Anda di halaman 1dari 3

Woro Rengganis

XI IPS 2/36

Analisis Observasi akan Maraknya Klitih di Jogja

Klitih atau kepanjangan dari Kliling Golek Getih, merupakan salah satu fenomena
kejahatan jalanan yang dilakukan di Yogyakarta, pada umumnya pelaku masih pelajar remaja.
Arti klitih ini berasal dari bahasa Jawa yang berartikan sebuah aktivitas untuk mencari angin di
luar rumah. Pada awalnya, istilah klitih memiliki makna positif yang menggambarkan seseorang
mengisi waktu luangnya. Namun seiring berjalannya waktu, istilah klitih ini berubah menjadi
sebuah tindak kejahatan dengan menyerang seseorang dengan acak. Aksi ini biasanya dilakukan
secara bergerombol dengan menggunakan senjata tajam berjenis pedang, golok, maupun gir
sepeda motor yang telah dimodifikasi. Umumnya terjadi di malam hari dengan menyusuri
jalanan sepi. Pada dasarnya para pelaku klitih ini merupakan anak remaja yang umumnya masih
SMA/SMK. Pelajar tersebut bersosialisasi atau bergaul dengan teman-teman sebaya dan terjebak
dalam lingkungan pergaulan yang salah, diantaranya ialah menjadi anggota geng motor. Mereka
menghabisi nyawa korban guna menjadi syarat masuknya ke dalam Geng. Menurut mereka,
semakin banyak mereka membunuh atau melukai orang, semakin mereka bisa masuk dalam
Geng tersebut. Kejahatan klitih ini sudah ada sejak dahulu, tetapi aparat penegak hukum kurang
adanya tindakan pencegahan.

Menurut Drs. Soeprapto, S.U. seorang Sosiolog Kriminalitas UGM, mengatakan bahwa
terdapat 2 faktor penyebab remaja nekat melakukan aksi klitih, yaitu faktor internal dengan
minimnya interaksi dan bekal nilai serta norma sosial dari keluarga, serta faktor eksternal berupa
pengaruh kelompok yang memicu untuk melakukan kekerasan. Untuk faktor penyebab klitih di
Gedongkuning ini adalah adanya aksi bleyer oleh para pelaku kepada korban yang sedang
menyantap makan sahurnya bersama teman-temannya di Warmindo. Bleyer merupakan tindakan
dengan upaya memancing emosi seseorang dengan mengulang memainkan gas pada motor
berkali-kali, sehingga bunyinya menganggu pendengaran orang lain. Pada kasus ini, konflik yang
terjadi termasuk dalam bentuk interaksi yang bersifat disosiatif. Karena klitih bertujuan untuk
mengancam, melukai, menghancurkan, serta melenyapkan kelompok yang dianggap sebagai
lawan.

Kronologi terjadinya klitih pada Minggu, 3 April 2022 dini hari, menewaskan korban
bernama Daffa A.A (17) seorang pelajar SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta anak dari anggota
DPRD Kebumen Madkhan Anis. Klitih tersebut terjadi di kawasan Gedongkuning, Jogja.
Diketahui pada pukul 02.10 WIB, korban dan teman-temannya hendak pergi untuk membeli
makan sahur di Warmindo, lalu tiba–tiba ada sekelompok pemotor yang memblayer motornya
hingga terjadilah aksi kejar–kejaran karena korban tersinggung. Sempat kehilangan jejak dari
kelompok tersebut, hingga pada akhirnya ada serangan dari belakang menggunakan gear motor
yang mengenai bagian belakang kepala Daffa. Korban kebetulan hanya membonceng dan tidak
sempat untuk menghindar. Korban dan temannya tersebut tetap melanjutkan perjalanan hingga
bertemu dengan tim patroli Sabhara Polda DIY. Lalu korban dibawa ke Rumah Sakit
Hardjolukito untuk mendapatkan perawatan.

Maraknya aksi klitih tersebut menyebabkan timbulnya keresahan masyarakat, ketakutan


orangtua kepada anak-anaknya, citra sekolah yang dinilai buruk karena pelaku, serta dapat
mempengaruhi remaja-remaja di daerah lain untuk ikut-ikutan melakukan aksi klitih. Akhir-akhir
ini banyak aksi klitih yang pelakunya masih duduk dibangku SMP. Mereka ingin diakui bahwa
diri mereka itu keren dan sebagainya.
Upaya penyelesaian untuk kasus klitih ini adalah dengan teori SIPABIO oleh Amr
Abdalla.
1) Source : pada kasus ini, sumber – sumber konflik tersebut muncul dari adanya
keinginan diri untuk mendapatkan pengakuan di sekitar lingkungannya bahwa dirinya keren.
2) Issues : pokok permasalahan yang menjadi sumber konflik ialah keinginan diri pelaku
tersebut.
3) Parties : pihak konflik pertama terdiri dari pelaku klitih dan korban, pihak sekunder
terdiri dari teman – teman korban, polisi, saksi, serta keluarga yang bersangkutan.
4) Attitudes : sikap buruk yang muncuk pada konflik ini adalah si pelaku enggan
mengakui bahwa ia adalah anggota kelompok klitih tersebut, serta sikap baiknya adalah pihak
keluarga yang tetap patuh akan kepolisian, serta pihak tersier adalah pihak berwenang yang
mengusut kasus ini dengan baik dan menemukan pelaku serta motifnya.
5) Behavior : tindakan dari pihak yang berkonflik adalah non – coercive action, karena
pihak berwenang sudah mengusut kasus ini hingga menemukan pelakunya.
6) Intervention : pihak netral dalam kasus ini adalah pihak berwenang yaitu kepolisian
yang mampu menyelesaian kasus tersebut hingga pelaku diberikan mendapat hukuman
berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Pasal 80 Ayat 2 dan 3 tentang Perubahan
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pelaku bisa dikenakan pasal
berlapis termasuk dikenakan pasal tentang pembunuhan secara langsung. Hukuman penjara 4
hingga 7,5 tahun dengan niat membunuh atau menghilangkan nyawa seseorang.
7) Outcome : hasil akhir yaitu dampak yang ditimbulkan dengan adanya konflik kasus
Klitih adalah timbulnya trauma kepada masyarakat dan para pendatang yang ingin berlibur di
Jogja, serta rusaknya reputasi Jogja sebagai Kota Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai