Anda di halaman 1dari 5

EKOSEMEN : Semen dari Sampah

Jepang, sebuah negeri penuh inovasi. Mungkin sebutan itu sangat sesuai sebagaimana Jepang
menangani masalah sampah di negaranya. Setelah berhasil membuat sebuah airport berkelas
internasional di Kobe yang dibangun di atas lapisan sampah dan menerapkan pembuatan pupuk
dari sampah di berbagai hotel di Jepang, kini Jepang telah berhasil mengubah sampah menjadi
produk semen yang kemudian dinamakan dengan ekosemen.

 Ekosemen

Kata Ekosemen diambil dari penggabungan kata “Ekologi” dan “Semen”. Diawali penelitian di
tahun 1992, para peneliti Jepang (yang tergabung dalam NEDO) telah meneliti kemungkinan
abu hasil pembakaran sampah, endapan air kotor dijadikan sebagai bahan semen. Dari hasil
penelitian tersebut diketahui bahwa abu hasil pembakaran sampah mengandung unsur yg sama
dg bahan dasar semen pada umumnya. Pada tahun 1993, Proyek itu kemudian dibiayai oleh
Kementrian Perdangan Internasional dan Industri Jepang. Pada tahun 2001, pabrik pertama di
dunia yang mengubah sampah menjadi semen, resmi beroperasi di Chiba. Pabrik tersebut mampu
menghasilkan ekosemen 110,000 ton/tahunnya. Sedangkan sampah yang diubah menjadi abu
yang kemudian diolah menjadi semen mencapai 62,000 ton/tahun, endapan air kotor dan residu
abu industri yang diolah mencapai 28,000 ton/tahun.

 Penggunaan Abu Insinerasi untuk semen

Di Jepang sampah terbagi menjadi berbagai macam, salah satunya adalah sampah terbakar
(terdiri atas sampah organik, kertas, dll) dan sampah tidak terbakar (plastik, dll). Setiap
tahunnya, penduduk Jepang membuang sekitar 37 juta ton untuk sampah terbakar. Kemudian
dari 37 ton/tahun sampah terbakar tersebut untuk kemudian akan dibakar (di-insenerasi), dan
menghasilkan abu (inceneration ash) mencapai 6 ton/tahunnya. Dari abu inilah yang kemudian
dijadikan sebagai bahan dari pembuatan ekosemen. Abu ini dan endapan air kotor mengandung
senyawa2 dalam pembentukan semen biasa. Yaitu, senyawa2 oksida seperti CaO, SiO2, Al 2O3,
dan Fe2O3. Oleh karena itu, abu insinerasi ini bisa berfungsi sebagai pengganti clay (tanah liat)
yang digunakan pada pembuatan semen biasa.

Tabel 1 Perbandingan Semen biasa dengan Semen Insenerasi

CaO SiO2 Al2O3 Fe2O3 SO3 Cl


Semen Biasa 62~65 20~25 3~5 3~4 2~3 50~100 ppm
Abu Insenerasi 12~31 23~46 13~29 4~7 1~4 150.000 ppm

Sumber : Taiheyo Engineering Corp

Yang jadi masalah adalah kandungan Cl yang begitu tinggi pada abu insinerasi dan logam berat
yang masih terkandung yang dapat mengakibatkan trouble pada sistem operasi dan mengurangi
kualitas dan material safety pada semen. Sedangkan kandungan CaO yang masih kurang pada
abu insinerasi dapat dicukupi dengan penambahan limestone (batu kapur). Dalam pembuatan
ekosemen ini, chlorine dan logam berat yang terkandung pada abu insinerasi akan diekstrak
menjadi artificial ore (Cu, Pb, dll) yang kemudian direcyle.

 Proses Pembuatan Ekosemen

Secara umum, produksi semen biasa (Portland) meliputi drying, pulverizing dan pencampuran
limestone, clay, quartzite dan bahan raw material lainnya dan kemudian dibakar dengan rotary
klin. Pada pembuatan ekosemen, secara prinsip sama dengan pembuatan semen biasa.
Perbedaannya terletak pada abu insinerasi, sewage sludge, dan limbah lainnya yang digunakan
sebagai raw material sebagai pengganti clay dan sebagian limestone (batu kapur). Adapun
Prosesnya sebagai berikut :

1. Preprocessing

Raw material (incineration ash dan endapan air kotor rumah tangga) diproses terlebih dahulu,
seperti dengan pengeringan (drying), crushing, dan logam yang masih terkandung dalam raw
material dipisahkan dan direcycle.

2. Raw Material Drying and Pulverizing

Setelah dikeringkan, raw material dihancurkan pada Raw grinding/drying mills bersamaan
dengan natural raw material (limestone).

3. Raw Material Mixing

Kemudian dimasukkan ke dalam Homogenizing Tank bersamaan dg fly ash (abu yang dihasilkan
oleh pembangkit listrik batubara) dan blast furnace slag (Limbah yang dihasilkan industri besi).
Dua Homoginezing tank ini diatur dan ditujukan untuk pencampuran semua raw material dan
kemudian mensuply ke proses selanjutnya. Pencampuran ini dimaksudkan untuk memperoleh
predetermined chemical composition (penentuan komposisi kimia yang diinginkan).

4. Firing

Setelah itu dimasukkan ke dalam rotary klin, untuk kemudian dibakar pada suhu diatas 1,350 C.
Pada proses ini, dioksin dan senyawa berbahaya lainnya yang terkandung pada inceneration ash
akan terurai dengan aman. Gas limbah dari rotary klin kemudian didinginkan secara cepat hingga
suhu 200 C untuk mencegah terbentuknya dioksin kembali. Pada proses ini pula logam berat yg
masih terkandung dipisahkan dan dikumpulkan ke dalam bag filter sebagai debu yang
mengandung chlorine. Debu ini kemudian dialirkan ke Heavy Metal Recovery Process. Pada
proses ini, chlorine yang masih terkandung akan dihilangkan dan menghasilkan sebuah articial
ore seperti tembaga dan timbal yang kemurniannya mencapai 35 % atau lebih.

Pada proses firing ini akan menghasilkan clinker (intermediate stage pada industri semen) yang
kemudian dikirim ke clinker tank.

5. Product Pulverizing Process


Gypsum ditambahkan bersama clinker dan campuran tersebut akan dihancurkan (pulverizing)
pada finish mills yang kemudian akan menghasilkan produk ekosemen.

Pembuatan Ekosemen

Gambar 1. Flowchart Pembuatan Ekosemen

 Kendala
Salah satu kendala utama pengembangan ekosemen adalah proses produksinya yang relatif
mahal apabila dibandingkan dengan produksi semen konvensional. Hal ini disebabkan oleh
proses pemisahan klor pada produksi ekosemen yang memakan banyak biaya. Keberadaan klor
sendiri diakibatkan karena adanya plastik vinil yang ikut tercampur pada sampah organik. Pada
pembuatan abu insenarasi, plastik vinil akan ikut terurai menjadi klor. Klor akan menurunkan
kekuatan konkrit ekosemen apabila tidak dipisahkan. Hal tersebut membuat pemisahan plastik
dari sampah organik secara seksama menjadi kunci utama pada produksi ekosemen.

 Kualitas Ekosemen

Hingga saat ini ada dua macam tipe ekosemen (berdasarkan penambahan alkali dan kandungan
chlorine) yaitu tipe biasa dan Tipe Rapid Hardening. Ekosemen tipe biasa mempunyai kualitas
sama baiknya dengan semen portland biasa. Tipe ekosemen ini digunakan sebagai ready mixed
concrete. Sedangkan ekosemen tipe Fast Hardening memiliki kekuatan concrete dan pengerasan
(hardening) yang lebih cepat dibanding semen portland tipe high-early strenght .Ekosemen tipe
ini digunakan pada architectural block, exterior wall material, roof material, wave dissipating
concrete block, dll. Ekosemen ini telah melewati proses Japanese Indusrial Standard (JIS).

Perbandingan Ekosemen dengan semen portland

Gambar 2. Perbandingan kekuatan ekosemen dibandikan dengan semen Portland

 Manfaat Ekosemen

Dengan adanya pengubahan sampah menjadi semen, menambah alternatif pengolahan sampah
yang lebih bernilai ekonomis, dan biaya pengolahan sampah di Jepang menjadi lebih murah. Bila
sebelumnya 40,000 yen/ton (pengolahan sampah konvensional) menjadi 39,000 yen/ton
(pengolahan sampah hingga menjadi semen).

Selain itu, teknologi ekosemen sangatlah ramah akan lingkungan. Pada pembuatan ekosemen,
sebagian CaO diperoleh dari abu insenerasi sehingga mengurangi penggunaan batu kapur
(CaCO3), yang selama ini sumber polusi gas CO2. Tak salah, jika kemudian teknologi ekosemen
mendapat penghargaan dari menteri lingkungan Jepang atas peranannya mencegah pemanasan
global.

 Peluang di Indonesia

Indonesia belum bisa lepas dari masalah sampah. Mulai dari penolakan warga masyarakat sekitar
TPA akibat kepulan asap dan bau yang ditimbulan pengolahan sampah saat ini hingga kejadian
yang tidak pernah dilupakan, tragedi leuwih gajah yang merenggut 24 nyawa tak bersalah.

Sudah banyak upaya yang dilakukan, termasuk dengan mengubahnya menjadi sumber energi
(metan) namun akibat kurangnya prospek dari segi ekonomi, akhirnya perkembangannya masih
jalan ditempat. Dengan berhasilnya Jepang, mengolah sampah menjadi semen, tentu menjadi
peluang sangat besar untuk dikembangkan di Indonesia. Di Jakarta saja sampah yang dihasilkan
oleh warganya mencapai 6000 ton lebih/hari. Selain itu secara prinsip, pembuatan ekosemen
hampir sama dengan pembuatan semen biasa, sehingga jika bisa dilakukan kerja sama dengan
pihak industri semen, maka akan jadi kerjasama yang menguntungkan baik pihak pemerintah
maupun pihak industri. Dari pihak pemerintah penanganan sampah bisa teratasi dan dari pihak
industri mampu mengurangi penggunaan limestone (26 %).

Namun yang terpenting adalah kemauan pemerintah, khususnya pemerintah kota/daerah, untuk
mengelola sampah dengan baik dan memulai untuk mencoba memisahkan sampah antara
sampah organik, anorganik, botol dan kaleng menjadi kebudayaan bangsa Indonesia secara luas.
Sehingga peluang pemanfaatan sampah menjadi semen atau produk yang lain bisa oleh pihak
industri bisa lebih ekonomi.

Ditulis Oleh : Dedy Eka Priyanto

Anda mungkin juga menyukai