Anda di halaman 1dari 37

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kerangka Teori
A. Definisi Kecelakaan Kerja
Menurut PERMENAKER No. 03/MEN/1998 Kecelakaan kerja adalah
suatu kejadian yang tidak dikehendaki dan tidak diduga semula yang dapat
menimbulkan korban manusia dan atau harta benda (Kementrian Tenaga
Kerja, 1998). Kecelakaan adalah kejadian tidak terduga dan tidak diharapkan.
Dikatakan tidak terduga karena dibelakang peristiwa yang terjadi tidak
terdapat unsur kesengajaan atau unsur perencanaan, sedangkan tidak
diharapkan karena peristiwa kecelakaan disertai kerugian material ataupun
menimbulkan penderitaan dari skala paling ringan sampai paling berat
(Suma’mur, 2009).
Menurut Tarwaka (2016) Kecelakaan kerja adalah suatu kejadian yang
jelas tidak dikehendaki dan sering kali tidak terduga semula yang dapat
menimbulkan kerugian baik waktu, harta benda atau properti maupun korban
jiwa yang terjadi di dalam suatu proses kerja indusri atau yang berkaitan
dengannya. Dengan demikian kecelakaan kerja mengandung unsur-unsur
sebagai berikut :
1. Tidak diduga semula, oleh karena dibelakang peristiwa kecelakaan tidak
terdapat unsur kesengajaan dan perencanaan
2. Tidak diinginkan atau diharapkan, karena setiap peristiwa kecelakaan akan
selalu disertai kerugian baik fisik maupun mental
3. Selalu menimbulkan kerugian dan kerusakan, yang sekurang-kurangnya
akan dapat menyebabkan gangguan proses kerja.
Menurut Tarwaka (2016) pada pelaksanaannya kecelakaan kerja
diindustri dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kategori utama yaitu :
1. Kecelakaan industri, yaitu suatu kecelakaan yang terjadi di tempat kerja,
karena adanya potensi bahaya yang tidak terkendali

9
10

2. Kecelakaan di dalam perjalanan, yaitu kecelakaan yang terjadi di luar


tempat kerja dalam kaitannya dengan adanya hubungan kerja.
Penelitian yang dilakukan oleh Anshari dan Nizwardi (2016) jumlah
pekerja konstruksi yang tidak mengalami kecelakaan kerja lebih tinggi
daripada yang mengalami kecelakaan. Penelitian yang dilakukan oleh
Sandewa dan Ardian (2014) jumlah responden yang tidak pernah mengalami
kecelakaan kerja lebih tinggi daripada responden yang pernah mengalami
kecelakaan kerja. Penelitian yang dilakukan Affidah dan Vivien (2016) para
pekerja cenderung mengalami kecelakaan kerja, luka terbanyak yang dialami
oleh karyawan adalah luka ringan (injury). Penelitian yang dilakukan oleh
Messah, dkk (2015) jenis kecelakaan yang banyak dialami karena tergelincir
dan terpleset.

Menurut Ramli (2010) proses kerja di industri konstruksi pada


umumnya merupakan pekerjaan yang banyak mengandung unsur bahaya
kecelakaan kerja. Berbagai penyebab utama kecelakaan kerja pada proyek
konstruksi adalah hal-hal yang berhubungan dengan karakteristik proyek
konstruksi yang bersifat unik, lokasi kerja yang berbeda-beda, terbuka dan
dipengaruhi cuaca, waktu pelaksanaan yang terbatas, dinamis dan menuntut
ketahanan fisik yang tinggi, serta banyak menggunakan tenaga kerja yang
tidak terlatih serta manajemen keselamatan kerja yang sangat lemah.

Menurut Suma’mur (2001) pekerjaan menimbulkan kecelakaan kerja


pada proyek konstruksi diantaranya pekerjaan pondasi, bored pile, galian
basement, pabrikasi, penulangan, pengecoran, instalasi listrik, konstruksi
baja, dinding luar, pemasangan dan pembongkaran scaffolding, dan
maintenance. Pekerjaan-pekerjaan tersebut rentan terhadap kecelakaan kerja
karena dalam setiap tahapan pekerjaannya menggunakan alat dan bahan, serta
area kerja yang berbahaya. Pada saat pemasangan dan pembongkaran
bekisting cidera yang biasa dialami disebabkan karena serpihan kayu dan
11

paku yang ada pada struktur bekisting karena kurang kokohnya lantai kerja
atau scaffolding tempat kerja tersebut melakukan pekerjaan struktur bekisting.

B. Sebab-sebab Kecelakaan Kerja


Suatu kecelakaan kerja hanya dapat terjadi apabila terdapat berbagai
faktor penyebab secara bersamaan pada suatu tempat kerja atau proses
produksi. Dari beberapa penelitian memberikan indikasi bahwa suatu
kecelakaan kerja tidak dapat terjadi dengan sendirinya, akan tetapi terjadi oleh
satu atau beberapa faktor penyebab kecelakaan sekaligus dalam satu kejadian
(Tarwaka, 2016)
1. Sebab dasar atau asal mula
Sebab dasar merupakan sebab atau faktor yang mendasari secara umum
tehadap kejadian atau peristiwa kecelakaan. Sebab dasar kecelakaan kerja
di industri antara lain meliputi faktor:
a. Komitmen atau partisipasi dari pihak manajemen atau pimpinan
perusahaan dalam upaya penerapan K3 di perusahaannya
b. Manusia atau para pekerjanya sendiri, dan
c. Kondisi tempat kerja, sarana kerja dan lingkungan kerja.
2. Sebab utama
Sebab utama dari kejadian kecelakaan kerja adalah adanya faktor dan
persyaratan K3 yang belum dilaksanakan secara benar. Sebab utama
kecelakaan kerja antara lain meliputi faktor :
a. Faktor manusia atau dikenal dengan istilah tindakan tidak aman
(unsafe actions) yaitu merupakan tindakan bebahaya dari para tenaga
kerja yang mungkin dilatar belakangi oleh berbagai sebab antara lain :
1) Kekurangan pengetahuan dan keterampilan (lack of knowledge and
skill)
2) Ketidakmampuan untuk bekerja secara normal (inadequate
capability)
12

3) Ketidakfungsian tubuh karena cacat yang tidak nampak (bodily


defect)
4) Kelelahan dan kejenuhan (fatique and boredom)
5) Sikap dan tingkah laku yang tidak aman (unsafe attitude and
habits)
6) Kebingungan dan stress (confuse and stress) karena prosedur kerja
yang baru belum dapat dipahami
7) Belum menguasai atau belum trampil dengan peralatan atau mesin-
mesin baru (lack of skill)
8) Penurunan konsentrasi (difficulty in concentrating) dari tenaga
kerja saat melakukan pekerjaan
9) Sikap masa bodoh (worker’s ignorance) dari tenaga kerja
10) Kurang motivasi kerja (improper motivation) dari tenaga kerja
11) Kurang adanya kepuasan kerja (Low job satisfaction)
12) Sikap kecenderungan mencelakai diri sendiri
13) Dan lain sebagainya
b. Faktor lingkungan atau dikenal dengan kondisi tidak aman (unsafe
condition) yaitu kondisi tidak aman dari : mesin, peralatan, pesawat,
bahan, lingkungan dan tempat kerja, proses kerja, sifat pekerjaan dan
sistem kerja. Lingkungan dalam artian luas dapat diartikan tidak saja
lingkungan fisik, tetapi juga faktor-faktor yang berkitan dengan
penyediaan fasilitas, pengamalan manusia yang lalu maupun sesaat
sebelum betugas, pengaturan organisasi kerja, hubungan sesama
pekerja, kondisi ekonomi dan politik yang bisa menganggu
konsentrasi.
c. Interaksi manusia-mesin dan sarana pendukung kerja yang tidak sesuai
(unsafe man-mechine interaction). Interaksi manusia dan sarana
pendukung kerja merupakan sumber penyebab kecelakaan. Apabila
interaksi antara keduanya tidak sesuai maka akan menyebabkan
13

