lesi structural, maka MRI
lebih sensitif dibandingkan CT scan kepala.
13
3. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan hematologis
Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, leukosit dan hitung jenis,
hematokrit, trombosit, apusan darah tepi, elektrolit (natrium, kalium,
kalsium, magnesium), kadar gula darah sewaktu, fungsi hati
(SGOT/SGPT), ureum, kreatinin dan albumin.
1) Awal pengobatan sebagai salah satu acuan dalam menyingkirkan
diagnosis banding dan pemilihan OAE
2) Dua bulan setelah pemberian OAE untuk mendeteksi samping OAE
3) Rutin diulang setiap tahun sekali untuk memonitor samping OAE,
atau bila timbul gejala klinis akibat efek samping OAE
b. Pemeriksaan kadar OAE
Pemeriksaan ini idealnya untuk melihat kadar OAE dalam plasma saat
bangkitan belum terkontrol, meskipun sudah mencapai dosis terapi
maksimal atau untuk memonitorkepatuhan pasien.
F. Penanganan/Penatalaksanaan
Terapi utama pada epilepsi adalah penggunaan obat antiepilepsi (OAE).
Beberapa kasus memerlukan terapi selain OAE, seperti Sindrom West yang
memerlukan tambahan terapi Adrenocorticotropic Hormone (ACTH).
Pemilihan terapi epilepsi dipilih sesuai dengan jenis epilepsi, efek samping
yang spesifik dari obat antiepilepsi serta kondisi pasien. Penggunaan
monoterapi lebih dianjurkan untuk mengurangi potensial efek samping yang
dapat muncul, meningkatkan kepatuhan pasien. Lebih dari 60% pasien tidak
patuh dalam menggunakan obat dan hal tersebut merupakan penyebab utama
atas gagalnya pengobatan. Penangan epilepsi dapat dilakukan dengan terapi
secara farmakologi dan non-farmakologi
1. Farmakologi
- Obat-obat antiepilepsi dapat dibagi menjadi 2 kategori berdasarkan
efeknya yaitu efek langsung pada membran yang eksitabel dan efek
melalui perubahan neurotransmitter.
14
Mekanisme obat jenis ini dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu
mekanisme dengan memblokade aksi glutamat (glutamate blockers) dan
mekanisme dengan mendorong aksi inhibisi GABA (Gamma Amino
ButyricAcid) pada membran postsinaptik dan neuron. Blokade aksi
glutamat (glutamate blockers)
16
Tipe seizure First-line drugs Second-line Alternatif/ obat Obat yang harus
Drugs lain yang dihindari (mungkin
dapat memperburuk
dipertimbangkan kejang)
Generalised fenitoin Klobazam Asetazolamida Tiagabin
tonic–clonic Valproat Levetirasetam Klonazepam Vigabatrin
Topiramat Okskarbazepin Fenobarbitala
Karbamazepin Fenitoina
Lamotrigin Primidona
Absence Etoksuksimi Klobazam Karbamazepin
Lamotrigin Klonazepam Gabapentin
Valporat Topiramat Okskarbazepin
Tiagabin
Vigabatrin
Myoclonic Valproat Klobazam Karbamazepin
Topiramat Klonazepam Gabapentin
Lamotrigin Oksarbazepin Tiagabin
Levetirasetam Vigabatrin
Pirasetam
Tonic Lamotrigin Klobazam Asetazolamid Karbamazepin
Valproat Fenitoin Klonazepam Fenobarbital Okskarbazepin
Levetirasetam Fenitoin
Topiramat Primidon
Atonic Lamotrigin Klobazam Asetazolamid Karbamazepin
Valproat Klonazepam Fenobarbital Okskarbazepin Fenitoin
Levetirasetam Primidon
Topiramat
Infantile Spasms Steroid Vigabatrin Klobazam Klobazam Karbamazepin
Klonazepam Klonazepam Okskarbazepin
Valproat Valproat
Topiramat Topiramat
Focal Karbamazepin Klobazam Asetazolamid
with/without Lamotrigin Gabapentin Klonazepam
secondary Okskarbazepin Levetirasetam Fenobarbital
generalisati Valproat Tiagabin Primidon
on Topiramat
20
2. Non farmakologi
Selain dengan terapi menggunakan obat, dapat pula dilakukan terapi non-
farmakologi. Terapi non-farmakologi untuk epilepsi meliputi :
a) Pembedahan
Merupakan opsi pada pasien yang tetap mengalami kejang meskipun
sudah mendapat lebih dari 3 agen antiepilepsi , adanya abnormalitas fokal,
lesi epileptik yang menjadi pusat abnormalitas epilepsi (2).
b) Diet Ketogenik
Diet ketogenik adalah diet tinggi lemak, cukup protein, dan rendah
karbohidrat, yang akan menyediakan cukup protein untuk pertumbuhan,
terapi kurang karbohidrat untuk kebutuhan metabolisme tubuh. Dengan
demikian tubuh akan menggunakan lemak sebagai sumber energi, yang
pada gilirannya akan menghasilkan senyawa keton. Mekanisme diet
ketogenik sebagai antiepilepsi masih belum diketahui secara pasti, namun
senyawa keton ini diperkirakan berkontribusi terhadap pengontrolan
kejang. Adanya senyawa keton secara kronis akan memodifikasi siklus
asam trikarbosilat untuk meningkatkan sintesis GABA di otak, mengurangi
pembentukan reactive oxigene species (ROS), dan meningkatkan produksi
energi dalam jaringan otak. Selain itu, beberapa aksi penghambatan syaraf
lainnya adalah peningkatan asam lemak tak jenuh ganda yang selanjutnya
akan menginduksi ekspresi neural protein uncoupling (UCPs), meng-
upregulasi banyak gen yang terlibat dalam metabolisme energi dan
biogenesis mitokondria. Efek-efek ini lebih lanjut akan membatasi
pembentukan ROS dan meningkatkan produksi energi dan hiperpolarisasi
syaraf. Berbagai efek ini secara bersama-sama diduga berkontribusi
terhadap peningkatan ketahanan syaraf terhadap picuan kejang (2).
BAB III
URAIAN TENTANG OBAT
A. AMLODIPIN
Struktur Kimia
22
23
B. CANDESARTAN
Struktur Kimia
Indikasi Hipertensi
Dosis Hiperntensi, dosis awal 8 mg (gangguan fungsi hati 2
mg, gangguan fungsi ginjal atau volume deplesi
intravascular 4 mg) sekali sehari, tingkatkan jika perlu
pada interval 4 minggu hingga maksimal 32 mg sekali
sehari; dosis penunjang lazim 8 mg sekali sehari.
C. SIMVASTATIN
Struktur Kimia
D. HYDROCHLORTIAZIDE
Struktur Kimia
E. KSR/KCl
Struktur Kimia
Efek Samping Mual dan muntah (bila berat dapat merupakan tanda
obstruksi) ulserasi esofagus atau usus kecil.
Interaksi Obat Dengan ACE Inhibitor dan ARB, garam kalium dapat
meningkatkan efek hyperkalemic dari Inhibitor ACE;
dengan antikolinergi dapat meningkatkan efek
ulserogenik dari Kalium Klorida.
Kontraindikasi Kerusakan ginjal berat, kadar plasma kalium di atas 5
mmol/liter
Perhatian dan Penderita lanjut usia, kerusakan ginjal ringan sampai
peringatan sedang (diperlukan pengawasan ketat) striktur usus,
riwayat ulkus peptikum, hiatus hernia (untuk sediaan
lepas lambat); penting: bahaya khusus bila diberikan
dengan obat yang bisa menaikkan kadar plasma kalium
seperti diuretik hemat kalium, ACE inhibitor, atau
siklosporin
F. BISOPROLOL
Struktur Kimia
G. PHENYTOIN
Struktur Kimia
Struktur Kimia
Dosis dan cara 300-900 mg tiap 4-6 jam bila diperlukan ; maksimum 4 g
pemberian per Hari.
Anak dan remaja tidak dianjurkan.
Efek Samping Iritasi saluran cerna dengan perdarahan ringan yang
asimptomatis
Interaksi Obat - analgesic : AINS; Dapat meingkatkan efek samping;
Ibuprofen dapat mengurangi efek antiplatelet
- Antasida : urin yang bersifat basa akibat antasida
meningkatkan ekskresi asetosal
- Diuretik : asetosal memberikan efek antagonis terhadap
efek spironolakton
- Kortikosteroid : meningkatkn risiko perdarahan saluran
cerna dan tukak
- Klopidogrel : meningktkan resiko perdarahan
- Penghambat ACE : risiko gangguan fungsi ginjal, efek
antagonis terhadap efek hipotensi
Kontraindikasi Anak dan remaja < 16 tahun dan ibu menyusui; riwayat
maupun sedang menderita tukak saluran
cerna;hemophilia; tidak untuk pengobatan gout.
Perhatian dan asma; penyakit alergi; gangguan fungsi ginjal;
peringatan menurunnya fungsi hati; dehidrasi;kehamilan, pasien
lansia
I. PARACETAMOL
Struktur Kimia
J. RANITIDINE
Struktur Kimia
K. DIAZEPAM
Struktur Kimia
L. ASAM FOLAT
Struktur Kimia
M. DEPAKOTE
Struktur Kimia
Farmakoterapi
N. ABILIFY ( ARIPIPRAZOLE )
Struktur Kimia
Perhatian dan Hati-hati digunakan pada pasien yang juga menerima obat
peringatan yang memperpanjang interval QT atau menyebabkan
ketidak seimbangan elektrolit.
O. RISPERIDONE
Struktur Kimia
P. HEXYMER ( TRIHEXYPENIDIL)
Struktur Kimia
R. VOMIZOLE ( PANTOPRAZOLE)
Struktur Kimia
Farmakoterapi
S. TOPAMAX (TOPIRAMATE)
Struktur Kimia
Farmakoterapi
Dosis dan cara Dewasa : Kejang onset parsial (monoterapi) dan kejang
pemberian tonik-klonik umum primer (monoterapi): Oral. Awal : 25
mg dua kali sehari; dapat meningkat setiap minggu hingga
50 mg.hari hingga 100 mg dua kali sehari (minggu ke 4
dosis); setelah itu, selanjutnya dapat meningkat setiap
minggu sebesar 100 mg/hari hingga maksimum 200 mg
dua kali sehari. Kejang onset parsial (tetapi tambahan).
