Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
2.1.1 Rongga Mulut
Secara anatomis, rongga mulut atau mulut adalah organ dari sistem
pencernaan di mana bagian anterior dibatasi oleh bibir, bagian posterior dibatasi
oleh orofaring, bagian superior dibatasi oleh palatum durum dan palatum mole,
dan bagian inferior dibatasi oleh lidah (2/3 anterior) dan dasar mulut, serta
dikelilingi oleh mukosa bukal yang melapisi pipi, bersama dengan gigi atas dan
bawah serta periodonsium. Gigi atas tertanam pada rahang atas dan gigi bawah
tertanam pada rahang bawah, yang kemudian berartikulasi dengan tulang
temporal tengkorak (Souza dkk., 2015).
Rongga mulut yang disebut juga rongga bukal, dibentuk secara
anatomis oleh pipi, palatum keras, palatum lunak, dan lidah. Pipi membentuk
dinding bagian lateral masing-masing sisi dari rongga mulut. Pada bagian
eksternal dari pipi, pipi dilapisi oleh kulit. Sedangkan pada bagian internalnya,
pipi dilapisi oleh membran mukosa, yang terdiri dari epitel pipih berlapis yang
tidak terkeratinasi. Otot-otot businator (otot yang menyusun dinding pipi) dan
jaringan ikat tersusun di antara kulit dan membran mukosa dari pipi. Bagian
anterior dari pipi berakhir pada bagian bibir.
Palatum merupakan sebuah dinding atau pembatas yang membatasi
antara rongga mulut dengan rongga hidung sehingga membentuk atap bagi
rongga mulut. Struktur palatum sangat penting untuk dapat melakukan proses
mengunyah dan bernafas pada saat yang sama. Palatum secara anatomis dibagi
menjadi dua bagian yaitu palatum durum (palatum keras) dan palatum mole
(palatum lunak). Palatum durum terletak di bagian anterior dari atap rongga
mulut. Palatum durum merupakan sekat yang terbentuk dari tulang yang
memisahkan antara rongga mulut dan rongga hidung. Palatum durum dibentuk
oleh tulang maksila dan tulang palatin yang dilapisi oleh membran mukosa.
Bagian posterior dari atap rongga mulut dibentuk oleh palatum mole. Palatum
mole merupakan sekat berbentuk lengkungan yang membatasi antara bagian
orofaring dan nasofaring. Palatum mole terbentuk dari jaringan otot yang sama
halnya dengan paltum durum, juga dilapisi oleh membran mukosa (Manson dan
Eley, 2013).

2.1.2 Struktur Jaringan Gigi


Manusia memiliki dua buah perangkat gigi, yang akan tampak pada
periode kehidupan yang berbeda. Perangkat gigi yang tampak pertama pada
anak-anak disebut gigi susu atau deciduous teeth. Perangkat kedua yang muncul
setelah perangkat pertama tanggal dan akan terus digunakan sepanjang hidup,
disebut sebagai gigi permanen. Gigi susu berjumlah dua puluh empat buah yaitu
: empat buah gigi seri (insisivus), dua buah gigi taring (caninum) dan empat
buah geraham (molar) pada setiap rahang. Gigi permanen berjumlah tiga puluh
dua buah yaitu : empat buah gigi seri, dua buah gigi taring, empat buah gigi
premolar, dan enam buah gigi geraham pada setiap rahang.
Gigi susu mulai tumbuh pada gusi pada usia sekitar 6 bulan, dan
biasanya mencapai satu perangkat lengkap pada usia sekitar 2 tahun. Gigi susu
akan secara bertahap tanggal selama masa kanak-kanak dan akan digantikan
oleh gigi permanen.
Gigi melekat pada gusi (gingiva), dan yang tampak dari luar adalah
bagian mahkota dari gigi. Mahkota gigi mempunyai lima buah permukaan pada
setiap gigi. Kelima permukaan tersebut adalah bukal (menghadap kearah pipi
atau bibir), lingual (menghadap kearah lidah), mesial (menghadap kearah gigi),
distal (menghadap kearah gigi), dan bagian pengunyah (oklusal untuk gigi
molar dan premolar, insisal untuk insisivus, dan caninus). Bagian yang berada
dalam gingiva dan tertanam pada rahang dinamakan bagian akar gigi. Gigi
insisivus, caninus, dan premolar masing-masing memiliki satu buah akar,
walaupun gigi premolar pertama bagian atas rahang biasanya memiliki dua buah
akar. Dua buah molar pertama rahang atas memiliki tiga buah akar, sedangkan
molar yang berada dibawahnya hanya memiliki dua buah akar.
Bagian mahkota dan akar dihubungkan oleh leher gigi. Bagian terluar
dari akar dilapisi oleh jaringan ikat yang disebut cementum, yang melekat
langsung dengan ligamen periodontal. Bagian yang membentuk tubuh dari gigi
disebut dentin. Dentin mengandung banyak material kaya protein yang
menyerupai tulang. Dentin dilapisi oleh enamel pada bagian mahkota, dan
mengelilingi sebuah kavitas pulpa pusat yang mengandung banyak struktur
jaringan lunak (jaringan ikat, pembuluh darah, dan jaringan saraf) yang secara
kolektif disebut pulpa. Kavitas pulpa akan menyebar hingga ke akar, dan
berubah menjadi kanal akar. Pada bagian akhir proksimal dari setiap kanal akar,
terdapat foramen apikal yang memberikan jalan bagi pembuluh darah, saraf, dan
struktur lainnya masuk ke dalam kavitas pulpa (Souza dkk., 2015).

2.1.3 Jaringan Penyangga Gigi


Jaringan penyangga gigi atau jaringan periodontal mempunyai empat
komponen yaitu : gingival, tulang alveolar, ligament periodontal dan sementum.
Pengetahuan tentang jaringan periodontal dalam keadaan sehat penting untuk
mengenal perjalanan penyakit ini (Manson dan Eley, 2013).

2.1.3.1 Gingiva (Manson dan Eley, 2013)


Gingiva adalah bagian mukosa rongga mulut yang mengelilingi
gigi dan menutupi linggir (ridge) alveolar. Merupakan bagian dari
apparatus pendukung gigi, periodonsium, dan dengan membentuk
hubungan dengan gigi gingival berfungsi melindungi jaringan di bawah
perlekatan gigi terhadap pengaruh lingkungan rongga mulut. Gingiva
tergantung pada gigi-geligi, bila ada gigi-geligi, gingival juga ada dan
bila gigi dicabut gingival akan hilang.
Jaringan rongga mulut terpapar terhadap sejumlah besar stimulus.
Temperatur dan konsistensi makanan dan minuman, komposisi kimiawi,
asam dan basa sangat bervariasi. Jumlah bakteri di dalam rongga mulut
cukup besardan variasinya tidak mungkin didefinisikan secara akurat.
Selain itu rongga mulut juga terpapar terhadap traumadan iritasi dari
manipulasi gigi dan kita hanya dapat mengagumi ketahanan mukosa
mulut dan efisiensi mekanisme pertahanan gingival, yang mencakup :
1. Aliran saliva dan kandungan saliva misalnya lisosim, IgA.
2. Pergantian sel dan deskuamasi permukaan.
3. Aktivitas mekanisme imun.
Gingiva yang sehat berwarna merah muda, tepinya seperti pisau
dan scallop agar sesuai dengan kontur gigi-geligi. Warnanya dapat
bervariasi tergantung pada jumlah pigmen melanin pada epithelium,
derajat keratinisasi epithelium dan vaskularisasi dan sifat fibrosa dari
jaringan ikat di bawahnya. Gingiva dibagi menjadi dua yatu tepi gingival
dan pelekatan gingiva.
Gingiva mempunyai banyak suplai darah yang berasal dari tiga
sumber yaitu : pembuluh darah supraperiosteal, pembuluh darah
ligament periodontal dan pembuluh darah alveolar yang keluar dari
puncak tulang alveolar. Sedangkan persarafannya berasal dari cabang-
cabang saraf trigeminus.

2.1.3.2 Ligamen periodontal (Manson dan Eley, 2013)


Ligamen adalah suatu ikatan, biasanya menghubungkan dua buah
tulang. Akar gigi berhubungan dengan soketnya pada tulang alveolar
melalui struktur jaringan ikat yang dapat dianggap sebagai ligament.
Ligamen periodontal tidak hanya menghubungkan gigi ke tulang rahang
tetapi juga menopang gigi pada soketnya dan menyerap beban yang
mengenai gigi. Beban selama mastikasi, menelan dan berbicara sangat
besar variasinya, juga frekuensi, durasi, dan arahnya.
Ketebalan ligament bervariasi dari 0,3-0,1 mm. Yang terlebar pada
mulut soket dan pada apeks gigi, dan tersempit pada aksis rotasi gigi
yang terletak sedikit apical dari pertengahan akar. Pada keadaan sehat
gigi mempunyai rentang gerakan yang normal. Insisivus lebih mobil dari
pada gigi-gigi posterior, mobilitas terbesar pada saat bangun pagi dan
berkurang dengan berlalunya waktu.
Ligamen mempunyai anyaman pembuluh darah yang sangat
banyak didapat dari arteri apical dan pembuluh yang berpenetrasi pada
tulang alveolar. Terdapat anastomosis dalam jumlah besar dengan
pembuluh darah gingiva. Bundel saraf dari dari saraf trigeminus berjalan
bersama pembuluh darah dari apeks dan melintasi tulang alveolar untuk
mensuplai ligament dengan reseptor tactile, tekanan dan rasa sakit.

2.1.3.3 Sementum (Manson dan Eley, 2013)


Sementum adalah jaringan ikat kalsifikasi yang menyelubungi
dentin akar dan tempat berinsersinya bundle serabut kolagen. Sementara
dapat dianggap sebagai “tulang perlekatan” dan merupakan satu-satunya
jaringan gigi khusus dari jaringan periodontal. Hubungannya dengan
tepi email bervariasi, dapat terletak atau bersitumpang dengan email
tetapi dapat juga terpisah dari emailoleh adanya sepotong kecil dentin
yang terbuka. Ketebalan sementum bervariasi, pada daerah sepertiga
koronal hanya 16-60 µm dan sepertiga apikal 200 µm.
Ada dua tipe sementum yaitu tipe selular dan aselular. Sementum
selular mengandung sementosit pada lacuna seperti osteosit pada tulang,
dan saling berhubungan satu sama lain melalui anyaman kanalikuli.
Sementum aselular membentuk lapisan permukaan yang tipis, sering
terbatas hanya pada bagian servikal akar. Tidak mengandung sementosit
di dalam substansinya, tetapi sementoblas terletak di permukaan
sehingga istilah “aselular” sebenarnya kurang tepat diterapkan di sini.
Pembentukan sementum yang berlebihan atau disebut juga sebagai
hiperplasi sementosis, dapat terjadi setelah adanya penyakit pulpa atau
stress oklusal. Hipersementasi menyeluruh yang mengenai semua gigi
umumnya bersifat herediter, keadaan ini juga terjadi pada penyakit
Paget. Resorspsi sementum dapat disebabkan karena stress oklusal yang
berlebihan, gerakan ortodonti, tekanan dari tumor atau kista, defiesiensi
kalsium atau vitamin A dan D. Keadaan ini juga dapat ditemukan pada
penyakit metabolism atau patogenesisnya tidak jelas. Deposisi
sementum dapat berlangsung setelah adanya resorpsi bila penyebabnya
sudah dihilangkan. Kadang-kadang ankilosis sementum dan soket tulang
juga dapat terjadi.
2.1.3.4 Tulang Alveolar (Manson dan Eley, 2013)
Prosesus alveolaris adalah bagian tulang rahang yang menopang
gigi-geligi. Prosesus ini sebagian bergantung pada gigi dan setelah
tanggalnya gigi akan menjadi resorpsi tulang. Seperti tulang lainnya,
tulang alveolar terus menerus mengalami remodeling sebagai respons
terhadap ion fosfor dan kalsium. Pada keadaan sehat, remodeling
prosesus berfungsi untuk mempertahankan volume keseluruhan dari
tulang dan anatomi keseluruhan relatif stabil.
Bentuk rahang dan morfologi prosesus alveolaris bervariasi antara
berbagai individu juga bentuk, besar serta ketebalan bidang kortikal dan
septum interdental bervariasi pada berbagai daerah rahang. Tepi puncak
tulang alveolar biasanya berjalan sejajar terhadap pertautan
amelosemental pada jarak yang konstan (1-2 mm), tetapi hubungan ini
biasanya bervariasi sesuai dengan aligmen gigi dan kontur permukaan
akar.
2.2 Definisi
Fokal infeksi adalah suatu infeksi local yang biasanya dalam jangka waktu
cukup lama (kronis), di mana hanya melibatkan bagian kecil dari tubuh, yang
kemudian dapat menyebabkan suatu infeksi atau kumpulan gejala klinis pada bagian
tubuh yang lain. Contohnya, tetanus yang disebabkan oleh suatu pelepasan dari
eksotoksin yang berasal dari infeksi local. Teori tentang fokal infeksi sangat erat
hubungannya dengan bagian gigi, di mana akan mempengaruhi fungsi sistemik
seseorang seperti sistem sirkulasi, skeletal dan sistem saraf. Hal ini disebabkan oleh
penyebaran mikroorganisme atau toksin yang dapat berasal dari gigi, akar gigi, atau
gusi yang terinfeksi (Swastini, 2013).
Fokus infeksi merupakan asal mula dan penyebab berkembangnya penyakit
sistemik, terutama penyakit periodontal di permukaan marginal maupun apikal,
jumlah bakteri pada infeksi jaringan periodontal mencapai 200 macam dan pada
infeksi jaringan periodontal marginal mencapai 500 macam atau lebih dan umumnya
bakteri gram negatif (Swastini, 2013).