terjadinya suatu kesalahan yang mengarah kepada terjadinya


kecelakaan kerja. Dengan demikian, penyediaan sarana kerja yang
sesuai dengan kemampuan, kebolehan, dan keterbatasan manusia,
harus sudah dilaksanakan sejak desain sistem kerja. Satu pendekatan
yang holistik, systematic, dan interdisciplinary harus diterapkan untuk
mencapai hasil yang optimal, sehingga kecelakaan kerja dapat dicegah
sedini mungkin. Kecelakaan kerja akan terjadi apabila terdapat
kesejangan atau ketidak-harmonisan interaksi antara manusia pekerja-
tugas / pekerjaan – peralatan kerja – lingkungan kerja dalam suatu
organisasi kerja.
Menurut Salami dkk (2016) Terdapat dua kelompok penyebab
kecelakaan, yaitu penyebab langsung dan penyebab tidak langsung. Penyebab
langsung atau primer disebabkan oleh unsafe act (perilaku tidak aman) dan
unsafe condition (kondisi lingkungan kerja yang tidak aman). Sedangkan
penyebab tidak langsung/nyata/dasar dapat disebabkan oleh :
a. Faktor manusia: faali, kejiwaan
b. Faktor lingkungan : fisika, kimia, biologi, psikologi
c. Faktor manjemen : kebijakan, keputusan, evaluasi, kontrol, administrasi.
Underlying causes sangat beperan dan sering menjadi penyebab
kecelakaan yang sebenarnya. Penyebab tidak langsung ini dapat diketahui
dengan meneliti penyebab langsung terlebih dahulu dan kemudian
menganalisis penyebab langsung tersebut secara detail dan terurut dengan cara
mencoba mengetahui mengapa penyebab langsung yang berupa unsafe act
atau unsafe condition ini terjadi. Pada akhirnya, diketahui bahwa penyebab
tidak langsung akhirnya membawa kepada root cause (akar penyebab) yang
dapat berasal dari permasalahan kelemahan manajemen yang berkontribusi
pada pemikiran, perilaku, dan kondisi yang behubungan dengan kecelakaan
(Salami dkk, 2016).
14

C. Model Teori Kecelakaan Kerja


Pencegahan kecelakaan kerja yang tinggi memerlukan upaya
peningkatan kesadaran pekerja dan pengetahuan mengenai penyebab
kecelakaan. Pencegahan kecelakaan akan sangat sulit dilakukan tanpa
pengetahuan dan pemahaman atas penyebab kecelakaan. Banyak upaya
dilakukan untuk mengetahui teori penyebab kecelakaan yang dapat membantu
dalam mengidentifikasi, mengisolasi, dan menghilangkan aktor yang
berkontribusi terhadap penyebab kecelakaan (Salami dkk, 2016).

1. Teori Domino
Teori Domino dikembangkan oleh H.W Heinrich (1931) dalam
(Salami dkk, 2016) yang menyatakan bahwa, kecelakaan kerja disebabkan
oleh perilaku tidak aman (unsafe act) 88%, kondisi tidak aman (unsafe
condition) 10% dan “acts of God” 2% atau tidak dapat dihindari. Heinrich
mengajukan lima faktor/kartu urutan kecelakaan dimana setiap faktor
secara berurutan akan menentukan kejadian tahap berikutnya sehingga
disebut sebagai teori domino. Kelima urutan fakor/kartu tersebut adalah:
a. Lingkungan sosial
b. Kesalahan pekerja
c. Perilaku tidak aman (unsafe act) dan kondisi tidak aman (unsafe
condition)
d. Kecelakaan
e. Cedera/jejas dan kerusakan
Teori domino ini kemudian dikembangkan oleh beberapa peneliti
kecelakaan kerja, diantaranya:
a. Bird : menambah teorema kelima, yaitu kesalahan manajerial dengan
tidak menentukan kebijakan manajerial yang aman
15

b. Adam : sequenced / urutan kedua ditambahkan dengan pernyataan


bahwa dibelakang tindakan tidak aman dan kondisi tidak aman ada
kesalahan manajerial dan supervise.
c. Weaver : seperti Adam, mengubah sequenced kedua dengan
mengatakan bahwa unsafe act and condition hanya merupakan gejala
kecelakaan yang menyebabkan ialah manajemen yang buruk.
2. Multiple Causation Theory
Teori ini dikembangkan oleh Domino yang menyatakan bahwa
untuk suatu kecelakaan, terdapat kemugkinan berbagai faktor yang
berkontribusi, yaitu penyebab dan sub penyebab. Kombinasi faktor-faktor
ini dapat mengakibatkan kecelakaan (Salami dkk, 2016). Faktor yang
berkontribusi dikategorikan dalam dua kelompok yaitu:
a. Behavioural : yang termasuk didalamnya ialah faktor yang
berhubungan dengan pekerja, seperti perilaku yang tidak sesuai dan
kurangnya pengetahuan. Lemahnya keterampilan dan kondis fisik serta
mental yang tidak cukup baik.
b. Environmental : termasuk unsur pengaman peralatan yang tidak tepat,
penurunan kualitas peralatan, termasuk penggunaan dengan prosedur
tidak aman.
3. The Pure Change Theory
Teori ini menyatakan bahwa setiap pekerja mempunyai
kemungkinan yang sama untuk terlibat dalam suatu kecelakaan. Hal ini
berimplikasi bahwa tidak ada suatu pola yang jelas dalam kejadian
kecelakaan. Bila dihubungkan dengan pendapat Heinrich, hal ini
berasosiasi dengan acts of God. Oleh karenanya, teori ini tidak
mendapatkan sesuatu yang mengintervensi untuk dapat mencegah
kecelakan (Salami dkk, 2016).
16

4. Teori Keju Swiss (Swiss Cheese Theory)


Menurut Reason (1997) kecelakaan yang terjadi dalam perusahaan
bukan merupakan kecelakaan individu (individual accident), melainkan
kecelakaan organisasi (organizational incident) dimana banyak pihak
dalam organisasi perusahaan terlibat, baik individu maupun keseluruhan
manajemen, dan terdapat kontribusi berbagai faktor (multiple factors)
pada tingkat organisasi yang berbeda.
Melalui teori Swiss Cheese Model, Reason menggambarkan bahwa
terdapat hubungan antara potensi bahaya (hazard), pertahanan (defences),
kerugian (loss) dalam sebuah kecelakaan. Pertahanan yang dimaksud
terdapat pada faktor manusia, teknis, organisasi (Reason, 1997). Apabila
kondisi sistem pertahanan kurang atau tidak memadai, potensi bahaya
akan menembus palang pertahanan hingga kontak dengan individu atau
asset yang rentan sehingga kerugian timbul.
Kecelakaan terjadi ketika terdapat kegagalan atau kekurangan pada
sistem pertahanan sehingga potensi bahaya yang ada tidak dapat di
kendalikan (Wiegmann & Shappell, 2003). Kegagalan atau kekurangan
yang terjadi pada tingkatan sistem pertahanan dalam perusahaan
digambarkan sebagai lubang-lubang pada tiap lapisan pertahanan yang
diilustrasikan seperti lubang-lubang pada lapisan keju. Untuk mencegah
terjadinya kecelakaan, perlu menutup lubang-lubang pada lapisan keju
tersebut atau dengan kata lain memperbaiki kekurangan pada lapisan-
lapisan sistem pertahanan agar potensi bahaya yang muncul dapat
dikendalikan. Reason (2008) tidak menspesifikasi tiap-tiap lapisan
pertahanan. Reason menekankan bahwa kegagalan atau kelemahan pada
tingkatan sistem pertahanan terbentuk dari kondisi laten (latent
conditions) dan kegagalan aktif (active failure) sebagai berikut.
a) Latent Conditions
17

Menurut Reason (1997), kondisi laten (latent conditions)


umumnya timbul dari ketidaksesuaian strategi atau keputusan yang
dibuat oleh pihak manajemen perusahaan. Keputusan tersebut akan
mempengaruhi kinerja individu di tempat kerja, namun dampaknya
tidak timbul dengan segera. Kondisi laten dapat memicu kemungkinan
kegagalan aktif (active failure) (Reason, 1997).
b) Active Failure
Kegagalan aktif (active failure) merupakan kegagalan yang
secara langsung berkaitan dengan kejadian kecelakaan, yakni tindakan
tidak selamat (unsafe act). Reason (1990) mengklasifikasikan tindakan
tidak selamat atau kegagalan manusia (human failure) menjadi dua
kategori, yaitu error dan violation. Human error didefinisikan sebagai
kegagalan dari tindakan yang direncakan dalam mencapai hasil sesuai
yang diharapkan, tanpa adanya campur tangan dari kejadian yang tidak
terduga (Reason, 1990). Berbeda dengan error, violation atau
pelanggaran merupakan penyimpangan dari ketentuan-ketentuan
dalam prosedur, standar, atau peraturan yang direncanakan dalam
mencapai hasil sesuai yang diharapkan, tanpa adanya campur tangan
dari kejadian yang tidak terduga (Reason, 1990). Berbeda dengan
error, violation, atau pelanggaran merupakan penyimpangan dari
ketentuan-ketentuan dalam prosedur, standar, atau peraturan yang
dilakukan secara sengaja.
18

Sumber: James T. Reason (1990)

Gambar 2.1 Teori Keju Swiss (Swiss Cheese Theory)

Menurut Teori Keju Swiss (Swiss Cheese Theory), pada dasarnya ,


kecelakaan terjadi akibat pengulangan kegagalan pada empat layer.
Empat layer yang menyusun terjadinya suatu accident (kecelakaan), yaitu:
1) Organizational Influences (pengaruh pengorganisasian dan
kebijakan manjemen):
Keputusan dari manajemen tingkat atas dapat mempengaruhi
praktik pengawasan, serta kondisi operasi dan tindakan operator.
Namun kegagalan di tingkat organisasi seringkali tidak teridentifikasi
karena keterbatasan kerangka konsep dalam melakukan investigasi.
Pada Swiss Cheese Model dari Reason (1990). Analisa kegagalan
dilakukan ditingkat organisasi, meliputi manajemen sumber daya,
iklim organisasi, dan proses organisasi.
a. Manajemen sumber daya (resource management), berkaitan
dengan pengelolaan, pengalokasian, serta perawatan sumber daya
organisasi yang mencangkup manajemen sumber daya manusia
(seleksi, pelatihan, staffing), anggaran keuangan untuk aspek
19

keselamatan, dan pengelolaan peralatan (pembelian, perawatan),


desain tidak memadai, pembelian peralatan tidak cocok.
b. Iklim organisasi (organizational climate), terkait suasana atau
atmosfer kerja dalam organisasi termasuk budaya organisasi
mencerminkan cara organisasi dalam melaksanakan tugas-tugas,
kejelasan tanggung jawab, kebijakan perusahaan, struktur
organisasi.
c. Proses organisasi (organization Climate), berkaitan dengan
aktivitas organisasi yang meliputi penyusunan dan penggunaan
SOP dan metode formal untuk melaksanakan pemantauan
program, jadwal pekerjaan, tekanan hasil atau waktu dalam
menyelesaikan pekerjaan, kekurangan perecanaan, ketersediaan
prosedur standar.
Peran manajemen terhadap keselamatan merupakan salah satu
faktor yang penting karena pada umumnya peraturan tersebut adalah
keputusan yang dibuat oleh pihak manajemen perusahaan. Keputusan
manajemen akan mempengaruhi kinerja individu di tempat kerja,
namun dampaknya tidak timbul segera. Dukungan top manajemen
misalnya dalam anggaran keuangan untuk aspek keselamatan,
kejelasan tanggung jawab dalam melaksanakan pekerjaan, dan
penyusunan SOP sehingga pekerja bekerja sesuai prosedur. Pengaruh
organisasi terdiri dari manajemen sumber daya, iklim organisasi, dan
proses organisasi sangat membantu untuk mengurangi kecelakaan
kerja di tempat kerja (Reason, 1990).
Perilaku manajemen keselamatan kerja kedepan merupakan
variabel yang sangat penting didalam pengembangan program
keselamatan kerja di tempat kerja. Struktur organisasi yang
mempromosikan kerjasama antara pekerja untuk pengenalan dan
pengendalian potensi bahaya akan mempengaruhi perilaku pekerja
20

secara positif. Struktur organisasi tersebut juga akan memotivasi


pekerja untuk berperilaku secara hati-hati selama bekerja.
Pengembangan organisasi kerja yang efektif akan sangat menentukan
kinerja keselamatan secara umum di tempat kerja dalam upaya
pencegahan kecelakaan kerja (Tarwaka, 2016).
Manajemen sangat berperan penting dalam keberhasilan
proyek menurut Prabowo (1999), yang menyatakan bahwa kunci
utama keberhasilan melaksanakan proyek tepat waktu adalah
perencanaan dan penjadwalan yang lengkap dan tepat. Keterlambatan
dapat dianggap sebagai akibat tidak terpenuhinya rencana jadwal yang
telah dibuat, karena kondisi kenyataan tidak sesuai dengan kondisi saat
jadwal tersebut dibuat. yang menyatakan bahwa proses penjadwalan
proyek perlu memahami semua faktor yang melatarbelakangi
pembuatan jadwal proyek, pemahaman faktor-faktor tersebut
dilakukan dengan mengkaji 6 tahapan yang ada dalam proses
menjadwal tersebut yakni identifikasi aktivitas-aktivitas proyek,
estimasi durasi aktivitas, penyusunan rencana kerja proyek,
penjadwalan aktivitas-aktivitas proyek peninjauan kembali dan analisa
terhadap jadwal yang telah dibuat, penerapan jadwal.
Menurut undang-undang No.1 Tahun 1970 disebutkan bahwa
salah satu kewajiban pengurus adalah memasang dalam tempat kerja
yang dipimpinnya, semua gambar keselamatan kerja yang diwajibkan
dan semua bahan pembinaan lainnya pada tempat-tempat yang mudah
dilihat dan terbaca dan menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli
keselamatan kerja (Kementrian Republik Indonesia, 1970).
Penelitian yang dilakukan Anshari dan Nizwardi (2016)
proporsi pekerja yang menyatakan faktor manajemen baik lebih tinggi
dibandingkan yang menyatakan faktor manajemen kurang baik, hasil
uji statistik menunkukkan terdapat hubungan yang bermakna antara
21

komitmen top manajement dengan kecelakaan kerja. Berdasarkan


penelitian Waruwu (2016) korelasi antara top management dengan
kecelakaan kerja memiliki hubungan yang sangat kuat.

2) Unsafe Supervision (pengawasan yang tidak baik) :


Pengawasan yang tidak aman, berkaitan dengan kinerja dan keputusan
supervisor dan manajer yang dapat mempengaruhi kinerja operator di
garis depan. Hal ini dikategorikan menjadi empat kategori :
pengawasan yang tidak sesuai (inadequate supervision), perencanaan
operasi yang tidak tepat (planed inappropriate operations), kegagalan
untuk memperbaiki masalah (failed to correctprolem), dan kategori
pelanggaran dalam pengawasan (supervisory violations).
1. Pengawasan yang tidak sesuai (inadequate supervision)
Tugas utama dari supervisor adalah untuk memberikan
kesempatan untuk sukses kepada bawahannya. Untuk memperoleh
hal tersebut supervisor harus memberikan petunjuk, pelatihan,
menujukkan kepemimpinan, pandangan, insentif atau apapun yang
meyakinkan bahwa pekerjaan tersebut diselesaikan secara selamat
dan efisien. Gagal untuk memberikan bimbingan, gagal untuk
memberikan doktrin operasional, gagal untuk memberikan
pengawasan, gagal untuk memberikan pelatihan, gagal untuk
melacak kualifikasi, dan gagal untuk melacak kinerja. Kesalahan
dalam memberikan petujuk atau arahan menjadi awal terjadinya
sebuah kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan oleh personil.
(Patterson & Shappell, 2009).
2. Perencanaan operasi yang tidak tepat (planned inappropriate)
Perencanaan operasi yang tidak tepat bekaitan dengan kegagalan
dalam melakukan perencanaan yang memadai dalam penugasan
pekerjaan sehingga operator perlu menghadapi risiko. Gagal untuk
22

memberikan data yang benar, gagal untuk menyediakan waktu


untuk memberikan instruksi, pekerjaan tidak sesuai dengan
aturan/peraturan, tidak memberikan waktu istirahat yang memadai.
(Patterson & Shappell, 2009).
3. Kegagalan dalam memperbaiki masalah (failure to correct known
problem)
Kegagalan untuk memperbaiki masalah adalah ketika supervisor
mengetahui adanya ketidaksesuaian atau penyimpangan pada
individu, peralatan, pelatihan ataupun aspek keselamatan lainnya,
tetapi tetap membiarkannya berlanjut. Kategori ini mengacu pada
situasi dimana kondisi-kondisi atau perilaku-perilaku beresiko
telah teridentifikasi, tetapi tindakan perbaikan untuk mengatasi hal
tersebut tidak dilakukan (Patterson & Shappell, 2009). Tindakan
karyawan yang tidak sesuai ataupun kondisi peralatan yang tidak
memadai telah diketahui, namun hal tersebut dibiarkan sehingga
secara laten berpotensi menimbulkan kecelakaan. Beberapa
contohnya adalah identifikasi potensi bahaya (hazard) tidak
optimal, tidak menghentikan tindakan yang tidak selamat, tidak
melakukan revisi terhadap Standard Operatin Procedure (SOP)
sesuai dengan yang dijadwalkan (Patterson & Shappell, 2009).
4. Pelanggaran dalam pengawasan (supervisory violation)
Kategori pelanggaran pengawasan adalah mengabaikan segala
aturan yang ditetapkan dan peraturan oleh mereka di tingkat
supervisor. Seperti ketika diizinkannya personil yang tidak
memiliki kewenangan dan keterampilan untuk mengerjakan suatu
pekerjaan (Patterson & Shappell, 2009).
Menurut Salami dkk (2016) Sebelum memulai bekerja dapat
diadakannya rapat tentang keselamatan untuk mengingatkan hal-hal
yang perlu diperhatikan atau diberitahukan apabila ada koreksi yang
23

