Anda di halaman 1dari 31

HUKUM TATA NEGARA DI SAUDI ARABIA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dewasa ini banyak sekali ilmu pengetahuan yang mempelajari
mengenai negara. Teori-teori tentang negara dan segala hal yang berkaitan
dengan penyelenggaraan negara semakin berkembang. Seperti tentang bentuk-
bentuk pemerintahan, bentuk-bentuk negara dan sistem pemerintahan suatu
negara.
Bentuk pemerintahan, bentuk negara dan sistem pemerintahan ada
berbagai macam bentuk.1 Bentuk Pemerintahan yang ada sekarang ini adalah:
1. Kerajaan
2. Monarki
3. Republik

Kemudian macam-macam sistem pemerintahan adalah:

1. Presidensiil
2. Parlementer
3. Campuran

Lalu macam-macam bentuk negara adalah:

1. Kesatuan
2. Federal
3. Konfederensi
Hal tersebut diatas memiliki kelebihan dan kekurangan antara satu dan
lainnya. Hal ini menarik untuk dikaji lebih lanjut guna mengentahui apa saja
yang menjadi kelebihan dan kekurangannya.

1
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme, Jakarta: Konstitusi Press, 2006,
hlm. 259
Hukum Tata Negara adalah ilmu pengetahuan tersendiri yang
membahas mengenai struktur ketatanegaraan dalam arti statis, mekanisme
hubungan antara kelembagaan negara dan hubungan antara negara dengan
warga negara.2 Unsur pokok dalam hukum tata negara adalah konstitusi yang
artinya apabila kita akan mempelajari tentang hukum tata negara, maka yang
utama harus dipelajari adalah konstitusi atau hukum dasar.3 Dengan kata lain,
apabila kita ingin mengetahui mengenai pengaturan penataan organisasi suatu
negara, konstitusi negara tersebut adalah suatu hal utama yang harus dikaji dan
dipahami. Konstitusi memuat hal-hal pokok yang menjadi dasar dalam menata
sebuah bangunan besar yang bernama negara. Konstitusi juga dapat dibilang
memiliki persamaan makna dengan hukum tata negara, karena konstitusi pada
dasarnya mengatur mengenai ketatanegaraan dan kehidupan bernegara.
Konstitusi memiliki 2 arti. Dalam pengertian yang pertama adalah
sebagaimana disebutkan diatas yaitu mekanisme hubungan antara kelembagaan
negara dan hubungan antara negara dengan warga negara sedangkan yang
kedua adalah mengacu kepada sebuah dokumen yang memuat aturan dan
ketentuan yang pokok-pokok saja mengenai ketatanegaraannya suatu negara.4
Di Indonesia sendiri hal ini dikenal dengan nama Undang-Undang
Dasar. Terdapat tiga hal menurut Sri Soemantri yang harus ada dalam setiap
konstitusi yaitu:5
1. Menjamin hak-hak asasi manusia atau warga negara
2. Memuat ketatanegaraan suatu negara yang bersifat mendasar

2
Ni’Matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2012, hlm. 3
3
Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta,
2001, hlm. 71
4
Joeniarto, Selayang Pandang tentang Sumber-Sumber Hukum Tatanegara di
Indonesia, Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM, 1974
5
Sri Soemantri, Konstitusi serta Artinya Untuk Negara, dalam buku yang dihimpun
Padmo Wahjono, Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Ghalia Indonesia,
1984, hlm. 9
3. Mengatur tugas serta wewenang dalam negara yang juga bersifat
mendasar

Lebih lanjut menurut Bagir Manan, bahwa suatu konstitusi lazimnya


berisi:6

1. Dasar-dasar mengenai jaminan terhadap hak-hak dan kewajiban


penduduk atau warga negaranya
2. Dasar-dasar susunan atau organisasi negara
3. Dasar-dasar pembagian dan pembatasan kekuasaan lembaga-
lembaga negara
4. Hal-hal yang menyangkut identitas negara, seperti bendera dan
bahasa nasional

Hal ini secara tidak langsung mengatakan bahwa seperti apapun negaranya,
konstitusi sekurang-kurangnya harus memuat unsur-unsur diatas.

Kedudukan konstitusi bagi suatu negara dalam sudut pandang hukum


merupakan suatu kajian penting terutama dalam melihat hubungan antara
negara dan konstitusi serta perkembangannya dalam praktik ketatanegaraan
suatu negara. Hal ini dikarenakan konstitusi itu sendiri bagi suatu negara lahir
sebagai usaha untuk melaksanakan dasar negara. Dasar negara memuat norma-
norma ideal, yang penjabarannya dirumuskan dalam pasal-pasal konstitusi
yang merupakan satu kesatuan utuh, dimana di dalam konstitusi tercantum
substansi pengaturan sistem ketatanegaraan yang dianutnya.

Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat


didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam
suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber

6
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara
Indonesia, Bandung: Alumni, 1997, hlm. 45
legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Jika yang berlaku adalah paham
kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi.
Hal inilah yang disebut oleh para ahli sebagai constituent power yang
merupakan kewenangan yang berada di luar dan sekaligus di atas sistem yang
diaturnya.

Dalam sejarah ketatanegaraan suatu negara, umumnya konstitusi


digunakan untuk mengatur dan sekaligus untuk membatasi kekuasaan negara.
C.F. Strong menegaskan bahwa tujuan suatu konstitusi adalah membatasi
tindakan sewenang-wenang pemerintah, menjamin hak-hak rakyat yang
diperintah, dan menetapkan pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat. 7 Oleh
karena itu, maka dengan sendirinya dinamika ketatanegaraan suatu bangsa atau
negara sangat ditentukan pula oleh dinamika perjalanan sejarah konstitusi
negara yang bersangkutan, karena dalam konstitusi itulah dapat dilihat sistem
pemerintahan, bentuk negara, sistem kontrol antara kekuasaan negara, jaminan
hak-hak warga negara dan tidak kalah penting mengenai pembagian kekuasaan
antar unsur pemegang kekuasaan negara seperti kekuasaan pemerintahan
(eksekutif), kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yudikatif.8

Saudi Arabia pada dasarnya tidak memiliki konstitusi formal. Meskipun


Saudi Arabia belum memiliki undang-undang dasar tertulis, namun Kerajaan
Saudi Arabia telah menyatakan bahwa “kaidah-kaidah pokok yang terkandung
dalam al-Qur’an dianggap sebagai Undang-Undang Dasar Kerajaan Saudi
Arabia”. Dengan perkataan lain, al-Qur’an dan as-Sunnah adalah Undang-

7
Soewoto Mulyosudarmo, Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Perubahan
Konstitusi, Malang: Asosiasi Pengajar HTN Jawa Timur dan In-TRANS, 2004, hlm ix
8
C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Kajian Tentang Sejarah dan
Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, Terjemahan SPA Teamwork, Bandung: Nuansa-Nusamedia,
2004, hlm. 16
Undang Dasar tertulis Kerajaan Saudi Arabia.9 Namun dalam pelaksanaannya
ternyata juga memiliki sumber lain yaitu an - Ni zhom al - Asasi lil Hukmi yang
secara sistematika dan prosedural memenuhi unsur sebagai konstitusi dari suatu
negara.

Arab Saudi merupakan negara dengan bentuk monarki absolut yang


masih bertahan sampai saat ini di kawasan Timur Tengah. Bentuk monarki
absolut menjadikan Arab Saudi sebagai negara yang tidak demokratis atau
otoriter. Arab Saudi diresmikan sebagai Kerajaan Arab Saudi oleh Abdul Aziz
bin Abdul Rahman Al Saud pada tahun 1932. Sejak saat itu, rezim Al Saud
menjadi penguasa di Arab Saudi sampai sekarang. Raja Saudi merupakan
pengambil keputusan yang utama. Raja mewakili semua kepentingan
masyarakatnya, baik kepentingan di dalam negeri maupun kepentingan keluar.
Peranan Raja Saudi sangat dominan yang diperlihatkan oleh posisinya sebagai
Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, Ketua Komisi Perencanaan
Pembangunan Nasional, Ketua Majelis Al Syura, dan Panglima Tertinggi
Angkatan Perang.10

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka diangkatlah judul


makalah ”HUKUM TATA NEGARA DI SAUDI ARABIA”

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka diangkatlah
identifikasi masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Kedudukan Konstitusi an - Nizham al - Asasi lil Hukmi
Tahun 1412 H Arab Saudi dalam sistem hukum ketatanegaraan?

9
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya
Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa
Kini, Bogor: Kencana, 2003, hlm. 220
10
Government and Administration, dalam The Kingdom of Saudi Arabia, terbitan
resmi pemerintah Arab Saudi, 1996
2. Bagaimana peran Ulama dalam sistem ketatanegaraan Arab Saudi
terkait kasus korupsi yang menimpa Arab Saudi?
BAB II
KAJIAN TEORI MENGENAI KONSTITUSI ARAB SAUDI DAN
KAITANNYA DENGAN PERAN ULAMA

A. Sejarah Pembentukan Kerajaan


Akar sejarah Kerajaan Arab Saudi bermula sejak abad ke-12 H atau
abad ke-18 M. Ketika itu, di jantung Jazirah Arabia, tepatnya di wilayah Najd
yang secara historis sangat terkenal, lahirlah Negara Saudi yang pertama yang
didirikan oleh Imam Muhammad bin Saud di "Ad-Dir'iyah", terletak di sebelah
barat laut kota Riyadh pada tahun 1175 H/1744 M dan meliputi hampir
sebagian besar wilayah Jazirah Arabia. Negara ini memikul tanggung jawab
dakwah menuju kemurnian Tauhid kepada Allah, mencegah prilaku bid'ah dan
khurafat, kembali kepada ajaran para Salaf Shalih, dan berpegang teguh kepada
dasar-dasar agama Islam yang lurus. Periode awal Negara Arab Saudi ini
berakhir pada tahun 1233 H/1818 M.11
Periode kedua dimulai ketika Imam Faisal bin Turki mendirikan Negara
Saudi kedua pada tahun 1240 H/1824 M. Periode ini berlangsung hingga tahun
1309 H/1891 M. Pada tahun 1319 H/1902 M, Raja Abdul Aziz berhasil
mengembalikan kejayaan kerajaan para pendahulunya, ketika beliau merebut
kembali kota Riyadh yang merupakan ibukota bersejarah kerajaan ini.
Semenjak itulah Raja Abdul Aziz mulai bekerja dan membangun serta
mewujudkan kesatuan sebuah wilayah terbesar dalam sejarah Arab modern,
yaitu ketika beliau berhasil mengembalikan suasana keamanan dan
ketenteraman ke bagian terbesar wilayah Jazirah Arabia, serta menyatukan
seluruh wilayahnya yang luas ke dalam sebuah negara modern yang kuat yang
dikenal dengan nama Kerajaan Saudi Arabia. Penyatuan dengan nama ini, yang

11
Nur Rohim, Kedudukan Konstitusi Dalam Praktik Ketatanegaraan Saudi Arabia,
Vol. IX, No. 2, Desember 2013, hlm. 97
dideklarasikan pada tahun 1351 H/1932 M, merupakan dimulainya fase baru
sejarah Arab modern.12
B. Konstitusi dan Hukum Dasar Pemerintahan
Saudi Arabia pada dasarnya tidak memiliki konstitusi formal. Meskipun
Saudi Arabia belum memiliki undang-undang dasar tertulis, namun Kerajaan
Saudi Arabia telah menyatakan bahwa “kaidah-kaidah pokok yang terkandung
dalam al-Qur’an dianggap sebagai Undang-Undang Dasar Kerajaan Saudi
Arabia. Dengan perkataan lain, al-Qur’an dan as-Sunnah adalah Undang-
Undang Dasar tertulis Kerajaan SaudiArabia.13
Dalam pandangan Kerajaan Saudi Arabia, al-Qur’an adalah sumber
utama syariah. Karena syariah tidak secara khusus membahas pelaksanaan
urusan pemerintahan, penguasa Saudi Arabia, dimulai dengan Raja Abdul Aziz,
telah diundangkan banyak peraturan berkaitan dengan fungsi pemerintah. Pada
awal tahun 1992, Raja Fahd menjadi raja Saudi Arabia pertama yang
mengkompilasi peraturan ke dalam satu dokumen yang disebut Nizham Al -
Asasi lil Hukmi Tahun 1412 H/1992 M sebagai The Basic Law of Government
atau hukum dasar pemerintahan (jika di Indonesia dikenal dengan hukum dasar
yaitu batang tubuh UUD 1945). Meskipun an - Nizham al Asasi lil Hukmi
bukanlah konstitusi formal, namun memenuhi beberapa tujuan yang sama
seperti dokumen konstitusi.14
Hukum Dasar Pemerintahan Saudi Arabia inilah yang mengatur sistem
pemerintahan, hak dan kewajiban pemerintah serta warga negara. Hukum Dasar
ini ditetapkan sebagai dekrit kerajaan, dokumen ini dikodifikasikan prosedur
birokrasi dan dilarang instansi pemerintah dari sewenangwenang menahan
warga atau melanggar privasi mereka. An - Nizham al - Asasi lil Hukmi Tahun
1412 H/1992 M terdiri dari 83 pasal yang terbagi atas 9 bagian yaitu:

12
Ibid, hlm 97-98
13
Muhammad Tahir Azhary, Op. Cit, hlm. 220
14
Nur Rohim, Op. Cit, hlm 98
1. Prinsip-prinsip Umum
2. Sistem Pemerintahan
3. Anggota Masyarakat Saudi
4. Prinsip-prinsip Ekonomi
5. Hak dan Kewajiban
6. Kekuasaan Negara
7. Urusan Keuangan
8. Otoritas Kontrol dan Audit
9. Ketetapan Umum.

Melihat muatan dari An - Nizham al - Asasi lil Hukmi Tahun 1412


H/1992 M tersebut diatas, hal tersebut telah memuat materi mengenai konstitusi
secara umum. Menurut Bagir Manan, bahwa suatu konstitusi lazimnya berisi:15

1. Dasar-dasar mengenai jaminan terhadap hak-hak dan kewajiban


penduduk atau warga negaranya
2. Dasar-dasar susunan atau organisasi negara
3. Dasar-dasar pembagian dan pembatasan kekuasaan lembaga-
lembaga negara
4. Hal-hal yang menyangkut identitas negara, seperti bendera dan
bahasa nasional
C. Bentuk Negara dan Sistem Pemerintahan
Arab Saudi merupakan Negara Islam. Namun meski begitu, Arab Saudi
tidak menggunakan sistem pemerintahan Islam dalan menjalankan roda
pemerintahannya. Sistem pemerintahan yang berlaku di Saudi Arabia adalah
sistem pemerintahan monarki absolut. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1)
an - Nizham al- Asasi lil H u k mi Tahun 1412 H, bahwa “ Sistem Pemerintahan
Saudi Arabia berbentuk monarki/ kerajaan ”

15
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Op.Cit, hlm. 45
Dengan menganut sistem pemerintahan monarki absolut berarti
kedaulatan mutlak ada di tangan raja. Raja juga memegang kekuasaan kepala
negara dan kepala pemerintahan. Hampir segala urusan mengenai negara pada
akhirnya berujung pada raja. Selain itu, raja bertindak sebagai pengadilan akhir
banding dan memiliki kekuatan pengampunan. Singkatnya, meskipun dalam
Pasal 44 Basic Law Saudi Arabia telah menegaskan bahwa kekuasaan negara
yang meliputi kekuasaan hukum, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan
organisasional, dimana semua kekuasaan tersebut bekerjasama menunaikan
kewajiban mereka sesuai undang-undang dan peraturan, akan tetapi raja
tetaplah merupakan sumber utama seluruh kekuasaan tersebut. Dengan
demikiantampak bahwa kekuasaan raja tidak terbatas.16
Meskipun Saudi menyatakan bahwa negaranya berdasarkan pada al-
Quran dan Sunnah, dalam praktiknya, dekrit rajalah yang paling berkuasa
dalam hukum. Hal ini terlihat dalam ketentuan Pasal 7 an Nizham al- Asasi lil
Hukmi tahun 1412 H bahwa Kekuasaan rezim berasal dari al- Quran dan
Sunnah Nabi yang mengatur segala hal dan semua hukum negara. Bahkan
berdasarkan Pasal 6, warga negara berjanji setia pada raja berdasarkan al-Quran
dan Sunnah Nabi, termasuk wajib mendengar dan mentaatinya, baik dalam
keadaan miskin maupun sejahtera, suka maupun duka.
Sebagai negara monarki absolut yang mana seluruh kekuasaan negara
berada di tangan raja dimana raja mempunyai kekuasaan dan wewenang mutlak
dan tidak terbatas dan pengangkatan raja tidak didasarkan pada pemilihan
rakyat, karena itu pembentukan partai dan pemilihan umum dilarang. Jadi,
rajalah yang juga menentukan siapa penggantinya. Terkait hal ini, Pasal 5 huruf
b sampai huruf f telah memberikan pengaturan sebagai berikut:17
‫اﻟﺧﺎﻣﺳﺔ اﻟﻣﺎدة‬: ‫أ‬-

16
Ibid, hlm. 100
17
Ibid, hlm. 101
.............
‫ب‬-‫وأﺑﻧﺎء ﺳﻌود آل اﻟﻔﯾﺻل اﻟرﺣﻣن ﻋﺑد ﺑن اﻟﻌزﯾز ﻋﺑد اﻟﻣؤﺳس اﻟﻣﻠك أﺑﻧﺎء ﻓﻲ اﻟﺣﻛم ﯾﻛون‬
‫اﻷﺑﻧﺎء‬.. ‫وﺳﻠم ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯾﮫ رﺳوﻟﮫ وﺳﻧﺔ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻛﺗﺎب ﻋﻠﻰ ﻟﻠﺣﻛم ﻣﻧﮭم اﻷﺻﻠﺢ وﯾﺑﺎﯾﻊ‬.
‫ج‬-‫اﻟﻌﮭد وﻟﻲ اﻟﻣﻠك ﯾﺧﺗﺎر‬.. ‫ﻣﻠﻛﻲ ﺑﺄﻣر وﯾﻌﻔﯾﮫ‬
. ‫د‬. ‫أﻋﻣﺎل ﻣن اﻟﻣﻠك ﯾﻛﻠﻔﮫ ﺑﮫ وﻣﺎ اﻟﻌﮭد ﻟوﻻﯾﺔ ﻣﺗﻔرﻏﺎً اﻟﻌﮭد وﻟﻲ ﯾﻛون‬. ‫ھـ‬. ‫اﻟﻌﮭد وﻟﻲ ﯾﺗوﻟﻰ‬
‫اﻟﺑﯾﻌﺔ ﺗﺗم ﺣﺗﻰ وﻓﺎﺗﮫ ﻋﻧد اﻟﻣﻠك ﺳﻠطﺎت‬.

Artinya:

Pasal 5:

(a) ....
(b) Hak dinasti dikhususkan bagi putra pendiri, Raja Abdul Aziz bin Abdul
Rahman Al Faisal Al Saud dan putra dari putranya. Yang paling memenuhi
syarat dari mereka diangkat menjadi raja, untuk memerintah berdasarkan
Al - Quran dan Sunnah Nabi.
(c) Raja melantik putra mahkota dan memberhentikannya dari tugas dengan
surat keputusan kerajaan.
(d) Putra mahkota mendedikasikan seluruh waktunya bag i pekerjaan dan
kewajiban lain yang diberikan oleh Raja.
(e) Kekuasaan raja diberikan kepada putra mahkota saat raja meninggal dunia.
(f) Putra mahkota mengambil alih kekuasaan raja saat raja meninggal sampai
saat”bai’ah” dilaksanakan.

Namun dalam perkembangannya, terdapat beberapa penyesuaian terkait


sistem pemerintahan arab saudi ini. Sejalan dengan menguatnya isu
demokratisasi di dunia internasional, raja telah mengeluarkan suatu dekrit yang
membolehkan partisipasi warga negara untuk dipilih sebagai anggota Dewan
Pemerintahan Kota, melalui suatu pemilihan umum. Hal tersebut, tentu
merupakan pertanda lagi terus bergulirnya roda reformasi politik di salah satu
negara Arab Teluk tersebut yang selama ini terbilang konservatif. Raja melalui
dewan menteri memutuskan untuk memperlebar partisipasi warga negara
dalam menangani persoalan-persoalan lokal melalui pemilihan umum dengan
aktif di dewan pemerintahan, dimana separuh anggota dewan itu akan dipilih.
Keputusan memperluas partisipasi rakyat dalam urusan lokal merupakan
peristiwa historis dalam proses reformasi politik. Pemilu anggota dewan
pemerintahan kota dianggap historis karena pemilu tersebut bisa menjadi pintu
bagi proses reformasi politik berikutnya dan bisa berandil membangun struktur
politik baru yang berpijak pada kedaulatan rakyat.

D. Lembaga-Lembaga Negara
Sebenarnya an - Nizham al - Asasi lil Hukmi Tahun 1412 H, sebagai
UUD negara Saudi Arabia telah secara tegas membagi lembaga-lembaga
negara berdasarkan cabang-cabang kekuasaan negara. Jika diteliti lebih dalam
tampak bahwa didalamnya telah memperlihatkan adanya pola pembagian pada
cabang-cabang kekuasaan yang terpolarisasi pada tiga cabang kekuasaan yaitu
cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Dalam terminologi Trias Politica Mostesque, kekuasaan terbagi dalam
tiga bagian, yaitu kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan
yudikatif. Di Saudi Arabia, kekuasaan juga terbagi tiga yaitu eksekutif
(tanfidziyah) , yudikatif (qhodoiyah), dan organisasional (tandzimiyah),
bedanya tidak ada kekuasaan legislatif, karena tidak ada hukum yang
dilegislasi. Semua hukum terdapat pada al-Quran dan as-Sunah selain melalui
ijtihad. Ketiga kekuasaan ini pun di Saudi Arabia terpusat pada Raja yang
berkuasa.18
Dalam implementasi ketiga cabang kekuasaan tersebut tidak
mencerminkan adanya prinsip check and balance, karena dominasi pengaruh
raja atas ketiga cabang kekuasaan tersebut masih sangat kuat. Hal tersebut dapat

18
Ibid, hlm. 102
dilihat dalam beberapa ketentuan an - Nizham al - Asasi lil Hukmi Tahun 1412
H diantaranya yang dapat kemukakan adalah sebagai berikut:
(1) ‫ اﻟﺧﻣﺳون اﻟﻣﺎدة‬: ‫اﻟﻘﺿﺎﺋﯾﺔ اﻷﺣﻛﺎم ﺑﺗﻧﻔﯾذ ﻣﻌﻧﯾون ﯾﻧﯾﺑﮫ ﻣن أو اﻟﻣﻠك‬.
Pasal 50: Raja, atau siapapun yang ditunjuk untuk mewakilinya,
akan menangani pelaksanaan putusan hukum”.
(2) ‫ واﻟﺧﻣﺳون اﻟﺛﺎﻧﯾﺔ اﻟﻣﺎدة‬: ‫ﻣﻠﻛﻲ ﺑﺄﻣر ﺧدﻣﺗﮭم وإﻧﮭﺎء اﻟﻘﺿﺎة ﺗﻌﯾﯾن ﯾﺗم‬.. ‫ﻋﻠﻰ ﺑﻧﺎء‬
‫اﻟﻧظﺎم ﻟﻣﺎ ﯾﺑﯾﻧﮫ وﻓﻘﺎً ﻟﻠﻘﺿﺎء اﻷﻋﻠﻰ اﻟﻣﺟﻠس ﻣن اﻗﺗراح‬ ‫م‬
Pasal 52 : Para hakim ditunjuk dan pelayanan mereka ditentukan
oleh Surat keputusan Kerajaan lewat sebuah proposal dari
dewan kehakiman tertinggi seperti dijelaskan oleh hukum.
(3) ‫ واﻟﺧﻣﺳون اﻟﺧﺎﻣﺳﺔ اﻟﻣﺎدة‬: ‫ﻷﺣﻛﺎم طﺑﻘﺎً ﺷرﻋﯾﺔ ﺳﯾﺎﺳﺔ اﻷﻣﺔ ﺑﺳﯾﺎﺳﺔ اﻟﻣﻠك ﯾﻘوم‬
‫ﻟﻠدوﻟﺔ اﻟﻌﺎﻣﺔ واﻟﺳﯾﺎﺳﺔ واﻷﻧظﻣﺔ اﻹﺳﻼﻣﯾﺔ اﻟﺷرﯾﻌﺔ ﺗطﺑﯾق ﻋﻠﻰ وﯾﺷرف اﻹﺳﻼم‬
‫واﻟدﻓﺎع اﻟﺑﻼد وﺣﻣﺎﯾﺔ‬ ‫ﻋﻧﮭ ﺎ‬
‫ﺎ‬.
Pasal 55: Raja menjalankan peraturan berdasarkan ajaran Islam
dan mensupervisi aplikasi Syariah, peraturan, dan kebijakan
negara secara umum, termasuk perlindungan dan pertahanan
negara.
(4) ‫ واﻟﺳﺗون اﻟﺛﺎﻣﻧﺔ اﻟﻣﺎدة‬: ‫ﻟﻠﺷورى ﻣﺟﻠس ﯾﻧﺷﺄ‬.. ‫ﺗﻛوﯾﻧ طرﯾﻘﺔ ﻧظﺎﻣﮫ وﯾﺑﯾن‬ ‫ﮫ‬
‫ﮫ‬..
Pasal 68:Raja berhak membubarkanMajlis Al - Shura dan
membentuknya kembali

Dalam cabang kekuasaan legislatif, terdapat lembaga perundang-


undangan yang disebut Majlis Al - Shura atau Majelis Permusyawaratan yang
anggotanya terdiri dari 150 orang ahli yang ketuanya di tunjuk oleh Raja. Tugas
utama majelis ini adalah untuk menilai, menafsir serta memperbaiki undang-
undang kerajaan, undang-undang kecil, kontrak dan perjanjian antarbangsa.
Majelis ini juga menasihati raja dan Dewan Menteri mengenai isu-isu berkaitan
program-program serta kebijakan-kebijakan kerajaan.

Dalam cabang kekuasaan eksekutif, terdapat lembaga kerajaan yang


diketuai oleh Raja di mana raja memegang dua peranan utama, yaitu sebagai
ketua negara dan ketua kerajaan. Model lembaga kerajaan yang demikian
merupakan model kekuasaan eksekutif yang unik di dunia dan salah satunya
dianut oleh Kerajaan Saudi Arabia. Dalam konteks lembaga utama
pemerintahan, dibentuk Dewan Menteri ( Majlis Al - Wuzara/Council of
Ministers ) terdiri dari: Perdana Menteri dimana Raja bertindak sebagai ketua,
Wakil Perdana Menteri, Menteri-Menteri, Menteri Negara, dan Penasehat Raja.
Dewan Menteri dilantik oleh raja dan kebanyakan terdiri dari kaum kerabat
raja. Dewan Menteri bertemu setiap hari Senin membahas kebijakan
pemerintahan dan pengawasan pelaksanaannya. Dewan Menteri memiliki
kewenangan untuk mengeluarkan keputusan menteri, tetapi tidak memiliki
kekuatan terpisah dari raja, yang disetujui semua keputusannya. Selain Dewan
Menteri, terdapat pula Dewan Ulama Senior ( Council of Senior Ulama )
dibentuk tahun 1971 oleh Raja Faisal merupakan badan penting yang
memberikan nasehat kepada Raja dan Dewan Menteri agar kebijakan
pemerintah sesuai dengan hukum Syariah.19

Di Saudi Arabia juga dikenal lembaga Pemerintahan Daerah yang


terdiri dari 13 Provinsi atau mintaqah . Provinsi dipimpin oleh seorang
Gubernur ( Amir ) yang bertanggung jawab kepada Menteri Dalam Negeri dan
dilantik oleh Raja. Secara teori, gubernur bertanggung jawab kepada menteri
dalam negeri. Dalam prakteknya, bagaimanapun, gubernur biasanya dilaporkan
langsung kepada raja. Tanggung jawab utamagubernur adalah untuk
mengawasi pekerjaan baik pemerintah pusat dan pejabat kota dalam provinsi.

19
Ibid, hlm. 103
Para gubernur juga menjabat sebagai komandan polisi setempat dan Saudi
Arabia National Guard Unit dan mengawasi perekrutan orang-orang lokal
untuk para aparat keamanan. Selain itu, setiap gubernur mengikuti contoh dari
raja dan mengadakan majelis umum, di setiap harinya, di mana ia mendengar
petisi dari penduduk setempat. Biasanya, petisi berkenaan dengan perselisihan
lokal, dimana gubernur sebagagai penengah atau dirujuk ke pengadilan yang
sesuai.20

Setiap Propinsi dibagi lagi atas Distrik ( Muhafaz ) yang dipimpin oleh
Gubernur Distrik ( Muhafiz ). Kemudian setiap Distrik terbagi lagi menjadi
Sub-distrik yang dipimpin oleh seorang Kepala. Di setiap propinsi terdapat pula
Dewan Provinsi ( Provincial Council ) yang terdiri atas: Gubernur (sebagai
ketua), Wakil Gubernur (wakil ketua), Undersecretary Gubernur, Kepala
perwakilan departemen pemerintah di provinsi, dan minimal 10 orang wakil
masyarakat setempat. Riyadh, Makkah, dan Madinah memiliki 20 anggota
Dewan Provinsi, sedangkan ibukota lainnya berjumlah 15 orang. Mulai tahun
2006 Pemerintah telah membentuk 178 Dewan Kotapraja ( Municipal Council)
yang separuh anggotanya (592 orang) dipilih melalui pemilu, sedangkan
sisanya diangkat. Setiap Dewan Kotapraja terdiri dari minimal 4 anggota dan
maksimal 14 anggota. Dewan Kotapraja bertugas memonitor kinerja Kotapraja
( Municipality ). 21

Dalam cabang kekuasaan yudikatif, dikenal lembaga peradilan yang


disebut Majlis Mahkamah Agung ( Supreme Council of Judiciary ) dengan
kewenangan mengatur administratif badan peradilan dan menangani masalah
kewenangan mengadili (kompetensi). Majelis ini beranggotakan 11 orang yang
dipilih dari para ulama terkemuka di Saudi Arabia.

20
Ibid, 103-104
21
Ibid
Selain itu pula, negara Saudi Arabia memiliki suatu lembaga moneter
dan keuangan yang dikenal dengan nama SAMA sebagai Bank Sentral Arab
Saudi. Fungsi SAMA meliputi menerbitkan mata uang nasional, Riyal Saudi,
mengawasi bank-bank komersial, mengelola cadangan devisa, meningkatkan
harga dan stabilitas nilai tukar, dan memastikan pertumbuhan dan kesehatan
sistem keuangan, operasi sejumlah lintas-bank sistem keuangan elektronik
seperti: SPAN, Tadawul, SARIE, Sadaddan MAQASA).

E. Sistem Hukum dan Kekuasaan Kehakiman


Kerajaan Saudi Arabia adalah suatu negara yang dengan tegas
menyatakan pemerintahannya berdasarkan pada sistem hukum Islam atau
syariah. Hal itu dapat dilihat dalam Pasal 1 an Nizham al- Asasi lil Hukmi tahun
1412 H Saudi Arabia yang menegaskan bahwa Kerajaan Saudi Arabia ialah
negara Islam Arab berdaulat. Agamanya Islam, konstitusinya Al-Quran dan
Sunah Nabi (SAW). Juga dalam Pasal 8 yaitu:
‫ اﻟﺛﺎﻣﻧﺔ اﻟﻣﺎدة‬:‫واﻟﺷورى اﻟﻌدل أﺳﺎس ﻋﻠﻰ اﻟﺳﻌودﯾﺔ اﻟﻌرﺑﯾﺔ اﻟﻣﻣﻠﻛﺔ ﻓﻲ اﻟﺣﻛم ﯾﻘوم‬
‫اﻹﺳﻼﻣﯾﺔ اﻟﺷرﯾﻌﺔ وﻓق واﻟﻣﺳﺎواة‬

Artinya bahwa menyatakan Sistem pemerintahan Kerajaan Saudi Arabia


berdasarkan keadilan, penasehat Shura dan persamaan derajat berdasarkan
Syariat Islam (Hukum Islam)

Pasal 23 yang menentukan bahwa negara melindungi iman Islam dan


menerapkan Syariat Islam. Negara menganjurkan kebaikan, melarang
kejahatan, dan menunaikan tanggung jawab terhadap panggilan Islam itu.
Syariat ini diterapkan di seluruh kerajaan sesuai dengan penafsiran mazhab
Hanbali Islam Sunni. Walaupun ada pandangan bahwa Saudi Arabia bukan
Negara Islam, hanya memang bangsa ini mengklaim bahwa sistem hukumnya
sistem Islam.
Hubungan tradisional antara qadi dan raja masih berlaku di Saudi
Arabia. Karena umat Islam yang saleh percaya bahwa syariah adalah hukum
suci, mereka diterima sebagai hakim, atau qadi, hanya laki-laki yang telah
menghabiskan beberapa tahun mempelajari sumber yang diterima dari syariah:
Al-Qur’an dan tradisi dikonfirmasi (hadits) dari keputusan Nabi Muhammad
dan praktek. Secara historis, keputusan qadi yang ditinjau oleh penguasa, peran
utamanya adalah untuk memastikan bahwa masyarakat Islam hidup sesuai
dengan syariah. Akibatnya, peradilan bukanlah sebuah lembaga independen
tapi merupakan perpanjangan dari otoritas politik.22

Padahal Pasa 46 an Nizham al- Asasi lil Hukmi tahun 1412 H dikatakan
bahwa:

‫ واﻷرﺑﻌون اﻟﺳﺎدﺳﺔ اﻟﻣﺎدة‬:‫ﻣﺳﺗﻘﻠﺔ ﺳﻠطﺔ اﻟﻘﺿﺎء‬.. ‫ﻟﻐﯾر ﻗﺿﺎﺋﮭم ﻓﻲ اﻟﻘﺿﺎة ﻋﻠﻰ ﺳﻠطﺎن وﻻ‬
‫اﻹﺳﻼﻣﯾﺔ اﻟﺷرﯾﻌﺔ ﺳﻠطﺎن‬.

Artinya menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan lembaga yang


mandiri. Namun hal ini tidak sesuai dengan kenyataan yang memperlihatkan
bahwa kekuasaan raja masih sangat tinggi. Kemandirian kekuasan kehakiman
di Saudi Arabia hanyalah kemandirian yang semu, karena intervensi raja masih
tetap ada. Bahkan dalam fungsi administratif, raja membentuk Departemen
Kehakiman, yang didirikan oleh Raja Faisal pada tahun 1970, bertanggung
jawab untuk mengelola negara lebih dari 300 pengadilan syariah. Para menteri
kehakiman, ditunjuk oleh raja dari kalangan ulama negara yang paling senior,
adalah Ketua Mahkamah Agung de facto . Ia dibantu oleh Dewan Peradilan
Tertinggi, sebuah badan dari sebelas anggota yang dipilih dari ulama
terkemuka. Dewan Peradilan Tertinggi mengawasi pekerjaan pengadilan,
meninjau semua keputusan hukum sebagaimana dimaksud dengan menteri
keadilan, pendapat hukum tentang pertanyaan peradilan, dan menyetujui semua

22
Ibid, hlm. 105
kalimat kematian, amputasi (jari dan tangan sebagai hukuman untuk
pencurian), dan rajam (karena perzinahan). Sejak tahun 1983, Menteri Keadilan
juga menjabat kepala Dewan Pengadilan Tertinggi, posisi yang lebih
ditingkatkan statusnya sebagai hakim agung.

Ada dua institusi hukum yang mempunyai kewenangan dalam


menyelesaikan persoalan hukum yaitu Mahkamah Syariah dan lembaga fatwa.
Kedua lembaga ini memiliki kewenangan yang berbeda. Mahkamah Syariah
mempunyai kewenangan absolut dan kewenangan relatif. Mahkamah Syariah
memeriksa perkara pidana ( jinayah ), perkara perdata (muamalah), dan wilayah
juridiksinya terbatas berdasarkan kompentensi relatifnya.

Hakim-hakim di Mahkamah Syariah apabila dalam memeriksa suatu


perkara yang tidak ditemukan dasar-dasar hukum dalam al-Quran atau Sunnah
Rasulullah atau basic law of government, maka diberikan kebebasan untuk
berijtihad. Ijtihad hakim baik berdasarkan pada keputusan hakim atas suatu
perkara yang sebelumnya dengan sifat dan karakteristik perkara yang sama,
maupun menggunakan hasil pemikiran para ulama hukum Islam klasik.Bahkan
seperti penerapan hukum Islam di dunia Islam lainnya, keputusan hakim
Mahkamah Syariah sebagai preseden bagi hakim dalam menghadapi perkara
yang mempunyai sifat dan krakteristik yang sama.23

Sedangkan lembaga mufti berfungsi untuk memberikan keputusan


hukum atas suatu persoalan yang menyangkut kemaslahatan umum, baik
menyangkut masalah hak kewarganegaraan maupun persoalan politik, baik
dalam negeri maupun luar negeri. Keputusan hukum lembaga fatwa bersifat
mengikat bagi seluruh warga negara Arab Saudi. Seperti fatwa yang

23
Ibid, hlm. 106
mengizinkan Amerika Serikat menggunakan pangkalan udara Arab Saudi
untuk menyerang Irak.

Disamping kedua lembaga tersebut, terdapat juga lembaga

hisbah lembaga ini merupakan lembaga peradilan yang berwenang


memeriksa perkara yang terkait dengan perilaku pasar, seperti penyimpangan
timbangan, atau penipuan dalam transaksi jual beli. Apabila dalam pemeriksaan
terhadap kasus-kasus pelanggaran pasar dan pada tersangka dinyatakan
bersalah dikenakan sanksi, baik sanksi pidana, sanksi administrsi maupun
sanksi perdata.

Pengadilan Syariah meliputi pengadilan tingkat pertama dan pengadilan


banding. Kasus perdata dan pidana ringan yang diputuskan di pengadilan
ringkasan tingkat pertama. Salah satu jenis pengadilan ringkasan ditangani
secara eksklusif dengan berbagai urusan. Sebuah kadi tunggal memimpin
semua sidang pengadilan ringkasan. Pengadilan umum tingkat pertama
menangani semua kasus di luar yurisdiksi pengadilan sumir. Satu hakim
biasanya memimpin kasus di pengadilan umum, tapi tiga qadi duduk dalam
penghakiman atas kejahatan berat seperti pembunuhan, pencurian besar, atau
pelecehan seksual.

Keputusan dari pengadilan sumir dan umum dapat mengajukan banding


ke pengadilan banding syariah. Pengadilan banding memiliki dua kursi, satu di
Riyadh dan satu di Mekkah. Ketua Mahkamah Agung dan panel qadi beberapa
memimpin semua kasus. Raja berada di puncak dari sistem peradilan, berfungsi
sebagai pengadilan terakhir dan sebagai sumber pengampunan.

F. Posisi Agama Dalam Negara


Dalam membahas posisi agama dalam negara, Kerajaan Saudi Arabia
telah dengan tegas mendeklarasikan Agama Islam adalah agama negara Saudi
Arabia. Saudi Arabia merupakan salah satu negara yang menjadikan Islam
sebagai dasar negara dan agama negara. Secara sederhana dapat dikatakan
bahwa Saudi Arabia merupakan negara yang didasarkan pada ajaran agama
(Islam), sebagaimana diketahui dari Pasal 1 46 an Nizham al- Asasi lil Hukmi.
Berdasarkan hukum dasar ini, tidak ada pemisahan antara agama dan
negara, Islam adalah agama dan negara ( din wa dawlah ). Dalam hal ini, Saudi
Arabia telah mentasbihkan negaranya sebagai negara agama, yaitu negara yang
menjadikan agama Islam sebagai hukum dasar dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Hal ini mengisyaratkan bahwa pemerintahan Saudi dibangun di atas
premis keadilan, konsultasi, dan persamaan, sesuai dengan syariat Islam.
Anggota masyarakat Saudi Arabia harus memegang teguh penerapan syariat
Islam. Bagi bangsa Saudi, agama dan negara merupakan hubungan dua
komponen yang sangat erat dan merupakan satu kesatuan yang utuh, yang
menjiwai seluruh tatanan kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan.24
Islam adalah kekuatan sosial dan politik yang meluas di Arab Saudi.
Karena tidak ada pemisahan agama dan negara. Peran politik ulama dan ulama
itu sendiri adalah sama pentingnya bagi keluarga penguasa al-Saud. Hubungan
erat antara ulama, advokasi interpretasi Islam yang ketat dari Muhammad ibn
Abd al Wahhab, dan al-Saud berasal dari abad kedelapan belas dan memberikan
dinasti dengan sumber utama legitimasi. Ulama bertindak sebagai kekuatan
konservatif dalam menjaga nilai-nilai sosial dan politik tradisional yang
ditandai Arab Saudi pada awal 1990-an.
G. Peran Ulama Dalam Sistem Ketatanegaraan Arab Saudi
Ulama adalah bentuk jamak dari Alim yang berarti seseorang yang
memiliki ilmu. Dalam tradisi Islam ulama adalah orang yang
memilikipengetahuan yang berkaitan dengan ilmu-ilmu keislaman.
Berdasarkan atas keilmuwan yang dimilikinya sehingga ulama dianggap
sebagai penjaga atau pewaris ajaran-ajaran Islam dan penjaga Islam itu sendiri.

24
Ibid, hlm 109
Otoritas sebagai penafsir dan penjaga syariat Islam ini menjadikan ulama
berada di posisi yang tinggi dalam masyarakat. Dalam sebuah negara yang
berasaskan Islam, para ulama menduduki berbagai posisi dalam masyarakat
atau negara baik secara formal maupun informal seperti, sebagai mufti, Qadhi
(hakim), Khatib (penceramah), Mudarris (guru, dosen).25
Mufti adalah seorang ulama yang memiliki kualifikiasi untuk
memberikan fatwa (pernyataan formal mengenai keagamaan). Mufti
merupakan seorang figur ulama senior yang dipilih oleh pemerintah. Dalam
sejarah kerajaan Saudi Arabia, Mufti pertama yang terpilih adalah Syekh
Muhammad bin Ibrahim al-Syekh. Disamping mengeluarkan fatwa, Mufti juga
berbagi tanggung jawab dengan Departeman Kehakiman, Dewan Kehakiman
Tertinggi (al-majlis al-a'la lil qadiih), Departemen penelitian agama, fatwa,
dakwah dan tuntunan islam (idiirat al-buhfith al-'ilmiyah wal-iftii' wal-da'wah
wal-irshiid), dan Dewan Senior Ulama (majlis hay'at kibiir al-'ulamaii'). Setelah
meninggalnya Mufti pertama, tahun 1993 Mufti baru dipilih yaitu Syekh 'Abd
al-'Aziz bin 'Abdullah bin Baz, Kemudiaan meninggal tahun 1999 dan yang
memegang mufti hingga saat ini adalah Syekh 'Abd al-'Aziz bin 'Abdullah Al
al-Syekh.26
Khusus mengenai Dewan Ulama Senior, Lembaga ini dibentuk tahun
1971 oleh kerajaan Arab Saudi masa pemerintahan Raja Faisal (1964-1975).
Fungsinya sebagai lembaga konsultatif antara pemerintah dengan ulama. Kedua
lembaga ini melakukan pertemuan rutin setiap minggu. Dalam isu-isu tertentu
pemerintah biasanya meminta persetujuan atau sanksi publik dari para ulama
senior tersebut seperti pada kasus pendudukan masjidil haram tahun 1979 oleh
gerakan penentang pemerintah. Dewan Ulama mengeluarkan fatwa untuk

25
Alejandra Galindo Marines, The Relationship between the ulama and the
government in the contemporary Saudi Arabian Kingdom: an interdependent relationship,
Durham Theses, Durham University, hlm. 2-3
26
J.E. Peterson, Historical Dictionary of Saudi Arabia, Oxford: The Scarecrow, 2003,
hlm. 97
memberikan sanksi terhadap para pelaku pendudukan. Kemudian pada masa
perang teluk Mufti dan Dewan Ulama Senior juga mengeluarkan fatwa untuk
mendukung tindakan pemerintah Arab Saudi untuk memberikan pangkalan
militer Amerika Serikat di Arab Saudi.
BAB III

STUDI MENGENAI KASUS KORUPSI YANG TERJADI DI ARAB SAUDI

Berita penahanan 11 pangeran, empat menteri dan puluhan mantan menteri


Arab Saudi tidak serta merta diikuti pengumuman tentang nama-nama mereka, tetapi
nama-nama tersebut terungkap secara bertahap.

Penangkapan dilakukan Sabtu (04/11) hanya beberapa jam setelah


pembentukan komisi antikorupsi yang dipimpin Putra Mahkota, Pangeran
Mohammed bin Salman.

Sejauh ini belum ada rincian dugaan kasus korupsi yang dituduhkan kepada
para pangeran, pejabat dan mantan pejabat itu.

Berikut daftar sebagian pangeran, menteri dan mantan menteri yang ditahan:

1. Pangeran Alwaleed bin Talal


Barangkali ia adalah sosok yang paling menonjol yang masuk dalam daftar
penangkapan. Pangeran Alwaleed tercatat sebagai pengusaha yang mempunyai
saham di berbagai perusahaan raksasa seperti Twitter dan Apple. Ia adalah
salah seorang pengusaha terkaya di dunia. Forbes menaksir kekayaan bersih
Pangeran Alwaleed mencapai US$17 miliar atau sekitar Rp230 triliun. Selain
berinvestasi di Twitter dan Apple, ia juga mempunyai saham di bank Citygroup,
jaringan hotel Four Seasons dan perusahaan media milik Rupert Murdoch,
News Corporation. Di London, Pangeran Alwaleed adalah pemilik hotel
mewah, Savoy.
2. Adel Fakieh, menteri ekonomi
3. Ibrahim al-Assaf, mantan menteri keuangan yang juga duduk sebagai anggota
dewan perusahaan minyak, Saudi Aramco
4. Pangeran Turki bin Abdullah, mantan gubernur Riyadh
5. Khalid al-Tuwaijiri, mantan ketua pengadilan
6. Bakr bin Laden, bos perusahaan konstruksi Saudi Binladin, dan saudara laki-
laki Osama bin Laden

Kementerian Penerangan, Minggu (05/11), mengumumkan bahwa seluruh aset


milik puluhan pangeran, menteri dan mantan menteri yang ditahan dalam kasus
dugaan korupsi akan dibekukan dan akan dibuka kepada umum.

"Rekening dan saldo milik mereka yang ditahan akan diumumkan dan dibekukan.
Semua aset atau properti yang ada hubungannya dengan kasus-kasus korupsi ini akan
dimasukkan sebagai kekayaan negara," kata Kementerian Penerangan Arab Saudi.

Sebelum ayahnya menjadi raja pada tahun 2015, tak banyak orang, di luar Arab
Saudi, mengetahui tentang sosok Pangeran Mohammed bin Salman. Namun sejak itu,
pria berusia 32 tahun tersebut menjadi figur yang paling berpengaruh di negara
pengekspor minyak terbesar di dunia itu.

Tahun lalu, sang pangeran mengumumkan serangkaian rencana perombakan


sosial dan ekonomi.

Rencana paling baru yang dijanjikan Pangeran Mohammed adalah mengarahkan


Arab Saudi kembali ke 'Islam moderat' sebagai kunci memodernisasi negara.

Wartawan BBC masalah keamanan, Frank Gardner, melaporkan putra mahkota


itu sangat populer, khususnya di kalangan muda Arab Saudi. Namun banyak generasi
tua dan konservatif menganggapnya bergerak terlalu jauh dan terlalu cepat.

Sementara itu, seorang warga negara Indonesia yang tinggal di Arab Saudi selama
20 tahun terakhir, menuturkan warga di sana merasa terkejut.
"Karena ini sejarah bahwa ada penangkapan kasus korupsi. Dari dulu tidak ada
pejabat yang ditangkap dan diberitakan secara vulgar. Di media nasional diberitakan
secara besar-besaran," jelasnya.

"Ternyata banyak warga yang menyambut positif, tetapi di sisi lain ada juga yang
khawatir. Takutnya setelah kejadian ini ada sesuatu, ada gejolak di dalam sini."

Para pengamat mengatakan pada tahap ini masih sulit untuk mengetahui apakah
penangkapan para pangeran dan pejabat benar-benar berkaitan dengan upaya
pemberantasan korupsi atau usaha konsolidasi kekuasaan yang dilakukan oleh putra
mahkota.
BAB IV

Peran Ulama dalam Konstitusi an - Nizham al - Asasi lil Hukmi Tahun 1412 H
Arab Saudi Terkait Kasus Korupsi yang Menimpa Arab Saudi

A. Kedudukan Konstitusi an - Nizham al - Asasi lil Hukmi Tahun 1412 H


Arab Saudi dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan
An - Nizham al - Asasi lil Hukmi Tahun 1412 H/1992 M terdiri dari 83
pasal yang terbagi atas 9 bagian yaitu:
1. Prinsip-prinsip Umum
2. Sistem Pemerintahan
3. Anggota Masyarakat Saudi
4. Prinsip-prinsip Ekonomi
5. Hak dan Kewajiban
6. Kekuasaan Negara
7. Urusan Keuangan
8. Otoritas Kontrol dan Audit
9. Ketetapan Umum.

Menurut Bagir Manan, bahwa suatu konstitusi lazimnya berisi:27

1. Dasar-dasar mengenai jaminan terhadap hak-hak dan kewajiban


penduduk atau warga negaranya
2. Dasar-dasar susunan atau organisasi negara
3. Dasar-dasar pembagian dan pembatasan kekuasaan lembaga-
lembaga negara
4. Hal-hal yang menyangkut identitas negara, seperti bendera dan
bahasa nasional

27
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Op.Cit, hlm. 45
Berdasarkan pendapat dari Bagir Manan mengenai muatan apa saja
yang lazimnya dimiliki oleh konstitusi, maka dapat dikatakan bahwa An -
Nizham al - Asasi lil Hukmi Tahun 1412 H/1992 M telah memenuhi kriteria
sebagai suatu konstitusi dasar suatu negara.

Bahwa Dasar-dasar mengenai jaminan terhadap hak-hak dan kewajiban


penduduk atau warga negaranya telah diatur dalam An - Nizham al - Asasi lil
Hukmi Tahun 1412 H/1992 M yaitu pada bagian:

1. Hak dan Kewajiban


2. Anggota Masyarakat Saudi

Kemudian Dasar-dasar Susunan atau Organisasi negara telah diatur pada


bagian:

1. Sistem Pemerintahan
2. Kekuasaan Negara

Lebih lanjut Dasar-dasar pembagian dan pembatasan kekuasaan lembaga-


lembaga negara diatur pada bagian:

1. Urusan Keuangan
2. Otoritas Kontrol dan Audit

Lalu Hal-hal yang menyangkut identitas negara, seperti bendera dan bahasa
nasional diatur pada bagian:

1. Prinsip-prinsip Umum
2. Prinsip-prinsip Ekonomi
3. Ketetapan Umum.

Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa An - Nizham al - Asasi lil


Hukmi Tahun 1412 H/1992 M merupakan konstitusi dasar bagi Negara Arab
Saudi.
B. Peran Ulama dalam Sistem Ketatanegaraan Arab Saudi Terkait Kasus
Korupsi yang Menimpa Arab Saudi
Korupsi termasuk tindakan mencuri barang yang bukan menjadi hak
orang tersebut. Karena Arab Saudi merupakan Negara Islam maka hukumannya
adalah amputasi jari dan tangan orang yang melakukan pencurian tersebut.
Ulama dalam hal ini berperan sebagai orang yang dipilih oleh raja untuk
menjadi menteri kehakiman. Ulama yang menjadi menteri kehakiman ini
dibantu oleh Dewan Peradilan Tertinggi yang merupakan sebuah badan dari
sebelas anggota yang dipilih dari ulama terkemuka.
Dewan Peradilan Tertinggi mengawasi pekerjaan pengadilan, meninjau
semua keputusan hukum sebagaimana dimaksud dengan menteri keadilan,
pendapat hukum tentang pertanyaan peradilan, dan menyetujui semua kalimat
kematian, amputasi (jari dan tangan sebagai hukuman untuk pencurian), dan
rajam (karena perzinahan).
Dalam hal ini berarti ulama berperan cukup besar dalam menentukan
putusan mengenai kasus korupsi yang menimpa Arab Saudi. Hal ini karena
ulama mempunyai kedudukan yang penting dan strategis dalam ketatanegaraan
di Arab Saudi.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Sebuah Negara pada umumnya selalu memiliki naskah yang disebut
sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Semua konstitusi selalu
menjadikan kekuasaan sebagai pusat perhatian, karena kekuasaan itu sendiri
pada intinya memang perlu diatur dan dibatasi sebagaimana mestinya. Karena
itu, pembatasan kekuasaan pada umumnya dianggap merupakan corak umum
materi konstitusi. Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang
mengikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang
dianut dalam suatu Negara.
Arab Saudi merupakan Negara Islam dengan sistem pemerintahan
Monarki. Dalam sistem pemerintahan monarki ini, peranan raja sangat dominan
terutama dalam penyelenggaraan negara.
B. Saran
Konstitusi dasar Saudi Arabia perlu sedikit dirubah mengingat peranan
raja yang terlalu absolut dalam urusan pemerintahan. Hal ini berguna untuk
memberikan ruang bagi masyarakat untuk mengemukakan pendapat mengingat
besarnya arus demokrasi saat ini. Hal ini juga perlu untuk menghindari
kesewenang-wenangan dari raja atau pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme, Jakarta: Konstitusi Press, 2006,


hlm. 259
Ni’Matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012,
hlm. 3

Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2001, hlm.
71

Joeniarto, Selayang Pandang tentang Sumber-Sumber Hukum Tatanegara di Indonesia,


Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM, 1974

Sri Soemantri, Konstitusi serta Artinya Untuk Negara, dalam buku yang dihimpun Padmo
Wahjono, Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984,
hlm. 9
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara
Indonesia, Bandung: Alumni, 1997, hlm. 45
Soewoto Mulyosudarmo, Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Perubahan
Konstitusi, Malang: Asosiasi Pengajar HTN Jawa Timur dan In-TRANS, 2004, hlm ix
C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Kajian Tentang Sejarah dan
Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, Terjemahan SPA Teamwork, Bandung: Nuansa-Nusamedia,
2004, hlm. 16
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya
Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa
Kini, Bogor: Kencana, 2003, hlm. 220
Government and Administration, dalam The Kingdom of Saudi Arabia, terbitan resmi
pemerintah Arab Saudi, 1996
J.E. Peterson, Historical Dictionary of Saudi Arabia, Oxford: The Scarecrow, 2003,
hlm. 97

JURNAL

Alejandra Galindo Marines, The Relationship between the ulama and the government
in the contemporary Saudi Arabian Kingdom: an interdependent relationship, Durham Theses,
Durham University, hlm. 2-3
Nur Rohim, Kedudukan Konstitusi Dalam Praktik Ketatanegaraan Saudi Arabia, Vol.
IX, No. 2, Desember 2013, hlm. 97

Anda mungkin juga menyukai