Oral. Awal : 25-50 mg/hari (diberikan dalam 2 dosis
terbagi) selama 1 minggu; meningkat pada interval
60
Farmakoterapi
Indikasi Skizofernia
U. RICLONA (CLONAZEPAM)
Struktur Kimia
W. CEFTRIAXONE
Struktur Kimia
Farmakoterapi
Indikasi Arthritis, sepsis, abses otak, pneumonia, meningitis,
otitis media
Dosis dan cara IV: 1-2 g setiap 12-24 jam, tergantung dari keparahan
pemberian infeksi
Efek samping Hangat dan terasa kaku pada daerah penyuntikkan
Interaksi obat - Garam Kalsium (Intravena): Dapat meningkatkan
efek merugikan / beracun ceftriaxone. Ceftriaxone
mengikat kalsium membentuk endapan yang tidak
larut. Risiko X: Hindari kombinasi
- Injeksi Ringer (Laktasi): Dapat meningkatkan efek
merugikan / beracun dari ceftriaxone. Ceftriaxone
mengikat kalsium dalam Ringer Laktat membentuk
endapan yang tidak larut. Risiko X: Hindari kombinasi
- Vaksin tifoid: Antibiotik dapat mengurangi efek
terapeutik dari Vaksin Tifus. Hanya strain Ty21a
hidup yang dilemahkan yang terpengaruh. Risiko D:
Pertimbangkan modifikasi terapi
- Agen ricosuric: Dapat menurunkan ekskresi
Cephalosporins. Risiko C: Pantau terapi
- Vitamin K Antagonis (mis., Warfarin): Sefalosporin
dapat meningkatkan efek antikoagulan Antagonis
Vitamin K. Risiko C: Pantau terapi
Kontraindikasi Hipersensitivitas ceftriaxon atau sefalosporin lainnya,
bayi dengan hiperalbuminemia
Perhatian dan Kehamilan: kategori B
peringatan
75
X. NEUROBION
1. Vitamin B1 (Thiamine)
Struktur Kimia
2. Vitamin B6 (Pyridoxine)
Struktur Kimia
Struktur Kimia
A. PASIEN 1
1. Data Pasien
a. Data Demografi
1) Nama : Tn. RKD
2) Jenis Kelamin : Laki-laki
3) Berat Badan : 50 kg
4) No. RM : 00.91.xx.xx
5) Umur : 53 tahun
6) Tanggal Masuk : 28/08/2019 / jam 22.30
7) Tanggal Keluar : 04/09/2019 / jam 20.00
8) R. Perawatan : Melati (RS Islam Jakarta Cempaka Putih)
9) Status Jaminan : BPJS Kesehatan
b. Data Subjektif
1) Keluhan Utama :
Pasien penurunan kesadaran sejak ±30 menit, kejang seluruh tubuh,
kejang terjadi tiba tiba dan pasien tidak sadar setelah kejang hilang
timbul, durasi kejang 5 menit.
2) Riwayat Penyakit Dahulu : Epilepsi, HT emergensi
3) Riwayat Penyakit Keluarga :-
4) Riwayat Penggunaan Obat :-
5) Riwayat Alergi :-
6) Riwayat Sosial :-
86
87
Penurunan Mulai
+ - - - - -
kesadaran membaik
Sesak Mulai
+ Berkurang berkurang Berkurang berkurang -
nafas berkurang
Pusing + + + + + + +
Demam - + + + + - -
Lemas
pada
+ + + + + + -
tangan dan
kaki
Mulai
Gelisah + - - - - -
menurun
c. Data Objektif
1) Tanda Vital
Tabel IV.2 Tanda-tanda Vital Objektif Pasien 1
Keluhan Normal 29/8/19 30/8/19 31/8/19 1/9/19
RR 12-20x/menit 33 30 30 24
Nadi 60-100x/menit 86 86 90
RR 12-20x/menit 22 22 20
2) Hasil Pemeriksaan
Tabel IV.3 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Pasien 1
HASIL
NILAI
PEMERIKSAAN 28/08/2019 SATUAN INTERPRETASI
RUJUKAN
22:14
HEMATOLOGI
HEMATOLOGI
RUTIN
Hemoglobin 15,4 g/dL 13,2-17,3
Jumlah leukosit 15,05 (High) 103/μL 3,80-10,60 Adanya Infeksi
Hematokrit 46 % 40-52
Jumlah trombosit 361 103/μL 150-440
Eritrosit 5,80 106/μL 4,40-5,90
MCV/VER 90 fL 80-100
MCH/HER 27 Pg 26 – 34
MCHC/KHER 33 g/dL 32 – 36
KIMIA KLINIK
FAAL GINJAL
Kreatinin Darah 1.0 mg/dL < 1.4
ELEKTROLIT
Natrium (Na) Darah 147 mEq/L 135 – 147
Kalium (K) Darah 2,7 (Low) mEq/L 3.5 – 5.0 Hipokalemia
Klorida (Cl) Darah 103 mEq/L 94 – 111
DIABETES
Glukosa Darah
128 mg/gL 70 - 200
Sewaktu
Tabel IV. 4 Hasil Pemeriksaan CT Scan Pasien 1
29/08/2019
Pemeriksaan Kepala
89
Dilakukan pemeriksaan CT scan kepala tanpa kontras dengan potongan axial dengan irisan 5mm.
Kesan Infark cerebri dilobus temporal kanan
d. Prosedur Tindakan
Tabel IV. 5 Prosedur Tindakan Pasien 1
No Tanggal Prosedur Tindakan
f. Diagnosa Masuk
Kesadaran menurun, observasi kejang, HT emergensi
Amlodipin tab 10
1x1 21 21 21
mg
Candesartan tab 18 18 18
2x1 06 06
16 mg
Simvastatin tab 21 21 21
1x1
20 mg
Amlodipin tab 10
1x1 21 21 21
mg
91
Candesartan tab 18 06 18 08 18
2x1 06
16 mg
Simvastatin tab 21 21 21
1x1
20 mg
oral P S So M
Amlodipin tab 10
1x1
mg
Candesartan tab 06 18
2x1
16 mg
Simvastatin tab
1x1
20 mg
Ranitidin 2x50 mg 10 22 10 22 10 22
Citicolin 2x250 mg 09 21 09 21 09 21
Diazepam Extra
Ceftriiaxone 1x2 g
Antrain
( Metamizole 2x500 mg
Sodium)
Nama Obat 1/09/19 2/09/19 3/09/19
Frekuensi (Ruang Melati) (Ruang Melati) (Ruang Melati)
Injeksi P S So M P S So M P S So M
Ranitidin 2x50 mg 10 22 10 22 10 22
Citicolin 2x250 mg 09 21 10 22 10 22
Diazepam Extra
Ceftriiaxone 1x2 g 06 06
Antrain
( Metamizole 2x500 mg 10 22 10 22
Sodium)
Nama Obat 4/09/19
Frekuensi (Ruang Melati)
Injeksi P S So M
Ranitidin 2x50 mg 10
Citicolin 2x250 mg 10
Diazepam Extra
Ceftriiaxone 1x2 g 06
Antrain
( Metamizole 2x500 mg 10
Sodium)
93
Combivent 2,5 ml
(Ipratropium
bromide dan 2x1 10 22 10 22 10 22
albuterol)
(nebul)
amlodipin tab 5 mg 1x1 (oral), kaptopril tab 12,5 mg 1x1 (oral), penitoin cap
100 mg 3x1 (oral), ranitidin 1 ampul 1x1 (injeksi), ondansetron 1 ampul 1x1
(injeksi), perdipine 1 ampul, setelah itu pasien dipindahkan dari IGD ke ruang
HCU lantai 6 pada tanggal 29 agustus 2019-30 agustus 2019, lalu Pasien
melakukan perawatan di ruang melati selama 4 hari terhitung dari tanggal 31
Agustus 2019 sampai 4 September 2019.
Berdasarkan keluhan awal pasien dapat diklasifikasikan bahwa pasien
mengalami epilepsi tipe bangkitan umum lena (petit mal) dimana tipe
bangkitan ini memiliki bentuk bangkitan berupa gangguan kesadaran secara
mendadak, dan pasien akan terdiam, hal ini sesuai dengan kondisi klinis yang
dialami pasien yaitu pasien mengalami kejang-kejang lalu pasien terdiam.
Hasil tekanan darah pasien sebesar 188/122 mmHg menunjukkan pasien
mengalami hipertensi emergensi dan berdasarkan hasil laboratorium nilai
jumlah leukosit pasien lebih tinggi dari nilai rujukan maka pasien mengalami
infeksi dan nilai kalium pasien lebih rendah dari nilai rujukan maka pasien
mengalami hipokalemia.
80 mg (80 mg/hari)
(asam
asetilsalisilat)
Tabel IV.10 Pemilihan Obat, Dosis dan Cara Pemberian Obat Injeksi Pasien 1
Nama obat Indikasi Dosis R/ Dosis Lazim Keterangan Pustaka
2x50 mg 50 mg setiap 6-
Ranitidin Tidak sesuai
Tukak lambung 8 jam 17th
(100 DIH
50 mg (dosis terlalu rendah)
mg/hari) (150 mg/hari)
2x250 mg
Citicolin Gangguan 500-1000
(500 Sesuai MIMS
250 mg cerebrovaskular mg/hari
mg/hari)
Ceftriaxone 1x2 g
Infeksi bakteri 2-4 g/ hari Sesuai IONI
1g (2 g/hari)
Antrain
500 mg 2x500 mg
Demam 1-4 g/hari Sesuai MIMS
( Metamizole (1 g/hari)
Sodium)
96
Tabel IV.11 Pemilihan Obat, Dosis dan Cara Pemberian Obat Lain-lain Pasien 1
Nama obat Indikasi Dosis R/ Dosis Lazim Keterangan Pustaka
Combivent
(nebul)
b. Lama Terapi
Tabel IV.12 Lama Terapi Pasien 1
Nama obat Lama Terapi
Ranitidin 50 mg 7 hari
Ceftriaxone 1 g 3 hari
Aspilet tab 80 mg
Bronkospasme Tidak ada IONI
(asam asetilsalisilat)
Combivent 2,5 ml
Tremor (terutama di tangan),
(Ipratropium bromide Tidak ada IONI
ketegangan, sakit kepala,
dan albuterol)
98
berdebar, sesak
nafas, kelemahan
pada otot.
Konstipasi ,Kram
otot
Konstipasi ,Kram
otot
Penggunaan obat
- -
kurang tepat
Dosis terlalu besar - -
Dosis terlalu kecil 1. Dosis obat ranitidin inj, dan combivent nebul kecil
2. Dosis parasetamol belum adekuat
-
3. Dosis HCT tab atau bisoprolol tab belum adekuat
2. P1 Efektivitas C1: pemilihan I1 Pada A3 Lain- O0 Tidak Pada tanggal 31/08/19 Pasien mengeluhkan
terapi Obat tingkat lain diketahui demam tetapi belum mendapatkan obat untuk
P1.3 Gejala C1.3: Tidak penulis resep A3.2 O0. 1 Status mengatsi demam. Sebaiknya pasien
atau indikasi ada I1.4 Intervensi masalah tidak diberikan parasetamol tab 500 mg 3x1 untuk
_
yang tidak pengobatan Intervensi tidak diketahui mengatasi demam, tetapi intervensi tidak
diobati meskipun ada didiskusikan diusulkan dilakukan sehingga outcome tidak diketahui.
indikasi dengan
dokter
105
3. Ranitidin P1 Efektivitas C3 Pemilihan I1 Pada A3 Lain- O0 Tidak Dosis Ranitidin injeksi 50 mg yang diberikan
injeksi 50 terapi dosis tingkat lain diketahui pada pasien 2x1 (100 mg/hari) lebih rendah
mg 2x1 P1.2 Potensi C3.1 Dosis obat penulis resep A3.2 O0. 1 Status dibandingkan pada dosis lazim 150 mg/hari.
efek obat tidak terlalu rendah I1.4 Intervensi masalah tidak Sebaiknya dosis pemberian ranitidin injeksi
optimal Intervensi tidak diketahui 2x1 diubah menjadi 3x1. Rencana intervensi
didiskusikan diusulkan adalah mendiskusikan dengan dokter
dengan mengenai dosis Ranitidin injeksi yang
dokter diberikan pada pasien, namun intervensi
tidak diusulkan sehingga outcome tidak
diketahui.
