TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
2.1.1 Rongga Mulut
Secara anatomis, rongga mulut atau mulut adalah organ dari sistem
pencernaan di mana bagian anterior dibatasi oleh bibir, bagian posterior dibatasi
oleh orofaring, bagian superior dibatasi oleh palatum durum dan palatum mole,
dan bagian inferior dibatasi oleh lidah (2/3 anterior) dan dasar mulut, serta
dikelilingi oleh mukosa bukal yang melapisi pipi, bersama dengan gigi atas dan
bawah serta periodonsium. Gigi atas tertanam pada rahang atas dan gigi bawah
tertanam pada rahang bawah, yang kemudian berartikulasi dengan tulang
temporal tengkorak (Souza dkk., 2015).
Rongga mulut yang disebut juga rongga bukal, dibentuk secara
anatomis oleh pipi, palatum keras, palatum lunak, dan lidah. Pipi membentuk
dinding bagian lateral masing-masing sisi dari rongga mulut. Pada bagian
eksternal dari pipi, pipi dilapisi oleh kulit. Sedangkan pada bagian internalnya,
pipi dilapisi oleh membran mukosa, yang terdiri dari epitel pipih berlapis yang
tidak terkeratinasi. Otot-otot businator (otot yang menyusun dinding pipi) dan
jaringan ikat tersusun di antara kulit dan membran mukosa dari pipi. Bagian
anterior dari pipi berakhir pada bagian bibir.
Palatum merupakan sebuah dinding atau pembatas yang membatasi
antara rongga mulut dengan rongga hidung sehingga membentuk atap bagi
rongga mulut. Struktur palatum sangat penting untuk dapat melakukan proses
mengunyah dan bernafas pada saat yang sama. Palatum secara anatomis dibagi
menjadi dua bagian yaitu palatum durum (palatum keras) dan palatum mole
(palatum lunak). Palatum durum terletak di bagian anterior dari atap rongga
mulut. Palatum durum merupakan sekat yang terbentuk dari tulang yang
memisahkan antara rongga mulut dan rongga hidung. Palatum durum dibentuk
oleh tulang maksila dan tulang palatin yang dilapisi oleh membran mukosa.
Bagian posterior dari atap rongga mulut dibentuk oleh palatum mole. Palatum
mole merupakan sekat berbentuk lengkungan yang membatasi antara bagian
orofaring dan nasofaring. Palatum mole terbentuk dari jaringan otot yang sama
halnya dengan paltum durum, juga dilapisi oleh membran mukosa (Manson dan
Eley, 2013).
Abstract
Skleritis adalah inflamasi kronis yang mengenai lapisan terluar dan skeleton
dari mata. Skleritis dapat berhubungan dengan penyakit sistemik atau gangguan
sistem imun dan skleritis juga dapat disebabkan oleh infeksi dan keadaan patologis
yang lain.
Kasus ini menunjukan seorang wanita dengan nyeri yang parah pada mata kiri
dan didiagnosis skleritis akibat inflamasi periodontal dan periapikal multiple pada
maksila dan mandibula. Periodontitis yang paling parah ditemukan di sisi kiri maksila
dan mandibula, yang mana merupakan sisi yang sama dengan yang terkena skleritis.
Pada kasus ini, dokter mata menggunakan terapi hormonal, yang memberikan hasil
yang baik terhadap penyakit skleritis. Namun, hasil yang optimal dapat dicapai
dengan mengobati periodontitisnya.
Berdasarkan kasus ini kami (dokter mata) ingin lebih memperhatikan penyakit
periodontal pada pasien dengan skleritis, dan mengkonsultasikan pasien pada dokter
gigi. Setelah pengobatan periodontitis, sumber inflamasi utama akan dihilangkan dan
skleritis dapat disembuhkan.
