Oleh:
Preseptor:
PADANG
2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat
dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah Journal Reading ini
dengan judul “The Infanticide: Some Forensic and Ethical Issues”.
Shalawat beriring salam semoga disampaikan kepada Rasulullah SAW
beserta keluarga, sahabat dan umat beliau.
Makalah Journal Reading ini merupakan salah satu syarat
mengikuti kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Kami mengucapkan
terima kasih kepada Dr. dr. Rika Susanti, Sp.F selaku dosen preseptor yang
telah memberikan masukan dan bimbingan dalam pembuatan makalah
Journal Reading ini. Kami mengucapkan terima kasih juga kepada semua
pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah Journal Reading ini.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu kami mengharapkan saran dan kritik untuk
menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua.
Penulis
Abstrak
Pendahuluan
Dendam terhadap ayah dari anak atau sering disebut kompleks medea [4]; -
kematian karena kecelakaan [5] adalah salah satu kejadian yang paing dramatis dari
syndrome abused children atau battered child syndrome, dimana ibu merupakan
penyebab kematian anak karena tindakan impulsif ibu yang timbul akibat tangisan
atau teriakan anak.
Beberapa penelitian pada pembunuhan anak sendiri telah diterbitkan sejak
Resnick membuat klasifikasi berdasarkan motivasi, situasi klinis, dan sumber
dorongan untuk membunuh [6-8].
Tipe lain dari pembunuhan anak yang dapat di pertimbangkan adalah kelalaian,
kelalaian pasif dari ibu, yang tidak memenuhi kebutuhan anaknya (memberi makan,
perlindungan,bahkan memberikan pakaian yang sesuai dengan temperature saat itu,
dan perawatan medis ). Pada kasus lain ibu membunuh anaknya sebagai kambing
hitam untuk melampiaskan rasa frustasi mereka. Kemungkinan lain, hal yang
menyebabkan pembunuhan anak sendiri adalah anak tersebut ingin ingin membunuh
ibunya. [9]. Beberapa ibu mengalami histeria selama kehamilan dan membuang
bayinya yang baru lahir.[10] Menggunakan mekanisme defensif primitif yang
“membantu untuk menghindari kesadaran terhadap realitas yang sulit untuk
dihadapi”. Disebutkan bahwa “perempuan hamil tersebut hamil dalam keadaan sulit
dan pasti akan membuang janinnya di sampah atau di jamban: [11].
Diskusi
Pola kriminologi
Neonatisida paling sering dilakukan oleh ibu yang sangat muda (di bawah
usia dua puluh lima tahun), belum dewasa, belum menikah, menganggur atau masih
pelajar; mereka merasa tidak mampu untuk bertanggung jawab dan stress sosial [12].
Umumnya pada wanita muda yang mempunyai hubungan tidak stabil dengan ayah
dari anak-anak mereka dan tidak mencari perawatan pranatal [13]. Sering kali
persalinan dilakukan di rumah atau bukan rumah sakit, meskipun kasus neonatisida di
rumah sakit neonatal telah tercatat [14]. Seringkali pelanggaran yang sama didahului
oleh penolakan kehamilan, hingga wanita tersebut terkejut oleh kontraksi [10].
Wanita yang melakukan neonatisida, sering menggambarkan gejala disosiatif, seperti
depersonalisasi, derealization, dan halusinasi disosiatif [15]. Wanita jarang menderita
gangguan mental serius pada kasus kejahatan [16,17].
Spinelli [18] menunjukkan bahwa mereka yang melakukan kejahatan sering
dibesarkan dalam lingkungan dengan pengabaian emosional, isolasi, dan
kebingungan terhadap batasan perilaku yang dianggap salah. Mereka menderita
karena kurangnya dukungan orang tua, ibunya memiliki keterlibatan emosional saat
membesarkan mereka, sering karena penyakit menular atau penggunaan /
penyalahgunaan zat. Banyak yang terpaksa memikul tanggung jawab karena tidak ada
orang tua. Di antara wanita neonatisida dan infantisida (kelompok yang mirip satu
sama lain) permasalahannya adalah penolakan terhadap 'anak yang tidak diinginkan',
sedangkan filisida karena tekanan mental dan faktor psikososial [7,19,20]. Filisida
juga sering pada usia lebih dari 25 tahun, umumnya menikah, dan memiliki
pendidikan yang baik [2]. Wanita-wanita ini juga memiliki kecenderungan untuk
merencanakan kejahatannya, balas dendam terhadap orang lain, dan wanita yang
dilecehkan atau diperlakukan dengan buruk [5].
FAKTOR RISIKO DAN PENYAKIT MENTAL
Analisis pada ibu infantisida terdapat tiga faktor risiko berupa struktur
kepribadian pelaku kejahatan, hubungan dengan keluarga asli (terutama ibu) dan
hubungan dengan pasangan. Sering para wanita ini mengalami berbagai bentuk
pelecehan, mulai dari seksual hingga emosional, dengan kecenderungan stres emosi,
ketiadaan figur ayah, dan sering menderita gangguan suasana hati [1]. Oleh karena
kemampuan ibu dalam merawat anak adalah hasil dari pelajaran yang dipetik dari
ibunya, seolah-olah wanita-wanita ini menjadi korban pembunuhan tidak diwujudkan
dalam bentuk fisik, tetapi dalam hal emosi, ketahanan dan tiruan.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pembunuhan bayi adalah kejahatan
transgenerasional. Ketika seorang ibu membunuh anaknya, tidak jarang, hal ini
merupakan suatu ketidaknormalan karena kejahatan ini melanggar kebiasaan
normalitas psikis, bahkan dianggap "bertentangan dengan alam." "[21,22]. Dalam
praktik psikiatrik forensik telah diamati, bagaimanapun, bahwa filisida dapat terjadi
tanpa perlu dipengaruhi oleh adanya penyakit atau gangguan mental yang dapat
menyebabkan penurunan kemampuan pengamatan yang nyata.
Studi tentang gangguan mental yang diderita oleh para ibu pembunuh, yang
dilakukan pada kelompok pasien, menunjukkan kesimpulan yang terkadang tidak
sesuai. Krischer, dkk. [23] dalam studinya mengidentifikasi dua kelompok utama
gangguan mental, yang paling terwakili dalam spektrum Skizofrenia (sekitar 63%),
termasuk Skizofrenia (42%), Gangguan Skizoafektif (14%), atau Paranoid (7) %),
dilar spektrum gangguan afektif (30% lainnya), yang meliputi Depresi Berat (12,3%),
Depresi dengan Gejala Psikotik (10,5%), dan Post Partum (3,5%), dan Gangguan
Bipolar (3,5%). Sebaliknya, dalam penelitian oleh Haapasalo dan Petaja [24]
pembunuhan bayi oleh ibu dalam diagnosis depresi berat yang meliputi lebih dari
82%. Pelaku juga sering bermanifestasi dengan komorbiditas sumbu II, terutama
untuk gangguan kepribadian cluster B, borderline, antisosial, sering dalam hubungan
dengan ketergantungan alkohol [25].