Anda di halaman 1dari 221

Monolog Kopi

‘Kopi itu Candu yang Bikin Rindu’


Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta


Pasal 2:
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu
ciptaan dilahirkan tanpa mengirangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Ketentuan Pidana:
Pasal 72:
1. Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp 1.000.000,0 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai
dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Monolog Kopi
‘Kopi itu Candu yang Bikin Rindu’

Prajna Vita
Monolog Kopi : Kopi itu Candu yang Bikin Rindu
Karya Prajna Vita

Cetakan Pertama, Juli 2016

Penyunting: Rahma Pratiwi


Desain Sampul: Muhammad Nurmansyah
Tata Letak: Prajna Farravita
Foto Penulis: Sucy Amelia Suryani

Diterbitkan Oleh:
PoliMedia Publishing
Jalan Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan
Telepon/fax: (021) 7864753-55/ (021) 7864756
email: info@polimedia.ac.id

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang


Hak Penerbitan Pada PoliMedia Publishing
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh
isi buku ini tanpa izin tertulis dari PoliMedia Publishing.

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)


Prajna Farravita
Monolog Kopi/Prajna Vita; penyunting, Rahma Pratiwi.---Jakarta: PoliMedia Publishing, 2016

xii + 211 hlm; 20 cm I. Judul


Persembahan untuk Ayah dan Ibu yang selalu mengajarkan
bagaimana caranya agar lupa mengeluh.

Joyo -- Nur Hidayah


Daftar Isi

Dari Editor
Prolog -- Kalibrasi

Aroma 1 -- Aku Terlalu Jauh Darimu ~ 1


Aroma 2 -- Bersama Kopi, Aku Baik-baik Saja ~ 23
Aroma 3 -- Ibaratnya Kopi Dengan Kehidupan ~ 37
Aroma 4 -- Seperti Labirin ~ 55
Aroma 5 -- Aku! ~ 71
Aroma 6 -- PERASAAN ~ 87
Aroma 7 -- Terimakasih, Ve ~ 102
Aroma 8 -- Penolakan Coffee Tasting ~ 119
Aroma 9 -- Perlakukan Kopi Secara Manusiawi ~ 135
Aroma 10 -- Monolog ~ 153
Aroma 11 -- Semoga Kopi Mempertemukan Kembali ~ 181

Ucapan Terimakasih ~ 208


Biodata Penulis ~ 211
Monolog Kopi

Dari Editor

Salut! Dalam karya pertamanya Prajna sudah berani bermain sudut


pandang. Cerita cinta yang dibalut dengan konflik persahabatan
membuat sisi romantismenya menjadi ringan, bukan berarti tak
berbobot melainkan kekhasan kopi menjadi kekuatan yang diangkat
oleh Prajna untuk menarik benang merah cerita.

Monolog Kopi merupakan bacaan yang elegan, segar


sekaligus ciamik dan tepat untuk pembaca yang sedang dimabuk
kenangan bahkan sekadar ingin menikmati sisi lain dari secangkir
kopi.

~Rahma Pratiwi
Temani aku ketika senja dengan secangkir kopi hitam, karena aku
tahu dari mulai rasa apa yang ingin aku ceritakan.

Bangunkan aku subuh agar aku terus menanti senja. Tidurkan aku
siang agar aku berteman dengan malam. Mengingatkanku pada
waktu yang kian cepat berlalu dan penyesalanku karena peluang
lepas begitu saja dari genggaman.

Ini bukan soal cinta, ini soal kehidupan. Mengarah pada kopi,
karena kopi berperan di dalam kehidupan.

Aku merindukan kopi, karena aku bisa memikirkan banyak hal


dalam satu langkah untuk beberapa tujuan.

Dekatkan aku dengan kopi agar aku tetap dekat dengan-Nya.

Agar aku diam mendengar detak jarum jam dan aku mengerti
bahwa waktu berjalan cepat.

Saat ini, aku masih berada pada titik pahit, aku harus berjuang
melewati untuk menemukan manisnya.

Aku tahu itu membutuhkan waktu dan tolong, bantu aku agar aku
tidak lagi jatuh dalam jurang kegabahan.

Berikan aku kopi agar aku bisa statis, tetapi tetap dinamis.

~Jakarta, 4 April 2016


Monolog Kopi

KALIBRASI

Pahit. Tidak akan pernah ada lagi kata itu. Biarkan mengalir
menetes dalam seduhan, biarkan meresap dalam lidah, hanya
tinggal menunggu waktu. Maka, kau akan merasakan manisnya,
tertinggal lama, cukup lama.

Rasakan baik-baik, resapi dengan teliti, deteksi dengan


kepekaan. Maka, istimewa, kompleks, dan kaya melebur di dalam
kesederhanaan. Pengibaratan apa yang tepat untuk pahit sebagai
awal dan manis sebagai akhir?

Kehidupan. Aspek yang satu ini tidak akan pernah hilang


sebelum waktu berganti. Memang terlihat sederhana, tetapi mengapa
selalu begitu rumit? Itu semua rumit karena masalah yang dibuat
sendiri. Akhirnya harus mengatakan bahwa, lebih rumit lagi ialah
teka-teki bernama takdir. Sulit memang, tetapi bagaimana lagi?
Mudahnya, biarkan kopi ikut mengalir dalam menyusuri hidup.
Ikut menemani ketika kau berada pada titik pahit dan mengesankan
ketika kau sudah berada di titik manis.

Kopi tak pernah meninggalkanmu seorang diri karena kopi


mengobati kesendirian. Menemani kesendirian ketika melakukan
perjalanan di dalam labirin otak. Meskipun tak pernah tahu di mana
pintu keluarnya dan lupa pintu masuknya, tetapi bersama kopi tetap
akan baik-baik saja.

Sejatinya kopi juga sebuah perjalanan panjang hulu ke hilir.


Prajna Vita

Perjalanan awal dari petani, ketepatan dari perhitungan numerik


para roaster, deteksi rasa oleh seorang coffee cupper, hingga
berada di tangan sang barista. Lalu, berakhir di atas cangkir untuk
menemukan pecintanya.

Mempertahankan profesionalitas memang menjadi sesuatu


yang penting. Mendapatkan kepercayaan di dunia kopi berkat
kerja keras dan pemahaman dengan fokus maksimal. Hingga,
kopi mampu memperbaiki kehidupan. Jangan pernah tinggalkan.
Membutuhkan perjalanan untuk menyajikan kopi lebih dari
sekadar sederhana. Bukankah, hidup juga sebuah perjalanan yang
tampaknya sederhana, padahal sama-sama kompleksnya?

Kegagalan wajar menimpa semua orang. Tak perlu


menyalahkan waktu atau menghakimi Tuhan. Mengapa aku begini,
betapa bodohnya aku, atau apa yang harus aku lakukan sekarang.
Mengurung diri untuk mencari ilham atau memang tak mau bertemu
dengan orang-orang, atau bahkan ingin sekadar bermonolog. Dialog
internal hanya sebuah permainan perasaan yang terus beradu
dengan pemikiran, lalu menimbulkan pertanyaan-pertanyaan
baru dari setiap jawaban. Terkadang semua itu bisa membuatmu
(hampir) tidak waras.

Pukulan Tuhan yang satu itu memang tidak bisa ditolak.


Menyalahkan diri sendiri pun cukup mudah melakukannya.
Namun, apakah akan berada di jurang itu terus menerus? Kau
bukan pengatur waktu, bukan juga penulis skenario untuk dirimu.
Kau hanya pemeran, entah itu antagonis atau protagonis, atau akan
Monolog Kopi

menduduki dua posisi tersebut secara bergantian.

Lalu, apa yang bisa mengubah hal buruk dengan sedikitnya


menjadi hal baik? Inspirasi, motivasi, kesadaran, atau bahkan
masa lalu? Semua itu benar bisa, tetapi peranan pentingnya ialah
PERASAAN dan PEMIKIRAN.

Perasaan, seperti cinta yang mampu mengubah sesuatu hal


menjadi lebih baik meskipun hanya nol komah nol satu persen dari
nol komah nol nol sepersekian persen. Ah, tampak begitu rumit.
Biarkan saja berjalan mengalir seperti air. Namun, bukan berarti
harus mengikuti arus terus menerus. Membutuhkan waktu untuk
menepi sejenak, lalu, mengatur strategi baru untuk menentang
arus. Bukankah, pemikiran juga penting peranannya. Memadukan
perasaan dan pemikiran memang sulit. Namun, ketika sudah
menyatu, mampu keluar bersama dan memekakan seluruh indra.

Perdebatan antara pemikiran dengan perasaan tak pernah


ada hentinya. Leburkan pelan-pelan, hidup memang seperti
itu. Ibaratkan saja dengan kopi. Akan jelas terasa bagaimana
perjalanannya. Melelahkan, membutuhkan kesabaran, mau tak mau
harus siap menelan pahit? Iya memang, tetapi jangan kau dustakan
nikmatnya atau kau sombongkan hasilnya. Karena, sejatinya,
semua itu ialah perjalanan yang membutuhkan waktu, proses,
strategi, hingga perjuangan.
Monolog Kopi

Aroma 1
Aku Terlalu Jauh Darimu

Padang, 3 Februari 2009

Terjebak di tengah-tengah entah cairan apa, mengelilingiku,


mengepung, membuat aku tak bisa keluar karena aroma
menyengat yang dihasilkannya itu langsung masuk ke dalam
otakku. Entah datangnya dari mana. Warnanya hitam pekat,
mampu memunculkan kerlip ketika cahaya menimpanya, meskipun
sedikit mengandung minyak, tetapi tidak begitu terlihat. Dan, tak
ada cahaya di sana, gelap, tapi juga bukan malam. Sangat hitam,
suram, dan menakutkan.

Tidak ada celah untuk aku keluar menjauh dari cairan sialan
itu. Aku tak bisa terus-terusan menutup hidung. Aroma itu menusuk
menembus otakku dan membuat apa yang aku lihat menjadi
bergoyang, memunculkan beragam bentuk aneh yang mulanya
mengecil, lambat laun menjadi besar dan aku tak bisa menopang
tubuhku sendiri. Kakiku tak berjalan tetapi bergerak kanan kiri
depan belakang. Tiba-tiba saja kunang-kunang mengerubungi
pandanganku. Aku merasa tubuhku lebih ringan dan tak bergerak
kembali. Aroma itu semakin menusuk hingga membuat napasku
tersengal dan aku tak merasakan apa-apa lagi. Tidak, itu bukan
sarkasme, tapi untungnya itu hanya mimpi.

***

1
Prajna Vita

Aku kembali mendengar cerita yang sama. Tidak pernah


membosankan, karena ia tahu bagaimana menciptakan obrolan masa
lalu agar tetap terasa baru. Selembar kertas yang sudah berwarna
coklat ini masih tetap berada di tanganku. Bukan aku belum selesai
membacanya, tetapi terkagum kata demi kata yang berisi kalimat
sederhana tetapi mampu membentuk prosa dan menjadi satu cerita
menarik.

Aku seperti mengenal bagaimana karakter sang penulis dan


aku tahu betul seberapa bermaknanya dalam hidup Vendra. Aku
melihat bagaimana ia menceritakan saudara sedarahnya, Fauzi
melalui beberapa bukti kenangan yang sekarang dibawa ke Jakarta.

Ia pernah memintaku untuk menjaga agendanya. Banyak


berisi cerita kenangan masa kecilnya bersama Fauzi. Aku tahu
catatan itu hanya sebatas kenangan seorang kakak bersama sang
adik, tetapi tetap saja itu sangat berharga. Jika aku memegang
sebentar pun, keinginan mengetahui dan membukanya pasti
akan ada. Aku menolak dan ia kembali menarik tangannya saat
menyodorkan agenda itu kepadaku.

Kover depannya pernah terbuka sedikit, dan maaf, dari jarak


yang tidak jauh aku melihat sekilas lembar depannya tertulis ‘2007’
dan beberapa coretan lainnya yang entah tidak terbaca jelas.

Secepat itukah Vendra mulai mengabadikan kenangannya?


Harusnya aku juga begitu ya? Agar aku tahu masa lalu mana yang
menyedihkan dan menyenangkan. Aku merasa, bahwa aku juga
mempunyai kenangan yang perlu diabadikan. Namun, tanganku ini

2
Monolog Kopi

sulit menulis. Eh bukan, tapi otakku yang tidak bisa menggerakkan


tangan untuk merangkai kata. Coba saja aku bisa, pasti sudah
berapa buku yang penuh oleh curhatan hatiku. Sepertinya itu
cara efektif agar tidak terus-terusan memendam perasaan. Tapi...
Bagaimana kalau buku itu terbaca orang? Mereka tahu semua apa
yang aku rasakan. Tahu siapa orang yang aku benci dan siapa yang
aku sayang. Apa harus memilah-milah? Perihal baik-baik saja
yang ditulis? Tidak bisa! Perkara yang membelenggu perasaan
sangat banyak. Tidak bisa dipilah-pilah begitu.

Hingga sekarang agenda Fauzi tidak berada di tangan siapa


pun. Aku pernah melihatnya di atas kotak bersama tumpukan
kertas, buku, dan barang-barang kecil lain saat ia sedang merapikan
kamarnya. Terlihat kertas-kertas yang sudah berwarna coklat,
sepertinya barang-barang itu sudah tersimpan lama. Aku tahu
betul, ia tidak akan pernah menghilangkan satu barang pun jika itu
memang berharga baginya. Mungkin semua yang bermakna baginya
disimpan rapih dalam kotak itu dan tidak ada yang tertinggal di
Padang. Sifat perfeksionisnya terkadang mampu menyelamatkan
hal-hal kecil. Tak salah jika kopi menjadi salah satu minat di dalam
dirinya.

Malam ini aku mendengar kembali kerinduannya dengan


Fauzi. Aku tahu sebenarnya kau menginginkan kedekatan
bersamanya, bukan?

Dua cangkir kopi pahit seduhanku kali ini mengobati


kerinduannya dengan Fauzi. Ia tidak melakukan kesibukan lain

3
Prajna Vita

malam ini, hanya ada aku, dia, dan dua cangkir kopi buatanku.

“Aku teringat ketika aku sudah harus memasuki kapal untuk


pergi ke sini, Har,” kata Vendra kemudian. Ia berhenti sejenak. Aku
masih diam.

“Ia terus memerhatikanku ketika aku melangkah masuk ke


dalam kapal. Aku melihat matanya sedikit berkaca. Beberapa kali
Fauzi membantu mengangkat tas-tas yang akan aku bawa. Tak ada
suara tetapi ada mata yang berbicara di sana. Kami sudah lama
kehilangan keakraban ditambah lagi dengan perpisahan jarak.
Semakin jauh saja kami, Har. Tidak ada drama, hanya ada ucapan
selamat jalan saja waktu itu,” lanjutnya.

“Ketika aku pamitan dengan orangtua, aku merasa Fauzi


masih belum lepas memandangiku. Seketika itu, aku teringat awal
pertengkaran kami karena perkara aroma kopi. Perbedaan selera
membuat keadaan menjadi rumit,” ia berhenti sejenak, “Sikap
saling diam kami yang cukup lama membuat aku canggung
mengungkapkan sayang padanya.”

“Katanya, ’Aku tak pernah meminta apapun darimu, aku


hanya ingin kau menjauh dariku. Meskipun kau baru saja mandi,
tubuhmu itu dipenuhi bau kopi dan rokok yang tak pernah hilang’.”

“Kubalas ia dengan nada sedikit membentak, ‘Lalu aku harus


bagaimana? Tidak lagi pernah muncul di hadapanmu?’ kutanya saja
begitu”

“Pertengkaran beberapa kalimat itu membuat suasana

4
Monolog Kopi

menjadi berubah. Bahkan senyum kami pun terbatas, Har. Kau


tahu? perbedaan umur lima tahun sebenarnya bisa terlihat sebaya
dan memiliki banyak cerita bersama. Aku ingin melihat senyumnya
muncul kembali seperti dulu, saat aku masih berumur dua belas
tahun dan ia tujuh tahun.”

“Sebenarnya, malam setelah kami bertengkar, aku melihat


dia terbangun kaget seperti mengalami mimpi buruk. Waktu itu aku
masih satu kamar dengannya. Lalu, ia duduk dan meraih jam. Pagi
dini hari. Meskipun aku tertidur, tetapi aku merasakan ia ketakutan.
Terdengar tangan menggosok hidungnya beberapa kali. Membuang
napas keras dan seperti enggan menghirup oksigen kembali.
Seketika ia menepuk bokongku hingga membuatku bersua jengkel.”

“Mimpinya itu terkesan menakutkan setelah menjadi tulisan


seperti ini, Ve,” kataku menyela.

“Ya, Har, karena dia mampu menyampaikannya melalui kata-


kata prosanya yang indah. Ia sempat bercerita mengenai mimpi-
mimpi itu padaku. ‘Berulang, berkali-kali seperti nyata, tapi hanya
dejavu, sangat menakutkan Bang’ seperti itu katanya. Aku melihat
jelas rasa ketakutannya,” ia berhenti sejenak untuk menyeruput
kopi yang sudah terdiam selama empat menit pertama dan aku pun
melakukan hal yang sama.

“Mimpinya selalu berada di tempat yang berbeda, tetapi


dengan suasana yang sama. Suasana kelam, suasana hitam, suasana
gelap. Manakutkan dan mengerikan. Bukan horor, tetapi seperti
kehidupan yang hitam dan pahit. Aku langsung menerka bahwa

5
Prajna Vita

itu adalah kopi, Har dan aku merasa terancam. Aku melihat kopi
begitu negatif di matanya. Sejak itulah aku mulai memandangnya
angkuh dan hanya ada obrolan penting saja di antara kami.”

“Apa hanya itu saja alasan yang kau tahu mengapa ia menolak
aroma kopi? Kau tahu alasan lainnya?” Tanyaku.

“Tidak, Har, dan aku tidak mau tahu. Aku tidak mau lagi
mendengar alasan mengenai penolakan indranya terhadap kopi.
Bagiku, kopi ialah kehidupan dan aku tidak mau diusik hanya
karena mimpi-mimpi dia yang menurutku hanya sekadar bunga
tidur. Meskipun kami tidak ada lagi obrolan basa-basi, tetapi aku
tetap menyayanginya sebagai adikku, Har,” ia diam sejenak dan
kepalanya sedikit terangkat ke atas. Matanya menyapu langit malam
yang dipenuhi dengan bintang. Pemandangan langit tampak jelas
dari teras tempat kami duduk. Jika mau ia bisa melukis sebaran
bintang itu dengan jarinya untuk menghubungkan bintang satu ke
bintang lain hingga membentuk sebuah rasi.

“Aku tidak tahu bagaimana caranya, Har. Ingin rasanya


mengucapkan sayang padanya, tetapi aku tidak tahu bagaimana.
Aku hanya bisa menepuk ringan pundaknya ketika ia akan berangkat
sekolah. Cara itu tidak pernah lewat, Har. Sudah menjadi kebiasaan
bagiku. Aku merindukannya. Dengan sikapku itu, mungkin bisa
menunjukkan padanya bahwa pertengkaran sebatas karena aroma
yang dihasilkan dari minuman hitam itu saja. Perbedaan selera
memang tak bisa disangkal,” ia menarik napas panjang dan
berdecak lirih.

6
Monolog Kopi

“Orangtuamu mengerti, Ve?”

“Ya. Mereka tahu, Har. Kesunyian mengepung rumah dengan


empat anggota itu. Mereka sudah melakukan berbagai cara untuk
mengembalikan keakraban aku dan Fauzi. Hasilnya nihil, Fauzi
mengatakan, sebelum minuman yang menghasilkan aroma kuat
perusak otak itu hilang dari kehidupanku, ia tidak akan bicara
padaku. Akhirnya mereka membiarkan kami berada di dunia
masing-masing.”

“Semenjak itu aku mengubah kebiasaan. Tak ada musik,


aku tak pernah lagi menyanyi, tak ada suara petikan gitar yang
aku mainkan ketika kebosanan melanda. Semua barang-barang
musikku tersimpan rapih di kamar tetapi tidak pernah ada suara
lagi yang berasal dari ruang kamarku.”

“Aku memilih menikmati hari-hariku di luar. Suasana rumah


menjadi berbeda. Di luar rumah membuatku merasa bahagia.
Tidak bertemu Fauzi yang aku tahu betul ia selalu menahan napas
ketika uap cangkirku melewati depan pintu kamarnya yang sedikit
terbuka,” lanjutnya. Aku seperti melihat ingatannya jauh menembus
masa lalu yang belum lama.

“Menjadi perkara lagi ketika dorongan untuk pergi ke


Jakarta berkecamuk dalam hatiku. Keputusan itu berulangkali aku
pertimbangkan. Tekad yang tak pernah ragu akhirnya membawa
diriku sampai di sini. Bukan untuk mencari hal baru melalui
teori formal agar mendapatkan ijazah, tetapi untuk mendapatkan
perubahan pengalaman, perjalanan, dan keterampilan. Aku memilih

7
Prajna Vita

menekuni minatku dengan kopi di sini.”

“Aku bicara beberapa kata dengan Fauzi ketika kami


berpisah di pelabuhan, Har. Saat kami berhadapan, ia tertunduk,
dimainkannya ujung baju sebelah kanan, diangkat kembali
kepalanya dan melihatku. Mata kami saling bertemu. Aku merasa
ada kemiripan, tetapi aku tidak pernah menyangkal jika Fauzi lebih
tampan. Kulit putih ibuku diwariskan padanya,” lanjut Vendra yang
sedikit tersenyum.

“Sapaan sayangku juga tidak tertinggal. Aku menepuk ringan


bahunya dan mengatakan, ‘Jangan pernah menganggap semua hidup
ini manis, karena kau akan menemukan pahit yang lebih dominan
di sana. Aku tidak pernah menyesal memiliki adik sepertimu,
meskipun aku sering kesal karena orang selalu mengatakan kau
lebih tampan,’ begitu kataku yang diiringi dengan senyuman ringan
hingga menarik bibir Fauzi untuk melakukannya juga.”

“Kerinduan begitu menyesakkan, Har. Terkadang aku


menghakimi waktu. Mengapa tidak dapat diputar? Namun, aku
tahu Tuhan tidak akan mengabulkan hal yang tak wajar,” ujarnya
dengan suara memelan.

Sering kali aku melihat kerinduan Vendra dengan Fauzi.


Jarak tempat membuatnya sulit melepas rindu. Aku tahu betul saat
Vendra mengenang kembali cerita masa lalunya yang indah, karena
tak pernah ada pertengkaran hebat dengan Fauzi.

Ketika Vendra sudah mulai bosan merindukan Fauzi, karena

8
Monolog Kopi

ia juga tidak bisa melakukan apa-apa, ia memilih untuk sibuk


dengan hal lain. Ia tidak pernah membuat harinya begitu buruk
dan terpuruk. Meskipun terkadang ia memilih waktu untuk sendiri,
tetapi bersama kopi ia akan tetap baik-baik saja.

“Aku masih belum bisa melakukan apa pun ketika


merindukannya, Har. Aku memilih sibuk dengan hobiku agar aku
lupa. Aku memilih teras depan rumah ini untuk menikmati senja.
Ketika bersama senja, aku merasa berada di dalam duniaku sendiri,”
ujarnya lagi dengan memunculkan senyum ringannya. Aku juga
tidak berani mengusiknya ketika ia sudah asik dengan apa yang ia
lakukan.

Saat menikmati senja, ia tak berhenti melepas drawingpen


dari tangannya untuk menyelesaikan goresan-goresan tipografi.
Pada lembaran kertas HVS polos ukuran A4 ia buat menjadi A5
untuk mengeksplore kemampuan menggambarnya. Bertumpuk
dan tersebar tidak beraturan. Meja di teras depan dengan diameter
150 cm membuatnya mampu menghasilkan banyak sekali
lembaran gambar. Alasannya sederhana, tidak ada orang lain yang
menggunakan meja itu ketika kertas-kertas hasil gambarnya masih
tersebar di sana.

Dengan sayup-sayup senja dan ketenangan ia menulis,


menggambar, dan mendengarkan musik. Kursi kayu dengan
senderan punggung agak tinggi menjadi tempat duduk favoritnya.
Pagi setelah subuh, senja, dan tengah malam sebelum dini hari juga
menjadi waktu kebiasaannya untuk menciptakan beragam seni-seni

9
Prajna Vita

sederhana yang mangagumkan.

Aku suka ketika Vendra masih sibuk dengan dunianya


sendiri. Ia meraih cangkir kopi di depannya dan mulai menyeruput.
Mulutnya terdiam beberapa menit, menahan cairan yang berasal
dari cangkir itu. Matanya menyipit, mulutnya bergerak-gerak lalu
terdiam, beberapa detik kemudian terlihat aliran yang melewati
tenggorokannya, berarti ia sudah menelan kopi itu. Ia lakukan
kembali hingga lima kali tegukan lalu meraih penanya dan
mengalunkan kembali di atas kertas-kertas itu. Ia selalu menata rapih
semua gambar, memisahkannya berdasarkan tahun pembuatan.

