Laporan Kasus Gabriela Febriani Muda - Anemia Pada MDS
Laporan Kasus Gabriela Febriani Muda - Anemia Pada MDS
Disusun oleh
Gabriela Febriani Muda
11 – 2018 – 089
Pembimbing:
dr. Agus Patmono, SpPD, FS, MARS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
2019
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
“Anemia pada Sindrom Mielodiplasia”
Disusun oleh:
Gabriela Febriani Muda 112018089
Mengesahkan:
Koordinator Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena pada kesempatan kali ini,
penulis bisa menyelesaikan tugas laporan kasus yang diberi judul “Anemia pada
Sindrom Mielodiplasia”.
Laporan kasus ini ditulis untuk menambah pengetahuan dan wawasan
mengenai “Anemia pada Sindrom Myelodiplasia” dan merupakan salah satu syarat
dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing, dr. Agus Patmono, SpPD, FS, MARS yang telah meluangkan waktu
untuk membimbing dan memberikan pengarahan.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, dan
masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Oleh sebab itu diharapkan bantuan
dari dokter pembimbing serta rekan-rekan mahasiswa untuk memberikan saran dan
masukan yang berguna bagi penulis.
Lepas dari segala kekurangan yang ada, penulis berharap semoga laporan kasus
ini membawa manfaat bagi kita semua.
BAB I
PENDAHULUAN
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
Nama : Ny. OO
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 40 tahun
Tempat, tanggal lahir : 1 Oktober 1978
Status : Menikah
Suku : Sunda
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jln. Murdai I, RT 007, RW 013, Cempaka Putih
Barat
II. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di Bangsal PU lantai 5 kamar
509 RSPAD Gatot Soebroto pada 30 April 2019
Keluhan Utama
Lemas sejak 1 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh lemas sejak 1 hari SMRS. Lemas dirasakan pasien
setiap 1 hari sebelum kontrol ke poli penyakit dalam, dan pasien
memang dijadwalkan kontrol ke poli penyakit dalam tiap 2 minggu
untuk mendapatkan transfusi darah. Pasien sudah menjalani transfusi
sejak September 2018 yang dilakukan setiap 3 minggu. Sejak bulan
Februari 2019 pasien mendapatkan transfusi setiap 2 minggu. Pada
bulan September 2018 pasien merasa lemas, cepat lelah dan pusing,
sulit melakukan aktivitas berat, timbul memar-memar kebiruan di
tubuhnya, dan pasien mengatakan bahwa berat badannya turun dari 68
kg menjadi 58 kg dalam waktu ½ tahun. Pada September 2018 pasien
melakukan pemeriksaan darah dan didapati peningkatan leukosit, pada
pemeriksaan USG abdomen didapati adanya pembesaran organ hati dan
limpa, dan kemudian dilakukan pemeriksaan biopsi sumsum tulang dan
dikatakan bahwa MDS (-). Kemudian pada bulan Desember 2018
pasien melakukan pemeriksaan biopsi sumsum tulang ulang dan
didapati hasil MDS (+). Pasien juga mengatakan bahwa sering timbul
bintik-bintik kemerahan saat trombositnya rendah.
Riwayat Pengobatan
o Vitamin B12 3x50mcg
o Asam Folat 3x5mg
o Vitamin B6 3x1
Riwayat Penyakit Dahulu
o Riwayat MDS (+) sejak 14 Desember 2018
o DM (-), HT (-), Jantung (-), Penyakit kuning (-), Ginjal (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
o Pasien mengatakan bahwa di keluarga tidak ada yang mempunyai
keluhan yang sama dengan pasien, juga tidak ada riwayat kelainan
darah pada keluarga pasien.
o Riwayat DM (-), HT (-), Jantung (-), Penyakit kuning (-), Ginjal(-),
Keganasan (-)
Riwayat Pribadi dan Sosial
Pasien makan teratur, tiap hari makan 3x dan cukup banyak. Makanan
pasien juga bervariasi. Riwayat merokok tidak ada, riwayat konsumsi
minuman beralkohol juga disangkal pasien.
