Anda di halaman 1dari 31

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)

1. Defenisi Kesehatan dan Keselamatan Kerja

Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah suatu pemikiran dan upaya

untuk menjamin kebutuhan dan kesempurnaan baik jasmaniah maupun

rohaniah tenaga kerja pada khususnya dan manusia pada umumnya, hasil

karya dan budaya untuk menuju masyarakat adil dan makmur. (Rejeki S.

2015).

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit yang selanjutnya

disingkat K3RS adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi

keselamatan dan kesehatan bagi sumber daya manusia rumah sakit,

pasien, pendamping pasien, pengunjung, maupun lingkungan rumah sakit

melalui upaya pencegahan kecelakan kerja dan penyakit akibat kerja di

rumah sakit. (Permenkes, 2016)

Menurut Mangkunegara (dalam Sayuti, 2013) kesehatan kerja adalah

kondisi yang bebas dari gangguan fisik, mental emosi atau rasa sakit yang

disebabkan oleh lingkungan kerja. Sedangkan keselamatan kerja adalah

pengawasan terhadap orang, mesin, material dan metode yang mencakup

lingkungan kerja agar supaya pekerja tidak mengalami cidera.

Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) menurut Ramli (2013) adalah

kondisi atau faktor yang mempengaruhi kesehatan dan keselamatan

pekerja atau pekerja lain (termasuk pekerja sementara dan kontraktor),

pengunjung atau setiap orang di tempat kerja.

8
9

Dari uraian di atas dapat dapat diketahui bahwa keselamatan dan

kesehatan kerja adalah suatu unsur satu kesatuan sistem yang dibuat agar

seseorang di dalam bekerja merasa aman dan nyaman, dengan perlakuan

yang didapat dari lingkungan dan berpengaruh pada kualitas bekerja.

Perasaan nyaman mulai dari dalam diri tenaga kerja, apakah dia nyaman

dengan peralatan keselamatan kerja, peralatan yang dipergunakan, kondisi

ruang kerja, tata letak ruang kerja dan beban kerja yang didapat bekerja.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 66

tahun 2016 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit dalam

pelaksanaan K3RS, pimpinan tertinggi Rumah Sakit harus berkomitmen

untuk merencanakan, melaksanakan, meninjau dan meningkatkan

pelaksanaan K3RS secara tersistem dari waktu ke waktu dalam setiap

aktifitasnya dengan melaksanakan manajemen K3RS yang baik. Rumah

Sakit harus mematuhi hukum, peraturan, dan ketentuan yang berlaku.

Pimpinan Rumah Sakit termasuk jajaran manajemen bertanggung jawab

untuk mengetahui ketentuan peraturan perundang-undangan dan ketentuan

lain yang berlaku untuk fasilitas Rumah Sakit.

2. Tujuan Kesehatan dan Keselamatan Kerja

Tujuan khusus Keselamatan dan Kesehatan Kerja menurut Peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 66 tahun 2016 tentang

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit adalah sebagai berikut :

a. Menciptakan tempat kerja yang sehat, selamat, aman dan nyaman bagi

sumber daya manusia Rumah Sakit, pasien, pendamping pasien,


10

pengunjung, maupun lingkungan Rumah Sakit sehingga proses

pelayanan berjalan baik dan lancar.

b. Mencegah timbulnya Kecelakaan Akibat Kerja (KAK), Penyakit Akibat

Kerja (PAK), penyakit menular dan penyakit tidak menular bagi seluruh

sumber daya manusia Rumah Sakit.

Tujuan keselamatan kerja menurut pendapat Suma’mur (2013) adalah

sebagai berikut:

a. Melindungi tenaga kerja atas keselamatannya dalam melaksanakan

pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi serta

produktifitas nasional.

b. Menjamin keselamatan setiap orang lain yang berada di tempat kerja.

c. Sumber produksi dipelihara dan dipergunakan secara aman dan

efisien.

Dengan demikian, maka tujuan keselamatan kerja mengisyaratkan

bahwa kegiatan keselamatan kerja dengan usaha mengenal dan

merumuskan kegiatan pelaksanaan yang didukung dengan pengawasan

agar di dapat hasil yang memuaskan.

3. Pengertian Kecelakaan Kerja

Kecelakaan kerja adalah kejadian yang tidak terduga (tidak ada unsur

kesengajaan) dan tidak diharapkan karena mengakibatkan kerugian, baik

material maupun penderitaan bagi yang mengalaminya. (Rejeki S. 2015).

Sedangkan menurut Suma’mur Kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang

berhubungan dengan kegiatan pada perusahaan, yang berarti bahwa

kecelakaan yang terjadi dikarenakan oleh pekerjaan dan pada waktu


11

melakukan pekerjaan serta kecelakaan yang terjadi saat perjalanan ke dan

dari tempat kerja. (Suma’mur, 2009). World Health Organization (WHO)

mendefinisikan kecelakaan sebagai suatu kejadian yang tidak dapat

dipersiapkan penanggulangan sebelumnya sehingga menghasilkan cedera

yang riil.

Menurut Sayuti (2013) Kecelakaan kerja adalah kejadian yang tak

terduga dan tidak diharapkan terjadi dalam pelaksanaan hubungan kerja.

Adapun yang termasuk kecelakaan kerja adalah celaka akibat langsung

pekerjaan, saat atu waktu kerja, perjalanan (dari rumah ke tempat kerja,

melalaui jalan atau sarana yang wajar), dan penyakit akibat kerja.

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa insiden

kecelakaan kerja adalah kejadian yang tidak terduga dan tidak diharapkan

pada saat melakukan pekerjaan sehingga mengakibatkan kerugian materil

maupun bagi penderita yang mengalaminya.

Menurut Sarastuti D. (2016) dalam penilitian analisis kecelakaan kerja

di Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada area yang beresiko terjadinya

kecelakaan yaitu ditempat kerja biasa, dijalan saat melaksanakan

pekerjaan tugas, dijalan dari rumah ke tempat kerja dan dijalan dari tempat

kerja ke rumah.

4. Penyebab Kecelakaan Kerja

Ada tiga penyebab utama kecelakaan kerja menurut Rejeki S. (2015)

yaitu :

a. Peralatan kerja dan perlengkapannya yang berarti tidak tersedianya

alat pengaman dan pelindung bagi tenaga kerja.