“Mungkin kopi menjadi salah satu teman kerjaku. Kopi


membantu daya kerja otak lebih bisa berpikir dan pekerjaan bisa
selesai. Secangkir kopi tak pernah tertinggal ketika aku mulai
berhadapan dengan hobi ini,” begitu katanya, “Dari dulu pensil
maupun pulpen tidak akan meninggalkan tasku. Sewaktu berstatus
siswa, ketika jam mata pelajaran yang membuatku mengantuk, aku
hanya tertunduk dan sibuk dengan apa yang ingin aku gambar. Aku
diam dan tidak mengerti apa yang diterangkan guru di depan. Aku
selalu bisa menyelesaikan gambar itu tepat ketika jam pelajaran
berakhir,”

“Sejak aku mengenal seni, aku tidak mau terkekang oleh


teori. Otodidak akan lebih bisa membuat seseorang berhasil.
Seni tidak luput dengan pencarian-pencarian ide menakjubkan
dan mengagumkan. Penggalian ideku selalu berhasil ketika
menyandingkan secangkir kopi. Meskipun kebiasaan itu belum

10
Monolog Kopi

lama aku lakukan, tetapi aku sudah langsung menemukan kecintaan


ini, Har.”

“Selain itu,” katanya lagi, “Aku mencintai kopi bukan karena


sudah menjadi kebiasaan ketika luput dengan seni saja, tetapi
juga ada berbagai perumpamaan yang bisa diibaratkan dengan
kehidupan.”

“Kecintaanku itu bukan semata-mata karena dunia seni yang


bisa membantu berpikir gila. Aku mencintai kopi karena kopi
tidak luput dari kehidupan. Ada pahit tapi juga ada manis di akhir.
Sama seperti hidup. Bukan hanya itu saja, Har. Banyak persamaan
di dalam kopi dan cerita mengenai individual. Kopi itu seperti
individu. Dia bisa tepat berada pada karakteristik seseorang.”

Kepekaan rasanya sudah sangat terlatih. Tidak diragukan lagi,


sangat mudah baginya menemukan karakteristik dan keistimewaan
dari jenis kopi yang berbeda.

“Aku tahu betul risiko apa yang akan aku hadapi untuk
tetap mencintai minuman yang memiliki aroma khas itu. Risiko
memutuskan obrolan dengan Fauzi merupakan masalah awal karena
kopi. Aku sama sekali tidak menyalahkan ketidaksukaan seseorang
terhadap kopi. Aku tidak membencinya, sama sekali tidak,” begitu
katanya.

“Dunia kopi identik dengan perbincangan dan sosialisasi.


Yang aku rasakan bukan untuk menikmatinya saja, tetapi aku juga
mencintai adanya seni di sana. Ada keistimewaan rasa yang bisa

11
Prajna Vita

dipadukan dengan keindahan seni. Ada cerita yang beragam mulai


dari pendapat, hobi, cinta, sejarah, prosa, puisi, dan seni,” katanya.

Lamunanku mengenai pemikirannya pecah ketika aku


tersadar sudah mendekati satu menit kami diam. Tangan Vendra
kembali mengangkat cangkir dan mulai meminumnya lagi. Kali ini
tidak menahannya. Langsung ia telan lebih cepat dan lebih banyak.

***

Vendra mampu mengobati rasa rindu yang menyesak dengan


caranya sendiri. Mengapa aku tidak? Rasa rindu yang dimiliki
pada setiap orang itu anugrah Tuhan. Memang begitu kodratnya,
tetapi mengapa begitu menyesakkan seperti ini? Apa mereka juga
merasa sesak menahan rindu? Apakah merasa tersiksa? Sampai-
sampai tidak fokus melakukan pekerjaan? Kalau begitu... Mengapa
Tuhan memberi perasaan kalau ujungnya menyiksa? Karena Dia
ingin kita merasakan ketenangan ketika dekat dengan-Nya! Tidak
mungkin Dia menciptakan segalanya tanpa tujuan! Bodoh! Punya
hak apa aku menghakimi Tuhan? Sudah jelas-jelas nyata dengan
kekayaan semesta ini. Tinggal peka saja! Peka! Bahwa hal sesepele
apa pun tidak ada yang kebetulan.

Aku telah menemukan cara mengatasi sesaknya rindu. Ketika


mengenal Vendra dan kopi, aku tahu cara mengobati rinduku
pada ibu. Aku tidak pernah menyesal mengenal barista seperti
Vendra. Dia memang seseorang yang sedikit berbeda, tetapi itulah
keunikannya. Aku bisa ikut mempelajari penyajian kopi di dapur
bar bersamanya. Kami tidak pernah kehabisan bahan diskusi

12
Monolog Kopi

mengenai kopi. Sungguh istimewa. Sebegitu istimewanya, hingga


aku selalu memikirkan hal aneh ketika dihadapkan dengan kopi dan
kenangan.

Kopi dan kenangan? Tiba-tiba saja terbesit kenangan bersama


pelaku kopi lima tahun silam ketika di tanah kelahiranku.

Siapa yang bisa menunda kematian? Lagi-lagi Tuhan yang


berhak di sini. Mungkin ada yang bisa membaca umur kematian,
tetapi hal itu menjadi perdebatan keras antara orang-orang kolot
agama. Aku tidak mau terlibat dalam pertengkaran yang selalu
tidak masuk akal jika dilibatkan dengan sains dan kuasa Tuhan.

Aku gila karena tidak mau tahu dengan pandangan


keyakinan yang banyak berbeda dan mereka waras tetapi tidak
bisa memecahkan perkara itu? Bergemelut di dalam pemikiran
rumit yang ujungnya akan kembali lagi pada satu kata dengan
awalan dan imbuhan, ke-yakin-an. Mengapa keyakinan menjadi
hal mutlak? Tetapi masih banyak perbedaan pendapat. Harus
beginilah, tak boleh begitulah, seharusnya beginilah, seharusnya
bukan begitulah. Apa mereka tak berpikir. Ah, Apa ini! Mengapa
aku berpikir demikian? Apa aku ini tak percaya adanya Tuhan?
Tapi aku masih mengagung-agungkan-Nya karena adanya semesta
ini? Sudahlah, ikuti saja yang memang logis. Tetuah juga tidak
mutlak benar.

Apa aku lebih gila lagi dengan sikap masabodohku ini?


Tidak, aku hanya mengenang. Aku rindu dengan wanita peracik
kopi terhebat yang percaya bahwa pengalaman salah satu jalan

13
Prajna Vita

kesuksesan.

Waktu itu, satu tahun setelah ia meninggalkanku, aku


mendatanginya lagi. Bubuk hitam yang berada di genggaman aku
taburi di atas kuburannya.

Jangan katakan aku aneh. Mengapa tidak bunga? Aku tidak


mau melampaui drama dan keromantisan. Hal itu sudah terlalu
umum dilakukan orang-orang. Bukan aku memilih beda dan
menyombongkan diri, tetapi aku melakukan apa yang ingin aku
lakukan.

Aku mengenangnya dengan kopi, maka aku taburkan bubuk


hitam beraroma khas itu ketika nyekar.

Tidak boleh! Seharusnya bunga untuk membuat arwahnya


tersenyum di alam sana. Bunga? Lambang keharmonisan, romantis,
sayang, cinta, dan entah beragam istilah positif apa lagi.

Menurut penelitian, kafein bisa mengusir serangga, maka aku


menaburinya di atas kuburan. Aku tidak mau jasadnya dipenuhi
dengan belatung, ulat, dan cacing lebih cepat. Aku tidak mau
membuat jasadnya dikerumuni oleh semut-semut yang katanya jika
ada manis saja akan datang.

Istilah macam apa itu? Jangan merasa bangga ketika semut


mengerubungi. Bukan manis, tetapi bangkai. Meskipun masih
bernapas, tetapi mempunyai waktu kapan akan menjadi bangkai,
semut dan beragam serangga-serangga tanah lainnya juga bisa
saja mendekat.

14
Monolog Kopi

Aku tidak begitu mengerti ilmu zoologi. Mungkin semut juga


tidak memiliki jenis sama, adanya perbedaan golongan pada hewan
memungkinkan adanya perbedaan dalam jenis makanan yang
dikonsumsi juga berbeda.

Aku mulai menaburi bubuk kopi tersebut di atas tanah


kuburan. Berharap tak ada kawanan hewan yang menggerogoti
tulang belulangnya di dalam tanah sana. Meskipun aku tahu,
bahwa dagingnya tak lagi ada karena diserbu oleh serangga-
serangga kecil tak berperasaan. Mungkin mereka membalas semua
perbuatan manusia di dunia karena sudah membunuh dan menyiksa
hewan-hewan tidak bersalah. Mungkin lebih tepatnya karma yang
ditujukan untuk manusia-manusia yang katanya makhluk paling
sempurna, tetapi pada dasarnya tidak ada manusia yang sempurna.

Ketika aroma bubuk kopi itu tertiup bersama angin aku


mencium harum khas kopi arabika. Seketika bayangan ibu kembali
muncul. Membuatku tertarik menyelusuri sebuah kenangan-
kenangan yang sudah tidak begitu jelas. Hanya hitam dan sedikit
warna berbeda. Kenangan itu berhenti pada sebuah rumah sederhana
di pinggiran kota.

Rambutnya terurai lurus. Tidak begitu hitam, tidak juga


pirang, tapi coklat. Sungguh elegan. Tidak begitu panjang, hanya
di bawah bahu dengan potongan segi membuatnya tidak terlihat
monoton. Sesekali beberapa helai jatuh terurai menutupi daun
telinganya. Sungguh wanita yang cantik.

Lagi-lagi aku bertanya kepada diriku sendiri. Siapa yang

15
Prajna Vita

bisa menunda kematian? Tidak bisa kah manusia mengubahnya,


tetapi tidak dengan ilmu mistis yang membuat hidupnya justru
makin tersiksa? Lagi-lagi jawaban dari diriku mengatakan bahwa
Tuhan-lah yang berhak memberi lalu mengambil kembali.

Aku masih berhutang. Berhutang memberinya racikan kopi


paling enak. Aku begitu lama menemukan resep terhebat dan aku
tahu ini sudah sangat terlambat. Aku memainkan bubuk kopi yang
tersisa di jari. Aku mengenal ini darimu, aku memulai dunia ini
atas saranmu, aku menekuni dunia ini bersama denganmu. Bukan
sesuatu yang mudah untuk bisa menandingi kehebatanmu. Aku
selalu tidak berani memberikan hasil percobaan racikan kopiku
padamu. Lidahmu tidak mungkin salah menentukan rasa dan
kritikan pasti akan keluar dari mulut mungilmu yang pedas.

Maafkan aku, hingga sekarang aku masih belum bisa


menciptakan rasa yang ibu inginkan. Andai saja aku sudah
menemukan kopi paling enak sebelum ibu meninggal. Pasti ia bisa
tersenyum bangga. Bersama-sama menganalisis karakter rasa,
bertukar pendapat mengenai ini atau itu, berdebat perihal hal-hal
yang terasa ganjal. Andai saja bisa! Andai saja aku berhasil! Pasti
aku juga tidak punya beban seperti ini. Bisa waktu diputar kembali?
Ah, persetan apa! Waktu bisa berputar ke masa lalu ketika ada di
film fantasi. Apa aku buat saja hidupku ini seperti fantasi? Biar
aku bisa memutar waktu sesukaku. Aku yang menjadi sutradara
dan aku pula yang memainkannya. Heh, Lucu! Film saja punya
divisi pekerjaan masing-masing. Bagaimana kehidupan manusia
di dunia? Aku ini diciptakan sebagai manusia! Jadi, aku adalah

16
Monolog Kopi

pemainnya! Tuhan-lah penulis skenario dan sutradaranya! Tinggal


main sesuai kehendak-Nya saja kok repot!

“Kau pasti bisa. Kalau ibu tidak memberikan kritikan dan


saran sekarang, lalu mau kapan? Melatih kemampuan untuk menjadi
tenaga profesional itu mempunyai jangka panjang. Semakin
kamu terbiasa, semakin kamu memiliki jam terbang yang tinggi,
kemampuanmu juga akan semakin hebat. Boleh ibu mencobanya
sekarang? Hanya satu cangkir buatanmu.”

Satu cangkir saja aku menahannya dan sekarang aku merasa


begitu bodoh. Seharusnya aku berikan saja meskipun kritikan pasti
akan menghantam diriku sendiri.

Mengapa aku dulu tidak berani memberi percobaan racikan


kopiku ya? Persetan. Sudah terlambat. Sudah sangat terlambat.
seharusnya aku memberinya racikan kopi terenak pertamaku
sebelum ia pergi ke tempat yang lebih indah dan kekal itu. Tempat
yang masih banyak orang tidak mempercayainya. Dua tempat
yang indah dan buruk. Tempat itu selalu disebutkan di dalam
kitab berulang kali. Entah ada berapa banyak. Aku saja tidak tahu
pasti. Kira-kira, ibu ditempatkan di mana ya? Aku rasa berada
ditempat yang baik. Eh, mana bisa aku menebak-nebak begitu! Itu
bukan urusanku! Itu urusan Tuhan dan Dia berhak menempatkan
ibu sesuai dengan perhitungan amalannya. Tapi..., sepertinya ibu
selalu bersikap baik ketika masih di dunia? Tunggu! Ialah, dia
ibuku, pasti aku akan mengatakan bahwa ia baik.

“Menghasilkan kenikmatan kopi itu sama seperti memasak.

17
Prajna Vita

Tergantung tangan? Ya, memang, tetapi kemampuan itu juga


bisa dilatih. Dengan kebiasaan dan pengalaman. Semakin kau
terbiasa semakin kau berpengalaman,” Kala itu Ibu menajamkan
pandangannya ke mataku, bibirnya tidak berhenti tersenyum. Hanya
sedikit gigi yang tampak, “Meskipun biji-biji kopi berkualitas
dapat ditemukan, jika pengolahan dari tahap awal hingga akhir dan
disajikan kepada penikmat dengan cara yang tidak tepat, pasti akan
kehilangan keistimewaannya,”

“Kecuali jika disajikan untuk orang yang tidak mempunyai


rasa cinta terhadap minuman ini, tentu tidak ada masalah,” ia
berhenti sejenak. Mengangkat cangkirnya dan menyeruput kuat
hingga menghasilkan bunyi yang terkadang disamakan dengan
gaya minum kakek-kakek. Dalam dunia kopi justru cara itulah
yang bisa membuat otak mampu terangsang dan mendapatkan
keistimewaannya.

“Selain itu,” lanjutnya setelah cangkir kembali mendarat di


meja, “Kopi dapat menghasilkan rasa istimewa bukan saja dari
perbedaan tanah dan perawatan, tetapi juga cara pemasakan,”
katanya waktu itu yang masih aku ingat betul.

Aku kembali menambahkan taburan kopi di atas kuburannya.


Semakin aku mencium aroma khas itu semakin aku teringat masa
lalu yang mungkin tidak sepenuhnya menyedihkan, tetapi lebih
dominan menyedihkan.

Waktu itu, kau mengangguk mantap. Meski aku masih awal

18
Monolog Kopi

menggunakan teknik manual brew1 dengan french press2 kau tidak


ragu mengatakan sempurna. Aku berlatih berhari-hari. Menyeduh,
mencicipinya, menyeduh lagi, mencicipinya lagi. Bingung dengan
rasa yang tak pernah sama, bimbang memilih mana yang enak dan
yang lebih enak. Mencoba menentukan aroma yang tepat untuk
menghasilkan rasa sempurna, tetapi tetap saja resepku belum bisa
melebihi karakter rasa istimewa yang kau hasilkan dan kau masih
belum mengatakan aku seorang peracik kopi terhebat.

“Apa selanjutnya aku boleh melihat kau mampu menghasilkan


kopi istimewa dengan kemampuan roasting3mu?” Aku terperangah.
Kemampuan roasting, menyangrai kopi, memang hal terpenting
untuk bisa menghasilkan citarasa dan aroma kopi yang enak.
Namun, tanggung jawab yang harus dipegang begitu besar. Untuk
mengetahui profil dari berbagai biji kopi, zat-zat kimia dalam
kopi, dan interaksi dengan petani kopi cukup mudah bagiku untuk
melakukannya. Aku sudah mempunyai bekal itu dari masa kecilku
yang terus ikut berkecimpung bersama ayah ke berbagai kebun
kopi dan bertemu dengan petani-petani lokal.

Penciuman yang tajam? Tentu saja sudah terlatih


kepekaannya karena ayah selalu melibatkanku ketika proses panen
1. Menyeduh kopi dengan alat seduh manual, seperti aeropress, french
press, hario V60, Syphon, atau Chemex. Bukan menggunakan mesin
espresso. Biasanya untuk black coffee dan biji kopi digiling kasar.
2. Alat seduh kopi manual yang sederhana. Seduhannya mampu menghasilkan
sajian kopi aromatik tanpa ampas. Alat ini juga bisa untuk menyeduh teh.

3. Memasak atau menyangrai kopi menggunakan alat modern. Biasanya


mempunyai standard sangrai sendiri, sehingga masing-masing memiliki
citarasa yang khas.

19
Prajna Vita

hingga pemasakan, meski masih menggunakan pemasakan manual.


Meroasting dengan tanganku sendiri? Aku tidak begitu yakin dapat
menelusuri jejak coffee roaster. Seorang Roaster bukan hanya
mengandalkan penciuman, tetapi juga ketelitian memperhatikan
perubahan warna, waktu, dan suhu. Mempunyai pengalaman di
bidang kopi saja belum cukup. Perlu adanya latihan berkali-kali
karena tingkat kegagalan begitu besar. Apabila terjadi kesalahan
sedikit pun, rasa kopi akan berubah. Sering, kopi menjadi tidak
layak jual, akhirnya, mau tidak mau, kopi gagal roasting itu
dikonsumsi sendiri.

Aku mengambil satu genggam kopi lagi. Kuletakkan di depan


batu nisan. Namamu hampir tertutup oleh tanah yang berubah
menjadi pasir halus. Aku mengusapnya dengan telapak tangan yang
masih tersisa bubuk-bubuk kopi dengan gilingan halus. Pasir tanah
itu mulai gugur dan namamu sedikit lebih jelas, seketika itu aku
merasakan bau tanah.

“Aku menyayangimu, Bu.”

Apa kau hari ini tidak ingin mengucapkan selamat ulang tahun
padaku? Aku sudah berkepala dua. Tepat satu tahun lalu, saat ulang
tahunku ke-19 tahun kau memberiku satu bingkai besar berukuran
20R yang penuh berisi kolase fotoku saat aku sibuk melakukan
percobaan meracik kopi.

Aku ingat betul, aku meletakkan tiga biji kopi di bawah


telapak tanganmu sebelum kau terbungkus kain putih yang
tampak menakutkan, tetapi kau terlihat sungguh cantik kala itu.

20
Monolog Kopi

Membiarkan tiga biji kopi dalam genggamanmu ikut terpendam


bersama dirimu. Menyatu bersama tanah dan kau bawa ke alam
sana entah mana yang terkadang aku juga ingin pergi ke sana saat
masalah mencekam pikiranku. Ketika aku mulai putus asa dengan
kemampuanku yang masih itu-itu saja. Ketika perasaanku hanya
bisa menentukan rasa di tingkat medium. Ketika menyalahkan
diriku sendiri karena kemampuan perasaanku masih tetap konstan.

Aku segera menahan air mata yang akan menetes. Saat ini
aku sudah bisa menahan tangisan ketika mengingatmu, meski
tenggorokanku merasa tercekik. Hingga sekarang aku masih
memikirkan cara agar berhasil membuat rasa menakjubkan. Asal
kau tahu, Bu, aku pernah mencuri resepmu yang kau selipkan
di bawah alas almari pakaianmu. Dengan tujuh kali percobaan
berpacu dengan resep itu, tetap saja aku tidak berhasil menciptakan
resep berbeda yang bisa membuatnya memujiku.

“Aku akan terus menunggumu menghasilkan kopi dengan


kualitas tinggi dan dapat melampauiku. Maka aku akan mengatakan
bahwa kau lebih dari hebat. Jadi terus buat hati ibumu ini terkagum-
kagum, Nak.”

Kerinduanku semakin terasa ketika aku harus mengingat


permintaannya itu. Terngiang-ngiang di telinga dan aku tidak bisa
berbuat apa pun. Aku terlalu jauh darimu. Hanya dengan melakukan
berbagai peracikan dan sibuk dengan penyeduhan kopi aku mampu
dekat tanpa meratapinya.

***

21
Prajna Vita

Aroma 2
Bersama Kopi, Aku Baik-baik Saja

Enam tahun lalu, meskipun mata ibu tertutup tetapi bibirnya


tersenyum. Refleks aku ikut tersenyum kecil lalu bibirku semakin
mengerut sambil menahan suara yang tertahan di pita suaraku.
Terasa sakit memang, kemudian satu tetes air mata kembali
bergulir. Aku segera memperbaiki letak tangan kirinya yang masih
belum menempel tubuh.

Sekali lagi aku pandangi wajah wanita paling hebat yang


terbaring di depanku, semakin cantik saja. Mengapa pada waktunya
habis manusia semakin memancarkan aura aslinya? Segalanya
tampak sempurna dalam dirinya. Tak kuat aku menahan rasa sakit
yang semakin mencekik tenggorokkan.

Aku menunduk beberapa detik untuk membiarkan air mata


itu keluar dan berhenti ketika telapak tanganku membasuh. Aku
bangkit mundur untuk memberi ruang agar pelayat lain bisa melihat
sebelum keranda itu diangkat. Lelaki yang juga aku banggakan
masih belum mau beranjak dari samping jenazah istrinya itu.

Beberapa menit sekali tangan ayah merapikan setiap sudut


lekukan kain kafan yang sebenarnya sudah rapih. Menata rambut
ibu agar tak ada yang menutupi bagian muka, padahal sudah
dikepang rapih setelah dimandikan.

22
Monolog Kopi

Beberapa menit sekali, ia juga akan menata tangan ibu agar


menempel perut, padahal sudah tepat posisinya. Kesempatan itu ia
manfaatkan sebelum kain putih membungkus tubuh ibu dan tidak
boleh dilepas lagi.

Matanya benar-benar tidak lepas memandang wajah wanita


yang selama ini membuat hari-harinya berwarna. Aku yakin, pasti
kenangan muda dulu memenuhi pikirannya. Masa lalu begitu
bahagia tetapi juga bisa menyakitkan.

Tidak ayah, wanita itu tidak akan pergi dan juga tidak hilang.
Ia akan kekal di alam sana dan jangan khawatir tidak akan bertemu
dengannya lagi. Kita akan bertemu kembali meskipun harus melalui
perpisahan ini. Bukankah di dunia ini selalu ada pertemuan dan
perpisahan?

Aku tahu air matamu ingin sekali menetes, aku tahu


tenggorokkanmu tercekik karena tangisan yang kau tahan. Aku juga
merasakannya, Ayah. Rasanya begitu sakit dan tak bisa berkata.

Apa setiap pria merasa malu mengeluarkan air mata? Pria


juga berhak menangis, tak ada larangan, bukan? Menangis juga
menjadi obat. Air mata itu mengandung berbagai penyakit yang
bisa membuat tubuh lebih sehat. Sayangnya, aku tidak pandai
dalam dunia kedokteran, jadi aku tidak bisa menjelaskan secara
rinci. Andai saja bisa, sudah aku jelaskan panjang lebar jika ada
yang bertanya. Tapi, siapa juga yang akan menanyakan perihal
pria tidak boleh menangis? Pada dasarnya, masih banyak sikap
masa bodoh di dunia ini. Hmmm, membuatku sulit menemukan

23
Prajna Vita

orang yang bisa aku ajak berpikir untuk menjawab pertanyaan


yang terus-terusan diawali dengan kata ‘mengapa’. Kenapa kau
banyak bertanya begitu?! Pasti itu jawabannya. Ya karena aku
ingin tahu! Kan aku bodoh! Jangan sampai aku berkata begitu.
Terus merendahkan diriku sendiri untuk membela diri.

Ingatan itu kembali muncul ketika hirupan kopi memenuhi


indra penciuman dan lidahku.

Kala senja, mengapa harus saat senja aku dapat menikmati


waktu bersama secangkir kopi hasil racikanku sendiri? Mengapa
ketika senja aku selalu mengingat semua kenangan itu? Tuh kan,
lagi-lagi diawali dengan kata ‘mengapa’. Sudahlah, memang itu
yang masih bisa aku tanyakan pada diriku sendiri. Untuk apa?
Bukannya selalu tak ada jawaban pasti! Meskipun tidak pasti
tetapi masih bisa ditebak dengan positif. Ada kata ‘kemungkinan’,
mengapa tak digunakan? Kemungkinan lebih dominan pada hal
positif kan? Ah, sudahlah, aku ingin lanjut menarasikan mengenai
perasaanku.

