TINJAUAN PUSTAKA
c) Compliance to standard
Kurangnya pemenuhan standar menjadi penyebab yang sering terjadi.
2) Basic causes (penyebab dasar)
Penyebab dasar terjadinya kecelakaan disebabkan oleh karena :
a) Personal factor meliputi faktor kepemimpinan atau kepengawasan.
b) Job factor meliputi tidak sesuainya design engineering.
3) Immediate causes
Suatu kejadian yang secara cepat memicu terjadinya kecelakaan jika kontak
dengan bahaya. Immediate causes meliputi faktor substandard dan faktor kondisi.
Faktor substandard antara lain tindakan tidak aman seperti mengoperasikan unit
tanpa ijin. Sedangkan faktor kondisi meliputi kebisingan, iklim kerja, dan lain-
lain.
a. Usia
b. Pengalaman
c. Waktu dalam hari
d. Tingkat pacu kerja
e. Jenis pekerjaan
f. Kesehatan pekerja
g. Hubungan industrial
Keterangan:
E : Risiko Sangat tinggi-Extreme Risk; immediate action required
H : Risiko Tinggi-High Risk; senior management attetion needed
M: Risiko Sedang-Moderate Risk; management responsibiliy must be specified
L : Risiko Rendah - Low Risk; manage by routine procedures
b. Evaluasi Risiko
Evaluasi risiko merupakan suatu tahapan proses untuk menilai apakah risiko
tersebut dapat diterima atau tidak, dengan membandingkan terhadap standard yang
berlaku atau kemampuan organisasi (perusahaan) dalam menghadapi risiko tersebut
(Soehatman Ramli, 2010: 82). Evaluasi risiko dilakukan setelah melakukan analisa
risiko, sehingga dapat diketahui apakah suatu risiko tersebut dapat diterima atau tidak.
2) Kriteria Risiko
Kriteria risiko dilakukan sabagai landasan untuk melakukan pengendalian
bahaya dan mengambil keputusan untuk menentukan sistem pengaman yang akan
digunakan. Konsep ALARP dijelaskan pada gambar
a. Menekan Likelihood
Strategi yang pertama dilakukan dalam pengendalian risiko adalah dengan
menekan likelihood atau kemungkinan terjadinya kecelakaan. Strategi ini dilakukan
dengan berbagai pendekatan, yaitu:
1) Pendekatan Teknis (Engineering Control)
Sumber bahaya biasanya berasal dari peralatan atau sarana teknis yang ada
di lingkungan kerja, sehingga pengendalian bahaya dapat dilakukan melalui
perbaikan pada desain, penambahan peralatan dan pemasangan peralatan
pengaman (Soehatman Ramli, 2010: 104). Pengendalian atau rekayasa teknik
termasuk dengan merubah struktur subjek untuk mencegah terpaparnya potensi
bahaya, seperti pemberian pengaman mesin, penutup ban berjalan, pemberian alat
bantu mekanik dan lain sebagainya (Tarwaka, 2014: 278). Pendekatan teknis
dapat dilakukan dengan cara, antara lain:
a) Eliminasi
Eliminasi adalah suatu pengendalian risiko yang bersifat permanen dan
harus dicoba untuk diterapkan sebagai prioritas pertama. Risiko dapat
dihindarkan dengan menghilangkan sumbernya, apabila sumber bahaya
dihilangkan, maka risiko yang akan timbul akan dapat dihindari (Soehatman
Ramli, 2010: 107). Eliminasi dapat lakukan dengan memindahkan objek kerja
atau sistem kerja yang berhubungan dengan tempat kerja yang kehadirannya
pada batas yang tidak dapat diterima oleh ketentuan, peraturan atau standar
baku K3 atau kadarnya melampaui nilai ambang batas (NAB) yang
diperkenankan (Tarwaka, 2014: 277).
b) Substitusi
Subtitusi adalah teknik pengendalian bahaya dengan mengganti alat,
bahan, sistem atau prosedur yang berbahaya dengan yang lebih aman atau lebih
rendah bahayanya (Soehatman Ramli, 2010: 104).
c) Isolasi
Kejadian kecelakaan dapat dikurangi atau dihilangkan dengan
menggunakan teknik isolasi, yaitu dengan cara sumber bahaya dengan
penerima diisolir menggunakan penghalang (barrier) atau dengan pelindung
diri. Kemungkinan bahaya dapat dikurangi, apabila sumber bahaya dan
penerima dipasang dengan barrier atau alat pelindung diri (APD) (Soehatman
Ramli, 2010: 107).
d) Pengendalian Jarak
Kemungkinan kecelakaan dapat dikurangi dengan melakukan
pengendalian jarak antara sumber bahaya (energi) dengan penerima. Kontak
manusia atau pekerja dengan sumber bahaya dapat dikurangi dengan
menggunakan kontrol dari jarak jauh dari ruang kendali, sehingga semakin jauh
manusia atau pekerja dari sumber bahaya, semakin kecil kemungkinan
terjadinya kecelakaan (Soehatman Ramli, 2010: 108).
2) Pengendalian Administratif
Pengendalian bahaya juga dapat dilakukan secara administratif, yaitu
dengan mengurangi kontak antara penerima dengan sumber bahaya, misalnya
dengan mengatur jadwal kerja, istirahat, cara kerja atau prosedur kerja yang aman,
otas atau pemeriksaan kesehatan (Soehatman Ramli, 2010: 104).
3) Pendekatan Manusia
Pendekatan manusia dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan kepada
para pekerja berkaitan dengan cara kerja yang aman, prosedur kerja yang aman,
budaya keselamatan dan lain sebagainya (Soehatman Ramli, 2010: 108).
b. Menekan Konsekuensi
Pendekatan berikutnya untuk mengendalikan risiko yaitu dengan menekan
konsekuensi atau keparahan yang ditimbulkannya. Berbagai pendekatan yang dapat
digunakan untuk mengurangi konsekuensi antara lain: (1) tanggap darurat contigency
plan), yaitu konsekuensi atau keparahan dalam suatu kejadiankecelakaan dapat ditekan
apabila dalam suatu organisasi atau perusahaan memiliki sistem tanggap darurat yang
baik dan terencana; (2) sistem pelindung, yaitu dengan memasang sistem pelindung; dan
(3) penyediaan Alat Pelindung Diri (APD) (Soehatman Ramli, 2010: 109). Menurut
Soehatman Ramli, (2010: 104) dalam konsep K3, penggunaan APD merupakan pilihan
terakhir atau last resort dalam pencegahan kecelakaan. Hal ini disebabkan karena alat
pelindung diri bukan untuk mencegah kecelakaan (reduce likelihood) namau hanya
sekedar mengurangi efek atau keparahan kecelakaan (reduce consequences). Alat
Pelindung Diri (APD) adalah suatu kewajiban di mana biasanya pekerja atau buruh
bangunan yang bekerja di sebuah proyek atau bangunan yang bekerja disebuah proyek
atau pembangunan sebuah gedung, diwajibkan menggunakannya. Alat pelindung Diri
(APD) berperan penting terhadap kesehatan dan keselamatan kerja (Anizar, 2009: 86).