Anda di halaman 1dari 6

Kronologi kekerasan seksual, modus operandi pelaku dan sikap LSM

(Malang Corruption Watch)

Kronologi Kekerasan Seksual Korban Pertama (X)

Status korban adalah mahasiswa yang berkepentingan untuk mengambil data di Malang
Corruption Wacth demi memenuhi tugas kuliahnya.

Sekitar bulan Oktober 2018 pelaku mengajak korban camping ke pantai. Saat camping pelaku
beberapa kali memperkosa korban. Pelaku terus memaksa korban dan melakukan aktifitasnya
hingga korban marah besar dan pelaku berhenti.

Pada 20 November 2018, pelaku kembali mengajak korban untuk camping di pantai. Di sana
pelaku memaksa kembali untuk melakukan aktifitas seksual. Ketika korban mekonfrontasi dan
melakukan penolakan keras, pelaku berdalih bahwa seks adalah bukti kasih sayang.

Sekitar bulan Desember 2018, saat pelaku ditugaskan MCW untuk menjadi pemateri di Blitar,
pelaku mengajak korban untuk menemaninya. Di sepanjang perjalanan, pelaku terus-terusan
merayu korban untuk istirahat di hotel. Korban sempat menolak berkali-kali karena kecewa
dengan tindakan pelaku saat camping. Karena kondisi korban yang jauh dari pusat pertolongan,
korban terpaksa menurut dan akhirnya pelaku kembali memperkosa korban.

Ketika sedang kencan di salah satu kafe di Merjosari, pelaku mengajak korban untuk tidur di
Hotel. Kemudian korban menolak ajakan tersebut dan beralasan sedang datang bulan. Karena
pelaku tidak percaya, pelaku tiba tiba melakukan pelecehan seksual pada korban untuk
membuktikan apakah benar korban sedang menstruasi atau tidak.

Pelaku jug sering merayu korban untuk melakukan video sex. Selain itu, pelaku juga diam-
diam mendokumentasikan video tersebut tanpa persetujuan korban.

Pelaku sering membuat jokes seksis tentang keperawanan kepada korban. Pelaku juga
melakukan kekerasan ekonomi kepada korban, berupa eksploitasi materiil.
Kronologi Kekerasan Seksual Korban Kedua (Y)

Status korban adalah jurnalis yang berkepentingan untuk mewawancarai perwakilan MCW
demi menyelesaikan suatu berita. Narasumber korban adalah pelaku.

Sekitar bulan Agustus 2019, pelaku mengajak korban camping di pantai. Sebelum berangkat
korban telah membuat batasan hubungan dengan pelaku. Namun pelaku melanggar perjanjian
dan kembali memaksakan serangkaian aktifitas seksual.

Sekitar bulan September 2019, sesaat setelah pelaku dan korban ngopi di salah satu kafe di
daerah Candi, pelaku dan korban memutuskan untuk berjalan-jalan di kota Batu. Di sepanjang
jalan, pelaku merayu korban untuk menginap di salah satu hotel di dekat Museum Angkut
dengan alasan sudah larut malam. Pelaku bahkan memaksa meminta korban yang membayar
hotel tersebut, pelaku beralasan sedang tidak punya uang. Dikarenakan posisi korban yang
cukup jauh dari pusat pertolongan, dan waktu yang larut malam, korban terpaksa menurutinya.
Namun pelakaku ahirnya memperkosa korban.

Modus operandi yang biasanya dilakukan oleh pelaku:

Korban-korban tersebut mengenal pelaku saat mereka melakukan wawancara di MCW.


Korban pertama terkait tugas kuliah, sedangkan korban kedua terkait keperluan liputan. Jika
pelaku tetap menjadi bagian dari struktural MCW, tentu tidak menutup kemungkinan akan ada
korban selanjutnya. Justru kemungkinan besar jumlah korban akan bertambah.

Modus yang digunakan pelaku hampir sama, pelaku menggunakan masa lalu korban sebagai
alat pelaku untuk mengeksploitasi secara seksual korban-korbannya (mencari titik rentan
korban untuk dimanfaatkan).

Pelaku selalu mengajak korban-korbannya untuk camping di pantai dan menginap di hotel
dengan dalih sudah larut malam. Kekerasan seksual yang dilakukan pelaku modusnya
terstruktur. Diiringi dengan pengkondisian untuk membuat korban rentan posisinya dengan
mengajaknya keluar malam, berada jauh dari akses pertolongan.
Pelaku selalu menghilang (memutus kontak) dari korban-korbannya setelah berhasil
mengeksploitasi korban secara seksual. Korban ditinggalkan begitu saja, kemudian pelaku
kembali lagi dan melakukan aksinya lagi. Pelaku juga berusaha mengeksploitasi korban-
korbannya secara materil.

Poin penting yang harus diperhatikan:

1. Pelaku menjadikan posisinya di BP MCW sebagai instrumen atau alat untuk melakukan
tindak kekerasan seksual tersebut untuk memenuhi hasrat seksualnya yang bersifat private,
melalui modusnya dengan membujuk rayu korban saat penggalian data ke MCW. Dalam hal
ini lembaga beserta pekerjanya dinyatakan tidak mampu menciptakan ruang aman untuk
perempuan dan gagal mendidik/mengontrol anggota mereka.

2. Saat berada di objek pantau di daerah Singosari, pelaku sedang melakukan riset kontraktor
dengan tidak adanya keterlibatan relawan lainnya, ehingga pelaku bebas membawa korban.
Dalam hal ini, ketika pelaku sedang bersama korban pelaku tiba-tiba mengubah rute jalan ke
Singosari tanpa sepengetahuan korban, dan meminta korban untuk mengaku sebagai relawan
MCW saat ditanya oleh narasumber. Dalam hal ini menunjukkan bahwa pelaku tidak
prefessional dan menyalahgunakan wewenangnynya

3. Ketika pelaku tetap menjadi bagian dari struktural MCW, maka tentu saja tidak adil bagi
para korban terlebih lagi pasti berdampak terhadap proses advokasi ke depannya, dan
berpotensi mengulang kejadian serupa sehingga memunculkan korban baru.

Sikap Malang Corruption Watch:

Kamis, 12 Desember 2019

Pendamping bertemu dengan pelaku kekerasan seksual, waktu dan tempat ditentukan sesuai
kesepakatan yang dibuat bersama. Ini merupakan pertemuan pertama kali yang dilakukan
pendamping dalam mengawali advokasi kasus kekerasan seksual. Dalam pertemuan ini
terdapat beberapa topik yang dibicarakan, berawal dari pendamping yang mengklarifikasi
kronologi kasus korban pertama, kemudian pelaku menanggapi penyampaian tersebut dengan
bahasa santai sambil merokok. Pendamping menanyakan perihal pemerkosaan yang terjadi
dalam hubungan pelaku dan korban, kemudian pelaku mengelak dan mempertegas bahwa
hubungan seks tersebut sudah ada kesepakatan di antara kedua belah pihak. Padahal ketika
merujuk pada data kronologi pengalaman kekerasan seksual pada korban, hubungan seks di
antara mereka sama sekali tidak ada persetujuan/komunikasi yang demokratis. Terdapat unsur
paksaan yang menimbulkan trauma pada korban.

Jum’at, 13 Desember 2019

Pelaku mengirimkan pesan melalui WhatsApp kepada pendamping, pelaku melakukan


konfirmasi kepada pendamping terkait hasil pertemuannya di pagi hari dengan Dewan
Pengurus Lembaga. Pelaku menceritakan permasalahannya dengan korban meminta keluar
dalam waktu dekat dari lembaga, dan dewan tersebut merespon bahwa permasalahan ini bisa
selesai. Dan selanjutnya si pelaku sudah membicarakan hal ini kepada koordinator badan
pekerja di lembaga tersebut, dan koordinator tersebut menanggapi akan memberikan sanksi
sebelum benar-benar keluar dari lembaga. Dari kedua poin pertemuan di atas, pendamping
menilai bahwa hal tersebut dibesar-besarkan oleh pelaku, seakan-akan pelaku mau
bertanggung jawab. Padahal saat diklarifikasi oleh pendamping, dewan pengurus tidak tahu-
menahu terkait kasus tersebut dan sebelum dewan pengurus bertemu dengan pendamping,
dewan tidak menerima informasi detail dari pengurus dalam lembaga tersebut. Selanjutnya
pertemuan pelaku dengan koordinatornya nyatanya jika merujuk dari sikap lembaga yang
dikemukakan pada mediasi akhir, lembaga sama sekali tidak memberikan sanksi bahkan tidak
mengeluarkan pelaku dari lembaga tersebut.

Senin, 16 Desember 2019

Pertemuan antara pihak pendamping korban yang terdiri dari 2 orang dengan pihak lembaga
yang sejumlah 4 orang ini berlangsung sesuai waktu dan tempat sesuai kesepakatan yang dibuat
bersama. Topik dalam pertemuan ini adalah menceritakan kronologi kasus dan klarifikasi
kepada pihak pelaku dan korban. Pada sesi pemaparan dari pihak lembaga, lembaga menilai
bahwa permasalahan ini merupakan masalah pribadi bukan masalah lembaga. Koordinator
lembaga ini bahkan melontarkan kalimat ‘’Saya anggap ini merupakan masalah dua orang anak
yang sedang kasmaran yang kemudian melakukan hubungan yang bersifat private tersebut’’
dalam kalimat tersebut menunjukkan koordinator menormalisasi kekerasan seksual dan
berpandangan bahwa kekerasan seksual bukan urusan lembaga. Selang beberapa menit setelah
pemaparan pengurus lembaga, pendamping menanggapi pernyataan, menceritakan kronologi
kasus secara utuh dan menjelaskan bentuk kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku ke
korban serta memaparkan 2 poin tuntutan yaitu mengenai restitusi korban dan sikap lembaga.
Pihak lembaga tetap saja berada pada standing posisi awal dengan menanggapi bahwa dalam
kasus ini tergolong sebagai masalah privat/bukan urusan lembaga. Bahkan pihak lembaga tidak
mempercayai kronologi yang disampaikan pendamping, dan pada akhirnya korban kepada
pendamping menyampaikan ketersediaannya untuk memberikan klarifikasi kepada pihak
lembaga melalui telepon WhatsApp. Pada akhirnya pihak lembaga memberikan informasi
kepada pendamping bahwa informasi dan data kasus ini akan disampaikan ke forum dewan
pengurus dan pihak lembaga berjanji akan memberikan keputusan lembaga kepada pihak
korban dalam waktu paling lama seminggu.

Sabtu, 21 Desember 2019

Pendamping sejumlah 4 orang bertemu dengan 3 orang dari pihak lembaga, pihak lembaga
menyampaikan sikap lembaganya. Salah satu badan pekerja lembaga tersebut mengemukakan
bahwa lembaga tidak bisa disangkut pautkan dengan masalah pribadi sehingga pelaku tidak
berhak untuk dikeluarkan dari organisasi karena perilakunya tidak termasuk dalam pelanggaran
standart kode etik yang berlaku dalam lembaga, dan ketika pendamping menyodorkan sebuah
surat pernyataan yang berisikan terkait sanksi kepada pelaku dan tanggung jawab pelaku
terhadap korban, badan pekerja menolak dan tidak menyetujui adanya surat pernyataan.
Dengan adanya surat tersebut dinilai oleh pengurus sebagai bentuk jebakan, dan menyebabkan
perang antar lembaga. Salah satu pernyataan terakhir dari badan pekerja yaitu dengan
melegalkan pihak pendamping dan korban untuk menindaklanjuti dengan berbagai cara dan
tindakan selanjutnya, bahkan pengurus mengizinkan untuk memblow-up kasus tersebut.

Rabu, 24 Desember 2019

Setelah dilakukan investigasi oleh pendamping, ternyata hasilnya adalah bahwa keputusan
lembaga yang dipaparkan pada sabtu, 21 Desember dinyatakan tidak valid karena keputusan
tersebut bersifat ekslusif, tidak semua Badan Pekerja terlibat dalam pembuatan keputusan,
bahkan badan pekerja juga tidak melibatkan dewan pengurus maupun dewan pengawas. Oleh
karena itu pendamping berusaha untuk mediasi secara langsung kepada dewan pengurus
dengan membawa kronologi, pemetaan masalah kelembagaan berbentuk hard file. Dalam
forum ini pendamping tidak diberi ruang untuk berbicara, bahkan sekedar memberikan
feedback terhadap statement dewan, tidak dipersilahkan. Dalam pembicaraan yang didominasi
oleh dewan pengurus dengan memaparkan segala bentuk kuasa dan kontrolnya terhadap
lembaga, topik pembicaraan awal hingga pertengahan dewan tersebut mengarah pada
kriminalisasi pendamping dengan melontarkan kalimat ‘’Sebenernya kalau saya mau
menggunakan power saya, masalah ini satu jam selesai dengan melaporkan masalah ini sebagai
tindak pidana pencemaran nama baik melalui UU ITE’’.’’MCW bukan lembaga sembarangan
memutuskan suatu perkara di warung kopi, MCW punya mekanisme tidak semerta-merta
keputusan itu ajdi’’. Dari pernyataan tersebut jelas menggambarkan bahwa lembaga
melindungi pelaku dan menyerang balik pendamping penyintas dengan upaya ancaman
kriminalisasi memakai UU ITE.

Anda mungkin juga menyukai