2.3 Fokus Infeksi dalam Rongga Mulut


2.4 Mekanisme dan Penyebaran Infeksi
Fokal infeksi disebabkan oleh infeksi kronis di suatu tempat (gigi) toxin, bakteri
sisa-sisa dari kotoran maupun mikroba penginfeksi dari gigi menyebar ke tempat lain
di tubuh seperti ginjal, jantung, paru-paru, mata, kulit. Menembus masuk ke dalam
aliran darah. Melalui suatu lesi (kerusakan) yang ditimbulkan trauma mekanis,
misalnya pada tindakan pencabutan gigi, penyebarannya percontinuiatum ke daerah-
daerah sekitarnya dan sistemik sebagai focus infeksi. Jaringan target fokal infeksi
adalah kepala dan leher, mata, sequel, intracranial, sistem respiratori, sistem
cardiovascular, jalur gastrointestinal, fertilisasi, kehamilan dan berat lahir (Swastini,
2013).
Penyebaran infeksi dari fokus primer ke tempat lain dapat berlangsung
melalui beberapa cara, yaitu transmisi melalui sirkulasi darah (hematogen), transmisi
melalui aliran limfatik (limfogen), perluasan infeksi dalam jaringan, dan penyebaran
dari traktus gastrointestinal dan pernapasan akibat tertelannya atau teraspirasinya
materi infektif (Rully dkk., 2009).
1. Transmisi melalui sirkulasi darah (hematogen)
Gingiva, gigi, tulang penyangga, dan stroma jaringan lunak di sekitarnya
merupakan area yang kaya dengan suplai darah. Hal ini meningkatkan
kemungkinan masuknya organisme dan toksin dari daerah yang terinfeksi ke
dalam sirkulasi darah. Di lain pihak, infeksi dan inflamasi juga akan semakin
meningkatkan aliran darah yang selanjutnya menyebabkan semakin banyaknya
organisme dan toksin masuk ke dalam pembuluh darah. Vena-vena yang berasal
dari rongga mulut dan sekitarnya mengalir ke pleksus vena pterigoid yang
menghubungkan sinus kavernosus dengan pleksus vena faringeal dan vena
maksilaris interna melalui vena emisaria. Karena perubahan tekanan dan edema
menyebabkan penyempitan pembuluh vena dan karena vena pada daerah ini tidak
berkatup, maka aliran darah di dalamnya dapat berlangsung dua arah,
memungkinkan penyebaran infeksi langsung dari fokus di dalam mulut ke kepala
atau faring sebelum tubuh mampu membentuk respon perlawanan terhadap
infeksi tersebut. Material septik (infektif) yang mengalir melalui vena jugularis
internal dan eksternal dan kemudian ke jantung dapat membuat sedikit kerusakan.
Namun, saat berada di dalam darah, organisme yang mampu bertahan dapat
menyerang organ manapun yang kurang resisten akibat faktor-faktor predisposisi
tertentu (Rully dkk., 2009).
2. Transmisi melalui aliran limfatik (limfogen)
Seperti halnya suplai darah, gingiva dan jaringan lunak pada mulut kaya dengan
aliran limfatik, sehingga infeksi pada rongga mulut dapat dengan mudah menjalar ke
kelenjar limfe regional. Pada rahang bawah, terdapat anastomosis pembuluh darah
dari kedua sisi melalui pembuluh limfe bibir. Akan tetapi anastomosis tersebut tidak
ditemukan pada rahang bawah.
Kelenjar getah bening regional yang terkena adalah sebagai berikut:
Sumber infeksi KGB regional
Gingiva bawah Submaksila
Jaringan subkutan bibir bawah Submaksila, submental, servikal profunda
Jaringan submukosa bibir atas dan bawah Submaksila
Gingiva dan palatum atas Servikal profunda
Pipi bagian anterior Parotis
Pipi bagian posterior Submaksila, fasial