Riwayat Alergi
Tidak ada
III. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Umum
Kesadaran : kompos mentis
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Tanda vital :
Denyut nadi : 80 x/menit, teraba kuat, isi cukup dan irama reguler
Pernapasan : 20 x/menit, abdominal torakal
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Suhu tubuh : 36oC
Antropometri :
Berat badan : 56 kg
Tinggi Badan : 162 cm
BMI : 21,3 kg/m2 (Normal)
Aspek Kejiwaan :
Tingkah laku wajar, alam perasaan biasa, proses berpikir wajar.
Status generalis
o Kepala
Bentuk: Normocephal
Rambut: Hitam dan terdistribusi merata
Mata : Konjungtiva pucat +/+, sklera ikterik -/-,
exophtalmus -/-, enophthalmus -/-, edema periorbital -/-,
injeksi konjungtiva -/-.
Telinga : Serumen minimal, cairan -/-
Hidung : Perdarahan mukosa hidung (-), hiperemis (-)
Tenggorok : Tonsil T1-T1, faring hiperemis (-)
Mulut : sianosis (-), lidah tremor (-), lidah miring (-)
o Leher : pembesaran KGB (-), JVP 5-2 cmH2O
o Thorax :
Pulmo Depan Belakang
o Abdomen :
Inspeksi : datar, simetris, lesi (-), massa (-), caput
medusa (-),
Auskultasi : bising usus normal 18x/menit
Palpasi :
supel, nyeri tekan (+) pada region hipokondrika
kiri dan region lumbal kiri, hepatomegali (+)
teraba pembesaran hati 2 jari dibawah arcus
costae kanan dan 1 jari di bawah processus
xyphoideus, splenomegali (+) teraba
pembesaran lien pada garis schuffner IV,
balotemen -/-
Perkusi : shifting dullness (-)
o Urogenital : Tidak dilakukan
o Extremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema lengan -/-, edema
tungkai -/-.
IV. Pemeriksaan Penunjang
Hitung Jenis:
Blast 5% %
Promielosit 2% %
Mielosit 10% %
Metamielosit 4% %
Basofil 0% 0-1%
Eosinofil 0% 1-3%
Batang 7% 2-6%
MCV 85 Fl 80-96 fL
MCH 25 pg 27-32 pg
Hitung Jenis:
Basofil 3% 0-1%
Eosinofil 0% 0-3%
Limfosit 8% 20-40%
MCV 88 fL 80-96 fL
MCH 27 pg 27-32 pg
Hitung Jenis:
Basofil 1% 0-1%
Eosinofil 0% 0-3%
Limfosit 7% 20-40%
MCV 84 fL 80-96 fL
MCH 26 pg 27-32 pg
Kimia Klinik
Imunoserologi
Pemeriksaan Urinalisis
Tabel 2.4 Pemeriksaan urinalisis pada 11 Januari 2019
Pemeriksaan Urinalisis Hasil Nilai Rujukan
11/01/19
Urin Lengkap
Sedimen Urin:
Leukosit 5-6-5 < 5/LPB
Epitel +/Positif 1
Lain-lain -/Negatif
A : Sindrom Mielodisplasia
A : Sindrom Mielodisplasia
02-05-19 S : lemas (-) P:
Transfusi PRC 1000cc
O : KS: CM, Ku: Tampak sehat TD:
premed dexa 1 amp
110/70mmHg, N:82x/mnt, RR:20x/mnt,
post tranfusi ca
T: 36,7C
gluconas 1 amp
Mata : CA -/-, SI -/-
Cek DPL post transfusi
Pulmo : Vesikuler +/+, rh -/-, wh -/-
(jika Hb ≥ 9, trombosit ≥
Cor : BJ I – II regular, murmur - , gallop -
10.000 tanpa perdarahan,
Abd : datar, bising usus normal,
acc rawat jalan
hepatomegali 2 jbac 1 jbpx,
spleenomegali SIV.
A : Sindrom Mielodisplasia
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Anemia
3.1.1 Definisi
Anemia adalah keadaan rendahnya jumlah sel darah merah dan kadar
hemoglobin atau hematokrit di bawah normal. Anemia adalah suatu keadaan dengan
kadar hemoglobin lebih rendah dari nilai normal. Atau anemia adalah suatu keadaan
dimana kadar Hb dan atau hitung eritrosit lebih rendah dari harga normal yaitu bila Hb
< 14 g/dL dan Ht < 41%, pada pria atau Hb < 12 g/dL dan Ht < 37% pada wanita.
Anemia adalah penurunan jumlah eritrosit sehingga tidak dapat memnuhi fungsinya
untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer.1,5,6
3.1.2 Epidemiologi
Anemia merupakan kelainan yang sangat sering dijumpai baik di klinik maupun
di lapangan. Diperkirakan lebih dari 30% penduduk dunia atau 5000 juta orang
menderita anemia dengan sebagian besar tinggal di daerah tropik. De Maeyer
memberikan gambaran prevalensi anemia di dunia untuk tahun 1985 seperti terlihat
pada tabel 3.1.5
1. Bentuk megaloblastik
Anemia defeisensi asam folat
Anemia defesiensi B12 termasuk anemia pernisiosa
2. Bentuk non megaloblastik
Anemia pada penyakit hati kronik
Anemia pada hipotiroidisme
Anemia pada sindrom mielodisplastik
3.1.5 Patofisiologi
Dalam keadaan normal tubuh orang dewasa mengandung rata-rata 3-5 gram
besi, hampir dua pertiga besi terdapat dalam hemoglobin dilepas pada proses penuaan
serta kematian sel dan diangkat melalui transferin plasma ke sumsum tulang untuk
eritropoiesis. Pada peredaran zat besi berkurang, maka besi dari diet tersebut diserap
oleh lebih banyak. Besi yang dimakan diubah menjadi besi keto dalam lambung dan
duodenum, penyerapan besi terjadi pada duodenum dan jejenum proksimal, kemudian
besi diangkat oleh tranferin plasma ke sumsum tulang, untuk sintesis hemoglobin atau
ke tempat penyimpanan di jaringan.5,8
Pendekatan diagnosis untuk anemia dapat dilihat sesuai dengan algoritma yang
ada yang dimuat pada gambar 3.1, gambar 3.2, gambar 3.3, dan gambar 3.4.5
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi pada penderita
anemia ialah:5,6
Pengobatan hendaknya diberikan berdasarkan diagnosis definitif yang telah
ditegakkan terlebih dahulu.
Pemberian hematinik tanpa indikasi yang jelas tidak dianjurkan.
Pengobatan anemia dapat berupa.
o Terapi untuk keadaan darurat seperti misalnya pada perdarahan akut
akibat anemia aplastik yang mengancam jiwa penderita, atau pada
anemia pasca perdarahan akut yang disertai gangguan hemodinamik
o Terapi suportif
o Terapi yang khas untuk masing-masing anemia
o Terapi kausal untuk mengobati penyakit dasar yang menyebabkan
anemia teresbut.
Dalam keadaan dimana diagnosis definitif tidak dapat ditegakkan, kita terpaksa
memberikan terapi percobaan (terapi ex juvantivus). Disini harus dilakukan
pemantauan yang ketat terhadap respon terapi dan perubahan perjalanan
penyakit penderita dan dilakukan evaluasi terus menerus tentang kemungkinan
perubahan diagnosis.
Transfusi diberikan pada anemia pasca perdarahan akut dengan tanda-tanda
gangguan hemodinamik. Pada anemia kronik transfusi hanya diberikan jika
anemia bersifat simtomatik atau adanya ancaman payah jantung. Disini
diberikan packed red cell, jangan whole blood. Pada anemia kronik sering
dijumpai peningkatan volume darah, oleh karena itu transfusi diberikan dengan
tetesan pelan. Dapat juga diberikan diuretika kerja cepat seperti furosemid
sebelum transfusi.
3.2 Sindrom Mielodisplasia
3.2.1 Definisi
3.2.2 Epidemiologi
MDS adalah penyakit pada orang tua, dengan usia rata-rata saat diagnosis ± 70
tahun dan dengan > 10% pasien berusia di bawah 50 tahun. Insiden MDS di Eropa
adalah sekitar 4 kasus / 100.000 penduduk / tahun (mencapai 40-50 / 100.000 pasien
pada usia ≥70 tahun). MDS pada populasi Asia cenderung terjadi pada usia lebih dini,
serta lebih sering memiliki sumsum hiposeluler dan lebih jarang terjadi dengan delesi
5q terisolasi (5qsyndrome), sedangkan trisomi 8 tampaknya lebih sering daripada
populasi Barat.1,2
3.2.3 Etiologi
Etiologi MDS hanya diketahui pada 15% kasus. Predisposisi turunan terhadap
MDS terlihat pada sepertiga dari kasus MDS pediatrik, termasuk dalam sindrom down,
anemia Fanconi dan neurofibromatosis. Hal ini lebih jarang terjadi pada orang dewasa,
dimana kecenderungan bawaan juga harus dinilai dalam MDS yang terjadi pada orang
dewasa muda atau dalam keluarga dengan kasus MDS, AML atau anemia aplastik
lainnya. Faktor lingkungan termasuk penggunaan kemoterapi sebelumnya, terutama
zat alkilasi dan radioterapi analog purin atau radiasi pengion, dan merokok. Faktor-
faktor yang mempengaruhi diantaranya benzena dan turunannya, selain itu MDS
banyak dilaporkan pada pekerja di bidang pertanian dan industri. 'MDS sekunder' itu,
terutama kasus yang terjadi setelah kemoterapi, umumnya memiliki faktor prognostik
yang buruk, termasuk temuan sitogenetik kompleks yang melibatkan kromosom 5 dan
/ atau 7 dan / atau 17p, yang disebut jenis alkilator, keganasan hematologis terkait
terapi.11
1. MDS idiopatik atau primer terutama terjadi pada pasien yang berusia
lebih dari 50 tahun dan sindrom ini sering berkembang secara perlahan.
2. MDS yang berkaitan dengan terapi merupakan komplikasi terapi
dengan obat yang bersifat mielosupresif atau radioterapi dan biasanya
sindrom ini baru muncul dalam waktu 2 hingga 8 tahun sesudah terapi.
Semua bentuk MDS dapat bertransformasi menjadi AML; transformasi terjadi
paling cepat dan dengan frekuensi paling tinggi pada pasien MDS yang terkait
terapi. Perubahan morfologi yang khas terlihat dalam sumsum tulang dan darah
tepi; analisis sitogenik dapat membantu menegakkan diagnosis. Meskipun
patogenesisnya sebagian besar masih belum diketahui, namun MDS secara khas
muncul dengan latar belakang kerusakan sel tunas.10
3.2.4 Patofisiologi
MDS berkembang ketika mutasi klon mendominasi di sumsum tulang, menekan
sel-sel induk yang sehat. Mutasi klonal dapat disebabkan oleh kecenderungan genetik
atau dari cedera sel induk hematopoietik yang disebabkan oleh paparan salah satu dari
yang berikut:13
Kemoterapi sitotoksik Radiasi
Infeksi virus
Bahan kimia genotoksik (misalnya, benzena).
MDS dapat diklasifikasikan sebagai primer (de novo) atau sekunder untuk
pengobatan agresif kanker lain, dengan paparan radiasi, agen alkilasi, atau inhibitor
topoisomerase II; itu juga terjadi pada pasien yang sangat tidak diobati dengan
transplantasi sumsum tulang autologous. Pada tahap awal MDS, penyebab utama
sitopenia adalah peningkatan apoptosis (kematian sel terprogram). Ketika penyakit
berkembang dan berubah menjadi leukemia, mutasi gen lebih lanjut terjadi, dan
proliferasi sel leukemia membanjiri sumsum yang sehat.13
MDS diperkirakan berasal dari mutasi pada sel sumsum tulang yang multipoten
tetapi defek spesifiknya belum diketahui. Diferensiasi dari sel perkusor darah tidak
seimbang dan ada peningkatan aktivitas apoptosis sel di sumsum tulang. Ekspansi
klonal dari sel abnormal mengakibatkan sel yang telah kehilangan kemampuan untuk
berdiferensiasi. Jika keseluruhan presentasi dari blas sumsum berkembang melebihi
batas (20-30%) maka ia akan bertransformasi menjadi AML. Pasien MDS akan
menderita sitopenia pada umumnya seperti anemia parah. Tetapi dalam beberapa tahun
pasien akan menderita kelebihan besi. Komplikasi yang berbahaya bagi mereka adalah
perdarahan karena kurangnya trombosit atau infeksi karena kurangnya leukosit.13,14
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa hilangnya fungsi mitokondria
mengakibatkan akumulasi dari mutasi DNA pada sel sistem hematopoietik dan
meningkatkan insiden MDS pada pasien yang lebih tua. Dan adanya akumulasi dari
besimitokondria yang berupa cincin sideroblas merupakan bukti dari disfungsi
mitokondria pada MDS.13
3.2.6 Diagnosis
Diagnosis MDS dipertimbangkan untuk setiap pasien dewasa yang disertai gejala-
gejala sebagai berikut:2
Diagnosis MDS ditetapkan bila ada butir 1 ditambah paling sedikit tiga dari
butir 2. Dan untuk mengkonfirmasi suatu MDS perlu dilakukan pemeriksaan biopsy
sumsum tulang (gambar 3.5).2,15
3.2.7 Klasifikasi
MDS dibagi (diklasifikasikan) ke dalam kelompok berdasarkan fitur dari
sumsum tulang dan sel darah. Grup-grup ini juga disebut subtipe. Ada dua sistem
yang digunakan untuk mengklasifikasikan MDS. Yang pertama diciptakan pada tahun
1982 dan disebut sistem klasifikasi FAB (French-American-British). Sistem FAB
mengelompokkan MDS menjadi lima subtipe. Sistem ini tidak banyak digunakan saat
ini. Yang lebih baru dan yang paling umum digunakan saat ini adalah sistem klasifikasi
WHO (World Health Organization). Revisi 2016 untuk sistem WHO
mengelompokkan MDS menjadi tujuh subtipe utama.15,16
Revisi 2016 klasifikasi WHO, mirip dengan klasifikasi sebelumnya, berfokus
pada menggabungkan fitur klinis, morfologi, imunofenotipik, sitogenetik, dan
molekuler dalam mendiagnosis MDS. Perubahan besar melibatkan pengurangan
penekanan pada "sitopenia" dan lebih pada tingkat displasia dan persentase sel blas,
karena diyakini bahwa tingkat displasia sering tidak berkorelasi dengan sitopenia
spesifik. Ambang batas untuk menentukan displasia dijaga pada sel displastik> 10% di
setiap lini sel. Klasifikasi baru meliputi: MDS dengan displasia lineage tunggal (MDS-
SLD), MDS dengan ring sideroblasts (MDS-RS) yang selanjutnya dibagi lagi menjadi
displasia tunggal dan multilineage (MDS-RS-SLD dan MDS-RS-MLD), MDS dengan
multilineage dysplasia (MDS-MLD), MDS dengan kelebihan blas (MDS-EB-1 dan
MDS-EB-2), MDS dengan del terisolasi (5q), dan MDS tidak dapat diklasifikasikan
(MDS-U). Sitopenia refraktori masa kanak-kanak ditambahkan ke klasifikasi sebagai
kesatuan baru (Tabel 3.4).14,15
Tabel 3.4 Klasifikasi MDS berdasarkan WHO 201614,15
3.2.8 Sistem Penilaian Prognostik Internasional (IPSS dan IPSS yang
Direvisi/IPPS-R)
Sistem penilaian prognostik internasional adalah alat prognostikasi yang paling
umum digunakan dalam MDS. IPSS dirancang untuk menilai prognosis orang dewasa
primer yang tidak diobati dengan MDS dan diterbitkan pada tahun 1997 berdasarkan
816 pasien dengan MDS primer. Pasien dikategorikan menurut jumlah sitopenia
perifer, persentase sel blas pada sumsum tulang, dan kelainan sitogenetik. Ambang
batas untuk menentukan sitopenia perifer yaitu hemoglobin <10 g / dL, jumlah neutrofil
absolut <1800 / μL, dan jumlah trombosit <100.000 / μL (Tabel 3.5a). Nilai-nilai ini
terus digunakan dalam kriteria WHO 2016 untuk mendefinisikan sitopenia. Persentase
sel blas pada sumsum tulang dibagi menjadi empat kelompok (<5%, 5-10%, 11-20%,
dan 21-30%), dimana sel blas > 20% didefinisikan sebagai leukemia akut. Jumlah
kelainan sitogenetik atau kromosom dikategorikan ke dalam risiko yang baik (normal,
-Y, -5q, dan -20q), risiko menengah, dan risiko buruk (kariotipe kompleks; yaitu, ≥3
kelainan kromosom atau kelainan kromosom 7) (Tabel 3.6). Berdasarkan skor IPSS
total, pasien kemudian diklasifikasikan ke dalam empat kelompok risiko (rendah,
sedang-1 ("risiko lebih rendah"), sedang-2, dan tinggi ("risiko lebih tinggi")). Kategori
risiko ini membantu dalam memperkirakan kelangsungan hidup rata-rata median
pasien (masing-masing 5.7, 3.5, 1.2, dan 0.4 tahun dari diagnosis) dan risiko
pengembangan menjadi AML (Tabel 3.5b). Selain itu, rekomendasi pengobatan
berbeda untuk pasien dengan MDS risiko rendah daripada MDS risiko tinggi.12,16
IPSS direvisi (IPSS-R) pada tahun 2012 untuk memasukkan kohort yang lebih
besar dari 7012 pasien dengan MDS. Jumlah sitopenia perifer, persentase sel blas
sumsum tulang, dan kelompok risiko sitogenetik / kariotipe terus membentuk dasar
klasifikasi. Faktor-faktor tambahan yang tercatat mempengaruhi prognosis pasien
adalah serum dehidrogenase laktat, feritin, dan kadar mikroglobulin beta-2. IPSS-R
memiliki lima kelompok risiko sitogenetik yang berbeda (sangat baik, baik, menengah,
miskin, dan sangat miskin), dibandingkan dengan tiga di IPSS, dengan bobot terbesar
sekarang ditempatkan pada risiko sitogenetik (Tabel 3.6). Sel blas pada sumsum tulang
tetap dibagi menjadi empat kategori, dengan titik potong untuk persentase sel blas yang
diubah. Klasifikasi yang direvisi juga lebih sensitif terhadap derajat sitopenia.
Hasilnya, skor risiko total (0-10) mengelompokkan pasien menjadi lima kelompok
risiko prognostik (sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi) (Tabel
3.7a). Median kelangsungan hidup keseluruhan dalam beberapa tahun dari diagnosis
dan risiko 25% pasien yang mengalami AML untuk IPSS-R dirangkum dalam Tabel
3.7b. Dalam memperkirakan prognosis, penting untuk juga mengenali bahwa pasien
MDS biasanya orang dewasa yang lebih tua; dengan demikian, kematian dapat sering
terjadi karena komorbiditas medis lainnya. Kelebihan kematian pada MDS telah
terbukti terkait dengan usia yang lebih tua, jenis kelamin laki-laki, lebih banyak
komorbiditas, dan kategori risiko IPSS-R yang lebih tinggi.12,15,16
Tabel 3.5 Klasifikasi sistem penilaian prognostik internasional (IPSS)12,16
3.2.9 Penatalaksanaan
Terapi MDS sebagian besar didasarkan pada jumlah darah tepi dan apakah
pasien telah ditentukan memiliki penyakit berisiko lebih rendah atau lebih tinggi
menurut skor risiko IPSS dan IPSS-R. Kelompok kerja internasional telah menyusun
kriteria respons dari respons lengkap dan parsial dan peningkatan hematologi dalam
hemoglobin, jumlah trombosit, dan / atau jumlah neutrofil absolut, yang harus
dipertahankan selama minimal 8 minggu. Sasaran pengobatan untuk MDS risiko
rendah berpusat pada meminimalkan transfusi dan memaksimalkan kualitas hidup,
sementara yang untuk penyakit berisiko tinggi harus meminimalkan transformasi
menjadi AML dan memperpanjang kelangsungan hidup.16
3.2.9.1 Pengobatan MDS Risiko Rendah
MDS risiko rendah termasuk dalam kategori IPSS rendah dan sedang-1, yang
sebagian besar sesuai dengan kelompok risiko IPSS-R sangat rendah, rendah, dan
beberapa sedang (skor IPSS-R ≤ 3.5). Terapi diarahkan pada sitopenia yang dominan,
yang bagi sebagian besar pasien risiko rendah adalah anemia. Pasien dengan MDS
risiko rendah dengan anemia berespon baik terhadap agen perangsang erythropoiesis
(erythropoietin alpha dan darbepoetin, dengan tingkat respons keseluruhan sekitar
40%), asalkan tingkat erythropoietin pada saat diagnosis <500 U / L dan kebutuhan
transfusi minimal. Respons harus dinilai setelah 3 bulan pengobatan, dan durasi
respons bisa hingga 2 tahun. Pasien dengan MDS risiko rendah dengan del (5q) dan
anemia memiliki respon independensi transfusi tinggi terhadap lenalidomide (67%),
yang disetujui FDA untuk indikasi itu. Adanya mutasi TP53 dikaitkan dengan respons
yang buruk pada pasien del (5q) yang diobati dengan lenalidomide. Pada kelompok
pasien risiko rendah tanpa del (5q), tingkat respons transfusi-independensi mendekati
27%. Untuk pasien dengan MDS risiko rendah dan beberapa sitopenia, agen
hypomethylating (azacitidine dan decitabine) memiliki tingkat respons keseluruhan 30-
40%. Terapi imunosupresif dengan globulin antithymocyte dengan atau tanpa
siklosporin juga dapat menghasilkan respons pada 30-40% pasien. Transplantasi
sumsum tulang tetap menjadi satu-satunya pilihan pengobatan kuratif untuk pasien
MDS tetapi dicadangkan untuk pasien MDS risiko rendah yang mengalami kemajuan
mengikuti terapi lain dan berisiko tinggi terhadap transformasi AML (Gambar 3.6).
Peran terapi khelasi besi dalam MDS masih belum jelas dan sebagian besar tidak
dianjurkan.15,16
PEMBAHASAN KASUS
Anemia adalah keadaan rendahnya jumlah sel darah merah dan kadar
hemoglobin atau hematokrit di bawah normal. Anemia adalah suatu keadaan dengan
kadar hemoglobin lebih rendah dari nilai normal. Atau anemia adalah suatu keadaan
dimana kadar Hb dan atau hitung eritrosit lebih rendah dari harga normal yaitu bila Hb
< 14 g/dL dan Ht < 41%, pada pria atau Hb < 12 g/dL dan Ht < 37% pada wanita.
Anemia adalah penurunan jumlah eritrosit sehingga tidak dapat memnuhi fungsinya
untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer.1
Pada kasus ini, pasien memiliki daftar masalah MDS. Pada anamnesis diketahui
pasien datang dengan keluhan utama lemas sejak 1 hari SMRS. Lemas yang dirasakan
oleh pasien bisa terjadi karena anemia, dimana anemia merupakan keadaan rendahnya
jumlah sel darah merah dan kadar hemoglobin atau hematokrit di bawah normal yang
dapat dilihat dari pemeriksaan darah pada pasien tanggal 29 April 2019 didapati hb 6.1
g/dL, ht 19%, eritrosit 2.3juta/µL. Selain itu, pasien juga mengaku sering merasa lemas,
cepat lelah dan pusing, sulit melakukan aktivitas berat dimana keluhan-keluhan ini
merupakan manifestasi klinis dari anemia. Dari anamnesis pasien mengaku sering
timbul memar-memar kebiruan di tubuhnya, dan pasien juga mengatakan bahwa sering
timbul bintik-bintik kemerahan saat trombositnya rendah. Trombosit merupakan
komponen penting dalam proses pembekuan darah, yaitu berfungsi untuk membentuk
sumbat trombosit. Sumbat trombosit berasal dari agregrasi trombosit yang menutup
robekan pembuluh darah. Trombosit juga berperan terhadap aktivasi fibrinogen
menjadi fibrin yang merupakan sumbat tetap dalam proses pembekuan darah.
Penurunan jumlah trombosit (trombositopeni) serta keabnormalan morfologi dan
fungsi trombosit akan mengakibatkan kecenderungan perdarahanan dimana pada kasus
ini pasien mengatakan sering terjadi memar-memar kebiruan pada tubuhnya dan juga
sering muncul bintik-bintik kemerahan di tubuhnya.5,6
Pemeriksaan fisik pada kasus ini didapati konjungtiva pasien pucat dimana hal
ini juga merupakan salah satu tanda adanya anemia. Selain itu, pemeriksaan fisik pada
kasus ini juga didapati adanya hepatomegali dan splenomegali. Walau jarang ditemui
pada kasus MDS, namun hepatosplenomegali dapat ditemui pada kasus yang lebih
lanjut, juga dapat ditemukan pada sekitar 20% penderita MDS.7,8,14
KESIMPULAN
5. Bakta IM. Pendekatan diagnosis dan terapi terhadap penderita anemia. Bali Health
Journal. 2017; 1(1): 36-48.
6. Agustina EE, Laksono B, Indriyanti DR. Determinan risiko kejadian anemia pada
remaja putri berdasarkan jenjang pendidikan di kabupaten Kebumen. Public Health
Perspective Journal. 2017; 2(1): 26-33.
7. Priyatno D, Salikun, Irmanita, Purlinda DE. Pemeriksaan kadar hemoglobin dan nilai
hematokrit sebagai screening anemia pada lansia di asrama TNI-AD Mrican
Semarang. Jurnal LINK. 2017; 13 (2): 49 – 52.
8. Fraenkel PG. Understanding anemia of chronic disease. American Society of
Hematology. 2015; 2015(1): 14-8.
9. Jacobus DJ. Proses autoimun terkait myelodysplastic syndrome.CDK-240.
2016;43(5):387-8.
10. Brazi A and Sekkeres MA. Myelodiaplasias syndrome: A Practical Approach to
diagnosis and treatment. Cleveland Clinical Journal Of Medicine; 2010. 77(1): 37-44.
11. Neukirchen J, Schoonena WM, Strupp C, Gattermann N, Aul C, Haas R, dkk.
Incidence and prevalence of myelodysplastic syndromes: Data from the Düsseldorf
MDS-registry. Leukemia Research. 2011; 35(12): 1591-6.
12. Fenaux P, Haase D, Sanz GF,Santini V, Buske C. Myelodysplastic syndromes: ESMO
Clinical Practice Guidelines for diagnosis, treatment and follow-up. Annals of
Oncology; 2014:25(3):1-13.
13. Greenberg PL, Tuechler H, Schanz J, et al. Revised international prognostic scoring
system for myelodysplastic syndromes. Blood. 2012;120(12):2454–65.
14. Arber DA, Orazi A, Hasserjian R, Thiele J, Borowitz MJ, Le Beau MM, et al. The
2016 revision to the World Health Organization classification of myeloid neoplasms
and acute leukemia. Blood. 2016 May 19;127(20):2391-405.
15. Shead DA, Hanisch LJ, Clarke R, Corrigan A. Myelodysplastic syndromes (MDS).
Washington: National Comprehensive Cancer Network; 2018. P. 7-60.
16. Madanat YF, Sekeres MA. Myelodysplastic syndromes (MDS). Department of
Hematology and Medical Oncology, Cleveland Clinic, Cleveland, OH, USA: Springer
Nature; Januari 2019. P. 333-40.