Anda di halaman 1dari 18

BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Progam pemerintah dalam Permenkes No. 28 tahun 2017 tentang
penyelenggaraan praktik kebidanan memang memperbolehkan bidan dalam
menangani bayi dan balita sakit sesuai dengan pedoman MTBM dan MTBS, tetapi
dalam hal pemberian obat terhadap bayi dan balita sakit bidan tidak memiliki
wewenang dan tidak memiliki kompetensi sehingga disini dapat terjadi konflik.
Ketika kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan meningkat, terutama
pelayanan bidan, tidak diimbangi oleh keahlian dan keterampilan bidan untuk
membentuk suatu mekanisme kerja pelayanan yang baik. Masih sering dijumpai
pelayanan bidan tidak sesuai dengan wewenangnya dan juga kurangnya perlindungan
hukum terhadap bidan.
Banyak ditemukan kewenangan bidan melebihi kewengannnya karena dituntut
merawat pasien yang rujuk ke puskesmas antara lain, sakit demam, malaria, batuk, flu
dan berbagai macam penyakit lainnya, bukanhanya tugas pokoknya yaitu membantu
pasien yang melahirkan. Kejadian tersebut sebagian bukan wewenang bidan dalam
melakukan praktiknya dan seharusnya dirujuk ke tingkat yang lebih tinggi untuk
memperoleh pertolongan dan sesuai dengan wewenangnya atau tanggung jawabnya.
Seperti pemberian obat pada bayi yang sakit walaupun berpedoman dengan MTBS
dan MTBM tetapi hal tersebut bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51
Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian Pasal 21 ayat (2) ang berbunyi
“Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh
Apoteker".
Tanggung Jawab Bidan Dalam Pemberian Obat Kepada Pasien Non Kebidanan
Dikaitkan Dengan MTBS Dan MTBM
Dalam Undang-Undang Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (UU Tenaga
Kesehatan. terbaru, tenaga kebidanan adalah salah satu jenis tenaga kesehatan.
Sebagai salah satu tenaga kesehatan, bidan dalam menjalankan praktik harus sesuai
dengan kewenangan yang didasarkan pada kompetensi yang dimilikinya (lihat Pasal
62 ayat (1) UU Tenaga Kesehatan). Menurut penjelasan Pasal 62 ayat (1) huruf c UU
Tenaga Kesehatan, yang dimaksud dengan "kewenangan berdasarkan kompetensi"
adalah kewenangan untuk melakukan pelayanan kesehatan secara mandiri sesuai
dengan lingkup dan tingkat kompetensinya, antara lain untuk bidan adalah ia
memiliki kewenangan untuk melakukan pelayanan kesehatan ibu, pelayanan
kesehatan anak, dan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga
berencana. Jika bidan tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 62 ayat (1) UU
Tenaga Kesehatan, ia dikenai sanksi administratif. Ketentuan sanksi ini diatur dalam
Pasal 82 ayat (1) UU Tenaga Kesehatan. Sanksi yang dikenal dalam UU Tenaga
Kesehatan adalah sanksi administratif, yakni sanksi ini dijatuhkan jika bidan yang
bersangkutan dalam menjalankan praktiknya tidak sesuai dengan kompetensi yang
dimilikinya.
Dengan kata lain, jika memang memberikan obat atau suntikan bukanlah kompetensi
yang dimilikinya, maka sanksi yang berlaku padanya adalah sanksi administratif
bukan sanksi pidana. Akan tetapi, apabila ternyata pertolongan persalinan itu
merupakan suatu kelalaian berat yang menyebabkan penerima pelayanan kesehatan
menderita luka berat, maka bidan yang bersangkutan dapat dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun. Sedangkan jika kelalaian berat itu mengakibatkan
kematian, bidan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
(lihat Pasal 84 UU Tenaga Kesehatan). Pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh
bidan atau perawat dilakukan di luar kewenangannya karena mendapat pelimpahan
wewenang. Hal ini disebut dalam Pasal 65 ayat (1) UU Tenaga Kesehatan yang
berbunyi bahwa dalam melakukan pelayanan kesehatan, Tenaga Kesehatan dapat
menerima pelimpahan tindakan medis dari tenaga medis.
Adapun yang dimaksud dengan tenaga medis dalam Pasal 11 ayat (2) UU Tenaga
Kesehatan adalah dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis.
Kemudian yang dimaksud tenaga kesehatan yang disebut dalam penjelasan pasal di
atas antara lain adalah bidan dan perawat. Selain itu, bidan yang menjalankan
program pemerintah berwenang melakukan pelayanan kesehatan meliputi pemberian
alat kontrasepsi suntikan, alat kontrasepsi dalam rahim, dan memberikan pelayanan
alat kontrasepsi bawah kulit (Pasal 13 ayat (1) huruf a Permenkes 1464/2010)10.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana persiapan pemberian obat ?
2. Apa yang dimaksud dengan terapi panas dingin ?
3. Apa saja tehnik pemberian obat ?
4. Bagaimana cara pemberian obat oral pada bayi ?
5. Bagaimana pemberian dosis obat pada bayi balita ?
6. Apa saja yang menjadi kontra indikasi pemberian obat ?

C. Tujuan
Untuk mengetahui macam – macam tehnik pemberian obat, bagaimana dosis
yang harus diberikan pada bayi balita, dan untuk mengetahui kontra indikasi dari
pemberian obat pada bayi balita.
D. Manfaat
Agar mahasiswa mampu mengetahui apa saja yang menjadi persiapan
pemberian obat, macam – macam tehnik pemberian obat, bagaimana pemberian obat
oral pada bayi, dosis yang akan diberikan, dan apa yang menjadi kontra indikasi dari
pemberia obat pada bayi balita.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PERSIAPAN PEMBERIAN OBAT
Hepar merupakan organ yang terpenting dalam metabolisme obat. Enzim
yang banyak berperan dalam proses metabolisme obat pada hepar adalah
sitokrom P450. Kerja enzim ini akan meningkat dengan pemberian obat,
antara lain turunan barbiturat.7 Dari hasil analisis resep yang diberikan pada
anak-anak yang menderita demam apapun penyebab demamnya, diberikan
selain antipiretik, juga barbiturat dalam bentuk luminal, sebagai sedatif
(15,2%). Bahkan ditemukan dalam blanko resep (1,45%) ada dua macam
racikan pulveres yang masing-masing berisi luminal dan hipnotik sedatif lain
berupa diazepam.
(sumber : HP, Ernie.2007.PEMBERIAN OBAT SECARA POLIFARMASI PADA
ANAK DAN INTERAKSI OBAT YANG DITIMBULKAN: Media limbang
kesehatan)
1. Definisi Obat
Obat adalah sediaan atau paduan bahan-bahan yang siap untuk
digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau
kedaan pathologi dalam rangka menetapkan diagnosa pencegahan,
penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi.
2. Pengelompokan obat
a. Obat yang dapat diperoleh secara bebas (tanpa resep dokter). Artinya,
bahwa masyarakat (pasien dan keluarganya) dapat membeli secara
langsung jenis-jenis obat dimaksud. Dengan atau tanpa resep dokter.
Dalam kefarmasiaan dikenal istilah obat bebas dan obat bebas
terbatas (OTC), dengan tanda atau ciri khusus sebagai berikut
Lingkaran berwarna hijau dan bergaris tepi hitam, artinya obat bebas
yang boleh dijual di semua otlet.

Lingkaran berwarna hiaju dan bergaris tepi hitam,
artinya obat bebas yang boleh dijual di semua otlet.


Lingkaran berwarna biru dan bergaris tepi hitam,
artinya obat bebas terbatas yang boleh dijual di apotik
dan toko obat berijin.


Obat yang hanya dapat di peroleh dengan resep dokter
(ethical), dengan tanda khusus lingkaran berwarna
merah dan bergaris tepi hitam dengan tulisan “K” warna
hitam di dalam lingkaran warna merah tersebut.

b. Obat yang dapat di peroleh dengan resep dokter (ethical), meliputi :


1) Daftar G atau obat keras, seperti antibiotika, anti diabetes, anti
hipertensi, dan lainnya.
2) Narkotika, seperti pethidin, codein, dan lainnya. Ganja, heroin juga
termasuk narkotika, tetapi tidak digunakan dan tidak pernah ada
dalam pelayanan kesehatan di jalur resmi, hanya di temukan pada
peredaran jalur tidak resmi atau pasar gelap.
3) Psikotropika, seperti obat penenang, obat sakit jiwa, obat tidur, dan
lainnya.
4) Obat wajib apotek yaitu obat keras yang dapat di beli dengan resep
dokter, namun dapat pula di serahkan oleh apoteker kepada pasien
di apotik tanpa resep dokter dengan jumlah tertentu, seperti anti
histamine, obat asma, pil, anti hamil, beberapa obat kulit tertentu,
dan lainnya.
B. TERAPI PANAS DINGIN
Pemberian terapi panas dan dingin dilaksanakan langsung di atas kulit
dan terdiri dari beberapa cara yaitu pemberian panas (pemberian panas basah
steril/kompres, pemberian panas kering), pemberian dingin (pemberian dingin
basah/kompres, pemberian dingin kering), rendaman (rendama tangan, kaki,
bokong, mandi rendam). Yang di maksud dengan pemberian panas adalah
memberi rasa hangat pada bagian tubuh yang memerlukan. Tujuannya adalah
agar sirkulasi darah menjadi baik, rasa sakit setempat menjadi kurang,
peristaltik usus mendapat rangsangan, pengeluaran getah radang (eksudat)
menjadi lancar. Biasa dilakukan pada pasien dengan perut kembung, yang
kedinginan, dengan radang misalnya persendian, poliomyelitis.
Kompres dingin di lakukan menggunakan kribat es yang telah di isi
potongan-potoongan es. Tujuannya untu mengurangi rasa sakit, mengurangi
perdarahan, membatasi radang.
1. Pemberian Kompres Panas
a. Tujuan Umum :
1) Untuk meningkatkan sirkulasi pada daerah tertentu.
2) Untuk meningkatkan rasa nyaman dan relaksasi.
3) Untuk mempercepat pengeringan luka.
4) Untuk memanaskan bagian tubuh tertentu.
5) Untuk mempercepat penyembuhan.
6) Untuk merangsang peristaltik usus.
b. Dilakukan Pada Pasien :
1) Dengan perut kembung.
2) Pasien yang kedinginan.
3) Dengan radang mis : adneksitis, persendian, dll.
c. Hasil Yang Diharapkan :
1) Bagian tubuh menjadi panas.
2) Relaksasi dari otot yang spasme/kejang.
3) Peningkatan sirkulasi pada daerah tertentu.
4) Penyembuhan luka
2. Pemberian Kompres Dingin.
a. Tujuan Umum :
1) Mengurangi/menghentikan perdarahan, karena pembuluh-
pembuluh darah dapat mengecil.
2) Menurunkan suhu bada yang tinggi.
3) Mengurangi rasa nyeri.
4) mengurangi oedema.
5) Luka menjadi bersih.
b. Dilakukan Pada Pasien :
1) Suhu badan tinggi.
2) Radang
3) Memar
4) Batuk/muntah darah
5) Post tonsilektomi.
6) Luka tertutup/terbuka.

(W. Nurul Eko, Ardriani Sulistiani. 2010. Buku ajar keterampilan dasar
praktik klinik kebidanan. Yogyakarta: Pustaka Rihama).
C. PEMBERIAN OBAT DALAM KEBIDANAN
Dalam medicenes Act (1968) obat hanya dapat disediakan dan diberikan
dengan arahan dokter. Bidan dikecualikan kebutuhan ini terkait obat sposifik
tertentu selama mereka memberitahu tujuan penanganan obat untuk praktik
mereka. Hal ini memungkinkan bidan untuk menyediakan dan memberikan
obat ini tanpa arahan dokter. Obat yang termasuk dalam pengecualian ini
dapat ditemukan pada schedule 5of the prescription only medicienes (human
use ) order 1997.obat tersebut antar lain:
A. Kloral hidrat
B. Ergometrin maleat
C. Natrium triklofos
D. Lidokain(lignokain)
E. Lidokain hidroklorida
F. Oksitosin alami dan sintesis
G. Pentazosin laktat (frotral)
H. Petidin hidrok lorida
I. Fitomedination (vitamin k)
J. Promazin hidroklorida
Bidan juga dapat menyediakan dan memberikan semua obat-obatan tanpa
resep, termasuk semua daftar obat apotik dan daftar obat yang dapat diijual
bebas, tanpa resep. Obat-obatan ini tidak harus dalam patient group diraction
agar bidan mampu menyediakan oabat tersebut. (kebidanan oxford, penerbit
buku kedoteran, ECG. 2014, jakarta)

D. MACAM – MACAM TEHNIK PEMBERIAN OBAT


1. Pemberian obat peroral
Pemberian obat peroral adalah memberikan obat yang dimasukan melalui
mulut.
2. tujuan pemberian
a. untuk memudahkan dalam pemberian
b. proses reaborsi lebih lambat sehingga bila timbul efek samping dari
obat tersebut dapat segera diatasi.
c. menghindari pemberian obat yang menyebabkan nyeri.
d. menghindari pemberian obat yang menyebabkan kerusakan kulit dan
jaringan
3. pemberian obat sublinual
pemberian obat sub lingual adalah memberikan obat dengan cara
meletakan obat dibawah lidah samapi habis diabsorbsi kedalam pembuluh
darah.
Tujuan :
a. mencegah efek lokal dan sistemik
b. untuk memperoleh aksi kerja obat yang lebih cepat dibandingkan
secara oral.
c. untuk menghidnari kerusakan obat oleh hepar.
4. pemberian obat secara bukal
pemberian obat secara bukal adalah memberikan obat dengan cara
meletakan obat diantara gusi dengan membran mukosa diantara pipi
Tujuan :
a. mencegah efek lokal dan sistemik
b. untuk menghindari kerusakan obat oleh hepar.
5. pemberian obat secara parenteral/injeksi
pemberian obat parenteral merupakan pemberian obat yang dilakukan
dengan menyuntikan obat tersebut ke jaringan tubuh atau pembuluh darah
dengan menggunakan spuit.
Tujuan :
a. untuk mendapatkan reaksi yang lebih cepat dibandingkan dengan cara
yang lain
b. untuk memperoleh reaksi setempat (tes alergi)
c. membantu menegangkan diagnosa ( penyuntikan zat kontrals )
d. memberikan zat imunolog.
6. pembrian obat secara topikal
pemberian obat secara topikal adalah pemberian obat secara lokat pada
kulit atau pada membran pada area mata, hidung, lubang telinga, vagina
dan rektum.
Tujuan :
tujuan dari pemberian obat topikal secara umum adalah untuk
memperolah reaksi lokal dari obat tersebut.
(KDPK KEBIDANAN TEORI DAN PRAKTIK.ENY RETNA
AMBARAWAH DKK. NUMED. 2009.JOGYAKARTA)
E. PEMBERIAN OBAT ORAL PADA BAYI
Bayi harus dalam keadaan terjaga dan mampu menelan. Orang tua
harus diajarkan prosedur pemberian obat jika mereka perlu melakukan
prosedur tersebut sendiri. Peresepan diperiksa terhadap semua obat yang
diresepkan dan protokal lokal dipatuhi.
Kesabaran dibutuhkan saat memberikan obat untuk bayi atau anak.
Sangat sulit mengkaji seberapa banyak obat yang dikonsumsi bayi jika
sejumlah obat terlihat menetes di dagu. Jika hal tersebut terjadi konsultasi
dengan dokter anak diperlukan terkait kebutuhan dosis berikutnya.

( Taylor, Wendy.2015.Keterampilan dasar praktik klinik kebidanan. Jakarta :


EGC)
F. DOSIS

Pada anak balita, pemberian dosis obat sering kali menimbulkan


kontroversi/perbedaan, mengingat pada anak masih dalam tahap proses
pertumbuhan dan perkembangan, apalagi pada bayi yang lahir prematur maka
sangat kesulitan dalam menempatkan dosis obat karena organ belum
berfungsi dengan sempurna, seperti fungsi ginjal, susunan saraf pusat, atau
lainnya, sehingga pada proses absorbsi, distribusi, metabolisme, dan eksresi
obat akan terganggu atau tidak maksimal dan kadang menimbulkan efek
samping yang berlebihan dibandingkan dengan efek terapi. Banyak perbedaan
penentuan pemberian dosis obat pada anak, tetapi prinsipnya penentuan dosis
dapat disimpulkan oleh dua standar, yaitu berdasarkan luas permukaan tubuh
dan berat badan. Berikut ini beberapa rumus perhitungan dosis utuk anak.
1. Young
𝑛
DA : 𝑛+12 Dd (mg) (tidak untuk anak > 12 tahun)

Keterangan :
n: usia anak dalam tahun
2. Diling
𝑛
Da: 20 Dd (mg)

3. Gaubius
1
Da: 12 Dd (mg)(untuk anak sampai usia 1 tahun)
1
Da: 8 Dd (mg)untuk anak 2-3 tahun)
1
Da: 6 Dd (mg) (untuk anak 2-3 tahun )
1
Da: 4 Dd (mg)( untuk anak 3-4 tahun)
1
Da: 3 Dd (mg) (untuk anak 4-7 tahun)

4. fried
1
Da: 150 Dd (mg)

Keterangan : M: usia anak dalam bulan


5. sagel
(13𝑊+15)
Da: Dd (mg) (usia 0-20 minggu)
100
(8𝑊+7)
Da: Dd (mg)(usia 20_52 minggu)
100
(13𝑊+12)
Da: Dd (mg)(usia 1-9 tahun )
100

6. clark
𝑊 𝑎𝑛𝑎𝑘
Da: W dewasa Dd (mg)

Keterangan : W: berat badan / kg


Perhitungan rumus dalam menentukan dosis tidak semuanya tepat dalam
proses kerja dan efek dari obat, tetapi lebih tepat dengan menggunakan
ukuran fisik atau ditentukan demgan waktu paruh dari jenis obat yang
akan deiberikan.
( ILMU KESEHATAN ANAK UNTUK PENDIDIKAN KEBIDANAN , A.
AZIZ ALIMUL HIDAYAT . PENERBIT SALEMBA MEDIKA).
JAKARTA.2008)
G. KONTRA INDIKASI
Pemilihan sarana untuk pengukuran dan pemberian obat-obatan
membutuhkan pertimbangan yang cermat. Alat pengukur obat yang tersedia
tidak selalu cukup akurat untuk mengukur obat dalam jumlah kecil yang
diperlukan dalam praktik keperawatan pediatrik. Cangkir plastik sekali pakai
yang telah dikalibrasi memberikan keakuratan yang cukup baik dalam
mengukur cairan dosis sedang ( cangkir kertas cenderung memiliki bentuk
yang tidak teratur atau bagian bawah yang kusut) meski demikian, interpretasi
individu terhadap ukuran sangat bervariasi, dan sejumlah cairan yang kental
dapat tetap tertinggal di dalam cangkir. Pengukuran yang kurang dari 1
sendok teh tidak mungkin ditentukan keakuratannya dengan cangkir.