Banyaknya hubungan antara berbagai kelenjar getah bening memfasilitasi


penyebaran infeksi sepanjang rute ini dan infeksi dapat mengenai kepala atau
leher atau melalui duktus torasikus dan vena subklavia ke bagian tubuh lainnya
(Rully, dkk., 2009).
3. Peluasan langsung infeksi dalam jaringan
Hippocrates pada tahun 460 sebelum Masehi menyatakan bahwa supurasi yang
berasal dari gigi ketiga lebih sering terjadi daripada gigi-gigi lain dan cairan yang
disekresikan dari hidung dan nyeri juga berkaitan dengan hal tersebut, dengan
kata lain infeksi antrum. Supurasi peritonsilar, faringeal, adenitis servikal akut,
selulitis, dan angina Ludwig dapat disebabkan oleh penyakit periodontal dan
infeksi perikoronal sekitar molar ketiga. Parotitis, keterlibatan sinus kavernosus
dan gangren juga dapat disebabkan oleh infeksi gigi. Osteitis dan osteomyelitis
seringkali merupakan perluasan infeksi dari abses alveolar dan pocket
periodontal. Keterlibatan bifurkasio apikal pada molar rahang bawah melalui
infeksi periodontal merupakan faktor yang penting yang menyebabkan
osteomyelitis dan harus menjadi bahan pertimbangan ketika mengekstraksi gigi
yang terinfeksi (Rully dkk., 2009).
Perluasan langsung infeksi dapat terjadi melalui penjalaran material septik atau
organisme ke dalam tulang atau sepanjag bidang fasial dan jaringan penyambung
di daerah yang paling rentan. Tipe terakhir tersebut merupakan selulitis sejati, di
mana pus terakumulasi di jaringan dan merusak jaringan ikat longgar, membentuk
ruang (spaces), menghasilkan tekanan, dan meluas terus hingga terhenti oleh
barier anatomik. Ruang tersebut bukanlah ruang anatomik, tetapi merupakan
ruang potensial yang normalnya teriis oleh jaringan ikat longgar. Ketika terjadi
infeksi, jaringan areolar hancur, membentuk ruang sejati, dan menyebabkan
infeksi berpenetrasi sepanjang bidang tersebut, karena fasia yang meliputi ruang
tersebut relatif padat.
Perluasan langsung infeksi terjadi melalui tiga cara, yaitu (Rully dkk., 2009) :
 Perluasan di dalam tulang tanpa pointing
Area yang terkena terbatas hanya di dalam tulang, menyebabkan
osteomyelitis. Kondisi ini terjadi pada rahang atas atau yang lebih sering pada
rahang bawah. Di rahang atas, letak yang saling berdekatan antara sinus
maksila dan dasar hidung menyebabkan mudahnya ketelibatan mereka dalam
penyebaran infeksi melalui tulang.
 Perluasan di dalam tulang dengan pointing
Ini merupakan tipe infeksi yang serupa dengan tipe di atas, tetapi perluasan
tidak terlokalisir melainkan melewati tulang menuju jaringan lunak dan
kemudian membentuk abses. Di rahang atas proses ini membentuk abses
bukal, palatal, atau infraorbital. Selanjutnya, abses infraorbital dapat
mengenai mata dan menyebabkan edema di mata. Di rahang bawah, pointing
dari infeksi menyebabkan abses bukal. Apabila pointing terarah menuju
lingual, dasar mulut dapat ikut terlibat atau pus terdorong ke posterior
sehingga membentuk abses retromolar atau peritonsilar.
 Perluasan sepanjang bidang fasial
Menurut HJ Burman, fasia memegang peranan penting karena fungsinya yang
membungkus berbagai otot, kelenjar, pembuluh darah, dan saraf, serta karena
adanya ruang interfasial yang terisi oleh jaringan ikat longgar, sehingga
infeksi dapat menurun.
Di bawah ini adalah beberapa fasia dan area yang penting, sesuai dengan
klasifikasi dari Burman:
o Lapisan superfisial dari fasia servikal profunda
o Regio submandibula
o Ruang (space) sublingual
o Ruang submaksila
o Ruang parafaringeal
Penting untuk diingat bahwa kepala, leher, dan mediastinum dihubungkan
oleh fasia, sehingga infeksi dari kepala dapat menyebar hingga ke dada.
Infeksi menyebar sepanjang bidang fasia karena mereka resisten dan meliputi
pus di area ini. Pada regio infraorbita, edema dapat sampai mendekati mata.
Tipe penyebaran ini paling sering melibatkan rahang bawah karena lokasinya
yang berdekatan dengan fasia (Rully dkk., 2009)
4. Penyebaran ke traktus gastrointestinal dan pernapasan
Bakteri yang tertelan dan produk-produk septik yang tertelan dapat menimbulkan
tonsilitis, faringitis, dan berbagai kelainan pada lambung. Aspirasi produk septik
dapat menimbulkan laringitis, trakeitis, bronkitis, atau pneumonia. Absorbsi
limfogenik dari fokus infeksi dapat menyebabkan adenitis akut dan selulitis
dengan abses dan septikemia. Penyebaran hematogen terbukti sering
menimbulkan infeksi lokal di tempat yang jauh.
Infeksi oral dapat menimbulkan sensitisasi membran mukosa saluiran napas atas
dan menyebabkan berbagai gangguan, misalnya asma. Infeksi oral juga dapat
memperburuk kelainan sistemik yang sudah ada, misalnya tuberkulosis dan
diabetes mellitus. Infeksi gigi dapat terjadi pada seseorang tanpa kerusakan yang
jelas walaupun pasien memiliki sistem imun yang normal. Suatu tipe pneumonia
dapat disebabkan oleh aspirasi material infeksi, terutama pada kelainan
periodontal yang lanjut. Juga telah ditunjukkan bahwa tuberkel basil dapat
memasuki tubuh melalui oral, yaitu pocket periodontal dan flap gingiva yang
terinfeksi yang meliputi molar ketiga. Infeksi oral, selain dapat memperburuk TB
paru yang sudah ada, juga dapat menambah systemic load, yang menghambat
respon tubuh dalam melawan efek kaheksia dari penyakit TB tersebut. Mendel
telah menunjukkan perjalanan tuberkel basilus dari gigi melalui limfe, KGB
submaksila dan servikal tanpa didahului ulserasi primer. Tertelannya material
septik dapat menyebabkan gangguan lambung dan usus, seperti konstipasi dan
ulserasi (Rully dkk., 2009).