Pendahuluan
Kesehatan mulut merupakan bagian penting dari kesehatan tiap individu secara
keseluruhan. Pengetahuan tentang hubungan antara penyakit periodontal dan
kesehatan sistemik berkembang secara pesat. Perkembangan penelitian epidemiologi
dan analisis statistik, menyempurnakan pemahaman biologi yang artinya adanya
peningkatan pengetahuan pada bidang biologi molecular, mikrobiologi, imunologi
dan genetik, kemungkinan perawatan penyakit periodontal, karies, dan infeksi
endodontic yang memuaskann dan mempertahankan gigi daripada harus
mengekstraksinya, semua faktor tersebut telah mendorong para ilmuwan di bidang
kedokteran dan kedokteran gigi untuk menyimpulkan hubungan antara penyakit gigi
dan mulut dan kondisi sistemik dengan pendekatan yang lebih ilmiah. Penyakit
periodontal merupakan penyakit kronis yang angka kejadianya mendunia. Penyakit
periodontal merupakan penyakit inflamasi yang disebabkan oleh sekelompok bakteri
pada jaringan penyangga gigi (gingiva, ligament periodontal, sementum dan tulang
alveolar). Gingivitis merupakan inflamasi gingiva yang mengelilingi gigi yang tidak
dapat menyebabkan hilangnya perlekatan periodontal. Di sisi lain, periodontitis
dicirikan dengan hilangnya perlekatan ligament periodontal dari sementum dengan
terbentuknya poket periodontal, resorpsi tulang alveolar, resesi gingival, migrasi gigi-
geligi, mobilitas gigi, terbentuknya abses dan tanggalnya gigi. Patogen periodontal
yang paling sering ditemukan adalah tiga spesies mikroaerophilik (Actinobacillus
actinomycetemcomitans, Campylobacter rectus, dan Eikenella corrodens) dan tujuh
spesies anaerob (Porphyromonas gingivalis, Bacteroides forsythus, Treponema
denticola, Prevotella intermedia, Fusobacterium nucleatum, Eubacterium, and
spirochetes). Patogenesis dari periodontitis meliputi proses inflamasi dan imun yang
menyebabkan diproduksinya sitokin, prostaglandin dan pada beberapa kasus, juga
ditemukan reagen fase akut, contohnya C-reaktif protein. Mekanisme penyakit
periodontal sehingga dapat mempengaruhi kondisi sistemik dapat dijelaskan sebagai
berikut : 1. Oral-hematogen, menyebarkan patogen periodontal dan secara langsung
mengenai organ target; 2. Transtrakeal, menyebarkan patogen periodontal dan secara
langsung mengenai organ target; 3. Oral-hematogen, menyebarkan sitokin dan
antibodi yang mengenai organ-organ lain.
Patogen periodontal dapat masuk ke gingival melalui lapisan epitel dalam poket
periodontal. Dengan jaringan gingival yang mengalami inflamasi akan menghasilkan
mediator-mediator inflamasi diantaranya TNF-α, IL-1β, PGE2 dan γ-IFN. Mediator-
mediator tersebut dapat memasuki aliran darah dan menyebabkan inflamasi sistemik
dengan berbagai macam akibat misalnya persalinan preterm dengan berat badan lahir
rendah, osteoporosis, diabetes mellitus, gagal ginjal dan obesitas.
Skleritis dapat disebabkan kelainan pada mata atau dapat juga berhubungan
dengan penyakit sistemik atau gangguan imunitas. Pasien dengan skleritis terkadang
dapat diketahui penyakit yang mendasarinya contohnya rheumatoid arthritis atau
dapat terjadi sendiri tanpa disertai penyakit yang lain. Sklera adalah lapisan eksternal
yang berwarna putih yang membatasi mata dengan limbus atau corneoscleral
junction dengan lapisan cribriform dari nervus opticus. Skleritis merupakan inflamasi
kronis yang melibatkan lapisan terluar dan skeleton mata. Bentuk inflamasi pada
mata ini dapat mengganggu ketajaman pengelihatan, termasuk uveitis, katarak dan
glaukoma, serta dapat terasa sangat nyeri. Skleritis dapat mengenai bagian anterior
atau posterior atau keduanya. Skleritis anterior merupakan bentuk yang paling sering
dijumpai dan dapat berifat difus, nodular atau nekrotik.
Kasus ini menunjukkan pasien dengan skleritis dan penyakit periodontal dan
menunjukkan hubungan yang mungkin terjadi antara skleritis dan infeksi odontogen.
Anamnesa
Seorang wanita berumur 55 tahun diwawancarai di klinik Mata Bagian Ilmu
Kesehatan Universitas Lithuanian. Selama pemeriksaan, pasien mengeluh mengalami
nyeri yang sangat di mata kiri. Pemeriksaan visus dengan kartu Snellen didapatkan
20/20 pada mata kanan (OD) dan 20/200 pada mata kiri (OS). Pemeriksaan fundus
dalam batas normal. Tekanan Intra Okular (TIO) pada kedua mata dalam batas
normal. Selama pemeriksaan, pembuluh darah episklera OS lebih tebal dari normal.
