Anda di halaman 1dari 7

Journal Reading

Infantisida: Beberapa Masalah Forensik dan Etik

Oleh:

Violin Nurkha 1840312699

Disha Cahyani Mukhlis 1840312701

Ade Yosdi Putra 1940312002

Astya Gema Ramadhan 1940312068

Preseptor:

Dr. dr. Rika Susanti, Sp.F

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP DR. M. DJAMIL

PADANG

2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat
dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah Journal Reading ini
dengan judul “The Infanticide: Some Forensic and Ethical Issues”.
Shalawat beriring salam semoga disampaikan kepada Rasulullah SAW
beserta keluarga, sahabat dan umat beliau.
Makalah Journal Reading ini merupakan salah satu syarat
mengikuti kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Kami mengucapkan
terima kasih kepada Dr. dr. Rika Susanti, Sp.F selaku dosen preseptor yang
telah memberikan masukan dan bimbingan dalam pembuatan makalah
Journal Reading ini. Kami mengucapkan terima kasih juga kepada semua
pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah Journal Reading ini.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu kami mengharapkan saran dan kritik untuk
menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua.

Padang,24 Oktober 2019

Penulis
Abstrak

Investigasi forensik dan perawatan klinis terhadap pembunuhan anak sendiri


adalah sebuah kesempatan untuk menggambarkan stigma sosial terhadap kejahatan
ini. Penilaian forensik-psikiatrik harus berdasarkan pada hubungan klinis yang otentik
dan bermakna terhadap ibu pelaku pembunuhan anak sendiri, tanpa misinterpretasi
dan tanpa pengaruh emosional analis terhadap pelaku seperti ketidakpercayaan dan
stigmatisasi terhadap tersangka. Hal tersebut akan mencegah evaluator membuat
diagnosis psikopatologikal dan psikologikal yang benar. Terdapat bukti bahwa
diakronik, yaitu evaluasi diagnostik multidisiplin akan mengarah kepada strategi
untuk pengobatan dan rehabilitasi. Hal ini dapat menentukan apakah pasien bisa
mendapatkan kembali nama baiknya, kemampuan bekerja dan peran sosialnya, dan
dapat memastikan bahwa hukuman yang diberikan tidak hanya memberikan efek jera
tetapi juga bersifat rehabilitatif.

Pendahuluan

Infaticide atau pembunuhan bayi sendiri adalah bentuk kejahatan yang


mengakibatkan stigma social. Sesuai dengan aturan hukum di sebagian besar negara, pelaku
kejahatan ini adalah seorang ibu yang membunuh anaknya yang baru lahir. Unsur psikologis
dari kejahatan ini adalah niat ibu untuk membunuh bayinya, tanpa memikirkan unsur moral
dan materil. Pelanggaran tersebut bisa berupa komisi atau kelalaian, ditambah dengan unsur
penyembunyian. Analisis data di Italia tahun 2000-2005 menunjukkan prevalensi
pembunuhan dengan mekanisme asfiksia (Tenggelam 19%, mati lemas 18%, tercekik 10%),
dengan defenestrasi (15%), dengan luka tajam (15%) dan yang paling jarang dengan senjata
api (4%). Tempat pembunuhan umumnya di rumah (85%) terutama pada kamar mandi (64%)
dan kamar tidur (20%) [1]. Studi mendapatkan sejumlah situasi dan alasan pembunuhan bayi
sendiri oleh ibu. Laporan pertama mengenai pembunuhan bayi oleh orang tua dirancang pada
tahun 1969 oleh Resnick yang memeriksa 131 kasus yang dilaporkan antara tahun 1951 dan
1967 [2].
5 pola psikis tentang pembunuhan bayi sendiri adalah:
1. Altuiristik, sering ditandai dengan sindrom beck, terdiri dari pandangan pesimis
tentang diri, dunia, masa depan mereka dan anaknya [1],
2. Psikotik tinggi, dimana kejahatan dilakukan di bawah tekanan halusinasi imperatif,
3. Pembunuhan disebabkan karena ibu dihadapkan ketidakinginan berperan sebagai
orang tua, akibat perselingkuhan atau ketidakmampuan ibu menghadapi rasa sakit,
pengabaian dan kekerasan,

Dendam terhadap ayah dari anak atau sering disebut kompleks medea [4]; -
kematian karena kecelakaan [5] adalah salah satu kejadian yang paing dramatis dari
syndrome abused children atau battered child syndrome, dimana ibu merupakan
penyebab kematian anak karena tindakan impulsif ibu yang timbul akibat tangisan
atau teriakan anak.
Beberapa penelitian pada pembunuhan anak sendiri telah diterbitkan sejak
Resnick membuat klasifikasi berdasarkan motivasi, situasi klinis, dan sumber
dorongan untuk membunuh [6-8].
Tipe lain dari pembunuhan anak yang dapat di pertimbangkan adalah kelalaian,
kelalaian pasif dari ibu, yang tidak memenuhi kebutuhan anaknya (memberi makan,
perlindungan,bahkan memberikan pakaian yang sesuai dengan temperature saat itu,
dan perawatan medis ). Pada kasus lain ibu membunuh anaknya sebagai kambing
hitam untuk melampiaskan rasa frustasi mereka. Kemungkinan lain, hal yang
menyebabkan pembunuhan anak sendiri adalah anak tersebut ingin ingin membunuh
ibunya. [9]. Beberapa ibu mengalami histeria selama kehamilan dan membuang
bayinya yang baru lahir.[10] Menggunakan mekanisme defensif primitif yang
“membantu untuk menghindari kesadaran terhadap realitas yang sulit untuk
dihadapi”. Disebutkan bahwa “perempuan hamil tersebut hamil dalam keadaan sulit
dan pasti akan membuang janinnya di sampah atau di jamban: [11].

Diskusi
Pola kriminologi
Neonatisida paling sering dilakukan oleh ibu yang sangat muda (di bawah
usia dua puluh lima tahun), belum dewasa, belum menikah, menganggur atau masih
pelajar; mereka merasa tidak mampu untuk bertanggung jawab dan stress sosial [12].
Umumnya pada wanita muda yang mempunyai hubungan tidak stabil dengan ayah
dari anak-anak mereka dan tidak mencari perawatan pranatal [13]. Sering kali
persalinan dilakukan di rumah atau bukan rumah sakit, meskipun kasus neonatisida di
rumah sakit neonatal telah tercatat [14]. Seringkali pelanggaran yang sama didahului
oleh penolakan kehamilan, hingga wanita tersebut terkejut oleh kontraksi [10].
Wanita yang melakukan neonatisida, sering menggambarkan gejala disosiatif, seperti
depersonalisasi, derealization, dan halusinasi disosiatif [15]. Wanita jarang menderita
gangguan mental serius pada kasus kejahatan [16,17].
Spinelli [18] menunjukkan bahwa mereka yang melakukan kejahatan sering
dibesarkan dalam lingkungan dengan pengabaian emosional, isolasi, dan
kebingungan terhadap batasan perilaku yang dianggap salah. Mereka menderita
karena kurangnya dukungan orang tua, ibunya memiliki keterlibatan emosional saat
membesarkan mereka, sering karena penyakit menular atau penggunaan /
penyalahgunaan zat. Banyak yang terpaksa memikul tanggung jawab karena tidak ada
orang tua. Di antara wanita neonatisida dan infantisida (kelompok yang mirip satu
sama lain) permasalahannya adalah penolakan terhadap 'anak yang tidak diinginkan',
sedangkan filisida karena tekanan mental dan faktor psikososial [7,19,20]. Filisida
juga sering pada usia lebih dari 25 tahun, umumnya menikah, dan memiliki
pendidikan yang baik [2]. Wanita-wanita ini juga memiliki kecenderungan untuk
merencanakan kejahatannya, balas dendam terhadap orang lain, dan wanita yang
dilecehkan atau diperlakukan dengan buruk [5].
FAKTOR RISIKO DAN PENYAKIT MENTAL
Analisis pada ibu infantisida terdapat tiga faktor risiko berupa struktur
kepribadian pelaku kejahatan, hubungan dengan keluarga asli (terutama ibu) dan
hubungan dengan pasangan. Sering para wanita ini mengalami berbagai bentuk
pelecehan, mulai dari seksual hingga emosional, dengan kecenderungan stres emosi,
ketiadaan figur ayah, dan sering menderita gangguan suasana hati [1]. Oleh karena
kemampuan ibu dalam merawat anak adalah hasil dari pelajaran yang dipetik dari
ibunya, seolah-olah wanita-wanita ini menjadi korban pembunuhan tidak diwujudkan
dalam bentuk fisik, tetapi dalam hal emosi, ketahanan dan tiruan.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pembunuhan bayi adalah kejahatan
transgenerasional. Ketika seorang ibu membunuh anaknya, tidak jarang, hal ini
merupakan suatu ketidaknormalan karena kejahatan ini melanggar kebiasaan
normalitas psikis, bahkan dianggap "bertentangan dengan alam." "[21,22]. Dalam
praktik psikiatrik forensik telah diamati, bagaimanapun, bahwa filisida dapat terjadi
tanpa perlu dipengaruhi oleh adanya penyakit atau gangguan mental yang dapat
menyebabkan penurunan kemampuan pengamatan yang nyata.
Studi tentang gangguan mental yang diderita oleh para ibu pembunuh, yang
dilakukan pada kelompok pasien, menunjukkan kesimpulan yang terkadang tidak
sesuai. Krischer, dkk. [23] dalam studinya mengidentifikasi dua kelompok utama
gangguan mental, yang paling terwakili dalam spektrum Skizofrenia (sekitar 63%),
termasuk Skizofrenia (42%), Gangguan Skizoafektif (14%), atau Paranoid (7) %),
dilar spektrum gangguan afektif (30% lainnya), yang meliputi Depresi Berat (12,3%),
Depresi dengan Gejala Psikotik (10,5%), dan Post Partum (3,5%), dan Gangguan
Bipolar (3,5%). Sebaliknya, dalam penelitian oleh Haapasalo dan Petaja [24]
pembunuhan bayi oleh ibu dalam diagnosis depresi berat yang meliputi lebih dari
82%. Pelaku juga sering bermanifestasi dengan komorbiditas sumbu II, terutama
untuk gangguan kepribadian cluster B, borderline, antisosial, sering dalam hubungan
dengan ketergantungan alkohol [25].