2.5 Patogenesis dan Patofisiologi Fokus Infeksi


Teori tentang fokal infeksi sangat erat hubungannya dengan bagian gigi, di
mana akan mempengaruhi fungsi sistemik seseorang seperti sistem sirkulasi, skeletal
dan sistem saraf. Hal ini disebabkan oleh penyebaran mikroorganisme atau toksin
yang dapat berasal dari gigi, akar gigi atau gusi yang terinfeksi (Swastini, 2013).
Penetrasi dari bakteri komensal yang mengalami perubahan, baik secara
kualitatif maupun kuantitatif bila diikuti sistem imun dan pertahanan seluler yang
terganggu, akan menyebabkan infeksi. Selain itu terganggunya keseimbangan
mikroflora akibat penggunaan antibiotik tertentu juga dapat menyebabkan adanya
dominasi bakteri lainnya yang potensial. Kondisi-kondisi maupun penyakit yang
menyebabkan keadaan imunokompromais seperti penyakit metabolik tak terkontrol
(uremia, alkoholisme, malnutrisi, diabetes), penyakit suppresif (leukimia, limfoma,
tumor ganas), dan penggunaan obat-obat immunosupresif misalnya pada pasien yang
menjalani kemoterapi kanker juga dapat memfasilitasi dengan mudah terjadinya
infeksi odontogenik (Rully dkk., 2009).
Mekanisme tersering terjadinya infeksi odontogenik berawal dari karies
dentis. Proses demineralisasi enamel gigi akan merusak enamel yang selanjutnya
melanjutkan invasi bakteri ke pori / trabekula dentin yang kemudian menyebabkan
pulpitis hingga nekrosis pulpa. Dari pulpa maka infeksi dapat menyebar ke akar gigi
dan selanjutnya menyebar ke tulang maksila atau mandibula, menyebabkan
osteomyelitis. Kerusakan ini dapat menyebabkan perforasi sehingga melibatkan pula
mukosa mulut maupun kulit wajah (Rully dkk., 2009).
Sebagian besar bakteri yang berlokasi pada supragingival adalah gram positif,
fakultatif dan sakarolitik yang berarti bahwa pada keadaan di mana terdapat
karbohidrat terutama sukrosa, maka akan diproduksi asam. Asam ini akan membuat
enamel mengalami demineralisasi yang memfasilitasi infiltrasi dari bakteri pada
dentin dan pulpa. Dengan adanya invasi dari bakteri pada jaringan internal gigi,
bakteri berkembang, terutama bakteri gram negatif, anaerobik dan proteolitik akan
menginfeksi rongga pulpa. Beberapa bakteri ini memiliki faktor virulensi yang dapat
menyebabkan invasi bakteri pada jaringan periapikal melalui foramen apikal. Lebih
dari sebagian lesi periapikal yang aktif tidak dapat dideteksi dengan sinar-X karena
berukuran kurang dari 0.1 mm2. Jika respon imun host menyebabkan akumulasi dari
netrofil maka akan menyebabkan abses periapikal yang merupakan lesi destruktif
pada jaringan. Namun jikan respon imun host lebih didominasi mediasi oleh
makrofag dan sel limfosit T, maka akan berkembang menjadi granuloma apikal,
ditandai dengan reorganisasi jaringan melebihi destruksi jaringan. Perubahan pada
status imun host ataupun virulensi bakteri dapat menyebabkan reaktivasi dari silent
periapical lessions (Rully dkk., 2009).
Infeksi odontogenik juga dapat berasal dari jaringan periodontal. Ketika
bakteri subgingival berkembang dan membentuk kompleks dengan bakteri
periodontal patogen yang mengekspresikan faktor virulensi, maka akan memicu
respon imun host yang secara kronis dapat menyebabkan periodontal bone loss.
Abses periodontal dapat berasal dari eksaserbasi periodontitis kronik, defek
kongenital yang dapat memfasilitasi invasi bakteri (fusion dari akar, development
grooves, dll), maupun iatrogenik karena impaksi dari kalkulus pada epitel periodontal
pocket selama scaling. Beberapa abses akan membentuk fistula dan menjadi kronik
yang pada umumnya bersifat asimptomatik ataupun paucisimptomatik. Bentuk
khusus dari abses periodontal rekuren adalah perikoronitis yang disebabkan oleh
invasi bakteri pada coronal pouch selama erupsi molar (Rully dkk., 2009).
PATOLOGI PERIODONTAL DALAM BIDANG OPTALMOLOGI :
LAPORAN KASUS

Abstract
Skleritis adalah inflamasi kronis yang mengenai lapisan terluar dan skeleton
dari mata. Skleritis dapat berhubungan dengan penyakit sistemik atau gangguan
sistem imun dan skleritis juga dapat disebabkan oleh infeksi dan keadaan patologis
yang lain.
Kasus ini menunjukan seorang wanita dengan nyeri yang parah pada mata kiri
dan didiagnosis skleritis akibat inflamasi periodontal dan periapikal multiple pada
maksila dan mandibula. Periodontitis yang paling parah ditemukan di sisi kiri maksila
dan mandibula, yang mana merupakan sisi yang sama dengan yang terkena skleritis.
Pada kasus ini, dokter mata menggunakan terapi hormonal, yang memberikan hasil
yang baik terhadap penyakit skleritis. Namun, hasil yang optimal dapat dicapai
dengan mengobati periodontitisnya.
Berdasarkan kasus ini kami (dokter mata) ingin lebih memperhatikan penyakit
periodontal pada pasien dengan skleritis, dan mengkonsultasikan pasien pada dokter
gigi. Setelah pengobatan periodontitis, sumber inflamasi utama akan dihilangkan dan
skleritis dapat disembuhkan.

Pendahuluan
Kesehatan mulut merupakan bagian penting dari kesehatan tiap individu secara
keseluruhan. Pengetahuan tentang hubungan antara penyakit periodontal dan
kesehatan sistemik berkembang secara pesat. Perkembangan penelitian epidemiologi
dan analisis statistik, menyempurnakan pemahaman biologi yang artinya adanya
peningkatan pengetahuan pada bidang biologi molecular, mikrobiologi, imunologi
dan genetik, kemungkinan perawatan penyakit periodontal, karies, dan infeksi
endodontic yang memuaskann dan mempertahankan gigi daripada harus
mengekstraksinya, semua faktor tersebut telah mendorong para ilmuwan di bidang
kedokteran dan kedokteran gigi untuk menyimpulkan hubungan antara penyakit gigi
dan mulut dan kondisi sistemik dengan pendekatan yang lebih ilmiah. Penyakit
periodontal merupakan penyakit kronis yang angka kejadianya mendunia. Penyakit
periodontal merupakan penyakit inflamasi yang disebabkan oleh sekelompok bakteri
pada jaringan penyangga gigi (gingiva, ligament periodontal, sementum dan tulang
alveolar). Gingivitis merupakan inflamasi gingiva yang mengelilingi gigi yang tidak
dapat menyebabkan hilangnya perlekatan periodontal. Di sisi lain, periodontitis
dicirikan dengan hilangnya perlekatan ligament periodontal dari sementum dengan
terbentuknya poket periodontal, resorpsi tulang alveolar, resesi gingival, migrasi gigi-
geligi, mobilitas gigi, terbentuknya abses dan tanggalnya gigi. Patogen periodontal
yang paling sering ditemukan adalah tiga spesies mikroaerophilik (Actinobacillus
actinomycetemcomitans, Campylobacter rectus, dan Eikenella corrodens) dan tujuh
spesies anaerob (Porphyromonas gingivalis, Bacteroides forsythus, Treponema
denticola, Prevotella intermedia, Fusobacterium nucleatum, Eubacterium, and
spirochetes). Patogenesis dari periodontitis meliputi proses inflamasi dan imun yang
menyebabkan diproduksinya sitokin, prostaglandin dan pada beberapa kasus, juga
ditemukan reagen fase akut, contohnya C-reaktif protein. Mekanisme penyakit
periodontal sehingga dapat mempengaruhi kondisi sistemik dapat dijelaskan sebagai
berikut : 1. Oral-hematogen, menyebarkan patogen periodontal dan secara langsung
mengenai organ target; 2. Transtrakeal, menyebarkan patogen periodontal dan secara
langsung mengenai organ target; 3. Oral-hematogen, menyebarkan sitokin dan
antibodi yang mengenai organ-organ lain.
Patogen periodontal dapat masuk ke gingival melalui lapisan epitel dalam poket
periodontal. Dengan jaringan gingival yang mengalami inflamasi akan menghasilkan
mediator-mediator inflamasi diantaranya TNF-α, IL-1β, PGE2 dan γ-IFN. Mediator-
mediator tersebut dapat memasuki aliran darah dan menyebabkan inflamasi sistemik
dengan berbagai macam akibat misalnya persalinan preterm dengan berat badan lahir
rendah, osteoporosis, diabetes mellitus, gagal ginjal dan obesitas.
Skleritis dapat disebabkan kelainan pada mata atau dapat juga berhubungan
dengan penyakit sistemik atau gangguan imunitas. Pasien dengan skleritis terkadang
dapat diketahui penyakit yang mendasarinya contohnya rheumatoid arthritis atau
dapat terjadi sendiri tanpa disertai penyakit yang lain. Sklera adalah lapisan eksternal
yang berwarna putih yang membatasi mata dengan limbus atau corneoscleral
junction dengan lapisan cribriform dari nervus opticus. Skleritis merupakan inflamasi
kronis yang melibatkan lapisan terluar dan skeleton mata. Bentuk inflamasi pada
mata ini dapat mengganggu ketajaman pengelihatan, termasuk uveitis, katarak dan
glaukoma, serta dapat terasa sangat nyeri. Skleritis dapat mengenai bagian anterior
atau posterior atau keduanya. Skleritis anterior merupakan bentuk yang paling sering
dijumpai dan dapat berifat difus, nodular atau nekrotik.
Kasus ini menunjukkan pasien dengan skleritis dan penyakit periodontal dan
menunjukkan hubungan yang mungkin terjadi antara skleritis dan infeksi odontogen.

Anamnesa
Seorang wanita berumur 55 tahun diwawancarai di klinik Mata Bagian Ilmu
Kesehatan Universitas Lithuanian. Selama pemeriksaan, pasien mengeluh mengalami
nyeri yang sangat di mata kiri. Pemeriksaan visus dengan kartu Snellen didapatkan
20/20 pada mata kanan (OD) dan 20/200 pada mata kiri (OS). Pemeriksaan fundus
dalam batas normal. Tekanan Intra Okular (TIO) pada kedua mata dalam batas
normal. Selama pemeriksaan, pembuluh darah episklera OS lebih tebal dari normal.
Didapatkan tanda inflamasi dan iritasi, terutama pada bagian atas dari mata kiri.
Endotel kornea dan iris tidak ditemukan kelainan. Dilakukan pemeriksaan
ultrasound, dan tidak ditemukan gambaran tumor, tapi sclera terlihat menebal
sebanyak 0.32 mm. Pasien didiagnosa skleritis akut anterior dan posterior pada mata
kiri.
Gambar :
Setelah beberapa hari, kondisi mata kiri terlihat lebih baik, kemerahan pada
mata kiri mulai mereda, tetapi pasien masih merasakan nyeri. Pemeriksaan
ultrasound telah dilakukan beberapa kali, dan penebalan dinding posterior mengalami
peningkatan hingga 1.26 mm. Pasien diberikan tablet Prednisolone 5 mg (dari
sebelumnya dengan dosis 50 mg per hari). Perawatan pada mata kiri dilanjutkan
dengan solutio Flarex dan solutio Uniclopheni empat kali sehari. Untuk meredakan
rasa nyeri diberikan tablet Diclac 150 mg. Laporan kesehatan mata pasien mulai
terlihat membaik. Kami mencoba untuk mencari sebab dari skleritis melalui
anamnesis dan keluhan pasien. Dari anamensa yang lebih cermat kami memutuskan
untuk mencari ada tidaknya masalah pada gigi. Pasien dikonsulkan pada dokter gigi.
Pasien melakukan pemeriksaan gigi. Orthopantomogram menunjukkan terdapat inflamasi
periodontal dan perapikal multiple pada maksila dan mandibula. Peridontitis yang paling
parah didapatkan pada sisi kiri dari maksila dan mandibula, yang mana merupakan sisi
yang sama dengan mata yang mengalami skleritis. Menurut pasien, ia sudah memiliki
penyakit periodontitis selama lebih dari 2 tahun, dan belum pernah diobati.
Oleh dokter mata pasien diberikan terapi hormonal, yang menunjukkan hasil yang
baik untuk penyakit skleritis. Namun hasil yang optimal dapat dicapai dengan mengobati
penyakit periodontitisnya.

Diskusi
Penyakit periodontal merupakan penyakit yang tersebar di seluruh dunia. Secara
epidemiologi, sekitar 1% dari seluruh penduduk dunia memiliki penyakit periodontitis.
Tahun 2010, di USA telah dilakukan penelitian mengenai jumlah penduduk USA yang
mengalami penyakit periodontitis. Hasil yang didapatkan yaitu sekitar 1.3 % penduduk
US memiliki periodontitis. Berbagai macam faktor dapat menjadi penyebab mengapa
penyebaran penyakit ini begitu luas, diantaranya kebersihan gigi yang buruk, faktor
genetic misalnya alel HLA-DRB1, obesitas, hormonal, pestisida, merokok dan juga
penyakit sistemik. Komplesitas periodontitis disebabkan dari hubungan antara pathogen
mikroba dan respon inflamasi serta respon imun dari host, begitu juga faktor lingkungan
dan genetik. Tetapi pada umumnya disebabkan akibat masalah pada kebersihan giginya.
Data statistic menunjukkan contohnya 95% populasi India sembuh dari penyakit
periodontal, 50% hanya menggunakan sikat gigi dan 2% yang berobat ke dokter gigi.
Sebaliknya, prevalensi skleritis pada populasi umum cenderung rendah.
Diperkirakan terdapat 6 kasus per 100.000 orang, tapi telah dijelaskan antara 0,2%
sampai 6,3% pasien dengan rheumatoid arthritis dan hingga 7% dari mereka yang
mengalami granulomatosis Wegener, menunjukkan bahwa patofisiologi yang
mendasarinya berhubungan dengan kejadian skleritis. Selain itu, penyakit infeksi dapat
menyebabkan skleritis anterior sekitar 5-10%. Organisme infeksius tersebut diantaranya
bakteri, virus, parasit atau jamur. Seperti yang diketahui, patolofisiologi kesehatan
sistemik memiliki hubungan dengan kejadian skleritis. Skleritis dapat mengenai bagian
anterior maupun posterior. Pada laporan kasus di atas menunjukkan adanya komplikasi
pada mata akibat periodontitis. Hal ini menunjukkan peningkatan inflamasi sistemik
berhubungan dengan periodontitis yang nantinya dapat menjadi faktor pemicu terjadinya
skleritis.
Sebaliknya, beberapa teori menunjukkan bahwa kondisi di mulut tidak
mempengaruhi kesehatan sistemik. Microbiota subgingival dan sublingual pada pasien
dengan periodontitis menyebabkan host mendapatkan serangan dari bakteri gram
negative. Hal ini menunjukkan bahwa patogen jaringan periodontal dapat menyerang
jaringan gingival dan dari gingival dapat masuk menuju sirkulasi sistemik.
Pada kasus di atas dapat disimpulkan bahwa terapi penyakit periodontal dapat
menurunkan marker inflamasi dan menyembuhkan skleritis. Menurut teori dan dari
contoh kasus di atas dapat disimpulkan bahwa sklertitis anterior dan posterior dapat
disebabkan oleh inflamasi sistemik yang disebabkan oleh penyakit periodontal.
Hipotesis terkini mengenai hubungan antara inflamasi subklinis yang kronis dengan
resistensi insulin dapat memperburuk penyakit diabetes mellitus tipe 2. Inflamasi pemicu
sangat banyak dan termasuk inflamasi pada mulut, di mana terdapat peningkatan
produksi cytokine, aktivasi sintesis protein fase akut, dan pada akhirnya menyebabkan
resistensi insulin yang merupakan suatu proses patogenik sehingga terjadi diabetes
mellitus tipe 2. Periodontitis merupakan salah satu dari sekian banyak komplikasi yang
disebabkan oleh diabetes tipe 1 maupuan tipe 2. Prevalensi pada pasien dengan sindrom
metabolik dengan disertai periodontitis sekitar 2-25%.
Baik penyakit kardiovaskular (gagal jantung kongestif, aritmia jantung, penyakit
jantung koroner) maupun periodontitis merupakan penyakit kronis dan penyakit dengan
penyebab multifaktorial dengan beberapa faktor resiko diantaranya umur, jenis kelamin
lak-laki, status ekonomi yang rendah, perokok dan faktor psikososial misalnya stress.
Belakangan ini penyakit periodontal dianggap sebagai faktor potensial yang
berkontribusi terhadap onset dan perkembangan dari penyakit kardiovaskular.
Infeksi pada saluran pernapasan seperti pneumonia dan penyakit paru obstruktif
kronis berhubungan dengan aspirasi bakteri dari oropharing ke saluran pernapasan bawah
saat terjadi gangguan menelan. Beberapa bukti menunjukkan bahwa bakteri pada mulut,
kebersihan mulut yang buruk dan periodontitis dapat menyebabkan infeksi pulmonal,
seperti pneumoni komuniti, pneumoni nosokomial, dan pneumonia akibat penggunaan
ventilator.

Kesimpulan
Saat diagnosis skleritis anterior dan posterior ditegakkan, dan pasien tidak memiliki
kelianan sistemik atau penyakit yang berhungan dengan imunitas, dokter mata harus
memeriksa ada tidaknya penyakit periodontal dan mengkonsulkan pasien ke dokter gigi.
Setelah pengobatan periodontitis, sumber inflamasi akan hilang dan skleritis dapat
disembuhkan.
Tingkat Keparahan Penyakit Periodontal Berhubungan dengan Status
Inflamasi Sistemik dan dapat Berdiri Sendiri Sebagai Prediktor Tunggal
Didapatkannya dan Adanya Perluasan Angiografik dari Penyakit Jantung
Korone tipe Stabil

Pendahuluan

Penyakit kardiovaskular masih menjadi penyakit utama yang menyebabkan


kematian di negara barat. Sementara faktor resiko kardiovaskular seperti diabetes,
hispertensi sistemik dan dislipidemia saat ini telah banyak diketahui, yang merupakan
kondisi yang telah dilaporkan berkontribusi terhadap pathogenesis dari aterosklerosis.
Penyakit periodontal dan infeksi kronis yang menginfeksi struktur penyangga gigi
dalam beberapa tahun belakangan telah dipertanyakan apakah dapat dikatakan
sebagai faktor potensial yang mempengaruhi onset dan perkembangan dari penyakit
kardiovaskular, termasuk penyakit serebrovaskular dan penyakit jantung koroner.
Hubungan ini telah dilaporkan pada beberapa studi epidemiologi yang mendukung
bahwa infeksi periodontal sebagai pemicu dan faktor yang dapat memperburuk
perkembangan aterosklerosis. Namun, hubungan antara penyakit jantung koroner dan
periodontitis masih diperdebatkan. Kekhawatiran ini menyebabkan dipertanyakannya
keabsahan mengenai metode klinis dan epidemiologi yang digunakan dan
kemungkinan adanya hubungan antara infeksi periodontal dengan faktor-faktor
pemicu penyakit kardiovaskular yang lain. Oleh karena itu, peranan yang pasti antara
penyakit periodontal pada lesi aterosklerotik yang semakin parah, jika memang ada,
hubungan tersebut masih belum bisa dimengerti. Periodontitis mungkin dapat secara
langsung mempengaruhi onset dari penyakit jantung koroner, yaitu menginisiasi
reaksi auto-immune atau memicu terjadinya bakterimia. Di sisi lain, penyakit
periodontal dapat berperan sebagai faktor yang memperburuk melalui fenomena
peningkatan inflamasi sistemik., yang mana merupakam suatu reaksi yang dapat
mempercepat pembentukan plak aterosklerosis.
Untuk menguji hipotesis bahwa periodontitis dapat memprediksi semakin
luasnya penyakit jantung koroner tipe stabil, kami mengevaluasi manifestasi klinis
dan luasnya lesi penyakit periodontal pada pasien dengan penyakit jantung koroner
yang stabil dan pada subjek yang memiliki faktor-faktor resiko tinggi mengalami
penyakit jantung koroner. Lebih spesifik, kami meneliti hubungan internal antara
patofisiologi penyakit di mulut, jumlah marker inflamasi dan keparahan penyakit
jantung koroner.