perlu dilakukan terhadap suatu kasus atau pekerjaan tertentu. Baik


supervisor maupun pekerja harus memahami dan menaati semua
peraturan yang berlaku serta memiliki kemampuan dan keterampilan
yang diperlukan untuk menjalankan tugas.
Pengawasan yaitu mendeterminasi apa yang telah dilaksanakan,
seperti mengevaluasi prestasi kerja dan apabila perlu menerapkan
tindakan-tindakan korektif sehingga hasil pekerjaan sesuai dengan
rencana yang telah ditetapkan (Terry, 2006).
Menurut Suma’mur (2009) pengawasan adalah suatu pekerjaan
yang berarti mengarahkan yaitu memberi tugas, menyediakan instruksi,
memberikan nasihat kepada individu, juga termasuk mendengarkan dan
memecahkan masalah yang berhubungan dengan pekerjaan serta
menanggapi keluhan bawahan. Supervisor memiliki posisi kunci dalam
mempengaruhi pengetahuan, sikap, keterampilan, dan kebiasaan akan
keselamatan setiap karyawan dalam suatu area tanggung jawabnya.
Penelitian yang dilakukan Anshari dan Nizwardi (2016),
proporsi responden yang mengatakan peran pengawas baik lebih tinggi
dibandingkan responden yang mengatakan peran pengawas kurang baik.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna
antara pengawasan dengan kecelakaan kerja.

3) Precondition for Unsafe Act (kondisi yang mendukung munculnya


perilaku tidak aman) :
Prakondisi untuk tindakan tidak selamat merupakan faktor
mendasar yang dapat menunjang tindakan tidak selamat. Faktor
prakondisi dari tindakan tidak selamat meliputi kondisi operator,
faktor personal, dan faktor lingkungan.
1. Kondisi operator (condition of operators) merupakan kondisi yang
mempengaruhi kinerja operator, antara lain :
24

a. Kondisi mental yang tidak memadai (adverse mental states),


kondisi operator yang dimaksud berkaitan dengan kondisi
mantal dan fisik saat bekerja serta keterbatasan fisik ataupun
mental yang buruk mencangkup kondisi mental dalam
jangkauan luas yang dapat mempengaruhi performa pekeja.
b. Seperti kelelahan mental, pekerjaan monoton, distraksi, tidak
memperhatikan, kurang motivasi, frustasi, terlalu percaya diri,
dan hilangnya kesadaran atau kepekaan terhadap situasi.
Keadaan fisik yang buruk merujuk pada kondisi medis dan
fisiologis yang dapat mempengaruhi performa pekerja
(Patterson & Shappell, 2009).
c. Kondisi fisiologis yang tidak memadai (adverse physiological
states), yaitu gangguan pada kondisi medis atau fungsi kerja
tubuh sehingga dapat mengganggu operasi kerja, seperti sakit,
mabuk, dan kelelahan fisik. Fisiologi berkaitan dengan fungsi
normal tubuh pekerja. Kategori keadaan fisik juga mencangkup
kondisi kesehatan sementara, seperti pekerja mengalami flu,
sakit kepala, belum sembuh dari cedera, dan lain sebagainya
serta efek dari pengobatan untuk menangani kondisi tersebut
(Patterson & Shappell, 2009).
d. Keterbatasan fisik dan/atau mental (mental/physic limitations),
merujuk pada situasi dimana tuntutan pekerjaan melapaui
kapabilitas atau kemampuan individu. Kategori ini meliputi
beberapa bentuk ketidaksesuaian yang dimiliki oleh manusia
terkait dengan kemampuan fisik dan mental. Beberapa orang
memiliki kemampuan mental untuk dapat menangani situasi
yang tidak biasa atau untuk mengingat beberapa prosedur.
Selain itu beberapa orang memilik keterbatasan pada keahlian
fisiknya unuk mengoperasikan pekerjaan, memiliki ukuran
25

antopometri yang tidak sesuai dengan desain mesin, kesehatan


fisik yang tidak cukup kuat untuk melakukan tugas yang
membutuhkan aktivitas fisik. Sebagai contoh, keterbatasan
fisik dan mental yang dialami pekerja antara lain keterbatasan
penglihatan (missal: mata rabun dan buta warna), keterbatasan
pendengaran (misal: tuli atau hearing damage), serta
kurangnya daya tangkap dan daya ingat yang berkaitan dengan
kemampuan untuk belajar (Patterson & Shappell, 2009).
Kondisi operator dapat menunjang perilaku tidak aman,
kondisi operator mencakup kondisi mental yang tidak memadai,
kondisi fisiologis yang tidak memadai, keterbatasan fisik dan/atau
mental. Apabila pekerja mempunyai keadaan fisik yang buruk
dapat mempengaruhi performa kerja seperti kelelahan fisik, sakit,
mabuk, kelelahan mental, pekerjaan monoton sehingga membuat
bosan, keterbatasan penglihatan seperti buta warna, rabun jauh.
Dimana kondisi-kondisi tersebut akan berpotensi menimbulkan
kecelakaan.
2. Faktor kepegawaian (personnel factors) merupakan hal yang
dilakukan oleh pekerja sehingga memicu timbulnya tindakan
selamat, meliputi:
a. Crew resource management, berkaitan dengan kemampuan
kominukasi dan koordinasi antar rekan atau tim kerja yang
buruk. Gangguan komunikasi dapat terjadi antara beberapa
orang ditempat kerja, baik dalam kelompok kerja, antar
kelompok kerja, antara manajemen dan pegawai, serta
manajemen dan kontraktor (Patterson & Shappell, 2009).
Komunikasi dan koordinasi dalam organisasi merupakan hal
yang penting dalam menjalankan pekerjaan yang selamat,
koordinasi yang buruk antar pekerja, manajemen dan
26

kontraktor dapat menimbulkan kebingungan mengenai


tanggung jawab serta gangguan dalam jalur organisasional.
Bentuk koordinasi dan komunikasi yang buruk antara lain
kurangnya kerja sama tim, pelaksan briefing/safety talk tidak
berjalan optimal, metode konumikasi tidak efektif sehingga
meimbulkan peluang terjadinya kecelakaan kerja.
b. Personal readiness (kesiapan pribadi), yakni ketika individu
gagal dalam mempersiapkan kondisi fisik atau mentalnya
untuk bekerja secara optimal, seperti pelanggaran ketentuan
waktu istirahat.
Kesiapan personil menjadi hal yang sangat penting dalam hal
yang menyebabkan insiden. Kebugaran untuk bekerja menjadi
tangung jawab bagi personil sendiri untuk menjamin bahwa
tiba di tempat kerja dengan kondisi yang memungkinkan untuk
bekerja dengan aman.
3. Faktor lingkungan (environment factors)
Faktor lingkungan terbagi menjadi dua kategori, yakni lingkungan
fisik (physical environment) dan faktor lingkungan teknologi
(technological environment) berkontribusi dalam menimbulkan
kondisi yang tidak memadai dan memicu perilaku tidak aman
(Wiegmann & Shappel, 2003).
a. Lingkungan fisik (physical environment), meliputi lingkungan
operasional, contohnya cuaca dan ketinggian, dan lingkungan
ambien, seperti panas, pencahayaan, dan getaran dari mesin
kerja. Lingkungan fisik merujuk pada kondisi lingkungan yang
menimbulkan dari kegiatan operasional (alat, mesin, dan lain-
lain). Serta ambein lingkungan (suhu, cuaca, dan lain-lain).
Dalam kondisi lingkungan yang buruk pekerja seringkali
terpajan temperatur tinggi yang dapat menyebabkan penurunan
27

perhatian, kondisi berdebu yang menurunkan kemampuan


penglihatan dan dehidrasi. Kondisi-kondisi tersebut dapat
berkontribusi menimbulkan perilaku tidak aman pada pekerja
sehingga menyebabkan terjadinya kecelakaan. Sebagai contoh,
faktor lingkungan fisik meliputi ventilasi yang tidak memadai,
kondisi jalanan yang licin, benda jatuh, peralatan bertenaga
listrik dan sebagainya.
b. Lingkungan teknologi (technological environment), berkaitan
dengan desain peralatan dan kontrol, dan otomatisasi mesin.
Faktor lingkungan teknologi merujuk pada desain alat atau
peralatan serta kondisi interaksi antara pekerja dengan alat dan
perlatan serta kondisi interaksi antara pekerja dengan alat dan
peralatan tersebut. Faktor ini dapat berdampak ketidaksesuaian
antara pekerja dengan rancangan tersebut sehingga
menimbulkan risiko.
Kondisi faktor lingkungan yakni lingkungan fisik dan
lingkungan teknologi. Lingkungan fisik yang buruk seperti
temperatur yang tinggi yang dapat menyebabkan penurunan
konsentrasi, kondisi berdebu yang dapat menyebabkan
menurunnya kemampuan penglihatan dan dehidrasi, ventilasi
yang tidak memadai, kondisi jalanan yang licin. Sedangkan
lingkungan teknologi yang buruk seperti pekerja menggunakan
APD yang sudah rusak, peralatan yang sudah rusak kondisi-
kondisi tersebut yang berisiko untuk memicu terjadinya
kecelakaan kerja.
Suma’mur (2009) menyatakan bahwa housekeeping atau
ketatarumah tanggaan merupakan upaya perusahaan dalam
menciptakan suatu lingkungan kerja yang aman dan nyaman,
meliputi penyimpanan peralatan kerja, pembuangan sampah
28

industri, dan ruangan kerja yang kering dan bersih. Lingkungan


kerja yang aman dan nyaman dapat membantu mencegah
terjadinya kecelakaan kerja.
Penelitian yang dilakukan oleh Sanibela (2017) proporsi
yang menyatakan adanya kondisi tidak aman lebih tinggi
dibandingkan yang menyatakan kondisi aman ditempat. Penelitian
yang dilakukan Sandewa dan Ardian (2014) responden dengan
kondisi fisik baik lebih tinggi daripada responden dengan kondisi
fisik kurang baik, hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan
antara kondisi fisik dengan resiko kecelakaan. Penelitian yang
dilakukan oleh Winarto dkk (2016) lingkungan kerja yang tidak
aman pada kelompok kasus lebih besar dibandingkan lingkungan
kerja yang tidak aman pada kasus kontrol, hasil uji statistik
menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara
lingkungan kerja dengan kecelakaan kerja. Penelitian yang
dilakukan Al Faris dan Feri (2014) tidak terdapat hubungan
lingkungan kerja terhadap kecelakaan kerja.

4) Unsafe Act (perilaku tidak aman) :


Menurut Reason (1990) perilaku tidak aman merupakan salah satu
faktor yang berhubungan dengan kejadian kecelakaan kerja.
Perilaku tidak aman yaitu perilaku yang menyimpang atau tidak
sesuai dengan prosedur kerja yang telah ditentukan. Perilaku tidak
aman merupakan kegagalan aktif yaitu kegagalan yang berkaitan
secara langsung dengan kejadian kecelakaan. Perilaku tidak aman
terdiri dari kesalahan dan pelanggaran yang dilakukan oleh
pekerja.
29

1. Error (kesalahan)
Keterampilan atau skill berasal dari kata dasar mampu yang
dalam hubungan dengan tugas / pekerjaan berarti dapat (kata
sifat/keadaan) melakukan tugas atau pekerjaan sehingga
menghasilkan barang atau jasa sesuai dengan yang diharapkan.
Kemampuan juga dapat ditujukan kepada sifat atau keadaan
seseorang yang dapat melaksanakan tugas/pekerjaan atas dasar
ketentuan yang ada.
2. Violation (pelanggaran) didefinisikan sebagai perilaku yang
secara sengaja melanggar peraturan dan prosedur.
a) Tidak mematuhi instruksi
b) Tidak menggunakan alat yang seharusnya
c) Melakukan pekerjaan diluar kewenangannya
d) Melanggar peraturan pelatihan
e) Melakukan pekerjaan berlebihan
f) Tidak melakukan persiapan pekerjaan
g) Mendapatkan instruksi dari orang yang tidak berwenang
h) Bekerja diluar lokasi yang seharusnya
Perilaku tidak aman yang terdiri dari kesalahan dan pelanggaran
merupakan tindakan dari pekerja yang secara langsung dapat
menyebabkan terjadinya kecelakaan. Contoh dari perilaku tidak
aman pekerja menggunakan peralatan yang tidak benar
dikarenakan pekerja tidak tahu peralatan yang seharusnya
digunakan atau pekerja salah dalam memilih peralatan yang sesuai
untuk digunakan, menggunakan APD yang tidak sesuai merupakan
perilaku yang dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan.
Menurut Bird dan Germain (1990) dalam Tarwaka (2016),
menyebutkan tindakan tidak aman yaitu pelanggaran terhadap tata
cara kerja yang aman sehingga dapat menimbulkan peluang akan
30

terjadinya kecelakaan. Winarsunu (2008) menyatakan dari


beberapa definisi yang dinyatakan para ahli, perilaku tidak aman
adalah tindakan berbahaya dalam bekerja yang sangat potensial
menyebabkan kecelakaan kerja karena gagal mengikuti prosedur
kerja yang telah ditentukan, didukung pula dengan
ketidakmampuan mengenali dan memutuskan menghindari
bahaya.
Penelitian yang dilakukan oleh Wahyu (2015) berdasarkan
uji statistik terdapat hubungan antara perilaku tidak aman dengan
kecelakaan kerja di bagian produksi PT. Linggarjati Mahardika
Mulia Pacitan. Penelitian yang dilakukan oleh Al Faris dan Feri
(2014) pengaruh perilaku tenaga kerja berpengaruh signifikan
terhadap kecelakaan kerja. Penelitian yang dilakukan oleh Affidah
dan Vivien (2016) proporsi yang menyatakan perilaku tidak aman
lebih tinggi daripada pekerja yang perilaku aman, berdasarkan
hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara tindakan tidak aman terhadap kecelakaan kerja.
Penelitian yang dilakukan oleh Aswar dkk (2016) sebagian besar
responden tidak menggunakan APD saat bekerja, hasil uji statistik
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara perilaku kerja
terhadap kecelakaan kerja.

D. Klasifikasi Kecelakaan Kerja


Kontruksi merupakan tempat kerja yang berpotensi menyebabkan kecelakaan
kerja. Menurut Suma’mur (2009), pada saat pemasangan dan pembongkaran
bekisting cidera yang sering terjadi biasanya disebabkan karena serpihan kayu
dan paku pada struktur bekisting menusuk tangan pekerja yang bersangkutan.
Jenis-jenis kecelakaan menurut ILO (1980) dalam Tarwaka (2016),
kecelakaan kerja di industri dapat diklasifikasikan menurut lokasi kejadian
31

kecelakaan, jenis kecelakaan atau mode cidera, agen penyebab atau objek
kerja, jenis cidera atau luka, dampak atau akibat cidera, jenis pekerjaan
tertentu, penyimpangan dari keadaan normal dan lokasi tubuh yang terluka.
Klasifikasi kecelakaan di industri secara garis besar dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1. Klasifikasi berdasarkan mode cidera (classification of mode of injury)
a. Kontak dengan arus listrik, temperatur, bahaya berbahaya, dan beracun
(kontak tidak langsung dengan percikan pengelasan, kontak langsung
dengan arus listrik, kontak dengan pemanasan atau pembakaran terbuka,
kontak dengan benda yang sangat dingin, kontak B3 melalui pernapasan,
kulit dan mata, kontak melalui sistem pencernaan atau tertelan atau
melalui makanan, dll);
b. Tercelup dalam cairan liquid, terpendam dibawah bahan-bahan padat atau
solid, terselimuti atau gas atau partikel udara pencemar, dan sejenisnya;
c. Terjatuh, terjerembat kedalam objek tidak bergerak dan sejenisnya;
d. Tertabrak/terbentur oleh objek yang bergerak atau melayang atau oleh
objek yang terjatuh, benturan dengan objek tidak bergerak, dan sejenisnya;
e. Kontak dengan benda tajam dan kasar, seperti kontak dengan pisau, paku
dan benda tajam sejenisnya;
f. Terjerat, terlilit, dan sejenisnya;
g. Pemaparan berlebihan terhadap gelombang radiasi, kebisingan,
pembebanan terhadap bahan mekanik, dan sejenisnya;
h. Tergigit oleh binatang, dan sejenisnya;
i. Kontak dengan objek lainnya yang belum terklarifikasi
2. Klasifikasi menurut agen penyebabnya (classification of the material item or
agency)
a. Bangunan, area tempat kerja pada lantai yang sama;
b. Bangunan, konstruksi, area kerja pada ketinggian;
c. Bangunan, konstruksi, area kerja pada kedalaman
32

d. Sarana untuk distribusi material, seperti pada pemipaan;


e. Mesin-mesin, alat penggerak, sarana transmisi;
f. Alat-alat tangan tanpa motor penggerak, seperti alat untuk menggergaji,
alat untuk memotong, alat untuk memisahkan, dan sejenisnya;
g. Alat-alat tangan dengan motor penggerak, seperti alat untuk menggergaji,
alat untuk memotong, alat untuk memisahkan, alat untuk memaku dan
sejenisnya;
h. Mesin-mesin dan peralatan kerja lainnya yang bersifat portabel;
i. Mesin-mesin dan peralatan kerja lainnya yang permanen atau bersifat non
portabel;
j. Sarana kerja untuk memindahkan dan menyimpan material;
k. Sarana alat angkat dan angkut, seperti : fork-lift, alat angkut kereta, alat
angkut beroda selain kereta, alat angkut di perairan, alat angkut diudara,
dan sejenisnya;
l. Sarana angkat dan angkut lainnya;
m. Bahan, material, objek, bagian komponen mesin-mesin;
n. Bahan-bahan berbahaya dan radiasi, seperti; bahan mudah meledak, debu,
gas, cairan, bahan kimia, radiasi;
o. Sarana dan peralatan keselamatan kerja, seperti alat pengaman mesin, alat
pelindung diri, sarana keselamatan kerja lainnya;
p. Peralatan kerja perkantoran dan sejenisnya;
q. Organisme makhluk hidup, seperti pohon, tanaman, hewan peliharaan dan
hewan buas, atau sejenisnya;
r. Sampah dalam bak sampah;
s. Lingkungan kerja, seperti tekanan panas dan tekanan dingin, intensitas
kebisingan tinggi, getaran, ruang dibawah tanah;
t. Agen material lainnya yang belum masuk dalam klasifikasi.
33

3. Klasifikasi menurut jenis luka dan cideranya (classification according to type


of injury)
a. Cidera dangkal (suoerficial injuries) dan luka terbuka (open wounds);
b. Patah tulang;
c. Dislokasi, terkilir dan keseleo;
d. Amputasi traumatik;
e. Gegar otak dan cidera dalam;
f. Luka bakar, korosi, radang, frostbite;
g. Keracunan dan infeksi;
h. Jenis cidera spesifik lainnya, seperti efek radiasi, efek panas, efek tekanan
udara dan tekanan air, efek kebisingan dan getaran, efek arus listrik,
asphisia, hipotermia, dan sejenisnya;
i. Jenis cidera lainnya yang belum terklasifikasi.
4. Klasifikasi kecelakaan menurut lokasi kejadian kecelakaan (classification of
location of the accident)
a. Pada tempat kerja umum;
b. Pada tempat kerja selain tempat kerja umum;
c. Di jalan saat menjalankan pekerjaan/tugas;
d. Di jalan dari rumah ke tempat kerja;
e. Di jalan dari tempat kerja ke rumah;
f. Lokasi lainnya yang belum terklasifikasi.
5. Klasifikasi menurut dampak cidera (classification of the consequences of
injuries)
a. 1 sampai 3 hari tidak masuk kerja;
b. 4 sampai 7 hari tidak masuk kerja;
c. 8 sampai 14 hari tidak masuk kerja;
d. 15 sampai 21 hari tidak masuk kerja;
e. 22 hari sampai 1 bulan tidak masuk kerja;
f. 1 sampai 3 bulan tidak masuk kerja;
34

g. 3 sampai 6 bulan tidak masuk kerja;


h. 6 sampai 12 bulan tidak masuk kerja;
i. Cidera fatal;
j. Dampak lainnya selain yang terklasifikasi.
6. Klasifikasi menurut jenis pekerjaan tertentu (classification according to
specific activity)
a. Operating machine;
b. Bekerja dengan hand tools;
c. Bekerja dengan peralatan transportasi;
d. Manual handling;
e. Transportasi manual;
f. Pergerakan;
g. Pekerjaan spesifik lainnya yang belum terklasifikasi;
7. Klasifikasi terjadinya penyimpangan dari keadaan normal (classification of
deviations from the normal)
a. Deviasi disebabkan kelistrikan, peledakan atau kebakaran;
b. Deviasi disebabkan karena overflow, overturn, kebocoran, aliran, emisi
dan sejenisnya;
c. Kerusakan, pecah, retak, deformasi atau cacat, terpleset, terjatuh dan
sejenisnya;
d. Kurang pengendalian pada mesin, alat-alat kerja, sarana transportasi, dan
sejenisnya;
e. Terjatuh;
f. Pergerakan tubuh,(orangnya bergerak);
g. Pergerakan tubuh (orangnya tidak bergerak);
h. Kekerasan dan agresi;
i. Deviasi dan lainnya yang belum terklasifikasi.
35

8. Klasifikasi menurut lokasi bagian tubuh yang terluka (classification according


to the part of body injured)
a. Kepala dan muka;
b. Leher dan vertebre;
c. Tulang belakang dan ruas tulang punggung;
d. Badan dan organ dalam;
e. Anggota badan bagian atas (upper extremities)
f. Anggota badan bagian bawah (lower extremities)
Penelitian yang dilakukan oleh Messah, dkk (2015) jenis kecelakaan tertinggi
yang dialami oleh pekerja karena tergelincir. Penelitian yang dilakukan oleh
Affidah dan Vivien (2016) luka terbanyak yang dialami oleh karyawan adalah
luka ringan (injury).

E. Kerugian Akibat Kecelakaan Kerja


Tiap kecelakaan kerja adalah kerugian, kerugian ini terlihat dari
adanya dan besarnya biaya kecelakaan. Biaya untuk kecelakaan ini sering
sangat besar, padahal biaya itu menjadi beban Negara dan rakyat seluruhnya.
Biaya ini dapat dibagi menjadi biaya langsug dan biaya tersembunyi. Biaya
langsung adalah biaya pengobatan, dan perawatan, biaya rumah sakit, biaya
angkutan, upah selama pekerja tak mampu bekerja, kompensasi cacat, dan
biaya atas kerusakan bahan-bahan, alat-alat dan mesin. Biaya tersembunyi
meliputi segala sesuatu yang tidak terlihat pada waktu dan beberapa waktu
setelah kecelakaan terjadi (Suma’mur 2009).
Menurut Ramli (2010) kerugian akibat kecelakaan dikategorikan atas
kerugian langsung dan kerugian tidak langsung (indirect cost). Kerugian
langsung misalnya cedera pada tenaga kerja dan kerusakan pada sarana
produksi. Kerugian tidak langsung adalah kerugian yang tidak terlihat
sehingga sering disebut juga sebagai kerugian tersembunyi (hidden cost)
36

misalnya kerugian akibat terhentinya proses produksi, penurunan produksi,


klaim atau ganti rugi, dampak sosial, citra dan kepercayaan konsumen.
1. Kerugian langsung
Kerugian langsung adalah kerugian akibat kecelakaan yang langsung
dirasakan dan membawa dampak terhadap organisasi seperti berikut:
a. Biaya Pengobatan dan Kompensasi
Kecelakaan mengakibatkan cedera, baik cedera ringan, berat,
cacat, atau menimbulkan kematian. Cedera ini akan mengakibatkan
tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik sehingga
mempengaruhi produktivitas. Jika terjadi kecelakaan perusahaan
harus mengeluarkan biaya pengobatan dan tunjangan kecelakaan
sesuai ketentuan yang berlaku.
b. Kerusakan Sarana Produksi
Kerugian langsung lainnya adalah kerugian sarana dan
produksi akibat kecelakaan seperti kebakaran, peledakan, dan
kerusakan. Perusahaan harus mengeluarkan biaya untuk perbaikan
kerusakan. Banyak pengusaha yang terlena dengan adanya jaminan
asuransi terhadap asset organisasinya. Namun kenyataannya asuransi
tidak akan membayar seluruh kerugian yang terjadi, karena itu,
sekalipun suatu asset telah diasuransikan, tidak berarti bahwa usaha
pengamannya tidak lagi diperlukan. Justru dengan tingkat
pengamanan yang baik akan menurunkan risiko yang pada gilirannya
dapat menurunkan premi asuransi.
2. Kerugian tidak langsung
Disamping kerugian langsung (direct cost) kecelakaan juga menimbulkan
kerugian tidak langsung (indirect cost) antara lain:
a. Kerugian jam kerja
Jika terjadi kecelakaan, kegiatan pasti akan terhenti sementara
untuk membantu korban yang cedera, penanggulangan kejadian,
37

perbaikan kerusakan atau penyelidikan kejadian. Kerugian jam kerja


yang hilang akibat kecelakaan jumlahnya cukup besar yang dapat
mempengaruhi produktivitas.
b. Kerugian produksi
Kecelakaan juga membawa kerugian terhadap proses produksi
akibat kerusakan atau cidera pada pekerja. Perusahaan tidak bisa
berproduksi sementara waktu sehingga kehilangan peluang untuk
mendapat keuntungan.
c. Kerugian sosial
Kecelakaan dapat menimbulkan dampak sosial baik terhadap
keluarga korban yang terkait langsung, maupun lingkungan sosial
sekitarnya. Apabila seorang pekerja mendapat kecelakaan,
kelurganya akan turut menderita. Bila korban tidak mampu bekerja
atau meninggal, maka keluarga akan kehilangan sumber kehidupan,
keluarga terlantar yang dapat menimbulkan kesengsaraan,
Dilingkup yang lebih luas, kecelakaan juga membawa dampak
terhadap lingkungan sekitarnya. Jika terjadi bencana seperti bocoran,
peledakan atau kebakaran masyarakat sekitarnya akan turut panik,
atau mungkin menjadi korban.
d. Citra dan kepercayaan konsumen
Kecelakaan menimbulkan citra negatif bagi organisasi karena
dinilai tidak perduli keselamatan, tidak aman atau merusak
lingkungan. Citra organisasi sangat penting dan menentukan
kemajuan suatu usaha. Untuk membangun citra atau company image,
organisasi memerlukan perjuangan berat dan panjang.
Namun citra ini dapat rusak dalam sekejap jika terjadi bencana
atau kecelakaan lebih-lebih jika berdampak luas. Sebagai akibatnya
masyarakat akan meninggalkan atau mungkin akan memboikot
produknya.
38

F. Pencegahan Kecelakaan Kerja


Pencegahan kecelakaan kerja pada umumnya adalah upaya untuk
mencari penyebab dari suatu kecelakaan dan bukan mencari siapa yang salah
(fact finding, no fault finding). Dengan mengetahui dan mengenal penyebab
kecelakaan maka dapat disusun suatu rencana pencegahannya, yang mana hal
ini merupakan program K3, yang pada hakekatnya adalah merupakan
rumusan dari suatu strategi bagaimana menghilangkan atau mengendalikan
potensi bahaya yang sudah diketahui (Tarwaka, 2016).
Secara sederhana, langkah dasar pencegahan kecelakaan kerja
meliputi; adanya dukungan manajemen, mencari data dan fakta, menganalisa
penyebab kecelakaan, membuat rekomendasi perbaikan dan
mengimplementasikan rekomendasi perbaikan (Tarwaka, 2016).
1. Identifikasi masalah dari kondisi tidak aman
Kesadaran dakan adanya potensi bahaya disuatu tempat kerja merupakan
langkah pertama dan utama di dalam upaya pencegahan kecelakaan secara
efektif dan efisien. Data yang diperoleh dari hasil identifikasi akan sangat
bermanfaat dalam merencanakan dan melaksanakan suatu upaya
pencegahan kecelakaan selanjutnya. Identifikasi masalah ini antara lain
meliputi:
a. Pengenalan jenis pekerjaan yang mengandung risiko terjadinya
kecelakaan;
b. Pengenalan komponen peralatan dan bahan-bahan berbahaya yang
digunakan dalam proses kerja;
c. Lokasi pelaksanaan pekerjaan;
d. Sifat dan kondisi tenaga kerja yang menangani pekerjaan
e. Perhatian manajemen terhadap kecelakaan
Menurut Undang-undang No.1 Tahun 1970 disebutkan bahwa salah
satu kewajiban pengurus adalah memasang dalam tempat kerja yang
39

dipimpinnya, semua gambar keselamatan kerja yang diwajibkan dan


semua bahan pembinaan lainnya pada tempat-tempat yang mudah
dilihat dan terbaca dan menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli
keselamatan kerja.
f. Sarana dan peralatan pencegahan dan pengendalian yang tersedia, dll.
Suma’mur (2009) menyatakan bahwa housekeeping atau ketatarumah
tanggaan merupakan upaya perusahaan dalam menciptakan suatu
lingkungan kerja yang aman dan nyaman, meliputi penyimpanan
peralatan kerja, pembuangan sampah industri, dan ruangan kerja yang
kering dan bersih. Lingkungan kerja yang aman dan nyaman dapat
membantu mencegah terjadinya kecelakaan kerja.
2. Penyelidikan kecelakaan (analisa kecelakaan)
Yaitu suatu upaya yang dilakukan untuk lebih teliti mengetahui sebab-
sebab dan proses terjadinya kecelakaan. Analisa ini dapat mempergunakan
berbagai metode, seperti : Metode Hazan (hazards analysis); Hazops
(Hazard and Operability Study), Fault Tree Analysis (FTA), fish bone
analysis,dsb. Dengan metode ini akan dapat diramalkan terjadi suatu
kecelakaan, sebab terjadinya kecelakaan dan seberapa besar kecelakaan
akan terjadi.
3. Pemahaman azas-azas pencegahan kecelakaan
Yaitu prinsip-prinsip tentang sebab kecelakaan yang harus dikenal untuk
diketahui untuk menentukan sebab-sebab terjadinya suatu kecelakaan,
dimana dikenal 3 (tiga) azas yaitu :
a. Azas Rumit (kompleks) yaitu adanya beberapa sebab yang mandiri
atau tidak bergabung satu dengan yang lain yang bila digabung akan
menyebabkan suatu kecelakaan.
b. Azas Arti (Penting) yaitu faktor penyebab utama (Paling penting)
dalam terjadinya suatu kecelakaan.
40

c. Azas Urutan, yaitu rangkaian dari berbagai sebab yang menyebabkan


terjadinya kecelakaan.
4. Perencanaan dan pelaksanaan
Upaya pencegahan kecelakaan harus segera dilakukan setelah melalui
tahapan-tahapan identifikasi masalah, penentuan model dan metode
analisa kecelakaan serta pemahaman azas manfaat pencegahan
kecelakaan.
Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa upaya pencegahan
kecelakaan kerja yang baik adalah yang mengandung dan memperhatikan
aspek-aspek seperti tersebut dibawah ini :
a. Desain perusahaan
Desain perusahaan harus memperhatikan kinerja K3 bagi setiap orang
yang berada di pabrik, seperti:
1. Pengaturan dan pembagian areal perusahaan yang cukup aman dan
memberikan keluluasaan bila terjadi kecelakaan;
2. Dinding pemisah antara ruangan atau bangunan yang dapat menjamin
dan menghambat menjalarnya suatu kondisi yang berbahaya;
3. Penyediaan alat pengaman yang sesuai dan cukup pada setiap
peralatan, serta pada lokasi yang tepat, sebagai contoh : pemasangan
hydrant untuk penanggulangan kebakaran, dll.
b. Desain komponen dan peralatan
Semua komponen dan peralatan pabrik yang digunakan harus dirancang
sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan. Rancangan yang tidak sesuai
sering menjadi penyebab terjadinya kecelakaan yang mengakibatkan
terjadinya kerugian. Komponen dan peralatan pabrik yang perlu mendapat
pehatian antara lain adanya:
1. Beban statik
2. Beban dinamik
3. Tekanan internal dan eksternal
41

4. Harapan hidup peralatan pabrik


5. Beban berhubungan dengan perubahan suhu dan pengaruh dari luar
industry, dll.
c. Pengoperasian dan pengendalian
Setiap pengoperasian suatu proses produksi memerlukan sistem
pengendalian proses, agar tetap aman dan selamat dalam batas-batas yang
telah ditentukan. Sistem pengendalian yang digunakan antara lain
meliputi:
1. Pengendalian secara manual
2. Pengendalian secara otomatis
3. Sistem pengendalian “automatic shut down”
4. Sistem alarm otomatis maupun maunual, dll.
d. Sistem pengaman
Setiap proses atau instansi memerlukan suatu sistem pengaman yang
bentuk desainnya tergantung pada potensi bahaya dan risiko yang ada
ditempat kerja. Sistem pengaman harus disediakan baik terhadap
kemungkinan terjadinya penyimpangan kondisi, kegagalan komponen dan
peralatan serta sarana perlindungan teknis.
e. Pencegahan kesalahan manusia dan organisasi
Hal ini merupakan bagian penting yang harus diperhatikan dalam
pelaksanaan pencegahan kecelakaan kerja. Upaya ini antara lain meliputi:
1. Pekerjaan yang sesuai dan mudah dikerjakan
2. Tanda-tanda atau simbol-simbol yang jelas dan nyata dalam
penampilan panel pengendali
3. Peralatan komunikasi yang benar serta peralatan yang sesuai dengan
jenis pekerjaan, dll.
f. Pemeliharaan dan monitoring
Pemeliharaan dan monitoring yang teratur oleh tenaga kerja yang terlatih
dan berpengalaman akan menciptakan sistem keselamatan kerja yang baik.
42

g. Pengawasan dan kontrol


Pengawasan dan kontrol terhadap komponen perusahaan perlu dilakukan
secara teratur dan terus-menerus untuk memastikan bahwa segala sesuatu
berjalan sesuai apa yang telah direncanakan.
h. Mengurangi akibat yang terjadi
Hal ini dapat dilakukan dengan suatu konsep perencanaan dan penyediaan
sarana untuk suatu upaya K3, yang antara lain meliputi:
1. Penyediaan tenaga kerja terlatih untuk penanggulangan keadaan
darurat
2. Penyediaan sistem alarm yang langsung berhubungan dengan pusat-
pusat penanggulangan keadaan darurat
3. Penyediaan anti-dote untuk menghadapi suatu keadaan terlepasnya
bahan-bahan kimia beracun, dll.
5. Motivasi
Motivasi merupakan sebuah proses disaat kebutuhan mondorong
seseorang untuk melakukan melakukan berbagai kegiatan yang mengacu
pada tujuan tertentu yang ingin dicapai. Menurut Tarwaka (2016)
pemberian safety talk setiap akan memulai pekerjaan adalah hal yang
penting dalam memotivasi pekerja, materi yang diberikan bergantung pada
apa yang memang perlu untuk dibahas terkait dengan pekerjaan yang
dilakukan dari penyisipan kalimat ajakan bagi pekerja untuk selalu bekerja
agar mengingatkan semangat kerja para pekerja.
Menurut Salami dkk (2016) memotivasi pekerja adalah proses
memberikan insentif untuk menyemangati, menginspirasi, dan
memengaruhi seseorang untuk bertindak sesuai yang diinginkan untuk
mencapai tujuan yang diinginkan. Bagi pekerja, kesadaran akan
keselamatan dapat muncul dari adanya beberapa stimulus seperti adanya
reward and punishment, pengetahuan dan training , serta pemenuhan
kebutuhan dasar manusia.
43

2.2 KerangkaTeori
Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dijelaskan maka disusun
kerangka teori menurut Teori Keju Swiss (Swiss Cheese Theory) sebagai berikut:

Pengaruh pengorganisasian :
1. Sumber daya/Manajemen
2. Iklim organisasi
3. Proses Organisasi

Pengawasan yang tidak aman :


1. Pengawasan yang tidak sesuai
2. Perencaan operasi yang tidak tepat
3. Kegagalan untuk memperbaiki masalah yang
dikenal
4. Pelanggaran pengawasan

Kondisi yang mendukung munculnya tindakan


tidak aman :
1. Kondisi pekerja
2. Faktor kepribadian
3. Faktor lingkungan

Perilaku tidak aman :


1. Kesalahan
2. Pelanggaran

Kecelakaan kerja

Gambar 2.2 Bagan Konsep Teori Keju Swiss (Swiss Cheese Theory)
Reason (1990), Reason (1997)
44

2.3 Penelitian Terkait/ Keterbaruan Penelitian

Tabel 2.1 Penelitian terkait


No. Nama Judul Penelitian Hasil Penelitian Desain Variabel Penelitian
Peneliti Penelitian
1. Alqia Nur Pengaruh Motivasi Hasil analisis Penelitian ini Variabel Independen:
Affidah dan Tindakan Tidak menunjukkan bahwa bersifat motivasi karyawan,
dan Vivien Aman Terhadap motivasi karyawan kuantitatif perilaku tidak aman
Dwi Kecelakaan Kerja memiliki nilai pValue observasional Variabel Dependen:
Purnama pada Karyawan = 0,035 < 0,05 dan dan Kecelakaan kerja
Sari Bagian Produksi tindakan tidak aman menggunakan
dalam Masa Giling memiliki pValue = desain
Shift 3 PG X Kediri 0,02 < 0,05. Diketahui penelitian
Tahun 2016 bahwa motivasi Cross-
kayawan dan tindakan Sectional.
tidak aman memiliki
pengaruh terhadap
kecelakaan kerja.
2. Iqbal Al Pengaruh Perilaku Hasil analisis Penelitian ini Variabel Independen:
Faris dan Tenaga Kerja dan menunjukkan bahwa bersifat perilaku tenaga kerja,
Feri Lingkungan Kerja Perilaku tenaga kerja, kuantitatif lingkungan kerja,
Harianto yang Dimoderasi pendidikan, observasional tingkat pendidikan, dan
Faktor Pengalaman pengalaman kerja dan pengalaman kerja.
Kerja dan Tingkat berpengaruh secara menggunakan Variabel Dependen:
Pendidikan Terhadap signifikan terdap desain Kecelakaan kerja
Kecelakaan Kerja kecelakaan kerja. penelitian
Sedangkan lingkungan Cross-
kerja tidak Sectional.
berpengaruh secara
signifikan terhadap
kecelakaan kerja.
3. Sanibela Faktor-faktor Terdapat hubungan Penelitian ini Variabel Independen:
penyebab kecelakaan antara lack of control, bersifat lack of control,
kerja berdasarkan pengetahuan, motivasi kuantitatif pengetahuan, motivasi,
teori ILCI , maintenance alat, observasional maintenance alat,
(International Loss instruksi kerja, dan instruksi kerja,
Caution Institude) di substandard practices menggunakan substandard practices ,
PT. Hutama Karya , dan substandard desain dan substandard
Proyek Wisma conditions terhadap penelitian conditions.
Kartika Jakarta Barat kecelakaan kerja Cross- Variabel Dependen:
Sectional. Kecelakaan kerja
45

No. Nama Judul Penelitian Hasil Penelitian Desain Variabel Penelitian


Peneliti Penelitian
4. Luthfil Faktor-faktor yang Terdapat hubungan Penelitian ini Variabel Independen:
Hadi berhubungan dengan yang bermakna antara bersifat top manajemen,
Anshari Kecelakaan Kerja komitmen top kuantitatif pengawasan, dan
dan pada Karyawan PT manajemen dan observasional prosedur K3.
Nizwardi Kunanggo Jantan pengawasan terhadap dan Variabel Dependen:
Azkha Kota Padang Tahun kejadian kecelakaan menggunakan Kecelakaan kerja
2016 kerja. Sedangkan desain
untuk variabel penelitian
prosedur K3 tidak Cross-
terdapat hubungan. Sectional.
5. Shyeila Hubungan perilaku Terdapat hubungan Penelitian ini Variabel Independen:
Sandewa dengan resiko pengetahuan dengan bersifat pengetahuan,
dan Ardian kecelakaan kerja resiko kejadian kuantitatif keterampilan, sikap,
Adhiwijaya pada perawat di kecelakaan kerja pada observasional dan kondisi fisik.
ruang rawat inap perawat (p=0,001), dan Variabel Dependen:
RSUD Labuang Baji terdapat hubungan menggunakan Kecelakaan kerja
Makassar keterampilan dengan desain
resiko kecelakaan penelitian
kerja pada perawat Cross-
(p=0,001), terdapat Sectional.
hubungan sikap
dengan resiko
kejadian kecelakaan
kerja pada perawat
(p=0,002) dan terdapat
hubungan kondisi fisik
dengan kejadian
kecelakaan kerja pada
perawat (p=0,001)
6. Sigit Studi Kasus Terdapat hubungan Penelitian ini Variabel Independen:
Winarto, Kecelakaan Kerja antara lama kerja, dilakukan lama kerja, tindakan
Hanifa M. pada pekerja tindakan pekerja dan secara pekerja, lingkungan
Denny, dan pengeboran Migas lingkungan kerja observasional kerja, umur,
Bina Seismic Survey PT. terhadap kecelakaan analitik pendidikan, pelatihan,
Kurniawan X di Papua Barat kerja. dengan desain dan informasi
kasus kontrol. Variabel Dependen:
Kecelakaan kerja

Anda mungkin juga menyukai