TESIS
Oleh :
Nama : A.Rasyid Ridha Ramadhan
NPM : 130510340
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
terhadap kualitas hidup dan ekonomi. Penemuan penderita tentang
penyakit malaria yang positif menurut sediaan darah dan kematian di
Kalimantan Selatan dari tahun 2010 sampai dengan 2014 adalah sebagai
berikut : tahun 2010 penemuan kasus sebanyak 14.144 orang dan yang
positif menurut sediaan darah adalah sebesar 5.161 orang dan yang
meninggal dunia akibat penyakit malaria 37 orang, di tahun 2011
sebanyak 29.847 orang dan postif menurut sediaan darah 10.124 orang
dan yang meninggal 21 orang, tahun 2012 penemuan kasus 27.871 orang
dan yang positif 9.041 orang sementara meninggal 12 orang pada tahun
2013 18.218 orang dan yang positif 6.740 orang sedangkan yang
meninggal 20 orang sedangkan tahun 2014 adalah 16.029 orang
penemuan kasus dan yang positif menderita 4.761 orang dan yang
meninggal sebanyak 5 orang. Sedangkan di wilayah kerja puskesmas
Batulicin 1 tahun 2014 sendiri penderita positf menurut sedian darah
sebanyak 191 orang (Dinkes, 2014)
Berdasarkan hasil data malaria diwilayah kerja puskesmas
Batulicin 1 ada penurunan selama 5 tahun terakhir dari tahun 2010 sampai
dengan 2014 dengan jumlah tahun 2010 dengan penderita sebanyak 243
orang dan malaria kembali meningkat pada tahun 2011 sebanyak 445
orang dan tahun 2012 sebanyak 1134 orang kemudian malaria mengalami
penurunan tahun 2013 sebanyak 490 orang dan 2014 sebanyak 221 orang.
Jenis nyamuk sementara yang masih saat ini ditemukan didaerah
wilayah kerja Puskesmas Batulicin1 sendiri yang didalam rumah maupun
diluar rumah adalah jenis nyamuk Anopheles Vagus yang mana
berdasarkan breeding place jenis nyamuk biasa hidup di air tanah bekas
galian.
Sedangkan menurut parasitnya yang diperoleh melalui
pemeriksaan sediaan darah dilaboratirum puskesmas batulicin1 adalah
jenis Plasmodium vivax, P.Falciparum P.Mix dengan jumlah data
penderita malaria pada tahun 2015 dari bulan Januari sampai dengan
Oktober yang berobat diwilayah kerja puskesmas Batulicin1 sebanyak
penderita 67 Orang yang kebanyakan berjenis kelamin laki-laki sebanyak
57 Orang dan perempuannya sebanyak 10 Orang, Sedangkan pada tahun
3
2014 jumlah penderita 221 Orang dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak
193 Orang dan perempuan 28 Orang.
Salah satu cara yang digunakan untuk mencegah penyakit malaria
adalah dengan penggunaan kelambu insektisida tahan lama atau yang
disebut Long Lasting Insecticidal Nets (LLINs) yang memberikan
perlindungan individu yang signifikan, tetapi efek langsung dan tidak
langsung kelambu insektisida dan kelambu tidak berinsektida terhadap
penularan malaria masih sedikit dipahami (Gonosiu, dkk., 2008).
Efektifnya kelambu berinsektisida tergantung dari kontak langsung
dengan nyamuk. Saat ini monitoring dan evaluasi program kelambu
berinsektisida hanya terfokus pada kasakitan dan kematian manusia,
namun kurang memperhatikan jenis dan tempat tinggal nyamuk tersebut
yang sebagai vektor penyakit malaria ini maka akan sulit untuk
memperkirakan hasilnya secara klinis.
Salah satu bentuk upaya pencegahan dari puskesmas Batulicin1
yang dianjurkan dalam program pemerintah tentang pembagian kelambu
berinsektisida dengan perioritas ibu hamil, balita, dan anak-anak seperti
yang telah di rekomendasikan oleh World Health Organization (WHO)
sejak November 2004. Kelambu yang ditambahkan insektisida
dikembangkan pada tahun 1980 untuk pencegahan malaria. Kelambu ini
ditambahkan insektisida piretroid atau permetrin yang mampu membunuh
dan mengusir nyamuk dan juga aman bagi manusia.
Untuk jumlah kelambu berinsektisida yang dibagikan saat ini pada
tahun 2015 berdasarkan ANC (Antenatal care) dan imunisasi sebanyak
392 buah, Sedangkan pada tahun 2014 dibagikan kelambu berinsektisida
secara massal sebanyak 4663 buah berdasarkan 4 desa yang berada di
wilayah kerja puskesmas Batulicin1 Kecamatan Karang Bintang
Kabupaten Tanah Bumbu.
Insektisida yang digunakan pada kelambu aman bagi manusia dan
telah digunakan oleh banyak negara. Program kelambu berinsektisida
merupakan salah satu alternatif untuk pengendalian vektor malaria pada
daerah dengan perilaku nyamuk menggigit di dalam rumah. Efektifitas
kelambu juga sangat dipengaruhi oleh perawatan kelambu yang baik dan
4
benar. Selain itu perawatan kelambu yang salah dapat membuat kelambu
menjadi cepat rusak atau efektifitas kelambu akan berkurang. Untuk
menghindari masuknya nyamuk, kondisi kelambu harus dijaga supaya
tidak ada bagian yang robek karena akan membuat nyamuk dapat masuk
ke dalam kelambu. (Jufar, 2014)
5
1.3. Tujuan Penelitian
6
g) Diketahuinya hubungan umur terhadap kejadian penyakit malaria
diwilayah kerja Puskesmas Batulicin1 Kecamatan Karang Bintang
Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan tahun 2015.
h) Diketahuinya hubungan pekerjaan terhadap kejadian penyakit
malaria diwilayah kerja Puskesmas Batulicin1 Kecamatan Karang
Bintang Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan tahun 2015.
i) Diketahuinya faktor dominan antara penggunaan kelambu
berinsektisida terhadap kejadian penyakit malaria diwilayah kerja
Puskesmas Batulicin1 Kecamatan Karang Bintang Kabupaten
Tanah Bumbu Kalimantan Selatan tahun 2015.
7
Semua Kepala Keluarga yang ada diwilayah kerja Puskesmas
Batulicin1 Kecamatan Karang Bintang Kabupaten Tanah Bumbu Provinsi
Kalimantan Selatan.Tahun 2015.
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
9
atau baik. Disebut juga plaudism. Nama lamanya mencakup ague dan
jungle, malaria.
(Kamus Kedokteran DORLAND, edisi 29, hal. 1279).
Malaria merupakan penyakit protozoa yang ditularkan melalui
gigitan nyamuk Anopheles. Nyamuk Anopheles adalah vektor satu-
satunya dari penyakit malaria pada manusia. Nyamuk ini relative sulit
dibedakan dengan jenis nyamuk lainnya, kecuali jika kita
menggunakan kaca pembesar.
Ciri paling menonjol yang bisa dilihat dengan mata telanjang
adalah posisi nyamuk Anopheles pada waktu menggigit / menusuk
kulit manusia, yaitu dengan posisi menungging. Nyamuk Anopheles
ini akan menggigit/menusuk kulit manusia pada malam hari apalagi
ketika berada di luar rumah, sesudah menghisap darah manusia
nyamuk malaria ini akan beristirahat di dinding dalam rumah yang
gelap dan lembab seperti di belakang lemari, di bawah kolong tempat
tidur, dan lain-lain.
Malaria diambil dari dua kata bahasa Italia, yaitu mal (buruk)
dan area (udara) atau udara buruk, karena dahulu banyak yang
terdapat di rawa-rawa yang mengeluarkan bau busuk. Penyakit ini
juga mempunyai beberapa nama lain, seperti demam roma, demam
rawa, demama tropik, demam pantai, demam charges, demam kura
dan paludisme (probowo, 2004).
a) Etiologi
o Siklus Hidup Nyamuk
Telur
Larva
14
permukaan laut dan Danau Toba pada ketinggian 1000
m. Tetapi jentiknya paling banyak terdapat pada air
payau, lebih menyukai daerah terbuka yang langsung
terkena sinar seperti pada lagune-lagune, rawa atau
genangan/telaga yang terlindung oleh tanbak-tambak di
pesisir pantai. Nyamuk ini termasuk ke dalam jenis
nyamuk yang terbangnya kuat, dapat mencapai 5 km
dari sarang jentiknya dan lebih suka darah manusia
dari pada darah binatang.
2 Anopheles aconitus (Donits)
Di Indonesia nyamuk ini terdapat hampir
diseluruh kepulauan, kecuali Maluku dan Irian.
Biasanya dapat dijumpai di dataran rendah tetapi lebih
banyak terdapat di daerah kaki gunung (foothillis) pada
ketinggian 400 – 1000 m, makin ke Indonesia Timur
penyebarannya makin kurang.
Nyamuk dewasa hinggap di dalam rumah dan
kandang, tetapi tempat hinggap yang paling disukai
ialah di luar rumah, pada tebing yang curam, gelap dan
lembab. Juga terdapat diantara semak belukar didekat
sarangnya. Jarak terbangnya dapat mencapai 1,5 km,
tetapi mereka jarang terdapat jauh dari sarangnya.
Terbangnya pada malam hari untuk menghisap darah.
3 Anopheles barbirostris (Anophel Wulp.)
Terdapat di seluruh Indonesia, baik di dataran
rendah maupun di dataran tinggi. Jentiknya biasanya
terdapat dalam air yang jernih, seperti sawah, parit
yang alirannya tidak begitu cepat , kolam banyak
tumbuh-tumbuhannya, rawa-rawa, mata air dan
genangan air lainnya. Tetapi sering juga dijumpai
dalam air yang keruh. Tempat air yang teduh lebih
disukai, walaupun terdapat juga dalam air yang
terbuka, biasanya air payau mereka hindari.
15
Nyamuk dewasa lebih jarang dijumpai dari pada
jentinknya, sehingga dapat digolongkan sebagai
nyamuk liar. Akan tetapi kadang-kadang dapat
dijumpai di dalam rumah dan dalam kandang dalam
jumlah yang besar. Tempat hinggap ialah tebing-tebing
sungai sebelah sawah, diantaranya semak-semak,
rumpun-rumpun bambu dan bangunan-bangunan
kosong.
Jarak terbangnya tidak jauh, terbang pada siang
hari bila gelap (berawan) dan dalam keteduhan hutan-
hutan yang lebat. Sebagian besar zoofilik. Makin ke
Timur makin domestik, di Sulawesi sering masuk
rumah untuk menghisap darah dan keluar lagi.
4 Anopheles bancrofti (Giles)
Di Indonesia hanya terdapat hanya terdapat di
Maluku dan Irian. Nyamuk dewasa tabiatnya
nocturnal. Meyerang manusia manusia dalam rumah
maupun luar rumah tetapi juga menggigit binatang,
banyak terdapat hinggap pada dinding rumah, kelambu
dan juga kadang-kadang tidak jarang dalam julmlah
yang besar. Di Irian Barat ditemukan dengan natural
infection rate 4%, maka harus dianggap sebagai vektor
yang berbahaya bila dijumpai dalam jumlah yang
besar.
5 Anopheles farauti (Laveran)
Tadinya dikenal sebagai Anopheles punctulatus
dan melucensis, tetapi pada tahun 1946 diakui sebagai
spesies tersendiri. Terdapat di kepulauan Maluku dan
Irian Barat, di daerah ini penyebarannya sangat luas.
Nyamuk dewasa aktif pada malam hari, tetapi
mau menggigit pada siang hari bila udara tidak cerah.
Dibeberapa daerah mereka menggigit manusia, tanpa
menghiraukan sama sekali adanya binatang ternak di
16
daerah itu. Di tempat yang satu banyak terdapat di
dalam rumah, sedangkan di tempat yang lain hinggap
di luar rumah. Natural infection rate pernah terdapat
12,7% dari Irian. Sangat susceptable terhadap infeksi
dan tergolong spesies yang domestik, disamping itu
juga antropofilik, sehingga merupakan vektor yang
sangat efisien.
6 Anopheles kochi (Donitz)
Tersebar di seluruh Indonesia kecuali Irian.
Nyamuk dewasa terdapat di dalam rumah maupun di
kandang, termasuk nyamuk yang domestik. Nyamuk
lebih menyukai darah binatang dari pada manusia.
Sebagai vektor malaria tidak begitu penting artinya,
kecuali dalam jumlah yang besar. Tanda pengenal
nyamuk dewasa adalah 6 pasang kumpulan sisik-sisik
pada abdomen bagian ventral.
7 Anopheles koliensis (Owen)
Hanya terdapat di Irian, di tempat-tempat yang
tingginya lebih dari 500 meter. Nyamuk dewasanya
sangat antrofilik dan suka hinggap dalam rumah
sesudah menggigit sampai malam berikutnya. Lebih
banyak dijumpai dari pada Anopheles farauti dan
Anopheles punculatus. Mulai aktif menggigit pada jam
09.00 malam sampai pagi hari, puncak kegiatannya
setelah tengah malam.
8 Anopheles letifer (Gater)
Terdapat di Sumatera dan Kalimantan, di dataran
rendah dekat pantai. Nyamuk dewasa masuk rumah
dari senja sampai pagi hari. Tempat hinggapnya di luar
rumah. Sangat antrofilik, hidupnya lebih dekat dengan
kediaman manusia.
9 Anopheles umbrosus.
17
Kedudukannya sebagai vektor malaria masih
diragukan, karena mungkin masih dicampur dengan
Anopheles umbrosus. Tetapi mengingat sifat-sifat
malaria memang mungkin menjadi vektor sehingga
perlu diawasi. Di daerah malaria dengan Anopheles
letifer lebih banyak terdapat Plasmodium malariae.
10 Anopheles leocoaphyrus balabacensis (Bibos),
Anopheles leocoaphyrus hackeri (Edwards),
Anopheles leocoaphyrus lencosphyrus (Donitz)
Lenocoaphyrus group terdiri dari 6 atau 7 spesies yang
sangat mirip, tetapi hanya 3 yang dapat menularkan
penyakit malaria. Penyebarannya di Indonesia adalah
Anopheles leocoaphyrus balabacensis terdapat di
Kalimantan, Anopheles leocoaphyrus hackeri di
Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera, Anopheles
leocoaphyrus lencosphyrus di Kalimantan, Sumatera,
Nias, Jawa, Sulawesi, Buton, Sangir dan Talaud.
Nyamuk dewasa lebih suka darah manusia
daripada darah binatang. Mulai masuk rumah bila telah
menjadi gelap dan kegiatan yang tertinggi jam 1
sampai jam 4 pagi balabecensis, jam 12 sampai jam 1
malam bagi leucosphyrus.
11 Anopheles ludlowi (Van hell)
Di Sulawesi sejak lama telah diduga adanya
vektor malaria di daerah pedalaman Sulawesi Selatan
yang ternyata adalah Anopheles ludlowi torakala ,
nyamuk ini terdapat juga ada di Ceram. Nyamuk
dewasa lebih banyak di dalam rumah dari pada di luar
rumah. Lebih menyukai darah manusia dan mau
menggigit diluar rumah. Keterangan mengenai biololgi
nyamuk ini masih sangat kurang. Di Sulawesi Selatan
mempunyai arti yang penting. Natural infection sering
dijumpai pada nyamuk ini waktu ada epidemi.
18
12 Anopheles maculatus (Theobald)
Penyebarannya sangat luas, kecuali Maluku dan
Irian terdapat di daerah pegunungan sampai 1600 m di
atas permukaan laut. Nyamuk dewasa suka menggigit
manusia dan binatang, tapi dibeberapa tempat sering
mengabaikan manusia sama sekali. Kegiatan yang
tertinggi pada malam hari antara jam 9 sampai jam 2
malam. Tidak suka hinggap dalam rumah dan sering
kepadatan hinggap pada tumbuh-tumbuhan. Jarak
terbangnya kurang lebih 1 km.
13 Anopheles minimus flavirosris (Ludlow)
Terdapat di Sumatera, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi dan Nusa Tenggara. Penyebarannya terbatas
pada keadaan daerah yang berbukit-bukit di kaki
gunung, jarang sekali dijumpai pada ketinggian lebih
dari 600 m di atas permukaan laut.
Nyamuk dewasa jarang terdapat di dalam rumah
pada siang hari. Masuk rumah untuk menggigit pada
malam hari tapi keluar lagi sebelum menjadi terang
dan hinggap di tebing-tebing di tepi sungai. Lebih
menyukai darah manusia dari pada darah binatang.
Jarak terbangnya 8,5 – 1,5 km.
14 Anopheles minimus minimus (Theobald)
Penyebarannya seperti Anopheles aconitus
kecuali Kalimantan. Keterangan mengenai nyamuk ini
di Indonesia sangat kurang dan yang adapun sangat
simpang siur, sehingga perlu diadakan peyelidikan
lebih lanjut. Nyamuk dewasa lebih banyak di dalam
rumah dan kandang dari pada di luar. Nyamuk ini lebih
menyukai darah manusia daripada darah binatang.
15 Anopheles puntulatus (Donitz)
Di Indonesia penyebarannya terbatas di Irian dan
Kepulauan Maluku. Nyamuk dewasa dikatakan sangat
19
antrofilik, tetapi sebenarnya masih belum diketahui
dengan pasti. Preciptin strat menunjukkan banyak
mengandung darah manusia, tetapi nyamuk yang
diperiksa ditangkap di dekat kediaman manusia. Mulai
menggigit jam 9 malam, bahayanya ialah karena
gigitannya tidak terasa dan dijumpai Anopheles lain.
Biasanya tidak hinggap dalam rumah pada siang hari.
16 Anopheles subpictus (Greasi 1899)
Nyamuk ini terdapat di seluruh Indonesia,
biasanya dapat dijumpai di dataran rendah sampai
dataran tinggi. Nyamuk dewasa biasanya hinggap
dalam rumah. Mereka menyukai darah manusia.
Nyamuk ini pernah kedapatan mengandung spORozoit
di Jawa. Bila ada epidemi dimana Anopheles sundaicus
memegang peranan utama, Anopheles subpictus ikut
menjalankan penularan. Nyamuk ini hampir sama
dengan Anopheles sundaicus, banyak kakinya tidak
bertitik.
17 Anopheles subpictus malayensia
Dijumpai pada dataran rendah sampai dataran
tinggi. Jentiknya ditemukan pada air tawar. Nyamuk
ini lebih menyukai darah binatang dari pada darah
manusia.
18 Anopheles umbrosus (Theobald 1903)
Nyamuk ini terdapat di Sumatera, Riau, BORneo,
Pulau Laut, Sulawesi, Jawa sedang di Bali masih
diragukan. Nyamuk dewasa hinggap di luar rumah
pada tumbuh-tumbuhan dekat sarangnya. Jarak
terbangnya kuat, dari tepi hutan menuju tempat
kediaman manusia, karena nyamuk ini mempunyai
kecenderungan untuk menghisap darah manusia. Di
dalam hutan mereka mau menyerang sewaktu-waktu
pada siang hari. Mereka masuk ke dalam rumah dan
20
menggigit dari sORe hingga malam. Nyamuk ini
dianggap sebagai vektor yang berbahaya di daerah
transmigrasi dan pembukaan hutan.
19 Anopheles venhuisi (Bonne-Wepster 1951)
Nyamuk ini terdapat di Sumatera, Jawa,
Sulawwesi, Kalimantan, mungkin juga di Sumatera.
Biasanya dapat dijumpai di dataran rendah.nyamuk
dewasanya banyak terdapat hinggap dalam rumah dan
jarang ditemukan dalam kandang. Di rumah-rumah
dimana terdapat nyamuk dewasa banyak didapatkan
hinggap pada bagian yang ditempati manusia, nyamuk
ini merupakan vektor yang penting dibeberapa daerah
di Indonesia (Iskandar, dkk. 1985).
Ada empat spesies dari genus Plasmodium yang dapat
menimbulkan infeksi pada manusia. Keempat spesies ini adalah :
o Plasmodium falciparum
Plasmodium falciparum penyebab penyakit Malaria
Tropika/Malaria Falciparum (Welch,1897). Masa
spORulasinya setiap 1-2 x 24 jam. Dengan gejala demam
timbul tak menentu. Sel darah merah yang diinfeksi tidak
membesar, infeksi multiple dalam sel darah merah sangat
khas. Adanya bentuk-bentuk cincin halus yang khas dengan
titik kromatin rangkap walaupun tidak ada gametositnya
kadang-kadang cukup untuk identifikasi spesies ini. Dua titik
kromatin (nucleus) sering dijumpai pada bentuk cincin
Plasmodium falciparum, sedangkan pada Plasmodium vivax
dan Plasmodium malariae hanya kadang-kadang. Sizonnya
lonjong atau bulat, jarang sekali ditemukan di dalam darah.
Sizon ini menyerupai sizon Plasmodium vivax, tetapi tidak
mengisi seluruh eritrosit. Sizon matang biasanya mengandung
16-24 merozoit kecil. Gametosit yang muda mempunyai
bentuk lonjong sehingga memanjangkan dinding sel. Di dalam
sel yang dihinggapi Plasmdium falciparum sering tampak
21
titik-titik basophil yang biru dan presipitat sitoplasma yang
disebut titik-titik Maurer. Titik-titik ini tampak sebagai
bercak-bercak merah yang bentuknya tidak teratur, sebagai
kepingan-kepingan atau batang-batang dalam sitoplasma.
o Plasmodium vivax
Plasmodium vivax penyebab penyakit Malaria Tertiana.
Plasmodium vivax diberi nama oleh Grassi dan Fletti pada
tahun 1890. Masa sporulasinya setiap 2 x 24 jam. Warna
eritrosit yang dihinggapi oleh Plasmodium vivax menjadi
pucat, karena kekurangan hemoglobin dan membesar. Oleh
karena Plasmodium vivax mempunyai afinitas untuk
retikulosit besar, maka pembesarannya pun tampak lebih nyata
daripada sebenarnya. Tropozoit muda tampak sebagai cakram
dengan inti pada satu sisi, sehingga merupakan cincin stempel.
Bila tropozoit tumbuh, maka bentuknya menjadi tidak teratur,
berpigmen halus dan menunjukkan gerakan emeboid yang
jelas. Setelah 36 jam ia mengisi lebih dari setengah sel darah
merah yang membesar itu. Intinya membelah dan menjadi
sizon. Gerakannya menjadi kurang, mengisi hampir seluruh
sel yang membengkak, dan mengandung pigmen yang
tertimbun di dalam sitoplasma. Setelah hampir 48 jam sizon
mencapai ukuran maksimum, yaitu 8-10 mikron dan
mengalami segmentasi. Pigmen berkumpul dipinggir, inti yang
membelah dengan bagian-bagian sitoplasma membentuk 16-
18 sel, berbentuk bulat atau lonjong, berdiameter 1,5-2 mikron
yang disebut merozoit.
Mikrogametosit mempunyai inti yang berwarna merah
muda pucat dan sitoplasma berwarna biru pucat.
Mikrogametosit mempunyai sitoplasma yang berwarna biru
dengan inti yang padat dan letaknya biasanya di bagian pinggir
dari parasit.
22
Dengan pewarnaan, butir-butir halus, bulat, unifORm,
merah muda atau kemerah-merahan (titik schuffner) sering
tampak di dalam sel yang diinfeksi oleh Plasmodium vivax.
o Plasmodium malariae
Plasmodium malariae penyebab penyakit Malaria
Kuartana. Plasmodium malariae telah dilukiskan pada tahun
1880 oleh Laveran. Masa sporulasinya 3 x 24 jam.
Plasmodium malariae berukuran lebih kecil, kurang aktif,
jumlahnya lebih sedikit dan memerlukan lebih sedikit
hemoglobin dibandingkan dengan Plasmodium vivax.
Bentuknya seperti cincin, mirip dengan cincin Plasmodium
vivax hanya saja sitoplasma Plasmodium malariae lebih biru
dan parasitnya lebih kecil, lebih teratur dan lebih padat.
Tropozoit yang sedang tumbuh mempunyai butir-butir
kasar berwarna tengguli tua atau hitam. Parasit ini dapat
berbentuk seperti pita yang melintang pada sel, mengandung
kromatin seperti benang dan kadang-kadang ada vakuolanya.
Pigmen kasar berkumpul di pinggirnya. Dalam 72 jam sizon
menjadi matang dan bersegmentasi, hampir mengisi seluruh
sel darah merah yang tidak membesar. Parasit menyerupai
bunga serunai atau roset dengan pigen hijau tengguli yang
padat, dikelilingi oleh 8-10 merozoit lonjong, masing-masing
dengan kromatin berwarna merah dan sitoplasma biru. Di
dalam sel yang mengandung Plasmodium malariae butir-butir
kecil merah muda (titik zemann) kadang-kadang dapat
diperlihatkan. Gametositnya mirip dengan gametosit
Plasmodium vivax, tetapi lebih kecil dan pigmennya kurang.
o Plasmodium ovale
Plasmodium ovale penyebab penyakit Malaria Ovale.
Plasmodium ovale ditemukan oleh Stephens pada tahun 1922.
Masa sporulasinya setiap 48 jam dan tidak terdapat di
Indonesia. Sel darah merah yang dihinggapi sedikit membesar,
berbentuk lonjong, mempunyai titik-titik schuffner yang besar
23
pada stadium dini. Sel darah merah dengan bentuknya yang
tidak teratur dan bergigi adalah khas guna membuat diagnosis
spesies Plasmodium ovale. Pigmen tersebar di seluruh parasit
yang sedang tumbuh sebagai butir-butir tengguli kehijauan dan
mempunyai corak jelas. Pada sizon matang yang hampir
mengisi seluruh eritrosit, pigmen ini terletak di tengah-tengah.
Plasmodium ovale menyerupai Plasmodium malariae dalam
bentuk sizon muda dan tropozoit yang sedang tumbuh,
walaupun ia tidak membentuk pita. Sizon matang mempunyai
pigmen padat dan biasanya mengandung 8 merozoit. Pada
sediaan darah tebal, sangat sukar untuk membedakan
Plasmodium ovale dengan Plasmodium malariae kecuali bila
titik schuffnernya kelihatan.
Manusia Nyamuk
Anopheles ♀
SpORozoit
Hipnozoidt
Skizon
Skizon
Merozoit
24
Dalam darah Dalam lambung Ookista
Trofozoit nyamuk
Skizon
Merozoit Ookinet
Makrogametosit Makrogamet
Zigot
Mikrogametosit Mikrogamet
25
DonOR darah ORang lain Host (Manusia)
Bagan Cara Penularan Penyakit Malaria.
Sumber : Ilmu Kedokteran Pencegahan dan Komunitas, dr. Budiman Chandra, 2009, hal. 33
o Secara Non-Alamiah
Penularan secara non-alamiah terjadi jika tidak
melalui gigitan nyamuk Anopheles. Beberapa contoh
penularan Malaria Tropika secara non-alamiah antara lain :
a. Malaria bawaan (kongenital)
Malaria bawaan (kongenital) adalah malaria pada
bayi baru lahir yang ibunya menderita malaria.
Penularannya terjadi karena adanya kelainan pada sawar
plasenta (selaput yang melindungi plasenta) sehingga tidak
ada penghalang infeksi dari ibu kepada janinnya. Selain
melalui plasenta, penularan malaria tropika dari ibu kepada
bayinya juga dapat melalui tali pusat. Gejalanya berupa
demam, iritabilitas (mudah terangsang sehingga sering
menangis dan rewel), pembesaran hati dan limpa, anemia,
tidak mau makan ataupun minum, serta kulit dan selaput
lendir berwarna kuning. Keadaan ini harus dibedakan
dengan infeksi kongenital lainnya, seperti toxoplasmosis,
rubella, sifillis kongenital dan anemia hemolitik.
b. Penularan mekanik (transfusion mekanic)
Transfusion malaria adalah infeksi malaria yang
ditularkan melalui transfuse darah (donor darah) dari
pendonor yang terinfeksi malaria. Parasit malaria dapat
hidup selama tujuh hari dalam darah donor. Pemakaian
jarum suntik yang tidak steril secara bersama-sama pada
pecandu narkoba atau melalui transplantasi organ.
Biasanya, masa inkubasi transfusion organ lebih singkat
dibandingkan infeksi malaria secara alamiah.
26
2.1.2. Gejala Malaria
Menurut Achmadi (2005), gejala malaria secara umum adalah
demam, pening, lemas, pucat (karena kurang darah), nyeri otot, chest
pain, mengigil, suhu bisa mencapai 40°C terutama pada infeksi
Plasmodium falciparum dan gejala-gejalanya terjadi secara bertahap yaitu
:
3. Hujan
Pada umumnya hujan akan memudahkan perkembang
biakan nyamuk dan terjadinya epidemi malaria. Besar
kecilnya pengaruh tergantung pada jenis dan deras hujan,
jenis vektor dan jenis tempat perindukan. Hujan yang
diselingi panas akan memperbesar kemungkinan
berkembang biaknya nyamuk Anopheles.
4. Ketinggian
Ketinggian yang semakin naik maka secara umum
malaria berkurang, hal ini berhubungan dengan
29
menurunnya suhu rata-rata. Mulai ketinggian diatas 2000
m jarang ada transmisi malaria, hal ini dapat mengalami
perubahan bila terjadinya pemanasan bumi dan pengaruh
El-Nino. Dipegunungan Irian Jaya yang dulu jarang
ditemukan malaria kini lebih sering ditemukan malaria,
ketinggian yang maksimal yang masih memungkinkan
transmisi malaria adalah 2500 m diatas permukaan laut.
5. Angin
Kecepatan dan arah angin dapat mempengaruhi jarak
terbang nyamuk dan ikut menentukan jumlah kontak antara
nyamuk dan manusia.
6. Sinar matahari.
Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva
nyamuk berbeda-beda. An.sundalcus lebih suka tempat
yang teduh. An.hyrcanus spp dan An.pinctulatus spp lebih
menyukai tempat yang terbuka. An.barbirostris dapat hidup
baik ditempat yang teduh maupun yang terang.
7. Pekerjaan
Hutan merupakan tempat yang cocok bagi peristirahatan
maupun perkembangbiakan nyamuk (pada lubang di pohon-
pohon) sehingga menyebabkan vektor cukup tinggi. Menurut
Manalu (1997), masyarakat yang mencari nafkah ke hutan
mempunyai risiko untuk menderita malaria karena suasana
hutan yang gelap memberikan kesempatan nyamuk untuk
menggigit. Penelitian Subki (2000), menyebutkan ada
hubungan bermakna antara pekerjaan yang berisiko (nelayan,
berkebun) terhadap kejadian malaria sebesar 2,51 kali
dibandingkan yang tidak berisiko (pegawai, pedagang).
b. Lingkungan Biologi
Tumbuhan semak, sawah yang berteras, pohon bakau, lumut
ganggang merupakan tempat perindukan dan tempat-tempat
peristirahatan nyamuk Anopheles yang baik. Dengan adanya
30
berbagai jenis ikan pemakan larva seperti ikan gambus, nila, dan
mujair akan mempengaruhi populasi nyamuk Anopheles di satu
daerah.
c. Lingkungan Sosial Ekonomi dan Budaya
a. Kebiasaan keluar rumah
Kebiasaan untuk berada di luar rumah sampai larut malam,
dimana vektornya bersifat eksofilik dan eksofagik akan
memudahkan gigitan nyamuk. Kebiasaan penduduk berada di luar
rumah pada malam hari dan juga tidak berpakaian berhubungan
terhadap kejadian malaria.(Hrissunata, 1986)
b. Pemakaian kelambu
Adapun yang saat ini dilakukan dalam program
pemerintah adalah pembagian kelambu berinsektisida tahan
lama (KBTL).
2.1.4 Perilaku Masyarakat Dalam Kejadian penyakit malaria
a. Tindakan terhadap manusia
31
Modifikasi perilaku berupa mengurangi aktivitas di luar rumah
mulai senja sampai subuh disaat nyamuk Anopheles umumnya
menggigit.
Memberikan pengobatan kepada penderita sampai sembuh
merupakan suatu tindakan pencegahan menyebarnya penyakit
malaria yang terdapat pada penderita malaria dengan yang lain.
b.Tindakan terhadap vektor
32
Pengendalaian secara kimiawi adalah pengendalian serangga
mengunakan insektisida. Dengan ditemukannya berbagai jenis
bahan kimiayang bersifat sebagai pembunuh serangga yang
dapat diproduksi secara besar-besaran, maka pengendalian
serangga secara kimiawi berkembang pesat.
2.1.5. Pencegahan Malaria
1. Pencegahan malaria secara garis besarnya mencangkup tiga aspek,
yaitu: (Wita et.,al, 1994) dan (Putu S, 2004)
Mengurangi penderita yang mengandung gametosit yang
merupakan sumber infeksi (reservoar).
Memberantas nyamuk sebagai vektor malaria.
Melindungi Orang yang rentan dan berisiko terinfeksi
malaria.
Seorang penderita harus mengandung gametosit dengan
jumlah yang besar dalam darahnya. Dengan demikian, nyamuk
dapat menghisap dan menularkan kepada orang lain. Hal itu dapat
dicegah dengan jalan mengobati penderita malaria akut dengan
obat yang efektif terhadap fase awal dari siklus eritrosit aseksual
sehingga gametosit tidak sempat terbentuk didalam darah
penderita. Pemberantasan nyamuk meliputi pemberantasan tempat
perindukan nyamuk, membunuh larva dan nyamuk dewasa.
Pemberantasan tempat perindukan dilakukan dengan
drainase, pengisian/pengurukan lubang-lubang yang mengandung
air. Larva diberantas dengan menggunakan larvasida, memelihara
ikan pemakan jentik atau dengan menggunakan bakteri misalnya
Bacillus thuringiensis. Nyamuk dewasa diberantas dengan
menggunakan insektisida, pemberantasan lingkungan, kelambu
dipoles dengan insektisida (permetrin). Pada akhir-akhir ini sedang
dikembangkan upaya pemerantasan genetik untuk mensterilkan
nyamuk dewasa.
Perlindungan terhadap Orang yang rentan dapat dilakukan
dengan cara menghindari gigitan nyamuk, memberikan obat-
obatan untuk mencegah malaria dan vaksinasi. Pemakaian kawat
33
kasa pada pintu, jendela dan lubang angin pada rumah-rumah dapat
mencegah gigitan nyamuk.
Pada prinsipnya ada 3 jenis vaksinasi, yaitu :
1. Vaksin anti sporozoit atau pre-eritrosik.
Vaksin dapat dilakukan terhadap sporozoit, sehingga dapat
melindungi terhadap infeksi dengan cara menghalangi
masuknya ke dalam sel hati.
2. Vaksin anti stadium aseksual (merozoit)
Dilakukan untuk menekan siklus aseksual Plasmodium dalam
darah. Hal ini dilakukan karena parasit malaria stadium
seksual dalam darah dapat menyebabkan morbiditas dan
mortalitas pada malaria.
3. Vaksin terhadap stadium seksual
Dilakukan dengan cara menghindarkan fertilisasi sel-sel gamet
jantan dan betina di dalam darah manusia atau membuat zigot
atau ookinet menjadi tidak aktif dalam tubuh nyamuk. Vaksin
ini tidak mencegah penyakit pada orang yang divaksnasi tetapi
mampu mencegah transmisi infeksi pada orang lain.
2. Pencegahan Menggunakan Kelambu Berinsektisida
Selain tiga aspek yang dijelaskan diatas, pencegahan
melalui dengan menggunakan kelambu berinsektisida adalah salah
satu cara yang digunakan untuk mencegah penyakit malaria yang
disebut Long Lasting Insecticidal Nets (LLINs) yang memberikan
perlindungan individu yang signifikan, tetapi efek langsung dan
tidak langsung kelambu insektisida dan kelambu tidak berinsektida
terhadap penularan malaria masih sedikit dipahami.
Kelambu ini tidak berbahaya bagi kesehatan manusia
karena sebelum dipakai, sudah diteliti oleh Badan Kesehatan Dunia
(WHO) dan dinyatakan aman untuk dipakai. Kelambu ini aman
meskipun tergigit oleh anak-anak, namun demikian Orang tua
harus mengawasi agar hal tersebut tidak terjadi.
Berdasarkan penelitian kematian nyamuk yang mati akibat
kontak(knockdown) dengan kelambu berinsektisida tidak dicuci
34
mencapai 57,5% pada 10 menit awal dan terus meningkat pada
menit 30 sebanyak 60% dan 60 menit menjadi 72 %, berdasarkan
jenis nyamuk Anopheles Vagus (yahya,dkk. 2010)
Berdasarkan hasil penelitian dengan Pengujian kelambu
insektisida yang dilakukan di labORatORium Salatiga bahwa
terdapat tiga macam kelambu LLIN yang telah dicuci 5 kali masih
efektif membunuh nyamuk Ae. aegypti dan An. aconitus,
sedangkan kelambu LLIN telah dicuci 10 kali sudah tidak efektif
terhadap nyamuk An. aconitus. Efektivitas kelambu LLIN (dengan
insektisida alfa-sepermethrin, deltamethrin dan permethrin)
dilapangan, setelah dicuci 9 kali oleh kader kesehatan desa, hanya
kelambu dengan insektisida Deltamethrin (0,055 g/ m2) masih
efektif membunuh An. aconitus (kematian 82,47%) (Boewono,
et.,al, 2009)
Menurut WHO (2007) dalam pedoman penggunaan
kelambu berinsektisida yang dibuat oleh kementrian kesehatan
pada tahun 2011 penggunaan kelambu berinsektisida memberikan
manfaat dibeberapa seperti negara di Afrika telah berhasil
menurunkan angka kesakitan malaria rata-rata 50%, menurunkan
angka kelahiran bayi dengan berat badan kurang rata-rata 23%,
menurunkan angka keguguran pada kehamilan pertama sampai
keempat sebesar 33%, menurunkan angka parasitemia pada
plasenta dari seluruh kehamilan sebesar 23%. Keuntungan
penggunaan kelambu lebih murah dibandingkan penyemprotan
rumah dengan menggunakan insektisida yang sama, misalnya
golongan piretroid sintetik (Kemenkes, 2011).
Penggunaan kelambu berinsektisida efektif mencegah
penularan malaria bila didukung kondisi sebagai berikut :
Cakupan penggunaan kelambu diatas 80% penduduk di lokasi
sasaran.
Penduduk menggunakan kelambu secara benar.
Kebiasaan penduduk tidak berada di luar rumah pada malam hari.
35
Perilaku vektor setempat menggigit (mencari darah) di dalam
rumah dan aktivitas menggigitnya sudah mulai tinggi tidak pada
awal malam.
Menggunakan kelambu berinsektisida yang berkualitas yaitu
efektifitasnya lama (minimal 3 tahun) dan kelambu terbuat dari
bahan yang tidak cepat rusak.
Bila menggunakan kelambu berinsektisida celup ulang maka siklus
pencelupan ulang harus tepat waktu (setiap 6 bulan atau lebih,
tergantung lamanya efektifitas insektisida yang digunakan).
Penduduk mau merawat kelambu dengan baik, seperti menjahit
bila robek, mencuci dan mengeringkan dengan cara yang benar.
Kelambu Berinsektisida Tahan Lama (KBTL) produksi dalam
negeri telah terdaftar di Komisi Pestisida (KOMPES) Departemen
Pertanian RI. KBTL baik produksi dalam negeri maupun luar negeri sudah
diuji dengan standar WHO skala labORatORium dan lapangan oleh WHO
atau institusi yang berwenang di Indonesia. Dengan hasil uji
labORatORium masih efektif setelah dicuci minimal 20 kali dan uji
lapangan efektifitasnya minimal 3 (tiga) tahun, tanpa pencelupan ulang.
Agar kelambu berinsektisida yang digunakan berkualitas dan aman
bagi penduduk yang memakai, maka perlu ditetapkan persyaratan teknis
sebagai berikut :
i. Ukuran Kelambu
Kelambu untuk keluarga (suami, istri dan 1 anak umur kurang 2
tahun)
Panjang : 180 – 200 cm
Lebar : 160 – 180 cm
Tinggi : 150 – 180 cm
2. Kelambu untuk individu (misalnya TNI /Polri)
Panjang : 180 – 200 cm
Lebar : 70 – 80 cm
Tinggi : 150 – 180 cm
36
Jenis bahan kelambu yang ada adalah katun, nilon,
polyester dan polyethylene. Untuk KBTL, WORld Health
ORganization menganjurkan menggunakan bahan
kelambu yang tahan lama dan lebih kuat (tahan dipakai
minimal 3 tahun).
ii. Cara perawatan kelambu berinsektisida.
Perawatan kelambu berinsektisida dilakukan oleh masyarakat
sendiri (pemakai kelambu)
Secara teratur kelambu diperiksa untuk mengetahui ada
tidaknya lubang atau bagian robek untuk segera dijahit
(kelambu yang berinsektisida meskipun robek, setelah dijahit
masih bisa digunakan)
Kelambu yang terlihat kotor karena debu, dapat dicuci sendiri
oleh masyarakat secara berkala setiap 2-3 bulan sekali.
Cara mencuci kelambu berinsektisida sebagai berikut :
1. Mencuci dengan menggunakan deterjen. Jangan dikucek,
jangan disikat, atau jangan digosok-gosok dan jangan
menggunakan sabun batangankarena mengandung kadar
soda yang tinggi.
2. Untuk mncuci kelambu ukuran keluarga, dengan luas19
m2, diperlukan air sebanyak 1 liter dan deterjen 2
gram/liter.
3. Kelambu dimasukan kedalam ember yang berisi larutan
deterjen tersebut, tetapi tidak boleh direndam dalam
larutan deterjen tersebut. Kelambu langsung dicelup-
celupkan berulang-ulang kedalam larutan tersebut sampai
kotorannya hilang,
4. Kelambu berinsektisida juga tidak boleh dicuci
menggunakan mesin cuci.
5. Kemudian kelambu tersebut dibilas dengan air bersih
maksimal 3 kali.
37
6. Kelambu juga tidak boleh diperas dengan kuat, cukup
ditiriskan saja.
7. Selanjutnya kelambu dikeringkan ditempat yang teduh
(terlindung dari sinar matahari langsung)
8. Harap diperhatikan air bekas cucian tidak boleh dibuang
kedalam kolam ikan, parit atau kali yang digunakan untuk
mengairi kolam ikan. Air bekas cucian kelambu yang
aman dibuang dilubang galian sedalam 0,5 meter dan jauh
dari sumber mata air.
iii. Bahan/zat kima yang diperlukan dalam kelambu
Untuk kelambu yang berinsektisda menggunakan bahan yang
sudah direkomendasikan oleh WHO dari golongan Sitentik
Pyrethroid dan terdaftar dari KOMPES, antara lain :
Insektisida Dosis per kelambu
Alpha-cypermethrine 10 % SC 6 ml
Cyfluthrin 5 % EW 15 ml
Deltamethrin 1 % SC 40 ml
Deltamethrin WT 1 Tablet
Etofenprox 10 % EW 30 ml
Lamda-cyhalothrin 2,5 % CS 10 ml
Permetherin 10% EC 75 ml
Sumber : WHO (2002)
Keterangan : Kebutuhan insektisida dihitung per-kelambu.
iv. Cara penggunaan kelambu berinsektisida.
Agar kelambu berinsektisida dapat efektif mencegah gigitan
nyamuk, maka dalam pemakaian kelambu harus memperhatikan
hal-hal sebagai berikut :
Kelambu berinsektisida yang baru saja dikeluarkan dari
bungkus plastiknya, sebelum dipakai, sebaiknya diangin-
anginkan dahulu di tempat yang teduh dengan cara
menggantungkan kelambu tersebut pada tali sampai baunya
hilang (selama sehari semalam).
Kelambu dipasang dengan mengikatkan ke empat tali
kelambu pada tiang tempat tidur atau pada paku di dinding.
38
Pada saat tidur dalam kelambu, seluruh ujung bawah
kelambu dimasukkan (dilipat) di bawah kasur atau
tikar/matras sehingga tidak ada kemungkinan nyamuk
masuk ke dalam kelambu.
Kelambu digunakan waktu tidur setiap malam sepanjang
tahun, tidak hanya pada saat nyamuk mengganggu (bunyi
berdenging) atau dianggap tidak ada nyamuk.
Kelambu dirawat dengan baik agar tidak cepat robek, maka
pada siang hari kelambu diikat/digulung.
Jika kelambu berinsektisida sudah tidak efektif lagi, baik
KBTL (setelah 3 tahun) atau KBCU (setelah 6 – 12 bulan)
hubungi petugas puskesmas atau kader setempat yang
sudah terlatih, untuk dilakukan pencelupan ulang.
Jangan merokok atau menyalakan api di dalam atau dekat
dengan kelambu, karena kelambu mudah terbakar.
v. RDT (Rapid Diagnosic Test)
Rapid Diagnosic Test adalah alat mendiagnosis malaria
berdasarkan tes diagnostik cepat (rapid diagnostic test/RDT).
Tes RDT memeriksa keberadaan dan jenis parasit yang
menyebabkan malaria. Sampel darah pasien akan di ambil untuk
tes ini. Hasilnya bisa didapatkan dalam 15-20 menit. RDT bisa
memastikan apakah jenis parasit yang ada di dalam darah itu
adalah Plasmodium falciparum atau jenis lain. Hasil tersebut
akan sangat membantu dalam memilih kombinasi obat
antimalaria mana yang paling sesuai.
Mengenai cara penggunaan dan bahan dalam penggunaan
RDT bisa dilihat pada lembar lampiran.
2.1.6 Penelitian yang Relevan
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Arsuna,dkk tentang
“Hubungan penggunaan Kelambu Berinsektisida terhadap Kejadian
Malaria di Kabupaten Halmehera Timur tahun 2011” dengan rancangan
penelitian Cross sectional.
39
Untuk jelasnya bisa dilihat dibagian Tabel 2.1 sebagai berikut :
Tabel 2.1
No. Judul Peneliti Tahun Rancangan Hasil
Penelitian Dan Tempat Penelitian
1. Hubungan A.Arsuna 2011, Cross Sectional Hasil penelitian ini
penggunaan menyimpulkan
n Arsin, Halmehera
Kelambu bahwa cara
berinsektisida Rasdi Timur penggunaan,
terhadap kejadian frekuensi
Nawi
malaria di penggunaan dan
Kabupaten perawatan kelambu
Halmehera Timur berinsektisida
berhubungan dengan
dengan kejadian
malaria (p<0,05),
sedangkan waktu
penggunaan dan
bahan kelambu tidak
berhubungan dengan
kejadian malaria
(p>0,05).
2. Efekrivitas Bina Tahun Quasi Hasil kegiatan uji
Pemakaian Ikawati, 2005,Wonoso Experiment hayati kelambu
Kelambu Bambang bo dimasyarakat
Berinsektisida Di Yunianto, menunjukan
Desa Endemis Rr kematian nyamuk
Malaria di Anggun uji pada 30 menit
Kabupaten Paramita pertama 70% . Dan
Wonosobo hasil nyamuk uji
disetelah dipelihara
24 jam menunjukan
bahwa kematian
lebih dari 93,3%.
Hal ini kelambu
masih efektif.
3 Hubungan Angel Z.P Tahun - Cross sectional Hasil penelitian ini
kepatuhan dapat diketahui
menggunkan bahwa Pada 35,3%
kelambu responden yang
berinsektisida tidak patuh dalam
terhadap kejadian penggunaan
penyakit malaria kelambu
ditingkat rumah berinsektisida
tangga desa bauho namun menderita
kecamatan tasifeto penyakit malaria,
timur kabupaten sedangkan 64,7%
belu responden tidak
patuh dalam
penggunaan
kelambu
berinsektisida
namun tidak
menderita penyakit
malaria. Hal ini
menunjukkan ada
hubungan kepatuhan
40
menggunakan
kelambu
berinsektisida
terhadap kejadian
penyakit malaria di
tingkat rumah
tangga Desa Bauho
Kecamatan Tasifeto
Timur Kabupaten
Belu (p-value=
0,001).
4. Hubungan Nina 2013, Teluk Cross Sectional Berdasarkan hasil
penggunaan Rahmadili Kepayang penelitian terbanyak
kelambu yani, yaitu
berinsektisida dan Noralisa penggunaan
kejadian malaria kelambu
didesa teluk berinsektisida
kepayang kategORi “ya”
kecamatan kusan terhadap kejadian
hulu kabupaten malaria negatif
tanah bumbu sebesar 190
responden (91%).
ada
hubungan
penggunaan
kelambu
berinsektisida dan
kejadian malaria di
Desa Teluk
Kepayang
Kecamatan Kusan
Hulu Kabupaten
Tanah Bumbu
tahun 2013
5. Perilaku Suharjo, Tahun 2003 Case Control Hasil penelitian
masyarakat dalam dkk menunjukkan bahwa
menggunakan frekuensi
kelambu celup penggunaan
didaerah endemis kelambu secara
malaria mimika terus menerus antara
timur 8-9 kali sebagai
perlindungan dari
gigitan nyamuk
diperoleh rata-rata
25%
6. Faktor-faktor Erdinal, Tahun 2006 Case Control Penelitian yang
yang berhubungan dkk menyatakan analisis
terhadap kejadian hubungan antara
malaria pemakaian kelambu
dikabupaten terhadap kejadian
Kampar malaria (p = 0,017).
Dalam uji tersebut
diperoleh Odds
Ratio 2,4 dengan
confidence interval
(CI) 95 % = 1,226 –
4,845, dengan kata
lain responden yang
41
mempunyai
kebiasaan tidur tidak
memakai kelambu
mempunyai risiko
terkena malaria 2,4
kali lebih besar
dibandingkan
dengan responden
yang mempunyai
kebiasaan tidur
memakai kelambu.
7. Pemakaian Raden Tahun 2013, Cross Sectional Hasil penelitian
Kelambu Ayu Batam membuktikan bahwa
Aisyah, pada tingkat
Berinsektisida et.,all signifikansi 5%
pada Anak terdapat hubungan
Usia 0-4 bermakna antara
Tahun jenis kelambu (OR =
terhadap 4,6), lama
pemakaian kelambu
Kejadian (OR
Malaria = 2,9), cara
pencucian kelambu
(OR = 3,6), cara
menjemur kelambu
(OR =
2,8), dan pencelupan
ulang kelambu (OR
= 3,6) memiliki
hubungan yang
bermakna dengan
kejadian malaria.
Pendidikan (OR =
2,9), pekerjaan (OR
= 2,8), dan lama
bermukim (OR =
3,1) memiliki
hubungan yang
bermakna
dengan kejadian
malaria
8. Hubungan Ahmad Tahun 2009 Case Control Dari hasil analisis
Aktifitas Hidayat Batam multivariat
didapatkan bahwa
Keluar penggunaan
Rumah Pada kelambu dengan
Malam Hari kejadian malaria
Dan dikalangan reponden
Penggunaan (p=0,001 ;
OR=2,31;95% CI=
Kelambu 1,400 – 3,822).
Dengan Orangan yang tidak
Kejadian menggunakan
Malaria Di kelambu beresiko
Kecamatan terkena malaria
sebesar 2,3 kali
Nongsa Dan dibandingkan
Galang Kota dengan Orang yang
42
Batam menggunakan
Provinsi kelambu pada waktu
tidur malam setelah
Kepulauan dikontrol variabel
Riau Tahun lama bermukim,
2009. aktifitas keluar
rumah pada malam
hari dan penggunaan
obat anti nyamuk
43
BAB III
KERANGKA PEMIKIRAN
Jenis Kelamin
Umur
Pekerjaan
Cara
Penggunaan
kelambu
Waktu
Penggunaan
Frekuensi
Penggunaan
Variabel Confounding
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
44
3.2 Tabel Definisi Operasional
Tabel 3.1
Definisi Operasional
46
dilakukan tambang,Bur
kepala keluarga uh
bangunan,ne
untuk layan,dsb)
memenuhi 2. Tidak
kebuuhan bekerja
sehari-hari
47
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.3.1 Populasi
48
Keterangan :
P = Harga Proporsi sebelumnya
d = kesalahan absolute yang dapat ditolerir (0,05)
n = nilai besar sampel
q = 1-P
Z1-α/2 = nilai distribusi nORmal baku (1,96)
a. Kejadian Malaria
Kode 0 = Positif pemeriksaan RDT
Kode 1 = Negatif pemeriksaan RDT
b. Umur
Kode 0 = <15 Tahun
Kode 1= ≥15 Tahun
c. Pekerjaan
Kode 0 = Tidak Bekerja
Kode 1 = Bekerja (Petani, Nelayan, Buruh Tambang, PNS,
Pelajar, dsb)
d. Jenis Kelamin
Kode 0 = Laki-laki
Kode 1 = Perempuan
e. Penggunaan Kelambu
Kode 0 = Tidak Menggunakan
Kode 1 = Menggunakan
f. Waktu Penggunaan
Kode 0 = ≥21.00
Kode 1 = < 21.00
g. Frekuensi Penggunaan
Kode 0 = Jarang menggunakan
Kode 1= Selalu menggunakan
h. Cara penggunaan kelambu
Kode 0 = tidak tahu
Kode 1 = tahu
i. Perawatan Kelambu
Kode 1 = Tidak dirawat
Kode 0 = Dirawat
50
3) Sorting yaitu proses penyusunan dengancara memilih atau
mengelompokan data sesuai dengan nama variabel tersebut.
4) Entery Data, yaitu proses pemasukan data dengan cara manual
maupun dengan sarana computer. Kemudian memuat analisis
univariat,bivariat dan multivariat.
5) Cleaning, yaitu proses pembersihan data, melihat variabel apakah
data sudah benar atau belum. Data yang dientry dicek kembali
untuk bahwa data tersebut telah bersih dari kesalahan , baik dalam
kesalahan membaca kode dengan demikian data tersebut benar-
benar siap untuk dianalisis.
4.6 Analisa Data
4.6.1.1 Analisa Univariat
Analisa univariat dilakukan secara deskriptif untuk melihat
gambaran distribusi frekuensi, nilai rata-rata, median,nilai minimal
dan maksimal dari variabel independen. Variabel yang akan
dianalisis adalah variabel Umur, Jenis kelamin, Pekerjaan,
Penggunaan kelambu, Frekuensi kelambu, Waktu pengguanaan,
Perawatan kelambu, cara penggunaan kelambu.
4.6.1.2 Analisa Bivariat
Analisa bivariat digunakan untuk melihat hubungan antara
variabel independen yaitu Umur, Jenis kelamin, Pekerjaan,
Penggunaan kelambu, Frekuensi kelambu, Waktu pengguanaan,
Perawatan kelambu, Bahan kelambu dengan variabel dependen
yaitu Kejadian Penyakit Malaria. Analisis dengan uji statistikuntuk
mempelajari hubungan variabel secara keseluruhan. Uji statistik
yang dipakai adalah Chi Square test, dengan menggunakan derajat
kepercayaan 95 5, bila nilai P-value,0,05 bearti hasil hitung
bermakna dan sebaliknya bila P-value> 0,05 maka hasilnya tidak
bermakna. Adapun rumus dari uji Chis Square ini adalah sebagai
berikut :
51
Dimana :
Df = (b-1) (k-1)
X2 = Chi square
O (Observed) = Nilai observasi
E (Expected) = Nilai Harapan
Df = Degree of Freedom / Derajat Kebebasan
b = Jumlah baris
k = Jumlah kolom
53
BAB V
HASIL
Tabel 5.1.
Hasil Penelitian Berdasarkan jumlah kejadian malaria
Kejadian Malaria Frequency %
Malaria 93 34,2
Tidak Malaria 179 65,8
Total 272 100
54
Tabel 5.2.
Hasil Penelitian Berdasarkan penggunaan kelambu
Penggunaan Frequency %
Kelambu
Tidak 172 63,2
Ya 100 36,8
Total 272 100
Tabel 5.3.
Hasil Penelitian Berdasarkan waktu penggunaan kelambu
Waktu Penggunaan Kelambu Frequency %
≥ 21.00 80 29,4
< 21.00 192 70,6
Total 272 100
55
Tabel 5.4.
Hasil Penelitian Berdasarkan Frekuensi waktu penggunaan kelambu
Frekuensi Penggunaan Kelambu Frequency %
Jarang 238 87,5
Selalu 34 12,5
Total 272 100
Tabel 5.6.
56
Hasil Penelitian Berdasarkan cara penggunaan kelambu
Cara Penggunaan Kelambu Frequency %
Tidak Tahu 84 30,9
Tahu 188 69,1
Total 272 100
Tabel 5.7.
Hasil Penelitian Berdasarkan umur
Umur Frequency %
< 15 tahun 83 30,5
≥ 15 tahun 189 69,5
Total 272 100
57
Tabel 5.8.
Hasil Penelitian Berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin Frequency %
Perempuan 61 22,4
Laki-Laki 211 77,6
Total 272 100
58
berisiko 2,1 kali mengalami kejadian malaria dibandingkan dengan
responden yang menggunakan kelambu.
Tabel 5.10
Hubungan penggunaan kelambu dengan kejadian malaria
Kejadian Malaria
Penggunaan Malaria Tidak Total p- OR
Kelambu Malaria value (95% CI)
N % N % n
(%)
Tidak 69 25,4 103 37,9 172 (63,2) 0,01 2,121
Ya 24 8,8 76 27,9 100 (36,8) 0 (1,223-
Total 93 34,2 179 65,8 272 (100) 3,680)
59
5.2.3 Hubungan frekuensi penggunaan kelambu dengan kejadian
malaria
Hubungan frekuensi penggunaan kelambu dengan kejadian malaria
diwilayah kerja puskesmas Batulicin 1 Kec. Karang Bintang Kab.
Tanah Bumbu Kalimantan Selatan tahun 2015.
Pada tabel 5.12 dibawah ini menunjukkan p-value = 0,018, artinya
ada hubungan yang signifikan antara frekuensi penggunaan kelambu
dengan kejadian malaria, dimana responden yang jarang menggunakan
kelambu lebih berisiko 3,4 kali mengalami kejadian malaria
dibandingkan dengan responden yang sering menggunakan kelambu.
Tabel 5.12
Hubungan frekuensi penggunaan kelambu dengan kejadian
malaria
Kejadian Malaria
Frequensi Positif Negatif Total Value OR
Penggunaan (95%CI)
Kelambu N % N % N
(%)
Jarang 80 32,4 150 55,1 238 (87,5) 0,018 3,403
Selalu 5 1,8 29 10,7 34 (12,5) (1,271-
Total 93 34,2 179 65,8 272 (100) 9,111)
60
Tabel 5.13
Hubungan perawatan kelambu dengan kejadian malaria
Kejadian Malaria
Perawatan Malaria Tidak Total p- OR
Kelambu Malaria value (95% CI)
n % N % n n %
(%)
Tidak 43 15,8 59 21,7 102 (37,5) 0,044 1,749
Terawat (1,047-
Terawat 50 18,4 120 44,1 170 (62,5) 2,922)
Total 93 34,2 179 65,8 272 (100)
Tabel 5.14
Hubungan cara penggunaan kelambu dengan kejadian malaria
Kejadian Malaria
Cara Malaria Tidak Total p- OR
Penggunaan Malaria value (95% CI)
Kelambu n % N % n n %
(%)
Tidak Tahu 34 12,5 50 18,4 84 (30,9) 0,186 1,487
Tahu 59 21,7 129 47,4 188 (69,1) (0,872-
Total 93 34,2 179 65,8 272 (100) 2,535)
61
Tabel 5.15
Hubungan umur dengan kejadian malaria
Kejadian Malaria
Umur Malaria Tidak Total p- OR
Malaria value (95% CI)
n % N % n n %
(%)
< 15 Tahun 33 12,1 50 18,4 83 (30,5) 0,253 1,419
≥ 15 Tahun 60 22,1 129 47,4 189 (69,5) (0,830-
Total 93 34,2 179 65,8 272 (100) 2,425)
Tabel 5.16
Hubungan jenis kelamin dengan kejadian malaria
Kejadian Malaria
Jenis Malaria Tidak Total p- OR
Kelamin Malaria value (95% CI)
n % N % n n %
(%)
Laki-Laki 27 9,9 34 12,5 61 (22,4) 0,084 1,745
Perempuan 66 24,3 145 53,3 211 (77,6) (0,974-
Total 93 34,2 179 65,8 272 (100) 3,126)
Tabel 5.19 menunjukkan bahwa ada 3 variabel independen dengan nilai p >
0,05 yaitu variabel perawatan kelambu, cara penggunaan, dan jenis kelamin.
Variabel dengan nilai p > 0,05 dikeluarkan dari model multivariat selanjutnya
secara bertahap dimulai dari nilai p yang tertinggi. Terlihat pada tabel 5.19
bahwa nilai p yang paling besar adalah variabel Jenis kelamin, sehingga
variabel jenis kelamin dikeluarkan dari pemodelan kedua, maka didapatkan
hasil seperti pada tabel 5.20 berikut ini:
Tabel 5.20
Analisis Multivariat (Model II)
(95%CI)
No Variabel p-value OR
Lower Upper
1 Penggunaan Kelambu 0,005 2,276 1,276 4,059
2 Waktu Penggunaan 0,001 2,560 1,456 4,502
3 Frekuensi Penggunaan 0,021 3,313 1,194 9,193
4 Perawatan Kelambu 0,028 1,844 1,069 3,182
5 Cara Penggunaan 0,206 1,441 0,818 2,539
64
variabel jenis kelamin dikeluarkan pada pemodelan berikutnya. Adapun hasil
perubahan OR dapat dilihat pada tabel 5.21 berikut ini :
Tabel 5.21
Perubahan OR setelah variabel jenis kelamin dikeluarkan
Perubahan
No Variabel OR Lama OR Baru OR (%)
Tabel 5.21
Analisis Multivariat (Model III)
(95%CI)
No Variabel p-value OR
Lower Upper
1 Penggunaan Kelambu 0,005 2,276 1,276 4,059
2 Waktu Penggunaan 0,001 2,560 1,456 4,502
3 Frekuensi Penggunaan 0,021 3,313 1,194 9,193
4 Perawatan Kelambu 0,028 1,844 1,069 3,182
5 Cara Penggunaan 0,206 1,441 0,818 2,539
Tabel 5.22
65
Analisis Multivariat (Model IV)
(95%CI)
No Variabel p-value OR
Lower Upper
1 Penggunaan Kelambu 0,005 2,266 1,273 4,035
2 Waktu Penggunaan 0,001 2,570 1,464 4,511
3 Frekuensi Penggunaan 0,021 3,311 1,198 9,146
4 Perawatan Kelambu 0,026 1,855 1,077 3,195
Tabel 5.23
Perubahan OR setelah variabel cara penggunaan kelambu dikeluarkan
Perubahan
No Variabel OR Lama OR Baru OR (%)
Tabel 5.24
66
Analisis Multivariat (Model Terakhir)
(95%CI)
No Variabel P Value OR
Lower Upper
1 Penggunaan Kelambu 0,005 2,266 1,273 4,035
2 Waktu Penggunaan 0,001 2,570 1,464 4,511
3 Frequensi Penggunaan 0,021 3,311 1,198 9,146
4 Perawatan Kelambu 0,026 1,855 1,077 3,195
67
Berdasarkan hasil uji interaksi diatas didapatkan nilai R2 sebesar 0,063
artinya 6,3 % kejadian malaria dapat dijelaskan oleh variabel penggunaan
kelambu, waktu penggunaan dan interaksi1. Sisanya (100%-6,3% = 93,7%)
dijelaskan oleh factOR lain diluar pemodelan. Sedangkan niai p = 0,742, hal
ini menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara penggunaan kelambu dan
waktu penggunaan terhadap kejadian malaria.
Berdasarkan hasil uji interaksi diatas didapatkan niai R2 sebesar 0,039 artinya
3,9 % kejadian malaria dapat dijelaskan oleh variabel penggunaan kelambu,
frequnesi penggunaan dan interaksi2. Sisanya (100%-3,9% = 96,1%)
dijelaskan oleh faktor lain diluar pemodelan. Sedangkan nilai p = 0,856, hal
ini menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara penggunaan kelambu dan
frequensi penggunaan kelambu terhadap kejadian malaria.
5.27 Uji interaksi antara penggunaan kelambu dan perawatan kelambu
dengan kejadian malaria
Berdasarkan hasil uji interaksi diatas didapatkan niai R2 sebesar 0,041 artinya
4,1 % kejadian malaria dapat dijelaskan oleh variabel penggunaan kelambu,
perawatan kelambu dan interaksi3. Sisanya (100%-4,1% = 95,9%) dijelaskan
oleh faktor lain diluar pemodelan ini. Sedangkan nilai p = 0,234, hal ini
menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara penggunaan kelambu dan
perawatan kelambu terhadap kejadian malaria.
Berdasarkan hasil uji interaksi diatas didapatkan niai R2 sebesar 0,060 artinya
6,0 % kejadian malaria dapat dijelaskan oleh variabel waktu penggunaan
kelambu, frequnesi penggunaan dan interaksi4. Sisanya (100%-6,0% =
94,0%) dijelaskan oleh factOR lain diluar pemodelan. Sedangkan nilai p =
0,240, hal ini menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara waktu
penggunaan kelambu dan frequensi penggunaan kelambu terhadap kejadian
malaria.
5.29 Uji interaksi antara waktu penggunaan kelambu dan perawatan kelambu
dengan kejadian malaria
Berdasarkan hasil uji interaksi diatas didapatkan niai R2 sebesar 0,059 artinya
5,9 % kejadian malaria dapat dijelaskan oleh variabel waktu penggunaan
kelambu, perawatan kelambu dan interaksi5. Sisanya (100%-5,9% = 94,1%)
dijelaskan oleh factOR lain diluar pemodelan. Sedangkan nilai p = 0,102, hal
ini menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara waktu penggunaan
kelambu dan perawatan kelambu terhadap kejadian malaria.
Berdasarkan hasil uji interaksi diatas didapatkan niai R2 sebesar 0,033 artinya
3,3 % kejadian malaria dapat dijelaskan oleh variabel frequensi penggunaan
kelambu, perawatan kelambu dan interaksi6. Sisanya (100%-3,3% = 96,7%)
dijelaskan oleh faktor lain diluar pemodelan. Sedangkan nilai p = 0,495, hal
69
ini menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara frequensi penggunaan
kelambu dan perawatan kelambu terhadap kejadian malaria.
70
BAB VI
PEMBAHASAN
72
Berdasarkan hasil uji analisis multivariat didalam penelitian ini didapatkan
bahwa cara penggunaan kelambu tidak berhubungan dengan kejadian malaria
(p-value = 0,206, OR = 1,441).
Meskipun cara penggunaan kelambu tidak terbukti memiliki memiliki
hubungan dengan kejadian malaria namun sesuai dengan anjuran dari
Kementerian Kesehatan RI melalui penelitian yang dilakukan oleh Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan tahun 2008 yang menyatakan
bahwa penting untuk diinformasikan kepada masyarakat mengenai
pemasangan kelambu yang benar yaitu tidak ada celah untuk nyamuk dapat
masuk kedalam kelambu.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Raden Ayu Aisyah dimana orang yang tidak tahu cara pemasangan kelambu
lebih berisiko 3,4 kali terkena malaria dibandingkan dengan orang yang tahu
cara pemasangan kelambu.
73
6. Hubungan umur dengan kejadian malaria
Berdasarkan hasil analisi bivariat penelitian ini menunjukan bahwa umur
tidak berhubungan dengan kejadian malaria (p-value= 0,253, OR = 1,419).
Penelitian ini tidak sejalan dengan A.Hidayat (2010) dimana responden
yang tergolong kelompok pada umur non produktif beresiko 3 kali
dibandingkan dengan umur produktif. Menurut Hidayat, karena aktifitas
kelompok non produktif ini pada malam hari sering berada disekitar rumah,
daya tahan tubuh yang dimiliki lebih rendah dari kelompok usia produktif,
serta pengetahuan tentang malaria yang dimiliki lebih dibawah rata-rata
mereka produktif. (Ahmad hidayat, 2010)
74
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan analisa data, maka dapat disimpulkan bahwa:
7.1.1 Penggunaan kelambu berhubungan secara signifikan dengan kejadian
malaria, dimana Orang yang tidak menggunakan kelambu lebih berisiko
2,3 kali terkena malaria dibandingkan dengan Orang yang
menggunakan kelambu.
7.1.2 Waktu penggunaan kelambu berhubungan secara signifikan dengan
kejadian malaria, diaman Orang yang waktu menggunakan kelambu ≥
jam 21.00 malam lebih berisiko 2,6 kali terkena malaria dibandingkan
dengan Orang yang menggunakan kelambu < jam 21.00 malam
7.1.3 Frequensi penggunaan kelambu berhubungan secara signifikan dengan
kejadian malaria, dimana Orang yang frequensi penggunaan
kelambunya jarang lebih berisiko 3,3 kali terkena malaria dibandingkan
dengan Orang yang frequensinya sering.
7.1.4 Cara penggunaan kelambu tidak berhubungan dengan kejadian malaria.
7.1.5 Perawatan kelambu berhubungan secara signifikan dengan kejadian
malaria, dimana Orang yang kelambunya tidak terawat lebih berisiko
1,9 kali terkena malaria dibandingkan dengan Orang yang kelambunya
terawat.
7.1.6 Umur tidak berhubungan dengan kejadian malaria.
7.1.7 Jenis kelamin tidak berhubungan dengan kejadian malaria.
7.1.8 Pekerjaan tidak berhubungan dengan kejadian malaria.
7.2 SARAN
Adapun saran sebagai upaya pencegahan kejadian malaria pada penelitian ini
adalah:
7.2.1 Perlu adanya kerjasama yang baik antara dinas kesehatan dan
puskesmas dalam bentuk penyuluhan tentang pentingnya penggunaan
dan pemeliharaan kelambu berinsektisida sebagai upaya promotive dan
preventif dalam rangka pencegahan penyakit malaria.
75
7.2.2 Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan metode
penelitian, desain penelitian, dan variabel penelitian yang lebih lengkap
untuk mengetahui faktor penyebab kejadian malaria.
7.2.3 Dianjurkan kepada seluruh masyarakat agar kelambu digunakan setiap
akan tidur terutama pada malam hari agar tidak tergigit nyamuk, setiap
keluarga perlu diberi pengertian pentingnya menggunakan kelambu
untuk menurunkan kejadian malaria, kelambu yang telah dicuci
berulang kali perlu diberi pestisida lagi agar fungsi untuk membunuh
nyamuk tidak berkurang.
76