Evaluasi ibu dari pembunuhan bayi untuk perawatan pemulihan


Tes psiko-diagnostik adalah bantuan mendasar untuk diagnosis psikiatrik,
baik dalam pendekatan klinis maupun forensik. Biasanya, penanggung jawab
meminta profesional forensik-psikiatrik untuk mendeskripsikan nosografis belaka,
memastikan bahwa Pengadilan dapat menerapkan standar yang diperlukan oleh
hukum pidana. Dalam bidang pengamatan ini, adopsi prosedur pengamatan khusus
dapat memberikan gagasan dan saran yang berguna untuk mengusulkan proyek atau
serangkaian perawatan rehabilitasi, yang penting secara etis.
Wawancara klinis adalah kesempatan penting untuk pertemuan eksistensial
yang dapat mengenali dan mengembalikan martabat kriminal mereka sebagai
manusia, dan merupakan fokus yang diperlukan untuk mengembangkan langkah-
langkah diagnostik yang akan disusun sesuai dengan metodologi yang ditentukan,
disesuaikan dengan netralitas deskriptif dan berdasarkan pada keterampilan pribadi
dan konvergensi berbagai struktur dan profesionalisme.
Sampai saat ini, ahli forensik bertindak dan bereaksi tidak hanya secara
emosional terhadap pelaku, tetapi juga secara budaya dan sosial [22]. Akibatnya, ia
memiliki kewajiban moral untuk mempromosikan komunikasi secara rahasia dan
bertanggung jawab, dengan mempertimbangkan "orang lain" (ibu pembunuh bayi).
Sayangnya, kejahatan seperti pembunuhan bayi membangkitkan dinamika kontra-
transfer yang kuat, menghasilkan reaksi emosional ketidakpercayaan, penghinaan dan
stigmatisasi pelaku, yang sangat menghambat pemahaman aspek psikologis dan
psikopatologis. Untuk menghindari bahwa wanita pembunuhan bayi yang sedang
diselidiki menderita dinamika ini, setiap reaksi anti-transferal akan dibahas dan
dikembangkan dalam terapi staf dan pengawasan pekerjaan (baik individu dan
kelompok).

Anda mungkin juga menyukai