Banyak obat cair yang diresepkan dengan menggunakan ukuran sendok teh.
Akan tetapi, sendok teh merupakan alat ukur yang tidak akurat dan
merupakan subjek kesalahan Karena berbagai variabel. Sebagai contoh,
kapasitas sendok teh yang ada di rumah tangga sangat bervariasi, dan orang
yang berbeda yang menggunakan sendok yang sama akan menuangkan obat
dengan jumlah yang berbeda-beda. Oleh karena itu, obat yang diinstruksikan
dalam ukuran sendok teh harus diukur dalam MM; standar yang sudah dibuat
adalah 5 ml per sendok teh. Sendok obat cekung bertangkai tersedia untuk
mengukur dan memberikan obat secara akurat. Sendok ukur rumah tangga
juga dapat digunakan jika alat lain tidak tersedia.
Alat lain yang tidak reliabel untuk mengukur cairan adalah pipet, yang
lebih bervariasi daripada sendok teh atau cangkir Ukur. Tipe tersedia dalam
berbagai ukuran, tetapi sekalipun dengan pipet USP standar, volume tetesan
akan bervariasi sesuai viskositas cairan yang diukur; cairan yang kental
menghasilkan tetesan yang besar daripada cairan yang encer. Banyak obat
diberikan dengan tutup atau pipet yang dirancang untuk mengukur jumlahnya
secara spesifik. Alat tersebut akurat jika digunakan untuk mengukur obat
tersebut tetapi tidak reliabel untuk mengukur cairan lain. Pengosongan isi
pipet ke dalam cangkir obat juga menimbulkan kesalahan tambahan. Karena
beberapa cairan menempel di sicangkir akibatnya sejumlah obat
yangsignifikan dapat hilang.
Alat yang paling akurat untuk mengukur obat dalam jumlah kecil
adalah spuit plastik (bukan kaca) sekali pakai, terutama spuit tuberculinuntuk
volume kurang dari 1 ml.Spuit tidak hanya yang memberikan pengukuran
yang reliabel, tetapi juga sebagai alat yang nyaman untuk memindahkan dan
memberikan obat. Obat dapat ditempatkan langsung ke mulut anak dari spuit.
Untuk keamanan tambahan, selang pendek fleksibel dapat dipasang di ujung
spuit untuk mencegah cedera pada mulut, meskipun selang tersebut nantinya
harus benar-benar dikosongkan dari obat.
Anak yang masih kecil dan beberapa anak yang lebih besar mengalami
kesulitan menelan Tablet atau pil. Karena sejumlah obat tidak tersedia untuk
anak-anak, maka tablet perlu digerus sebelum diberikan kepada anak-anak
tersebut. Tersedia juga alat-alat yang dijual bebas*, atau metode sederhana
dapat dilakukan untuk menggerus tablet. Tidak semua obat dapat digerus
(mis., obat dengan salutenterikatau salut protective atau yang diformulasikan
untuk lepas lambat)
(sumber : Wilson, david.2009.BUKU AJAR KEERAWATAN PEDIATRIK
VOLUME 2.Jakarta : EGC)
H. KEWENANGAN BIDAN DALAM MEMBERIKAN OBAT PADA BAYI
Progam pemerintah dalam Permenkes No. 28 tahun 2017 tentang
penyelenggaraan praktik kebidanan memang memperbolehkan bidan dalam
menangani bayi dan balita sakit sesuai dengan pedoman MTBM dan MTBS
karena hal tersebut dapat sangat membantu dalam mengurangi angka
kematian bayi dan balita. Tetapi dalam hal pemberian obat terhadap bayi dan
balita sakit bidan tidak memiliki wewenang dan tidak memiliki kompetensi
sehingga disini dapat terjadi konflik jika terjadi kesalahan dalam pemberian
obat, terutama dalam pedoman MTBS dan MTBM obat yang sering di
gunakan adalah antibiotik. Antibiotik sendiri jika di berikan tidak sesuai usia
dan sesuai dosis maka akan berakibat sebaliknya yaitu dapat melemahkan
system kekebalan tubuh manusia yang akan mengakibatkan lebih mudah
penyakit masuk kedalam tubuh bayi dan balita tersebut. Sesuai dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian
bahwa yang berkompetensi dibidang obat adalah profesi farmasi. Tetapi
dalam keadaan tertentu seperti kegawatdaruratan dan tidak adanya tenaga
kesehatan lain didaerah tempat bidan tersebut praktek (tidak adanya tenaga
kesehatan lain didaerah tersebut dinyatakan dengan keterangan dari Dinas
Kesehatan setempat). Bidan boleh melakukan penanganan atau pemberian
obat terhadap bayi dan balita tetapi sesuai dengan panduan MTBS dan
MTBM dan sesuai dengan batasan-batasan penyakit yang sudah ditentukan.
Penyakit yang dapat ditangani oleh bidan sesuai dengan MTBS dan MTBM
adalah diare, demam, masalah telinga, status gizi, dan anemia, dengan catatan
masih dalam klasifikasi rendah dan sedang, jika sudah pada tahap klasifikasi
yang berat maka pasien tersebut harus segera dirujuk.
(sumber : Tesi, sudraat.dkk.HAK ATAS PELAYANAN DAN
PERLINDUNGAN KESEHATAN IBU DAN ANAK, JURNAL DINAMIKA
HUKUM, VOL 2. Fakultas hukum universitas soedirman)

Permenkes No. 28 tahun 2017 tentang penyelenggaraan praktik kebidanan


kedudukannya berada lebih tinggi dari Peraturan Pemerintah No. 51 Nomor
Tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian, hal ini dapat menjadi suatu
payung hukum bagi seorang bidan dalam menangani pasien yaitu balita dan
bayi dalam pemberian obat sesuai dengan buku panduan MTBS dan MTBM
dan sesuai dengan batasan kompetensi pengetahuan bidan tentang obat.
(Sumber : Anggraini, Rista. 2018. TANGGUNG JAWAB BIDAN DALAM
MENANGANI PASIEN NON KEBIDANAN DI KAITKAN DENGAN
MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT DAN MANAJEMEN TERPADU
BAYI MUDA. 10(2). 221-236)
I. PASAL YANG MENGATUR KEWENANGAN BIDAN
a. Pasal 20

(1) Pelayanan kesehatan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf


b diberikan pada bayi baru lahir, bayi, anak balita, dan anak prasekolah.
(2) Dalam memberikan pelayanan kesehatan anak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bidan berwenang melakukan:
a) pelayanan neonatal esensial;
b) penanganan kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan perujukan;
c) pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, dan anak
prasekolah; dan
d) konseling dan penyuluhan.

(3) Pelayanan neonatal esensial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
a meliputi inisiasi menyusui dini, pemotongan dan perawatan tali pusat,
pemberian suntikan Vit K1, pemberian imunisasi B0, pemeriksaan fisik
bayi baru lahir, pemantauan tanda bahaya, pemberian tanda identitas diri,
dan merujuk kasus yang tidak dapat ditangani dalam kondisi stabil dan
tepat waktu ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang lebih mampu.
(4) Penanganan kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan perujukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
a) penanganan awal asfiksia bayi baru lahir melalui pembersihan jalan
nafas, ventilasi tekanan positif, dan/atau kompresi jantung;
b) penanganan awal hipotermia pada bayi baru lahir dengan BBLR
melalui penggunaan selimut atau fasilitasi dengan cara
menghangatkan tubuh bayi dengan metode kangguru;
c) penanganan awal infeksi tali pusat dengan mengoleskan alkohol
atau povidon iodine serta menjaga luka tali pusat tetap bersih dan
kering; dan
d) membersihkan dan pemberian salep mata pada bayi baru lahir
dengan infeksi gonore (GO).

(5) Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, dan anak prasekolah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi kegiatan
penimbangan berat badan, pengukuran lingkar kepala, pengukuran tinggi
badan, stimulasi deteksi dini, dan intervensi dini peyimpangan tumbuh
kembang balita dengan menggunakan Kuesioner Pra Skrining
Perkembangan (KPSP)
(6) Konseling dan penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d
meliputi pemberian komunikasi, informasi, edukasi (KIE) kepada ibu dan
keluarga tentang perawatan bayi baru lahir, ASI eksklusif, tanda bahaya
pada bayi baru lahir, pelayanan kesehatan, imunisasi, gizi seimbang,
PHBS, dan tumbuh kembang.
(Sumber : anonim. 2017. PERATURAN MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2017. Jakarta: menteri
kesehatan RI.)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

B. Saran
Dengan adanya makalah ini, diharapkan mahasiswa dapat
memahami hal-hal apa saja yang menjadi persiapan pemberian obat,
macam-macam teknik pemberian obat, bagaimana pemberian obat oral
pada bayi dan dosis yang diberikan, kontra indikasi obat untuk bayi
balita serta dapat menerapkan pengetahuan tersebut dalam praktiknya
sebagai seorang bidan ketika berhadapan dengan klien yang memiliki
kebutuhan tersebut. Dan bagi institusi, dengan adanya materi
mengenai diharapkan dapat menghasilkan lulusan yang memahami
hal-hal yang menjadi kebutuhan saat memberikan pemberian obat dan
teknik pemberiannya pada bayi, balita dan anak-anak.
Daftar Pustaka
HP, Ernie.2007.Pemberian Obat Secara Polifarmasi Pada Anak dan Interaksi Obat
yang ditimbulkan: Media limbang kesehatan
W. Nurul Eko, Ardriani Sulistiani. 2010. Buku ajar keterampilan dasar praktik klinik
kebidanan. Yogyakarta: Pustaka Rihama
Kebidanan oxford, penerbit buku kedoteran,
ECG. 2014, Jakarta
KDPK Kebidanan Teori Dan Parktek. Eny Retna Ambarawah Dkk Numed.
2009.Jogjakarta
Taylor, Wendy.2015.Keterampilan dasar praktik klinik
kebidanan. Jakarta : EGC
Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendikikan Kebidanan , A. Aziz Alimul Hidayat .
Penerbit Salemba Medika. Jakarta.2008
Wilson, David.2009.Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Volume 2.Jakarta : EGC
Tesi, Sudraat.dkk. Hak Atas Pelayanan Dan Perlindungan Kesehatan Ibu dan Anak,
Jurnal Dinamika Hukum, Volume 2. Fakultas hukum universitas soedirman
Anggraini, Rista. 2018. Tanggung Jawab Bidan Dalam Menangani Pasien Non
Kebidanan di Kaitkan Dengan Manajemen Terpadu Balita Sakit dan
Manajemen Terpadu Bayi Muda. 10(2). 221-236
Anonim. 2017. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
2017. Jakarta: Menteri Kesehatan RI.

Anda mungkin juga menyukai