Mengapa harus kau, Ibu, wanita peracik terhebat dalam


hidupku yang selalu hadir di kenanganku. Padahal kau begitu
jahat karena tega meninggalkanku lebih cepat. Aku masih butuh
bimbinganmu, aku masih butuh ocehanmu dari kenakalanku, dan
aku masih butuh saranmu ketika aku dihadapkan pada lebih dari
satu pilihan.

Bahkan, aku masih berhutang padamu. Hutangku mungkin


agak sepele menurut orang-orang yang tak mengerti, tetapi besar

24
Monolog Kopi

untukku. Kau meminta seduhan kopi yang enaknya melebihi


racikanmu. Aku belum mendapatkannya dan kau meninggalkanku
begitu saja!

Jika aku diberi pilihan, aku akan memilih kau terus


mencecarku untuk mengembalikan hutang itu daripada kau tidak
pernah menagih lagi. Hingga sekarang, bayanganmu selalu hadir
dalam otakku hingga aku harus terus berusaha memenuhinya
meskipun aku tidak pernah lagi bisa memberikannya padamu.

Lalu bagaimana aku tahu kalau aku sudah berhasil atau


belum? Untungnya, sampai sekarang aku belum juga berhasil
karena kau tidak akan pernah datang lagi, jadi aku tidak mempunyai
kesempatan untuk mendengar kritikan dan saran darimu. Bukankah
itu membuatku semakin tak terbebani? Salah, justru membuatku
semakin tertekan, karena aku rindu.

Apa kau tidak memikirkan bagaimana aku merindukanmu?


Berharap kau menagih hutangku ini. Harapanku terkadang tidak
kosong karena aku yakin, kau tahu apa yang aku lakukan dan
pikirkan, bukan.

Kerinduan itu selalu hadir ketika aku sendiri, ketika bersama


kopi, ketika senja, dan ketika hujan. Namun, terkadang kerinduan
pada ibu dapat terobati ketika perhatianku beralih kepada Vendra.

Vendra melewatkan senja dalam dunianya sendiri. Entah ada


kerinduan atau tidak di sana. Mengalunkan pena di atas kertas dan
membentuk beragam gambar menarik dari garis-garis pensil atau

25
Prajna Vita

pulpen yang tidak teratur.

Hanyut dalam dunianya. Aku tak pernah berharap ia akan


mendengar panggilanku ketika semua indranya masih berada dalam
imajinasi liarnya. Ia seperti kerasukan ketika kopi mulai mengalir
bersama aliran darahnya lalu berhenti di otak.

Jangan berharap ia mau mrnjalankan perintah orang lain dan


menghentikan kesibukannya itu, karena jiwanya tidak berada di
tempat. Raganya berada di sini, tetapi jiwanya melayang menjadi
jembatan untuk mencari beragam inspirasi. Apa dengan cara itu ia
bisa mengatasi kerinduannya?

Ketika aroma bubuk kopi kembali meresap penghiduanku,


seketika itu aku seperti mencium aroma yang sama dari cangkir
kopi hasil racikan ibu. Dulu, setiap pagi dan sore, tiga cangkir kopi
spesial selalu mendarat di meja teras. Tak lupa beberapa bakpia
pathok nomor 75 yang kau beli di toko khusus bakpia tak jauh dari
pusat kota Jogja. Meskipun kue khas Jogja yang terkenal itu lebih
sering menjadi cemilan utama, tetapi ia selalu bisa menyelipkan
kue buatan sendiri. Sesekali dengan brownies atau pisang goreng.
Namun, kenikmatannya tidak pernah berubah.

“Sesungguhnya teman minum kopi itu bukan pisang goreng,


cheesecake, atau brownies, tetapi teman itu sendiri,” ujarnya ketika
talam berisi tiga cangkir kopi dengan jenis berbeda dan satu piring
pisang goreng, serta stoples kecil berisi gula itu mendarat di meja.

Senyumnya selalu mengembang. Ayah cepat-cepat melipat

26
Monolog Kopi

koran dan menghentikan semua kesibukannya saat wanita


pendamping hidupnya itu sudah menyandingkan cangkir kopi.

Kopi hitam tanpa gula segera diambilnya. Ia hirup beberapa


kali dan segera menuangkan satu setengah sendok gula lalu
dihirupnya kembali. Kopi hitam dengan sedikit susu full cream
akan menjadi momen menarik bagiku. Ibu selalu mendiamkannya
tiga sampai empat menit lalu diminum dengan cara khasnya.

Menahan di mulut. Dahinya berkerut, matanya menyipit


tanpa melirik ke objek lain. Diam, lalu beberapa menit kemudian
menelannya, dilanjutkan mengangkat kepalanya, meminumnya
lagi dan obrolan dimulai. Satu cangkir tersisa milikku yang berisi
kopi hitam dengan gula dua sendok makan penuh.

Ibu selalu membantah mengenai kopi dengan tambahan gula.


Cara minum kopi itu aku lakukan sebelum mengerti bagaimana
menikmati kopi dengan benar. Namun, ketika ibu mulai memintaku
menjadi roaster dan menuntut kemampuan coffee cupping4,
akhirnya gula tidak berarti apa-apa.

“Untuk bisa mengetahui karakteristik citarasanya, jangan


menambahkan gula,” ujarnya waktu itu.

“Aku tidak bisa. Itu pahit. Selera tidak bisa dibantah.”

“Bukan begitu. Aku tidak pernah menyalahkan selera.


Namun, kau harus tahu bagaimana kekhasan yang dimilikinya.
4 Proses mengobservasi karakteristik rasa kopi melalui pencicipan sebelum tiba
ke penikmat. Proses ini juga dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya kecaca-
tan kopi.
27
Prajna Vita

Sangat istimewa. Coba kurangi gulanya sedikit demi sedikit.”

“Aku tidak bisa, Bu,” kataku. Ia diam dan menarik napas lalu
segera mengeluarkannya. Aku tahu ia tidak menyerah begitu saja.

Terlalu pahit. Aku tidak bisa menerima rasa pahit itu. Aku
memang menyukai aromanya, tetapi tidak untuk rasa pahitnya.
Jangan pernah paksa aku untuk mengubah minuman manis itu
menjadi pahit karena aku tidak bisa menerimanya.

Usahamu belum terlambat. Beberapa hari menjelang hari


akhirmu. Aku baru bisa menerima rasa pahit pada kopi. Semua itu
berkat matamu yang berbicara untuk mendorongku sebelum kau
menutup mata indah itu yang dilengkapi dengan bulu mata mblarak
sempal—dalam uangkapan jawa berarti bulu mata yang panjang
dan melengkung ke atas—membuatmu tampak lebih cantik dengan
mata yang tertutup itu.

Silakan saja hai semut-semut habiskan gula berplastik-


plastik, sekarang aku tidak begitu membutuhkannya. Namun,
jangan harap kalian juga tidak dapat kuusir. Aku tetap suka melihat
kalian berlari ke sana-sini ketika makanan yang kau kerubungi aku
goyangkan.

Aku mampu merasakan asam yang kuat di dalam kopi


ketika suhunya mulai menurun. Namun, rasa pahit itu juga tidak
pernah hilang. Bukan cuma pahit. Kau benar, ada rasa manis yang
tertinggal, ada rasa asam yang menahan ketika cairan itu masih
berkemelut di dalam mulut.

28
Monolog Kopi

“Pahit,” kataku saat pertama kali mencoba tanpa gula

“Lagi,” katamu tegas.

“Pahit,”

“Lagi,”

Aku tahan cairan itu lebih lama. Meresapinya, terdiam,


dan akhirnya aku mengatakan bahwa itu asam. Kau tersenyum.
Senyumnya terdapat sedikit kebanggaan kepada putramu ini yang
lama sekali memahami perasaan. Aku tetap saja menumpahkan
dua sendok makan gula setelahnya. Ibu memandangku diam
dan mengangkat cangkir kopinya. Meneguknya tiga kali dan
meletakkannya lagi.

Saat-saat seperti itu tidak lagi bisa terulang kembali. Ah, lagi-
lagi aku ingin meminta bisakah waktu diputar. Waktu memang
jahat, takdir lebih-lebih menyakitkan. Namun, itulah teka-teki
Tuhan yang tak bisa dipecahkan dan tak bisa ditawar.

Sekarang, pada tegukan terakhir seringkali membuatku


bersyukur. Meninggalkan seorang ayah ke tanah perantauan tidak
mudah bagiku. Melihat usianya semakin menua, aku takut ia
juga pergi tanpa aku di sampingnya. Aku takut melihat matanya
berbicara kepada para malaikat, melihatnya kesakitan ketika nyawa
itu lepas dari jasadnya. Aku tidak mau tersiksa di dalam sebuah
ruang sempit bernama rindu. Aku sulit untuk bergerak.

***

29
Prajna Vita

Sehari sebelum keberangkatanku ke Bogor, Aku sengaja


memakai kemeja ayah ketika mengunjungi ibu. Aku hadapkan di
depan kuburannya, wanita yang sangat ayah cintai dan ia tersiksa
dengan adanya perbedaan alam ini. Tak apalah jika ibu hanya
melihatku jauh di sana atau mungkin aku dianggap gila oleh orang-
orang waras di dunia.

“Bawa ini. Ada lima kemeja yang sudah tidak cocok lagi aku
pakai. Bisa untuk menambah koleksi kemeja yang nantinya untuk
keperluanmu,” kata ayah saat memasuki kamarku ketika aku masih
bersiap untuk menjadi seorang perantau.

Ia membawa beberapa tumpukan baju yang sudah rapih.


Kemeja lengan panjang dan pendek bekasnya dulu masih terlihat
baru. Ia meletakkannya di kasur tepat di belakangku.

Aku menatapnya. Mata bagian putih sudah mulai menguning.


Bola matanya sudah tidak lagi hitam, tetapi berubah warna menjadi
abu-abu. Umur semakin menua tidak surut untuk tetap melihat
kesuksesan putranya.

Keberangkatanku ke Bogor menampakkan raut wajah seperti


tidak ingin melepaskan anak laki-lakinya. Namun, yakin bahwa aku
bisa menjadi ahli pertanian membuatnya lebih tegar melepasku.
Meskipun aku belajar dunia pertanian secara umum. Namun, ia juga
berharap aku bisa memakmurkan petani kopi dan mensejahterakan
mereka yang berada di daerah-daerah kecil, termasuk ayahku
sendiri.

30
Monolog Kopi

“Ini simpan baik-baik. Jangan kau hambur-hamburkan. Aku


menjual separuh kebun kopi yang masih aku punya. Untuk biaya
hidup selama di sana, semoga saja cukup untuk melunasi semua
uang administrasi perkuliahan pertamamu.”

Seketika itu aku menghentikan lipatan baju yang sedang aku


tata. Aku memandangnya, ia masih memegang amplop sambil
mengangkatkan alis tanda harus memindahtangankan padaku.

Beberapa detik kami tidak mengeluarkan suara. Sunyi.


Pandanganku semula terfokus pada tumpukan baju-baju yang
akan dimasukkan ke ransel, tiba-tiba mataku berujung pada garis
lantai ubin. Aku tertuju pada satu objek tetapi entah apa yang ada di
pikiranku. Aku hanya merasakan dingin pada ujung jempol karena
menyentuh hawa dingin dari ubin itu. Lalu aku tersadar bahwa ayah
masih berada di sampingku.

Aku menarik napas panjang. Kemejamu masih tetap aku pakai,


Ayah, masih tetap aku setrika licin. Aku tidak lupa menghentikan
gerak setrikaan lebih lama di sela-sela kancing. Masih tetap aku
cuci dengan tidak merendam lebih dari 15 menit. Masih aku jemur
dengan menggantungnya terbentang.

Seperti itulah kebiasaannya merawat baju. Ia orang yang


sangat rapih. Namun, kebiasaan buruknya tidak pernah bisa
menghafal tanggal-tanggal penting. Bahkan tanggal ulang tahunnya
saja tidak pernah ingat, apalagi tanggal kelahiranku.

Sempat terjadi perdebatan dengan jurusan pertanian. Jangan

31
Prajna Vita

khawatir, impian menjadi petani tidak sepenuhnya miskin. Jika


tidak ada petani, negara agraris ini mau menjadi apa? Sulit
memang menjelaskan impian menjadi petani. Zaman sekarang
siapa yang mau bercita-cita menjadi petani. Sebagian besar tidak
ada yang melirik.

Petani itu miskin, petani itu tidak mengenal teknologi,


petani itu hanya sibuk berkebun, petani itu tidak bisa mendapatkan
tunjangan, petani itu tidak modern, petani itu tidak bisa hidup
layak.

Banyak yang beranggapan bahwa petani tidak mempunyai


kelas sosial yang tinggi. Bayangkan saja, memangnya ada yang
bercita-cita menjadi seorang petani? Pasti jawaban mereka ingin
menjadi pilot, insinyur, dokter, dan sebagainya.

Bodoh. Tanpa ada petani memangnya mau makan apa?


Petani memang tidak semuanya memiliki tanah, perkebunan, sawah,
atau lahan, tetapi mereka bisa memanfaatkan lahan tersebut untuk
menghasilkan jenis makanan yang nantinya dapat menghidupkan
orang banyak. Bukan hanya menjadi konsumtif seperti manusia
kebanyakan. Tidak pernah puas tetapi menuntut banyak permintaan.

Pendidikan memang tidak seberapa, tetapi setidaknya


aku memiliki teori dan pengalaman praktik yang bisa menjadi
kemampuan diriku sendiri. Aku tahu, pengetahuan pertanian bisa
dilatih secara otodidak, tetapi otakku memang tidak bisa melakukan
sesuatu tanpa memiliki pengetahuan teori terlebih dulu.

32
Monolog Kopi

Aku bisa mengerti bagaimana mengolah tanah untuk


menghasilkan jenis tanaman berkualitas hingga hasilnya pun layak
dikonsumsi. Pada akhirnya aku memilih fokus pada pengolahan
temperatur tanah untuk penanaman kopi. Perkebunan kopi menjadi
poin pertama untuk menjadi penelitianku hingga merambat
bergemelut di dunia kopi.

Memang berawal dari teori, tetapi pengalaman otodidak


juga sangat berperan di sini. Menentukan kelayakan tanah
agar menghasilkan buah kopi berkualitas memang didapatkan
melalui teori. Mengetahui kopi hingga proses siap seduh juga
tidak didapatkan dari teori saja, tetapi juga melalui pengetahuan,
pengalaman lain, dan perbincangan.

Kau benar Ibu. Teman kopi bukan sekadar makanan ringan


lainnya, tetapi teman itu sendiri. Teman yang bisa menjadi sesi
meminum kopi menjadi berbeda.

Tak heran jika ia menuntutku untuk dapat menemukan


kopi dengan rasa terbaik dari berbagai nusantara. Dengan cara
itu, peminum bisa mendapatkan teman untuk saling berdiskusi
bagaimana citarasa yang dihasilkan dari kopi temuanku. Namun,
sayangnya aku belum sanggup membuat para penikmat melakukan
itu.

Entah mengapa aku masih fokus pada kerinduanku pada Ibu.


Terkadang aku harus berada pada dunia coffee cupping berjam-jam
agar aku lupa mengenai kenangan dan janjinya. Terkadang aku
harus berdiskusi panjang dengan Vendra agar dapat melupakan

33
Prajna Vita

hutangku ini.

Terkadang Vendra memarahiku karena aku tidak dapat


mengatasi kerinduku itu. Aku memang dapat dibilang terlalu
lemah untuk melupakan hal-hal yang mengenang dalam hidupku.
Aku tidak bisa hanyut lebih lama ke dalam duniaku sendiri agar
melupakan hal yang membuat batinku tertekan.

Aku tahu kau akan sedih jika kau melihatku seperti ini, Ibu.
Pikiranku terbuka ketika Vendra mendorongku masuk ke dalam
hobiku. Aku mampu hanyut dalam dunia coffee cupping hingga aku
tidak merasa ada orang di belakangku ketika aku mulai mencicipi
beberapa jenis kopi.

Kau bisa tersenyum, Bu ketika aku berhasil mendapatkan


sertifikat Q-Grader5. Kau bisa tersenyum bangga ketika
kemampuan cupping-ku mampu memilih jenis kopi berkualitas
dan diakui oleh banyak owner coffee shop terkenal. Kau boleh
tersenyum kagum karena aku telah dipercaya oleh beberapa kedai
kopi untuk menentukan specialty coffee6 terbaik guna meramaikan
kedai mereka.

Harapanmu kepadaku untuk mempunyai kemampuan


roasting masih tetap aku simpan, Bu. Mungkin ini bisa dibilang
sebagai proses menuju tahapan penyajian kopi. Aku masih menepi
untuk menyusun strategi, karena aku tahu, bahwa kemampuan
roasting bukan hal biasa. Mempelajari berbagai zat-zat kimia yang
5 Sertifikat bagi pencicip kopi profesional yang terakreditasi oleh Coffee
Quality Institute (CQI) dunia. Q-Grader untuk pencicip kopi arabika,
sedangkan untuk pencicip kopi robusta disebut R-Grader.
6. Kopi yang memiliki aroma dan rasa yang istimewa atau premium

34
Monolog Kopi

terkandung di dalam kopi dan menganalisisnya tentu suatu pekerjaan


yang masih berat bagiku. Ditambah lagi dengan perhitungan
numerik pada unsur lainnya juga harus seimbang. Setidaknya, aku
sudah mengerti aroma dan rasa kopi serta mencocokannya dengan
jenis seduhan. Aku tak mau sembarangan terhadap pemasakan biji-
biji kopi itu.

Tak usah khawatir, karena aku akan tetap baik-baik saja jika
bersama kopi.

***

35
Prajna Vita

Aroma 3
Ibaratnya Kopi dengan Kehidupan

Rasanya aku sudah datang pagi, ternyata masih kurang pagi juga.
Seharusnya aku yang membuka kunci kedai, menyalakan lampu,
merapikan peralatan kopi, dan tentunya juga aku yang berada
di sana, bukan Vendra yang duduk bersama Grey di dapur bar.
Tertawa cekakak-cekikik entah apa yang dibicarakan. Harusnya
Grey datang pada saat aku sedang berada di sini sendiri.

Ada dua orang yang terlihat, satu menjadi pencerita dan satu
menjadi pendengar, begitu pun sebaliknya. Vendra melemparkan
pandangannya keluar pintu kedai yang pasti bisa menembus
pandangan ke luar karena pintu terbuat dari kaca. Seketika itu aku
nistagmus dan mengalihkan pandangan pada objek yang entah apa
kemudian aku memenuhi permintaan kakiku untuk berjalan masuk.

Tak ada suara, hanya mata yang menatap penuh pertanyaan.


Ini hari kerja dan aku pagi-pagi sudah datang ke kedai pasti bukan
sesuatu yang biasa, tetapi juga bukan sesuatu yang dilarang.

“Pertemuanku untuk membicarakan binaan kelompok petani


kopi mulai setelah jam makan siang, jadi untuk apa pagi-pagi
datang ke kantor,” kataku setelah ada pertanyaan dari Vendra. Ia
mengangguk sedangkan Grey hanya tersenyum.

“Target binaan untuk daerah mana kali ini, Har?” Tanya

36
Monolog Kopi

Vendra.

“Kami punya beberapa daftar kebun kopi di daerah terpencil,


Ve. Semuanya di Jawa. Rata-rata di sana masih petani mandiri,
padahal menurut pengujian kami, hasil kopinya bisa dimaksimalin.”

“Sepertinya akan ada penemuan singel origin7 lagi nih,” kata


Vendra sambil menyunggingkan senyum.

“Ditinggal trip lagi kita, Ve,” sambung Grey yang


mengarahkan wajahnya pada Vendra. “Kapan, Har, singel origin
trip8 buat kita bertiga aja?” Lanjutnya. Disusul anggukan kepala
Vendra beberapa kali dengan alis yang terangkat.

“Setelah AEKI menemukan kebun kopi yang bukan hanya


menghasilkan kopi ajaib, tetapi juga mempunyai trayek pendakian
yang menantang, karna kita juga butuh itu,” kataku dengan nada
suara seperti orasi, kemudian diikuti tawa mereka.

Bekerja di AEKI (Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi


Indonesia) memang sering meninggalkan Vendra. Dalam sebulan
bisa saja mengunjungi perkebunan kopi tiga sampai empat kali.
Selain mencari kopi-kopi kualitas baik, AEKI juga mempunyai misi
membantu upaya pemerintah dalam meningkatkan pengetahuan
dan ketrampilan petani serta pelaku usaha lain di bidang perkopian.

Kopi yang selalu mengiringi hidupku tak pernah salah dengan


7. Kopi original yang berasal dari satu tempat dan mempunyai citarasa
khas.
8. Istilah untuk menggambarkan mereka yang melakukan perjalanan
atau treveling yang lebih mengkhususkan kopi sebagai tujuannya.

37
Prajna Vita

pekerjaan pilihanku ini. Sebagai sarjana pertanian, aku memilih


fokus pada penelitian tanaman kopi. Hal itu bisa melatihku untuk
mencari tahu bagaimana mendapatkan kopi yang spesial.

Perjuanganku untuk mengetahui dunia pertanian sudah aku


pelajari selama empat tahun. Institut Pertanian Bogor membuatku
mengerti bagaimana harus gagal terlebih dahulu ketika mengikuti
tes masuk. Namun, kegagalan pada gelombang pertama justru
membuatku mencoba mengikuti gelombang kedua. Akhirnya aku
melihat namaku tercantum di papan pengumuman penerimaan
mahasiswa baru setelah berusaha masuk dari kerumunan calon
mahasiswa lain.

Pekerjaanku yang selalu mencari-cari ketepatan penanaman


membawaku menginjakkan kaki ke kebun kopi di daerah terpencil.
Momen mencicipi kopi-kopi daerah kunjungan tak pernah hilang
dari jadwalku.

Pada setiap perjalanan yang aku lakukan, Vendra tak


pernah jauh dari ponsel. Menungguku menghubunginya dan
mendengarkan bagaimana citarasa yang aku paparkan dari kopi
temuanku. Kebiasaan ini membuatku selalu menahan sesuatu yang
menyentuh lidah untuk mengenali kandungan bahan apa saja yang
ada di dalamnya.

Selain itu, sertifikat Q-Grader yang aku miliki harus


membuatku lebih selektif dalam memilih jenis kopi arabika. Bukan
hal mudah menemukan kekhasan kopi. Minuman ini memang
membuat seseorang yang ingin mengenal kopi harus sepenuhnya

38
Monolog Kopi

berada di sana. Kemampuan perasaan selalu dibutuhkan untuk


menentukan pilihan. Bukan hanya terpaku pada insting, tetapi juga
pengalaman.

Aku meletakkan tas jinjing berisi berkas-berkas keperluan


penelitian. Memang enteng tetapi tetap saja aku merasa muak
dengan berkas yang terkadang membuat kepalaku terasa berdenyut.

“Kau mau minum kopi apa?” Tanya Vendra setelah melihat


aku sudah duduk di kursi belakang mereka, sehingga aku hanya
bisa melihat punggung dua orang di depanku.

“Tidak, nanti saja. Kau tidak kuliah Grey?” Jawabku sekaligus


melontarkan pertanyaan kepada gadis yang sekarang hanya bisa
aku lihat punggungnya.

“Siang aku ada kuliah, jadi untuk apa aku pagi-pagi sekali
datang ke kampus?” Ujarnya menggunakan kata-kata yang sama
denganku. Ia menengok sambil tersenyum bercanda membuat aku
ikut tersenyum. Disusul dengan Vendra yang mengeluarkan suara
tawa lirihnya.

Sialan, bisa saja ia meniru kata-kataku dalam waktu yang


belum melewati lima menit ini. Membuatku kembali mengingat
tentangnya.

Aku membutuhkan waktu lama untuk mengetahui seperti apa


Grey. Dengan sikapnya yang cuek, tetapi tetap melakukan apa pun
secara maksimal dan optimis. Tidak pernah terbuka dengan banyak
orang. Banyak cerita dan impian yang hebat di dalam pikirannya.

39
Prajna Vita

***

Ketika aku menyusuri jembatan di daerah Bogor, aku masih


menunggu hasil pengumuman tes masuk perguruan tinggi di IPB,
aku bertemu dengan Grey. Di atas jembatan yang sudah mulai
mengelupas catnya, tetapi justru tampak lebih indah. Ditambah
dengan suasana senja dan cahaya matahari yang sudah menguning.
Garis-garis cahaya kuning senja tersebar karena matahari tertutup
pepohonan. Meskipun cahaya tidak sepenuhnya menembus bumi,
tetapi tetap terasa indah dan sempurna.

Berada di atas jembatan lebih bisa menikmati air yang


mengalir deras di sungai. Ketika mendengar suara gemericik air,
pada saat itulah aku merasa tenang. Aku berusaha memejamkan
mata sejenak. Menghirup udara sore yang entah itu udara bekas
karbon monoksida atau bukan.

Aku merasa otakku relaks dengan suasana yang masih sering


aku temui di Jogja. Tidak perlu berjalan jauh untuk berada di tempat
seperti itu dan aku menemukannya lagi di kota hujan itu. Banyak
pepohonan yang membuat telingaku mendengar bunyi kresikan
daun bersentuhan satu sama lain.

