Anda di halaman 1dari 56

LAPORAN KASUS

“Anemia pada Sindrom Mielodiplasia”


Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RS Kepresidenan RSPAD Gatot Soebroto

Disusun oleh
Gabriela Febriani Muda
11 – 2018 – 089

Pembimbing:
dr. Agus Patmono, SpPD, FS, MARS

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
2019
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS
“Anemia pada Sindrom Mielodiplasia”

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian


Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto

Disusun oleh:
Gabriela Febriani Muda 112018089

Telah Disetujui oleh Pembimbing:

Nama Pembimbing Tanda Tangan Tanggal

dr. Agus Patmono, SpPD, FS, MARS


................. ..................

Mengesahkan:
Koordinator Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit Dalam

dr. Ruswhandi, SpPD, K-GEH


KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena pada kesempatan kali ini,
penulis bisa menyelesaikan tugas laporan kasus yang diberi judul “Anemia pada
Sindrom Mielodiplasia”.
Laporan kasus ini ditulis untuk menambah pengetahuan dan wawasan
mengenai “Anemia pada Sindrom Myelodiplasia” dan merupakan salah satu syarat
dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing, dr. Agus Patmono, SpPD, FS, MARS yang telah meluangkan waktu
untuk membimbing dan memberikan pengarahan.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, dan
masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Oleh sebab itu diharapkan bantuan
dari dokter pembimbing serta rekan-rekan mahasiswa untuk memberikan saran dan
masukan yang berguna bagi penulis.
Lepas dari segala kekurangan yang ada, penulis berharap semoga laporan kasus
ini membawa manfaat bagi kita semua.
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anemia, didefinisikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merupakan
temuan umum dalam praktik klinis, terutama pada orang yang lebih tua dimana
tingkat hemoglobin (Hb) < 13 g/dL untuk pria dan < 12 g/dL untuk wanita. Anemia
paling sering disebabkan oleh kekurangan zat besi, tetapi ada banyak etiologi
lainnya termasuk defisiensi nutrisi (misalnya, folat, vitamin B12, dan vitamin A),
peradangan akut dan kronis, infeksi parasit, dan kelainan bawaan dan didapat.
Walaupun jarang, sindrom mielodisplasia (Myelodysplastic Syndrom/MDS) dapat
menjadi penyebab anemia yang secara umum muncul sebagai makrositosis non-
megaloblastik. MDS merupakan kemungkinan penyebab anemia yang tidak dapat
dijelaskan, karena anemia adalah gejala paling umum dari MDS.1,2
Sindrom mielodisplasia (Myelodysplastic Syndrom/MDS) adalah gangguan
sumsum tulang, ditandai dengan hematopoesis yang tidak efektif, berbagai tingkat
sitopenia serta peningkatan risiko leukemia akut. MDS mewakili spektrum
gangguan neoplastik sel induk klonal yang ditandai oleh kegagalan sumsum tulang
dengan sitopeni, dan persentase leukemia berkisar < 5 % sampai 19 terjadi pada
populasi lanjut usia. Kejadian MDS dalam data baru-baru ini diterbitkan oleh
Surveillance, Epidemiology, and End Result (SEER) meningkat dari 5 per 100.000
pasien dibawah usia 60 tahun menjadi 36,2 per 100.000 pasien dengan usia lebih
dari 80 tahun. Dengan rata - rata usia diagnosis 76 tahun. Secara umum, pria dan
kulit putih memiliki insiden yang lebih tinggi dari penyakit ini.3,4
Sindrom mielodisplasia biasanya dicurigai pada pasien dengan sitopenia,
namun untuk menegakkan diagnosis dapat menjadi suatu tantangan, terutama pada
pasien dengan penyakit berisiko rendah, yang mungkin tidak menunjukkan gejala.
Diagnosis MDS dapat menjadi hal yang sulit dilakukan ketika anemia merupakan
satu-satunya kelainan yang muncul, terutama pada pasien yang lebih tua, di mana
anemia derajat tertentu biasanya dianggap normal. Namun, MDS bukanlah
konsekuensi normal dari penuaan. Sayangnya, diagnosis MDS yang dipicu oleh
anemia terisolasi dapat ditunda sampai derajat anemia menjadi parah
(ketergantungan transfusi) dan / atau sitopenia lainnya, atau munculnya sel blas.
Penelitian menunjukkan bahwa sekitar 80% pasien MDS didiagnosis berdasarkan
gejala yang berhubungan dengan anemia, namun diagnosis dan pengobatan yang
cepat sebelum muncul gejala dapat lebih bermanfaat.1
BAB II

LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Ny. OO
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 40 tahun
Tempat, tanggal lahir : 1 Oktober 1978
Status : Menikah
Suku : Sunda
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jln. Murdai I, RT 007, RW 013, Cempaka Putih
Barat

II. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di Bangsal PU lantai 5 kamar
509 RSPAD Gatot Soebroto pada 30 April 2019
 Keluhan Utama
Lemas sejak 1 hari SMRS
 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh lemas sejak 1 hari SMRS. Lemas dirasakan pasien
setiap 1 hari sebelum kontrol ke poli penyakit dalam, dan pasien
memang dijadwalkan kontrol ke poli penyakit dalam tiap 2 minggu
untuk mendapatkan transfusi darah. Pasien sudah menjalani transfusi
sejak September 2018 yang dilakukan setiap 3 minggu. Sejak bulan
Februari 2019 pasien mendapatkan transfusi setiap 2 minggu. Pada
bulan September 2018 pasien merasa lemas, cepat lelah dan pusing,
sulit melakukan aktivitas berat, timbul memar-memar kebiruan di
tubuhnya, dan pasien mengatakan bahwa berat badannya turun dari 68
kg menjadi 58 kg dalam waktu ½ tahun. Pada September 2018 pasien
melakukan pemeriksaan darah dan didapati peningkatan leukosit, pada
pemeriksaan USG abdomen didapati adanya pembesaran organ hati dan
limpa, dan kemudian dilakukan pemeriksaan biopsi sumsum tulang dan
dikatakan bahwa MDS (-). Kemudian pada bulan Desember 2018
pasien melakukan pemeriksaan biopsi sumsum tulang ulang dan
didapati hasil MDS (+). Pasien juga mengatakan bahwa sering timbul
bintik-bintik kemerahan saat trombositnya rendah.
 Riwayat Pengobatan
o Vitamin B12 3x50mcg
o Asam Folat 3x5mg
o Vitamin B6 3x1
 Riwayat Penyakit Dahulu
o Riwayat MDS (+) sejak 14 Desember 2018
o DM (-), HT (-), Jantung (-), Penyakit kuning (-), Ginjal (-)
 Riwayat Penyakit Keluarga
o Pasien mengatakan bahwa di keluarga tidak ada yang mempunyai
keluhan yang sama dengan pasien, juga tidak ada riwayat kelainan
darah pada keluarga pasien.
o Riwayat DM (-), HT (-), Jantung (-), Penyakit kuning (-), Ginjal(-),
Keganasan (-)
 Riwayat Pribadi dan Sosial
Pasien makan teratur, tiap hari makan 3x dan cukup banyak. Makanan
pasien juga bervariasi. Riwayat merokok tidak ada, riwayat konsumsi
minuman beralkohol juga disangkal pasien.
 Riwayat Alergi
Tidak ada
III. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Umum
 Kesadaran : kompos mentis
 Keadaan umum : tampak sakit sedang
 Tanda vital :
 Denyut nadi : 80 x/menit, teraba kuat, isi cukup dan irama reguler
 Pernapasan : 20 x/menit, abdominal torakal
 Tekanan darah : 110/80 mmHg
 Suhu tubuh : 36oC
 Antropometri :
 Berat badan : 56 kg
 Tinggi Badan : 162 cm
 BMI : 21,3 kg/m2 (Normal)
 Aspek Kejiwaan :
Tingkah laku wajar, alam perasaan biasa, proses berpikir wajar.

