Ketentuan Pidana:
Pasal 72:
1. Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp 1.000.000,0 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai
dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Monolog Kopi
‘Kopi itu Candu yang Bikin Rindu’
Prajna Vita
Monolog Kopi : Kopi itu Candu yang Bikin Rindu
Karya Prajna Vita
Diterbitkan Oleh:
PoliMedia Publishing
Jalan Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan
Telepon/fax: (021) 7864753-55/ (021) 7864756
email: info@polimedia.ac.id
Dari Editor
Prolog -- Kalibrasi
Dari Editor
~Rahma Pratiwi
Temani aku ketika senja dengan secangkir kopi hitam, karena aku
tahu dari mulai rasa apa yang ingin aku ceritakan.
Bangunkan aku subuh agar aku terus menanti senja. Tidurkan aku
siang agar aku berteman dengan malam. Mengingatkanku pada
waktu yang kian cepat berlalu dan penyesalanku karena peluang
lepas begitu saja dari genggaman.
Ini bukan soal cinta, ini soal kehidupan. Mengarah pada kopi,
karena kopi berperan di dalam kehidupan.
Agar aku diam mendengar detak jarum jam dan aku mengerti
bahwa waktu berjalan cepat.
Saat ini, aku masih berada pada titik pahit, aku harus berjuang
melewati untuk menemukan manisnya.
Aku tahu itu membutuhkan waktu dan tolong, bantu aku agar aku
tidak lagi jatuh dalam jurang kegabahan.
Berikan aku kopi agar aku bisa statis, tetapi tetap dinamis.
KALIBRASI
Pahit. Tidak akan pernah ada lagi kata itu. Biarkan mengalir
menetes dalam seduhan, biarkan meresap dalam lidah, hanya
tinggal menunggu waktu. Maka, kau akan merasakan manisnya,
tertinggal lama, cukup lama.
Aroma 1
Aku Terlalu Jauh Darimu
Tidak ada celah untuk aku keluar menjauh dari cairan sialan
itu. Aku tak bisa terus-terusan menutup hidung. Aroma itu menusuk
menembus otakku dan membuat apa yang aku lihat menjadi
bergoyang, memunculkan beragam bentuk aneh yang mulanya
mengecil, lambat laun menjadi besar dan aku tak bisa menopang
tubuhku sendiri. Kakiku tak berjalan tetapi bergerak kanan kiri
depan belakang. Tiba-tiba saja kunang-kunang mengerubungi
pandanganku. Aku merasa tubuhku lebih ringan dan tak bergerak
kembali. Aroma itu semakin menusuk hingga membuat napasku
tersengal dan aku tak merasakan apa-apa lagi. Tidak, itu bukan
sarkasme, tapi untungnya itu hanya mimpi.
***
1
Prajna Vita
2
Monolog Kopi
3
Prajna Vita
malam ini, hanya ada aku, dia, dan dua cangkir kopi buatanku.
4
Monolog Kopi
5
Prajna Vita
itu adalah kopi, Har dan aku merasa terancam. Aku melihat kopi
begitu negatif di matanya. Sejak itulah aku mulai memandangnya
angkuh dan hanya ada obrolan penting saja di antara kami.”
“Apa hanya itu saja alasan yang kau tahu mengapa ia menolak
aroma kopi? Kau tahu alasan lainnya?” Tanyaku.
“Tidak, Har, dan aku tidak mau tahu. Aku tidak mau lagi
mendengar alasan mengenai penolakan indranya terhadap kopi.
Bagiku, kopi ialah kehidupan dan aku tidak mau diusik hanya
karena mimpi-mimpi dia yang menurutku hanya sekadar bunga
tidur. Meskipun kami tidak ada lagi obrolan basa-basi, tetapi aku
tetap menyayanginya sebagai adikku, Har,” ia diam sejenak dan
kepalanya sedikit terangkat ke atas. Matanya menyapu langit malam
yang dipenuhi dengan bintang. Pemandangan langit tampak jelas
dari teras tempat kami duduk. Jika mau ia bisa melukis sebaran
bintang itu dengan jarinya untuk menghubungkan bintang satu ke
bintang lain hingga membentuk sebuah rasi.
6
Monolog Kopi
7
Prajna Vita
8
Monolog Kopi
9
Prajna Vita
10
Monolog Kopi
“Aku tahu betul risiko apa yang akan aku hadapi untuk
tetap mencintai minuman yang memiliki aroma khas itu. Risiko
memutuskan obrolan dengan Fauzi merupakan masalah awal karena
kopi. Aku sama sekali tidak menyalahkan ketidaksukaan seseorang
terhadap kopi. Aku tidak membencinya, sama sekali tidak,” begitu
katanya.
11
Prajna Vita
***
12
Monolog Kopi
13
Prajna Vita
kesuksesan.
14
Monolog Kopi
15
Prajna Vita
16
Monolog Kopi
17
Prajna Vita
18
Monolog Kopi
19
Prajna Vita
Apa kau hari ini tidak ingin mengucapkan selamat ulang tahun
padaku? Aku sudah berkepala dua. Tepat satu tahun lalu, saat ulang
tahunku ke-19 tahun kau memberiku satu bingkai besar berukuran
20R yang penuh berisi kolase fotoku saat aku sibuk melakukan
percobaan meracik kopi.
20
Monolog Kopi
Aku segera menahan air mata yang akan menetes. Saat ini
aku sudah bisa menahan tangisan ketika mengingatmu, meski
tenggorokanku merasa tercekik. Hingga sekarang aku masih
memikirkan cara agar berhasil membuat rasa menakjubkan. Asal
kau tahu, Bu, aku pernah mencuri resepmu yang kau selipkan
di bawah alas almari pakaianmu. Dengan tujuh kali percobaan
berpacu dengan resep itu, tetap saja aku tidak berhasil menciptakan
resep berbeda yang bisa membuatnya memujiku.
***
21
Prajna Vita
Aroma 2
Bersama Kopi, Aku Baik-baik Saja
22
Monolog Kopi
Tidak ayah, wanita itu tidak akan pergi dan juga tidak hilang.
Ia akan kekal di alam sana dan jangan khawatir tidak akan bertemu
dengannya lagi. Kita akan bertemu kembali meskipun harus melalui
perpisahan ini. Bukankah di dunia ini selalu ada pertemuan dan
perpisahan?
23
Prajna Vita
24
Monolog Kopi
25
Prajna Vita
26
Monolog Kopi
“Aku tidak bisa, Bu,” kataku. Ia diam dan menarik napas lalu
segera mengeluarkannya. Aku tahu ia tidak menyerah begitu saja.
Terlalu pahit. Aku tidak bisa menerima rasa pahit itu. Aku
memang menyukai aromanya, tetapi tidak untuk rasa pahitnya.
Jangan pernah paksa aku untuk mengubah minuman manis itu
menjadi pahit karena aku tidak bisa menerimanya.
28
Monolog Kopi
“Pahit,”
“Lagi,”
Saat-saat seperti itu tidak lagi bisa terulang kembali. Ah, lagi-
lagi aku ingin meminta bisakah waktu diputar. Waktu memang
jahat, takdir lebih-lebih menyakitkan. Namun, itulah teka-teki
Tuhan yang tak bisa dipecahkan dan tak bisa ditawar.
***
29
Prajna Vita
“Bawa ini. Ada lima kemeja yang sudah tidak cocok lagi aku
pakai. Bisa untuk menambah koleksi kemeja yang nantinya untuk
keperluanmu,” kata ayah saat memasuki kamarku ketika aku masih
bersiap untuk menjadi seorang perantau.
30
Monolog Kopi
31
Prajna Vita
32
Monolog Kopi
33
Prajna Vita
hutangku ini.
Aku tahu kau akan sedih jika kau melihatku seperti ini, Ibu.
Pikiranku terbuka ketika Vendra mendorongku masuk ke dalam
hobiku. Aku mampu hanyut dalam dunia coffee cupping hingga aku
tidak merasa ada orang di belakangku ketika aku mulai mencicipi
beberapa jenis kopi.
34
Monolog Kopi
Tak usah khawatir, karena aku akan tetap baik-baik saja jika
bersama kopi.
***
35
Prajna Vita
Aroma 3
Ibaratnya Kopi dengan Kehidupan
Rasanya aku sudah datang pagi, ternyata masih kurang pagi juga.
Seharusnya aku yang membuka kunci kedai, menyalakan lampu,
merapikan peralatan kopi, dan tentunya juga aku yang berada
di sana, bukan Vendra yang duduk bersama Grey di dapur bar.
Tertawa cekakak-cekikik entah apa yang dibicarakan. Harusnya
Grey datang pada saat aku sedang berada di sini sendiri.
Ada dua orang yang terlihat, satu menjadi pencerita dan satu
menjadi pendengar, begitu pun sebaliknya. Vendra melemparkan
pandangannya keluar pintu kedai yang pasti bisa menembus
pandangan ke luar karena pintu terbuat dari kaca. Seketika itu aku
nistagmus dan mengalihkan pandangan pada objek yang entah apa
kemudian aku memenuhi permintaan kakiku untuk berjalan masuk.
36
Monolog Kopi
Vendra.
37
Prajna Vita
38
Monolog Kopi
“Siang aku ada kuliah, jadi untuk apa aku pagi-pagi sekali
datang ke kampus?” Ujarnya menggunakan kata-kata yang sama
denganku. Ia menengok sambil tersenyum bercanda membuat aku
ikut tersenyum. Disusul dengan Vendra yang mengeluarkan suara
tawa lirihnya.
39
Prajna Vita
***
40
Monolog Kopi
“Mas, kalau di sini tempat selain kali ini ada apa aja ya?”
Tanyanya, langsung terlintas dalam pikiranku bahwa dia seorang
wisatawan atau lebih tepatnya untuk anak muda traveling.
***
41
Prajna Vita
42
Monolog Kopi
43
Prajna Vita
***
44
Monolog Kopi
45
Prajna Vita
“Aku tak pernah ragu melakukan apa yang ingin aku lakukan.
Aku selalu menjawab dengan sopan ketika mereka bertanya apa
yang akan aku lakukan. Meskipun terkadang mereka memojokkanku
aku tetap menjawab sopan tanpa menyakiti hati mereka. Namun,
pada akhirnya mereka juga yang kalah dan memilih diam, berhenti
mencecarku dengan pertanyaan yang tak punya masa depan,”
ujarmu waktu itu.
46
Monolog Kopi
47
Prajna Vita
48
Monolog Kopi
Aroma khas parfum yang tidak pernah aku lupa. Tidak pernah
berubah dari pertama aku bertemu, wangi coklat lembut tidak jauh
berbeda dengan wangi sweetness kopi. Bukan parfum wanita pada
umumnya.
49
Prajna Vita
menjadi patokan agar tidak lupa. Kembali lagi Grey. Karna sudah
terlatih. Kau tahu? Aku sudah dihadapkan dengan aroma kopi yang
berbeda-beda dari kecil oleh ayahku,” kataku. Hanya gumaman
yang aku dengar darinya.
52
Monolog Kopi
***
53
Prajna Vita
Aroma 4
Seperti Labirin
54
Monolog Kopi
55
Prajna Vita
“Apa kau pernah merasa kurang puas dengan apa yang sudah
kau dapatkan sekarang?” Katanya waktu itu,
“Pasti aku akan memilih cangkir yang aku suka Ve. Dengan
bentuk cangkir yang unik dan gambar menarik,”
“Tapi ketika aku memilih cangkir yang cantik aku pasti akan
merasa senang. Bukannya kesenangan juga bisa membuat kita
sedikit melupakan kesusahan yang masih dihadapi, Ve?” Sangkalku.
57
Prajna Vita
pada kursi. Kau selalu bisa membuatku terdiam untuk berpikir, Ve.
Ah, mengapa aku begitu tidak mengetahui itu? Aku ini apa?
Mengenal kopi lebih dulu di antara mereka, tetapi aku tidak pernah
mengetahui makna lain yang dapat diambil.
58
Monolog Kopi
Bar ini bisa saja sunyi ketika ada dua manusia yang sama-
sama luput dengan dunianya. Aku sibuk mencari biji kopi apa yang
ingin aku giling, ia sibuk dengan rasio10 seduhan yang tepat untuk
menghasilkan rasa yang nikmat.
59
Prajna Vita
60
Monolog Kopi
“Ada satu yang aneh. Seperti ada rasa berbeda yang membuat
rasanya tidak sempurna,” katanya. Aku mengerutkan mata tidak
tahu.
61
Prajna Vita
Ada kecacatan di biji kopi kali ini. Meskipun hanya satu biji
tidak sempurna terselip dan ikut tergiling pun pasti pengaruh besar
terhadap kesempurnaan rasa kopinya akan terasa. Ah, bagaimana
kali ini aku sulit menemukannya? “Kenapa aku bisa tidak sadar,”
lanjutku.
62
Monolog Kopi
***
63
Prajna Vita
Apa aku masih akan diterima di sana jika tidak lagi dapat
menemukan kopi terbaik? Apakah kedai itu akan mati suri karena
ulahku nanti?
Aku tahu kau tidak tidur untuk meracik berbagai resep baru
untuk menemukan rasa yang berbeda yang bisa menentukan selera
penikmat. Aku tahu kau selalu menghabiskan kertas bindermu
64
Monolog Kopi
Tiga jam, dua jam, atau bahkan satu jam kau bisa tidur dalam
sehari. Kau tak pernah takut sakit, mungkin mati saja kau tak pernah
takut.
“Boleh saja kau mati lebih cepat, tetapi tulislah lebih lebih
cepat lagi. Ragamu tidak ada ketika kau sudah mati, tetapi jiwamu
masih tetap abadi pada satiap tulisan-tulisan itu. Gagasanmu masih
65
Prajna Vita
tetap abadi, semua ceritamu akan tetap tersimpan. Tulisanmu itu tak
akan pernah mati meskipun kau mati. Bahkan jiwamu akan terbawa
di dalam tulisan tersebut dan melekat pada orang yang menyimpan
semua berkas-berkasmu.” Katanya lagi.
66
Monolog Kopi
“Kali ini aku ingin mendapatkan singel origin dari Jogja lagi.
Semenjak meletusnya gunung merapi dan paceklik yang panjang,
sampai sekarang tidak ada kabar dari ayahku tentang kondisi kopi
12. Orang yang datang ke coffee shop hanya untuk nongkrong, bukan
untuk mengenali dan mencicipi kopi-kopi yang disediakan di kedai
tersebut.
13. Proses mengetes citarasa kopi.
67
Prajna Vita
“Minggu depan.”
Tepat seperti labirin. Aku tak pernah tahu jalan mana yang
tertutup dan jalan terbuka mana yang perlu aku cari. Kekuatan itu
mampu lebih kuat ketika aroma kopi merambati otak dan mulai
masuk pada hati.
Pada saat itulah aku mulai mempunyai impian bahwa aku ingin
menciptakan sesuatu yang berbeda dari setiap kopi. Menghasilkan
kopi-kopi terbaik yang mempunyai karakteristik berbeda. Membuat
mereka merasa bahagia ketika meneguknya. Membuat mereka tidak
mau beranjak dari cangkir yang membuatnya mampu membuka
pikiran mereka pada jalan yang lebih mempunyai tujuan.
68
Monolog Kopi
Aku bukan peramu kopi hebat seperti barista tetapi aku ingin
terus menjadi seseorang dibalik barista. Aku bukan ingin menjadi
barista karena aku tidak pandai merayu. Namun, aku mempunyai
impian yang tidak kalah dengan barista. Aku ingin menciptakan
kopi dengan rasa yang hebat. Menemukan kopi-kopi terbaik untuk
aku aplikasikan kepada para barista agar mereka meracik dan
menyuguhkannya kepada pecinta kopi. Aku ingin bahagia ketika
melihat mereka merasa bahagia dengan kopi tersebut. Dan, satu
hal yang perlu aku lakukan. Kemampuan roasting dan kemampuan
Q-Grader sudah menjadi bekalku.
***
69
Prajna Vita
Aroma 5
Aku!
70
Monolog Kopi
71
Prajna Vita
72
Monolog Kopi
terlepas.
***
73
Prajna Vita
75
Prajna Vita
Untungnya, ayah dan Pak Ari masuk dalam kelompok petani kopi
binaan. Jadi, mereka tahu apa yang perlu dilakukan.
***
76
Monolog Kopi
77
Prajna Vita
78
Monolog Kopi
79
Prajna Vita
***
Grey sudah datang satu jam lebih awal sebelum aku mulai
tiba di kebun. Duduk di bawah pohon untuk menghindari terpaan
sinar matahari. Jam delapan matahari sudah mulai menyengat, tidak
heran untuk seorang gadis Jakarta pasti membutuhkan tempat agar
matahari tidak menerpanya secara langsung. Namun, suhu dingin
di sini tentu tak akan jadi masalah besar meski terik matahari tetap
ada.
80
Monolog Kopi
81
Prajna Vita
***
82
Monolog Kopi
Aku kalut dan aku tidak tahu apa yang ingin aku katakan.
Pikiranku menembus ke mana-mana dan aku tidak tahu harus marah
kepada siapa. Aku langsung beranjak menuju kamar. Aku ingin
sendiri dan aku tidak ingin berbicara pada orang-orang disekitarku.
Aku ingin menangis tetapi aku harus menangis karena apa? Kesal?
Menyesal? Atau kecewa? Aku tidak bisa mengeluarkan air mata
begitu saja. Aku tidak bisa melepaskan perasaanku begitu saja. Aku
bingung apa yang perlu aku lakukan.
83
Prajna Vita
tak pernah tahu? Dan aku baru tahu kali ini. Setelah kau sudah
meninggalkanku selama satu tahun lalu.
Aku melihat kulit pria yang semakin tua itu duduk sendiri.
Aku tak mau menyapanya. Kuangkat slempang ranselku sekali
lagi, aku yakin akan kembali ke Jakarta tanpa mengatakan satu kata
pun padanya.
84
Monolog Kopi
karena mereka tahu aku sangat menyayangi ibu. Kau tidak tahu
siapa yang kau hadapi? Aku!
***
85
Prajna Vita
Aroma 6
PERASAAN
86
Monolog Kopi
Tetesan air mata ini tetap saja tertahan. Aku sakit. Tolong
keluar dan buat aku lega. Meski untuk sementara. Kereta sudah tiba
di stasiun Pasar Senen dan aku pusing melihat lalu lalang banyak
orang. Aku ingin cepat sampai di rumah. Kantong mataku sudah
berat. Aku ingin mengeluarkan air mata ini tanpa terlihat oleh siapa
pun.
***
87
Prajna Vita
***
Aku tidak tahu berapa hari aku mengurung diri di kamar. Tidak
ada kopi, tidak ada panggilan, tidak ada musik, tidak ada obrolan,
tidak ada komunikasi, dan hanya ada rokok yang puntungnya
tergeletak di mana-mana. Kotak ibuku yang aku bawa pun belum
ingin aku bongkar. Masih tergeletak di pojok kamar.
88
Monolog Kopi
89
Prajna Vita
90
Monolog Kopi
Aku menggeleng.
Aku rindu dingin dari penghujan, aku rindu melihat titik air
yang menempel pada kaca jendelaku sambil aku meminum kopi.
Ah, kopi lagi. Aku ingin melupakan kopi sejenak.
Aku tahu bahwa semua apa yang terjadi dalam hidup ini
mempunyai banyak arti yang tersembunyi. Dulu, ketika aku masih
menjadi peminum kopi, aku sering menghabiskan secangkir kopi
hingga satu jam lebih sambil melihat gerimis. Ketika langit mulai
menggelap dan akan hujan, aku selalu bersiap mendekati jendela.
Dengan jendela kaca, aku mampu melihat titik-titik gerimis dari
dalam kamar.
92
Monolog Kopi
bersamaan.
93
Prajna Vita
Aku tak akan tertipu oleh suara guntur yang hanya dua kali
dan langit masih belum menghasilkan awan hitam pekat. Aku
meminum cokelat panas sedikit demi sedikit dan memutar lagu dari
94
Monolog Kopi
DVD.
Tetap kosong. Aku tak bisa menulis, aku tak bisa bercerita,
aku tak bisa mengungkapkan apa-apa dari pena dan kertas ini. Aku
letakkan kembali dan menenggak cokelat sisa di depanku. Tetap
saja hujan tidak turun semakin membuatku mengumpat.
95
Prajna Vita
***
Aku tahu kau sedang ada masalah, tetapi aku tidak pernah tahu
apa masalahnya. Aku tahu matamu ingin sekali berbicara, tetapi
kau terus menahannya. Beberapa hari sebelum hari meninggalmu,
tubuhmu terlihat semakin kurus. Namun, semangatmu tetap tinggi
untuk memberiku beragam resep meramu kopi. Dan aku ingat
kembali, aku belum mampu menghasilkan kopi terbaik.
96
Monolog Kopi
Ibu, aku bisa menentukan rasa kopi yang sangat enak, bahkan
sertifikasi sudah aku dapatkan. Namun, untuk menyuguhkan
kepada seseorang dan mengetahui bagaimana selera kopi mereka
aku belum bisa. Untuk mengambil makna dari kopi-kopi itu pun
aku masih jauh tertinggal. Aku hanya membanggakan sertifikasi itu
tanpa tahu bagaimana peran kopi bagi kehidupan. Padahal sangat
dekat. Dekat sekali.
97
Prajna Vita
Seniman itu mengambil ide yang tak pernah tahu itu menjadi
menarik. Terkadang simpel, terkadang rumit, terkadang juga
berbelit, tetapi tetap saja, orang yang sama-sama menyukai seni
98
Monolog Kopi
pasti akan mengatakan itu ide gila. Untung saja senimannya tak ikut
gila. Kalau kata mereka, pemikiran seniman merupakan pemikiran
out of the box. Berpikir di luar kotak, tapi kenapa banyak orang
yang tak mengerti, selalu mempermasalahkan kotaknya di mana?
99
Prajna Vita
***
100
Monolog Kopi
Aroma 7
Terimakasih Ve
Kopnat sudah terlihat ramai dengan beberapa orang yang tidak asing
bagiku. Mereka para roaster, petani kopi, eksportir kopi, barista
yang sering aku temui di beberapa kedai, dan pecinta kopi yang
mukanya tidak asing bagiku. Pelataran kedai sudah ramai dengan
beberapa pecinta kopi yang menunggu acara cupping dimulai.
“Aku kira kau tidak datang,” kata Grey yang tiba-tiba sudah
berada di sampingku. Hanya angkatan alis ringan jawaban dariku.
“Untung aku tidak terlambat, masih tiga puluh menit lagi kan ya,”
lanjutnya sambil menengok ke arah pintu kedai. Beberapa detik
kemudian sudah mengarahkan pandangannya padaku lagi.
101
Prajna Vita
102
Monolog Kopi
“Ya sudah. Kita lihat dari sesi cupping ini dulu. Mungkin ada
yang cocok menurutmu untuk menjadi menu selanjutnya,” katanya
kemudian.
“Ada enam singel origin lima arabika dan satu robusta, semuanya
dari tanah Jawa Tengah. Di-roasting dua hari lalu. Arabika Bongso
dan Dieng Batur dari Lereng Sumbing, Wonosobo. Arabika
Posong, Tlahap, dan Wonotirto dari Lereng Sindoro, Temanggung,
sedangkan robusta dari Pekalongan, namanya kopi Owa Jawa.
Saya ingin uji coba robusta dari pekalongan itu, Har. Rekomendasi
roaster yang saya kenal di Pekalongan, katanya lumayan enak,”
ujarnya sambil menghitung dengan jarinya. Hanya ada anggukan
dariku. “Har,” katanya. Aku kembali mengarahkan mataku padanya
untuk mendengar apa yang ingin ia katakan lagi.
103
Prajna Vita
104
Monolog Kopi
105
Prajna Vita
“Sudah,” katanya.
106
Monolog Kopi
107
Prajna Vita
108
Monolog Kopi
“Aku tidak tahu, asamnya seperti apa ini, Har,” katanya tiba-
tiba membuatku pura-pura tidak memperhatikannya.
109
Prajna Vita
“Di sesi ini kau harus merasakan apakah ada perpaduan aroma
dan rasa ketika kopi menguapi langit-langit mulut saat diseruput,”
kataku ketika sesi keempat akan dimulai. Kali ini ia mengerti dan
tak banyak bertanya.
“Har, apa yang harus diteliti untuk bagian karakter body ini?”
Tanya Grey saat aku masih mendeteksi karakter body dari Kopi
Bongso. Membuatku meletakkan sendok cupping yang sedang aku
110
Monolog Kopi
“Kalau Bongso aku juga setuju, Har. Tapi kalau Owa Jawa
aku masih ragu sepertinya, Har,”
“Ok. Kita lihat di sesi terakhir nanti ya,” kata Pak Surya
sambil meninggalkan senyuman.
111
Prajna Vita
Memasuki sesi terakhir, yaitu after taste. Pada sesi ini kopi
diteguk untuk mendeteksi rasa apa yang melekat di kerongkongan.
Sebagian besar kopi memiliki after taste dengan rasa manis.
“Apa kau sudah mengerti untuk yang sesi ini?” Tanyaku pada
Grey. Aku menanyakannya karena dari tadi tidak ada pertanyaan
lagi darinya.
112
Monolog Kopi
“Kau sehat?” Suara itu, aku tahu betul itu Grey. Aku malas
menggerakkan bola mata untuk melihatnya. Aku hanya menggeleng,
beberapa detik kemudian aku menatapnya dan kembali pada
pandangan lurus.
113
Prajna Vita
***
Aku beranjak dan menarik kotak itu untuk melihat ada apa
saja di dalamnya. Namun, tanganku berhenti ketika terdengar
ketukan pintu. Aku segera melangkah membuka pintu.
114
Monolog Kopi
“Aku tidak tahu,” aku diam sejenak, “Aku merasa ada yang
membelenggu ketika berhadapan dengan kopi. Ketika aku meng-
cupping, konsentrasiku juga tidak berada di kopi seratus persen,”
115
Prajna Vita
aku berhenti sejenak. “Kau sudah tahu kenapa aku pulang ke Jakarta
lebih cepat dan tidak membawa hasil apa pun?” Lanjutku ketika
aku teringat bahwa aku belum menceritakan padanya.
116
Monolog Kopi
Banyak tujuan yang perlu aku capai dan peluang seringkali ada di
depan mata. Kesempatan jangan sampai aku sia-siakan. Ambisius
sekali aku ini! Ah, manusia juga perlu ambisi untuk mencapai
tujuan tertentu. Toh, masih ingat, bahwa segala sesuatu yang
terjadi, termasuk kegagalan itu sudah rencana Tuhan.
***
117
Prajna Vita
Aroma 8
Penolakan Coffee Tasting
118
Monolog Kopi
Aku mencium aroma kopi yang berasal dari asap lilin itu.
Aku mendekatinya, ternyata cangkir itu berisi biji-biji kopi dan
lilinnya tertanam di dalamnya. Semakin aku mendekatinya, aroma
itu semakin tajam. Aku belum merasa pusing.
119
Prajna Vita
“Apa kau merasa pusing dengan aroma yang aku buat ini?”
Tanyanya kemudian setelah melihatku tidak ada reaksi apa pun.
Aku menggeleng. Aku melihat lilin yang sama di dekat bug tembok
yang kosong. “Menurut beberapa ahli, cara ini merupakan salah
satu terapi untuk menyegarkan otak. Sebelumnya aku ragu, takut
penciumanmu menolak dan kau merasa pusing. Tapi ternyata
tidak. Kau masih baik-baik saja,” lanjutnya dengan senyum yang
merekah.
120
Monolog Kopi
“Tubruk. Hanya itu kan yang aku bisa,” kata Grey dengan
nada ringan dan pipi kanan yang berkerut malu, “Eh, bukan
aku tidak bisa. Hanya saja, aku belum berani menyeduh dengan
manual brew,” ralatnya singkat sebelum Vendra menyerang dengan
kalimatnya yang pesimis tadi.
121
Prajna Vita
begitu, Pak Surya juga masih ragu. Kalau yang Bongso menurutmu
bagaimana Ve?” Aku balik bertanya.
“Ve,” kata Grey yang berhenti sejenak dari biji kopi yang
masih diseleksi itu. “Kenapa kau tertarik sekali dengan manual
brew?”
122
Monolog Kopi
123
Prajna Vita
“Grey, mau kau coba minum kopiku? Rasa apa yang kau
tahu?” Kataku pada Grey yang sudah sibuk dengan gadgetnya.
Ia mengambil cangkirku dan mulai menyeruput. Ia menahannya
sejenak. Matanya berkeling, dahinya mengkerut. Sama seperti
Vendra yang sedang menganalisis rasa kopi.
“Pahit,” jawabku.
124
Monolog Kopi
***
125
Prajna Vita
126
Monolog Kopi
Aku tidak bisa berbicara. Lebih baik Kopnat mati suri untuk
beberapa waktu, tetapi tetap dengan konsep yang sama. Daripada
harus mem-branding ulang dan menghilangkan idealisme untuk
mengenalkan kekayaan kopi Indonesia. Idealisme itu sudah kami
bangun dari awal menyusun rencana bisnis--Aku, Vendra, dan Pak
Surya sendiri--.
127
Prajna Vita
***
128
Monolog Kopi
129
Prajna Vita
***
“Ada dari daerah mana saja yang kau bawa kemarin Mas?”
Tanyaku tanpa tedeng aling-aling.
“Ancur Har kalau aku roasting lebih dari satu jenis kopi.
Bukan aku tidak bisa, tetapi aku tak mau hasil roastinganku
130
Monolog Kopi
tidak maksimal. Kau coba yang sudah aku roasting saja dulu,”
katanya dan ia langsung mengambil bungkusan kopi tersebut lalu
membuakanya di depanku.
131
Prajna Vita
Mas Bayu mengambil kopi Bongso yang aku ingat betul ada di
acara cupping Kopnat beberapa hari lalu. Katanya, ia memilih kopi
dari tanah Wonosobo itu karena aku sudah mengenali sebelumnya.
Sepertinya ia merasakan ada sesuatu yang tidak beres padaku.
“Ah, pasti ada masalah denganmu Har. Semua skala ini sudah
sesuai standard SCAA (Specialty Coffee Association of America)
kok, seperti biasa. Aku juga tidak menemukan rasa yang ganjal.
Jangan bilang kau mau mengetes roasting-an satu persatu secara
mundur loh, Har,” katanya. “Hitungan skalaku ini sepertinya sudah
benar. Seperti biasa,” lanjutnya dengan memperhatikan kembali
catatan roasting-nya itu.
132
Monolog Kopi
***
133
Prajna Vita
Aroma 9
Perlakukan Kopi Secara Manusiawi
134
Monolog Kopi
Malam ini Kopnat akan tetap hidup karena aku akan meng-
cupping beberapa kopi di sana. aku membutuhkan keheningan
malam agar konsentrasiku dapat terkontrol untuk menemukan
karakteristik rasa kopi.
135
Prajna Vita
136
Monolog Kopi
“Ya,” kataku.
“...”
137
Prajna Vita
jarum jam yang terpasang di dinding sebelah kanan dapur bar. Suara
detaknya sangat jelas karena suasana malam semakin sunyi. Jam
menunjukkan waktu dini hari. Malam semakin diramaikan dengan
berbagai suara jangkrik dan binatang-binatang lain. Kebisingan
jalanan di depan kedai perlahan hilang.
138
Monolog Kopi
139
Prajna Vita
Aku menjauh dari meja bar dan duduk di meja kedai yang
tidak jauh dari jendela agar bisa melihat suasana malam yang
remang. Setelah aku membalikkan badan, tiba-tiba langkahku
berhenti sejenak ketika melihat ada gitar yang tergeletak. Warnanya
coklat bercampur hitam, sungguh mengasyikkan, tidak jauh dari
kopi.
140
Monolog Kopi
ingin aku nyanyikan. Kembali aku petik senarnya. Kali ini senar
ketiga agar terdengar petikan melodi ringan. Berbarengan, dan jari-
jariku mulai bergerak hingga membuatku begitu tenang. Tak ada
suara dariku, alunan petikan gitar itu terasa merambati jemari.
141
Prajna Vita
ingin bercerita pada kertas dan pena agar tidak ada yang menyela,
karena semua mata sudah tertidur? Cukuplah, untuk apa aku
menanyakan hal itu yang ujungnya aku menjadi monolog.
Selain itu, jalanan yang mulanya kering dan tersiram air hujan
akan terasa begitu menakjubkan. Itu yang selalu aku rindukan.
Menghirup aroma tanah kering yang tersiram air hujan. Aku rindu
aroma itu, aroma yang membuatku merasa beruntung tinggal di
bumi ini. Bertemu dengan kopi dan orang-orang yang terlibat di
dunia kopi lainnya. Vendra, tiba-tiba aku teringat padanya dan
seketika aku teringat pada kopi yang masih aku tinggalkan.
142
Monolog Kopi
***
143
Prajna Vita
aku lap dan meja sudah bersih dari tetes kopi dan bubuk kopi yang
mengotori meja. Aku melihat Vendra membawa chemex20 dan satu
cangkir ke meja tempatku tidur semalam.
“Ya,”
“Kita bisa menjual rumah kita, lalu kita beli Kopnat dan buat
kedai ini menjadi dua lantai. Lantai dua menjadi tempat tinggal kita
dan bawah tetap kedai,” ujarku. Vendra belum mengeluarkan suara
apa pun, mimik wajahnya tampak seperti seseorang yang masih
berpikir.
20. Salah satu alat seduh manual yang menggunakan paper filter (kertas
penyaringan)
144
Monolog Kopi
145
Prajna Vita
dari tanah tersebut tidak enak seperti dulu,” aku berhenti sejenak,
“Tidak masalahlah memakai uang itu,” lanjutku.
“Tidak ada yang sia-sia. Aku tahu, saat ini pikiranmu masih
kalut. Kau belum bisa mengontrol emosi dan perasaanmu. Kopi
membutuhkan ketenangan dan ketulusan dari peminumnya. Coba
atur itu agar kau kembali menemukan keajaiban rasanya.”
146
Monolog Kopi
Setelah tidak ada lagi suara yang keluar dari mulutku, lalu ia
melihat ponselnya dan menuangkan kopi yang sudah kita diamkan
selama beberapa menit dengan obrolan tadi. Cangkir sudah terisi
147
Prajna Vita
148
Monolog Kopi
“Kau kenapa? Aku tahu pikiranmu masih kalut dan sinus itu
hanya bermasalah pada penciuman. Kau masih bisa menggunakan
pencecapanmu. Kau masih tetap tidak bisa? Kenapa kau tidak bisa
kontrol perasaanmu ketika meminum kopi, ketika kau mendeteksi
apa rasanya. Perasaanmu dan rasa kopi itu tidak pernah terpisah.
Tetap ada di hatimu,” katanya. Tampaknya ia sedikit kesal. Namun,
aku lebih kesal lagi karena belum bisa menemukan karakter rasanya.
Aku diam. Ia lekat memandangku dan memandang cangkir kopi itu
bergantian.
“Jangan paksa aku! Aku tidak tahu kenapa aku tidak bisa
menemukannya! Aku juga sudah mencoba dengan Mas Bayu dan
sama sekali aku tidak bisa memberi feedback untuk roasting-nya!”
Kataku dengan nada suara yang sedikit lebih keras membuat ia
terlihat kaget dan matanya tidak beralih padaku.
149
Prajna Vita
150
Monolog Kopi
***
151
Prajna Vita
Aroma 10
Monolog
“Di mulai dari dapur bar dulu, Har, semoga nanti kita punya
kedainya,” katanya waktu itu sambil tertawa. Sekarang, kita sudah
memiliki kedai sendiri, dapur barnya lebih besar, bisa melihat
orang-orang pecinta dan penikmat kopi datang dan memesan kopi
favoritnya.
152
Monolog Kopi
153
Prajna Vita
“Aku tidak bisa, Ve. Akan sia-sia jika aku pergi dan aku tidak
bisa menemukan kopi terbaik,” ujarku.
154
Monolog Kopi
***
155
Prajna Vita
156
Monolog Kopi
Kopi sudah menjadi salah satu petunjuk nyata. Hidup itu lebih
dominan terlihat pahit. Lebih banyak yang mengatakan bahwa kopi
itu tidak enak! Mungkin kesadarannya perlu dikuak. Kopi itu buruk
untuk tubuh! Buruk mana dengan tubuh yang terus-terusan statis
dan otak tak mau berpikir? Kopi itu jahat karena tak bisa membuat
orang tertidur! Jahat mana dengan waktu tidur yang terlalu lama
dan peluang hilang terus menerus? Kopi itu berandal! Berandalan
mana dengan orang yang baik di luar tetapi lain di dalam? Kopi
itu anugrah Tuhan yang tersembunyi. Orang belum tahu banyak
tentang keistimewaan kopi. Andai saja aku memahami pertanyaan
dan jawaban itu dari awal. Aku bisa menceritakan pada ibu
bagaimana aku mengambil makna. Memahami? Betul, aku belum
benar-benar memahami. Aku masih terus-terusan menginginkan,
tapi tak pernah mengerti dan memahami. Aku hanya tahu, tetapi
Tuhan memahami.
157
Prajna Vita
***
158
Monolog Kopi
159
Prajna Vita
***
160
Monolog Kopi
161
Prajna Vita
tidak bisa menemukan karakteristik rasa kopi karena kau tidak bisa
mengontrol perasaanmu!” Suaranya meninggi. Matanya tidak lepas
dari mataku yang membuat hatiku seakan tersentuh oleh belati
yang hampir saja menusuk jantungku, “Masalahmu dengan dirimu
sendiri dan orang-orang di sana yang aku tidak tahu siapa lagi itu
sebesar apa sih? Tidak bisa kau letakkan dulu jauh-jauh emosimu
dengan perasaanmu?” Katanya lagi.
Kami bisu, tak ada jawaban dariku. Aku merasa dingin dan
telingaku memunculkan rasa panas yang hingga menuju wajahku.
Aku merasa keringat dingin membasahi telapak tanganku. Kau
membuatku ingin menutup mata di depanmu dan berteriak keras
lalu aku ingin menghilang dari dunia yang membuatku sempit dan
sulit bergerak.
162
Monolog Kopi
***
163
Prajna Vita
***
164
Monolog Kopi
“Apa tidak ganjil? Kalian yakin tidak Owa Jawa dan Bongso
bisa diterima pelanggan?” Tanya Grey membuat aku dan Vendra
berpandangan.
“Kita coba saja dulu, tapi kita harus siap risikonya,” jawab
Vendra yang masih mengarahkan matanya padaku.
165
Prajna Vita
seperti ini, jika kopi yang kami sediakan tidak sesuai dengan
penikmat bagaimana?” Potongku.
166
Monolog Kopi
167
Prajna Vita
***
168
Monolog Kopi
169
Prajna Vita
“Belum,” kataku.
170
Monolog Kopi
171
Prajna Vita
172
Monolog Kopi
173
Prajna Vita
Aku ini memang bisa dibilang munafik. Ya, aku ini munafik!
Ucapan yang aku katakan berbeda dengan perasaan hatiku. Aku
tidak bisa mengatakannya tetapi perasaanku tertuju padanya.
Aku yakin bahwa aku menyukainya sekarang. Lalu kapan akan
mengungkapkannya? Harus diungkapkan agar aku tak menyiksa
diri. Apa akan bertepuk sebelah tangan? Ungkapkan saja dulu, itu
urusan belakangan. Tetapi aku tidak mau terjebak friendzone yang
dulu beberapa kali sudah kualami.
“Jakarta itu indah pada saat malamnya aja ya,” kata Grey
tiba-tiba, membuatku menghentikan pembicaraan dengan diriku
sendiri untuk mengaguminya.
174
Monolog Kopi
175
Prajna Vita
176
Monolog Kopi
“Grey,” kataku
177
Prajna Vita
“Ya,” kataku.
178
Monolog Kopi
Pastilah dia yang hebat dalam pengibaratan dan aku tidak ada apa-
apanya.
***
179
Prajna Vita
Aroma 11
Semoga Kopi Mempertemukan Kembali
180
Monolog Kopi
yang kami terapkan pada Kopnat. Grey tetap tahu, bahwa desain
interior ruangan hanya sebagai pelengkap saja. Sama seperti latte
art sebenarnya. Jika latte art ialah pemanis maka jangan perkarakan
itu bagus atau tidaknya, tetap perkarakan bagaimana rasa kopinya.
***
181
Prajna Vita
“Kau bisa minum kopi?” Tanya Vendra pada pria itu seperti
sudah mengenalnya.
182
Monolog Kopi
183
Prajna Vita
184
Monolog Kopi
***
185
Prajna Vita
Aku rindu hujan. Aku rindu aroma tanah kering tersiram air
hujan. Aku rindu melihat titik-titik air menempel di kaca depan.
Aku rindu ketika hati ini bercerita penuh tekanan.
186
Monolog Kopi
187
Prajna Vita
188
Monolog Kopi
hal demikian.
189
Prajna Vita
***
190
Monolog Kopi
191
Prajna Vita
192
Monolog Kopi
193
Prajna Vita
***
194
Monolog Kopi
“Biar aku sendiri saja, Ve, aku sudah lama tidak memegang
kopi,” kataku sambil mengambil cangkir. Aku tetap memilih Owa
Jawa karena aku masih ingin merasakan aroma herbal dari kopi
itu. Aku meraup biji kopi itu dan menimbangnya hingga 120 gram.
Keraguan masih memenuhi otakku, aku melihat Vendra sudah
mengelap tangannya dengan tissu, pertanda ia sudah menyelesaikan
pekerjaannya.
195
Prajna Vita
“Coba, Har. Ketika kau yang menuang air ini kau akan lebih
mencium aromanya, berbeda jika aku yang menuangnya, nanti aku
yang akan lebih menciumnya,” lanjutnya dengan mengarahkan
catle itu lebih dekat denganku.
“Aku takut rasanya beda, Ve,” kataku dengan suara yang aku
tahu betul menyimpan keraguan.
196
Monolog Kopi
aku melihat Fauzi tengah asik dengan Grey tetapi aku mampu
memasukkan diriku pada seduhan kopi malam ini yang ditemani
hujan.
197
Prajna Vita
“Lebih kuat kan aroma yang bisa kau cium daripada kau
menciumnya setelah terseduh semua,” katanya sambil mengangkat
sendok dari dalam cangkir, membuat monologku berhenti “mau
kau coba seduh lagi? Lagi lah, Har,” ujarnya dengan nada sedikit
memaksa.
198
Monolog Kopi
“Ya,”
199
Prajna Vita
200
Monolog Kopi
aku telan kopi yang masih berada di mulut. Ampas kopi yang turun
mengikuti kemiringan cangkir berbentuk hati. Sungguh cantik dan
sederhana. Aku tersenyum ringan, dan wajah Grey seketika itu
terbesit. Bisa aku katakan, Grey, bahwa dirimu adalah kopi tengah
malam dan ampas yang turun adalah rinduku.
201
Prajna Vita
***
202
Monolog Kopi
203
Prajna Vita
terdengar ke mana-mana.
“Sudah aku suruh ke atas, tetapi tidak mau dan dia memilih
menunggu di sana,”
“Kak Kris. Boleh aku titip ini saja, berikan yang ini untuk Har.
Sampaikan, kalau aku sangat berterimakasih padanya,” kata Grey
pada Kris yang masih membersihkan franch press. Aku melihat
Grey memberi sebuah surat pada Kris dan memasukkan satu buku
ke dalam kotak itu. Sebelum ia melangkah keluar ia melihat ke arah
tangga dan tepat di sini aku melihat matanya tertuju pada arah aku
dan Vendra yang masih berdiri.
204
Monolog Kopi
‘PUTRA HARAHAP’
***
205
Prajna Vita
Aku Terlambat.
*End*
206
Monolog Kopi
Terima Kasih
207
Prajna Vita
208
Monolog Kopi
209
TENTANG PENULIS