Tiba-tiba mataku terbuka dengan suara sutterspeed kamera


yang tidak jauh dari tempatku berdiri. Aku tahu betul orang itu
masih mengambil gambar di tengah jembatan.

Aku berbalik melihat datangnya suara. Seorang gadis yang


akan mengambil gambar seketika itu tertunda dan memalingkan

40
Monolog Kopi

wajah padaku. Lalu tersenyum sambil menundukkan kepalanya


menyapaku. Aku balik tersenyum dan kembali menikmati deru air
di depanku. Ia mulai memainkan kameranya lagi dan mengambil
setiap sudut suasana senja itu.

“Mas, kalau di sini tempat selain kali ini ada apa aja ya?”
Tanyanya, langsung terlintas dalam pikiranku bahwa dia seorang
wisatawan atau lebih tepatnya untuk anak muda traveling.

“Saya bukan orang sini, Mba,” kataku.

Ia mengangguk mengerti. Sekilas melihatnya pasti langsung


terlihat bahwa gadis itu memang mempunyai jiwa petualang. Hal itu
terlihat dari perawakannya yang tidak terlalu tinggi dengan rambut
kuncir kuda dan sedikit berponi. Selain itu, caranya mengambil
gambar serta memerhatikan lokasi kunjungan tidak membuatnya
tampak bingung.

***

Aku kira pertemuanku dengan Grey hanya sampai pada


pertanyaannya yang tidak bisa aku jawab itu. Ia ternyata satu kampung
halaman denganku. Tak berhenti di situ, kopi mempertemukan
kami kembali. Pertemananku, Grey, dan Vendra dimulai ketika
acara coffee cupping di Kopnat, tempat Vendra bekerja sekarang
dan menjadi kedai tongkrongan kami. Dia ingin tahu dunia kopi
lebih jauh katanya. Kami selalu mempunyai perbincangan menarik
ketika ngopi bersama. Dan, aku lebih bisa mengenal Grey tentunya.

Keluarga Grey pindah ke ibu kota karena alasan rumit dengan

41
Prajna Vita

keluarga lain di sana. Menurutnya, dengan pindah ke tempat lain


bisa meredamkan masalah, lagi pula ayahnya juga tidak asing lagi
dengan Jakarta.

Meskipun gadis Jawa, tidak berarti sikapnya harus kalem


persis seperti putri solo. Ia berbeda. Sangat sederhana, tidak
fashionable, tidak sepenuhnya menyukai apa yang wanita suka, ia
lebih suka bergaul dengan teman laki-laki. Sedikit polesan make up
membuatnya lebih terlihat cantik natural.

Ia tidak peka. Bukan tidak peka dengan lingkungan sekitar,


justru ia sangat peduli dengan sosial. Ia pengamat, tidak perlu
ditanyakan lagi karena ia juga suka menulis. Namun, ia tidak peka
dengan perasaan seseorang.

Impiannya besar, tetapi sikap ragunya masih saja melekat.


Belum bisa memilih satu yang tepat di antara banyak pilihan.
Minatnya bukan satu saja, tetapi banyak, sehingga kebimbangan
kerap terjadi padanya.

“Aku selalu bimbang dengan apa yang aku inginkan.


Terkadang aku juga merasa, apa aku tamak? Semua yang aku
minati harus bisa aku dapatkan, padahal aku tahu jika aku tidak
mempunyai kemampuan lebih untuk hal-hal itu. Aku punya banyak
hobi, aku punya banyak minat yang semuanya itu ingin aku capai.
Aku selalu tidak peduli dengan kemampuanku yang sangat kurang.
Hal itu membuatku berpikir, sebenarnya fokusku ke mana? Aku
seperti berada pada kegamangan, tidak tahu arah mana yang akan
aku ambil. Aku susah untuk fokus. Aku merasa sulit menentukan

42
Monolog Kopi

pilihan dan aku malas berpikir rumit,” seperti itu katanya.

Sangat tidak terlihat bahwa ia begitu malas berpikir kompleks.


Pertemanan kami berlanjut, tetapi banyak hal-hal yang belum aku
tahu. Dengan cara ia menceritakan perlahan membuat kami, aku
dan Vendra membutuhkan waktu lama untuk bisa mengenalnya
lebih dalam.

“Dalam dunia bahasa, aku suka sekali menulis, aku suka


berpuisi, aku suka menelaah sastra, aku suka membaca cerpen, dan
aku selalu kagum dengan orang-orang yang terjun di dunia seni,
seperti orang-orang sastra yang merealisasikannya dalam bentuk
teater,” lanjutnya.

Meskipun tertarik terhadap teater, tetapi ia tak pernah


bersikap seperti drama. Ia tahu mana realitas, mana sebuah fiksi.
Untuk seseorang yang bergelut di dunia kepenulisan pasti tidak
pernah lepas dari kopi. Maka, obrolan kami tak akan pernah habis,
entah itu mengenai kenangan atau rencana masing-masing.

Perjalanan awalnya di dalam dunia kepenulisan bisa


menghasilkan karya dan masuk di beberapa media massa. Ia kliping
kemudian diberikan kepada ibunya. Wanita yang melahirkannya itu
ternyata menjadi inspirasi hidupnya.

Banyak sekali tulisan prosa, fiksi, dan puisi mengenai


ibunya. Sangat hebat, hingga dua insan wanita itu dapat menjalani
kehidupan dengan bijaksana dan memikirkan semua rencana secara
matang. Meskipun ada yang kandas, tetapi kekecewaannya cepat

43
Prajna Vita

menghilang dan ia mampu bangkit lagi.

“Aku menemukan jiwa lain selain literatur. Aku menemukan


jiwa seni, aku sedikit tertarik pada segala jenis desain dan aku
ingin bisa bergerak di dunia itu. Termasuk untuk desain kover
buku dan desain lainnya. Aku tak pernah mengeluh dengan apa
yang aku hadapi. Buku merupakan salah satu sarana untuk bisa
mengemukakan pendapat dan mendapatkan jawaban atas apa yang
aku tanyakan sendiri,” ujarnya kala itu.

Kecintaannya dengan dunia kepenulisan cukup sederhana,


“Pada penataan buku di rak dan buku-buku bekas kedua orang
tuaku. Aku mencintai dunia buku. Aku ingin bergerak di dunia buku.
Aku tidak menyampingkan dunia seniku dengan buku. Menurutku,
semua itu masuk dalam satu bidang.”

“Aku selalu senang bermain dengan duniaku sendiri.


Aku menulis, aku mendengarkan musik, aku menulis puisi, aku
merangkai prosa, aku mencoba menulis naskah-naskah drama,
aku menonton film, aku jalan-jalan, dan menemukan banyak cerita
yang akhirnya menjadi jurnal. Aku selalu senang dengan dunia
yang membuat hobiku semakin berkembang.”

“Seringkali aku dianggap aneh oleh saudara-saudaraku.


Seringkali aku dianggap berbeda oleh mereka. Namun, aku tetap
memilih apa yang aku mau,” katanya tegas.

***

Aku semakin lekat memandangnya, tepat berada di depanku.

44
Monolog Kopi

Rambutnya tidak pernah rapih, dengan satu kuncir membuat


beberapa helai rambut tidak bisa terikat. Kebiasaannya seringkali
menyangga dagu, padahal gerakan tubuh itu bisa terbaca bahwa
orang tersebut sudah bosan dengan lawan bicaranya.

Ia tidak pernah bosan mendengar, ia pendengar yang baik.


Tak pernah menyela ketika lawan seseorang sedang bicara. Namun,
hal lucu yang selalu membuat aku ingin tersenyum sendiri ialah ia
selalu lupa ingin bicara apa ketika sudah disela oleh orang lain.

Lucu sekali, ingatannya tak pernah bisa bertahan lama. Ia


menyadarinya, sehingga selalu mengeluarkan polpen dan note kecil
untuk mencatat apa yang ingin dibicarakan.

Terkadang aku ingin menjadi pendengar yang baik sepertinya.


Ia pernah mengatakan bahwa ia sulit menemukan pendengar
yang baik. Namun, ia sudah pernah menangis di depanku ketika
menceritakan kekesalannya padaku.

Apakah saat itu aku sudah menjadi pendengar yang baik


untuknya? Sepertinya sudah karena ia sudah berani curhat
sampai menangis begitu. Belum tentu. Mungkin karena tidak bisa
menahannya. Ia bisa menangis tapi belum ada kenyamanan. Betul
juga. Tapi aku berharap ia bisa menganggapku pendengar baiknya.
Tidak ada salahnya juga kan berharap? Ah, jangan juga berharap
terlalu besar. Kalau kecewa mau menyalahkan siapa? Bagaimana
kalau ternyata orangnya tidak memberi harapan? Pasti kecewa
karena diri sendiri. Salah siapa memegang harapan! Betul juga.

45
Prajna Vita

Ia pernah datang padaku, wajahnya tak seperti biasa, matanya


sayu, entah itu efek kopi atau tidak tidur semalaman. Ia mencari
Vendra dan hanya ada aku di sana. Kau diam, aku merasakan ada
perbedaan pada dirimu waktu itu. Ia sama sekali tidak mengajakku
bicara. Kami diam tanpa kesibukan. Ia menunggu Vendra hingga
lima belas menit tapi belum juga datang.

“Bisakah kau hentikan pekerjaanmu sebentar? Sebentar,


hanya sebentar saja, tidak lebih dari satu jam, bahkan tidak lebih
dari setengah jam, aku ingin bercerita,” katamu kemudian.

Aku meletakkan gelas-gelas yang masih aku lap. Aku


mendekati dan duduk di depannya. Aku mengangguk kemudian
diam. Ia begitu menekan semua perasaan. Aku tahu ia menahan
tangis.

“Aku tak pernah ragu melakukan apa yang ingin aku lakukan.
Aku selalu menjawab dengan sopan ketika mereka bertanya apa
yang akan aku lakukan. Meskipun terkadang mereka memojokkanku
aku tetap menjawab sopan tanpa menyakiti hati mereka. Namun,
pada akhirnya mereka juga yang kalah dan memilih diam, berhenti
mencecarku dengan pertanyaan yang tak punya masa depan,”
ujarmu waktu itu.

Suaranya sedikit tercekik seperti menahan tangis. Lalu


ia lanjutkan kembali, “Pernah saudaraku bertanya ‘Penulis
memangnya bisa kaya? Banyak penulis dan jurnalis yang
masuk penjara karena tulisan mereka, banyak jurnalis yang mati
karena peliputan, banyak jurnalis yang terlantung-lantung tidak

46
Monolog Kopi

mendapatkan uang, apa kau tidak kasihan dengan orang tuamu.


Untuk apa ayahmu membayar biaya kuliah jika ujung-ujungnya
kau tidak bisa mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar’,” ia diam
sejenak, tak berani menatapku. Aku tahu kau menahan air mata itu.
Menggenang dan akan jatuh ketika kau mengangkat matamu.

“Lalu aku jawab saja, ‘Petualangan. Aku membutuhkan


pengalaman dari petualangan. Aku membutuhkan cerita untuk
mengisi semua buku kosongku. Aku membutuhkan cerita yang
menarik untuk hidupku. Sewaktu-waktu aku mati pada peliputan
peperangan, kau bisa membaca semua pengalaman yang sudah
aku tulis rapih dan jangan pernah mengatakan aku tak punya apa-
apa dalam dunia yang aku jalanani ini. Aku tak pernah takut untuk
melangkah, karena aku melangkah bukan untuk mencari sebuah
materi, tetapi pengalaman yang bisa aku ceritakan pada orang lain.
Pengalaman yang bisa aku dongengkan kepada anak-anakku nanti.”

“Aku tak pernah takut mengatakan semua pendapatku ketika


aku dipojokkan. Memang itulah yang bisa aku lakukan. Terkadang
aku memilih diam untuk urusan perbincangan yang tidak penting
itu. Namun, jangan salah, aku selalu menangkap beberapa butir
ide yang bisa aku tuangkan dalam sebuah tulisan. Aku selalu
menyelipkan tempat dan tanggal penulisan. Entah itu penting atau
tidak, suatu saat pasti berguna dan aku akan mengingat kapan dan
apa saja yang mereka bicarakan. Menurutku itu cukup menarik.”

“Seringkali orang tuaku hanya tersenyum kecil ketika aku


mulai menembak mereka dengan opiniku saat mereka membicarakan

47
Prajna Vita

bantahanku. Ibuku memang tak bisa menjawab, tetapi aku selalu


bisa mencari alasan pembelaan, sehingga orangtuaku tetap berpihak
padaku.”

“Semua tekad yang aku miliki berasal dari sana. Melalui


itu aku bisa yakin untuk fokus dalam dunia kepenulisan termasuk
jurnalis. Aku tidak pernah menyesal memilih jurusan komunikasi
sebagai jenjang kuliahku sekarang. Semua dukungan selalu aku
dapatkan dari orang tua.” Lalu, ia meneteskan satu gulir air mata.

Mengapa hanya satu gulir? Mengapa ia tak mengeluarkan


banyak air mata? Semua saja! Tidak apa-apa. Mengapa ia tidak
bisa begitu lepas dengan perasaannya? Apa ia masih belum
merasa nyaman denganku, sehingga ia tidak bisa melepaskan
semua perasaannya di depanku. Apakah aku saat itu sudah menjadi
pendengar yang baik? Kalau sudah pasti ia menangis dengan
lepas. Ia hanya meneteskan air mata sedikit. Berarti aku belum
bisa membuatnya nyaman. Mengapa aku tak bisa? Kita sudah
dekat. Harusnya ia sudah nyaman denganku! Apa yang bisa aku
lakukan agar ia nyaman denganku? Penuh perhatian dengannya!
Klise! Apa tak ada cara lain yang lebih unik? Cara yang berbeda!
Tindakan yang bisa aku lakukan dengan caraku sendiri? Ah,
pikirkan itu nanti sajalah.

“Mungkin hanya pena dan kertas yang bisa menghargai tanpa


sedikit pun menyela,” katanya setelah itu.

Apa maksudnya? Aku belum bisa menjadi apa yang ia


inginkan? Aku sudah mendengarkan ceritanya dengan seksama,

48
Monolog Kopi

tetapi ia masih menganggapku tidak lebih dari kertas dan penanya?!


Persetan. Aku sangat tidak mengerti jalan pikirannya.

Ingatanku tentangnya terhenti tiba-tiba karena pelanggan


pertama datang dan mendengar Vendra menawarkan menu.
Seketika itu ia berbalik dan memilih duduk di sampingku. Mulai
kembali sibuk dengan ponselnya.

Aroma khas parfum yang tidak pernah aku lupa. Tidak pernah
berubah dari pertama aku bertemu, wangi coklat lembut tidak jauh
berbeda dengan wangi sweetness kopi. Bukan parfum wanita pada
umumnya.

Aku ingat betul ia pernah mengibas-kibaskan tangan di depan


hidung ketika seorang pelanggan perempuan memasuki kedai
dengan pakaian rapih. Pelanggan itu pasti menggunakan parfum
mahal karena wanginya masih tertinggal meskipun sudah keluar
kedai.

Grey tidak pernah sibuk memilah-milah parfum. Ia tidak


pernah repot dengan alat-alat kecantikan. Bahkan, ia tidak pernah
direpotkan dengan pakaian yang akan dikenakan. Hanya kaos
oblong, dirangkap kemeja polos warna gelap dan tas selempang
hitam, kadang juga memakai tas punggung warna coklat ketika
harus membawa laptop atau banyak barang. Aku ingat betul, ia
tidak pernah mengganti warna untuk sepatu kets pilihannya, tetap
coklat. Kau akan mengganti sepatu itu ketika sudah tidak layak
pakai.

49
Prajna Vita

“Har?” Sapanya tiba-tiba. Sialan, membuat aku kaget dan


berhenti memperhatikannya. Aku menggumam tanpa membuka
mulutku. “Apa yang kau rasakan ketika mencicipi kopi?” Tanyanya
ketika tak ada balasan dariku.

“Hmmm,” aku berpikir sejenak. “Kaya Grey. Mungkin,


kompleks lebih tepatnya. Memang kopi mempunyai rasa seperti
itu,” lanjutku.

“Aku selalu sulit menemukan rasa-rasa di dalam kopi, Har.


Aku tidak bisa membedakan rasa-rasa khusus dari satu kopi ke
kopi lain. Sweetness, acidity, body, mouthfeel, flavor, after taste.
Itu semua tidak bisa aku identifikasi satu-satu, Har,” katanya
dengan menyebutkan karakteristik rasa kopi. “Meskipun aku kerap
kali mempelajari diagram rasa, tetapi praktiknya, berbeda, Har,”
lanjutnya. Kali ini dengan gerak tubuh menurunkan pundaknya.
Menandakan gerakan putus asa.

“Butuh kepekaan, konsentrasi, latihan, dan pengalaman


yang terus menerus. Cukup sulit memang Grey. Pelan-pelan saja,”
kataku. Hanya ada anggukan darinya.

“Berapa jenis kopi yang kau cicipi ketika meng-cupping?”


Tanyanya kemudian.

“Aku hanya sanggup menganalisis maksimal sepuluh jenis


kopi dari daerah yang berbeda-beda.”

“Tidak lupa dengan rasa semua itu?”

“Tidak. Lagi pula, ada form penilaian cupping yang bisa


50
Monolog Kopi

menjadi patokan agar tidak lupa. Kembali lagi Grey. Karna sudah
terlatih. Kau tahu? Aku sudah dihadapkan dengan aroma kopi yang
berbeda-beda dari kecil oleh ayahku,” kataku. Hanya gumaman
yang aku dengar darinya.

“Berapa tahun lagi kuliahmu selesai?” Tanyaku kemudian.

“Satu tahun lagi,”

“Melanjutkan ke mana setelah itu,”

“Tidak ada niat untuk melanjutkan. Gelar ahli madya sudah


cukup bagiku. Untungnya tidak memilih S1, bisa-bisa kepalaku
meledak dengan teori-teori yang membuatku tidak bisa tidur
setiap malam. Praktik lebih bisa membuat otakku menerima dan
mengerti. Kau tahu sendiri kan, otakku tidak bisa menerima banyak
pernyataan.”

Aku terpanah oleh kerutan dahi dan kerlingan matanya.


“Lagi pula, lama-lama aku kuliah, nanti sewaktu kerja, akan belajar
lagi dari nol. Ya, kurang lebih ilmu dari bangku kuliah hanya 30%
yang akan digunakan di dunia kerja. Jumlah segitu belum cukup,
pasti harus belajar lagi, meraba-raba lagi. Lelah saya Pak,” katanya
dengan senyum mengembang menghadapku.

“Kau tidak takut gelar akan menjadi kendala untuk


mendapatkan pekerjaan?”

“Jika aku bisa mengasilkan profit besar untuk perusahaan


dengan kemampuan yang aku miliki, apa itu menjadi perkara?
Mungkin sebagian perusahaan menganggap itu perkara, tetapi
51
Prajna Vita

bagiku tidak. Aku bisa independen dengan caraku sendiri. Satu


kuncinya, tekad!” Jawabnya tegas. Wanita memiliki tekad yang
kuat. Ternyata tidak semua wanita dapat dikatakan lemah.

“Ya. Memang hidup itu tidak pernah berjalan manis. Nikmati


saja jika kau pusing. Meskipun awalnya pahit, namun suatu saat
pasti akan manis. Sama seperti kopi. Tapi juga harus membutuhkan
usaha loh ya,” katanya sembari tersenyum dan menghadapku.

Benar. Kopi memang seperti kehidupan. Kepahitan


yang dialami pasti akan mendapatkan manisnya, tetapi tetap
tidak meninggalkan ingatan pada masa kepahitan itu. Aku mulai
mengerti. Hidup itu tidak akan selalu manis. Semua berawal dari
pahit. Duka cita. Diawali duka yang berarti pahit dan akan berakhir
cita yang berarti manis. Pepatah mengatakan bahwa berakit-rakit ke
hulu, berenang-renang ketepian. Bersakit-sakit dahulu besenang-
senang kemudian. Sama bukan artinya. Berpahit dulu kemudian
menemukan kemanisan.

Mengapa aku terlalu bodoh untuk mengetahui perasaan itu.


Mengibaratkan kopi dengan hal lain saja aku tidak bisa, padahal
kopi dan kehidupan sangat dekat denganku. Sebegitukah keras
perasaanku ini? Ah, melalui gadis yang ada di depanku sekarang,
aku bisa mengerti bagaimana harus bersyukur dan bagaimana harus
mengerti kehidupan. Hal yang selama ini aku ikuti, aku sendiri
tidak tahu apa filosofinya.

Apakah aku masih akan disebut sebagai pecinta kopi?


Penobatan sebagai coffee cupper itu hanya keberuntungan?

52
Monolog Kopi

Apakah aku masih berada di level penikmat kopi? Yang tahunya


hanya menikmati tok, tanpa tahu tujuannya apa?

***

53
Prajna Vita

Aroma 4
Seperti Labirin

Aku tak pernah berpikir bahwa kaca ternyata penipu. Terkadang,


melihat diriku berada di depan bayangan itu membuatku merasa
begitu sempurna. Akulah yang paling hebat. Melenggok dan
tersenyum pada bayangan sendiri. Kaca tidak pernah nyata. Hidup
dan takdirlah sebuah kenyataan.

“Aku tidak puas berkaca jika ukurannya kecil,” kataku ketika


Vendra menyuruhku untuk mengganti ukurannya yang lebih kecil
atau menutupnya dengan hordeng. Permintaan itu sudah terucap
dari mulutnya berkali-kali, tetapi aku masih belum juga melakukan
apa-apa.

“Kaca hanya akan membuatmu berkata kau paling hebat.


Berbeda jika kau tidak pernah melihat dirimu tetapi kau selalu
bersyukur dengan kehidupanmu,” ujar Vendra dengan sedikit
menaikkan nada bicaranya.

Lagi-lagi kehidupan. Jika sudah berbicara mengenai


kehidupan membuat aku harus meneguk bercangkir-cangkir
kopi. Menghaluskan perasaan agar mata hatiku kembali melihat
bagaimana kehidupan. Aku tak pernah salah bertemu Vendra.
Mengenalnya karena kopi. Kopi mengenalkanku pada kehidupan.
Kesadaran itu muncul karena mengenalmu dan kopi, Ve.

54
Monolog Kopi

Aku lekat mengamati sahabatku itu dari ruang depan. Ia


selalu berada di teras setiap senja tiba. Ia masih mendekatkan
hidungnya pada secangkir kopi untuk menunggu empat menit
setelah penyeduhan.

Vendra selalu bilang, bahwa kesalahan menikmati kopi ialah


ketika brand menjadi pilihan, bukan rasa. Ia memang tidak akan
pernah main-main soal kopi. Baginya bukan perkara ngopi dengan
siapa, tetapi perkara ngopi di mana. Bisa saja ia memperkarakan
hal seperti itu.

Ia tak pernah salah memilih kafe untuk menikmati kopi.


Selalu selektif dengan kedai-kedai baru. Menyusuri setiap ruangan
kedai yang dikunjungi. Meneliti setiap kopi-kopi yang disediakan.
Terkadang kau juga menanyakan di mana penyangraian biji
kopinya, karena proses roasting dan grinding9 secara langsung,
membuat kopi terasa lebih nikmat.

Aku mengingat obrolan kami dulu ketika Jakarta Coffee House


(JCH) sebagai kedai kunjungan rutin kami setiap Sabtu. Katanya,
JCH tempat yang tepat untuk menikmati kopi dengan benar karena
menyediakan kopi nusantara. Si Petung merupakan kopi yang
diambil dari tanah Jawa Barat dan hanya ada di JCH. Kedai kopi
yang berada di jalan Cipete Raya itu juga memiliki mesin roasting.
Pengunjung dapat langsung melihatnya ketika membuka pintu
kedai. Hal ini, pertanda kedai memiliki alat pemasakan sendiri.
Mereka akan me-roasting kopi-kopi yang memang dibutuhkan
dalam waktu dekat, sehingga karakter rasa kopi lebih kuat ketika
9. Menggiling biji kopi untuk diseduh. Alat gilingannya disebut grinder

55
Prajna Vita

diseduh. Di situlah kopi dapat dikatakan memiliki kenikmatan yang


sempurna.

Meskipun JCH menjadi kedai favoritnya, tetapi ia tidak pernah


berhenti mengeksplore pencicipan kopi di kedai lain yang tersebar
di Jakarta. Di JCH itu, aku mengingat bagaimana mengenalnya.
Bagaimana aku disadarkan olehnya mengenai kehidupan yang
ia ibaratkan dengan secangkir kopi. Aku ingat betul pendapatmu
tentang kopi dan kehidupan yang ia sampaikan padaku saat kami
menikmati kopi di sana.

“Apa kau pernah merasa kurang puas dengan apa yang sudah
kau dapatkan sekarang?” Katanya waktu itu,

“Pernah,” kataku sambil menggeser cangkir kopiku lebih


dekat. Aromanya makin tercium.

“Aku ingin mengibaratkan, Har,” ia berhenti sejenak, “Aku


punya banyak fariasi cangkir. Mulai dari yang polos hingga
gambar-gambar menarik. Jika aku menawarimu kopi dan kau bebas
memilih cangkir sendiri. Kau pilih cangkir yang seperti apa, Har?”
Ia mengangkat cangirnya dan menyeruput lagi.

“Pasti aku akan memilih cangkir yang aku suka Ve. Dengan
bentuk cangkir yang unik dan gambar menarik,”

Ia tersenyum. Selalu membuatku bertanya-tanya. Matanya


tertuju padaku. Tepat di depanku.

“Kau akan sibuk dengan pilihan cangkirmu? Ketika kopi


sudah ada di dalamnya, kau akan memandangi cangkir yang
56
Monolog Kopi

menurutmu cantik itu? Kau akan terus mengagumi kecantikan


cangkirnya? Kau lupa? Bahwa di dalamnya ada sesuatu yang tidak
sempurna? Sesuatu yang masih tetap pahit meskipun berusaha
dibuat sesempurna mungkin?” Ia semakin lekat memandangiku.

“Tapi ketika aku memilih cangkir yang cantik aku pasti akan
merasa senang. Bukannya kesenangan juga bisa membuat kita
sedikit melupakan kesusahan yang masih dihadapi, Ve?” Sangkalku.

“Sedikit kesenangan? Apa kau sadar? Kesenangan sementara


akan membuatmu lupa, Har. Kau akan lama berada di situ dan kau
lupa, kau lupa dengan kehidupan yang sebenarnya. Padahal itulah
yang perlu kau hadapi. Terkadang kesenangan sementara memang
terasa bahagia, maka setiap orang yang sudah berada di sana akan
takut keluar atau bahkan lupa dengan keadaan sebenarnya,”

Ia membuatku terdiam. Kemampuanku untuk menemukan


rasa kopi berkualitas memang sudah diakui oleh beberapa pihak,
pengecualian, belum dari ibuku.

Meskipun pengakuan sertifikasi itu membuat namaku


terangkat, tetapi mengapa aku masih bodoh jika dihadapkan
dengan pengibaratan mengenai kopi seperti ini!

“Menurutku, cangkir itu dunianya, Har dan kopi kehidupan.


Kau lama memilih cangkir yang paling indah, tetapi tetap saja kau
akan menemukan rasa pahit dalam kopi itu. Kau mengharapkan
dunia yang indah, tetapi ujungnya, tetap akan ada rasa pahit di
dalamnya, Har,” ia berhenti sejenak. Menyandarkan punggungnys

57
Prajna Vita

pada kursi. Kau selalu bisa membuatku terdiam untuk berpikir, Ve.

“Jangan terlalu mengharapkan dunia yang indah, Har, karena


kehidupanlah yang akan kau hadapi. Bersyukur jika kau mendapatkan
cangkir yang biasa dan jangan terlalu lama memilihnya. Ketika kau
mendapatkan cangkir yang biasa, maka yang akan kau perhatikan
ialah rasa kopi, bukan cangkir,” lanjutnya.

Benar. Ia selalu pandai jika sudah berhadapan dengan kopi.


Bisa sekali menyadarkan seseorang, termasuk aku. Pada saat
momen minum kopi, ia selalu menyelipkan sedikit obrolan yang
membuat otakku lebih berpikir.

Pengibaratan itu membuatku tersadar mengenai apa yang


sedang aku rasakan. Kemarin Grey sudah membuatku mengerti
bahwa hidup pasti ada pahit, sama seperti kopi. Sekarang aku
teringat, Vendra juga pernah memperkarakan kopi dengan
kehidupan.

Ah, mengapa aku begitu tidak mengetahui itu? Aku ini apa?
Mengenal kopi lebih dulu di antara mereka, tetapi aku tidak pernah
mengetahui makna lain yang dapat diambil.

Apa aku terlalu membanggakan kemampuanku sebagai coffee


cupper? Apa aku terlalu luput dengan kehebatanku sekarang?
Padahal mereka lebih bisa mengibaratkan dengan hal lain dan
mengambil setiap maknanya.

“Har,” aku nistagmus. Mataku langsung menuju ke sumber


suara yang menyebut namaku. Vendra sudah berada di depanku

58
Monolog Kopi

dengan pandangan bertanya. Tangannya memegang cangkir yang


aku tahu betul sudah kosong. Apa sebegitu lamanya aku mengenang
kembali obrolan kita yang tanpa ditemani kopi ini?

“Ngopi, Har,” katanya setelah tak ada jawaban dariku. Aku


hanya mengangguk. Ia melangkah masuk. Aku mengikutinya.

Bar pribadi ini menjadi dapur baristanya. Hampir penuh


dengan semua alat seduhan manual. Memang manual brewing
yang masih ditekuninya. Ia tidak hanya mengembangkan seduhan
di kedai tempatnya bekerja, tetapi juga membuat berbagai seduhan
di bar ini. Ketika ada kopi jenis baru, terkadang aku luput meng-
cupping, sedangkan dia luput menyesuaikan karakter rasa yang
dituju dalam seduhannya.

Bar ini bisa saja sunyi ketika ada dua manusia yang sama-
sama luput dengan dunianya. Aku sibuk mencari biji kopi apa yang
ingin aku giling, ia sibuk dengan rasio10 seduhan yang tepat untuk
menghasilkan rasa yang nikmat.

Ia memberikan padaku ketika seduhannya selesai. Meminta


pendapatku bagaimana rasa yang dihasilkan dari tangannya. Aku
tidak pernah menemukan keanehan pada seduhannya. Selalu
sempurna. Aku lupa. Tidak ada kopi yang sempurna karena rasa
pahit di dalamnya tidak akan pernah hilang.

Kali ini Vendra yang menawarkan diri untuk membuat dua


10 Dalam dunia kopi, rasio berarti menentukan ketepatan skala pe-
nyeduhan, mulai dari temperatur suhu air panas, berat kopi yang
digunakan, dan waktu seduhan. Menentukan rasio tidak sembarangan,
karena bertujuan untuk mendapatkan rasa yang tepat.

59
Prajna Vita

cangkir kopi. Mencoba specialty coffee yang ia dapat dari tanah


Jawa tiga hari lalu membuat kami menikmati kekuatan rasa herbal
dan aroma tanah. Kopi Owa Jawa ini memang masih dalam proses
pengujiannya, akan dapat diterima oleh masyarakat atau tidak.

Aku merasa beruntung dapat menikmati senja kali ini.


Biasanya Vendra memanfaatkan senja untuk sendiri, tetapi kali
ini bersamaku. Terkadang aku rindu waktu bersamanya dengan
obrolan hangat. Ia tidak akan pernah berhenti menciptakan cerita.

Kadang keluhan dari mulutnya meluncur ketika ia


menghabiskan senja di kedai. Senja baginya amat berarti. Jangan
pernah salahkan dia ketika senja, karena ia akan lupa dunia sekitar,
ia akan sibuk dengan dunianya sendiri.

Ia mampu membuat pikirannya menembus setiap celah-celah


kehidupan dan terkadang menemukan gebrakan baru. Sebuah karya
seni tangan akan tercipta satu demi satu. Kopi, buku, dan pena tidak
pernah lepas ketika menikmati kesendirinnya.

Kopi menjadi temannya. Ia tidak pernah meracik kopi jenis


yang sama dalam sehari. Satu demi satu stoples berisi biji kopi dari
berbagai daerah pasti akan habis pada hari yang sama. Ia tak pernah
terpacu pada satu kopi saja. Ia akan mengambil biji-biji itu dimulai
dari stoples sebelah kanan dan berakhir pada stoples sebelah kiri.

Melihatnya duduk dan sibuk memilih biji-biji kopi


berkualitas, terlihat benar-benar memilih kesempurnaan. Ia bilang,
pemilihan biji kopi terbaik sama saja cara menyempatkan waktu

60
Monolog Kopi

untuk menelaah rencana hidup agar lebih matang. Memilih apa


yang lebih baik dilakukan dan waktu di mana kita perlu mensortir
semua apa yang akan dijalani kemudian hari.

Selalu ia samakan kopi dengan kehidupan. Ia tak pernah


menganggap kopi minuman yang sama sekali tidak mempunyai
arti. Bahkan kopi yang terlalu lama yang memunculkan aroma
tengik juga akan ia samakan dengan kehidupan yang terasa tidak
enak jika hanya disimpan.

Kembali aku melihat ia sibuk mengamati aroma kopi


seduhannya sendiri dan menunggu empat menit. Waktu ideal untuk
melakukan seruputan pertama. Setelah beberapa kali ia melihat
jam, ia menyeruputnya. Terdengar seruputan keras dan suara itulah
yang aku suka.

Beberapa kali ia menyeruput dan menahannya di mulut. Ada


ekspresi tidak biasa tampak dari mimik wajahnya.

“Har, kau tidak ingin mengatakan sesuatu tentang kopi ini?”


Tanyanya setelah aku sudah melakukan lima tegukan pertama.

“Kenapa?” Tanyaku ketika melihatnya masih terus mengamati


aroma dan rasanya, padahal sudah habis setengah cangkir.

“Ada satu yang aneh. Seperti ada rasa berbeda yang membuat
rasanya tidak sempurna,” katanya. Aku mengerutkan mata tidak
tahu.

“Seperti ada biji kopi tidak sempurna yang ikut tergiling.

61
Prajna Vita

Apa kau merasakan ada rasa aneh di dalamnya?” Tanyanya sambil


menjauhkan cangkir itu dari hidung dan kembali menatapku untuk
mendengar jawabanku.

Aku melakukan pengecapan kembali dengan menahan cairan


itu lebih lama di mulut. Padahal kopiku sudah tinggal setengah
cangkir, tetapi tidak menemukan rasa aneh. Tetap sempurna.

“Tunggu. Tunggu. Apa aku salah penyeduhan?” Ujarnya


dengan sedikit kepanikan.

Aku mencobanya untuk kedua kali, tetap masih belum aku


temukan. Tiga kali dan pada keempat kali aku menemukan rasa
berbeda. Rasa ketidaksempurnaan dari sebuah specialty coffee kali
ini.

“Tidak. Bukan salah penyeduhanmu. Aku menemukannya.


Betul, ada biji yang cacat,” ujarku cepat setelah aku menyadarinya.

Ada kecacatan di biji kopi kali ini. Meskipun hanya satu biji
tidak sempurna terselip dan ikut tergiling pun pasti pengaruh besar
terhadap kesempurnaan rasa kopinya akan terasa. Ah, bagaimana
kali ini aku sulit menemukannya? “Kenapa aku bisa tidak sadar,”
lanjutku.

“Apa yang sedang kau pikirkan?”

“Tidak ada,” kataku. Padahal aku masih memikirkan


bagaimana aku selama ini tidak mengerti dengan persamaan kopi
dan kehidupan. Aku seperti tidak berhak mendapatkan kepercayaan

62
Monolog Kopi

untuk coffee cupping. Nyatanya, untuk menemukan kopi yang


berkualitas baik melebihi kopi temuan ibuku saja aku belum bisa.
Lalu gelar itu untuk apa? Keberuntungan saja?

“Tidak mungkin pikiranmu tidak kalut kalau kau tidak bisa


menemukan kecacatan ini, Har,”

Ia seperti mengerti apa yang masih pelik di otakku.

“Tidak ada,” kataku, ia menarik napas panjang dan berhenti


menatapku menunggu jawaban, “kalau begitu kau blend11 saja agar
tidak begitu terasa kecacatannya,” lanjutku.

“Ya, tapi tidak biasanya kau lama menemukan kecacatan kopi.


Apa lagi specialty seperti ini. Kau selalu menjadi orang pertama
yang langsung tahu kalau ada rasa aneh di dalamnya,” katanya
masih dengan nada curiga. Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku hanya
mengangkat kedua pundakku tanda aku tidak mengetahui apa yang
sedang aku rasakan.

***

Apakah salah jika menyalahkan diri sendiri? Tetapi aku


tidak bisa berbohong. Aku ini apa? Seorang pencinta kopi atau
sekadar penikmat kopi seperti orang kebanyakan? Mengetahui
kecatatan biji terselip saja aku tidak bisa.

Lalu untuk apa lagi kakiku berjalan menuju Kopnat?


Kopnat sudah menjadi tempat kedua melatih kemampuanku setelah
11. Kopi yang dicampur dengan susu, mocha, coklat, atau lainnya, sep-
erti cappuccino, Caffee latte, Flat White, dsb.

63
Prajna Vita

di kebun kopi langsung. Kedai yang sudah aku besarkan karena


kemampuanku menemukan kopi terbaik, lalu menjadi kopi-kopi
andalan Kopnat. Ini waktuku untuk mendapatkan kopi berbeda
karena kedai sudah membutuhkan perubahan menu kopi. Kedai
memang memiliki perencanaan bisnis dengan pergantian jenis kopi
dari daerah berbeda tiga bulan sekali.

Apa aku masih akan diterima di sana jika tidak lagi dapat
menemukan kopi terbaik? Apakah kedai itu akan mati suri karena
ulahku nanti?

Aroma kopi tercium kuat di balik dapur bar setelah aku


memasuki pintu kedai. Kurang lebih tiga puluh menit kemudian
kopi racikan tangan Vendra sudah mendarat di depanku. Bali
Kintamani dengan manual brew menggunakan french press menjadi
permintaanku.

Alunan musik jazz membuat kedai terasa lebih damai.


Cocok sebagai background para pencinta kopi untuk melakukan
pencicipan bagaimana citarasa khas kopi pilihan mereka.

“Semakin ramai saja, kan?” Kata Vendra yang tiba-tiba


sudah di depanku. Aku mengangguk sambil mengerutkan alis. Aku
melihat kelelahan di sana. Matanya begitu sayu dan tampak lingkar
hitam di bawahnya.

Aku tahu kau tidak tidur untuk meracik berbagai resep baru
untuk menemukan rasa yang berbeda yang bisa menentukan selera
penikmat. Aku tahu kau selalu menghabiskan kertas bindermu

64
Monolog Kopi

untuk mencorat-coret resep, ketika salah kau akan meremas dan


membuangnya. Namun, aku pernah melihatmu kembali memungut
kertas yang sudah dibuang itu dan menelaah kembali angka-angka
di dalamnya dan memadukan dengan resep baru.

Kau selalu menjadikan malam sebagai siang dan siang tetap


saja menjadi siangmu. ‘Selamat Pagi, Malam’, itulah yang selalu
kau gumamkan. Ketika matamu belum juga bisa terpejam pada
pagi dini hari.

Apa tubuhmu tidak rapuh? Meskipun kau begitu lelah, tetapi


kau terlihat tak pernah mengantuk sedikit pun. Namun, jika sudah
tidur, jangan tanyakan lagi bagaimana cara membangunkannya.
Kau selalu bangun pada jam yang sudah ditentukan dan kembali
melakukan apa yang ingin kau lakukan ketika sudah bangun.

Tiga jam, dua jam, atau bahkan satu jam kau bisa tidur dalam
sehari. Kau tak pernah takut sakit, mungkin mati saja kau tak pernah
takut.

“Sudah aku tuliskan semua rencana dalam hidupku dan


apa pengabdianku pada orang lain jika aku sukses nanti. Aku
yakin pengabdianku kepada masyarakat yang akan pertama kali
terceklis,” katanya kala itu, ketika kopi seruput demi seruput mulai
memasukki otak-otak kami.

“Boleh saja kau mati lebih cepat, tetapi tulislah lebih lebih
cepat lagi. Ragamu tidak ada ketika kau sudah mati, tetapi jiwamu
masih tetap abadi pada satiap tulisan-tulisan itu. Gagasanmu masih

65
Prajna Vita

tetap abadi, semua ceritamu akan tetap tersimpan. Tulisanmu itu tak
akan pernah mati meskipun kau mati. Bahkan jiwamu akan terbawa
di dalam tulisan tersebut dan melekat pada orang yang menyimpan
semua berkas-berkasmu.” Katanya lagi.

Aku tahu, kau berbicara seperti itu pada tegukan ke sepuluh


dari kopi yang kau minum. Tegukan pertama kau akan menahannya
dan menganalisis karakter rasa apa yang ada. Tegukan kedua hingga
kelima kau akan merenung bahwa hidupmu berbeda. Tegukan
keenam hingga kedelapan kau akan mengingat masa lalumu
yang manis dan pahit. Meskipun kau selalu mengingat masa lalu
sesering meminum kopi, tetapi semua itu tetap terasa baru katamu.
Lalu tegukan kesembilan kau akan memikirkan masa depan dan
tujuanmu. Lalu pada tegukan kesepuluh kau akan kembali pada
waktu sekarang dan mulai berbicara mengenai kemungkinan untuk
masa depan.

Sungguh begitu istimewa sebuah minuman pahit yang tidak


semua orang dapat menemukan keistimewaannya. Aku begitu
beruntung dapat menjadi satu bagian dari mereka pecandu kopi
dan peracik kopi. Namun, memang membutuhkan perasaan yang
sangat peka untuk bisa menemukan kekhasan lain yang dapat
menghipnotis para peminumnya.

“Sudah kau temukan lagi jenis kopi terbaik? Dua minggu


lagi kedai membutuhkan brand dengan singel origin yang berbeda
untuk menu kopi bulan depan, Har,” ujarnya setelah aku belum
juga mengeluarkan suara.

66
Monolog Kopi

“Aku ragu Ve,” kataku tanpa ancang-ancang melihat mata


lawan bicaraku ini. Vendra langsung menghentikan kesibukannya
memainkan sendok di atas permukaan kopi.

“Aku takut tidak menemukan tiga singel origin dari daerah


berbeda dengan kualitas terbaik.”

“Bukan biasanya kau, Har.”

Aku diam. Aku tidak berani menatap mata Vendra yang


sepertinya mengamati apa yang sedang aku rasakan akhir-akhir ini.

“Tempat ini sudah menjadi kedai berbeda karena


karakteristiknya yang khas, Har. Ini semua berkat kau. Kau yang
berani menentukan misi kedai agar tidak bisa dikunjungi oleh social
drinker12. Kau berani menentukan menu kopi nusantara. Tiga singel
origin dari daerah yang berbeda untuk tiga bulan. Kemampuan
coffee tasting13-mu membuat Pak Surya berani mengeluarkan
modal banyak. Kau sudah menjadi bagiannya, Har,” lanjutnya.

Aku menatap matanya yang semakin sayu tetapi masih tetap


memiliki semangat untuk membuat para penikmat kopi merasa
bahagia.

“Kali ini aku ingin mendapatkan singel origin dari Jogja lagi.
Semenjak meletusnya gunung merapi dan paceklik yang panjang,
sampai sekarang tidak ada kabar dari ayahku tentang kondisi kopi
12. Orang yang datang ke coffee shop hanya untuk nongkrong, bukan
untuk mengenali dan mencicipi kopi-kopi yang disediakan di kedai
tersebut.
13. Proses mengetes citarasa kopi.

67
Prajna Vita

di sana. Aku ingin melihat sendiri. Sekalian menengoknya, Har,”

“Kapan kau berangkat?”

“Minggu depan.”

Aku tak pernah tahu akan menjadi pemilih kopi terbaik.


Melalui aroma itu aku melihat penikmat kopi akan terdiam dan
mulai memikirkan rasa apa yang dihasilkan.

Aku selalu merasa bahwa aku menjadi seseorang yang paling


bahagia ketika aku mulai berkutik dengan dunia kopi. Aromanya
membuat saraf otakku menjadi lebih kuat. Semua apa yang menjadi
targetku terlihat tepat di depanku.

Benar, kopi memiliki karakteristik hebat yang mampu


membuat seseorang memikirkan berbagai jenis pemikiran.
Berbagai jenis teka-teki hidup yang sedang dijalankan atau terka-
terka bagaimana akhirnya.

Tepat seperti labirin. Aku tak pernah tahu jalan mana yang
tertutup dan jalan terbuka mana yang perlu aku cari. Kekuatan itu
mampu lebih kuat ketika aroma kopi merambati otak dan mulai
masuk pada hati.

Pada saat itulah aku mulai mempunyai impian bahwa aku ingin
menciptakan sesuatu yang berbeda dari setiap kopi. Menghasilkan
kopi-kopi terbaik yang mempunyai karakteristik berbeda. Membuat
mereka merasa bahagia ketika meneguknya. Membuat mereka tidak
mau beranjak dari cangkir yang membuatnya mampu membuka
pikiran mereka pada jalan yang lebih mempunyai tujuan.
68
Monolog Kopi

Aku bukan peramu kopi hebat seperti barista tetapi aku ingin
terus menjadi seseorang dibalik barista. Aku bukan ingin menjadi
barista karena aku tidak pandai merayu. Namun, aku mempunyai
impian yang tidak kalah dengan barista. Aku ingin menciptakan
kopi dengan rasa yang hebat. Menemukan kopi-kopi terbaik untuk
aku aplikasikan kepada para barista agar mereka meracik dan
menyuguhkannya kepada pecinta kopi. Aku ingin bahagia ketika
melihat mereka merasa bahagia dengan kopi tersebut. Dan, satu
hal yang perlu aku lakukan. Kemampuan roasting dan kemampuan
Q-Grader sudah menjadi bekalku.

***

69
Prajna Vita

Aroma 5
Aku!

Suara sirine keberangkatan kereta api progo jurusan Pasar Senen


– Lempuyangan membuatku menggeser posisi duduk. Aku sudah
menunggu selama lima belas menit. Deru suara mesin kereta
terdengar dibarengi dengan pergerakan posisi tubuh yang aku
rasakan. Sinar matahari senja tak lagi menembus kaca jendela.
Sudah mulai petang dan inilah yang aku nantikan. Aku menyukai
perjalanan malam karena mampu membuat imajinasiku meliar.

Vendra tidak pernah membantah jika aku memilih jam malam


ketika kami akan pergi ke luar kota. Kami sama-sama menyukainya.
Kami akan diam mengamati setiap perjalanan tanpa mengobrol
panjang. Sama-sama terjaga dan sama-sama sibuk dengan imajinasi
masing-masing.

Menunggu aroma-aroma yang lewat dibawa oleh angin.


Menganalisis atau bahkan menebak-nebak aroma seperti apa. Hal
itulah yang membuatku bisa menghafal setiap aroma yang aku
terima. Membayangkan rasa apa yang akan muncul selanjutnya.
Sungguh kesibukan yang menurutku sendiri sangatlah aneh.

Sial! aku tidak pandai bersyair ataupun menulis prosa singkat,


apalagi untuk berpuisi. Beruntung sekali mereka yang pandai
mengabadikan semua perasaan ke dalam tulisan indah. Meskipun
meliuk-liuk tetapi aku akui itu sangat indah. Terkadang aku ingin

70
Monolog Kopi

seperti mereka, tetapi aku tidak sanggup merangkai kata-kata yang


ada dalam otak dan imajinasiku. Apa penulis itu sudah mempunyai
bakat menulis sejak lahir? Katanya, menulis bukan bakat tetapi
kemampuan, jadi semua orang bisa melakukannya. Eh, bukan
katanya, tapi aku pernah membaca di salah satu buku. Entah buku
apa, aku lupa. Kalau menulis itu kemampuan berarti sama dengan
pisau ya? Harus diasah terus menerus. Tapi membutuhkan waktu
lama. Aku selalu tidak sabar menunggu waktu. Waktu itu sebuah
proses! Aku tahu! Tapi kalau prosesnya masih itu-itu saja? Usaha
agar berkembang! Niatan usaha itu yang kadang-kadang terasa
malas.

Bagaimana aku bisa dikenang orang jika mengabadikan


sesuatu saja aku sama sekali tak pernah bisa. Sebenarnya banyak
sekali yang ingin aku ungkapkan, terkadang aku bingung dan marah
kepada diri sendiri bagaimana cara menyampaikannya.

Terkadang aku ingin mengubah pengalaman perjalanan


menjadi paragraf narasi. Setidaknya aku bisa menghasilkan satu
baris kalimat indah. Hanya beberapa kata juga tak apalah. Namun,
ketika pena dan kertas sudah berada di depanku, tetap saja untuk
menulis satu kata pun aku tidak mampu.

Tanpa aku sadari kereta telah tiba di Stasiun Lempuyangan.


Aku tidak terlelap sama sekali. Pemandangan lampu tengah malam
seperti membawaku entah pergi ke mana. Perjalanan selama
sembilan jam yang menyusuri malam tanah Jawa Tengah, serasa
satu jam aku bersama kopi.

71
Prajna Vita

Jogja serasa dingin. Udaranya sedikit lebih segar dari


Jakarta. Aku memilih menunggu pagi di stasiun. Tidak mungkin
melanjutkan perjalanan ke Desa Petung pada pukul tiga pagi dini
hari seperti ini. Apalagi harus melewati Kabupaten Sleman hingga
Cangkringan. Menyusuri jalanan Kaliurang yang sepi karena masih
banyak perkebunan dan hutan. Merasakan dinginnya suhu lereng
Merapi. Paling tidak, setelah azan subuh aku baru bisa keluar
stasiun.