Didapatkan tanda inflamasi dan iritasi, terutama pada bagian atas dari mata kiri.
Endotel kornea dan iris tidak ditemukan kelainan. Dilakukan pemeriksaan
ultrasound, dan tidak ditemukan gambaran tumor, tapi sclera terlihat menebal
sebanyak 0.32 mm. Pasien didiagnosa skleritis akut anterior dan posterior pada mata
kiri.
Gambar :
Setelah beberapa hari, kondisi mata kiri terlihat lebih baik, kemerahan pada
mata kiri mulai mereda, tetapi pasien masih merasakan nyeri. Pemeriksaan
ultrasound telah dilakukan beberapa kali, dan penebalan dinding posterior mengalami
peningkatan hingga 1.26 mm. Pasien diberikan tablet Prednisolone 5 mg (dari
sebelumnya dengan dosis 50 mg per hari). Perawatan pada mata kiri dilanjutkan
dengan solutio Flarex dan solutio Uniclopheni empat kali sehari. Untuk meredakan
rasa nyeri diberikan tablet Diclac 150 mg. Laporan kesehatan mata pasien mulai
terlihat membaik. Kami mencoba untuk mencari sebab dari skleritis melalui
anamnesis dan keluhan pasien. Dari anamensa yang lebih cermat kami memutuskan
untuk mencari ada tidaknya masalah pada gigi. Pasien dikonsulkan pada dokter gigi.
Pasien melakukan pemeriksaan gigi. Orthopantomogram menunjukkan terdapat inflamasi
periodontal dan perapikal multiple pada maksila dan mandibula. Peridontitis yang paling
parah didapatkan pada sisi kiri dari maksila dan mandibula, yang mana merupakan sisi
yang sama dengan mata yang mengalami skleritis. Menurut pasien, ia sudah memiliki
penyakit periodontitis selama lebih dari 2 tahun, dan belum pernah diobati.
Oleh dokter mata pasien diberikan terapi hormonal, yang menunjukkan hasil yang
baik untuk penyakit skleritis. Namun hasil yang optimal dapat dicapai dengan mengobati
penyakit periodontitisnya.
Diskusi
Penyakit periodontal merupakan penyakit yang tersebar di seluruh dunia. Secara
epidemiologi, sekitar 1% dari seluruh penduduk dunia memiliki penyakit periodontitis.
Tahun 2010, di USA telah dilakukan penelitian mengenai jumlah penduduk USA yang
mengalami penyakit periodontitis. Hasil yang didapatkan yaitu sekitar 1.3 % penduduk
US memiliki periodontitis. Berbagai macam faktor dapat menjadi penyebab mengapa
penyebaran penyakit ini begitu luas, diantaranya kebersihan gigi yang buruk, faktor
genetic misalnya alel HLA-DRB1, obesitas, hormonal, pestisida, merokok dan juga
penyakit sistemik. Komplesitas periodontitis disebabkan dari hubungan antara pathogen
mikroba dan respon inflamasi serta respon imun dari host, begitu juga faktor lingkungan
dan genetik. Tetapi pada umumnya disebabkan akibat masalah pada kebersihan giginya.
Data statistic menunjukkan contohnya 95% populasi India sembuh dari penyakit
periodontal, 50% hanya menggunakan sikat gigi dan 2% yang berobat ke dokter gigi.
Sebaliknya, prevalensi skleritis pada populasi umum cenderung rendah.
Diperkirakan terdapat 6 kasus per 100.000 orang, tapi telah dijelaskan antara 0,2%
sampai 6,3% pasien dengan rheumatoid arthritis dan hingga 7% dari mereka yang
mengalami granulomatosis Wegener, menunjukkan bahwa patofisiologi yang
mendasarinya berhubungan dengan kejadian skleritis. Selain itu, penyakit infeksi dapat
menyebabkan skleritis anterior sekitar 5-10%. Organisme infeksius tersebut diantaranya
bakteri, virus, parasit atau jamur. Seperti yang diketahui, patolofisiologi kesehatan
sistemik memiliki hubungan dengan kejadian skleritis. Skleritis dapat mengenai bagian
anterior maupun posterior. Pada laporan kasus di atas menunjukkan adanya komplikasi
pada mata akibat periodontitis. Hal ini menunjukkan peningkatan inflamasi sistemik
berhubungan dengan periodontitis yang nantinya dapat menjadi faktor pemicu terjadinya
skleritis.
Sebaliknya, beberapa teori menunjukkan bahwa kondisi di mulut tidak
mempengaruhi kesehatan sistemik. Microbiota subgingival dan sublingual pada pasien
dengan periodontitis menyebabkan host mendapatkan serangan dari bakteri gram
negative. Hal ini menunjukkan bahwa patogen jaringan periodontal dapat menyerang
jaringan gingival dan dari gingival dapat masuk menuju sirkulasi sistemik.
Pada kasus di atas dapat disimpulkan bahwa terapi penyakit periodontal dapat
menurunkan marker inflamasi dan menyembuhkan skleritis. Menurut teori dan dari
contoh kasus di atas dapat disimpulkan bahwa sklertitis anterior dan posterior dapat
disebabkan oleh inflamasi sistemik yang disebabkan oleh penyakit periodontal.
Hipotesis terkini mengenai hubungan antara inflamasi subklinis yang kronis dengan
resistensi insulin dapat memperburuk penyakit diabetes mellitus tipe 2. Inflamasi pemicu
sangat banyak dan termasuk inflamasi pada mulut, di mana terdapat peningkatan
produksi cytokine, aktivasi sintesis protein fase akut, dan pada akhirnya menyebabkan
resistensi insulin yang merupakan suatu proses patogenik sehingga terjadi diabetes
mellitus tipe 2. Periodontitis merupakan salah satu dari sekian banyak komplikasi yang
disebabkan oleh diabetes tipe 1 maupuan tipe 2. Prevalensi pada pasien dengan sindrom
metabolik dengan disertai periodontitis sekitar 2-25%.
Baik penyakit kardiovaskular (gagal jantung kongestif, aritmia jantung, penyakit
jantung koroner) maupun periodontitis merupakan penyakit kronis dan penyakit dengan
penyebab multifaktorial dengan beberapa faktor resiko diantaranya umur, jenis kelamin
lak-laki, status ekonomi yang rendah, perokok dan faktor psikososial misalnya stress.
Belakangan ini penyakit periodontal dianggap sebagai faktor potensial yang
berkontribusi terhadap onset dan perkembangan dari penyakit kardiovaskular.
Infeksi pada saluran pernapasan seperti pneumonia dan penyakit paru obstruktif
kronis berhubungan dengan aspirasi bakteri dari oropharing ke saluran pernapasan bawah
saat terjadi gangguan menelan. Beberapa bukti menunjukkan bahwa bakteri pada mulut,
kebersihan mulut yang buruk dan periodontitis dapat menyebabkan infeksi pulmonal,
seperti pneumoni komuniti, pneumoni nosokomial, dan pneumonia akibat penggunaan
ventilator.
Kesimpulan
Saat diagnosis skleritis anterior dan posterior ditegakkan, dan pasien tidak memiliki
kelianan sistemik atau penyakit yang berhungan dengan imunitas, dokter mata harus
memeriksa ada tidaknya penyakit periodontal dan mengkonsulkan pasien ke dokter gigi.
Setelah pengobatan periodontitis, sumber inflamasi akan hilang dan skleritis dapat
disembuhkan.
Tingkat Keparahan Penyakit Periodontal Berhubungan dengan Status
Inflamasi Sistemik dan dapat Berdiri Sendiri Sebagai Prediktor Tunggal
Didapatkannya dan Adanya Perluasan Angiografik dari Penyakit Jantung
Korone tipe Stabil
Pendahuluan
Diskusi
Studi menunjukkan bahwa penyakit periodontal lebih parah terjadi pada pasien
dengan penyakit jantung koroner dibandingkan pada pasien masih dalam tahap
memiliki resiko tinggi menderita penyakit jantung koroner. Hasil penelitian juga
menunjukka adanya hubungan yang signifikan antara keparahan penyakit periodontal
dengan amplitude respon inflamasi sistemik.
Selanjutnya, kami melaorkan bahwa keparahan penyakit periodontal yang
dilihat dari kedalaman poket periodontal berhubungan dengan luasnya lesi
angiografik pada pasien dengan penyakit jantung koroner, yang menunjukkan adanya
pengaruh secara langsung dari periodontitis pada pathogenesis aterosklerosis koroner.
Adanya penyakit periodontal telah dipertanyakan sebagai faktor resiko yang
potensial terhadap perkembangan penyakit kardiovaskular. Infeksi kronis dari
jaringan periodontal berhubungan dengan marker aterosklerosis subklinis, termasuk
ketebalan lapisan media-intima dari pembuluh darah karotis dan disfungsi endotel.