Diskusi
Studi menunjukkan bahwa penyakit periodontal lebih parah terjadi pada pasien
dengan penyakit jantung koroner dibandingkan pada pasien masih dalam tahap
memiliki resiko tinggi menderita penyakit jantung koroner. Hasil penelitian juga
menunjukka adanya hubungan yang signifikan antara keparahan penyakit periodontal
dengan amplitude respon inflamasi sistemik.
Selanjutnya, kami melaorkan bahwa keparahan penyakit periodontal yang
dilihat dari kedalaman poket periodontal berhubungan dengan luasnya lesi
angiografik pada pasien dengan penyakit jantung koroner, yang menunjukkan adanya
pengaruh secara langsung dari periodontitis pada pathogenesis aterosklerosis koroner.
Adanya penyakit periodontal telah dipertanyakan sebagai faktor resiko yang
potensial terhadap perkembangan penyakit kardiovaskular. Infeksi kronis dari
jaringan periodontal berhubungan dengan marker aterosklerosis subklinis, termasuk
ketebalan lapisan media-intima dari pembuluh darah karotis dan disfungsi endotel.
Namun, hubungan potensial antara penyakit periodontal dan aterosklerosis koroner
masih diperdebatkan. Beberapa studi epidemiologi melaporkan hubungan antara dua
kondisi tersebut dan menduga penyakit periodontal sebagai faktor resiko terjadinya
penyakit kardiovaskular, sementara penelitian yang lain tidak menemukan hubungan
diantara keduanya. Pendapat yang yang saling berlawanan tersebut memunculkan
beberapa masalah dan mungkin dapat dijelaskan dengan adanya peranan dari faktor-
faktor resiko yang lain atau merupakan variasi dari gejala penyakit periodontal.
Mekanisme pasti yang mendukung hubungan antara penyakit periodontal dan
perkembangan penyakit jantung koroner masih belum diketahui. Peridontitis
dilaporkan berhubungan dengan peningkatan level marker inflamasi dan reaksi
inflamasi sistemik, faktor yang dapat mempercepat pembentukan plak aterosklerosis
dan berhubungan dengan peningkatan dari efek samping penyakit jantung koroner.
Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan secara langsung antara luasnya
penyakit periodontitis dan derajat inflamasi sistemik, yang dinilai dari CRP,
fibrinogen, level SAA dan jumlah neutrofil. Lebih lanjut, kami menemukan
hubungan yang erat antara CRP, nilai SAA dan luasnya lesi angiografik sebagaimana
juga dilaporkan pada penelitian sebelumnya. Penyakit periodontal secara langsung
mempengaruhi onset penyakit jantung koroner dengan menginduksi peristiwa
bakterimia berulang diikuti translokasi patogen pada dinding arteri dan memicu
terjadinya reaksi inflamasi lokal. Periodontitis juga dilaporkan dapat memodulasi
struktur HDL dan meningkatkan profil lipid pro-aterogenik. Selanjutnya,
periodontitis mungkin menyebabkan reaksi auto-immune: spesies bakteri yang
terdapat pada lesi penyakit periodontal dapat memicu reaksi imun dengan produksi
antibodi IgA yang dapat mengalami reaksi silang dengan beberapa epitop dari sel
host dan menyebabkan proses inflamasi vascular. Seluruh data tersebut menunjukkan
bahwa pengobatan peridontitis yang intensif dapat memperbaiki kondisi
kardiovaskular. Selain itu, beberapa penelitian lain mengatakan bahwa adanya
pengaruh yang baik dari pengobatan periodontitis terhadap fungsi endotel, tekanan
darah dan profil lipid. Spahr et al. melaporkan bahwa patogen periodontal dapat
menjadi predictor yang kuat terhadap adanya penyakit kardiovaskular dan beberapa
bakteri tersebut contohnya Actinobacillus actinomycetemcomitans yang memiliki
kontribusi terhadap perkembangan aterosklerosis.
Dapat disimpulkan, kami melaporkan adanya hubungan yang erat antara
periodontitis dan level marker inflamasi. Selain itu, kami menunjukkan bahwa
keparahan periodontitis juga dihubungkan dengan luasnya angiografik pada penyakit
jantung koroner tipe stabil. Data kami menunjukkan bahwa adanya penyakit
periodontal dapat dijadikan sebagai predictor tunggal terhadap lesi penyakit jantung
koroner pada pasien dengan resiko tinggi. Oleh karena itu, kami menyarankan bahwa
pengobatan penyakit periodontal yang optimal dapat berdampak positif pada pasien
dengan penyakit jantung koroner dan secara potensial memiliki prognosis yang baik.
Namun, hal ini masih perlu diteliti lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

Souza, L., Olivera, M., Basile, J., Souza, A., Haikal, D., dan Paula, A. 2015.
Anatomical and Physiopathological Aspects of Oral Cavity and Oropharynx
Components Related to Oropharyngeal Dysphagia. Seminar in Disphagia.
Manson danEley. 2013. Buku Ajar Periodonti. Hipokrates. Jakarta.
Swastini, I. 2013. Kerusakan Gigi Merupakan Fokal Infeksi Penyebab Timbulnya
Penyakit Sistemik. Jurnal Kesehatan Gigi 1 (1) : 63-68.
Rully, A., Febriadi, M., Aini, H., Adji, P., Yassien, R., Wijaya, T. 2009. Makalah
Fokal Infeksi (Kaitan Fokal Infeksi dengan Infeksi Fokal Multi Organ).
Bagian Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. RSUPN
Cipto Mangunkusumo. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai