Anda di halaman 1dari 16

systemic lupus erythematosus (sle)

Apa itu penyakit systemic lupus erythematosus?

Systemic Lupus Erythematosus atau biasa disingkat SLE adalah salah satu jenis penyakit lupus yang
paling banyak terjadi di dunia.
SLE menyebabkan peradangan di hampir seluruh organ tubuh, seperti sendi, kulit, paru-paru,
jantung, pembuluh darah, ginjal, sistem saraf, dan sel-sel darah.
Kebanyakan orang pengidap lupus jenis dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa kendala dengan
melakukan pengobatan yang rutin.

Seberapa umumkah penyakit ini?

SLE adalah jenis penyakit lupus yang paling banyak jumlah kasusnya. Penyakit ini bisa dialami oleh
siapa saja tanpa membedakan jenis kelamin dan usia. Pria, wanita, tua atau muda sama-sama bisa
mengidap lupus.
Meski begitu, berbagai penelitian menyebutkan bahwa wanita cenderung lebih mungkin terkena SLE
dibanding pria.

Tanda-tanda & gejala

Apa saja tanda dan gejala systemic lupus erythematosus (SLE)?

Pada dasarnya setiap orang bisa saja mengalami gejala penyakit lupus yang berbeda-beda
tergantung usia, keparahan penyakit, riwayat medis, serta kondisi tubuh masing-masing.
Gejala penyakit lupus juga biasanya dapat berubah-ubah setiap waktu.
Namun, ada beberapa tanda dan gejala khas dari penyakit lupus yang mungkin bisa Anda amati dan
waspadai. Beberapa tanda dan gejala khas SLE adalah:

 Lemas, lesu, dan tidak bertenaga


 Nyeri sendi dan bengkak atau kekakuan, biasanya di tangan, pergelangan tangan dan lutut
 Memiliki bintil merah pada bagian tubuh yang sering terkena matahari, seperti wajah (pipi dan
hidung)
 Fenomena Raynaud membuat jari berubah warna dan menjadi terasa sakit ketika terkena dingin
 Sakit kepala
 Rambut rontok
 Pleurisy (radang selaput paru-paru), yang dapat membuat bernapas terasa menyakitkan, disertai
sesak napas
 Bila ginjal terkena dapat menyebabkan tekanan darah tinggi dan gagal ginjal

Gejala SLE yang disebutkan di atas mungkin terlihat mirip dengan gejala penyakit lain. Oleh karena
itu, bila Anda memiliki kekhawatiran akan sebuah gejala tertentu, konsultasikanlah dengan dokter
Anda. Dokter mungkin akan menyarankan Anda untuk melakukan serangkaian tes guna memastikan
diagnosis yang akurat.

Penyebab

Apa penyebab systemic lupus erythematosus (SLE)?


Sampai sekarang penyebab SLE masih belum diketahui. Namun, para ahli menduga bahwa faktor
keturunan dan lingkungan dapat meningkatkan risiko terjadinya SLE.
Orang yang sering terkena sinar matahari, tinggal di lingkungan yang terkontaminasi oleh virus, atau
sering stres lebih mungkin untuk terkena penyakit ini. Jenis kelamin dan hormon juga diduga ikut
andil dalam risiko SLE.
SLE adalah salah satu penyakit yang cenderung lebih mungkin dialami wanita ketimbang pria. Dokter
percaya bahwa perbedaan risiko ini didasari oleh perubahan hormon estrogen yang lebih mungkin
terjadi pada tubuh wanita.
Itu kenapa gejala lupus pada wanita juga lebih mungkin memburuk selama kehamilan dan
menstruasi. Namun, dibutuhkan banyak penelitian untuk membuktikan teori ini.

Faktor-faktor risiko

Siapa yang berisiko terkena penyakit systemic lupus erythematosus (SLE)?

Faktor-faktor yang meningkatkan risiko Anda terkena penyakit SLE adalah:

 Jenis kelamin. Lupus cenderung lebih sering terjadi pada wanita


 Sering berjemur atau terpapar sinar matahari dalam waktu yang lama
 Memiliki riwayat penyakit autoimun
 Minum obat-obatan tertentu. Lupus dapat dipicu oleh beberapa jenis obat anti-kejang, obat tekanan
darah, dan antibiotik. Penyakit lupus yang terjadi akibat efek samping obat biasanya akan hilang
ketika berhenti minum obat.
 SLE paling sering didiagnosis antara usia 15-40 tahun

Tidak memiliki faktor risiko tidak berarti Anda terbebas dari penyakit ini. Faktor-faktor ini hanya
untuk referensi saja. Anda harus berkonsultasi dengan dokter untuk lebih jelasnya.

Bagaimana cara menginvestigasi dan mendiagnosis Lupus Erythematosus Sistemik?


Bila ruam yang tidak teridentifikasi atau nyeri persisten (terutama di persendian) atau kelelahan
terjadi, Anda harus berkonsultasi dengan dokter.
Pemeriksaan berikut dapat membantu mendiagnosa jika Anda menderita lupus eritematosus
sistemik:
 Hitung Darah Lengkap (CBC): Untuk memeriksa hemoglobin, sel darah putih dan platelet. Tingkat
hemoglobin dan sel darah putih pasien mungkin terlalu rendah, terutama pada saat timbulnya
penyakit.

 24 jam tes urin: Untuk mendapatkan urin 24 jam pasien, dan mengukur albumin dan kreatininnya
untuk menguji fungsi ginjal, dan mengamati sel-sel di dalam urin melalui mikroskop.
 Penilaian Fungsi Ginjal: Ini termasuk natrium, potasium, klorida, bikarbonat, karbamid dan
kreatinin, dengan karbamid dan kreatinin sebagai elemen kunci. Jika angka-angka dari kedua
berjalan tinggi, itu berarti ginjal fu n ctions yang memburuk. Jika perlu, pemeriksaan jaringan ginjal
mungkin diperlukan.
 Uji Antibodi Antinuklear (ANA): Jika hasilnya berubah positif, itu berarti sistem kekebalan tubuh
pasien sedang dirangsang. Hampir 99% pasien dengan lupus eritematosus sistemik akan
mengembangkan antibodi antinuklear, namun antibodi ini juga akan terjadi pada pasien dengan
penyakit rematik lainnya, atau pasien yang terinfeksi. Oleh karena itu, bahkan jika hasil tes antibodi
antinuklear pasien positif, dia perlu menjalani tes antibodi ekstra untuk memverifikasi diagnosisnya.
Tes tersebut mencakup antibodi anti-double-stranded (DNA anti-ds) atau antibodi anti-lipoid (aPL).
 Sinar X dada Ini untuk mengamati apakah ada pembengkakan atau cairan di paru-paru, dan
mungkin juga menunjukkan pembesaran jantung akibat cairan di dalam perikardium.
 Tingkat Protein Pelengkap: Pelengkapnya adalah protein khusus dalam darah, dan disusun dalam
jumlah. Untuk lupus, C3 atau C4 diperiksa. Bila keadaan penyakit pasien aktif, protein pelengkap
akan menurun.
Menurut pedoman American College of Rheumatology, seorang pasien yang telah mengalami
setidaknya 4 dari 11 gejala berikut, secara bersamaan atau terpisah, dia didiagnosis menderita lupus
eritematosus sistemik.
1. Ruam malar
2. Discoid Lupus Erythematosus
3. Sensitivitas foto: Reaksi yang tidak biasa pada kulit setelah berjemur
4. Ulkus lisan atau pharyngeal
5. Radang sendi
6. Serositis: Termasuk pericarditis dan pleuritis
7. Penyakit Ginjal: Jumlah albumin urin melebihi 0,5 gram atau gips seluler ditemukan dalam urin
setiap hari
8. Penyakit Neurologis: Terjadinya epilepsi atau psikosis
9. Hematologi Disorder: Termasuk hemolitik, jumlah sel darah putih rendah, atau jumlah trombosit
rendah
10. Antinuclear antibody (ANA): mengirimkan hasil positif
11. Gangguan Imunologis: Termasuk hasil positif dari Anti-dsDNA, Anti-Sm Ab atau Apl

gangguan imunodefisiensi

Pengertian HIV
HIV (human immunodeficiency virus) adalah virus yang merusak sistem kekebalan tubuh, dengan
menginfeksi dan menghancurkan sel CD4. Semakin banyak sel CD4 yang dihancurkan, kekebalan
tubuh akan semakin lemah, sehingga rentan diserang berbagai penyakit.

Infeksi HIV yang tidak segera ditangani akan berkembang menjadi kondisi serius yang disebut AIDS
(Acquired Immune Deficiency Syndrome). AIDS adalah stadium akhir dari infeksi virus HIV. Pada
tahap ini, kemampuan tubuh untuk melawan infeksi sudah hilang sepenuhnya.
Sampai saat ini belum ada obat untuk menangani HIV dan AIDS. Akan tetapi, ada obat untuk
memperlambat perkembangan penyakit tersebut, dan dapat meningkatkan harapan hidup
penderita.

Apa itu HIV dan AIDS?

HIV/AIDS merupakan hal yang berbeda tetapi saling berhubungan. Human Immunodeficiency Virus
atau biasa disingkat HIV adalah virus yang menyebabkan penyakit AIDS (Acquired Immune Deficiency
Syndrome).
HIV secara drastis dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh, sehingga memungkinkan penyakit,
bakteri, virus, dan infeksi lainnya menyerang tubuh Anda. HIV menyerang dan menghancurkan
sel CD4 yang seharusnya melawan infeksi dari sistem kekebalan tubuh. Akibatnya, tubuh jadi
kesulitan melawan infeksi dan kanker terkait HIV tertentu.
Tidak seperti virus lainnya, tubuh Anda tidak bisa menyingkirkan HIV sepenuhnya. Jika Anda
terinfeksi HIV, Anda akan memilikinya seumur hidup.
Sementara itu, AIDS adalah kondisi penyakit kronis dari infeksi virus HIV. Biasanya kondisi ini
ditandai dengan munculnya penyakit lain, seperti kanker dan berbagai infeksi yang muncul seiring
dengan melemahnya sistem kekebalan tubuh Anda.

Seberapa umumkah kondisi ini?

Menurut laporan dari UNAIDS, pada akhir 2017, ada sekitar 36,9 juta orang yang hidup dengan HIV
dan sekitar 940.000 orang meninggal akibat AIDS. Namun, hanya sekitar 75% dari penderita yang
menyadari bahwa mereka mengidap HIV/AIDS.

Ini karena HIV merupakan virus yang menyerang tanpa menunjukkan gejala apa pun di awal
kemunculannya. Kalaupun ada, gejalanya sangat samar sehingga cenderung sulit dikenali.

HIV dan AIDS di Indonesia


Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI, selama tahun 2016 terdapat lebih dari 40 ribu kasus
infeksi HIV di Indonesia. Dari jumlah tersebut, HIV paling sering terjadi pada heteroseksual, diikuti
lelaki seks lelaki (LSL), dan pengguna NAPZA suntik (penasun). Di tahun yang sama, lebih dari 7000
orang menderita AIDS, dengan jumlah kematian lebih dari 800 orang.
Data terakhir Kemenkes RI menunjukkan, pada rentang Januari hingga Maret 2017 saja sudah
tercatat lebih dari 10.000 laporan infeksi HIV, dan tidak kurang dari 650 kasus AIDS di Indonesia.

Tipe HIV
Virus HIV terbagi menjadi 2 tipe utama, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing tipe terbagi lagi
menjadi beberapa subtipe. Pada banyak kasus, infeksi HIV disebabkan oleh HIV-1, 90% di antaranya
adalah HIV-1 subtipe M. Sedangkan HIV-2 diketahui hanya menyerang sebagian kecil individu,
terutama di Afrika Barat.
Infeksi HIV dapat disebabkan oleh lebih dari 1 subtipe virus, terutama bila seseorang tertular lebih
dari 1 orang. Kondisi ini disebut dengan superinfeksi. Meski kondisi ini hanya terjadi kurang dari 4%
penderita HIV, risiko superinfeksi cukup tinggi pada 3 tahun pertama setelah terinfeksi.

Apa saja gejala HIV dan AIDS?

Meskipun orang yang memiliki HIV tidak menunjukkan gejala apa pun, Anda masih dapat
menularkan virus n ke orang lain. Hal ini akibat HIV dapat memakan waktu 2-15 tahun sampai bisa
memunculkan gejala.

Oleh sebab itu, Anda mungkin saja memiliki HIV dan masih terlihat sehat, juga bisa berkegiatan
secara normal layaknya orang sehat lainnya. Biasanya, Anda tidak tahu dengan pasti Anda memiliki
HIV atau tidak sampai melakukan pemeriksaan.

HIV tidak akan langsung merusak organ tubuh Anda. Akan tetapi, penyakit ini akan
menyerang sistem kekebalan tubuh sehingga bisa mengakibatkan berbagai penyakit lainnya,
terutama infeksi.

Gejala pertama dari HIV mirip dengan infeksi virus lainnya, yaitu:

 Demam
 Sakit kepala
 Kelelahan
 Nyeri otot
 Kehilangan berat badan
 Pembengkakan kelenjar getah bening di tenggorokan, ketiak, atau pangkal paha

Jika HIV dibiarkan, kondisi ini bisa mengarah pada AIDS dengan gejala yang lebih parah

Apa saja gejala HIV dan AIDS?

Meskipun orang yang memiliki HIV tidak menunjukkan gejala apa pun, Anda masih dapat
menularkan virus n ke orang lain. Hal ini akibat HIV dapat memakan waktu 2-15 tahun sampai bisa
memunculkan gejala.

Oleh sebab itu, Anda mungkin saja memiliki HIV dan masih terlihat sehat, juga bisa berkegiatan
secara normal layaknya orang sehat lainnya. Biasanya, Anda tidak tahu dengan pasti Anda memiliki
HIV atau tidak sampai melakukan pemeriksaan.

HIV tidak akan langsung merusak organ tubuh Anda. Akan tetapi, penyakit ini akan
menyerang sistem kekebalan tubuh sehingga bisa mengakibatkan berbagai penyakit lainnya,
terutama infeksi.

Gejala pertama dari HIV mirip dengan infeksi virus lainnya, yaitu:

 Demam
 Sakit kepala
 Kelelahan
 Nyeri otot
 Kehilangan berat badan
 Pembengkakan kelenjar getah bening di tenggorokan, ketiak, atau pangkal paha

Jika HIV dibiarkan, kondisi ini bisa mengarah pada AIDS dengan gejala yang lebih parah

Beberapa orang mendapatkan gejala HIV seperti flu dalam waktu satu bulan setelah terinfeksi.
Gejala ini biasanya hilang dalam seminggu sampai satu bulan. Seseorang dapat memiliki penyakit
HIV selama bertahun-tahun sebelum merasa sakit dan tampak seperti orang sehat pada umumnya,
tanpa menujukkan gejala HIV yang terlalu jelas.

Selama penyakit berlangsung, orang bisa mengalami infeksi jamur di lidah dan pada perempuan bisa
dengan mudah terkena infeksi jamur vagina berat atau penyakit radang panggul. Herpes
zoster sering terlihat sejak awal, sering sebelum seseorang didiagnosis dengan penyakit HIV.

Tanda-tanda bahwa penyakit HIV berubah menjadi AIDS meliputi:

 Demam yang tidak kunjung sembuh.


 Keringat malam.
 Merasa lelah sepanjang waktu (bukan dari stres atau kurang tidur).
 Merasa sakit sepanjang waktu.
 Kehilangan berat badan drastis.
 Pembengkakan kelenjar getah bening yang seperti benjolan bulat di leher, pangkal paha,
atau ketiak).
 Sariawan yang tidak kunjung sembuh.
Hiperswnsivititas
Jika sistem kekebalan tubuh menimbulkan berbagai macam reaksi yang tidak diinginkan atau
hipersensitivitas, Anda harus waspada karena bisa merusak tubuh bahkan berakibat fatal.
Terutama jika tidak ditangani atau dialami berulang kali.
Sejatinya, fungsi sistem kekebalan tubuh adalah untuk melindungi tubuh dari penyakit dan unsur-
unsur yang berpotensi berbahaya untuk tubuh. Namun ada juga kondisi di mana sistem kekebalan
tubuh keliru atau bereaksi berlebihan sehingga menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Kondisi ini
yang disebut hipersensitivitas. Reaksi yang tidak dikehendaki tersebut bisa saja merusak tubuh,
membuat tak nyaman, bahkan berakibat fatal. Hipersensitivitas meliputi alergi ringan, anafilaksis,
hingga penyakit autoimun
Saat hipersensitivitas terjadi, tubuh pertama akan terpapar unsur penyebab reaksi tersebut, atau
yang dikenal dengan istilah antigen. Setelah terjadi kontak antara tubuh dan antigen, sistem
kekebalan tubuh kemudian bereaksi terhadap antigen tersebut, namun secara berlebihan.
Jenis-jenis Reaksi Hipersensitivitas
Secara umum hipersensitivitas dibagi menjadi empat tipe, yaitu:

 Reaksi hipersensitivitas tipe 1

Tipe ini sama dengan alergi dan biasa disebut reaksi hipersensitivitas tipe cepat. Reaksi
hipersensitivitas tipe 1 melibatkan sejenis antibodi yang disebut imunoglobulin E (IgE). Senyawa IgE
tersebut akan melepaskan histamin yang kemudian bisa memicu reaksi alergi ringan hingga berat,
seperti anafilaksis. Disebut reaksi hipersensitivitas ‘cepat’ karena respons yang terjadi dari
hipersensitivitas tipe 1 ini terjadi dalam waktu kurang dari satu jam setelah terpapar antigen.
Beberapa reaksi yang timbul akan tergantung sistem organ mana yang terpengaruh. Beberapa
gangguan yang termasuk hipersensitivitas tipe ini adalah::

 Urtikaria atau biduran, yaitu ruam gatal pada kulit


 Rhinitis atau reaksi alergi pada saluran pernapasan yang menyebabkan bersin, hidung
tersumbat atau berair, dan gatal.
 Asma, di mana terjadi penyempitan saluran napas, produksi lendir, dan peradangan saluran
pernapasan, sehingga mengakibatkan sesak napas.
 Anafilaksis adalah reaksi alergi yang berdampak pada seluruh tubuh dan dapat
menyebabkan kematian. Reaksi anafilaksis bisa meliputi kesulitan bernapas, tekanan darah
menurun drastis (syok), dan tenggorokan serta wajah membengkak sehingga dapat
berakibat fatal. Jika terjadi, penderita perlu segera mendapat pertolongan medis.

 Reaksi hipersensitivitas tipe 2

Tipe kedua dari reaksi hipersensitivitas biasa disebut reaksi hipersensitivitas sitotoksik, di mana sel
tubuh yang normal secara keliru dimusnahkan oleh sistem kekebalan tubuh sendiri. Reaksi ini
melibatkan antibodi imunoglobulin G (IgG) atau imunoglobulin M (IgM).
Contoh dari reaksi hipersensitivitas jenis ini adalah anemia hemolitik autoimun, penolakan
transplantasi organ, dan penyakit Hashimoto .

 Reaksi hipersensitivitas tipe 3

Reaksi hipersensitivitas jenis ini disebut juga penyakit kompleks imun. Yaitu ketika antibodi dan
antigen, atau unsur penyebab produksi antibodi, akan bergabung menjadi suatu komponen dan
beredar dalam darah atau jaringan tubuh. Kombinasi antara antibodi dan antigen inilah yang disebut
kompleks imun.
Kompleks imun kemudian memicu respons peradangan tubuh dan bisa terdeposit pada pembuluh
darah di berbagai organ. Jika tertanam pada ginjal, dapat menyebabkan glomerulonefritis atau
peradangan ginjal. Reaksi hipersensitivitas tipe 3 umumnya muncul 4-10 hari setelah tubuh terpajan
antigen.
Contoh penyakit yang terjadi karena reaksi hipersensitivitas tipe 3 antara lain lupus dan rheumatoid
arthritis.

 Reaksi hipersensitivitas tipe 4

Reaksi hipersensitivitas tipe 4 disebut sebagai reaksi hipersensitivitas tipe lambat, karena reaksinya
relatif lebih lama dibanding dengan reaksi hipersensitivitas tipe lain. Berbeda dengan tipe
hipersensitivitas lainnya yang mana antibodi berperan utama, dalam tipe ini, sejenis sel darah putih
yang disebut sel T berperan dalam menyebabkan reaksi alergi dan gejala-gejala yang ada.
Contoh hipersensitivitas tipe 4 adalah dermatitis kontak dan berbagai bentuk reaksi hipersensitivitas
akibat obat-obatan.
Melihat banyaknya reaksi hipersensitivitas yang bisa terjadi, maka penanganan yang dibutuhkan pun
tergantung pada jenis reaksi yang diderita. Penanganan pada asma tentu berbeda dengan
penanganan pada biduran, atau pada reaksi hipersensitivitas jenis yang lain. Untuk itu, konsultasikan
kepada dokter agar bisa mendapatkan penanganan dan pengobatan yang tepat. Jika diperlukan,
dokter mungkin akan melakukan tes alergi untuk mengidentifikasi faktor pemicu reaksi
hipersensitivitas Anda, sehingga dapat dihindari

A. DEFINISI

Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh


seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang
umumnya non imunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap
lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan
yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut alergen. Reaksi alergi terjadi ketika
tubuh salah mengartikan zat yang masuk sebagai zat yang berbahaya. Sejalan dengan definisi
ini, alergi makanan merupakan reaksi sistem kekebalan yang terjadi segera setelah
mengonsumsi makanan tertentu. Bahkan sejumlah kecil makanan penyebab alergi dapat
memicu tanda dan gejala seperti masalah pencernaan, gatal-gatal atau bengkak saluran
udara. Pada beberapa orang, alergi makanan dapat menyebabkan gejala parah atau bahkan
reaksi yang mengancam nyawa yang dikenal sebagai anafilaksis. Kadang, alergi makanan
disalah artikan dengan kondisi yang lebih umum terjadi, yaitu intoleransi terhadap makanan.
Intoleransi terhadap makanan kondisinya lebih ringan dari alergi karena tidak melibatkan
sistem kekebalan tubuh.

B. MEKANISME ALERGI

Seseorang dapat terpajan alergen dengan menghirup, menelan, atau mendapatkan


pada atau di bawah kulit. Setelah seseorang terkena alergi, serangkaian kegiatan menciptakan
reaksi alergi. Reaksi imunologis tubuh mempengaruhi timbulnya alergi terhadap makanan.
Reaksi ini melibatkan imunoglobulin, yaitu protein yang membantu dalam respon kekebalan
tubuh, tepatnya Imonuglobulin E (IgE) yang membentuk respon imun tubuh. Respon imun
yang muncul dalam reaksi alergi melalui dua tahap, yaitu tahap sensitisasi alergen dan tahap
elisitasi.
1. Tahap Sensitisasi
Tahap sensitisasi muncul ketika tubuh memproduksi antibodi IgE yang spesifik. Tahap
sensitisasi ini juga disebut dengan tahap induksi, merupakan kontak pertama dengan alergen
(yaitu ketika mengkonsumsi makanan penyebab alergi).

2. Tahap Elisitasi
Fase elisitasi terjadi jika terdapat pajanan ulang. Ketika terpajan dengan makanan
(penyebab alergi) yang sama, protein akan mengikat molekul di sel mediator (sel basofil dan
sel mast). Tahap elisitasi ini menyebabkan tubuh mengeluarkan molekul yang menyebabkan
inflamasi (seperti leukotrien dan histamin). Efek yang timbul serta keparahan alergi
dipengaruhi oleh konsentrasi dan tipe alergen, rute pajanan, dan sistem organ yang terlibat
(misalnya kulit, saluran cerna, saluran pernapasan, dan darah).
Antibodi melampirkan ke bentuk sel darah yang disebut sel mast. sel Mast dapat
ditemukan di saluran udara, di usus, dan di tempat lain. Kehadiran sel mast dalam saluran
udara dan saluran pencernaan membuat daerah ini lebih rentan terhadap paparan alergen.
Mengikat alergen ke IgE, yang melekat pada sel mast. Hal ini menyebabkan sel mast untuk
melepaskan berbagai bahan kimia ke dalam darah. Histamin, senyawa kimia utama,
menyebabkan sebagian besar gejala reaksi alergi.

Skema mekanisme alergi (fda.gov)

C. TANDA DAN GEJALA ALERGI

Gejala alergi dapat mulai dari yang ringan hingga yang berat. Gejala alergi yang ringan
dapat berupa bersin – bersin, hidung meler, gatal – gatal baik bersifat lokal atau seluruh tubuh,
hidung mampet dan gejala alergi lainnya. Gejala alergi dapat dapat terlihat pada kulit, mata,
hidung, paru-paru dan perut, tergantung pada jenis alerginya. Gejala-gejala alergi bisa mulai dari
ringan ke sangat serius adalah :
1. Hives atau welts, ruam, blisters, atau masalah kulit disebut eksim. Ini adalah yang paling
umum gejala alergi obat.
2. Batuk, wheezing, Hidung, dan kesulitan bernapas.
3. demam.
4. Kulit melepuh dan mengelupas. Masalah ini disebut racun berhubung dgn kulit necrolysis, dan
dapat membawa maut jika tidak dirawat.
5. Anaphylaxis, yang merupakan reaksi paling berbahaya. Dapat membawa maut, dan Anda akan
memerlukan perawatan darurat. Gejala, seperti hives dan kesulitan bernapas, biasanya
muncul dalam waktu 1 jam setelah minum obat, reaksi cepat tanpa perawatan, Anda dapat
masuk ke shock.
Gambaran lain yang menandakan adanya alergi adalah :
1. Adanya penonjolan kemerahan, seperti orang terkena cacar
2. Adanya biduran
3. Adanya kemerahan pada kulit yang disertai dengan sisik kulit.
4. Adanya perdarahan dalam kulit, seperti kemerahan pada penderita demam berdarah
dengue.
5. Adanya radang pada pembulih darah (vaskulitis)
6. Adanya rekasi kemerahan karena kontak dengan sinar matahari
7. Adanya penonjolan bernanah seperti jerawat.
8. Kelainan lain gawat darurat, seperti kulit seperti terbakar yang dalam klinik disebut nekrolisis
epidermal toksik.
Gejala alergi yang berbahaya meliputi rekasi anafilaksis. Reaksi alergi yang sangat
berbahaya adalah gejala anafilaksis, gejalanya dapat berupa shock berupa tekanan darah secara
tiba – tiba dan cepat sehingga membahayakan nyawa si penderita, kepala pusing dan sang
penderita terlihat sangat cemas sehingga perlu penanganan yang cepat dan harus segera di bawa
ke klinik atau RS. Gejala alergi anafilaksis paling sering terjadi pada gigitan serangga dan alergi
obat tertentu namun reaksi anafilaksis akibat minum obat tersangat jarang terjadi.
Kerasnya reaksi alergi, gejala dapat sangat bervariasi. Gejala ringan mungkin tidak begitu
terlihat, hanya membuat tubuh merasa sedikit sakit. Gejala sedang dapat membuat tubuh
merasa sakit, seolah-olah mendapat flu atau bahkan dingin.sedangkan gejala parah dari reaksi
alergi akan menimbulkan rasa yang sangat tidak nyaman, bahkan melumpuhkan. Kebanyakan
gejala reaksi alergi menghilang tak lama setelah berhenti eksposur. Reaksi alergi yang paling
parah disebut anafilaksis. Anafilaksis dapat mengancam jiwa dan memerlukan perhatian medis
segera. Penanganan cepat sangat penting untuk anafilaksis. Jika tidak ditangani secara cepat,
anafilaksis dapat menyebabkan koma atau kematian Gejala dapat berkembang pesat. Dalam
anafilaksis, alergen menyebabkan reaksi alergi seluruh tubuh yang dapat mencakup:
1. Gatal-gatal dan gatal-gatal di seluruh (bukan hanya di daerah terbuka)
2. Mengi atau sesak napas
3. Suara serak atau sesak di tenggorokan
4. Kesemutan di tangan, kaki, bibir, atau kulit kepala
Tidak, tidak semua orang memiliki alergi. Orang-orang mewarisi kecenderungan untuk
menjadi alergi, meskipun tidak ke alergen tertentu. Bila salah satu orangtua alergi, anak mereka
memiliki kesempatan 50% memiliki alergi. risiko itu melompat hingga 75% jika kedua orang tua
memiliki alergi.

D. ETIOLOGI

Faktor yang berperan dalam alergi yaitu :


1. Faktor Internal
a. Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam lambung, enzym-
enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis (misalnya : IgA sekretorik)
memudahkan penetrasi alergen makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan
usus mentoleransi makanan tertentu. · Imaturitas usus (Ketidakmatangan Usus)
Secara mekanik integritas mukosa usus dan peristaltik merupakan pelindung masuknya
alergen ke dalam tubuh. Secara kimiawi asam lambung dan enzim pencernaan
menyebabkan denaturasi allergen. Secara imunologik sIgA pada permukaan mukosa
dan limfosit pada lamina propia dapat menangkal allergen masuk ke dalam tubuh. Pada
usus imatur system pertahanan tubuh tersebut masih lemah dan gagal berfungsi,
sehingga memudahkan alergen masuk ke dalam tubuh.
b. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin sampai
masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma kehidupan
setempat. Alergi dapat diturunkan dari orang tua atau kakek/nenek pada penderita.
Bila ada orang tua, keluarga atau kakek/nenek yang menederita alergi kita harus
mewaspadai tanda alergi pada anak sejak dini. Bila ada salah satu orang tua yang
menderita gejala alergi, maka dapat menurunkan resiko pada anak sekitar 17 – 40%,
Bila ke dua orang tua alergi maka resiko pada anak meningkat menjadi 53 – 70%.
c. Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan alergen
bertambah.

2. Fakor Eksternal
a. Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress) atau beban
latihan (lari, olah raga).
b. Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut prevalensinya: ikan 15,4%;
telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3% dll.
c. Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat menimbulkan reaksi
alergi.

3. Faktor Risiko
a. Riwayat keluarga. Terdapat potensi menderita alergi makanan, jika banyak keluarga yang
mengalami gangguan ini.
b. Alergi makanan masa lalu. Pada masaanak-anak mungkin seseorang dapat mengatasi
gangguan alergi makanan, namun dalam beberapa kasus, gangguan ini kembali di
kemudian hari.
c. Alergi lain. Jika sudah alergi terhadap satu makanan, mungkin mempunyai risiko alergi
terhadap makanan lainnya. Demikian juga, jika memiliki jenis reaksi alergi yang lain,seperti
demam atau eksim, risiko mengalami alergi makanan lebih besar.
d. Usia. Alergi makanan yang palingumum terjadi pada anak-anak, terutama balita dan bayi.
Ketika bertambah tua, tubuh cenderung untuk menyerap komponen makanan atau
makanan yang memicu alergi. Untungnya, anak-anak biasanya dapat mengatasi alergi
terhadap susu, gandum kedelai, dan telur. Alergi parah dan alergi terhadap kacang-
kacangan dan kerang mungkin dapat diderita seumur hidup.
e. Asma. Asma dan alergi makanan biasanya terjadi bersama-sama. Ketika terjadi, baik alergi
makanan dan atau gejala asma, bisa menjadi lebih parah

G. PATOFISIOLOGI
Saat pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh seseorang yang
mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika untuk kedua
kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah tampak gejala-gejala
timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tanda-tanda itu muncul maka antigen akan
mengenali alergen yang masuk yang akan memicu aktifnya sel T, dimana sel T tersebut yang akan
merangsang sel B untuk mengaktifkan antibodi (Ig E). Proses ini mengakibatkan melekatnya
antibodi pada sel mast yang dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang mengalami paparan untuk
kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal yaitu,:

1. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek terhadap berbagai
sel terutama dalam menarik sel – sel radang misalnya netrofil dan eosinofil, sehingga
menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan panas.
2. Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang merangsang sel mast
kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang banyak, kemudian histamin tersebut
beredar di dalam tubuh melalui pembuluh darah. Saat mereka mencapai kulit, alergen akan
menyebabkan terjadinya gatal, prutitus, angioderma, urtikaria, kemerahan pada kulit dan
dermatitis. Pada saat mereka mencapai paru paru, alergen dapat mencetuskan terjadinya
asma. Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal dengan nama anafilaktik syok. Gejala ini
ditandai dengan tekanan darah yang menurun, kesadaran menurun, dan bila tidak ditangani
segera dapat menyebabkan kematian

H. KLASIFIKASI ALERGI

1. Hipersensitifitas tipe I
Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau anafilaktik.
Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan
saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang beragam, mulai dari
ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah
terpapar antigen, namun terkadang juga dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12
jam. Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama
pada reaksi ini adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping
darah, neutrofil, dan eosinofil.
Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I adalah
tes kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total dan antibodi IgE
spesifik untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi) yang dicurigai.
Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu penanda terjadinya alergi akibat hipersensitivitas
pada bagian yang tidak terpapar langsung oleh alergen). Namun, peningkatan IgE juga dapat
dikarenakan beberapa penyakit non-atopik seperti infeksi cacing, mieloma, dll. Pengobatan
yang dapat ditempuh untuk mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah menggunakan anti-
histamin untuk memblokir reseptor histamin, penggunaan Imunoglobulin G (IgG),
hyposensitization (imunoterapi atau desensitization) untuk beberapa alergi tertentu.

2. Hipersensitifitas tipe II
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG) dan
imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler.
Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang langsung berhubungan
dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen
permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target sel.
Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang
berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan.
Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II adalah:
a. Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal),
b. Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat menempel
pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk produksi antibodi
kemudian berikatan dengan permukaan sel darah merah dan menyebabkan lisis sel darah
merah), dan
c. Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus sehingga
menyebabkan kerusakan ginjal).

3. Hipersensitifitas tipe III


Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal ini
disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut di dalam
jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada kondisi normal,
kompleks antigen-antibodi yang diproduksi dalam jumlah besar dan seimbang akan
dibersihkan dengan adanya fagosit. Namun, kadang-kadang, kehadiran bakteri, virus,
lingkungan, atau antigen (spora fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang persisten akan
membuat tubuh secara otomatis memproduksi antibodi terhadap senyawa asing tersebut
sehingga terjadi pengendapan kompleks antigen-antibodi secara terus-menerus. Hal ini juga
terjadi pada penderita penyakit autoimun. Pengendapan kompleks antigen-antibodi tersebut
akan menyebar pada membran sekresi aktif dan di dalam saluran kecil sehingga dapat
memengaruhi beberapa organ, seperti kulit, ginjal, paru-paru, sendi, atau dalam bagian koroid
pleksus otak.
Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun karena
kelebihan antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi. Kelebihan antigen kronis
akan menimbulkan sakit serum (serum sickness) yang dapat memicu terjadinya artritis atau
glomerulonefritis. Kompleks imun karena kelebihan antibodi disebut juga sebagai reaksi
Arthus, diakibatkan oleh paparan antigen dalam dosis rendah yang terjadi dalam waktu lama
sehingga menginduksi timbulnya kompleks dan kelebihan antibodi. Beberapa contoh sakit
yang diakibatkan reaksi Arthus adalah spora Aspergillus clavatus dan A. fumigatus yang
menimbulkan sakit pada paru-paru pekerja lahan gandum (malt) dan spora Penicillium casei
pada paru-paru pembuat keju.

4. Hipersensitifitas tipe IV
Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel atau
tipe lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan oleh sel T
dan makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi dan diferensiasi
sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan leukosit lain pada daerah
yang terkena paparan. Beberapa contoh umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah
hipersensitivitas pneumonitis, hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat kronis (delayed type hipersensitivity, DTH).
Hipersensitivitas tipe IV dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori berdasarkan
waktu awal timbulnya gejala, serta penampakan klinis dan histologis. Ketiga kategori tersebut
dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Waktu Penampakan
Tipe Histologi Antigen dan situs
reaksi klinis
Epidermal (senyawa
Limfosit, diikuti
48-72 organik, jelatang atau po
Kontak Eksim (ekzema) makrofag; edema
jam ison ivy, logam berat ,
epidermidis
dll.)
48-72 Pengerasan Limfosit, monosit, Intraderma (tuberkulin,
Tuberkulin
jam (indurasi) lokal makrofag lepromin, dll.)
Antigen persisten atau
Makrofag, epitheloid senyawa asing dalam
21-28
Granuloma Pengerasan dan sel raksaksa, tubuh
hari
fibrosis (tuberkulosis, kusta,
etc.)

Mekanisme Berbagai Gangguan Yang Diperantarai Secara Imunologis


Tipe Mekanisme Imun Gangguan Prototipe
1 Tipe Anafilaksis Alergen mengikat silang antibody Anafilaksis, beberapa
IgE  pelepasan amino vasoaktif bentuk asma bronchial
dan mediatorlain dari basofil dan
sel mast rektumen sel radang lain
2 Antibodi IgG atau IgM berikatan dengan Anemia hemolitik
terhadap antigen pada permukaan autoimun,
antigen jaringan sel fagositosis sel target atau eritroblastosis fetalis,
tertentu lisis sel target oleh komplemen atau penyakit Goodpasture,
sitotosisitas yang diperantarai oleh pemfigus vulgaris
sel yang bergantung antibody
3 Penyakit Kompleks antigen- Reahsi Arthua, serum
Kompleks Imun antibodi mengaktifkan  sickness, lupus
komplemen menarik perhatian eritematosus sistemik,
nenutrofil menjadikan pelepasan bentuk tertentu
enzim lisosom, radikal bebas glumerulonefritis akut
oksigen, dll
4 Hipersensivitas Limfisit T tersensitisasi pelepasan Tuberkulosis, dermatitis
Selular (Lambat) sitokin dan sitotoksisitas yang kontak, penolakan
diperantarai oleh sel T transplant
Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Pemberian
antigen protein atau obat (misalnya, penisilin) secara sistemik (parental) menimbulkan
anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi
akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritems kulit,diikuti oleh
kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan
hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan
obstruksi saluran pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat
terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi
segera,dapatterjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik ), dan penderita dapat mengalami
kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai
jalur pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal
(ingesti,menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).
Reaksi tipe II umumnya berupa kelainan darah, seperti anemia hemolitik,
trombositopenia, eosinofilia dan granulositopenia.
Manifestasi klinik hipersensivitas tipe III dapat berupa:
1. Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme dan lain-lain. gejala sering
disertai pruritis
2. Demam
3. Kelainan sendi, artralgia dan efusi sendi
4. Limfadenopati
5. Kejang perut, mual
6. Neuritis optic
7. Glomerulonefritis
8. Sindrom lupus eritematosus sistemik
9. Gejala vaskulitis lain

Manifestasi klinis hipersensitivitas tipe IV, dapat berupa reaksi paru akut seperti
demam, sesak, batuk dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu
nitrofuratonin, nefritis intestisial, ensafalomielitis. hepatitis juga dapat merupakan
manifestasi reaksi obat. Adapun Gejala klinis umumnya :

1. Pada saluran pernafasan : asma


2. Pada saluran cerna: mual,muntah,diare,nyeri perut
3. Pada kulit: urtikaria. angioderma,dermatitis,pruritus,gatal,demam,gatal
4. Pada mulut: rasa gatal dan pembengkakan bibir

I. PEMERIKSAAN FISIK

1. Inspeksi: apakah ada kemerahan, bentol-bentol dan terdapat gejala adanya


urtikaria,angioderma,pruritus dan pembengkakan pada bibir

2. Palpasi: ada nyeri tekan pada kemerahan


3. Perkusi: mengetahui apakah diperut terdapat udara atau cairan

4. Auskultasi: mendengarkan suara napas, bunyi jantung, bunyi usus( karena pada oarng yang
menderita alergi bunyi usunya cencerung lebih meningkat)

J. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Uji kulit: sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti tungau,
kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan seperti susu,
telur, kacang, ikan).
2. Darah tepi: bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml
disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
3. IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun. Kadar IgE
lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, atau
mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler.
4. Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.
5. Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif.
6. Biopsi usus: sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalenge didapatkan
inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM. IgE ( dengan
mikroskop imunofluoresen ).
7. Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.
8. Diit coba buta ganda ( Double blind food chalenge ) untuk diagnosa pasti

H. DIAGNOSTIK

1. Gangguan saluran cerna dengan diare dan atau mual muntah, misalnya : stenosis pilorik,
Hirschsprung, defisiensi enzim, galaktosemia, keganasan dengan obstruksi, cystic fibrosis,
peptic disease dan sebagainya.
2. Reaksi karena kontaminan dan bahan-bahan aditif, misalnya : bahan pewarna dan pengawet,
sodium metabisulfite, monosodium glutamate, nitrit, tartrazine, toksin, fungi (aflatoxin), fish
related (scombroid, ciguatera), bakteri (Salmonella, Escherichia coli, Shigella), virus (rotavirus,
enterovirus), parasit (Giardia, Akis simplex), logam berat, pestisida, kafein, glycosidal alkaloid
solanine, histamin (pada ikan), serotonin (pisang, tomat), triptamin (tomat), tiramin (keju) dan
sebagainya.
3. Reaksi psikologi

I. TERAPI
Penanganan gangguan alergi berlandaskan pada empat dasar:

1. Menghindari allergen
2. Terapi farmakologis
a. Adrenergik
Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin ( epinefrin, isoetarin,
isoproterenol, bitolterol ) dan nonkatelomin ( efedrin, albuterol, metaproterenol,
salmeterol, terbutalin, pributerol, prokaterol dan fenoterol ). Inhalasi dosis tunggal
salmeterol dapat menimbulkan bronkodilatasi sedikitnya selam 12 jam, menghambat
reaksi fase cepat maupun lambat terhadap alergen inhalen, dan menghambat
hiperesponsivitas bronkial akibat alergen selama 34 jam.
b. Antihistamin
Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada reseptor
di berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan sebagai antagonis kompetitif mereka
lebih efektif dalam mencegah daripada melawan kerja histamine.
c. Kromolin Sodium
Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan. Zat ini
merupakan analog kimia obat khellin yang mempunyai sifat merelaksasikan otot polos.
Obat ini tidak mempunyai sifat bronkodilator karenanya obat ini tidak efektif unutk
pengobatan asma akut. Kromolin paling bermanfaat pada asma alergika atau ekstrinsik.
d. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan alergi.
Beberapa pengaruh prednison nyata dalam 2 jam sesudah pemberian peroral atau
intravena yaitu penurunan eosinofil serta limfosit prrimer. Steroid topikal mempunyai
pengaruh lokal langsung yang meliputi pengurangan radang, edema, produksi mukus,
permeabilitas vaskuler, dan kadar Ig E mukosa.
3. Imunoterapi
Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang diperantarai Ig
E atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat menghambat pelepasan histamin dari
basofil pada tantangan dengan antigen E ragweed in vitro. Leukosit individu yang diobati
memerlukan pemaparan terhadap jumlah antigen E yang lebih banyak dalam upaya
melepaskan histamin dalam jumlah yang sama seperti yang mereka lepaskan sebelum
terapi. Preparat leukosit dari beberapa penderita yang diobati bereaksi seolah-olah
mereka telah terdesensitisasisecara sempurna dan tidak melepaskan histamin pada
tantangan dengan antigen E ragweed pada kadar berapapun

4. Profilaksis

Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti traneksamat, sering
kali sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema.

Anda mungkin juga menyukai