Namun, hubungan potensial antara penyakit periodontal dan aterosklerosis koroner
masih diperdebatkan. Beberapa studi epidemiologi melaporkan hubungan antara dua
kondisi tersebut dan menduga penyakit periodontal sebagai faktor resiko terjadinya
penyakit kardiovaskular, sementara penelitian yang lain tidak menemukan hubungan
diantara keduanya. Pendapat yang yang saling berlawanan tersebut memunculkan
beberapa masalah dan mungkin dapat dijelaskan dengan adanya peranan dari faktor-
faktor resiko yang lain atau merupakan variasi dari gejala penyakit periodontal.
Mekanisme pasti yang mendukung hubungan antara penyakit periodontal dan
perkembangan penyakit jantung koroner masih belum diketahui. Peridontitis
dilaporkan berhubungan dengan peningkatan level marker inflamasi dan reaksi
inflamasi sistemik, faktor yang dapat mempercepat pembentukan plak aterosklerosis
dan berhubungan dengan peningkatan dari efek samping penyakit jantung koroner.
Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan secara langsung antara luasnya
penyakit periodontitis dan derajat inflamasi sistemik, yang dinilai dari CRP,
fibrinogen, level SAA dan jumlah neutrofil. Lebih lanjut, kami menemukan
hubungan yang erat antara CRP, nilai SAA dan luasnya lesi angiografik sebagaimana
juga dilaporkan pada penelitian sebelumnya. Penyakit periodontal secara langsung
mempengaruhi onset penyakit jantung koroner dengan menginduksi peristiwa
bakterimia berulang diikuti translokasi patogen pada dinding arteri dan memicu
terjadinya reaksi inflamasi lokal. Periodontitis juga dilaporkan dapat memodulasi
struktur HDL dan meningkatkan profil lipid pro-aterogenik. Selanjutnya,
periodontitis mungkin menyebabkan reaksi auto-immune: spesies bakteri yang
terdapat pada lesi penyakit periodontal dapat memicu reaksi imun dengan produksi
antibodi IgA yang dapat mengalami reaksi silang dengan beberapa epitop dari sel
host dan menyebabkan proses inflamasi vascular. Seluruh data tersebut menunjukkan
bahwa pengobatan peridontitis yang intensif dapat memperbaiki kondisi
kardiovaskular. Selain itu, beberapa penelitian lain mengatakan bahwa adanya
pengaruh yang baik dari pengobatan periodontitis terhadap fungsi endotel, tekanan
darah dan profil lipid. Spahr et al. melaporkan bahwa patogen periodontal dapat
menjadi predictor yang kuat terhadap adanya penyakit kardiovaskular dan beberapa
bakteri tersebut contohnya Actinobacillus actinomycetemcomitans yang memiliki
kontribusi terhadap perkembangan aterosklerosis.
Dapat disimpulkan, kami melaporkan adanya hubungan yang erat antara
periodontitis dan level marker inflamasi. Selain itu, kami menunjukkan bahwa
keparahan periodontitis juga dihubungkan dengan luasnya angiografik pada penyakit
jantung koroner tipe stabil. Data kami menunjukkan bahwa adanya penyakit
periodontal dapat dijadikan sebagai predictor tunggal terhadap lesi penyakit jantung
koroner pada pasien dengan resiko tinggi. Oleh karena itu, kami menyarankan bahwa
pengobatan penyakit periodontal yang optimal dapat berdampak positif pada pasien
dengan penyakit jantung koroner dan secara potensial memiliki prognosis yang baik.
Namun, hal ini masih perlu diteliti lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Souza, L., Olivera, M., Basile, J., Souza, A., Haikal, D., dan Paula, A. 2015.
Anatomical and Physiopathological Aspects of Oral Cavity and Oropharynx
Components Related to Oropharyngeal Dysphagia. Seminar in Disphagia.
Manson danEley. 2013. Buku Ajar Periodonti. Hipokrates. Jakarta.
Swastini, I. 2013. Kerusakan Gigi Merupakan Fokal Infeksi Penyebab Timbulnya
Penyakit Sistemik. Jurnal Kesehatan Gigi 1 (1) : 63-68.
Rully, A., Febriadi, M., Aini, H., Adji, P., Yassien, R., Wijaya, T. 2009. Makalah
Fokal Infeksi (Kaitan Fokal Infeksi dengan Infeksi Fokal Multi Organ).
Bagian Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. RSUPN
Cipto Mangunkusumo. Jakarta.