4. Combivent P1 Efektivitas C3 Pemilihan I1 Pada A3 Lain- O0 Tidak Dosis Combivent nebul 2,5 ml yang
nebul 2,5 terapi dosis tingkat lain diketahui diberikan pada pasien 2x1 (5 ml/hari) lebih
ml 2x1 P1.2 Potensi C3.1 Dosis obat penulis resep A3.2 O0. 1 Status rendah dibandingkan pada dosis lazim 2,5 ml
efek obat tidak terlalu rendah I1.4 Intervensi masalah tidak setiap 6 jam (10 ml/hari). Sebaiknya dosis
optimal Intervensi tidak diketahui pemberian Combivent nebul 2x1 diubah
didiskusikan diusulkan menjadi 4x1. Rencana intervensi adalah
dengan mendiskusikan dengan dokter mengenai
dokter dosis Combivent nebul yang diberikan pada
pasien, namun intervensi tidak diusulkan
sehingga outcome tidak diketahui.
5. Parasetamo P1 Efektivitas C3 Pemilihan I1 Pada A3 Lain- O0 Tidak Dosis Parasetamol tablet 500 mg yang
l tablet 500 terapi dosis tingkat lain diketahui diberikan pada pasien 3x1 (1500 mg/hari)
mg 3x1 P1.2 Potensi C3.1 Dosis obat penulis resep A3.2 O0. 1 Status
terlalu rendah
belum adekuat dengan dosis lazim 1300-
(oral) efek obat tidak I1.4 Intervensi masalah tidak 2600 mg/hari. Sebaiknya pertimbangkan
optimal Intervensi diketahui pemberian dosis parasetamol tab 500 mg 3x1
106
B. PASIEN 2
1. Data Pasien
a. Data Demografi
1) Nama : Ny. CN
2) Jenis Kelamin : Perempuan
3) No. RM : 224xxx
4) Umur : 20 tahun
5) Tanggal Masuk : 6 November 2019
6) Tanggal Keluar : 8 November 2019
7) R. Perawatan : P. Salawati (RS. TNI AL Dr. Mintohardjo)
8) Status Jaminan : BPJS Kesehatan
b. Data Subjektif
1) Keluhan Utama :
Kejang dari 1 jam yang lalu, sebelum kejang nyeri dada, awal kejang
dimulai dari kaku kedua tangan tapi pasien masih sadar, sering nyeri
kepala, demam.
2) Riwayat Penyakit Dahulu : Hipertensi dan maag
3) Riwayat Penyakit Keluarga :-
4) Riwayat Penggunaan Obat :-
5) Riwayat Alergi :-
6) Riwayat Sosial :-
c. Data Objektif
1) Tanda-tanda Vital
Tabel IV. 19 Tanda-tanda Vital Pasien 2
HR (x/menit) 60-100 64 69 64
109
RR (x/menit) 12-20 20 20 18
2) Hasil Pemeriksaan
Tabel IV.20 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Pasien 2
Pemeriksaan Nilai Normal 6/11/19 7/11/19 8/11/19
Hematokrit 42 – 46 % 42 - -
150.000 - 450.000
Trombosit 23.3000 - -
/uL
Neutrofil 36 – 73 44 - -
Basofil 0-1 0 - -
Eosinofil 0-3 2 - -
Limfosit 20 – 40 47 - -
Monosit 2–8% 7% - -
d. Diagnosa Masuk
Febrile convulsion, Seizure susp. SE
110
2 Depakote 2x1 √ - √ - √ - √ - √ - - -
Maintenance :
(drugs.com)
b. Lama Terapi
Tabel IV.23 Lama Terapi Pasien 2
Nama obat Lama Terapi
Phenitoin 3 hari
Diazepam 3 hari
Depakote 3 hari
112
Keterangan
Nama obat Efek samping Pustaka
(pada pasien)
Rencana
No Obat Permasalahan Penyebab Penerimaan Outcome Keterangan
Intervensi
_ _ _ _ _ _ _ _
Depakote PO 1x1
C. PASIEN 3
1. Data Pasien
a. Data Demografi
1) Nama : Nn.EM
2) Jenis Kelamin : Perempuan
3) No. RM : 00-87-XX-XX
4) Umur : 23 tahun
5) Tanggal Masuk : 12-09-2019
6) Tanggal Keluar : Masih dirawat
7) R. Perawatan : RS. Husada
8) Status Jaminan : BPJS Kesehatan
b. Data Subjektif
1) Keluhan Utama :
Pasien diantar oleh keluarga ke RS karena kurang lebih 1 bulan ini pasien
cenderung tidur, kurang lebih 3 bulan terakhir nafsu makan menurun,
berat badan turun 10kg.
114
RR : RR : 22 RR : 20
Suhu : 37°C RR : 18
RR : 20
Tidur (+)
Suhu : 37°C RR : 22 RR : 20
O2 Saturasi :
2) Hasil Pemeriksaan
Tabel IV.29 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Pasien 3
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
HB 15,7 13-15
HT 44 14-15
LED 5 0-20
SGOT 27 <37
SGPT 36 <47
Tabel IV.30 Hasil Pemeriksaan Pemerikasaan kadar fenitoin dalam darah Pasien 3
d. Diagnosa Masuk
Skizofrenia, Low intake dengan dehidrasi, dengan riwayat epilepsi
Risperidone 2 x 3 mg Sesuai
Hexymer 2 x 2 mg Sesuai
Merislon 2 x 12 mg Sesuai
Vomizol 2 x 20 mg Sesuai
b. Lama Terapi
Tabel IV.33 Lama Terapi Pasien 3
Nama Obat Lama Terapi
Folic Acid 6 hari
Abilify 6 hari
Risperidone 6 hari
Hexymer 6 hari
Merislon 6 hari
Vomizol 6 hari
Phenytoin 6 hari
Phenytoin 6 hari
Topamax 6 hari
Neurobion 6 hari
Haloperidol 6 hari
Riklona 6 hari
Abilify 6 hari
Risperidone 6 hari
Hexymer 6 hari
(pada pasien)
5. Topiramate + aripiprazole
Topiramate akan menurunkan level atau efek aripiprazole dengan
mempengaruhi metabolisme enzim hati/usus. Gunakan
perhatian/monitor.
6. Phenytoin + pantoprazole
Phenytoin akan menurunkan level atau efek pantoprazole dengan
mempengaruhi metabolisme enzim hati CYP2C19. Gunakan
perhatian/monitoring.
7. Topiramate + phenytoin
Topiramate meningkatkan kadar phenytoin dengan mengurangi
metabolisme. Minor/signifikan tidak diketahui.
8. Asam folat + phenytoin
Asam folat menurunkan kadar phenytoin dengan meningkatkan
metabolisme. Minor/signifikan tidak diketahui. Asam folat dosis besar
(>10 mg/hari).
9. Phenytoin + aripiprazole
Phenytoin dapat mengurangi kadar aripiprazole dalam darah, yang
membuat obat ini kurang efektif dalam pengobatan.
10. Phenytoin + trihexyphenidyl
Penggunaan bersamaan dapat meningkatkan efek samping seperti
pusing, kantuk, kebingungan, dan kesulitan konsentrasi.
Penggunaan obat
- -
kurang tepat
Dosis terlalu besar - Dosis Folic Acid terlalu tinggi
Dosis terlalu kecil - -
Reaksi obat yang
- -
tidak dikehendaki
Interaksi obat - Terlampir
Gagal menerima
- -
obat
124
A. PASIEN 1
Tn. RKD berusia 53 tahun mempunyai berat badan 50 kg dengan tinggi badan
165 cm, masuk ke IGD RSIJ Cempaka Putih pada tanggal 28 Agustus 2019
dengan keluhan kejang terus menerus saat dirumah selama ±30 menit hilang
timbul, setelah kejang pasien langsung terdiam. Hasil observasi yang dilakukan
menunjukkan tekanan darah pasien sebesar 188/122 mmHg dengan frekuensi
nadi dan respirasi pernafasan sebesar 104x per menit dan 33x per menit serta
dengan suhu tubuh 36,50C. Selama di IGD pasien diberikan terapi obat yang
terdiri dari pemberian Asering/24 jam, KCL inj 25 ml/24 jam, amlodipin tab
5 mg 1x1 (oral), kaptopril tab 12,5 mg 1x1 (oral), penitoin cap 100 mg 3x1
(oral), ranitidin 1 ampul 1x1 (injeksi), ondansetron 1 ampul 1x1 (injeksi),
perdipine 1 ampul, setelah itu pasien dipindahkan dari IGD ke ruang HCU
lantai 6 pada tanggal 29 agustus 2019-30 agustus 2019.
Berdasarkan keluhan awal pasien dapat diklasifikasikan bahwa pasien
mengalami epilepsi tipe bangkitan umum lena (petit mal) dimana tipe
bangkitan ini memiliki bentuk bangkitan berupa gangguan kesadaran secara
mendadak, dan pasien akan terdiam, hal ini sesuai dengan kondisi klinis yang
dialami pasien yaitu pasien mengalami kejang-kejang lalu pasien terdiam.
Selama di IGD pasien diberikan penitoin cap 100 mg 3x1, pemberian obat
tersebut sesuai dengan guidline dimana terapi pengobatan untuk pasien kejang
dengan tipe bangkitan umum lena yaitu penitoin cap 100 mg 3x1.
Hasil tekanan darah pasien menunjukkan pasien mengalami hipertensi
emergensi dimana menurut guidline pengobatan hipertensi emergensi
dilakukan dengan penurunan TD maksimal 25% dalam jam pertama.
Penurunan tekanan darah tersebut, dapat dilakukan secara injeksi intravena
menggunakan salah satu obatnya yaitu golongan CCB yaitu nicardipine. Hal
125
126
ini sesuai dengan terapi obat yang diberikan kepada pasien yaitu perdipine,
selain perdipine pasien juga mendapatkan amlodipine dan kaptopril dimana
pemberian kedua obat tersebut untuk memaksimalkan terapi obat yang
diberikan dalam menurunkan tekanan darah pasien. Menurut guidline dapat
diberikan obat anti hipertensi kombinasi yaitu obat golongan CCB dan ACE
inhibitor dimana amlodipine merupakan golongan CCB dan kaptopril
merupakan golongan ACE inhibitor, maka terapi obat yang diberikan sesuai.
Pemberian ranitidin dan ondansetron selama di IGD dilakukan sebagai
terapi empiris dikarenakan pemberian obat melalui injeksi memiliki resiko
pasien akan mengalami rasa mual dan muntah. Pemberian Asering, dan KCL
injeksi dilakukan untuk memenuhi kebutuhan kalium pasien dikarenakan
menurut hasil lab nilai kalium pasien lebih rendah dari nilai rujukan. Menurut
guidline, penanganan untuk kalium rendah yaitu dengan cara diberikan kalium
injeksi, maka hal ini telah sesuai dengan guidline.
Pasien Tn. RKD masuk tanggal 29 agustus 2019 di ruang HCU lantai 6,
setelah itu dilakukan rekonsiliasi obat admisi. Hasil dari rekonsiliasi obat
admisi yaitu pasien tidak membawa obat saat sampai di RSIJ Cempaka Putih.
Selama di ruang HCU lantai 6 pasien mendapatkan obat oral yang terdiri dari
amlodipin tab 10 mg, candesartan tab 16 mg, simvastatin tab 20 mg, HCT tab
25 mg, KSR tab 600 mg (KCL), bisoprolol tab 5 mg, penitoin cap 100 mg, dan
obat injeksi yang terdiri dari ranitidin 2x50 mg, citicolin 2x250 mg, serta obat
lainnya yaitu combivent 2,5 ml (Ipratropium bromide dan albuterol) (nebul)
2x1. Pada tanggal 31 agustus 2019 pasien dipindahkan keruang perawatan
melati dan masih diberikan obat obatan yang sama dengan obat diruang HCU
lantai 6, tetapi pada tanggal 1 agustus 2019 pasien mendapatkan tambahan obat
oral yaitu aspilet tab 80 mg (asam asetilsalisilat) 1x1, parasetamol tab 500 mg
3x1 dan pada tanggal 2 agustus 2019 pasien mendapatkan tambahan obat
injeksi yaitu ceftriaxone 1x2 g, antrain (metamizole sodium) 2x500 mg.
Pengkajian telaah resep dan terapi farmakologi yang diterima oleh Tn.
RKD dilakukan secara sistematis menggunakan literatur dan referensi yang
terbaru. Pengkajian telaah resep untuk Tn. RKD meliputi 8 aspek yang terdiri
127
dari tepat pasien, tepat obat, tepat dosis, tepat frekuensi, tepat pemberian,
duplikasi, interaksi obat, serta kontra indikasi.
Aspek yang pertama yaitu tepat pasien. Pasien Tn. RKD dikatakan tepat
karena pasien tersebut sesuai dengan diagnosis dan terapi obat yang diberikan
dokter kepada pasien. Aspek yang kedua yaitu tepat obat. Obat yang diterima
oleh Tn. RKD masuk ke dalam kategori tepat karena semua obat yang diterima
pasien sesuai dengan penyakit yang dialami oleh pasien.
Aspek yang ketiga yaitu tepat dosis. Dosis yang diberikan dokter
semuanya sesuai dengan literatur dan referensi, namun terdapat obat yang tidak
sesuai yaitu ranitidin inj, combivent nebul, tablet parasetamol dan tablet
HCT/bisoprolol, untuk ranitidin inj tidak sesuai karena seharusnya diberikan
150 mg/hari (DIH17th) tetapi dokter memberikan 100 mg/hari sehingga
ranitidine inj masuk ke dalam kategori under doses, untuk combivent nebul
tidak sesuai karena seharusnya diberikan 10 ml/hari (Medscape) tetapi dokter
memberikan 5 ml/hari sehingga combivent nebul masuk ke dalam kategori
under doses, untuk tablet parasetamol belum adekuat dikarenakan pasien masih
mengeluhkan demam seharusnya dosis parasetamol ditingkatkan atau dengan
penambahan obat lain yaitu antrain injeksi, untuk tablet HCT/bisoprolol belum
adekuat dikarenakan tekanan darah pasien masih tidak terkontrol saat pasien
pulang seharusnya diberikan dosis maksimum pada tablet HCT/bisoprolol
yaitu 50 mg/10 mg.
Aspek selanjutnya yaitu tepat frekuensi dan tepat pemberian masuk ke
dalam kategori tepat karena sesuai dengan terapi pasien. Aspek duplikasi dan
aspek kontraindikasi masuk ke dalam kategori tidak ada, karena semua terapi
yang diberikan dokter sesuai dengan diagnosis dan penyakit yang dialami
pasien. Aspek interaksi obat yaitu tidak terdapat interaksi obat yang ada pada
terapi obat pasien. Namun adanya kajian terkait interaksi obat dapat dijadikan
acuan terhadap kondisi klinis pasien. Tidak semua interaksi obat terjadi pada
semua pasien, semua bergantung pada kondisi klinis setiap individu.
Pengkajian terapi farmakologi yang diterima Tn. RKD yaitu identifikasi
drug related problem atau DRP. DRP terdapat 8 kategori yaitu indikasi yang
128
B. PASIEN 2
Pada hari Rabu, 6 November 2019 pasien masuk UGD dengan keluhan kejang
1 jam sebelum masuk ke rumah sakit, sering mengeluh nyeri kepala, sebelum
kejang dimulai dengan nyeri dada dan kaku kedua tangan. Kemudian
dilakukan pemeriksaan suhu tubuh dan kondisi vital lainnya, setelah itu
diberikan penanganan dengan pemberian injeksi diazepam ½ ampul dan
apabila timbul kejang lagi, diagnosa yang diberikan adalah febrile convulsion.
Selanjutnya pasien tersebut dipindahkan masuk ke dalam rawat inap Pulau
Salawati , hasil laboratorium pasien tersebut menunjukkan kadar limfosit yang
129
C. PASIEN 3
Pasien perempuan berusia 23 tahun dengan diagnosa skizofrenia, low intake
dan dehidrasi, mempunyai riwayat epilepsi. Pasien dalam keadaan sulit
diarahkan, sulit di ajak bicara, lemas. pasien cenderung tidur terus , kurang
lebih 3 bulan terakhir ini nafsu makannya menurun, berat badan turun 10 kg.
Obat obatan yang diterima pasien selama pengobatan adalah Folic Acid
2x1 tab, Abilify 1x10mg, Risperidone 2x3mg, Hexymer 2x2mg, Merislon
2x12mg, Vomizol 2x20mg, Phenytoin 1x50mg, Phenytoin 2x75mg, Topamax
2x50mg, Neurobion 5000 1x1tab, Haloperidol 2x0.5mg, dan Riklona 1x2mg.
Obat dikonsumsi satu kali sehari biasanya diberikan pada jam 8 pagi,
sedangkan untuk obat yang pemberiannya dua kali sehari diberikan pada jam
8 pagi dan untuk malam hari diberikan jam 7 malam.
Pada proses pemberian obat pada pasien tidak diberikan jeda waktu yang
sesuai, sehingga obat obatan yang dikonsumsi pasien akan mengalami interaksi
antar obat yang bisa menyebabkan meningkatnya efek samping obat,
menurunkan metabolisme obat atau obat tidak diabsorbsi dengan baik oleh
tubuh, contohnya penggunaan abilify bila diberikan bersamaan dengan
phenytoin akan berinteraksi, phenytoin akan menurunkan efek aripiprazole
dengan mempengaruhi metabolisme hati/usus. Pada pemberian antar obat
sebaiknya diberi penjedaan waktu untuk menghindari terjadinya interaksi obat
Pada pemberian Dosis Folic Acid terlalu tinggi, efek samping folic acid
jika dikonsumsi secara berlebih, maka akan memberikan dampak buruk pada
tubuh dengan mennjukkan bermacam macam reaksi seperti terasa sensasi
seperti rasa logam di mulut, perubahan sikap seperti mudah tersinggung atau
hiperaktif, tubuh merasakan gejala mati rasa karena kadar vitamin b12 secara
terus menerus tidak diserap sempurna, jika kandungan asam folat terlalu tinggi
di dalam tubuh maka akan memicu peningkatan tekanan darah atau hipertensi
. Maka sebaiknya dilakukan penurunan dosis pada folic acid.
Pada epilepsi, semua kelompok usia, dan semua jenis kejang,
beberapa uji klinik acak menunjukkan bahwa karbamazepin, asam valproat,
klobazam, fenitoin, dan fenobarbital efektif sebagai OAE, namun penelitian
131
A. KESIMPULAN
1. Berdasarkan hasil pemantauan terapi obat pada pasien epilepsi tipe
bangkitan umum lena (petit mal) dan hipertensi emergensi di RSIJ
Cempaka Putih dapat disimpulkan bahwa pengobatan yang diterima pasien
terdapat DRP (Drug related problems).
Drug related problems yang ditemukan yaitu :
a. Indikasi yang tidak ditangani : pada 31/08/19 data lab leukosit
pasien tinggi tetapi pasien belum mendapatkan antibiotik dan
pasien mengeluhkan demam tetapi belum diberikan parasetamol.
b. Dosis terlalu kecil : Dosis obat ranitidin inj 50mg 2x1, dan
combivent nebul kecil 2,5 ml 2x1, Dosis parasetamol 500mg 3x1
belum adekuat, Dosis HCT tab atau bisoprolol 5mg 1x1 tab belum
adekuat. Rekomendasi yang dapat diberikan yaitu dosis ranitidine
inj 150 mg/hari, dosis combivent nebules 10ml/hari, dosis
parasetamol dapat ditingkatkan atau dengan penambahan obat lain
yaitu antrain injeksi, dan bisoprolol diberikan dosis maksimum 5
mg/10 mg/hari.
c. Interaksi antara Aspilet dan Hidroklortiazid yaitu hidroklorotiazid
menurunkan kadar kalium. Rekomendasi yang dapat diberikan
yaitu Monitoring tanda fisik terhadap penuruan kalium seperti
tanda konstipasi dan kram otot.
d. Interaksi lainnya dapat dilakukan monitoring tanda fisik terhadap
pasien jika terdapat efek yang timbul karena adanya interaksi obat.
2. Pada pasien epilepsi dengan tipe Status epileptikus di RSAL TNI AL
Dr.Mintohardjo dapat disimpulkan bahwa pengobatan yang diterima pasien
sudah rasional dan sesuai dengan pedoman tatalaksana Penyakit Epilepsi.
132
133
B. SARAN
1. Apoteker farmasi klinis harus lebih aktif dalam menjalankan perannya
dalam melakukan Drug Monitoring atau pemantauan terapi obat agar dapat
meminimalisasi kesalahan terkait penggunaan penggunaan obat dan
menjamin bahwa pengobatan yang diperoleh oleh pasien telah rasional.
2. Perlu ditingkatkan komunikasi dan kerjasama yang baik antara antara
dokter, apoteker, perawat, serta profesi kesehatan lainnya untuk
mengoptimalkan terjalannya pemantauan terapi obat pada pasien.
DAFTAR PUSTAKA
7. The Epilepsies: Diagnosis and management of the epilepsies in children and young
people in primary and secondary care. Guideline, NICE. London : National Institute
for Clinical Excellent, 2014.
134
135