 Status generalis
o Kepala
 Bentuk: Normocephal
 Rambut: Hitam dan terdistribusi merata
 Mata : Konjungtiva pucat +/+, sklera ikterik -/-,
exophtalmus -/-, enophthalmus -/-, edema periorbital -/-,
injeksi konjungtiva -/-.
 Telinga : Serumen minimal, cairan -/-
 Hidung : Perdarahan mukosa hidung (-), hiperemis (-)
 Tenggorok : Tonsil T1-T1, faring hiperemis (-)
 Mulut : sianosis (-), lidah tremor (-), lidah miring (-)
o Leher : pembesaran KGB (-), JVP 5-2 cmH2O
o Thorax :
Pulmo Depan Belakang

Inspeksi  Bentuk dada normal  Bentuk dada bagian belakang


 Pernapasan regular, tidak ada normal
dinding dada yang tertinggal  Bentuk scapula simetris
 Jenis pernapasan  Tidak ditemukan bekas luka
abdominothorakal ataupun benjolan
 Otot-otot bantu pernapasan (-)
Palpasi  Tidak teraba adanya pembesaran  Perbandingan gerakan nafas dan
kelenjar getah bening vokal fremitus sama kuat di kedua
 Vokal fremitus sama kuat di lapang paru
kedua lapang paru
 Gerakan nafas sama kuat di
kedua paru
Perkusi  Perkusi terdengar sonor pada  Pada dada kanan dan kiri
kedua lapang paru terdengar sonor

Auskultasi  Suara nafas vesikuler  Suara nafas vesikuler


 Ronkhi - / -  Ronkhi - / -
 Wheezing - / -  Wheezing - / -
 Jantung :
 Inspeksi : tidak tampak iktus cordis
 Palpasi : iktus cordis teraba di ICS V linea
midclavicula sinistra
 Perkusi : batas jantung dalam batas normal.
 Auskultasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)

o Abdomen :
 Inspeksi : datar, simetris, lesi (-), massa (-), caput
medusa (-),
 Auskultasi : bising usus normal 18x/menit
 Palpasi :
supel, nyeri tekan (+) pada region hipokondrika
kiri dan region lumbal kiri, hepatomegali (+)
teraba pembesaran hati 2 jari dibawah arcus
costae kanan dan 1 jari di bawah processus
xyphoideus, splenomegali (+) teraba
pembesaran lien pada garis schuffner IV,
balotemen -/-
 Perkusi : shifting dullness (-)
o Urogenital : Tidak dilakukan
o Extremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, edema lengan -/-, edema
tungkai -/-.
IV. Pemeriksaan Penunjang

Tabel 2.1. Pemeriksaan Penunjang di RSPAD Gatot Soebroto 29 April 2019

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Hematologi
Hemoglobin 6.1 g/dl 12-16 g/dL

Leukosit 53.670/uL 4.800-10.800 /uL

Eritrosit 2.3 juta/uL 4,3-6,0 juta/uL


Hematokrit 19% 37-47%

Trombosit 16.000 /Ul 150.000-450.000 /uL

Hitung Jenis:

 Blast 5% %

 Promielosit 2% %

 Mielosit 10% %

 Metamielosit 4% %

 Basofil 0% 0-1%

 Eosinofil 0% 1-3%

 Batang 7% 2-6%

 Segmen 51% 50-70%

 Limfosit 11% 20-40%

 Monosit 10% 2-8%

MCV 85 Fl 80-96 fL

MCH 25 pg 27-32 pg

MCHC 32 g/dL 32-36 g/dL

RDW 21.60 % 11.5-14.5 %

Pemeriksaan Kimia Hasil Nilai Rujukan


Klinik
Ureum 13 20 – 50 mg/dL

Kreatinin 0.63 0.5 – 1.5 mg/dL


Tabel 2.2. Pemeriksaan Penunjang di RSPAD Gatot Soebroto 2 Mei 2019

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Hematologi
Hemoglobin 9,9 g/dl 12-16 g/dL

Leukosit 73.060/uL 4.800-10.800 /uL

Eritrosit 3.7 juta/uL 4,3-6,0 juta/uL

Hematokrit 31% 37-47%

Trombosit 10.000 /uL 150.000-450.000 /uL

Hitung Jenis:

 Basofil 3% 0-1%

 Eosinofil 0% 0-3%

 Neutrofil 76% 50-70%

 Limfosit 8% 20-40%

 Monosit 13% 2-8%

MCV 88 fL 80-96 fL

MCH 27 pg 27-32 pg

MCHC 32 g/Dl 32-36 g/dL

RDW 21.10% 11.5-14.5 %

 Pemeriksaan Darah Lengkap


Tabel 2.3 Pemeriksaan darah lengkap pada 11 Maret 2019
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hematologi 11/03/19
Hemoglobin 5,8 g/dl 12-16 g/dL

Leukosit 45.432/uL 4.800-10.800 /uL

Eritrosit 2.2 juta/uL 4,3-6,0 juta/uL

Hematokrit 19% 37-47%

Trombosit 23.000 /uL 150.000-450.000 /uL

Hitung Jenis:

 Basofil 1% 0-1%

 Eosinofil 0% 0-3%

 Neutrofil 78% 50-70%

 Limfosit 7% 20-40%

 Monosit 14% 2-8%

MCV 84 fL 80-96 fL

MCH 26 pg 27-32 pg

MCHC 31 g/Dl 32-36 g/dL

RDW 19.30% 11.5-14.5 %

Kimia Klinik

SGOT(AST) 19 U/L < 35 U/L

SGPT (ALT) 17 U/L < 40 U/L

Albumin 2.9 g/dL 3.5 – 5.0 g/dL

Kalsium (Ca) 7.7 mg/dL 8.6 – 10.3 mg/dL


Magnesium (Mg) 2.11 mEq/L 1.8 – 3.0 mEq/L

Imunoserologi

Procalcitonin 42.52 µg/L 0.02 – 0.5 µg/L

 Pemeriksaan Urinalisis
Tabel 2.4 Pemeriksaan urinalisis pada 11 Januari 2019
Pemeriksaan Urinalisis Hasil Nilai Rujukan
11/01/19
Urin Lengkap

 Warna Kuning Kuning

 Kejernihan Jernih Jernih

 Berat Jenis 1.015 1.000 – 1.030

 pH 5.5 5.0 – 8.0

 Protein -/Negatif Negatif

 Glukosa -/Negatif Negatif

 Keton -/Negatif Negatif

 Darah +(10 RBD/uL) Negatif

 Bilirubin -/Negatif Negatif

 Urobilinogen 0.1 mg/dL 0.1 – 1.0 mg/dL

 Nitrit -/Negatif Negatif

 Leukosit Esterase -/Negatif Negatif

Sedimen Urin:
 Leukosit 5-6-5 < 5/LPB

 Eritrosit 1-1-1 < 2 /LPB

 Silinder -/Negatif Negatif / LPK

 Epitel +/Positif 1

 Kristal -/Negatif Negatif

 Lain-lain -/Negatif

 Hematologi Gambaran Darah Tepi


- Hematologi gambaran darah tepi 6 September 2018
Kesan: Bisitopenia dengan Blast 2%, suspek Myelopoliferative disease

- Gambar 2.1 Hematologi gambaran darah tepi 6 September 2018


- Hematologi gambaran darah tepi 23 November 2018
Kesan:
 Bisitopeni dengan leukositosis relative
 Keganasan hematologi kronik seri myeloid, suspek chronic myeloid
leukemia (CML)

Gambar 2.2 Hematologi gambaran darah tepi 23 November 2018


 USG Abdomen (18 September 2018)
Kesan:
o Hepatosplenomegali – S4
o Organ-organ intra abdominal lainnya dalam batas normal.
Gambar 2.3 USG Abdomen pada 18 September 2018
 Abdomen 3 Posisi (26 Oktober 2018)
Kesan:
o Kesuraman di hemiabdomen kanan dan kiri atas yang mendorong usus-
usus ke arah kaudal, suspek hepatosplenomegali
o Tidak tampak gambaran ileus maupun meteorisme
Gambar 2.4 Abdomen 3 Posisi pada 26 Oktober 2018
 BCR-ABL (29 Oktober 2018)
- BCR-ABL Qualitative Status : No transcript detected
Gambar 2.5 Pemeriksaan BCR-ABL pada 29 Oktober 2018

 Pemeriksaan Jari ngan/Histopatologi (26 September 2018)


Pemeriksaan jaringan/histopatologi sumsum tulang
Kesimpulan: Gambaran histologik sesuai dengan sumsum tulang yang
normoseluler
Gambar 2.6 Pemeriksaan Jaringan/Histopatologi pada 26 September 2018

 Biopsi Sumsum Tulang


Hasil Pembacaan Hematologi Aspirasi Sumsum Tulang (14 Desember 2018)
Kesan : BMP Pewarnaan wright, giemsa. Kepadatan sel cukup. Partikel ada,
M:E Ratio: 17:1. Diserytropoesis. Sel Pelger (+).
Kesimpualn: sesuai dengan MDS (gambar 2.1)
Gambar 2.7 Hasil pembacaan hematologi aspirasi sumsum tulang
 Foto Thorax (11 Januari 2019)
Kesan:
- Jantung sulit dinilai
- Tidak tampak kelainan radiologis pada paru.
Gambar 2.8 Pemeriksaan foto thorax pada 11 Januari 2019
V. Resume
Seorang wanita berusia 40 tahun datang dengan keluhan lemas 1 hari
SMRS. Pada bulan September 2018 pasien merasa lemas, cepat lelah dan
pusing, sulit melakukan aktivitas berat, timbul memar-memar kebiruan di
tubuhnya, dan pasien mengatakan bahwa berat badannya turun dari 68 kg
menjadi 58 kg dalam waktu ½ tahun, dan dilakukan pemeriksaan darah
didapati peningkatan leukosit, pada USG abdomen didapati pembesaran
organ hati dan limpa. Pada Desember 2018 pasien melakukan pemeriksaan
biopsi sumsum tulang ulang dan didapati hasil MDS (+). Pasien juga
mengatakan bahwa sering timbul bintik-bintik kemerahan saat
trombositnya rendah. Sekarang os mengkonsumsi obat Vitamin B12 3x1,
Asam Folat 3x1, Vitamin B6 3x1. Pada pemeriksaan fisik didapati
kesadaran kompos mentis, keadaan umum tampak sakit sedang, nadi 80
x/menit, pernapasan 20 x/menit, tekanan darah 110/80 mmHg, suhu 36oC,
konjungtiva pucat +/+, pada abdomen didapati nyeri tekan (+) pada region
hipokondrika kiri dan region lumbal kiri, hepatomegali (+) teraba
pembesaran hati 2 jbac 1 jbpx, splenomegali (+) SIV. Pemeriksaan darah
lengkap pada 29 April 2019 didapati Hb 6.1 g/dL, leukosit 53.670/µL,
eritrosit 2.3 juta/µL, hematocrit 19%, trombosit 16.000/Ul, hitung jenis blas
5%, promielosit 2%, mielosit 10%, metamielosit 4%, batang 7%, monosit
10%, MCH 25pg, RDW 20.60%, ureum 13 mg/dL.

VI. Daftar Masalah


Sindrom Mielodisplasia
VII. Pengkajian Masalah
Rencana Diagnosis :-
Rencana terapi :
o Asam Traneksamat 3x50mg
o Vitamin B12 3x50mcg
o Asam Folat 1x5mg
o Metilprednisolon 3x8mg
o Omeprazole 2x20mg
o Transfusi PRC 1000cc
o Premed dexamethasone 1 amp (5mg/ml)
o Ca gluconas 1 amp (100mg/ml) post tranfusi
Rencana monitoring : keadaan umum, darah lengkap setelah transfusi
Edukasi : menjelaskan tentang penyakit dan
tatalaksananya
VIII. Prognosis
- Quo ad Vitam : Dubia ad malam
- Quo ad Functionam : Dubia ad malam
- Quo ad Sanationam : Dubia ad malam
IX. Follow up Harian
30-04-19 S : pasien mengeluh lemas P:
Transfusi PRC 1000cc
O : KS: CM, Ku: TSS TD: 110/80mmHg,
premed dexa 1 amp
N:80x/mnt, RR:20x/mnt, T: 36oC
post tranfusi ca
Mata : CA +/+, SI -/-
gluconas 1 amp
Pulmo : Vesikuler +/+, rh -/-, wh -/-
Cek DPL post transfusi
Cor : BJ I – II regular, murmur - , gallop -
Abd : datar, bising usus normal,
hepatomegali 2 jbac 1 jbpx,
spleenomegali SIV

A : Sindrom Mielodisplasia

01-05-19 S : pasien mengeluh lemas P:


Transfusi PRC 1000cc
O : KS: CM, Ku: TSS TD: 120/80mmHg,
premed dexa 1 amp
N:80x/mnt, RR:20x/mnt, T: 36C
post tranfusi ca
Mata : CA +/+, SI -/-
gluconas 1 amp
Pulmo : Vesikuler +/+, rh -/-, wh -/-
Cek DPL post transfuse
Cor : BJ I – II regular, murmur - , gallop -
Abd : datar, bising usus normal,
hepatomegali 2 jbac 1 jbpx,
spleenomegali SIV.

A : Sindrom Mielodisplasia
02-05-19 S : lemas (-) P:
Transfusi PRC 1000cc
O : KS: CM, Ku: Tampak sehat TD:
premed dexa 1 amp
110/70mmHg, N:82x/mnt, RR:20x/mnt,
post tranfusi ca
T: 36,7C
gluconas 1 amp
Mata : CA -/-, SI -/-
Cek DPL post transfusi
Pulmo : Vesikuler +/+, rh -/-, wh -/-
(jika Hb ≥ 9, trombosit ≥
Cor : BJ I – II regular, murmur - , gallop -
10.000 tanpa perdarahan,
Abd : datar, bising usus normal,
acc rawat jalan
hepatomegali 2 jbac 1 jbpx,
spleenomegali SIV.

A : Sindrom Mielodisplasia
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anemia

3.1.1 Definisi

Anemia adalah keadaan rendahnya jumlah sel darah merah dan kadar
hemoglobin atau hematokrit di bawah normal. Anemia adalah suatu keadaan dengan
kadar hemoglobin lebih rendah dari nilai normal. Atau anemia adalah suatu keadaan
dimana kadar Hb dan atau hitung eritrosit lebih rendah dari harga normal yaitu bila Hb
< 14 g/dL dan Ht < 41%, pada pria atau Hb < 12 g/dL dan Ht < 37% pada wanita.
Anemia adalah penurunan jumlah eritrosit sehingga tidak dapat memnuhi fungsinya
untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer.1,5,6

Klasifikasi anemia dibagi menjadi 5 yaitu anemia mikrositik hipokrom (anemia


defisiensi besi, anemia penyakit kronis), anemia makrositik (defisiensi vitamin B12,
defisiensi asam folat), anemia karena perdarahan, anemia hemolitik, anemia aplastik.1,5

3.1.2 Epidemiologi

Anemia merupakan kelainan yang sangat sering dijumpai baik di klinik maupun
di lapangan. Diperkirakan lebih dari 30% penduduk dunia atau 5000 juta orang
menderita anemia dengan sebagian besar tinggal di daerah tropik. De Maeyer
memberikan gambaran prevalensi anemia di dunia untuk tahun 1985 seperti terlihat
pada tabel 3.1.5

Anemia merupakan salah satu masalah kesehatan di seluruh dunia terutama


negara berkembang yang diperkirakan 30% penduduk dunia menderita anemia. World
Health Organization (WHO) pada tahun 2013, prevalensi anemia dunia berkisar 40-
88%. Menurut data hasil Riskesdas tahun 2013, prevalensi anemia di Indonesia yaitu
21,7% dengan penderita anemia berumur 5-14 tahun sebesar 26,4% dan 18,4%
penderita berumur 15-24 tahun. Data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun
2012 menyatakan bahwa prevalensi anemia pada balita sebesar 40,5%, ibu hamil
sebesar 50,5%, ibu nifas sebesar 45,1%, remaja putri usia 10-18 tahun sebesar 57,1%
dan usia 19- 45 tahun sebesar 39,5%. Wanita mempunyai risiko terkena anemia paling
tinggi terutama pada remaja putri.5,7

Tabel 3.1 Gambaran prevalensi anemia di dunia5

3.1.3 Etiologi dan Klasifikasi Anemia

Anemia umumnya disebabkan oleh perdarahan kronik. Penyebab lainnya yang


dapat menyebabkan anemia adalah diet yang tidak mencukupi, absorbsi yang menurun,
kebutuhan yang meningkat pada kehamilan, perdarahan pada saluran cerna,
menstruasi, donor darah, hemoglobinuria, penyimpangan besi yang berkurang, seperti
pada hemosiderosis paru.5,6

Anemia diklasifikasikan menurut beberapa cara, antara lain menurut


etiopatogenesis (tabel 3.2), juga menurut morfologi dan etiologic (tabel 3.3).5

Anemia merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh:5

 Gangguan pembentukan eritrosit dan sumsum tulang


 Perdarahan
 Proses penghancuran eritrosit oleh tubuh sebelum waktunya (hemolisis)
Tabel 3.2 Klasifikasi anemia menurut etiopatogenesis5

A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam


sum-sum tulang

1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit


Anemia defesiensi besi
Anemia defesiensi asam folat
Anemia defesiensi vitamin B12
2. Gangguan pengguanaan utilisasi besi
Anemia akibat penyakit kronik
Anemia sideroblastik
3. Kerusakan sum-sum tulang
Anemia aplastik
Anemia mieloptisik
Anemia pada keganasan hematologi
Anemia diseritropoetik
Anemia pada sindrom mielodisplastik

Anemia akibat kekeruangan eritropoetin, anemia pada gagal


ginjal kronik

B. Anemia akibat hemoragi

1. Anemia pasca perdarahan akut’


2. Anemia akibat perdarahan kronik
C. Anemia hemolitik

1. Anemia hemolitik intrakorpusular


Gangguan membran eritrosit
Gangguan enzim eritrosit akibat defesiensi G6PD
Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)thalasemia,
hemoglobinopati struktural:HbS,HbE
2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskular
Anemia hemolitik autoimun
Anemia hemolitik mikroangiopati
Lain-lain

D. Anemia dengan penyebab yang tidak diketahui atau dengan


patogenesis yang kompleks

Tabel 3.3 Klasifikasi anemia menurut morfologi dan etiologi5

A. Anemia hipokromik mikrositer

1. Anemia defesiensi besi


2. Thalasemia mayor
3. Anemia akibat penyakit kronik
4. Anemia sideroblastik
B. Anemia normokromik normositer

1. Anemia pasca perdarahan akut


2. Anemia aplastik
3. Anemia hemolitik didapat
4. Anemia akibat penyakit kronik
5. Anemia pada gagal ginjal kronik
6. Anemia pada sindrom mielodisplastik
7. Anemia pada keganasan hematologi
C. Anemia makrositer

1. Bentuk megaloblastik
Anemia defeisensi asam folat
Anemia defesiensi B12 termasuk anemia pernisiosa
2. Bentuk non megaloblastik
Anemia pada penyakit hati kronik
Anemia pada hipotiroidisme
Anemia pada sindrom mielodisplastik

3.1.4 Manifestasi Klinis

Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala:5


 Gejala umum anemia
Gejala umum anemia, disebut juga sebagai sindroma anemia,
yang timbul karena iskemia organ target serta akibat mekanisme
kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar hemoglobin. Gejala ini
muncul pada setiap kasus anemia setelah penurunan hemoglobin sampai
kadar tertentu (Hb< 7 g/dl). Sindroma anemia terdiri dari rasa lemah,
lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus), mata berkunang-
kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas dan dispepsia. Pada
pemeriksaan, penderita tampak pucat, yang mudah dilihat pada
konyungtiva, mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan di bawah
kuku. Sindroma anemia bersifat tidak spesifik karena dapat ditimbulkan
oleh penyakit di luar anemia dan tidak sensitif karena timbul setelah
penurunan hemoglobin yang berat (Hb < 7g/dl).
 Gejala khas masing-masing anemia
Gejala ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia. Sebagai
contoh:
o Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis
angularis, dan kuku sendok (koilonychia).
o Anemia megaloblastik: glossitis, gangguan neurologik pada
defisiensi vitamin B12
o Anemia hemolitik: ikterus, splenomegali dan hepatomegaly
o Anemia aplastik: perdarahan dan tanda-tanda infeksi
 Gejala penyakit dasar
Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan
anemia sangat bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut.
Misalnya gejala akibat infeksi cacing tambang: sakit perut,
pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak tangan. Pada
kasus tertentu sering gejala penyakit dasar lebih mendominir, seperti
misalnya pada anemia akibat penyakit kronik oleh karena arthritis
rematoid.
Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting pada
kasus anemia untuk mengarahkan diagnosis anemia. Tetapi pada umumnya diagnosis
anemia memerlukan pemeriksaan laboratorium.5-7

3.1.5 Patofisiologi

Dalam keadaan normal tubuh orang dewasa mengandung rata-rata 3-5 gram
besi, hampir dua pertiga besi terdapat dalam hemoglobin dilepas pada proses penuaan
serta kematian sel dan diangkat melalui transferin plasma ke sumsum tulang untuk
eritropoiesis. Pada peredaran zat besi berkurang, maka besi dari diet tersebut diserap
oleh lebih banyak. Besi yang dimakan diubah menjadi besi keto dalam lambung dan
duodenum, penyerapan besi terjadi pada duodenum dan jejenum proksimal, kemudian
besi diangkat oleh tranferin plasma ke sumsum tulang, untuk sintesis hemoglobin atau
ke tempat penyimpanan di jaringan.5,8

Pembentukan Hb terjadi pada sumsum tulang melalui semua stadium


pematangan besi merupakan susunan atau sebuah molekul dan hemoglobin, jika zat
besi rendah dalam tubuh maka pembentukan eritrosit atau eritropoetin akan
mengganggu sehingga produksi sel darah merah berkurang, sel darah merah yang
berkurang atau menurun mengakibatkan hemoglobin menurun sehingga transportasi
oksigen dan nutrisi ke jaringan menjadi berkurang, hal ini mengakibatkan metabolisme
tubuh menurun.5,7,8

3.1.6 Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan laboratorium merupakan penunjang diagnostik pokok dalam


diagnosis anemia. Pemeriksaan ini terdiri dari:5
 Pemeriksaan penyaring (sceening test)
Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari pengukuran
kadar hemoglobin, indeks eritrosit dan hapusan darah tepi. Dari ini dapat
dipastikan adanya anemia serta jenis morfologik anemia tersebut, yang sangat
berguna untuk pengarahan diagnosis lebih lanjut.
 Pemeriksaan darah seri anemia
Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit, trombosit,
hitung retikulosit dan laju endap darah. Sekarang sudah banyak dipakai
automatic hematology analyzer yang dapat memberikan presisi hasil yang lebih
baik.

 Pemeriksaan sumsum tulang


Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang sangat
berharga mengenai keadaan sistem hematopoesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan
untuk diagnosis definitif pada beberapa jenis anemia. Pemeriksaan sumsum
tulang mutlak diperlukan untuk diagnosis anemia aplastik, anemia
megaloblastik, serta pada kelainan hematologik yang dapat mensupresi sistem
eritroid.
 Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya pada:
o Anemia defisiensi besi: serum iron. TIBC (total iron binding capacity),
saturasi transferin, protoporfirin eritrosit, feritin serum, reseptor
transferin dan pengecatan besi pada sumsum tulang (Perl’s stain).
o Anemia megaloblastik: folat serum, vitamin B12 serum, tes supresi
deoksiuridin dan tes Schiling.
o Anemia hemolitik: bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis
hemoglobin dan lain-lain.
o Anemia aplastik: biopsi sumsum tulang.

3.1.7 Pendekatan diagnosis

Pendekatan diagnosis untuk anemia dapat dilihat sesuai dengan algoritma yang
ada yang dimuat pada gambar 3.1, gambar 3.2, gambar 3.3, dan gambar 3.4.5

Gambar 3.1 Alogaritme Pendekatan Diagosis Anemia5


Gambar 3.2 Alogaritme Pendekatan Pasien Dengan Anemia Hipokromik
Mikrositer5
Gambar 3.3 Alogaritme Diagnosis Anemia Normokromik Normositer5

Gambar 3.4 Alogaritme Pendekatan Anemia Makrositer5


3.1.8 Penatalaksanaan

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi pada penderita
anemia ialah:5,6
 Pengobatan hendaknya diberikan berdasarkan diagnosis definitif yang telah
ditegakkan terlebih dahulu.
 Pemberian hematinik tanpa indikasi yang jelas tidak dianjurkan.
 Pengobatan anemia dapat berupa.
o Terapi untuk keadaan darurat seperti misalnya pada perdarahan akut
akibat anemia aplastik yang mengancam jiwa penderita, atau pada
anemia pasca perdarahan akut yang disertai gangguan hemodinamik
o Terapi suportif
o Terapi yang khas untuk masing-masing anemia
o Terapi kausal untuk mengobati penyakit dasar yang menyebabkan
anemia teresbut.
 Dalam keadaan dimana diagnosis definitif tidak dapat ditegakkan, kita terpaksa
memberikan terapi percobaan (terapi ex juvantivus). Disini harus dilakukan
pemantauan yang ketat terhadap respon terapi dan perubahan perjalanan
penyakit penderita dan dilakukan evaluasi terus menerus tentang kemungkinan
perubahan diagnosis.
 Transfusi diberikan pada anemia pasca perdarahan akut dengan tanda-tanda
gangguan hemodinamik. Pada anemia kronik transfusi hanya diberikan jika
anemia bersifat simtomatik atau adanya ancaman payah jantung. Disini
diberikan packed red cell, jangan whole blood. Pada anemia kronik sering
dijumpai peningkatan volume darah, oleh karena itu transfusi diberikan dengan
tetesan pelan. Dapat juga diberikan diuretika kerja cepat seperti furosemid
sebelum transfusi.
3.2 Sindrom Mielodisplasia

3.2.1 Definisi

Sindrom mielodiplasia (myelodyplastic syndrome) adalah kelainan sel stem


hemopoietik klonal heterogen yang secara klinis bermanifestasi sebagai hematopoiesis
yang tidak efektif, sitopenia perifer, gangguan kualitatif sel darah dan prekursornya,
dan predileksi menjadi acute myelogenous leukemia (AML). Sebagian atau seluruh
sumsum tulang digantikan oleh progeni klonal sebuah sel tunas multipoten yang mutan
tetapi masih mempertahankan kemampuannya untuk berdiferensiasi menjadi sel darah
darah merah, granulosit dan trombosit kendati dengan cara yang tidak efektif dan
menyimpang. Biasanya sumsum tulang tersebut tampak hiperseluler atau normoseluler
tetapi darah tepinya memperlihatkan pansitopenia.3,4,9,10

Sindrom mielodiplasia (myelodyplastic syndrome) adalah kelainan darah


langka dan berpotensi fatal yang terjadi karena produksi abnormal sel-sel darah di
sumsum tulang. Sel darah yang dihasilkan menjadi mati dan abnormal begitu mereka
memasuki aliran darah, sehingga tidak dapat menjalankan fungsi normal dan penting
seperti mengangkut oksigen melalui tubuh (eritrosit) dan melawan infeksi (leukosit).
Pada tahap awal penyakit, hanya ada sedikit gejala. Seiring waktu, perdarahan yang
tidak biasa, bintik-bintik kulit merah dan anemia dapat terjadi. Individu dengan
sindrom mielodiplasia cenderung memiliki infeksi berulang.3

Sindrom mielodiplasia (myelodyplastic syndrome) mengacu pada kelompok


heterogen dari kelainan hematopoietik klon terkait erat yang biasa ditemukan pada
populasi yang menua. Semua ditandai dengan satu atau lebih sitopenia darah perifer.
Sumsum tulang biasanya hiperseluler, tetapi jarang, sumsum tulang belakang
menyerupai anemia aplastik dapat terlihat. Sel-sel sumsum tulang menunjukkan
morfologi dan maturasi yang menyimpang (dysmyelopoiesis), sehingga produksi sel
darah tidak efektif. MDS memengaruhi hematopoiesis pada tingkat sel punca, seperti
yang ditunjukkan oleh kelainan sitogenetik, mutasi molekuler, dan kelainan morfologis
dan fisiologis dalam pematangan dan diferensiasi satu atau lebih garis sel
hematopoietik.2,3

3.2.2 Epidemiologi

MDS adalah penyakit pada orang tua, dengan usia rata-rata saat diagnosis ± 70
tahun dan dengan > 10% pasien berusia di bawah 50 tahun. Insiden MDS di Eropa
adalah sekitar 4 kasus / 100.000 penduduk / tahun (mencapai 40-50 / 100.000 pasien
pada usia ≥70 tahun). MDS pada populasi Asia cenderung terjadi pada usia lebih dini,
serta lebih sering memiliki sumsum hiposeluler dan lebih jarang terjadi dengan delesi
5q terisolasi (5qsyndrome), sedangkan trisomi 8 tampaknya lebih sering daripada
populasi Barat.1,2

Epidemiologi Perkiraan dari American Cancer Society tahun 2009, MDS di


Amerika Serikat berkisar 12.000 kasus baru setiap tahun. Jumlah kasus baru
nampaknya akan meningkat karena peningkatan usia rata – rata populasi. Sekitas 80%
sampai 90% dari semua pasien dengan MDS umumnya lebih dari 60 tahun. Sedangkan
insiden MDS dalam data yang baru – baru ini diterbitkan oleh Surveillance,
Epidemiology, and End Result (SEER) meningkat dari < 5 per 100.000 pasien dibawah
usia 60 tahun menjadi 36,2 per 100.000 pasien dengan usia lebih dari 80 tahun. Dengan
rata – rata usia diagnosis 76 tahun. Secara umum, pria dan kulit putih memiliki insiden
yang lebih tinggi dari penyakit ini.4

Insidensi MDS de novo di Amerika Serikat bervariasi tetapi Epidemiologi


Surveilans dan Hasil Akhir (SIER) -Medicare database dari 2007 hingga 2011
memperkirakan insiden sekitar 4,9 per 100.000 orang dan sekitar 20.541 kasus baru
setiap tahun. Insiden MDS meningkat dengan bertambahnya usia dengan sebagian
besar kasus terjadi setelah usia 65 dan paling sering terlihat pada pasien di atas 80
tahun, dengan angka 58 per 100.000. Biasanya terlihat lebih banyak pada pria dan
Kaukasia.3,4
MDS jarang terjadi sebelum usia 50 tahun. Namun, MDS bisa terjadi pada
semua usia, termasuk anak-anak (perkiraan kejadian 1 dalam satu juta per tahun antara
usia 5 bulan sampai 15 tahun) di mana kebanyakan kasus terkait dengan penyakit
keturunan yang menjadi predisposisi perkembangan MDS, seperti down syndrome,
bloom syndrome, schwachman-diamond syndrome dan fanconi anemia, biasanya
gambarannya berbeda dengan MDS pada dewasa.11,12

3.2.3 Etiologi

Etiologi MDS hanya diketahui pada 15% kasus. Predisposisi turunan terhadap
MDS terlihat pada sepertiga dari kasus MDS pediatrik, termasuk dalam sindrom down,
anemia Fanconi dan neurofibromatosis. Hal ini lebih jarang terjadi pada orang dewasa,
dimana kecenderungan bawaan juga harus dinilai dalam MDS yang terjadi pada orang
dewasa muda atau dalam keluarga dengan kasus MDS, AML atau anemia aplastik
lainnya. Faktor lingkungan termasuk penggunaan kemoterapi sebelumnya, terutama
zat alkilasi dan radioterapi analog purin atau radiasi pengion, dan merokok. Faktor-
faktor yang mempengaruhi diantaranya benzena dan turunannya, selain itu MDS
banyak dilaporkan pada pekerja di bidang pertanian dan industri. 'MDS sekunder' itu,
terutama kasus yang terjadi setelah kemoterapi, umumnya memiliki faktor prognostik
yang buruk, termasuk temuan sitogenetik kompleks yang melibatkan kromosom 5 dan
/ atau 7 dan / atau 17p, yang disebut jenis alkilator, keganasan hematologis terkait
terapi.11

MDS timbul dalam dua keadaan yang berbeda, yaitu:2,10

1. MDS idiopatik atau primer terutama terjadi pada pasien yang berusia
lebih dari 50 tahun dan sindrom ini sering berkembang secara perlahan.
2. MDS yang berkaitan dengan terapi merupakan komplikasi terapi
dengan obat yang bersifat mielosupresif atau radioterapi dan biasanya
sindrom ini baru muncul dalam waktu 2 hingga 8 tahun sesudah terapi.
Semua bentuk MDS dapat bertransformasi menjadi AML; transformasi terjadi
paling cepat dan dengan frekuensi paling tinggi pada pasien MDS yang terkait
terapi. Perubahan morfologi yang khas terlihat dalam sumsum tulang dan darah
tepi; analisis sitogenik dapat membantu menegakkan diagnosis. Meskipun
patogenesisnya sebagian besar masih belum diketahui, namun MDS secara khas
muncul dengan latar belakang kerusakan sel tunas.10

Umumnya perubahan genetik yang mengakibatkan kelainan sum-sum tulang


dan tidak diketahui penyebabnya. Beberapa faktor yang diduga berhubungan
dengan perubahan genetik sehingga menimbulkan MDS:3
 Bertambahnya usia
 Pajanan bahan kimia; rokok, peptisida dan benzena
 Pajanan logam berat; timah dan merkuri
 Riwayat kemoterapi/ radioterapi; etoposide
 dll yang belum bisa dijelskan sepenuhnya.

3.2.4 Patofisiologi
MDS berkembang ketika mutasi klon mendominasi di sumsum tulang, menekan
sel-sel induk yang sehat. Mutasi klonal dapat disebabkan oleh kecenderungan genetik
atau dari cedera sel induk hematopoietik yang disebabkan oleh paparan salah satu dari
yang berikut:13
 Kemoterapi sitotoksik Radiasi
 Infeksi virus
 Bahan kimia genotoksik (misalnya, benzena).
MDS dapat diklasifikasikan sebagai primer (de novo) atau sekunder untuk
pengobatan agresif kanker lain, dengan paparan radiasi, agen alkilasi, atau inhibitor
topoisomerase II; itu juga terjadi pada pasien yang sangat tidak diobati dengan
transplantasi sumsum tulang autologous. Pada tahap awal MDS, penyebab utama
sitopenia adalah peningkatan apoptosis (kematian sel terprogram). Ketika penyakit
berkembang dan berubah menjadi leukemia, mutasi gen lebih lanjut terjadi, dan
proliferasi sel leukemia membanjiri sumsum yang sehat.13
MDS diperkirakan berasal dari mutasi pada sel sumsum tulang yang multipoten
tetapi defek spesifiknya belum diketahui. Diferensiasi dari sel perkusor darah tidak
seimbang dan ada peningkatan aktivitas apoptosis sel di sumsum tulang. Ekspansi
klonal dari sel abnormal mengakibatkan sel yang telah kehilangan kemampuan untuk
berdiferensiasi. Jika keseluruhan presentasi dari blas sumsum berkembang melebihi
batas (20-30%) maka ia akan bertransformasi menjadi AML. Pasien MDS akan
menderita sitopenia pada umumnya seperti anemia parah. Tetapi dalam beberapa tahun
pasien akan menderita kelebihan besi. Komplikasi yang berbahaya bagi mereka adalah
perdarahan karena kurangnya trombosit atau infeksi karena kurangnya leukosit.13,14
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa hilangnya fungsi mitokondria
mengakibatkan akumulasi dari mutasi DNA pada sel sistem hematopoietik dan
meningkatkan insiden MDS pada pasien yang lebih tua. Dan adanya akumulasi dari
besimitokondria yang berupa cincin sideroblas merupakan bukti dari disfungsi
mitokondria pada MDS.13

3.2.5 Manifestasi Klinik


Gejala MDS sering tidak jelas dan spesifik, dan diagnosis sering dibuat selama
pemeriksaan untuk anemia, trombositopenia, atau neutropenia pada pemeriksaan darah
rutin. Jika tampak tanda-tanda dan gejala, biasanya tergantung pada jenis sel yang
terpengaruh. Ketika eritrosit terpengaruh (situasi yang paling umum), pasien datang
dengan tanda-tanda anemia, termasuk pucat, konjungtiva anemis, takikardi, hipotensi,
kelelahan, sakit kepala, dan intoleransi latihan, atau dengan tanda dan gejala
memburuknya kondisi atau penyakit yang mendasari seperti angina pectoris, gagal
jantung, atau emfisema. Ketika trombosit yang terpengaruh, kurang dari 20% dari
pasien datang dengan gejala trombositopenia terisolasi sebagai perdarahan kecil,
misalnya perdarahan mukosa, petechie, mudah memar, epistaksis, atau perdarahan
besar misalnya perdarahan gastrointestinal, perdarahan intrakranial. Ketika neutrofil
yang terpengaruh, terjadi neutropenia terisolasi misalnya infeksi bakteri yang sering
terjadi pada pasien sistem organ yang berbeda. Infeksi merupakan keluhan utama dari
10% kasus dan penyebab kematian dari 21% kasus. Splenomegali dan limfodenopati
jarang terjadi pada MDS. Jika terdeteksi, maka harus curiga terhadap neoplasma
myeloproliferatif atau limfoproliferatif.14,15

3.2.6 Diagnosis
Diagnosis MDS dipertimbangkan untuk setiap pasien dewasa yang disertai gejala-
gejala sebagai berikut:2

1. Anemi dan/perdarahan-perdarahan dan/febris yang tidak jelas sebabnya dan


refrakter terhadap pengobatan
2. Pemeriksaan darah tepi menunjukkan adanya sitopeni dari satu atau lebih dari
sistem darah
- Adanya sel-sel muda/blas dalam jumlah sedikit (< 30%) dengan/tanpa
monositosis di darah tepi
- Sumsung tulang dapat hipo, normo, atau hiperselular dengan disertai
displasi sistem hemopoesis (anomali Pelger-Huet, perubahan
megaloblastik, peningkatan ringan sel-sel blas dan sebagainya)
- Namun gambaran itu tidak dapat dimasukkan dalam diagnosis yang
jelas dari penyakit-penyakit lain seperti ITP lekemi, anemi aplastik, dan
lain- lain.

Diagnosis MDS ditetapkan bila ada butir 1 ditambah paling sedikit tiga dari
butir 2. Dan untuk mengkonfirmasi suatu MDS perlu dilakukan pemeriksaan biopsy
sumsum tulang (gambar 3.5).2,15

Sebenarnya untuk diagnosis SDM perlu dibantu dengan pemeriksaan


pembiakan sel-sel sumsum tulang dan pemeriksaan sitogenetik. Sitogenetik sumsum
tulang dapat memberikan informasi prognosis dan adanya abnormalitas kromosom
yang nerupakan kunci untuk membedakan MDS primer dan sekunder. Kromosom
abnormal sumsum tulang ditemukan pada 30-50 % pasien SDM de novo. Berbagai
kelainan sitogenetik pada SDM termasuk delesi, trisome, monosomi dan anomali
struktur. Abnormalitas sitogenetik pada MDS yaitu delesi 5q, monosomi 7, trisomi 8,
kehilangan kromosom Y, delesi 20q, 3q rearangements, berbagai abnormalitas
kromosom 11, berbagai abnormalitas kromosom 17p, defek kromosom kompleks
lain.2,12

MDS seharusnya dibedakan dengan myeloprolifertive disorder yang lain dan


beberapa variasi dari MDS sekunder termasuk defisiensi nutrisi, proses infeksi, efek
obat dan toxic exposures.2

Gambar 3.5. Biopsi Sumsum Tulang15

3.2.7 Klasifikasi
MDS dibagi (diklasifikasikan) ke dalam kelompok berdasarkan fitur dari
sumsum tulang dan sel darah. Grup-grup ini juga disebut subtipe. Ada dua sistem
yang digunakan untuk mengklasifikasikan MDS. Yang pertama diciptakan pada tahun
1982 dan disebut sistem klasifikasi FAB (French-American-British). Sistem FAB
mengelompokkan MDS menjadi lima subtipe. Sistem ini tidak banyak digunakan saat
ini. Yang lebih baru dan yang paling umum digunakan saat ini adalah sistem klasifikasi
WHO (World Health Organization). Revisi 2016 untuk sistem WHO
mengelompokkan MDS menjadi tujuh subtipe utama.15,16
Revisi 2016 klasifikasi WHO, mirip dengan klasifikasi sebelumnya, berfokus
pada menggabungkan fitur klinis, morfologi, imunofenotipik, sitogenetik, dan
molekuler dalam mendiagnosis MDS. Perubahan besar melibatkan pengurangan
penekanan pada "sitopenia" dan lebih pada tingkat displasia dan persentase sel blas,
karena diyakini bahwa tingkat displasia sering tidak berkorelasi dengan sitopenia
spesifik. Ambang batas untuk menentukan displasia dijaga pada sel displastik> 10% di
setiap lini sel. Klasifikasi baru meliputi: MDS dengan displasia lineage tunggal (MDS-
SLD), MDS dengan ring sideroblasts (MDS-RS) yang selanjutnya dibagi lagi menjadi
displasia tunggal dan multilineage (MDS-RS-SLD dan MDS-RS-MLD), MDS dengan
multilineage dysplasia (MDS-MLD), MDS dengan kelebihan blas (MDS-EB-1 dan
MDS-EB-2), MDS dengan del terisolasi (5q), dan MDS tidak dapat diklasifikasikan
(MDS-U). Sitopenia refraktori masa kanak-kanak ditambahkan ke klasifikasi sebagai
kesatuan baru (Tabel 3.4).14,15
Tabel 3.4 Klasifikasi MDS berdasarkan WHO 201614,15
3.2.8 Sistem Penilaian Prognostik Internasional (IPSS dan IPSS yang
Direvisi/IPPS-R)
Sistem penilaian prognostik internasional adalah alat prognostikasi yang paling
umum digunakan dalam MDS. IPSS dirancang untuk menilai prognosis orang dewasa
primer yang tidak diobati dengan MDS dan diterbitkan pada tahun 1997 berdasarkan
816 pasien dengan MDS primer. Pasien dikategorikan menurut jumlah sitopenia
perifer, persentase sel blas pada sumsum tulang, dan kelainan sitogenetik. Ambang
batas untuk menentukan sitopenia perifer yaitu hemoglobin <10 g / dL, jumlah neutrofil
absolut <1800 / μL, dan jumlah trombosit <100.000 / μL (Tabel 3.5a). Nilai-nilai ini
terus digunakan dalam kriteria WHO 2016 untuk mendefinisikan sitopenia. Persentase
sel blas pada sumsum tulang dibagi menjadi empat kelompok (<5%, 5-10%, 11-20%,
dan 21-30%), dimana sel blas > 20% didefinisikan sebagai leukemia akut. Jumlah
kelainan sitogenetik atau kromosom dikategorikan ke dalam risiko yang baik (normal,
-Y, -5q, dan -20q), risiko menengah, dan risiko buruk (kariotipe kompleks; yaitu, ≥3
kelainan kromosom atau kelainan kromosom 7) (Tabel 3.6). Berdasarkan skor IPSS
total, pasien kemudian diklasifikasikan ke dalam empat kelompok risiko (rendah,
sedang-1 ("risiko lebih rendah"), sedang-2, dan tinggi ("risiko lebih tinggi")). Kategori
risiko ini membantu dalam memperkirakan kelangsungan hidup rata-rata median
pasien (masing-masing 5.7, 3.5, 1.2, dan 0.4 tahun dari diagnosis) dan risiko
pengembangan menjadi AML (Tabel 3.5b). Selain itu, rekomendasi pengobatan
berbeda untuk pasien dengan MDS risiko rendah daripada MDS risiko tinggi.12,16
IPSS direvisi (IPSS-R) pada tahun 2012 untuk memasukkan kohort yang lebih
besar dari 7012 pasien dengan MDS. Jumlah sitopenia perifer, persentase sel blas
sumsum tulang, dan kelompok risiko sitogenetik / kariotipe terus membentuk dasar
klasifikasi. Faktor-faktor tambahan yang tercatat mempengaruhi prognosis pasien
adalah serum dehidrogenase laktat, feritin, dan kadar mikroglobulin beta-2. IPSS-R
memiliki lima kelompok risiko sitogenetik yang berbeda (sangat baik, baik, menengah,
miskin, dan sangat miskin), dibandingkan dengan tiga di IPSS, dengan bobot terbesar
sekarang ditempatkan pada risiko sitogenetik (Tabel 3.6). Sel blas pada sumsum tulang
tetap dibagi menjadi empat kategori, dengan titik potong untuk persentase sel blas yang
diubah. Klasifikasi yang direvisi juga lebih sensitif terhadap derajat sitopenia.
Hasilnya, skor risiko total (0-10) mengelompokkan pasien menjadi lima kelompok
risiko prognostik (sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi) (Tabel
3.7a). Median kelangsungan hidup keseluruhan dalam beberapa tahun dari diagnosis
dan risiko 25% pasien yang mengalami AML untuk IPSS-R dirangkum dalam Tabel
3.7b. Dalam memperkirakan prognosis, penting untuk juga mengenali bahwa pasien
MDS biasanya orang dewasa yang lebih tua; dengan demikian, kematian dapat sering
terjadi karena komorbiditas medis lainnya. Kelebihan kematian pada MDS telah
terbukti terkait dengan usia yang lebih tua, jenis kelamin laki-laki, lebih banyak
komorbiditas, dan kategori risiko IPSS-R yang lebih tinggi.12,15,16
Tabel 3.5 Klasifikasi sistem penilaian prognostik internasional (IPSS)12,16

Tabel 3.6 Sistem penilaian sitogenetik16


Tabel 3.7 Klasifikasi revisi sistem penilaian prognostik internasional (IPSS-R)12,16

3.2.9 Penatalaksanaan
Terapi MDS sebagian besar didasarkan pada jumlah darah tepi dan apakah
pasien telah ditentukan memiliki penyakit berisiko lebih rendah atau lebih tinggi
menurut skor risiko IPSS dan IPSS-R. Kelompok kerja internasional telah menyusun
kriteria respons dari respons lengkap dan parsial dan peningkatan hematologi dalam
hemoglobin, jumlah trombosit, dan / atau jumlah neutrofil absolut, yang harus
dipertahankan selama minimal 8 minggu. Sasaran pengobatan untuk MDS risiko
rendah berpusat pada meminimalkan transfusi dan memaksimalkan kualitas hidup,
sementara yang untuk penyakit berisiko tinggi harus meminimalkan transformasi
menjadi AML dan memperpanjang kelangsungan hidup.16
3.2.9.1 Pengobatan MDS Risiko Rendah
MDS risiko rendah termasuk dalam kategori IPSS rendah dan sedang-1, yang
sebagian besar sesuai dengan kelompok risiko IPSS-R sangat rendah, rendah, dan
beberapa sedang (skor IPSS-R ≤ 3.5). Terapi diarahkan pada sitopenia yang dominan,
yang bagi sebagian besar pasien risiko rendah adalah anemia. Pasien dengan MDS
risiko rendah dengan anemia berespon baik terhadap agen perangsang erythropoiesis
(erythropoietin alpha dan darbepoetin, dengan tingkat respons keseluruhan sekitar
40%), asalkan tingkat erythropoietin pada saat diagnosis <500 U / L dan kebutuhan
transfusi minimal. Respons harus dinilai setelah 3 bulan pengobatan, dan durasi
respons bisa hingga 2 tahun. Pasien dengan MDS risiko rendah dengan del (5q) dan
anemia memiliki respon independensi transfusi tinggi terhadap lenalidomide (67%),
yang disetujui FDA untuk indikasi itu. Adanya mutasi TP53 dikaitkan dengan respons
yang buruk pada pasien del (5q) yang diobati dengan lenalidomide. Pada kelompok
pasien risiko rendah tanpa del (5q), tingkat respons transfusi-independensi mendekati
27%. Untuk pasien dengan MDS risiko rendah dan beberapa sitopenia, agen
hypomethylating (azacitidine dan decitabine) memiliki tingkat respons keseluruhan 30-
40%. Terapi imunosupresif dengan globulin antithymocyte dengan atau tanpa
siklosporin juga dapat menghasilkan respons pada 30-40% pasien. Transplantasi
sumsum tulang tetap menjadi satu-satunya pilihan pengobatan kuratif untuk pasien
MDS tetapi dicadangkan untuk pasien MDS risiko rendah yang mengalami kemajuan
mengikuti terapi lain dan berisiko tinggi terhadap transformasi AML (Gambar 3.6).
Peran terapi khelasi besi dalam MDS masih belum jelas dan sebagian besar tidak
dianjurkan.15,16

Gambar 3.6 Algoritma pengobatan untuk sindrom mielodisplasia16


3.2.9.2 Pengobatan MDS Risiko Tinggi
Pasien dengan MDS risiko yang lebih tinggi masuk dalam kategori risiko IPSS
risiko menengah-2 dan risiko tinggi (skor IPSS ≥ 1,5), sesuai dengan kelompok risiko
IPSS-R yang tinggi dan sangat tinggi dan beberapa sedang (skor IPSS-R> 3,5). Pasien
dengan MDS dengan kelebihan sel blas-1 (MDS-EB-1) dan MDS-EB-2 sesuai dengan
klasifikasi WHO 2016 juga kadang-kadang termasuk dalam kelompok berisiko lebih
tinggi. Pasien dengan MDS risiko yang lebih tinggi harus diobati dengan agen
hypomethylating (azacitidine atau decitabine), keduanya disetujui oleh FDA untuk
indikasi ini. Dalam satu-satunya uji klinis fase 3 untuk menunjukkan keunggulan
kelangsungan hidup untuk terapi obat dalam MDS, pasien berisiko tinggi yang
menerima azacitidine memiliki tingkat respons keseluruhan 35% dan kelangsungan
hidup keseluruhan rata-rata 24,5 bulan, dibandingkan dengan 15,0 bulan untuk pasien
yang diacak secara konvensional. Regimen perawatan (perawatan suportif terbaik,
sitarabin dosis rendah, atau sitarabin + daunorubisin, p <0,001). Percobaan fase 3 dari
decitabine dibandingkan dengan perawatan suportif terbaik menunjukkan tingkat
respons keseluruhan yang lebih tinggi untuk decitabine jika dibandingkan dengan
perawatan suportif terbaik tetapi tidak ada perbedaan dalam kelangsungan hidup secara
keseluruhan (10,1 bulan vs 8,5 bulan, p = 0,38). Mutasi pada gen metilasi tampaknya
terkait dengan respons yang lebih baik terhadap agen ini. Pengobatan dengan agen
hypomethylating harus dilanjutkan selama setidaknya 6 bulan sebelum menentukan
kurangnya kemanjuran dan harus dilanjutkan selama respon dipertahankan.
Kemungkinan transplantasi sel hematopoietik harus dinilai dan didiskusikan dengan
setiap pasien pada diagnosis MDS risiko yang lebih tinggi, karena ini adalah satu-
satunya opsi yang berpotensi kuratif (Gambar 3.2). Sayangnya, setelah kegagalan
terapi agen hypomethylating, pilihan pengobatan terbatas. Berbagai uji klinis sedang
dilakukan untuk menilai respons terhadap agen baru, modulasi imun, dan mencoba
berbagai terapi kombinasi.15,16
BAB IV

PEMBAHASAN KASUS

Anemia adalah keadaan rendahnya jumlah sel darah merah dan kadar
hemoglobin atau hematokrit di bawah normal. Anemia adalah suatu keadaan dengan
kadar hemoglobin lebih rendah dari nilai normal. Atau anemia adalah suatu keadaan
dimana kadar Hb dan atau hitung eritrosit lebih rendah dari harga normal yaitu bila Hb
< 14 g/dL dan Ht < 41%, pada pria atau Hb < 12 g/dL dan Ht < 37% pada wanita.
Anemia adalah penurunan jumlah eritrosit sehingga tidak dapat memnuhi fungsinya
untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer.1

Sindrom mielodiplasia (myelodyplastic syndrome) adalah kelainan darah


langka dan berpotensi fatal yang terjadi karena produksi abnormal sel-sel darah di
sumsum tulang. Sel darah yang dihasilkan menjadi mati dan abnormal begitu mereka
memasuki aliran darah, sehingga tidak dapat menjalankan fungsi normal dan penting
seperti mengangkut oksigen melalui tubuh (eritrosit) dan melawan infeksi (leukosit).
Gejala MDS sering tidak jelas dan spesifik, dan diagnosis sering dibuat selama
pemeriksaan untuk anemia, trombositopenia, atau neutropenia pada pemeriksaan darah
rutin. Jika tampak tanda – tanda dan gejala, biasanya tergantung pada jenis sel yang
terpengaruh. Ketika eritrosit terpengaruh (situasi yang paling umum), pasien datang
dengan tanda – tanda anemia, termasuk pucat, konjungtiva anemis, takikardi, hipotensi,
kelelahan, sakit kepala, dan intoleransi.3,14,15

Pada kasus ini, pasien memiliki daftar masalah MDS. Pada anamnesis diketahui
pasien datang dengan keluhan utama lemas sejak 1 hari SMRS. Lemas yang dirasakan
oleh pasien bisa terjadi karena anemia, dimana anemia merupakan keadaan rendahnya
jumlah sel darah merah dan kadar hemoglobin atau hematokrit di bawah normal yang
dapat dilihat dari pemeriksaan darah pada pasien tanggal 29 April 2019 didapati hb 6.1
g/dL, ht 19%, eritrosit 2.3juta/µL. Selain itu, pasien juga mengaku sering merasa lemas,
cepat lelah dan pusing, sulit melakukan aktivitas berat dimana keluhan-keluhan ini
merupakan manifestasi klinis dari anemia. Dari anamnesis pasien mengaku sering
timbul memar-memar kebiruan di tubuhnya, dan pasien juga mengatakan bahwa sering
timbul bintik-bintik kemerahan saat trombositnya rendah. Trombosit merupakan
komponen penting dalam proses pembekuan darah, yaitu berfungsi untuk membentuk
sumbat trombosit. Sumbat trombosit berasal dari agregrasi trombosit yang menutup
robekan pembuluh darah. Trombosit juga berperan terhadap aktivasi fibrinogen
menjadi fibrin yang merupakan sumbat tetap dalam proses pembekuan darah.
Penurunan jumlah trombosit (trombositopeni) serta keabnormalan morfologi dan
fungsi trombosit akan mengakibatkan kecenderungan perdarahanan dimana pada kasus
ini pasien mengatakan sering terjadi memar-memar kebiruan pada tubuhnya dan juga
sering muncul bintik-bintik kemerahan di tubuhnya.5,6

Pemeriksaan fisik pada kasus ini didapati konjungtiva pasien pucat dimana hal
ini juga merupakan salah satu tanda adanya anemia. Selain itu, pemeriksaan fisik pada
kasus ini juga didapati adanya hepatomegali dan splenomegali. Walau jarang ditemui
pada kasus MDS, namun hepatosplenomegali dapat ditemui pada kasus yang lebih
lanjut, juga dapat ditemukan pada sekitar 20% penderita MDS.7,8,14

Pada pemeriksaan penunjang didapati 6.1 g/dL, leukosit 53.670/µL, eritrosit


2.3 juta/µL, hematocrit 19%, trombosit 16.000/Ul, hitung jenis blas 5%, promielosit
2%, mielosit 10%, metamielosit 4%, batang 7%, monosit 10% dan pemeriksaan BMP
didapatkan gambaran sesuai MDS. Pada tahap awal MDS, penyebab utama sitopenia
adalah peningkatan apoptosis (kematian sel terprogram). Ketika penyakit berkembang
dan berubah menjadi leukemia, mutasi gen lebih lanjut terjadi, dan proliferasi sel
leukemia membanjiri sumsum yang sehat. MDS diperkirakan berasal dari mutasi pada
sel sumsum tulang yang multipoten tetapi defek spesifiknya belum diketahui.
Diferensiasi dari sel perkusor darah tidak seimbang dan ada peningkatan aktivitas
apoptosis sel di sumsum tulang. Ekspansi klonal dari sel abnormal mengakibatkan sel
yang telah kehilangan kemampuan untuk berdiferensiasi. Jika keseluruhan presentasi
dari blas sumsum berkembang melebihi batas (20-30%) maka ia akan bertransformasi
menjadi AML. Pasien MDS akan menderita sitopenia pada umumnya seperti anemia
parah. Tetapi dalam beberapa tahun pasien akan menderita kelebihan besi.7,8,14-16

Pasien didiagnosis memiliki sindrom mielodiplasia sejak 14 Desember 2018,


yang dapat menyebabkan pasien mengalami anemia terus-menerus dimana terjadi
gangguan eritropoesis. Sehingga pasien mempunyai riwayat transfusi darah berulang
setiap 3 minggu sejak bulan September yang kemudian sekarang menjadi setiap 2
minggu. Pada tatalaksana kasus ini, yaitu diberikan transfusi darah sebanyak 1000 cc
PRC, premed dexamethasone 1 ampul (5mg/ml), Ca gluconas 1 ampul (100mg/ml)
post tranfusi, asam traneksamat 3x50mg, vitamin B12 3x50mcg, asam folat 1x5mg,
metilprednisolon 3x8mg, omeprazole 2x20mg. Obat-obat yang digunakan bertujuan
untuk mengatasi anemia dan tindakan suportif untuk MDSnya sebelum masuk kedalam
kategori resiko rendah dan tinggi.
BAB V

KESIMPULAN

Sindrom myelodiplasia (myelodyplastic syndrome) adalah kelainan darah


langka dan berpotensi fatal yang terjadi karena produksi abnormal sel-sel darah di
sumsum tulang. Sel darah yang dihasilkan menjadi mati dan abnormal begitu mereka
memasuki aliran darah, sehingga tidak dapat menjalankan fungsi normal dan penting
seperti mengangkut oksigen melalui tubuh (eritrosit) dan melawan infeksi (leukosit).

Pada kasus ini pasien memliki masalah sindrom mielodisplasia


(myelodysplastic syndrome), dimana dari hasil anamnesis didapati keluhan lemas dan
sering timbulnya memar-memar dan dari pemeriksaan fisik didapati konjungtiva pucat
pada kedua mata, dan pada pemeriksaan penunjang pada darah lengkap ditemui adanya
anemia dan trombositopenia, dan pada pemeriksaan biopsi sumsum tulang disimpulkan
sesuai dengan kesan MDS.
Daftar Pustaka
1. Bastida JM, Godino OL, Sánchez AV, Boix SB, Cirici BX, Sánchez JMH, dkk. Hidden
myelodysplastic syndrome (MDS): A prospective study to confirm or exclude MDS in
patients with anemia of uncertain etiology. Int J Lab Hematol. 2019;41:109–17.
2. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata MK, Stiyohadi B, Syam AF. Buku ajar
ilmu penyakit dalam. Jilid II. Edisi VI. Jakarta: InternaPublishing; 2014:2609-15.
3. Besa CE. Myelodyplastic syndrome. July 24th 2018. Diunduh dari:
https://emedicine.medscape.com/article/207347-overview#showall. 28 April Febuari
2019.
4. Dotson JL, Lebowicz Y. Myelodysplastic Syndrome. [Updated 2019 Jan 10]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2019 Jan.

5. Bakta IM. Pendekatan diagnosis dan terapi terhadap penderita anemia. Bali Health
Journal. 2017; 1(1): 36-48.
6. Agustina EE, Laksono B, Indriyanti DR. Determinan risiko kejadian anemia pada
remaja putri berdasarkan jenjang pendidikan di kabupaten Kebumen. Public Health
Perspective Journal. 2017; 2(1): 26-33.
7. Priyatno D, Salikun, Irmanita, Purlinda DE. Pemeriksaan kadar hemoglobin dan nilai
hematokrit sebagai screening anemia pada lansia di asrama TNI-AD Mrican
Semarang. Jurnal LINK. 2017; 13 (2): 49 – 52.
8. Fraenkel PG. Understanding anemia of chronic disease. American Society of
Hematology. 2015; 2015(1): 14-8.
9. Jacobus DJ. Proses autoimun terkait myelodysplastic syndrome.CDK-240.
2016;43(5):387-8.
10. Brazi A and Sekkeres MA. Myelodiaplasias syndrome: A Practical Approach to
diagnosis and treatment. Cleveland Clinical Journal Of Medicine; 2010. 77(1): 37-44.
11. Neukirchen J, Schoonena WM, Strupp C, Gattermann N, Aul C, Haas R, dkk.
Incidence and prevalence of myelodysplastic syndromes: Data from the Düsseldorf
MDS-registry. Leukemia Research. 2011; 35(12): 1591-6.
12. Fenaux P, Haase D, Sanz GF,Santini V, Buske C. Myelodysplastic syndromes: ESMO
Clinical Practice Guidelines for diagnosis, treatment and follow-up. Annals of
Oncology; 2014:25(3):1-13.
13. Greenberg PL, Tuechler H, Schanz J, et al. Revised international prognostic scoring
system for myelodysplastic syndromes. Blood. 2012;120(12):2454–65.
14. Arber DA, Orazi A, Hasserjian R, Thiele J, Borowitz MJ, Le Beau MM, et al. The
2016 revision to the World Health Organization classification of myeloid neoplasms
and acute leukemia. Blood. 2016 May 19;127(20):2391-405.
15. Shead DA, Hanisch LJ, Clarke R, Corrigan A. Myelodysplastic syndromes (MDS).
Washington: National Comprehensive Cancer Network; 2018. P. 7-60.
16. Madanat YF, Sekeres MA. Myelodysplastic syndromes (MDS). Department of
Hematology and Medical Oncology, Cleveland Clinic, Cleveland, OH, USA: Springer
Nature; Januari 2019. P. 333-40.

Anda mungkin juga menyukai