12

b. Keadaaan tempat kerja yang tidak memenuhi syarat.

c. Kurangnya pengetahuan pekerja dan pengalaman tentang cara kerja

dan keselamatan kerja serta kondisi fisik dan mental pekerja yang

kurang baik.

Kecelakaan ada penyebabnya dan dapat dicegah dengan mengurangi

factor bahaya yang bisa mengakibatkan terjadinya kecelakaan, dengan

demikian akar penyebabnya dapat diisolasi dan dapat menentukan langkah

untuk mencegah terjadinya kecelakaan kembali.

Penyebab kecelakaan dapat dibagi menjadi dua kelompok. (Rejeki S.,

2015). Yaitu :

a. Immediate causes

1) Unsafe acts (Pekerjaan yang tidak aman) misalnya penggunaan

alat pengaman yang tidak sesuai atau tidak berfungsi, sikap dan

cara kerja yang kurang baik, penggunaan peralatan yang tidak

aman, melakukan berbahaya.

2) Unsafe condition (lingkungan yang tidak aman) misalnya tidak

tersedianya perlengkapan safety atau perlengkapan safety yang

tidak efektif, keadaan tempat kerja yang kotor dan berantakan,

pakaian yang tidak sesuai untuk kerja, faktor fisik dan kimia di

lingkungan kerja tidak memenuhi syarat.

b. Contributing causes

1) Safety manajemen system, misalnya instruksi yang kurang jelas,

tidak taat pada peraturan, tidak ada perencanaan keselamatan,

tidak ada sosialisasi tentang keselamatan kerja, faktor bahaya

tidak terpantau, tidak tersedianya alat pengaman dan lain-lain.


13

2) Kondisi mental pekerja, misalnya kesadaran tentang kesalamatan

kerja kurang, tidak ada koordinasi, sikap yang buruk, bekerja

lamban, perhatian terhadap keselamatan kurang emosi tidak stabil,

pemarah dan lain-lain.

3) Kondisi fisik pekerja, misalnya sering kejang, kesehatan tidak

memenuhi syarat, tuli, mata rabun dan lain-lain.

5. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kecelakaan kerja

Suatu industri sangat tidak menginginkan terjadinya kecelakaan,

karena dapat menimbulkan kerugian bagi industri tersebut. Kecelakaan

dapat disebabkan oleh pekerja atau keadaan lingkungan kerja pada suatu

perusahaan yang tidak tertata atau teratur. Penyebab atau potensi bahaya

yang menimbulkan celaka sering kali tidak dihiraukan karena belum

merupakan hal yang merugikan perusahaan, sampai terjadi kecelakaan

barulah perusahaan mulai menghiraukannya. Pekerja juga sering

melakukan tindakan bahaya tanpa disadari, walaupun sudah mengetahui

tindakan tersebut berbahaya tetap saja pekerja tersebut melakukannya.

Dari data statistic kecelakaan didapatkan bahwa 85% sebab kecelakaan

adalah karena faktor manusia. (Suma’mur , 2009).

Sebab kecelakaan akibat kerja hanya ada dua golongan penyebab.

Golongan pertama adalah faktor mekanis dan lingkungan, yang meliputi

segala sesuatu selain manusia. Golongan kedua adalah faktor manusia itu

sendiri yang merupakan penyebab kecelakaan. Faktor mekanis dan

lingkungan dapat pula dikelompokkan nenurut keperluan dengan suatu

maksud tertentu. kecelakaan diperusahaan dapat disusun menurut


14

kelompok pengolahan bahan, mesin penggerak dan pengangkat, terjatuh

dilantai dan tertimpa benda jatuh, pemakaian alat atau perkakas yang

dipegang dengan tangan, luka bakar, dan lain sebagainya (Suma’mur,

2014).

Teori Tiga Faktor Utama (Three Main Factor Theory) yang

menyebutkan bahwa suatu penyebab kecelakaan adalah peralatan,

lingkungan, dan faktor manusia pekerja itu sendiri (AM. Sugeng Budiono,

2003). Dari beberapa teori tentang faktor penyebab kecelakaan yang ada,

salah satunya yang sering digunakan adalah teori tiga faktor utama (Three

Main Factor Theory). Menurut teori ini disebutkan bahwa ada tiga faktor

yang menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja. Ketiga faktor tersebut

dapat diuraikan menjadi:

a. Umur

Umur harus mendapat perhatian karena akan mempengaruhi kondisi

fisik, mental, kemampuan kerja, dan tanggung jawab seseorang. Umur

pekerja juga diatur oleh Undang-Undang Perburuhan yaitu Undang-

Undang tanggal 6 Januari 1951 No.1 Pasal 1 (Malayu S. P. Hasibuan,

2003). Karyawan muda umumnya mempunyai fisik yang lebih kuat,

dinamis, dan kreatif, tetapi cepat bosan, kurang bertanggung jawab,

cenderung absensi, dan turnover-nya rendah (Malayu S. P. Hasibuan,

2003). Umum mengetahui bahwa beberapa kapasitas fisik, seperti

penglihatan, pendengaran dan kecepatan reaksi, menurun sesudah

usia 30 tahun atau lebih. Sebaliknya mereka lebih berhati-hati, lebih

dapat dipercaya dan lebih menyadari akan bahaya dari pada tenaga
15

kerja usia muda. Efek menjadi tua terhadap terjadinya kecelakaan

masih terus ditelaah. Namun begitu terdapat kecenderungan bahwa

beberapa jenis kecelakaan kerja seperti terjatuh lebih sering terjadi

pada tenaga kerja usia 30 tahun atau lebih dari pada tenaga kerja

berusia sedang atau muda. 22 Juga angka beratnya kecelakaan rata-

rata lebih meningkat mengikuti pertambahan usia (Suma’mur, 2013).

b. Jenis Kelamin

Jenis pekerjaan antara pria dan wanita sangatlah berbeda. Pembagian

kerja secara sosial antara pria dan wanita menyebabkan perbedaan

terjadinya paparan yang diterima orang, sehingga penyakit yang

dialami berbeda pula. Kasus wanita lebih banyak daripada pria, secara

anatomis, fisiologis, dan psikologis tubuh wanita dan pria memiliki

perbedaan sehingga dibutuhkan penyesuaian-penyesuaian dalam

beban dan kebijakan kerja, diantaranya yaitu hamil dan haid. Dua

peristiwa alami wanita itu memerlukan penyesuaian kebijakan yang

khusus. (Soemirat, J. 2011).

c. Masa kerja

Masa kerja adalah sesuatu kurun waktu atau lamanya tenaga kerja

bekerja disuatu tempat. Masa kerja dapat mempengaruhi kinerja baik

positif maupun negatif. Memberi pengaruh positif pada kinerja bila

dengan semakin lamanya masa kerja personal semakin

berpengalaman dalam melaksanakan tugasnya. Sebaliknya, akan

memberi pengaruh negatif apabila dengan semakin lamanya masa

kerja akan timbul kebiasaan pada tenaga kerja. Hal ini biasanya terkait
16

dengan pekerjaan yang bersifat monoton atau berulang-ulang. Menurut

Handoko (2008) lama kerja dikategorikan menjadi dua, meliputi :

1) Lama kerja kategori baru ≤ 3 tahun.

2) Lama kerja kategori lama > 3 tahun.

Dalam penelitian Groves dkk (2014) menunjukkan bahwa hubungan

masa kerja dan kecelakaan kerja kerja di industry pertambangan juga

terlihat dalam studi yang lebih baru, penulis meneliti tambang

keselamatan dan data administrasi kesehatan (MSHA) dan data

populasi saat ini, untuk cedera terkait peralatan selama periode 2009-

2013. Dari 86.398 korban luka diperiksa, 28% terjadi pada karyawan

pada tahun pertama masa kerja mereka, dan dari 597 korban jiwa

diperiksa, 31% terjadi pada karyawan pada tahun pertama masa kerja

mereka yang mengalami kecelakaan kerja.

Sedangkan dalam penelitian Bentley dkk, 2012 melaporkan bahwa

hubungan masa kerja dengan kejadian kecelakaan kerja muncul data

yang berkaitan dengan industry lainnya, 32 % luka pada situs selama

penerbangan terjadi didalam 6 bulan pertama bekerja dalam

melakukan pekerjaan sehingga pekerja lebih cenderung mengalami

kecelakaan kerja pada masa kerja baru dibanding dengan masa kerja

yang lebih lama.

Pekerjaan monoton adalah suatu kerja yang berhubungan dengan hal

yang sama dalam periode waktu yang tertentu dan dalam jangka waktu

yang lama dan biasanya dilakukan oleh suatu produksi yang besar

(AM. Sugeng Budiono, 2003:92). Sikap psikologis dan dan fisik dari

seseorang terhadap pekerjaan monoton akan sangat berpengaruh


17

dimana pekerja yang bersikap negatif dan acuh pada pekerjaannya

dapat mengalami bosan, apatis dan mengantuk. Akibat dari kepenatan

atau keletihan dari pekerjaan yang terlalu keras, orang yang melakukan

pekerjaan monoton akan berkurang tingkat kewaspadaannya setelah

melakukan pekerjaan tersebut dengan jangka waktu tertentu (AM.

Sugeng Budiono, 2003).

d. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)

Penggunaan alat pelindung diri yaitu penggunaan seperangkat alat

yang digunakan tenaga kerja untuk melindungi sebagian atau seluruh

tubuhnya dari adanya potensi bahaya atau kecelakaan kerja. APD tidak

secara sempurna dapat melindungi tubuhnya, tetapi akan dapat

mengurangi tingkat keparahan yang mungkin terjadi. Penggunaan alat

pelindung diri dapat mencegah kecelakaan kerja sangat dipengaruhi

oleh pengetahuan, sikap dan praktek pekerja dalam penggunaan alat

pelindung diri.

e. Tingkat Pendidikan

Pendidikan adalah proses seseorang mengembangkan kemampuan,

sikap, dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya di dalam masyarakat

tempat ia hidup, proses sosial yakni orang yang dihadapkan pada

pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang

datang dari sekolah), sehingga ia dapat memperoleh atau mengalami

perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu yang

optimal (Achmad Munib, dkk., 2004). Pendidikan adalah segala upaya

yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu,

kelompok atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang


18

diharapkan oleh pelaku pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan

seseorang, maka mereka cenderung untuk menghindari potensi

bahaya yang dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan.

f. Perilaku

Variabel perilaku adalah salah satu di antara faktor individual yang

mempengaruhi tingkat kecelakaan. Sikap terhadap kondisi kerja,

kecelakaan dan praktik kerja yang aman bisa menjadi hal yang penting

karena ternyata lebih banyak persoalan yang disebabkan oleh pekerja

yang ceroboh dibandingkan dengan mesin-mesin atau karena

ketidakpedulian karyawan. Pada satu waktu, pekerja yang tidak puas

dengan pekerjaannya dianggap memiliki tingkat kecelakaan kerja yang

lebih tinggi. Namun demikian, asumsi ini telah dipertanyakan selama

beberapa tahun terakhir. Meskipun kepribadian, sikap karyawan, dan

karakteristik individual karyawan tampaknya berpengaruh pada

kecelakaan kerja, namun hubungan sebab akibat masih sulit

dipastikan.

g. Pelatihan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Pelatihan adalah bagian pendidikan yang menyangkut proses belajar

untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan di luar sistem

pendidikan yang berlaku dalam waktu yang relatif singkat, dan dengan

metode yang lebih mengutamakan praktek daripada teori, dalam hal ini

yang dimaksud adalah pelatihan keselamatan dan kesehatan kerja.

Timbulnya kecelakaan bekerja biasanya sebagai akibat atas kelalaian

tenaga kerja atau perusahaan. Adapun kerusakan-kerusakan yang

timbul, misalnya kerusakan mesin atau kerusakan produk, sering tidak


19

diharapkan perusahaan maupun tenaga kerja. Namun tidak mudah

menghindari kemungkinan timbulnya risiko kecelakaan dan kerusakan.

Apabila sering timbul hal tersebut, tindakan yang paling tepat dan harus

dilakukakan manajemen tenaga kerja adalah melakukan pelatihan.

Penyelenggaraan pelatihan dimaksudkan agar pemeliharaan terhadap

alat-alat kerja dapat ditingkatkan. Salah satu tujuan yang ingin dicapai

adalah mengurangi timbulnya kecelakaan kerja, kerusakan, dan

peningkatan pemeliharaan terhadap alat-alat kerja.

h. Peraturan K3

Peraturan perundangan adalah ketentuan-ketentuan yang mewajibkan

mengenai kondisi kerja pada umumnya, perencanaan, konstruksi,

perawatan dan pemeliharaan, pengawasan, pengujian dan cara kerja

peralatan industri, tugas-tugas pengusaha dan buruh, latihan, supervisi

medis, P3K dan perawatan medis. Ada tidaknya peraturan K3 sangat

berpengaruh dengan kejadian kecelakaan kerja. Untuk itu, sebaiknya

peraturan dibuat dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya untuk

mencegah dan mengurangi terjadinya kecelakaan.

Sedangkan menurut Rejeki S., (2015) Kecelakaan kerja pada

dasarnya disebabkan oleh tiga faktor yaitu faktor manusia, pekerjaan dan

faktor lingkungan di tempat kerja. sebagai berikut :

a. Faktor manusia

1) Umur

Umur mempunyai pengaruh yang penting terhadap kejadian

kecelakaan kerja akibat kerja. Golongan umur tua mempunyai


20

kecenderungan lebih tinggi untuk mengalami kecelakaan kerja

dibandingkan dengan golongan umur muda karena umur muda

mempunyai reaksi dan kegesitan yang lebih tinggi. Namun umur

muda pun sering pula mengalami kecelakaan kerja, hal ini mungkin

karena kecerobohan dan sikap suka tergesa-gesa. Menurut

Suma’mur (2013), pada pekerjaan yang memerlukan banyak

tenaga kerja, biasanya dipilih tenaga kerja yang masih muda

karena fisiknya kuat, akan tetapi usia muda biasanya masih penuh

dengan emosi, ceroboh dan kurang pengalaman sehingga sering

menyebabkan timbulnya tindakan yang dapat menyebabkan

kecelakaan kerja. Hal ini disebabkan oleh kecerobohan dan

kelalaian, demikian pula emosi dan motivasi yang merupakan

ungkapan jiwa dan emosi seseorang. Kapasitas fisik, seperti

penglihatan, pendengaran dan kecepatan reaksi menurun setelah

usia 30 tahun, sebaliknya mereka yang ada pada usia ini mungkin

lebih berhati-hati, lebih dapat dipercaya dan lebih menyadari akan

bahaya dari pada tenaga kerja pada usia muda.

2) Tingkat pendidikan

Pendidikan seseorang berpengaruh dalam pola pikir seseorang

dalam menghadapi pekerjaan yang dipercayakan kepadanya,

selain itu pendidikan juga akan mempengaruhi tingkat penerapan

terhadap pelatihan yang diberikan dalam rangka melaksanakan

pekerjaan dan keselamatan kerja.


21

3) Pengalaman kerja

Kewaspadaan terhadap kecelakaan akibat kerja bertambah baik

sejalan dengan pertambahan usia dan lamanya kerja di tempat

kerja yang bersangkutan (Suma’mur, 2013).

b. Faktor pekerjaan

1) Giliran kerja (shift)

Giliran kerja adalah pembagian kerja dalam waktu dua puluh

empat jam. Dua masalah yang terjadi pada pekerja yang bekerja

secara bergiliran, yaitu ketidakmampuan pekerja untuk beradaptasi

dengan system shift dan ketidakmampuan pekerja untuk

beradaptasi dengan kerja pada malam hari dan tidur pada siang

hari. Pergeseran kerja dari pagi, siang dan malam hari dapat

mempengaruhi terjadinya peningkatan kecelakaan akibat kerja.

2) Jenis pekerjaan

Jenis pekerjaan mempunyai pengaruh besar terhadap resiko

terjadinya kecelakaan akibat kerja.

c. Faktor lingkungan

1) Lingkungan fisik

a) Pencahayaan

Pencahayaan yang tepat dan sesuai dengan pekerjaan akan

dapat menghasilkan produksi yang maksimal dan dapat

mengurangi terjadinya kecelakaan akibat kerja.

b) Kebisingan
22

Kebisingan di tempat eja dapat dapat berpengaruh terhadap

pekerja karena kebisingan dapat menimbulkan gangguan

perasaan, komunikasi sehingga menyebabkan salah

pengertian, tidak mendengar isyarat yang diberikan hal ini dapat

berakibat terjadinya kecelakaan akibat kerja.

2) Lingkungan kimia

Faktor lingkungan kimia dapat berupa bahan bakuu suatu produksi,

hasil suatu produksi dari suatu proses, proses produksi sendiri

ataupun limbah dari suatu produksi.

3) Lingkungan biologi

Bahaya biologi disebabkan oleh jasad renik, gangguan dari

serangga maupun binatang lain yang ada di tempat kerja.

Menurut penelitian Sarastuti, D. (2016) dalam penilitian analisis

kecelakaan kerja di Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada persentase

Sumber Daya Manusia Rumah Sakit sebagian besar mempunyai jenis

kelamin perempuan yaitu 65% dan yang mempunyai jenis kelamin laki-laki

sebesar 35%. Rasio perbandingan jumlah pegawai perempuan dengan laki-

laki 1,9:1. Sehingga kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja lebih besar

pada perempuan. Selain itu laki-laki dan perempuan mempunyai perbedaan

secara fisik dan psikis. Berbagai siklus biologis, seperti haid dan kehamilan

mempengaruhi kondisi psikis dan fisik seorang perempuan. Pekerja

perempuan mempunyai tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga

sehingga dapat menyebabkan mereka kurang fokus dalam bekerja yang

mungkin dapat mempengaruhi kecelakaan lebih sering terjadi.


23

6. Akibat Kecelakaan Kerja

Akibat kecelakaan kerja menurut Rejeki S. (2015) yaitu :

a. Kerugian bagi instansi

Biaya pengangkutan ke rumah sakit, biaya pengobatan, penguburan bila

sampai korban meninggal dunia, hilangnya waktu kerja si korban dan

rekan-rekannya yang menolong sehingga menghambat kelancaran

program mencari pengganti atau melatih tenaga baru.

b. Kerugian bagi korban

Kerugian paling fatal bagi korban adalah jika kecelakaan itu sampai

mengakibatkan cacat atau meninggal dunia.

c. Kerugian bagi masyarakat

Akibat kecelakaan makan beban

7. Klasifikasi kecelakaan

Jenis kecelakaan kerja meliputi penyakit kulit sampai patah tulang,

termasuk di dalamnya adalah luka akibat cidera benda tajam atau jarum

suntik. Jika dilihat dari jenisnya terluka akibat jarum suntik atau benda

tajam saat bekerja termasuk kecelakaan industri dimana akan mendapatka

nsejumlah kompensasi dari perusahaan atau tempat kerja. Tertusuk jarum

suntik dan benda tajam merupakan luka tembus pada kulit karena benda

tajam pada saat tenaga kesehatan melakukan aktifitas klinis di lembaga

kesehatan.
24

Beberapa contoh benda tajam di tempat kerja yaitu jarum suntik,

pisau, skalpel, gunting, pecahan kaca seperti objek glass, tabung reaksi,

gunting, spuit, dan benda tajam lainya yang terkontaminasi dengan darah

dan cairan tubuh orang lain. akibat tusukan atau cidera benda tajam dapat

menimbulkan tetanus. Luka tusuk jarum ini berasal dari jarum suntik, jarum

donor darah, jarum infus steril, jarum heacthing dll. Adapun luka akibat

benda tajam berasal dari pecahan ampul, gunting, pisau bedah, tabung

kaca, slide test dan lain-lain. (Subekti, dkk. 2017).

Menurut Reski S. (2015) klasifikasi kecelakaan terbagi 3 bagian yaitu :

a. Menurut jenis kecelakaan

1) Terjatuh

2) Tertimpa benda jatuh

3) Tertumbuk atau terkena benda

4) Terjepit oleh benda

5) Gerakan yang melebihi kemampuan

6) Pengaruh suhu tinggi

7) Terkena sengatan arus listrik

8) Kontak dengan bahan-bahan berbahaya

b. Menurut sumber atau penyebab kecelakaan

1) Dari mesin

2) Alat angkut dan alat angkat

3) Bahan/zat berbahaya dan radiasi

4) Lingkungan kerja

c. Menurut sifat luka atau kelainan


25

Patah tulang, memar , gegar otak, luka bakar, keracunan mendadak

akibat cuaca.

8. Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Rumah Sakit (K3RS)

Rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat

dengan karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu

pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi dan kehidupan sosial ekonomi

masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih

bermutu dan terjangkau oleh mayarakat agar terwujud derajat kesehatan

yang setinggi-tingginya. Selain dituntut mampu memberikan pelayanan dan

pengobatan yang bermutu, Rumah Sakit juga dituntut harus melaksanakan

dan mengembangkan program K3 di Rumah Sakit (K3RS) seperti yang

tercantum dalam buku standar Pelayanan Rumah Sakit dan terdapat dalam

instrumen akreditasi Rumah Sakit.(Kemenkes, 2010).

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit yang selanjutnya

disingkat K3RS adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi

keselamatan dan kesehatan bagi sumber daya manusia rumah sakit,

pasien, pendamping pasien, pengunjung, maupun lingkungan rumah sakit

melalui upaya pencegahan kecelakan kerja dan penyakit akibat kerja di

rumah sakit. (Permenkes, 2016).

Setiap tindakan di bidang pelayanan keperawatan mengandung risiko.

Baik tindakan yang dilakukan bagi pasien, maupun keselamatan perawat itu

sendiri. Oleh karena itu perawat perlu mempertahankan kompetensinya,

sehingga diperlukan manajemen risiko agar mereka dapat mengupayakan


26

tindakan yang aman. Setiap hari kontak langsung dengan pasien dalam

waktu cukup lama (6-8 jam/hari), sehingga selalu terpajan mikro-organisme

pathogen yang menjadi pembawa infeksi dari satu pasien ke pasien lain,

atau ke perawat lainnya. Setiap tahunnya, kecelakaan kerja pada perawat

saat merawat pasien selalu meningkat. Mulai dari tertusuk jarum secara tak

sengaja hingga tertular penyakit (Burhami M., 2010).

Dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan,

khususnya Pasal 165: “Pengelola tempat kerja wajib melakukan segala

bentuk upaya kesehatan melalui upaya pencegahan, peningkatan dan

pemulihan bagi tenaga kerja”. Berdasarkan pasal di atas maka pengelola

tempat kerja di Rumah Sakit mempunyai kewajiban untukk menyehatkan

para tenaga kerjanya. Salah satunya adalah melalui upaya kesehatan kerja

disamping keselamatan kerja. Rumah sakit harus menjamin kesehatan dan

keselamatan kerja terhadap pasien, penyedia layanan atau pekerja maupun

masyarakat sekitar dari berbagai potensi bahaya di Rumah Sakit. Oleh

karena itu, Rumah Sakit dituntut untuk melaksanakan upaya Kesehatan dan

Keselamatan Kerja (K3) yang dilaksanakan secara terintegrasi dan

menyeluruh sehingga resiko terjadinya Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan

Kecelakaan Akibat Kerja (KAK) di Rumah Sakit dapat dihindari.

Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3RS) merupakan salah satu

upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit, khususnya dalam

hal kesehatan dan keselamatan sumber daya manusiarumah sakit, pasien,

pengunjung/pengantar pasien, masyarakat sekitar rumah sakit. Hal ini

secara tegas dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009

tentang Rumah Sakit. Pasal 40 ayat (1) yakni “Dalam upaya peningkatan
27

mutu pelayanan rumah sakit wajib dilakukan akreditasi secara berkala

minimal 3 (tiga) tahun sekali”. Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)

termasuk sebagai salah satu standar pelayanan yang dinilai di dalam

akreditasi Rumah Sakit disamping standar pelayanan lainnya.

Selain itu seperti yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit bahwa “Rumah Sakit

memenuhi persyaratan lokasi, bangunan, prasarana, sumber daya

manusia, kefarmasian dan peralatan”, yang mana persyaratan-persyaratan

tersebut salah satunya memenuhi unsur Kesehatan dan Keselamatan Kerja

(K3) didalamnya dan bagi rumah sakit yang tidak memenuhi persyaratan-

persyaratan tersebut tidak diberikan izin mendirikan, dicabut atau tidak

diperpanjang, izin operasional Rumah Sakit (Pasal 17).

Kinerja (performance) dari pekerjaan merupakan resultante dari tiga

komponen kesehatan dan keselatan kerja yaitu kapasitas keja, beban kerja,

dan lingkungan kerja yang dapat merupakan beban tambahan pada

pekerja. Bila ketiga komponen tersebut serasi maka bisa dicapai suatu

kesehatan kerja optimal dan peningkatan produktivitas pada suatu tempat

kerja khususnya rumah sakit. Sebaliknya bila terdapat ketidakserasian

dapat menimbulkan masalah kesehatan kerja berupa penyakit maupun

kecelakaan akibat kerja yang pada akhirnya menurunkan produktivitas

kerja, yang akan berdampak pada pelayanan kesehatan yang diberikan

oleh rumah sakit. Melihat kondisi tersebut sewajarnya masyarakat pekerja

rumah sakit menjadi sasaran prioritas program kesehatan dan keselamatan

kerja.

a. Kapasitas Kerja
28

Kualitas sumber daya manusia diindonesia relative rendah, hal ini

tercermin dalam pendidikan pencari kerja. Hal ini pula terjadi dirumah

sakit. Tenaga perawat yang lulusan S1 keperawatan masih sedikit

demikian juga untuk yang non-medis banyak yang hanya tamatan

SMU. Kemampuan untuk mengoperasikan alat-alat modern menjadi

sangat terbatas dan dapat menyebabkan kecelakaan kerja. Disisi lain,

tingkat gaji dan jaminan sosial masih belum mencukupi akibatnya

mereka sulit bekerja produktif dan cenderung menimbulkan masalah

kesehatan kerja.

b. Beban Kerja

Sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan, rumah sakit beroperasi 24

jam sehari, 1 minggu 7 hari dan 1 tahun 365 hari. Dengan demikian

pelayanan di rumah sakit menuntut adanya pola kerja bergilir/tugas

jaga malam. Tenaga yang bertugas malam dapat mengalami kelelahan

yang meningkat akibat terjadinya perubahan pola tidur yang

menyebabkan gangguan tidur. Pada 15-20% gangguan tidur dapat

menyebabkan gangguan pencernaan. Pola kerja berubah juga

mempengaruhi kehidupan keluarga terutama bagi tenaga kerja wanita.

Beban psikis ini dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan stress.

Disisi lain dengan masih kurangnya tenaga kesehatan maka banyak

tenaga kesehatan yang masih tugas rangkap dibeberapa rumah sakit.

c. Lingkungan Kerja

Pekerjaan dirumah sakit sangat bervariasi baik jenis maupun jumlahnya

sesuai dengan tugas dan fungsi rumah sakit dalam melaksanakan

tugasnya selalu berhubungan dengan berbagai bahaya potensial yang


29

bila tidak dapat diantisipasi dengan baik dan benar dapat menimbulkan

dampak negatif terhadap keselamatan dan kesehatannya, yang pada

akhirnya akan mempengaruhi produktifitas kerjanya. Rumah sakit

sebagai salah satu penghasil limbah terbesar, apabila tidak dilakukan

pengolahan limbah dengan baik, potensial menimbulkan pencemaran

bagi lingkungan sekitarnya yang akan merugikan petugas rumah sakit,

pasien dan bahkan pengunjung rumah sakit itu sendiri. Selama ini

salah satu cara rumah sakit Indonesia melakukan peningkatan mutu

adalah dengan memenuhi standar pelayanan yang telah ditetapkan

oleh pemerintah, yaitu melalui akreditasi rumah sakit. Akreditasi

merupakan ketentuan yang diwajibkan bagi rumah sakit untuk

memenuhi standar-standar pelayanan kesehatan. Namun, untuk

lingkungan akreditasi rumah sakit belum memuat ketentuan yang

mengharuskan rumah sakit memenuhi pedoman pengelolaan

lingkungan. Lingkungan rumah sakit merupakan salah satu unsur

penting dalam rumah sakit. Dalam akreditasi memuat 20 standar

pelayanan yang harus dipenuhi oleh rumah sakit. Dengan akreditasi,

rumah sakit dapat bersaing ditingkat nasional, tetapi ditingkat

internasional diperlukan pemenuhan yang standar disaat ini berlaku

global, khususnya dibidang lingkungan, yaitu Audit Lingkungan yang

mengadopsi dari International Organization for Standardization (ISO)

sebagai salah satu sertivikasi inter-nasional dibidang pengolahan

lingkungan dengan nomor seri ISO 14001 (EMS-Environmental

Management System). Dengan audit lingkungan, rumah sakit dijamin


30

telah memiliki pengolahan lingkungan yang baik dan aman. (Wiku

Adisasmito, 2008).

9. Rumah Sakit

Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang

menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna

yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.

(Permenkes, 2016).

Dari banyaknya defenisi rumah sakit, yang salah satunya adalah

defenisi menurut WHO sebagaimana yang termuat dalam Technical Report

Series No. 122/1957 yang berbunyi “rumah sakit adalah bagian integral dari

satu organisasi sosial dan kesehatan dengan fungsi menyediakan

pelayanan kesehatan paripurna, kuratif, dan preventif kepada masyarakat,

serta pelayanan rawat jalan yang diberikannya guna menjakau sebagai

tempat pelayanan Kesehatan Rumah Sakit merupakan salah satu tempat

bagi masyarakat untuk mendapatkan pengobatan dan pemeliharaan

kesehatan dengan berbagai fasilitas dan peralatan kesehatannya. Rumah

Sakit sebagai tempat kerja yang unik dan kompleks tidak saja menyediakan

pelayananan kesehatan bagi masyarakat, tetapi juga merupakan tempat

pendidikan dan penelitian. Semakin luas pelayanan kesehatan dan fungsi

suatu rumah sakit maka semakin kompleks peralatan dan fasilitasnya.


31

Sebagai konsekuensi dari fungsi Rumah Sakit maka potensi

munculnya bahaya kesehatan dan keselamatan kerja tidak dapat dihindari,

seperti : bahaya pemajanan radiasi, bahan kimia toksik, bahaya biologis,

temperatur ekstrim, bising, debu, stress, dan lain-lain.

Dibandingkan dengan pekerjaan sipil lainnya, pekerjaan rumah sakit

lebih banyak mengalami masalah kesehatan dan keselamatan kerja,

berdarkan klaim kompensasi yang diajukan. di Amerika pada umumnya

pekerjaan rumah sakit yang mengalami masalah K3 antara lain pekerja

dibagian maintenance umumnya terpajan diterjen, disenfektan, jarum

suntik, dan lain-lain. Pekerja dibagian catering sering mengalami teropong

jari, tertusuk, luka bakar, terpeleset, keletihan stress kerja, dan lain-lain.

Teknisi radiologi sangat potensial terpajan radiasi dari sinar x dan radioaktif

isitop dan zat kimia lainnya. Perawat sering mengalami back injuries,

terpajan zat beracun, radiasi, stress akibat shift kerja. Petugas diruang

operasi mempunyai resiko masalah reproduksi karena terpajan limbah gas

anestesi, resiko tertusuk, radiasi dan lain-lain.

10. Insiden Kecelakaan Kerja di Rumah Sakit

Menurut Sarastuti S. (2016), pekerja dengan usia lebih muda secara

psikologi akan cenderung lebih cepat, agresif, tergesa-gesa dan terburu-

buru dalam bekerja sehingga cenderung melakukan unsafe action yang

berpotensi mengakibatkan kecelakaan kerja. Hal tersebut dapat terjadi

karena usia termasuk karakteristik yang dimiliki seseorang yang dapat

mempengaruhi unsafe action meskipun masih ada beberapa faktor lain

yang mendominasi timbulnya unsafe action tersebut. Upaya yang dilakukan


32

saat ini adalah selalu memberikan pengenalan Kesehatan dan

Keselamatan Kerja Rumah Sakit (K3RS) atau induction training di awal

pertama masuk kerja atau magang dan penelitian di RS UGM. Upaya lain

yang dapat dilakukan adalah dengan mengoptimalkan peran pengawas,

adanya peran manager dalam perilaku kerja saling berhubungan dengan

target individu yang sedang berlangsung.

Menurut Kusman Ibrahim WM, Priambodo A.P. (2014) petugas

kesehatan merupakan kelompok berisiko tinggi terhadap kejadian luka

tusuk jarum dan benda tajam. Data salah satu rumah sakit di Pakistan luka

tusuk jarum mencapai 71,9%, di Arab perawat menyumbang peristiwa luka

tusuk jarum dan benda tajam sebesar 46,9%, sedangkan di Korea Selatan

mencapai 70,4% dan penelitian di Indonesia pada salah satu rumah sakit

ditemukan luka akibat benda tajam sebanyak 74%..

Menurut WHO (2005) tertusuk jarum atau cidrera benda tajam

merupakan alur terjadinya kontaminan berbagai penyakit misalnya HIV

ataupun hepatitis B dan C diantara paramedis, dari 39 kasus infeksi HIV,

ada 32 yang ditularkan melalui luka akibat tertusuk jarum suntik, 1 kasus

akibat teriris pisau,1 kasus pecahantabung kaca yang berisi darah infeksi,1

kasus karena limbah infeksius, dan 4 kasus karena membran mukosa

terkena cipratan darah yang terinfeksi.

Insidensi luka tusuk jarum dan benda tajam terjadi karena suplai alat

pelindung diri yang tidak memadai, kurang tersedianya peralatan jarum dan

benda tajam yang aman, kurangnya informasi tentang risiko paparan,

kurangnya ketaatan penerapan standar pencegahan, peraturan

pembuangan sampah medis yang tidak tepat terutama sistem pembuangan


33

jarum, dan yangpaling penting adalah perilaku tenaga kesehatan terhadap

benda tajam atau jarum. (Subekti, dkk. 2017).

Dari berbagai ancaman bahaya yang dapat memberikan efek yang

buruk bagi kesehatan, bukan hanya bagi para pegawainya, tetapi juga

terhadap pasien, keluarga pasien maupun pengunjung rumah sakit

rersebut. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

66 tahun 2016 tentang Keselamatan dan kesehatan Kerja Rumah Sakit

tentang Bahaya-bahaya potensial di Rumah Sakit dapat dikelompokkan,

seperti dalam tabel berikut :

Tabel 2.1 Bahaya Potensial berdasarkan lokasi dan pekerjaan di Rumah


Sakit
No Bahaya Lokasi Pekerja yang paling
Potensial berisiko
1 2 3 4
1 FISIK
Bising IPS-RS, laundri, dapur, Karyawan yang bekerja di
CSSD, gedung genset- lokasi
boiler, IPAL
Getaran ruang mesin-mesin dan perawat, cleaning service
perlatan yang dan lain-lain
menghasilkan getaran
(ruang gigi dan lain-lain)

Bahaya Lokasi Pekerja yang paling


Potensial berisiko
Debu genset, bengkel kerja, Petugas sanitasi, teknisi
laboratorium gigi, gigi, petugas IPS dan
gudang rekam medis, rekam medis
incinerator
Panas CSSD, dapur, laundri, pekerja dapur, pekerja
incinerator, boiler laundry,petugas sanitasi
dan IP-RS
Radiasi X-Ray, OK yang Ahli radiologi, radioterapist
menggunakan c-arm, dan radiografer.
unit gigi Radiolog, onkologidt,
kardiologist, spesialis
kedokteran nuklir, urolog,
dokter gigi, fisikawan
medik, apoteker,
radiografer, radioterapis,
34

teknisi elektromedik,
perawat, perawat gigi, dan
yang ditugaskan di bagian
radiasi

1 2 3 4
2 KIMIA
Desinfektan Semua area Petugas kebersihan,
perawat

Cytotoxics Farmasi, tempat Pekerja farmasi, perawat,


pembuangan limbah, petugas pengumpul
bangsal sampah
Ethylene oxide Kamar operasi Dokter, perawat
Formaldehyde Laboratorium, kamar Petugas kamar mayat,
mayat, gudang farmasi petugas laboratorium dan
farmasi
Methyl: Ruang pemeriksaan gigi dokter gigi, perawat gigi,
Methacrylate, teknisi gigi
Hg (amalgam)
Solvents Laboratorium, bengkel Teknisi, petugas
kerja, semua area di RS laboratorium, petugas
pembersih
Gas-gas Ruang operasi gigi, OK, Dokter gigi, perawat, dokter
anaestesi ruang pemulihan (RR) bedah, dokter/perawat
anaestesi

3 BIOLOGI
AIDS, Hepatitis IGD, kamar Operasi, Dokter , dokter gigi,
B dan Non A- ruang pemeriksaan gigi, perawat, petugas
Non B (virus) laboratorium, laundry laboratorium, petugas
sanitasi dan laundry

Cytomegaloviru Ruang kebidanan, ruang Perawat, dokter yang


s anak bekerja di bagian Ibu dan
anak
Rubella Ruang ibu dan Dokter dan

Tuberculosis Bangsal, laboratorium, Perawat, petugas


35

ruang isolasi laboratorium, fisioterapis


4 ERGONOMI

Pekerjaan yang Area pasien dan tempat Petugas yang menangani


dilakukan penyimpanan barang pasien dan barang
secara manual (gudang)
Postur yang Semua area Semua karyawan
salah dalam
melakukan
pekerjaan

1 2 3 4

Pekerjaan yang Semua area Dokter gigi, petugas


berulang pembersih, fisioterapis,
sopir, operator komputer,
yang berhubungan dengan
pekerjaan juru tulis
5 PSIKOSOSIAL
Sering kontak Semua area Semua
dengan pasien,
kerja bergilir,
kerja berlebih,
ancaman secara
fisik
6 MEKANIKAL
terjepit mesin, Semua area yang Semua karyawan
tergulung, terdapat peralatan
terpotong, mekanikal
tersayat,
tertusuk.
7 ELEKTRIKAL
Tersetrum, Semua area yang Semua karyawan
terbakar, terdapat arus atau
ledakan. instalasi listrik
8 LIMBAH
Tertumpah, Semua area yang Semua karyawan
tertelan, menggunakan
terciprat, menghasilkan limbah
terhirup, padat, limbah cair dan
tertusuk limbah gas, limbah
Sumber : Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 66 tahun
2016 tentang Keselamatan dan kesehatan Kerja Rumah Sakit

Adapun klasifikasi insiden kecelakaan kerja yang terjadi pada perawat

menurut penilitian Sarastuti S. (2016) adalah sebagai berikut :

a. Menurut Mode atau Jenis Cidera


36

Tabel 2.2. Klasifikasi Kecelakaan Kerja Menurut Mode dan Jenis Cidera
(Sarastuti S., 2016).
No Mode dan Jenis Cidera
1 Terjatuh, terjerembab ke dalam obyek tidak bergerak dan sejenisnya
2 Kontak dengan benda tajam dan kasar, seperti kontak dengan jarum,
pisau, dan benda tajam sejenisnya
3 Kontak dengan objek lainnya yang belum terklasifikasi, yaitu kontak
dengan virus Rubella
Sumber : Sarastuti, D. 2016.

b. Menurut penyebab kecelakaan

Tabel 2.3. Klasifikasi Kecelakaan Kerja Menurut Penyebab Kecelakaan


Kerja (Sarastuti S., 2016).
No Penyebab Kecelakaan Kerja
1 Mesin dan peralatan kerja lain yang bersifat portable (jarum suntik,
jarum jahit, instrumen bedah)
2 Sarana angkat dan angkut lainya
3 Organisme makluk hidup, seperti, virus, bakteri, jamur atau
sejenisnya;
Sumber : Sarastuti, D. 2016.

c. Menurut jenis luka dan cidera

Tabel 2.4. Klasifikasi Kecelakaan Kerja Menurut jenis luka dan cidera
(Sarastuti S., 2016).
No Luka atau Kelainan
1 Cidera dangkal dan luka terbuka
2 Patah tulang
3 Dislokasi, terkilir dan keseleo (sprains and strains)
4 Gegar otak dan cidera dalam
Sumber : Sarastuti, D. 2016.

d. Menurut jenis pekerjaan tertentu

Tabel 2.5. Klasifikasi Kecelakaan Kerja menurut pekerjaan tertentu


(Sarastuti S., 2016).
No Jenis Pekerjaan Tertentu
1 Operator atau penumpang pada peralatan transportasi
2 Pekerjaan spesifik lainnya yang belum terklasifikasi yaitu menginjeksi
pasien, melakukan pengambilan sampel darah pasien, menginfus
pasien, pencucian alat medis, pembuangan jarum suntik
Sumber : Sarastuti, D. 2016.

11. Area Penelitian


37

Rumah Sakit Tk. III DR. R. Soeharsono Banjarmasin merupakan

salah satu rumah sakit milik TNI AD kota Banjarmasin yang berbentuk

Rumah Sakit Umum dinaungi oleh TNI AD dan termasuk kedalam Rumah

Sakit Tipe C yang memiliki layanan unggulan dalam bidang unit gawat

darurat. Dalam hal ini peneliti tertarik dalam melaksanakan penelitian

tentang kecelakaan kerja pada pekerja Rumah Sakit dengan

sampel/partisipan yaitu seluruh tenaga kerja di Rumah Sakit Tk. III Dr. R.

Soeharsono Banjarmasin. Sedangkan berdasarkan data dari pihak

Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) Rumah Sakit tersebut

memberikan data kepada peneliti bahwa angka insiden kecelakaan pada

tahun sebelumnya tidak terdapat temuan atau masih nihil.

B. Kerangka Konsep

Dari tinjauan dan landasan teori yang telah dikemukakan, dapat

disimpulkan kerangka konsep di bawah ini:

Faktor Manusia
- Usia
- Jenis Kelamin
- Tingkat
pendidikan
- Masa kerja
Kecelakaan Petugas
Faktor Pekerjaan Kerja
- Giliran kerja
- Jenis pekerjaan

Klasifikasi Kecelakaan Kerja


Faktor Lingkungan - Menurut jenis
kecelakaan
- Lingkungan Fisik
- Menurut sumber atau
- Lingkungan Kimia
penyebab kecelakaan
- Lingkungan - Menurut sifat luka atau
Biologi kelainan
38

Keterangan : Variabel yang diteliti Variabel yang tidak


diteliti
Variabel yang diteliti

Variabel yang tidak


diteliti

Gambar 2.1 : Kerangka Konsep

C. Hipotesis

Berdasarkan teori-teori dan kerangka konsep yang telah dikemukakan,

maka peneliti berasumsi mengambil keputusan sementara (hipotesis) sebagai

berikut :

1. Adanya insiden Kecelakaan kerja pada petugas Rumah Sakit Tk. III Dr. R.

Soeharsono Banjarmasin.

Anda mungkin juga menyukai