Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Anemia ialah berkurangnya jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin atau


kadar hematokrit dalam darah tepi di bawah nilai normal sesuai umur dan jenis
kelamin penderita, sehingga eritrosit tidak dapat memenuhi fungsinya untuk
membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer.1,2
Pada dasarnya anemia disebabkan oleh gangguan pembentukaan eritrosit oleh
sumsum tulang, perdarahan dan proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum
waktunya (hemolisis). Jika kecepatan destruksi melebihi kapasitas sumsum tulang
untuk memproduksi eritrosit, maka akan terjadi anemia.2,3
Anemia pada anemia hemolitik sebagian besar bersifat normokromik
normositer, tetapi dapat juga bersifat hipokromik mikrositer, seperti pada thalassemia.
Penurunan kadar hemoglobin sangat bervariasi, mulai dari berat sampai ringan dan
dapat berlangsung cepat, tetapi dapat juga berlangsung secara perlahan-lahan, seperti
pada anemia hemolitik kronik.3

Angka kejadian tahunan anemia hemolitik autoimun dilaporkan mencapai


1/100.000 orang pada populasi secara umum. Sferositosis herediter merupakan
anemia hemolitik yang paling sering dijumpai, angka kejadiannya mencapai 1/5000
orang di negara Eropa, di Indonesia belum diketahui dengan pasti.4

Eliptositosis paling sering pada orang Afrika dan Amerika. Di Amerika,


prevalensi eliptositosis kira-kira 3-5 per 10.000 kasus dan di Afrika eliptositosis
terjadi sekitar 20,6% dari populasi. Bentuk lain penyakit ini juga terjadi di Asia
Tenggara, ditemukan sekitar 30% dari populasi yang diturunkan secara dominan
autosomal.4

Prevalensi dan angka kejadian anemia hemolitik antara laki-laki dan


perempuan memiliki jumlah yang sama. Namun pada defisiensi (Glukosa-6-Fosfat

1
Dehidrogenase/ G6PD) yang terkait kromosom x, pada umumnya ditemukan lebih
banyak pada laki-laki. Diperkirakan sekitar ± 400 juta manusia di seluruh dunia
menderita kelainan atau defisiensi enzim ini. Frekuensi tertinggi didapatkan pada
daerah tropis dan menjadi penyebab tersering kejadian ikterus dan anemia hemolitik
akut di kawasan Asia Tenggara. Di Indonesia diperkirakan sebesar 1 - 4%.4,5
Berikut akan di bahas referat mengenai Anemia Hemolitik yang merupakan
salah satu dari beberapa penyakit anemia.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Anemia hemolitik ialah anemia yang disebabkan karena kecepatan
penghancuran sel darah merah (eritrosit) yang meningkat dari normalnya. Pada
anemia hemolitik, terjadi kerusakan sel eritrosit yang lebih awal dari umur eritrosit
normal (rata-rata 110-120 hari). Anemia hemolitik terjadi karena meningkatnya
penghancuran sel eritrosit yang diikuti dengan ketidakmampuan dari sumsum tulang
dalam memproduksi sel eritrosit. Untuk mengatasi kebutuhan tubuh terhadap
berkurangnya jumlah sel eritrosit tersebut, penghancuran sel eritrosit yang berlebihan
akan menyebabkan terjadinya hiperplasia sumsum tulang sehingga produksi sel
eritrosit akan meningkat dari normal.2-4
Jika suatu penyakit atau keadaan tertentu menghancurkan eritrosit sebelum
waktunya, maka sumsum tulang akan berusaha menggantinya dengan mempercepat
pembentukan retikulosit sampai sepuluh kali kecepatan normal. Namun jika
penghancuran eritrosit telah melebihi usaha pembentukannya dan masa hidup eritrosit
menurun menjadi 15 hari atau kurang, maka akan terjadi anemia hemolitik.
Memendeknya umur eritrosit tidak saja terjadi pada anemia hemolitik tetapi juga
terjadi pada keadaan eritropoesis inefektif seperti pada anemia megaloblastik dan
thalasemia.6

B. Epidemiologi
Prevalensi dan angka kejadian anemia hemolitik antara laki-laki dan
perempuan memiliki jumlah yang sama. Angka kejadian tahunan anemia hemolitik
autoimun dilaporkan mencapai 1/100.000 orang pada populasi secara umum.
Sferositosis herediter (SH) merupakan anemia hemolitik yang paling sering dijumpai,
angka kejadiannya mencapai 1/5000 orang di negara Eropa, di Indonesia belum

3
diketahui dengan pasti. Hingga saat ini belum tersedia data epidemiologi SH di
Indonesia. Rekam medis Poliklinik Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM belum
mencatat pasien dengan diagnosis SH. Lembaga Biologi Molekular Eijkman
menemukan 12 pasien yang terbukti SH sejak tahun 2002 sampai 2008.4,6,7
Eliptositosis paling sering pada orang Afrika dan Amerika. Di Amerika,
prevalensi eliptositosis kira-kira 3-5 per 10.000 kasus dan di Afrika eliptositosis
terjadi sekitar 20,6% dari populasi. Bentuk lain penyakit ini juga terjadi di Asia
Tenggara, ditemukan sekitar 30% dari populasi yang diturunkan secara dominan
autosomal.5,6
Defisiensi G6PD menjadi penyebab tersering kejadian ikterus dan anemia
hemolitik akut di kawasan Asia Tenggara. Di Indonesia insidennya diperkirakan 1-
14%, prevalensi defisiensi G6PD di Jawa Tengah sebesar 15%, di Indonesia bagian
Timur disebutkan bahwa insiden defisiensi G6PD adalah 1,6 - 6,7% .6

C. Etiologi
Penyakit anemia hemolitik dapat dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu:2,3,4,8

a. Gangguan intrakorpuskular

Kelainan ini umumnya disebabkan karena adanya gangguan


metabolisme dalam eritrosit itu sendiri. Keadaan ini dapat digolongkan
menjadi 3, yaitu:2,3,8
1. Gangguan pada struktur dinding eritrosit, terbagi menjadi:
a. Sferositosis
b. Ovalositosis (eliptositosis)
c. A-beta lipoproteinemia
d. Gangguan pembentukan nukleotida

2. Gangguan enzim yang mengakibatkan kelainan metabolisme dalam


eritrosit.

4
a. Defisiensi glucose-6-Phosphate-Dehydrogenase (G6PD)
b. Defisiensi Glutation reduktase
c. Defisiensi Glutation
d. Defisiensi Piruvatkinase
e. Defisiensi Triose Phosphate Isomerase
f. Defisiensi Difosfogliserat Mutase
g. Defisiensi Heksokinase
h. Defisiensi gliseraldehid-3-fosfat dehidrogenase

3. Hemoglobinopati
Terdapat 2 golongan besar gangguan pembentukan hemoglobin,
yaitu:
a. Gangguan struktural pembentukan hemoglobin (hemoglibin abnormal)
misalnya HbS, HbE dan lain-lain.
b. Gangguan jumlah (salah satu atau beberapa) rantai globin misalnya
talasemia.

b. Gangguan ekstrakorpuskuler

Gangguan ini biasanya didapat (acquired) dan dapat disebabkan oleh:3,8,9

1. Obat-obatan, racun ular, jamur, bahan kimia (bensin, saponin, air), toksin
(hemolisin) streptococcus, virus, malaria, luka bakar.
2. Hipersplenisme. Pembesaran limpa apapun sebabnya dapat menyebabkan
penghancuran eritrosit.
3. Anemia oleh karena terjadinya penghancuran eritrosit akibat terjadinya
reaksi antigen-antibodi seperti:
a. Inkompatibilitas ABO atau Rhesus.
b. Alergen yang berasal dari luar tubuh, kemudian menimbulkan reaksi
antigen-antibodi yang menyebabkan hemolisis.

5
c. Hemolisis akibat proses autoimun.
D. Patofisiologi
Pada anemia hemolitik terjadi peningkatan hasil pemecahan eritrosit dalam
tubuh (hemolisis). Berdasarkan tempatnya dibagi menjadi 2, yaitu:2

Gambar 1: patomekanisme hemolisis intravaskuler dan ekstravaskuler2

a. Hemolisis Ekstravaskuler

Hemolisis ekstravaskuler lebih sering dijumpai dibandingkan dengan


hemolisis intravaskuler. Hemolisis terjadi pada sel makrofag dari sistem
retikuloendothelial (RES) terutama pada lien, hepar dan sumsum tulang
karena sel ini mengandung enzim heme oxygenase. Hemolisis terjadi karena
kerusakan membran (misalnya akibat reaksi antigen-antibodi), presipitasi
hemoglobin dalam sitoplasma, dan menurunnya fleksibilitas eritrosit. Kapiler
lien dengan diameter yang relatif kecil dan suasana relatif hipoksik akan
memberi kesempatan destruksi sel eritrosit, mungkin melalui mekanisme
fragmentasi.2,3,10

6
Pemecahan eritrosit ini akan menghasilkan globin yang akan
dikembalikan ke protein pool, serta besi yang dikembalikan ke makrofag
(cadangan besi) selanjutnya akan dipakai kembali, sedangkan protoporfirin
akan menghasilkan gas karbonmonoksida (CO) dan bilirubin. Bilirubin dalam
darah berikatan dengan albumin menjadi bilirubin indirek, mengalami
konjugasi dalam hati menjadi bilirubin direk kemudian dibuang melalui
empedu sehingga meningkatkan sterkobilinogen dalam feses dan urobilinogen
dalam urine.2,3

Sebagian hemoglobin akan menuju ke plasma dan diikat oleh


haptoglobin sehingga kadar haptoglobin juga menurun, tetapi tidak serendah
pada hemolisis intravaskuler.3

b. Hemolisis Intravaskuler

Pemecahan eritrosit intrvaskuler menyebabkan lepasnya hemoglobin


bebas ke dalam plasma. Hemoglobin bebas ini akan diikat oleh haptoglobin
(suatu globulin alfa) sehingga kadar haptoglobin plasma akan menurun.
Kompleks hemoglobin-haptoglobin akan dibawa oleh hati dan RES dalam
beberapa menit. Apabila kapasitas haptoglobin dilampaui maka akan
terjadilah hemoglobin bebas dalam plasma yang disebut sebagai
hemoglobinemia. Hemoglobin bebas akan mengalami oksidasi menjadi
methemoglobin sehingga terjadi methemoglobinemia. Heme juga diikat oleh
hemopeksin (suatu glikoprotein beta-1) kemudian ditangkap oleh sel
hepatosit. Hemoglobin bebas akan keluar melalui urine sehingga terjadi
hemoglobinuria. Sebagian hemoglobin dalam tubulus ginjal akan diserap oleh
sel epitel kemudian besi disimpan dalam bentuk hemosiderin, jika epitel
mengalami deskuamasi maka hemosiderin dibuang melalui urine
(hemosiderinuria), yang merupakan tanda hemolisis intravaskuler kronik.2,3,10

7
E. Diagnosis
Anemia hemolitik ditegakkan berdasarkan anmnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Diagnosis anemia hemolitik dapat dibedakan menjadi 2
golongan yaitu secara umum dan khusus berdasarkan etiologinya yang sering
dijumpai seperti: sferositosis herediter (SH), thalasemia, dan malaria.1,2,5,11
a) Manifestasi atau gejala klinik
Secara umum penyakit hemolitik dapat didasarkan atas 3 proses yang
juga merupakan bukti bahwa ada hemolisis, yaitu:1
1. Kerusakan pada eritrosit
 Fragmentasi dan kontraksi sel darah merah
 mikrosferosit
2. Katabolisme hemoglobin yang meninggi
 Hiperbilirubinemia sehingga muncul ikterus
 Hemoglobinemia
 Urobilinogenuria atau urobilinuri
 Hemoglobinuri atau methemoglobinuri
 Hemosiderinuri
 Haptoglobin menurun
3. Eritropoesis yang meningkat (regenerasi sumsum tulang)
a. Darah tepi
 Retikulositosis sebagai derajat hemolisis
 Normoblastemia atau eritroblastemia
b. Sumsum tulang
 Hiperplasia eritroid
Rasio mieloid: eritroid menurun atau terbalik
 Hiperplasia sumsum tulang
Perubahan tulang-tulang (tengkorak dan panjang)

8
Anemia hemolitik kongenital
c. Eritropoesis ekstramedular
 Splenomegali atau hepatomegali
d. Absorpsi Fe yang meningkat

b) Pemeriksaan fisis1
1. Tampak pucat dan ikterus
2. Tidak ditemukan perdarahan dan limfadenopati
3. Dapat ditemukan hepatomegali dan splenomegali
c) Pemeriksaan penunjang
Hemoglobin, hematokrit, indeks eritrosit, DDR, hapusan darah tepi,
retikulosit, analisis Hb, Coomb’s test, tes fragilitas osmotik, urin rutin, feses rutin,
pemeriksaan enzim-enzim.1
Sferositosis herediter merupakan salah satu anemia hemolitik yang sering
dijumpai. Gejala klinik SH dapat berupa anemia ringan sampai berat disertai ikterus
dan splenomegali. Pembesaran limpa, hiperpigmentasi kulit dan batu empedu sering
dijumpai pada anak yang lebih besar. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan
kadar hemoglobin (Hb) masih normal atau turun mencapai 6-10 gr/dL, jumlah
retikulosit meningkat mencapai 6-20%, hiperbilirubinemia. Tes Coomb’s negatif,
dan tes fragilitas osmotik juga negatif. Gmbaran darah tepi menunjukkan adanya
polikromasi, sel eritrosit sferosit lebih kecil dengan hiperkromasi, retikulosit yang
meningkat.2,6,7,12

Gambar 2: sferositosis herediter7


Pada thalasemia keluhan yang sering timbul berupa pucat, gangguan nafsu
makan, gangguan tumbuh kembang, dan perut membesar karena pembesaran limpa

9
dan hati. Pemeriksaan fisis ditemukan bentuk muka mongoloid (Facies Cooley),
dapat ditemukan ikterus, gangguan pertumbuhan, penipisan korteks, hair on end/ hair
brush appearance, hipertropi jantung. Pemeriksaan penunjang didapatkan Hb rendah
menyebabkan anemia berat, retikulosit meningkat, resistensi osmotik meningkat, Fe
serum meningkat, saturasi transferin meningkat, analisa Hb (Hb A sangat rendah, Hb
F tinggi 10-90%, Hb A2 normal atau meningkat. Hapusan darah tepi terdapat
anisositosis dan polikilositosis, mikrositik, hipokromik, fragmentasi, sel target,
leptositosis, normoblast.1,2

Gambar 3: Sel target7 gambar 4: Gambaran darah tepi saat krisis:


sel krenasi, sel fragmen, sel gigitan atau
bite, dan sel lepuh atau blister. Heinz Bodies
atau hemoglobin teroksidasi terdenaturasi
tampak pada retikulosit, terutama pada saat
splenektomi2

Gejala utama malaria berupa demam yang bersifat serangan dan berulang,
anemia, dan pembesaran limpa. Gejala tambahan yaitu sakit kepala, kejang, lemah,
lesu, nyeri otot-otot dan tulang, anoreksia, mual, muntah, sakit perut dan diare,
ikterus, pembesaran hati.1

F. Komplikasi
Anemia hemolitik dapat menimbulkan komplikasi yang berat berupa gagal
ginjal akut (GGA). Pada malaria yang berat dapat menimbulkan komplikasi seperti:

10
hiperpireksia, kolaps sirkulasi (renjatan), hemoglobinuria (black water fever),
hipogikemi (gula darah < 40 mg/dl).1,7,10

G. Penatalaksanaan
Terapi anemia hemolitik dapat digolongkan menjadi 3 yaitu:
1. Suportif dan simtomatik (sesuai kausa atau penyebab dasar)
Tujuan pengobatan anemia hemolitik meliputi:3,8,12
a) Menurunkan atau menghentikan penghancuran sel darah merah.
b) Meningkatkan jumlah sel darah merah
c) Mengobati penyebab yang mendasari penyakit.

Pada hemolisis akut dimana terjadi syok dan gagal ginjal akut, maka untuk
mengatasi hal tersebut harus mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit,
serta memperbaiki fungsi ginjal. Jika terjadi syok berat maka tidak ada pilihan selain
transfusi.3
Indikasi transfusi darah untuk : 1
Perdarahan akut dan masif (yang mengancam jiwa penderita) atau tidak ada respon
sebelumnya dengan pemberian cairan koloid/kristaloid.
1. Penyebab anemia kongenital yang memerlukan transfusi darah secara
periodik.
2. Setiap anemia dengan tanda-tanda anoksia akut dan berat yang mengancam
jiwa penderita.
Perhitungan dosis darah untuk transfusi didasarkan atas perhitungan sebagai
berikut:1
Pada seorang normal dengan volume eritrosit 30 cc/kg bb konsentrasi Hb ialah 15
gr/dl. Jadi 2 cc eritrosit per kg bb setara dengan Hb 1 gr/dl. PRC mengandung 60-
70% eritrosit sehingga untuk menaikkan Hb 1 gr/dl diperlukan 3 cc/kg bb.1
Terapi suportif-simtomatik untuk anemia hemolitik diberikan untuk menekan
proses hemolisis, terutama di limpa (lien). Obat golongan kortikosteroid seperti

11
prednison dapat menekan sistem imun untuk membentuk antibodi terhadap sel darah
merah. Jika tidak berespon terhadap kortikosteroid, maka dapat diganti dengan obat
lain yang dapat menekan sistem imun misalnya rituximab dan siklosporin. Pada
anemia hemolitik kronik dianjurkan pemberian asam folat 0,15-0,3 mg/hari untuk
mencegah krisis megaloblastik.1,7,12
Pada thalasemia diberikan desferoxamine setelah kadar feritin serum sudah
mencapai 1000 mg/l secara subkutan dalam waktu 8-12 jam dalam dosis 25-50
mg/kgBB/hari minimal selama 5 hari setiap selesai transfusi.1
Terapi suportif pada malaria yaitu menjamin intake cairan dan elektrolit
sesuai kebutuhan per hari, transfusi PRC bila kadar Hb < 6 gr/dl, bila terjadi renjatan
ditangani sesuai protokol renjatan, bila terjadi kejang ditangani sesuai protokol kejang
pada anak. Dapat diberikan klorokuin bentuk tablet difosfat dan sulfat, kina dalam
bentuk tablet berlapis gula berisi 250 mg kina sulfat.1
2. Operatif
Pada beberapa tipe anemia hemolitik seperti talasemia, sumsum tulang tidak dapat
membentuk sel darah merah yang sehat. Sel darah merah yang terbentuk dapat
dihancurkan sebelum waktunya. Sehingga transplantasi darah dan sumsum tulang
mungkin dapat dipertimbangkan untuk mengobati jenis anemia hemolitik ini,
transplantasi ini mengganti stem sel yang rusak dengan stem sel yang sehat dari
pendonor.8

1. Prognosis
Prognosis pada anemia hemolitik tergantung pada etiologi dan deteksi dini.
Prognosis jangka panjang pada pasien dengan penyakit ini baik. Splenektomi dapat
mengontrol penyakit ini atau paling tidak memperbaikinya. Pada anemia hemolitik
autoimun, hanya sebagian kecil pasien mengalami penyembuhan dan sebagian besar
memiliki perjalanan penyakit yang kronik. Sebagai contoh penderita dengan
hemolisis autoimun akut biasanya datang dengan keadaan yang buruk dan dapat
meninggal akibat hemolisis berlebihan.8,12

12
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Anemia hemolitik ialah anemia yang disebabkan karena kecepatan
penghancuran sel darah merah (eritrosit) yang meningkat dari normalnya. Pada
anemia hemolitik, terjadi kerusakan sel eritrosit yang lebih awal dari umur eritrosit
normal rata-rata 110-120 hari. Sehingga pada umumnya ditemukan gejala anemia,
anoksia, ikterus, serta splenomegali.
Anemia hemolitik dapat ditegakkan dengan anamnesis yang tepat dan dari
hasil laboratorium, sehingga dapat ditangani dengan cepat dan tepat. Apabila tidak
cepat ditangani maka dapat timbul komplikasi yang berat berupa gagal ginjal akut
(GGA), dan syok (seperti: sesak napas, hipotensi, hiperkalemia). Anemia hemolitk
merupakan anemia yang tidak terlalu sering dijumpai, tetapi apabila dijumpai perlu
pendekatan diagnostik yang tepat dan harus segera ditangani sesuai penyebab yang
mendasari munculnya anemia hemolitik tersebut.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Recht M, Mahoney DH, Hoppin AG. Overview of Hemolytic Anemias in


Children. Uptodate 2015. Diakses dari:
http://www.uptodate.com/contents/overview-of-hemolytic-anemias-in-children
2. What is hemolytic anemia?.National Heart Lung and Blood Institude. [cited on
Maret 2014] Available from http://nhlbi.org

3. Means RT, Glader B. Anemia: General Considerations. In: Greer et al.


Wintrobe’s Clinical Hematology 12th Edition. Lippincott Williams & Wilkins
2014; p. 780-809.
4. How is Anemia Hemolytic Treated? National Heart Lung and Blood Institude.
[cited on Maret 2014] Available from http://nhlbi.org

5. Grace RF, Lux SE. Chapter 15. Disorders of the Red Cell Membrane. In: Orkin
SH, Nathan DG, Ginsburg D, Look AT, Fisher DE, Lux SE. Nathan And Oski’s
Hematology of Infancy and Childhood. 7th edition. Saunders, 2015. p. 659-837
6. DeBaun MR, Vichinsky E. Chapter 462. Hemoglobinopathies. In: Nelson
Textbook of Pediatrics. 18th edition. Saunders, 2017. p.2025-2038
7. Park AE, Godinez CD. Chapter 34. Spleen. In: Brunicardi FC, Andersen DK,
Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews JB, Pollock RE, eds. Schwartz’s
Principles of Surgery. 9th ed. New York: McGraw-Hill; 2016.
8. Weiss G. and Goodnough, 2015, Anemia of Chronic Disease,
9. Koesoema, A.A. Klasifikasi etiologi dan Aspek Laboratorik pada Anemia
Hemolitik [Cited on Maret 2014]. Available from http://usu.ac.id
10. Behrmann, Kliegman, Arvin. Anemia Hemolitik.Dalam: Ilmu Kesehatan Anak
Nelson Textbook of Pediatric edisi 15. EGC.2015
11. Children’s Hospital of Pittsburgh of UPMC. Hemolytic Disease of Newborn
[Cited on April 2014]. Available from http://www.chp.edu

14
12. Price, S.A., Wilson L.M. Gangguan Sel Darah Merah. Dalam: Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit [Cited on Maret 2014]. Available from
http://usu.ac.id

15

Anda mungkin juga menyukai