Setelah azan subuh berkumandang aku keluar stasiun dan


memilih ojek untuk mengantarku sampai ke rumah. Tidak berubah,
Jogja masih saja banyak lalu lalang treveler dari berbagai negara.
Mereka pasti baru saja keluar bar untuk kembali ke penginapan dan
akan mengelilingi objek wisata Jogja pada jam dua siang nanti.

“Loh. Muleh toh koe, Ndung? Sekolah duwur-duwur arep


tetap dadi petani? Arep melu bapakmu to? Rak ono seng sugeh
petani kopi ki14,” ujar budhe dengan bahasa jawa kentalnya ketika
aku sudah sampai di depan rumah.

Tanpa jawaban. Hanya senyum sapaan yang aku lontarkan.


Aku memasuki rumah yang pintunya sudah terbuka. Aku melihat
ayah berjalan dari dapur. Aku segera menyodorkan tangan untuk
menyalaminya. Sangat terasa kerutan di kulit tangan dan beberapa
ototnya terlihat. Sudah berapa puluh tahun umurmu?

“Mau minum teh hangat?” katanya setelah salamanku


14. Loh, pulang ya kamu, Nak? Sekolah tinggi-tinggi mau jadi petani?
Mau seperti bapakmu? Petani itu tidak ada yang kaya.

72
Monolog Kopi

terlepas.

“Tidak usah. Aku mau tidur dulu,” kataku dan segera


memasuki kamar.

Tidak bisa tertidur. Mataku terpejam tetapi tidak mampu


terlelap. Matahari semakin memanas dan aku tidak sabar ingin
melihat kebun kopi yang sekarang tidak lagi menjadi milik ayahku.

Menjadi seorang petani kopi memang jalan terakhir


pilihannya agar tetap berada di dunia yang sama. Semua kebun
habis dijualnya hanya untuk membiayaiku agar bisa menyelesaikan
perkuliahan sebagai ahli pertanian. Maafkan aku karena aku belum
bisa mengembalikan semua itu. Namun, kesejahteraan orang-
orang sepertimu akan selalu menjadi tujuanku.

***

Rasanya berbeda ketika memasuki kebun yang tidak lagi milik


keluargaku. Aku tak lagi bebas melakukan percobaan penanaman
untuk menghasilkan kopi yang sempurna.

Dulu pengetahuanku mengenai penanaman masih sangat


kurang tetapi aku bisa melakukan percobaan sendiri secara
otodidak. Sekarang, pengetahuanku jauh lebih banyak, tetapi tidak
lagi bisa melakukan penanaman sendiri.

Lalu sebenarnya untuk apa ini semua? Apa mungkin ini


yang dikatakan sebagai pengorbanan? Harus ada satu hal yang
dikorbankan? Menyakitkan memang.

73
Prajna Vita

Tiba-tiba aku dikagetkan dengan kemunculan Pak Ari,


pemilik kebun kopi yang sekarang. Ia tersenyum melihatku. Dalam
waktu satu setengah tahun ini aku memang belum menginjak
kampung halaman, namun aku tetap berkelana ke kota-kota lain
untuk menyelesaikan pekerjaan sekaligus mengunjungi kebun kopi
di daerah-daerah itu.

“Sudah lama kau di rumah, Har?” Tanyanya kemudian.

“Datang tadi pagi, Pak,” kataku, “Bagaimana perkebunannya


Pak? Saya ingin mengambil kopi dari sini lagi, tapi ayah menyuruh
saya datang langsung dan melihat keadaannya. Jadi, saya pulang
sekaligus menengok keadaan ayah. Banyak pelanggan yang
menanyakan singel origin Petung. Bulan ini kedai akan merubah
menu kopi dan saya rencananya akan mengambil kopi arabika
petung lagi,” kataku tanpa tedeng aling-aling.

Ia berjalan menyusuri pohon-pohon kopi lain, aku


mengikutinya, “Dampak meletusnya Gunung Merapi yang
mengakibatkan hancurnya kebun sudah selesai. Namun, Har, satu
tahun lalu tanah ini bermasalah. Akibat musim kemarau panjang.
Meski ketinggiannya lebih dari 900 Mdpl, tetap saja masih
kekurangan kadar air. Ditambah lagi serangan hama nematoda15
yang terus menerus. Pemetikan buah kopi hijau tentu saja hasilnya
kurang memuaskan dibanding pemetikan buah merah, Har. Masa-
masa paceklik ini membuat hasil kopi tidak pernah berkualitas baik
lagi. Aku juga bingung bagaimana membuat kopi ini masih tetap
15 Serangan hama pada bagian akar di tanaman kopi. Nematoda meny-
erang tanaman secara perlahan-lahan dan tanaman hanya bisa hidup
dalam waktu 2 tahun.
74
Monolog Kopi

sama seperti dulu. Aku dan ayahmu sudah melakukan beberapa


kali percobaan. Memperbaiki bibitnya, mencoba penanaman klonil
dengan setek dari pengambilan contoh dari beberapa varietes16,
mengganti jenis pupuk, hingga mengotak-atik proses roasting-
nya, tapi tetap saja tidak pernah berhasil,” ia berhenti sejenak,
membalikkan badan untuk melihatku yang berdiri di belakangnya.

“Aku tidak bisa memberikan kepastian kopi ini dapat kembali


dengan rasa yang sama. Itu sulit. Kualitas tanah di sini berubah, hama
juga tidak kunjung bisa diatasi. Komoditas produksi kopi menjadi
berkurang karena permintaan konsumen menurun,” ia menatap
kosong, “Meskipun penikmat kopi akan mengatakan kopi Petung
di sini tetap enak, tetapi ketika disandingkan dengan singel origin
dari tempat lainnya pasti akan jauh di bawah perbandingannya.
Para peminum kopi mungkin tidak begitu bermasalah, tetapi tetap
saja itu bukan tujuan kami, tujuan aku dan ayahmu,” ia diam dan
menatap tajam satu objek. Aku tahu ia sedikit pusing dengan
kualitas kopi yang menurun drastis.

Bukan masalah profitnya menjadi menurun, tetapi tujuan


mereka untuk menghasilkan singel origin terbaik tidak tercapai.
Hal itu menjadi salah satu perkara untuk ayahku. Menjadi seorang
petani kopi berbeda dengan pemiliknya. Seorang petani kopi harus
benar-benar selektif untuk menghasilkan biji kopi yang berkualitas.
Hal itu agar para pemilik kedai tertarik membeli biji kopinya.
16. Jenis biji kopi atau merujuk pada subspesies kopi. Varietes ada tiga
macam, yaitu robusta, arabika, dan campuran. Dari tiga jenis tersebut
nantinya terdiri dari varietes lainnya, tergantung karakteristik kopi yang
dihasilkan dari suatu daerah.

75
Prajna Vita

Untungnya, ayah dan Pak Ari masuk dalam kelompok petani kopi
binaan. Jadi, mereka tahu apa yang perlu dilakukan.

“Pak. Apa boleh saya mencoba ikut menelitinya? Semoga


aku bisa membuat kopi ini kembali seperti semula.”

Ia mengangguk sambil memancarkan senyum penuh harap.

***

Aku mencoba untuk meminum arabika Petung yang baru


saja aku ambil dari Pak Ari. Ia masih menggunakan penyangraian
manual, dimasak dengan alat seadanya. Meskipun demikian,
kemampuan sangrainya itu sudah diakui betul hebatnya. Jadi,
jarang ada masalah besar dari rasa kopinya. Kecuali, benar-benar
bermasalah dari penanamannya, seperti sekarang ini. Ada rasa
aneh yang di dalam kopi yang aku nikmati sekarang. Bagiku, maaf,
ini tidak enak. Aku masih memikirkan kandungan zat apa yang
memasuki buah-buah kopinya.

Ketika aku masih menikmati kopi di dapur dan mulai


menyeruputnya, ponselku berbunyi. Seketika aku teringat pada
Vendra. Aku langsung menelan kopi yang sudah menggenang
di mulut, momen pencecapan itu lewat begitu saja setelah aku
mengangkat telepon.

“Apa kau sudah menemukan kopi yang paling enak?”


Suaranya lantang di ujung sana. Perasaanku tak pernah salah pada
saat kapan ia akan menghubungiku. Pasti pada saat aku sedang
menikmati kopi yang belum aku rasakan awalnya.

76
Monolog Kopi

“Berbeda. Sepertinya tidak cocok menjadi menu pergantian


bulan ini. Aku masih mencari tahu bagaimana mengatasi hama
yang membuat arabika Petung ini tidak enak seperti dulu lagi. Aku
akan mencoba dengan sistem penanaman baru. Entah itu melalui
bibit ataupun klonil. Masih membutuhkan waktu lama untuk
membuktikan kopi tersebut dapat kembali pada rasa awal atau
justru lebih tinggi. Sabarlah dulu. Apa ada masalah di kedai? Pak
Surya tidak memintaku untuk cepat-cepat menemukan kopi yang
enak, kan?”

“Tidak ada. Dia masih mengurus kopi-kopi baru yang datang


dan menganalisis jenis kopi yang ia temui. Hanya saja aku tidak
bisa berdiskusi mengenai kopi-kopi baru itu. Ada beberapa kopi
jenis baru. Aku membutuhkan diskusi denganmu untuk menentukan
kopi mana yang tepat.”

“Pasti kau bisa melakukannya tanpaku.”

Obrolan kami berhenti ketika pintu rumah terdengar ketokan


dari seseorang. Aku segera menutup obrolan dan melangkah
menuju pintu, sebelumnya aku menyeruput kembali kopi yang
temperaturnya sudah mulai menurun. Masih berkumur di mulutku,
aku mencoba mendeteksi rasanya sambil berjalan mendekati pintu.
Aku menelannya ketika pintu mulai aku buka.

Aku kehilangan deteksi rasa yang baru saja akan terekam


dalam otak ketika melihat Grey yang datang. Penampilannya tetap
sama, setelan kemeja lengan panjang yang selalu ia lipat dengan
satu lipatan menjadi ciri khas gayanya.

77
Prajna Vita

Sialan, kebiasaan itu hampir sama dengan Vendra yang selalu


mengelin lengan ketika memakai kemeja lengan panjang. Apabila
memakai kaos, pasti akan memilih lengan yang sedikit mendekati
siku dan mengelinnya dua lipatan. Persis seperti kebiasaan Grey.

“Kau pulang tidak bilang-bilang,” katanya kemudian.

“Kau datang tidak bilang-bilang,” kataku. Ah, kenapa aku


mengucapkan pernyataan yang sama persis. Kasus seperti ini kerap
kali terjadi antara aku dengannya tanpa disadari.

“Kata Ve kau menjenguk ayahmu. Sepupuku meminta aku


datang di hari pernikahannya besok lusa. Kebetulan aku ada waktu
empat hari kosong. Aku iyakan untuk hadir di acara pernikahannya,”

“Kau biasa bertemu denganku di Jakarta. Kenapa kau ke sini?


Jarak rumahmu ke sini jauh bukan?”

“Aku ingin melihat kau mengamati kopi-kopi di sini,” katanya


dengan menaikkan alis pasti.

“Bukannya kau juga bisa melihatku mengamati kopi di


Jakarta?”

“Berbeda, Har. Di sini aku bisa melihat ke kebunnya


langsung.”

“Aku melakukan penanaman dari awal Grey. Semuanya


berbeda. Sudah tidak seperti dulu lagi. Mungkin juga aku akan
sedikit lebih lama di sini agar menemukan rasa yang tepat untuk
aku bawa lagi ke Jakarta,” kataku datar. Ia melihatku tak berkedip,

78
Monolog Kopi

mungkin memerhatikan perasaanku. Obrolan kami berlanjut di


teras dengan dua cangkir kopi arabika Petung dari Pak Ari yang
memang masih aku nikmati sebelum ia datang.

Aku menceritakan detail kecacatan rasa itu. Sepertinya


ia mengerti apa yang aku bicarakan meskipun tidak begitu
menanggapi dengan pemahaman yang tinggi. Aku memang
merasakan adanya rasa yang berbeda. Catatan rasa pada saat
cupping sebelum melalui roasting dengan sesudah di-roasting dan
diseduh ada banyak perbedaannya. Menurutku, itu semua memang
salah pada penanamannya. Faktor utamanya ialah hama nematoda
yang sekarang masih belum bisa dihentikan.

Obrolan kami tak kunjung berhenti satu jam dua jam.


Mungkin sudah tiga jam lebih dengan dua cangir bekas kopi hasil
diskusi yang tergeletak di meja. Bukan sebatas kopi, tetapi ia juga
menceritakan alasannya menyukai kopi.

“Tadinya aku selalu lemas setelah meminum kopi, tetapi


perlahan hilang setelah menjadi rutinitas. Rutinitas itu juga
menjadi teman tengah malam untuk menggali banyak inspirasi
yang mambuatku kesetanan sepanjang malam. Kalau bukan kopi
siapa lagi yang bisa menemani untuk menggerakkan jari-jariku
membentuk beragam desain,” ia berhenti sejenak, “Tapi, sekarang
aku merasakan. Ternyata salah kalau aku berpersepsi kopi bisa
menahan kantuk. Itu hanya sugesti saja. Aku sudah merasakan
kebenarannya. Jujur, aku mencandunya bukan untuk menahan
kantuk saja, tetapi aku mencandunya karena rindu, Har.”

79
Prajna Vita

Aku terdiam sejenak. Mencerna setiap perkataannya.


Aku mengangguk setelah itu. Satu kalimat sederhana mampu
membenarkan segalanya.

***

Aku merindukan saat-saat seperti ini. Memilah-milah kopi


dengan teliti. Menentukan bibit-bibit kopi yang pas untuk ditanam.
Menghitung hari yang tepat untuk melakukan setek. Menentukan
waktu panen berdasarkan perkiraan musim, dan beragam cara-cara
lain untuk menciptakan hasil perkebunan berkualitas tinggi serta
mempunyai nilai jual yang mahal.

Grey sudah datang satu jam lebih awal sebelum aku mulai
tiba di kebun. Duduk di bawah pohon untuk menghindari terpaan
sinar matahari. Jam delapan matahari sudah mulai menyengat, tidak
heran untuk seorang gadis Jakarta pasti membutuhkan tempat agar
matahari tidak menerpanya secara langsung. Namun, suhu dingin
di sini tentu tak akan jadi masalah besar meski terik matahari tetap
ada.

Tangannya berkutik tak henti mengerakkan pena pada buku


yang berada di pangkuannya. Rambutnya sesekali bergerak helai
demi helai karena angin pagi yang masih ringan. Ketika tangannya
menghentikan gerak penanya, ia beberapa detik melihat ke depan,
terpaku dan kembali lagi terfokus pada pergerakan pena hitamnya.
Kali ini ia tampak sederhana, hanya mengenakan kaos oblong
dengan perpaduan celana jeans hitam dan sepatu kets converse-nya
yang semakin dekil.

80
Monolog Kopi

Ia segera menutup buku itu ketika melihatku berada di


depannya. Ia membiarkan penanya terselip di dalam buku kemudian
berdiri.

“Kenapa datang sepagi ini? Tidak ke rumah saja tadi,”

“Takut menggangu momen ngopimu di pagi hari,” katanya


sembari tersenyum. Matanya ikut menyipit. Aku melihat banyak
cerita di sana dan aku yakin ia selalu merekamnya.

“Tidaklah. Justru aku akan memberimu secangkir kopi yang


tidak kalah spesial dari buatan Vendra,” kataku membuat kami
tertawa karena sama-sama teringat pada Vendra yang sepertinya
masih dipusingkan dengan kopi-kopi untuk perubahan menu kedai.

“Aku ingin tahu dunia kopi lebih dalam, Har. Mengetahui


apa yang membuat kopi sangat spesial. Mengetahui apa alasan
minuman ini bisa menentukan karakter seseorang. Aku merasa
kopi mempunyai kesempurnaan sendiri untuk hidupku. Kopi bukan
hanya menemaniku saat otak harus bekerja lebih keras, tetapi juga
bisa membawaku menyusuri masa lalu. Membuat kalimat yang
manakjubkan dan banyak lagi aku mengagumi tentang kopi,”
kata Grey kemudian setelah tawa kami berhenti. Aku tersenyum
mendengarkan apa yang ia ceritakan mengenai ketertarikannya
terhadap kopi.

Ia tidak akan pernah salah datang ke sini dan melihat


bagaimana keadaan kebun kopi yang sebenarnya. Kebun kopi
desa Petung, Kaliurang ini bukan sekadar dijadikan desa wisata,

81
Prajna Vita

tetapi inilah komoditas kekayaan dari tanah Indonesia. Bisa tahu


rasa ajaibnya kopi dari daerah-daerah terpencil di Indonesia seperti
ini. Tak heran jika para singel origin triper harus rela melakukan
perjalanan yang lebih melelahkan untuk mendapatkan kopi yang
mereka inginkan.

Menyusuri jalanan dengan trayek ekstrim kadang perlu


dilaluinya. Namun, mereka dapat menemukan kepuasan tersendiri
ketika sudah berhadapan dengan hamparan kebun kopi. Melakukan
pendekatan dengan petani kopi salah satu cara mereka untuk bisa
melihat proses demi prosesnya.

***

“Sebelum ibu meninggal ayah main belakang dengan Sawa,


pacarku dulu, pacarku, Har. Kau tahu kan? Apa kau melihat
hal-hal tidak beres waktu itu? Pasti tidak. Sangat rapih. Mereka
melakukannya dengan sangat rapih. Perselingkuhan itu sudah
berjalan selama satu tahun lebih. Aku dan ibu baru mengetahui tiga
bulan sebelum ibu meninggal.” ujar Mas Rio ketika aku pulang dari
kebun. Saat itu jantungku seakan berhenti dan tak ada nafas yang
keluar untuk beberapa detik.

“Maafkan aku,” suara ayah parau. Aku melihat wajahnya


semakin menunduk.

“Mengapa kalian baru mengatakannya padaku sekarang?”


Kataku. Tatapanku kosong dan aku mencoba untuk diam. Aku tidak
tahu apa yang sedang aku rasakan sekarang. Aku ingin memeluk

82
Monolog Kopi

kembali orang yang sekarang sudah bersatu dengan tanah.

Aku kalut dan aku tidak tahu apa yang ingin aku katakan.
Pikiranku menembus ke mana-mana dan aku tidak tahu harus marah
kepada siapa. Aku langsung beranjak menuju kamar. Aku ingin
sendiri dan aku tidak ingin berbicara pada orang-orang disekitarku.
Aku ingin menangis tetapi aku harus menangis karena apa? Kesal?
Menyesal? Atau kecewa? Aku tidak bisa mengeluarkan air mata
begitu saja. Aku tidak bisa melepaskan perasaanku begitu saja. Aku
bingung apa yang perlu aku lakukan.

Obrolan fakta masa lalu yang kudengar mendadak itu


membuat semua tujuan pulang ke kampung ini menjadi berantakan.
Lembar hasil penelitian penanaman kopi tiga hariku tergeletak aku
pandangi. Melihatnya begitu membuatku sangat marah. Aku ingin
mengacak-acak, mencoret-coret, dan membakarnya tanpa aku
sobek terlebih dahulu karena api akan membantu mengubah hingga
menjadi abu. Bagaimana tidak. Aku di sini mendengar kabar yang
sungguh tidak mengenakkan setelah penelitianku berjalan tiga hari.

Aku merindukanmu, Ibu. Aku ingin memelukmu, tetapi


sebelumnya aku ingin memukul laki-laki yang sudah membuatmu
menahan sakit hatimu. Perselingkuhannya dengan pacar kakakku
sendiri. Mengapa dunia ini begitu sempit. Mengapa cobaan manusia
begitu sederhana tetapi rumit.

Mengapa kau tidak pernah mengeluh sedikit pun mengenai


perselingkuhan ayah. Padahal, ia sudah menyakitimu cukup lama
dan kau tidak memutuskan untuk meninggalkannya. Mengapa aku

83
Prajna Vita

tak pernah tahu? Dan aku baru tahu kali ini. Setelah kau sudah
meninggalkanku selama satu tahun lalu.

Aku melihat kulit pria yang semakin tua itu duduk sendiri.
Aku tak mau menyapanya. Kuangkat slempang ranselku sekali
lagi, aku yakin akan kembali ke Jakarta tanpa mengatakan satu kata
pun padanya.

Aku melihatnya sekali lagi. Terlihat kulitnya semakin


mengerut dan tampak jelas urat-urat berwarna biru tua hampir
melebihi kulit. Namun, semakin aku memerhatikannya semakin
aku memiliki perasaan ia juga akan meninggalkanku.

Beberapa jam lalu ia berusaha mengajakku bicara dengan


basa-basinya menanyakan mengapa aku bongkar semua barang-
barang ibu. Tak pernah ada jawaban dariku. Kini, aku membawa
kotak milik ibu yang berisi beberapa buku-buku catatannya dan
serta beberapa barang-barang kecil. Aku merasa ia mengikutiku
hingga aku hilang ditelan pintu. Ia tidak mencegah kepergianku.

Aku membencimu, Ayah. Saat ini aku masih membencimu.


Rasanya aku ingin membunuhmu tetapi aku masih sadar bahwa
kau masih ayahku. Rasanya aku ingin membentakmu ketika kau
tidak bisa mengatakan apapun saat Mas Rio menjelaskan apa
yang dulu sudah terjadi. Kau menyesal bukan? Sudah terlalu lama
menyimpannya dariku.

Aku segera membeli tiket kereta ke Jakarta. Penjelasan itu


sulit sekali hilang dari pikiranku. Mereka menyembunyikannya

84
Monolog Kopi

karena mereka tahu aku sangat menyayangi ibu. Kau tidak tahu
siapa yang kau hadapi? Aku!

***

85
Prajna Vita

Aroma 6
PERASAAN

Aku kecewa. Namun aku tidak bisa marah di depannya. Lidahku


selalu terasa kaku ketika sudah menemukan mata tuanya. Aku ingin
marah padanya tetapi aku juga ingin menangis melihat tubuhnya
yang semakin rapuh. Aku memilih diam daripada aku harus marah
dan akhirnya menyesal.

Aku kembali ke Jakarta. Melupakan rencanaku di sana.


Meninggalkan penelitianku yang masih sangat awal. Aku tak ingin
diganggu oleh siapa pun. Aku membutuhkan kesendirian.

Aku melihat kotak milik ibu yang sekarang berada di


pangkuanku. Instingku mengatakan ada beberapa yang perlu aku
ketahui mengenai barang-barang di dalamnya. Ayah sendiri juga
menyuruhku untuk membawa dan menyimpannya.

Perjalanan yang tidak direncanakan ini membuat aku terpaksa


memilih perjalanan siang hari. Aku hanya memandangi kotak ini
dan belum berselera untuk membukanya. Bayanganku masih pada
ayahku sendiri yang sudah menyakiti hati ibu.

Semakin aku diam dan melihat kotak ini semakin aku


mengingat wajah ayahku yang jelas aku tahu ia merasa bersalah.
Entah sekarang perselingkuhannya masih tetap dilakukan atau
tidak. Aku tidak mau tahu lagi.

86
Monolog Kopi

Sungguh aku tidak menikmati panorama perjalanan. Meski


bentangan sawah lebih jelas terlihat, tetapi mataku menembus
entah ke mana.

Aku merindukanmu, Bu. Boleh aku menangis? Aku tahu


kau tidak pernah melarangku menangis, tetapi aku sendirilah yang
masih mempunyai mindset bahwa laki-laki tak boleh menangis.

Sekarang aku merasa sesak karena merindukanmu. Aku


terlalu sakit menahan tangisan yang mencekik tenggorokan ini.
Menelan ludah saja tidak cukup untuk menghilangkan rasa sakit ini,
Bu. Mengapa kau meninggalkanku dengan banyak kejutan seperti
ini? Untuk membayar hutangku saja aku belum mampu. Kini harus
mendengar masalahmu yang bisa dikatakan sudah ranum.

Tetesan air mata ini tetap saja tertahan. Aku sakit. Tolong
keluar dan buat aku lega. Meski untuk sementara. Kereta sudah tiba
di stasiun Pasar Senen dan aku pusing melihat lalu lalang banyak
orang. Aku ingin cepat sampai di rumah. Kantong mataku sudah
berat. Aku ingin mengeluarkan air mata ini tanpa terlihat oleh siapa
pun.

***

Aku tahu mata Vendra sudah memperhatikanku sebelum aku


menginjakkan kaki di teras. Ia tidak bekerja hari ini dan aku datang
tepat di waktu petang. Tidak kaget jika akan bertemu dengannya di
teras rumah.

“Berhasil mengatasi hama dalam waktu yang secepat ini?

87
Prajna Vita

Apa rasa kopinya bisa kau kembalikan seperti semula?” Tanyanya


ketika aku sudah berada di depannya. Aku diam. Aku hanya
mengeluarkan ponsel dan meletakkan di atas meja yang tidak jauh
dari cangkir kopi Vendra. Aromanya bisa aku tebak, kopi Aceh
gayo yang sedang ia nikmati.

“Lupakan rencanaku itu. Kau gunakan biji kopi yang ada


dulu saja.”

“Ada apa?” Tanyanya ketika aku sudah meletakkan ponselku.

“Tolong simpan ponselku. Jangan ganggu aku. Aku masih


tidak berselera menjelaskan apa-apa.”

Aku melihat raut mukanya yang tidak mengerti. Aku tahu


ia bertanya mengenai apa yang terjadi pada diriku. Aku tidak
ingin mengatakan hal itu dulu. Aku ingin berdiam diri dengan
kekecewaanku.

***

Aku tidak tahu berapa hari aku mengurung diri di kamar. Tidak
ada kopi, tidak ada panggilan, tidak ada musik, tidak ada obrolan,
tidak ada komunikasi, dan hanya ada rokok yang puntungnya
tergeletak di mana-mana. Kotak ibuku yang aku bawa pun belum
ingin aku bongkar. Masih tergeletak di pojok kamar.

Entah mengapa ketika aku keluar kamar untuk mengambil


makanan atau ke kamar mandi, rasanya aku ingin membuang kaleng
berisi biji kopi yang ada di dapur bar itu. Aku seperti tidak berhak
berada di sana. Berada di balik bar untuk meng-cupping kopi dan

88
Monolog Kopi

mengatakan pada barista bahwa kopi ini istimewa. Semakin aku


mencium aroma kopi semakin aku teringat pada ibu dan muncul
kekecewaan karena belum membuatnya bahagia.

Aku tidak peduli dengan semua pekerjaan yang entah


sekarang menjadi apa. Aku tidak tahu siapa saja yang akan
menghubungiku untuk membicarakan bisnis, kunjungan ke kebun
kopi, coffee tasting, mengajar pelatihan cupping atau sekadar
mengajak mengunjungi coffee shop terbaru.

Aku mendengar ketukan pintu. Rasanya tidak ingin


membukanya dan aku berbalik pada meja dekat jendela untuk
mengambil rokok.

“Grey mencarimu.” Suara di balik pintu.

Aku sontak berhenti menyulut rokok. Aku letakkan rokok


itu dan menuruti hasratku untuk membuka pintu. Kali ini ia tidak
membuat omong kosong seperti memanggil anak SD untuk meminta
dibukakan pintu dengan iming-iming. Aku melihat Vendra bersama
Grey. Mereka hanya menatapku sekilas dan melihat sekeliling
kamar.

Seketika aku mual mencium bau yang berasal dari tubuh


Vendra. Bau kopi itu membuat kepalaku terasa tertusuk dan aku
merasa mual, tetapi berusaha menahannya. Aku menahan nafas
berkali-kali agar aroma itu tidak masuk ke rongga penciumanku.

Aku melangkah masuk dan duduk di atas kasur. Mereka


mengikutiku, Grey mengambil bantal yang terjatuh kemudian

89
Prajna Vita

duduk dengan gaya khasnya, selalu menyelonjorkan satu kakinya,


lalu beberapa detik kemudian ia kembali melipat kedua kaki dan
duduk layaknya perempuan lainnya.

“Kau ke Jakarta lebih cepat dariku,” ujar Grey melihatku


dengan mimik memelas.

“Ya,” kataku singkat.

Kami terdiam, Grey tetap menatapku dan Vendra masih


menyapu semua ruangan yang berantakan ini.

“Ponselmu terus-terusan berbunyi, membuatku pusing.


Banyak pemilik kedai kopi yang memintamu untuk mengcupping.
Bahkan sebagian ada yang datang padaku. Aku tidak tahu harus
menjawab apa,” ujar Vendra sambil sedikit mengangkat kedua
bahunya.

“Kau kenapa?” Grey menembak dengan pertanyaan. Aku


melihatnya. Ia terlihat menantikan sebuah jawaban.

Semua ceritaku kepada Grey mengalir begitu saja setelah


Vendra meninggalkan kami. Aku menceritakan semua itu dan Grey
mendengarkannya dengan seksama. Aku tidak tahu mengapa aku
bisa mengeluarkan semua perasaan ini pada gadis yang selama ini
lebih dekat dengan Vendra daripada denganku.

Aku seperti dicekam oleh kalimat-kalimat hipnotis yang


keluar dari mulut Grey. Seakan aku masih berusaha memaafkan
diriku sendiri. Setiap saran yang dikatakan Grey membuatku

90
Monolog Kopi

menjadi berpikir lebih keras dan menerka-nerka kebenaran semua


itu.

“Mau aku buatkan kopi? Tapi jangan kau rasakan benar-


benar, karena kopi dari tangan peracik amatiran seperti aku pasti
tidak seenak dari tangan barista,” ujarnya sambil tersenyum ringan.

Aku menggeleng.

“Cokelat hangat?” Tanyanya lagi. Tak ada jawaban lagi


dariku. Ia diam. Melihatku yang tidak berbicara lagi. Ia bangkit dan
merapikan sprai kasur yang berantakan. Aku segera bangkit dan
menahan lengannya hingga ia berdiri.

“Kau pulang saja,” kataku kemudian. Aku melepaskan


genggaman tangan di lengannya. Ia tak menjawab apa pun dan
segera mengambil tasnya kemudian melangkah mendekati pintu.

“Hati-hati,” kataku lagi sebelum ia melangkah keluar dan


hilang ditelan daun pintu itu. Ia refleks membalikkan kepala dan
tersenyum ringan sembari mengangguk mengerti.

Sosoknya sudah hilang. Aku ingin sendiri. Aku ingin merenung.


Aku ingin melepaskan semua yang mengerumuni perasaanku.
Beruntung sekali yang bisa menulis dan mengungkapkan semua
itu di kertas-kertas kosong. Menyimpannya atau dijadikan pesawat
lalu menerbangkannya jauh-jauh. Bisa juga dibuat perahu kertas
dan menghanyutkannya di lautan luas sana.

Teringat pesawat kertas, aku ingin melihat awan yang sekarang


tampak mendung. Sudah berapa hari mendung menggelayuti langit
91
Prajna Vita

itu tanpa menurunkan hujan? Musim kekeringan ditambah lagi


kabut asap yang menyerang Riau karena pembakaran hutan untuk
dijadikan lahan pertanian kelapa sawit. Sungguh berotak pendek.
Mencari keuntungan sendiri!

Aku melangkah menuju jendela kamarku yang tampak


halaman samping rumah. Aku membuka jendelanya sedikit, angin
menerpa sepoi membuat kulitku sedikit merinding. Langit terlihat
mendung sudah berhari-hari, tetapi tidak juga menurunkan hujan.
Padahal sudah memasuki bulan berakhiran –ber. Banyak yang
menginginkan turun hujan untuk memberi kelegaan bagi mereka
yang terkena kabut asap. Termasuk aku juga merindukan hujan.

Aku rindu dingin dari penghujan, aku rindu melihat titik air
yang menempel pada kaca jendelaku sambil aku meminum kopi.
Ah, kopi lagi. Aku ingin melupakan kopi sejenak.

Aku tahu bahwa semua apa yang terjadi dalam hidup ini
mempunyai banyak arti yang tersembunyi. Dulu, ketika aku masih
menjadi peminum kopi, aku sering menghabiskan secangkir kopi
hingga satu jam lebih sambil melihat gerimis. Ketika langit mulai
menggelap dan akan hujan, aku selalu bersiap mendekati jendela.
Dengan jendela kaca, aku mampu melihat titik-titik gerimis dari
dalam kamar.

Ketika melihat titik hujan yang menempel pada jendela kaca,


aku merasa satu tetes air hujan itu ada satu cerita di dalamnya.
Seperti gelembung-gelembung yang muncul ketika menyeduh kopi.
Gelembung itu akan muncul banyak kemudian akan menghilang

92
Monolog Kopi

bersamaan.

Terkadang, aku memiliki pemikiran-pemikiran yang meluas.


Ketika aku menyeduh kopi untuk menyudahi sepi. Aku selalu
memikirkan hal yang mungkin akan membuat orang berkata omong
kosong. Aku memikirkan mengapa aku mengaduk berkebalikan
arah jarum jam. Padahal, umumnya orang mengaduk searah jarum
jam. Memang bukan aku saja, beberapa orang di luar sana juga ada
yang sepertiku. Aku hanya berpikir bahwa hal sepele seperti itu
pasti mempunyai arti sendiri untuk masing-masing orang.

Mengingat hal itu, aku ingin membasahi tenggorokkanku


dengan minuman hangat. Langit mulai gelap dan hawa dingin mulai
merambati kulit-kulitku. Aku teringat tawaran Grey tadi. Aku ingin
menghilangkan kopi sementara dan menggantinya dengan cokelat,
meskipun keduanya juga mengandung kafein.

Putaran tangan yang sedang mengaduk pada seduhan cokelat


panas tiba-tiba berhenti ketika terdengar suara guntur. Suaranya
tidak begitu keras. Sepertinya langit belum menunjukkan akan
turun hujan. Hanya mendung seperti beberapa hari ini.

Seharusnya musim hujan sudah datang, mengapa kali ini


perputaran waktunya tidak tepat? Aku sudah lama merindukan
hujan. Ah, mengapa segala sesuatunya aku rindukan? Hujan pun
aku merindukannya. Jangan salah, hujan juga karunia Tuhan.
Betul. Coba tidak ada hujan, tanaman mati, tak ada air yang bisa
menghidupi manusia. Hal sepele tetapi maknanya sangat tampak.
Harusnya berterimakasih ketika hujan mulai turun. Namun,

93
Prajna Vita

mengapa banyak yang galau? Bahasa modern itu tidak pernah


lepas dari anak muda. Ketika hujan datang, ada yang kesal karena
menghentikan aktifitas, ada yang sendu karena mengingat momen
bersama mantan kekasih, ada pula yang tersenyum mengingat masa
kecil ketika bermain hujan. Masa kecil? Culik aku ketika hujan
agar aku ikut bermain air. Sudah besar tak ada lagi seperti itu. Bisa
saja, keluar dan pura-pura kehujanan di jalan. Tapi tak seekspresif
anak-anak! Sudah berbeda! Umur sudah mempengaruhi! Dianggap
gila nanti aku.

Terkadang aku merasa senang ketika titik air hujan yang


menempel pada kaca jendela sudah banyak. Semakin titik itu
memenuhi kaca, semakin banyak cerita yang tersimpan. Semakin
beragam cerita yang datang.

Dua kali guntur bersuara. Aku mulai melangkah mendekati


jendela dan melihat ke atas mengamati langit. Cahaya matahari
sepertiga siang masih terlihat jelas, tak ada awan gelap. Kemarin
juga seperti ini, ketika langit sudah mulai menggelap, tetap saja
tidak turun hujan dan matahari kembali hadir.

Aku segera mengatur posisi duduk yang strategis untuk


melihat dan mengambil gambar dari sudut kamar ini. Melihat
matahari mulai tampak lagi membuatku ingin rasanya menenggak
semua cokelat ini dan beranjak ke dapur untuk meletakkan cangkir.

Aku tak akan tertipu oleh suara guntur yang hanya dua kali
dan langit masih belum menghasilkan awan hitam pekat. Aku
meminum cokelat panas sedikit demi sedikit dan memutar lagu dari

94
Monolog Kopi

DVD.

Berkali-kali cokelat ini sudah aku teguk dan hujan tak


kunjung datang. Sudah hampir habis, sudah tinggal seperempat
cangkir. Kau ke mana hujan, aku merindukanmu. Aku beranjak
mengambil sebuah kertas kosong dan pena. Aku ingin belajar
menulis. Menuliskan kebencianku pada hujan yang tak kunjung
datang.

Tetap kosong. Aku tak bisa menulis, aku tak bisa bercerita,
aku tak bisa mengungkapkan apa-apa dari pena dan kertas ini. Aku
letakkan kembali dan menenggak cokelat sisa di depanku. Tetap
saja hujan tidak turun semakin membuatku mengumpat.

Aku mengangkat cangkir kosong itu membawanya ke dapur.


Baru terdengar bunyi benturan kaca cangkir dengan meja keramik
dapur, tiba-tiba turun hujan. Aku segera kembali ke kamar. Sialan,
cokelat panasku sudah habis, kau datang. Deras, semakin deras
membuatku tiba-tiba berpikir mengenai Grey. Apakah ia sudah
sampai rumah? Karena tidak ada suara Grey dan Vendra di teras.

Semakin aku mengamati hujan ini, semakin aku merasa


mengantuk. Biasanya tidak? Mataku ingin sekali terpejam dan
perutku terasa mual. Tidak biasanya seperti ini. Aku berusaha duduk
di tempat tidur. Mataku menyusuri tetes-tetes air hujan ini. Sangat
tenang. Seketika aku teringat Vendra yang pernah mengatakan
bahwa cokelat sama-sama mengandung kafein, tetapi berbeda
dengan kopi.

95
Prajna Vita

“Coba bandingkan kopi dengan cokelat, Har,” kata Vendra


ketika kami sedang menikmati kopi di Anomali Coffee, daerah
Kemang, Jakarta Selatan, “Setelah kau minum cokelat, apa yang
akan kau rasakan? Pada awalnya manis tapi kau akan merasa
sedikit mual setelahnya. Lalu otakmu tidak mau bekerja. Kau akan
merasa ngantuk dan tidur,” ia diam sejenak, “Berbeda dengan kopi,
Har. Awalnya mungkin pahit, tetapi otakmu akan lebih produktif.
Memikirkan jalan keluar atas apa yang sedang kau alami. Dan
kau tahu ajaibnya lagi, Har? Di akhir, kopi menyimpan rasa manis
alami,” lanjutnya.

Benar. Aku baru ingat obrolan Vendra waktu itu. Cokelat


tidak bisa menemukan jalan keluar. Hanya membuat perasaan
bahagia tetapi hasilnya nihil.

***

Sudah hampir satu minggu aku mengurung diriku sendiri.


Ketika aku melihat kembali kotak itu, aku teringat pada pemiliknya.
Aku ingat. Terkadang ibuku tiba-tiba merenung dan tak pernah
cerita apa pun.

Aku tahu kau sedang ada masalah, tetapi aku tidak pernah tahu
apa masalahnya. Aku tahu matamu ingin sekali berbicara, tetapi
kau terus menahannya. Beberapa hari sebelum hari meninggalmu,
tubuhmu terlihat semakin kurus. Namun, semangatmu tetap tinggi
untuk memberiku beragam resep meramu kopi. Dan aku ingat
kembali, aku belum mampu menghasilkan kopi terbaik.

96
Monolog Kopi

Ibu, aku bisa menentukan rasa kopi yang sangat enak, bahkan
sertifikasi sudah aku dapatkan. Namun, untuk menyuguhkan
kepada seseorang dan mengetahui bagaimana selera kopi mereka
aku belum bisa. Untuk mengambil makna dari kopi-kopi itu pun
aku masih jauh tertinggal. Aku hanya membanggakan sertifikasi itu
tanpa tahu bagaimana peran kopi bagi kehidupan. Padahal sangat
dekat. Dekat sekali.

“Kau bisa menentukan jenis kopi terbaik, tetapi kenapa


kau belum berani meracik untuk orang lain? Takut gagal, hah?”
Pertanyaan itu selalu keluar dari mulut Vendra. Aku tidak berani,
entah mengapa aku tidak berani berseni di dalam kopi. Aku belum
mampu menentukan rasio yang tepat agar menghasilkan rasa kopi
yang sangat istimewa. Aku takut tidak bisa menjaga konsistensi
racikan. Hal itulah yang manjadi faktor aku juga belum berani
merambat ke proses roasting. Padahal, roaster merupakan salah
satu orang yang mampu menghasilkan kopi dengan rasa yang
berkualitas dan aku tahu itulah sebenarnya tujuanku. Itulah yang
bisa melunasi hutangku pada ibu. Teringat pada ibu membuatku
teringat pada kopi.

Apa kau sekarang berada di sampingku, Bu? Apakah kau


tahu aku terpuruk dan ingin meninggalkan kopi karena perkara
beberapa waktu lalu di Jogja? Perkara yang sudah lama tetapi aku
baru mengetahuinya. Apa aku masih bisa mendapatkan kopi terbaik
untuk Kopnat? Tetapi perasaanku masih kacau dan masih belum
stabil untuk mendeteksi cita rasanya. Aku masih menyimpan benci
pada laki-laki yang telah membuatmu jauh dariku.

97
Prajna Vita

Aku tahu takdir memang sudah digariskan seperti ini, tetapi


aku masih belum bisa menerimanya. Aku masih jengkel, Ibu. Aku
masih kecewa dan aku masih membenci diriku sendiri karena aku
betul-betul tidak tahu perkara ini.

Maafkan aku, Bu. Jangan paksa aku untuk kembali pada


dunia itu beberapa hari ini. Aku ingin bebas dan melakukan apa
yang ingin aku lakukan. Merenung, menenangkan diri, dan jauh
dari aktivitas apa pun.

Apakah ibu menemaniku di sini? Aku semakin tidak bisa


memejamkan mata. Aku semakin mengingat tujuanku. Apa ia
juga tahu impian yang selama ini aku catat? Memiliki kedai kopi
dan mengangkat kemakmuran petani-petani kopi, terutama untuk
daerah-daerah kecil. Tunggu. Aku selalu menulis impianku. Aku
menulis. Aku bisa menulis.

Tapi itu tidak memerlukan diksi yang indah. Hanya sistematika


rencana saja. Tetap saja menulis membutuhkan keterampilan.
Menulis itu berseni, sama seperti kopi. Barista itu bukan hanya
peramu kopi tetapi juga seniman. Aku selalu buntu ketika mencari
ide, bagaimana aku bisa berseni di atas sebuah cangkir? Ide para
seniman itu gila. Aku tak bisa mencapainya hingga segila itu. Aku
memang sudah gila tetapi bukan gila seperti seniman, tetapi gila
karena menyalahkan diriku sendiri.

Seniman itu mengambil ide yang tak pernah tahu itu menjadi
menarik. Terkadang simpel, terkadang rumit, terkadang juga
berbelit, tetapi tetap saja, orang yang sama-sama menyukai seni

98
Monolog Kopi

pasti akan mengatakan itu ide gila. Untung saja senimannya tak ikut
gila. Kalau kata mereka, pemikiran seniman merupakan pemikiran
out of the box. Berpikir di luar kotak, tapi kenapa banyak orang
yang tak mengerti, selalu mempermasalahkan kotaknya di mana?

Berpikir melampaui garis wajar memang menakjubkan.


Menurut teori bisa disebut kreatifitas, tetapi berkreatifitas tak
pernah ada teori. Semua karya seni itu bisa hidup dengan adanya
ide. Ide bisa terbentuk berdasarkan gagasan seseorang, kemudian
dipengaruhi imajinasi dan ketemulah karya seni. Dengan begitu,
berarti seniman juga bisa lebih pintar dari ahli matematika? Belum
tentu. Bisa saja seniman tak pandai berhitung. Betul juga. Tak ada
yang sempurna di dunia ini. Pasti punya kelemahan.

Kau membuatku terjaga semalaman dan memikirkan tentang


kopi, Ibu. Apa kau di sampingku semalaman?

Aku bangkit dari posisi tidurku karena mata belum juga


mengantuk. Aku kembali melihat kotak di pojok kamar itu. Kotak
yang sudah berhari-hari di sana dan belum aku buka. Padahal
perasaanku berkata bahwa akan ada banyak cerita dari kotak itu.

Aku bangkit dan mengangkat kotak tersebut ke atas kasur.


Membukanya. Lima tumpuk buku yang sudah lusuh pertama kali
terlihat. Dua binder dan tiga buku batik, semuanya berukuran A5.
Binder paling atas masih terlihat baru. Kertasnya belum berwarna
cokelat. Ini menandakan buku terakhir yang dimilikinya.

Aku membukanya. Pertama kali terdapat tulisan “Saya

99
Prajna Vita

Mempunyai Tujuan”. Aku membuka lembar berikutnya. Sebuah


mimpi besar. ‘Mengubah persepsi orang mengenai kopi’. Aku
terdiam. Aku mengelus lembar itu dan membuka lembar berikutnya.
Tertulis “Dunia Kopi ialah sebuah perjalanan”, di bawahnya
terdapat poin-poin, yaitu kehidupan, ketuhanan, mimpi, tujuan,
makna, dan PERASAAN.

Kata ‘PERASAAN’ menggunakan huruf kapital. Aku


mengerti sekarang. Semua itu berawal dari perasaan. Kepekaan
perasaan bukan hanya menentukan kepekaan rasa pada sebuah
kopi, tetapi juga menentukan bagaimana kehidupan, ketuhanan,
mimpi, tujuan, dan maknanya.

Menakjubkan. Pemikiranmu sama seperti Vendra. Aku


merasa tetap dekat denganmu, Bu, karena aku menemukan seseorang
seperti Vendra. Aku menutup buku itu dan aku sekarang mengerti
bahwa indra perasa merupakan kunci utama untuk menentukan
atau menemukan suatu hal. Termasuk menemukan bagaimana rasa
kopi yang diibaratkan dengan kehidupan.

***

100
Monolog Kopi

Aroma 7
Terimakasih Ve

Kopnat sudah terlihat ramai dengan beberapa orang yang tidak asing
bagiku. Mereka para roaster, petani kopi, eksportir kopi, barista
yang sering aku temui di beberapa kedai, dan pecinta kopi yang
mukanya tidak asing bagiku. Pelataran kedai sudah ramai dengan
beberapa pecinta kopi yang menunggu acara cupping dimulai.

“Aku kira kau tidak datang,” kata Grey yang tiba-tiba sudah
berada di sampingku. Hanya angkatan alis ringan jawaban dariku.
“Untung aku tidak terlambat, masih tiga puluh menit lagi kan ya,”
lanjutnya sambil menengok ke arah pintu kedai. Beberapa detik
kemudian sudah mengarahkan pandangannya padaku lagi.

“Har, bisa ajarkan aku bagaimana cara mencicipi rasa kopi


dari acara cupping nanti?” Tanyanya dengan kerut mata yang
menunjukkan permohonan kuat.

“Ya, buang dulu permen karetmu,” kataku sedikit


menaikkan kepala. Kebiasaannya mengunyah permen karet kerap
kali dilakukan saat berada di perjalanan. Agar lebih santai dan
mengurangi kecanggungan katanya.

“Tapi ini baru,” ujarnya dengan nada bantahan khasnya


yang sedikit memonyongkan bibir. Aku suka ketika ia berekspresi
seperti itu.

101
Prajna Vita

“Kalau mau coffee cupping, mulut harus netral tiga puluh


menit sebelumnya. Jadi, mau tidak mau harus buang permen karetmu
itu, lalu minum air putih. Buat mulutmu senetral mungkin,” kataku
dengan nada yang sedikit meninggi. Lalu ia mulai mengeluarkan
plastik permen karet yang ada di saku celananya. Ia selalu tahu
aturan ketika mengunyah permen karet. Selalu dibungkus ketika
membuang. Ketika permen karetnya sudah terbuang kami memasuki
kedai. Sudah terlihat bincang-bincang beberapa pelaku kopi dan
terlihat Pak Surya masih mengobrol bersama roaster. Selain itu,
meja untuk upacara cupping juga masih ditata oleh beberapa
server kedai dan barista, termasuk Vendra. Ruangan juga tak ada
wewangian parfum yang menyengat. Memang itulah aturan yang
harus dilakukan. Aroma parfum yang menyengat bisa mengganggu
konsentrasi cupping.

Aku melangkah mendekati Pak Surya untuk menyapanya


sebentar. Grey mengerti apa yang akan aku lakukan, ia langsung
menuju pada meja cupping untuk sekadar melihat-lihat atau
mungkin menyapa Vendra.

“Untung kau datang. Ke mana saja, aku hubungi tak


pernah bisa. Bagaimana dengan kopi Petung? Menu kopi tiga
bulan ini rasanya kurang memuaskan pelanggan. Banyak yang
merekomendasikan arabika Petung. Aku rasa itu cocok untuk tiga
bulan berikutnya. Aku menunggumu untuk tahu hasilnya,” kata
Pak Surya setelah aku sudah mengajaknya bersalaman.

“Bermasalah, Pak. Aku masih belum bisa menemukan cara

102
Monolog Kopi

menghentikan hama,” kataku lirih. Aku terpaksa mengatakannya.


Tampak mimik mukanya berubah. Seperti raut muka kecewa.

“Ya sudah. Kita lihat dari sesi cupping ini dulu. Mungkin ada
yang cocok menurutmu untuk menjadi menu selanjutnya,” katanya
kemudian.

“Ada jenis darimana saja ini, Pak?”

“Ada enam singel origin lima arabika dan satu robusta, semuanya
dari tanah Jawa Tengah. Di-roasting dua hari lalu. Arabika Bongso
dan Dieng Batur dari Lereng Sumbing, Wonosobo. Arabika
Posong, Tlahap, dan Wonotirto dari Lereng Sindoro, Temanggung,
sedangkan robusta dari Pekalongan, namanya kopi Owa Jawa.
Saya ingin uji coba robusta dari pekalongan itu, Har. Rekomendasi
roaster yang saya kenal di Pekalongan, katanya lumayan enak,”
ujarnya sambil menghitung dengan jarinya. Hanya ada anggukan
dariku. “Har,” katanya. Aku kembali mengarahkan mataku padanya
untuk mendengar apa yang ingin ia katakan lagi.

“Omset pendapatanku akhir-akhir ini menurun,” aku


menyimaknya. Suaranya ditekan pelan agar tidak terdengar oleh
orang di sekitar kami. “Mungkin karena menu kopi tiga bulan ini
masih kurang khas karakternya. Kalau tiga bulan nanti kita ambil
lima singel origin bagaimana ya, Har, agar pelanggan lebih banyak
mencicipi kopi kita,” lanjutnya.

“Sepertinya tiga saja sudah cukup Pak. Dengan kita


menyediakan display singel origin yang sedikit, semakin kita

103
Prajna Vita

bisa maksimal memuaskan pelanggan. Karakter rasa dari singel


origin yang kita sediakan juga tetap stabil dan tepat dengan selera
mereka,” aku berhenti sejenak, “Tiga singel origin menurut saya
sudah maksimal, Pak. Kalau lebih, kemungkinan bisa kacau, nanti
kita sendiri bisa kerepotan. Kita juga perlu memahami barista-
barista di sini agar tetap stabil menghasilkan rasa dari seduhan
ketiga singel origin itu,” kataku dengan suara ditinggikan sedikit
agar tidak tertimpah dengan bisingnya obrolan sekitar. Ia tampak
berpikir dan terdiam beberapa saat.

“Apa kamu tidak menemukan daerah baru yang mempunyai


kebun kopi dengan rasa kopinya yang berbeda, bahkan unik, Har?”
Tanyanya kemudian. Aku masih diam mengingat lokasi singel
origin trip yang sudah aku kunjungi beberapa bulan lalu. “Sudah
banyak kebun kopi yang kamu datangi. Ada sekitar 800 karakter
kopi di dunia, masa’ satu atau lebih tidak ada yang unik menurutmu,
Har?” Tanyanya lagi.

“Jumlah segitu, menyangkup seluruh dunia Pak,” kataku


dengan nada yang sedikit tegas. Entah ia merasa ada nada kekesalan
dariku atau tidak, “Saya baru trip di Indonesia saja. Saya belum
menemukan karakter rasa yang berbeda di nusantara ini,” aku diam
sejenak. “Kali ini, saya usahakan memilih tiga jenis kopi yang bisa
menarik pelanggan. Saya pilih yang karakter rasanya berbeda dari
arabika kebanyakan,” kataku setelah tidak ada jawaban darinya.

“Ya sudah. Saya percayakan padamu. Bantu saya menaikkan


omset kembali untuk mempertahankan Kopnat ini ya,” katanya

104
Monolog Kopi

sambil memegang pundakku dan berbalik untuk kembali bergabung


dengan teman-temannya.

Aku memandang punggungnya sejenak lalu aku melangkah


mendekati Grey yang masih mengelilingi meja cupping untuk
mengenali kopi satu persatu. Dia tampak serius memperhatikan
kopi-kopi yang sudah berjajar di meja tersebut. Dari mulai green
beans17, biji yang sudah disangrai, sampai bubuk kopinya. Sesekali
mencoba meraup bubuk kopi dari satu jenis ke jenis lain untuk
dihirup dan membandingkan aromanya. Aku mengambil satu
lembar form cupping yang berada di pojok meja.

“Seperti ini form cupping-nya,” kataku kepada Grey dengan


memberi form cupping padanya dan form tersebut langsung
berpindah tangan.

“Para cupper nantinya membuat penilaian di form itu. Di situ


sudah tertulis semua karakter yang harus diberi nilai. Mereka akan
memberi angka untuk masing-masing karakter yang muncul. Skala
nilainya 1 sampai 10, dari yang paling payah sampai terhebat.
Bisa dikatakan, form ini menjadi patokan mereka. Sebelumnya,
harus tahu karakteristik utama jenis kopi itu terlebih dahulu. Rasa
yang muncul ketika seduhan harus sama. Jika ada perbedaan,
berarti ada masalah, mungkin pada proses roasting-nya atau
pada proses sebelumnya,” terangku. Tak ada jawaban darinya. Ia
hanya menganggukkan kepala kemudian melihat form penilaian
tersebut yang ada di tangannya. Aku memperhatikannya, ia tampak
kebingungan dengan form itu. Tingkah itulah yang menurutku lucu.
17. Biji kopi mentah yang belum disangrai.

105
Prajna Vita

Seringkali aku hanya ingin melihatnya dengan mimik wajah seperti


itu.

“Bisa kau jelaskan rasa yang tertulis di sini?” Katanya


kemudian sambil mengerutkan pipi bagian kanannya, “Aku masih
belum mengerti,” ujarnya lagi dengan tingkah malunya. Sudah
kuduga ia akan mengatakan seperti itu. Itulah yang aku suka. Aku
tersenyum dan mendekatinya.

“Pertama yang kau lakukan ialah menghirup aromanya dan


rasakan wanginya. Lalu kau masukkan nilainya di kolom fragrance.
Intensity ialah banyaknya rasa, untuk strength itu kekuatan rasa,
mouthfeel itu kepenuhan rasa bagaimana kopi dirasakan di dalam
mulut, acidity itu keasaman, bitternes itu rasa pahit, body itu
kekentalan, sedangkan aftertaste itu rasa yang mengikuti setelah
kopi melewati kerongkongan setelah diteguk,” kataku dengan
menunjukkan kolom rasa satu persatu. “Untuk lebih tahu tentang
karakter rasa, kau bisa mempelajari lagi lewat lingkaran diagram
rasa. Sudah punya kan?”

“Sudah,” katanya.

“Aku jelaskan lebih rinci ketika setiap sesinya dilakukan,”


potongku karena aku melihat acara sudah akan dimulai. Aku
menepuk bahunya ringan dengan maksud agar ia mengikutiku.
Aku mencari tempat duduk yang strategis untuk mendengarkan
pengantar singkat pembukaan acara dari Mas Bayu Agustinus,
seorang roaster kepercayaan Kopnat. Grey sudah duduk di sebelah
kananku, sedangkan Vendra ada di sebelah kiriku.

106
Monolog Kopi

“Har, sebenarnya, tujuan diadakan coffee tasting begini


untuk apa ya?” Tanya Grey ketika Mas Bayu masih melangkah ke
panggung kecil yang menghadap ke kami.

“Untuk menjaga standar mutu kopi. Menikmati kopi bukan


seperti menenggak bir, Grey. Seorang pecinta kopi sejati akan
benar-benar menikmati rasa demi rasanya. Maka kita perlu menjaga
mutu kopi itu agar karakter rasanya tetap kuat dan baik. Nah, kopi
baik itu, karakter rasanya akan tetap kuat meski dicampur apa saja.
Tapi di beberapa kedai, diadakan coffee cupping bisa juga untuk
sharing mengenai karakteristik rasa pada kopi-kopi baru,” ujarku
yang dibalas dengan anggukan kecilnya.

Mas Bayu sudah membuka ‘upacara’ coffee cupping ini


dan mempersilahkan sesi demi sesi dilakukan. Setiap peserta satu
persatu menuju meja cupping yang sudah tertata rapih dengan
tujuh jenis kopi dari tujuh daerah yang berbeda. Semua telah
dipisahkan dan terdapat label nama kopi, daerah asalnya, dan nama
pengolahnya. Setiap jenis kopi disediakan biji mentah kopi atau
green beans, biji yang sudah di-roasting, bubuk kasar, cangkir untuk
seduhan, sendok cupping, tissue, dan air putih untuk menetralkan
mulut. Aku menepuk ringan pundak Grey lagi menandakan ia harus
mengikutiku.

“Sesi pertama ini dimulai dengan cara menghirup aroma


kopi dari bubuk yang belum diseduh. Seberapa kuatnya lalu kau
masukkan nilainya di kolom fragrance tadi. Coba kau lakukan,”
ujarku ketika kami mencicipi kopi Owa Jawa dari Pekalongan.

107
Prajna Vita

Ia mulai menghirup bubuk kopinya dan menuliskannya pada


form yang sudah ia pegang. Lalu, berpindah dari satu tempat ke
tempat lain. Aku masih luput menganalisis wangi kopi Owa Jawa
ini. Aku mencium wangi yang berbeda dari kopi itu.

Lanjut ke sesi kedua, yaitu menghirup kopi yang sudah


diseduh. Dari 7 gram bubuk kopi, diseduh dengan air 150 ml.
Semua peserta bergiliran mendekatkannya ke hidung dengan cara
menyibakkan ampas seduhan dengan sendok. Cara itu lebih bisa
mengeluarkan aromanya, karena sensasi wangi yang dikeluarkan
dibawa oleh uapnya.

“Aroma apa saja yang biasanya ada, Har?” Tanya Grey


sebelum kami mulai giliran menghirup.

“Ada enzymatic seperti bunga, buah, atau rempah. Sugar


browning atau gula panggang seperti kacang, karamel, cokelat. Ada
juga dry distillation atau bakaran seperti karbon, bumbu, atau obat-
obatan.”

“Ah, mana bisa aku ingat,” keluhnya dengan nada yang


begitu khas.

“Kau bisa mempelajarinya lewat diagram rasa dan ingat-


ingat itu!” Potongku segera dengan nada suara yang sedikit aku
tinggikan.

“Iya, masih berusaha aku pelajari,” katanya cepat tidak mau


kalah dengan kekesalanku lagi. Lalu, langkahnya maju untuk
memulai gilirannya.

108
Monolog Kopi

Pada sesi ketiga ialah menentukan acidity atau keasaman


sebuah kopi. Grey sudah berada beberapa langkah di depanku. Ia
tampak serius dengan analisis tiap sesi. Namun, pada gilirannya, ia
menengok ke belakang lalu melangkah mendekatiku.

“Har, caranya memang harus begitu ya? Menyeruputnya


sampai berbunyi?” Tanyanya kamudian. Aku mundur dari barisan
yang membuatnya juga mundur satu langkah dariku.

“Iya, memang harus begitu. Cara itu bisa membuat kopi


menyentuh semua bagian mulut. Ketika menyentuh langit-langit
mulut atau tepian bawah lidah, keasaman kopinya lebih terasa,
seperti rasa buah. Nanti selintas kau juga akan menemukan rasa
manis.”

Ia hanya mengangguk dan mengikuti di belakang barisanku.


Sepertinya ia tidak mau jauh-jauh dariku agar segala hal yang belum
mengerti bisa menanyakan langsung padaku. Aku mempraktikkan
seruputan padanya, lalu ia meniru dengan tingkah yang masih
kaku. Membuatku ingin tertawa melihatnya. Mimiknya selalu
serius, mengerut-kerutkan jidatnya untuk mendeteksi rasa. Sudah
bertingkah seperti tukang kopi profesional saja kau, Grey.

“Aku tidak tahu, asamnya seperti apa ini, Har,” katanya tiba-
tiba membuatku pura-pura tidak memperhatikannya.

“Seperti buah apa menurutmu?”

“Entahlah, hanya asam saja.”

109
Prajna Vita

Aku menarik nafas panjang dan sesegera mungkin


mengeluarkannya. Aku selalu malas jika harus menjelaskan hal
yang detail dan panjang. Semua itu membuatku bingung harus
mulai penjelasannya dari mana. Tak ada jawaban dariku, Grey tetap
cuek dan tidak meminta jawaban lagi dariku. Dia hanya memberi
nilai pada form-nya. Lalu, kami memasuki sesi keempat, yaitu
flavor atau cita rasa.

“Di sesi ini kau harus merasakan apakah ada perpaduan aroma
dan rasa ketika kopi menguapi langit-langit mulut saat diseruput,”
kataku ketika sesi keempat akan dimulai. Kali ini ia mengerti dan
tak banyak bertanya.

Dari tujuh jenis kopi yang tersedia, ketika mencapai tahap


pengujian citarasa, aku menemukan dua kopi yang rasanya begitu
berbeda. Aku luput di tempat kopi Owa Jawa dan Bongso. Karakter
rasanya sungguh berbeda dari yang lain menurutku. Berkali-kali
aku perbandingkan dengan yang lainnya. Lagi-lagi aku mengarah
pada dua kopi tersebut.

Masuk pada sesi kelima, yaitu pengujian body untuk


mendeteksi kekentalan kopi. Aku kembali luput pada dua kopi
tersebut dan sepertinya dua kopi ini cocok untuk mengganti menu
kopi Kopnat tiga bulan ke depan. Aku harus mencari satu lagi yang
menarik.

“Har, apa yang harus diteliti untuk bagian karakter body ini?”
Tanya Grey saat aku masih mendeteksi karakter body dari Kopi
Bongso. Membuatku meletakkan sendok cupping yang sedang aku

110
Monolog Kopi

pegang. Kembali aku mundur satu langkah agar tidak menghalangi


peserta lain.

“Kekentalan dari lemak, minyak, dan endapan yang terasa saat


kopi diseruput. Kau bisa membayangkannya seperti menyeruput
susu. Bagaimana kekentalan minyak yang kau rasakan,” jelasku.
Seperti biasa, ia mengangguk mengerti. Menatap beberapa detik
mimik wajah Grey, tiba-tiba saja kepalaku terasa pening. Sejurus
tanganku langsung menuju ke pelipis yang diikuti dengan mataku
yang sedikit menyipit menahan sakit.

“Kenapa kau, Har?”

“Tidak apa-apa. Mendadak pening kepalaku. Tapi sudah tidak


apa-apa lagi.”

“Har, menurutmu mana yang berbeda dari enam kopi itu?”


Tanya Pak Surya yang tiba-tiba sudah berada di sampingku.

“Aku menemukan karakter rasa yang tidak biasa di kopi


Owa Jawa sama Bongso Pak. Sepertinya cocok masuk daftar menu
selanjutnya,” kataku.

“Kalau Bongso aku juga setuju, Har. Tapi kalau Owa Jawa
aku masih ragu sepertinya, Har,”

“Menurut saya, Owa Jawa mempunyai aroma herbal yang


kuat, Pak. Itu jarang ditemui,” bantahku.

“Ok. Kita lihat di sesi terakhir nanti ya,” kata Pak Surya
sambil meninggalkan senyuman.

111
Prajna Vita

Memasuki sesi terakhir, yaitu after taste. Pada sesi ini kopi
diteguk untuk mendeteksi rasa apa yang melekat di kerongkongan.
Sebagian besar kopi memiliki after taste dengan rasa manis.

“Apa kau sudah mengerti untuk yang sesi ini?” Tanyaku pada
Grey. Aku menanyakannya karena dari tadi tidak ada pertanyaan
lagi darinya.

“Kalau ini aku sudah mengerti. Bukankah kau dan Vendra


sering sekali membahasnya ketika kita ngopi bareng?!” Katanya
dengan nada juteknya. Ini juga yang aku suka.

“Hmmm, iya,” kataku sama juteknya. Lalu, aku melanjutkan


pada identifikasi kopi Owa Jawa untuk mengetahui karakter after
tastenya. Tiba-tiba, rasa pening itu kembali muncul. Aku cepat
menjatuhkan sendok cupping hingga menimbulkan sedikit bunyi
karena benturan antara sendoknya dan cangkir. Secepatnya aku
mundur satu langkah. Grey seperti kaget melihatku dan memalingkan
kepalanya padaku. Aku diam. Tiba-tiba aku merasa mual dengan
aroma yang sangat dominan di ruangan ini. Aku mencoba menahan
napas tetap saja menusuk hidung dan membuat kepalaku terasa
tertusuk. Ada apa denganku? Aku merasa enek melihat biji-biji
kopi dan cairan hitam yang berada di dalam cangkir-cangkir itu.

Aku buru-buru berjalan ke depan dan keluar kedai. Aku


seperti menyenggol entah pundak siapa, tapi aku ingat betul ia tidak
sedang membawa kopi jadi beruntunglah, aku tidak dimaki-maki
karena kopi spesialnya tumpah.

112
Monolog Kopi

Aku merasa lemas dan kepalaku berdenyut. Aku segera


duduk di bangku luar kedai. Telingaku merasa panas dan perlahan
keringat mengucur dari punggung dan dada. Aku menarik napas
perlahan menyenderkan punggung dan memejamkan mata.

“Kau sehat?” Suara itu, aku tahu betul itu Grey. Aku malas
menggerakkan bola mata untuk melihatnya. Aku hanya menggeleng,
beberapa detik kemudian aku menatapnya dan kembali pada
pandangan lurus.

“Kau sakit?” Tanyanya kembali setelah melihatku tak ada


jawaban.

“Sedikit pusing,” kataku. Ia menawariku minyak angin untuk


menghangatkan kepalaku. Aku menerimanya dan mengolesi di
sekitar hidung untuk menghilangkan aroma kopi itu. Grey tidak
mengatakan apa-apa. Ia masih diam memerhatikanku.

“Kau kenapa, Har?” Suara Vendra muncul tepat di depanku.


Belum sempat aku menjawab, aku kembali mencium aroma kopi
dan kepalaku mendadak pening diikuti dengan rasa enek. Aku
segera menutup hidung. Untung saja tanganku bekas minyak angin,
sehingga aku masih bisa menahan muntah.

“Har,” Vendra menanyakan kembali sembari mendekatiku.


Semakin aku dapat mencium aroma itu. Aku menahan napas
hingga pipiku mengembung. Cara ini aku lakukan untuk menahan
muntahan. Beberapa detik aku menatap Vendra dan segera beranjak.
Refleks aku mendorong pundak Vendra hingga ia terpental ke

113
Prajna Vita

belakang. Aku segera pergi untuk menghindari aroma itu.

***

Aku memilih untuk pulang dan kembali menutup pintu


kamarku rapat-rapat. Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Otakku
seperti menuruti perasaanku untuk membenci hal-hal itu. Seketika
aku teringat pada ibu. Maafkan aku, Ibu. Beri aku sedikit waktu lagi
untuk bisa menemukan kopi yang paling istimewa dan membuat
penikmat seperti menemukan rasa ajaib di dalamnya. Aku masih
mengawalinya dengan pencicipan citarasa sebelum aku yang
mengolah sendiri.

Aku kembali memandangi kotak yang berisi catatan impian


hebat itu. Aku tidak percaya ibu akan menulis hingga empat buku
dengan tebal kira-kira dua ratus lembar per bukunya. Untuk binder
aku tidak tahu pasti berapa jumlah halamannya.

Aku beranjak dan menarik kotak itu untuk melihat ada apa
saja di dalamnya. Namun, tanganku berhenti ketika terdengar
ketukan pintu. Aku segera melangkah membuka pintu.

Vendra dan Grey yang datang. Mereka berdiri masih terdiam.


Aku memerhatikan Vendra lebih lekat untuk memastikan ia
membawa aroma kopi atau tidak. Sepertinya ia merasa terintimidasi
olehku. Sikapnya salah tingkah dan penuh tanya. Kemudian ia
menyodorkan ponselku. Aku baru ingat kalau ponselku masih aku
titipkan padanya.

“Untuk menanyakan kau kenapa saja susah,” katanya sembari

114
Monolog Kopi

menyodorkan ponsel itu dan aku mengambilnya, “Ada apa? Kau


marah padaku?” Lanjutnya dengan suara yang sedikit meninggi.
Aku menjadi tidak enak karena kau pasti mengira aku membencimu
dengan tatapanku yang semakin mengintimidasi. Maafkan aku.
Aku sedang memastikan bahwa kau tidak membawa aroma kopi.
Aku tahu betul aroma itu tak kan pernah lepas dari tubuhmu.

Aku menggelang kemudian menggeser posisi berdiriku untuk


memberi jalan agar mereka masuk. Vendra melangkah lebih dulu,
“Jangan dekati aku,” kataku ketika melihat Vendra melangkah
masuk. Ia berhenti tiba-tiba. Menatapku penuh tanda tanya. Untuk
menghindari pikirannya ke mana-mana aku segera melangkah
masuk lalu diikuti oleh mereka berdua.

Aku duduk berlawanan dengan Vendra untuk menghindari


Vendra dekat denganku. Ia masih tampak bingung dan menatapku
penuh pertanyaan. Grey masih belum mengeluarkan pertanyaan
apa pun.

“Aku merasa pusing ketika mencium aroma kopi. Bau itu


membuatku ingin muntah. Maafkan aku, Ve,” kataku kemudian
karena tidak mau ada yang bersuara lebih dulu.

“Kenapa tiba-tiba begitu?” Kata Vendra yang sudah mulai


tenang ketika mendengar alasanku.

“Aku tidak tahu,” aku diam sejenak, “Aku merasa ada yang
membelenggu ketika berhadapan dengan kopi. Ketika aku meng-
cupping, konsentrasiku juga tidak berada di kopi seratus persen,”

115
Prajna Vita

aku berhenti sejenak. “Kau sudah tahu kenapa aku pulang ke Jakarta
lebih cepat dan tidak membawa hasil apa pun?” Lanjutku ketika
aku teringat bahwa aku belum menceritakan padanya.

“Grey sudah menceritakannya padaku. Jangan menyalahkan


dirimu sendiri begitu, Har. Rasa benci bisa memengaruhi
perasaanmu,” ujar Vendra.

“Kedai kacau. Pak Surya pusing dengan omsetnya yang


menurun drastis. Pelanggan menagih menu kopi-kopi baru.
Menanyakan singel origin dari Tanah Petung. Sedangkan kopi
dari Jogja itu mengalami masalah. Pak Surya beberapa kali
memintaku membawamu untuk menemuinya. Aku tidak berani
mengganggumu,” ia berhenti sejenak. Tak ada balasan dariku, lalu
melanjutkan, “Lalu kenapa lagi denganmu? Kau seperti menolak
aroma kopi?”

Nadanya begitu lemah dan masih diam menunggu jawaban


dariku. Aku sendiri tidak tahu apakah aku mampu melawan aroma
itu atau tidak. Jika tidak, lebih baik hidupku berakhir di sini saja.

Untuk apa masih bertahan? Memberikan apa yang sudah aku


janjikan saja tidak bisa. Masih proses? Sampai kapan mau dibilang
masih proses? Terus-terusan stag di tempat, apa arti sebuah proses
kalau begitu? Sabar! Mau sampai kapan sabar! Sabar juga ada
batasannya! Dengan sabar mampu maksimal. Memang betul, tapi
waktu tak bisa diajak kompromi! Kelihatannya saja waktu berjalan
lama, padahal sangat cepat. Sekali lengah, semua peluang hilang
dari genggaman. Jadi tak boleh lengah, aku tak boleh lagi lengah.

116
Monolog Kopi

Banyak tujuan yang perlu aku capai dan peluang seringkali ada di
depan mata. Kesempatan jangan sampai aku sia-siakan. Ambisius
sekali aku ini! Ah, manusia juga perlu ambisi untuk mencapai
tujuan tertentu. Toh, masih ingat, bahwa segala sesuatu yang
terjadi, termasuk kegagalan itu sudah rencana Tuhan.

Sungguh aku sangat berterimakasih padamu, Ve. Kau yang


membawaku hingga seperti ini. Mengenal dunia kopi lebih dalam
dan aku mampu mengembangkan kemampuan coffee cupping.
Sampai-sampai beberapa kedai membutuhkanku untuk membantu
menentukan kopi yang paling istimewa. Kopi yang bukan hanya
bisa membuat penikmat merasa bahagia tetapi juga membuat kedai
mendapatkan omset besar.

Meski aku bisa menegaskan biji kopi mana yang mempunyai


rasa istimewa, tetapi tidak akan berarti jika tidak ada kau, Ve.
Kau ialah seseorang yang bertanggung jawab menyampaikan rasa
dari kopi kepada peminumnya, sehingga kopi berhasil disukai Si
Peminum.

“Bisa kau bantu aku?” Kataku pada Vendra. Aku melihat


senyum ringan di bibirnya. Sepertinya kelegaan itu muncul di
hatinya. Aku melihat Grey ikut tersenyum dan, ah sial, selalu
membuatku ingin mencuri pandang padanya.

***

117
Prajna Vita

Aroma 8
Penolakan Coffee Tasting

Aku mengendus. Tidak tercium aroma kopi dari tubuh Vendra.


Hari ini ia sengaja memakai banyak parfum agar aroma kopi
tidak tercium olehku. Ia mengajakku pergi ke toko buku untuk
membeli perlengkapan gambarnya yang sudah mulai habis. Aku
memilihkannya sketchbooks dengan kover tipografi. Aku suka
ketika ia membuat tipografi dari beragam tema. Karakternya selalu
berbeda dan goresan dari drawingpen-nya selalu rapih.

Aku mengerti Vendra mengajakku keluar rumah. Ia ingin


membuat pikiranku sedikit lebih segar. Biasanya ia selalu
membuatkanku kopi untuk mengatasi masalah, tetapi kali ini
kasusnya berbeda. Ia memilih cara lain. Aku akui, kau tidak pernah
kehabisan akal.

Honda CBR 150R menghentikan suara mesinnya setelah


kami tiba di depan rumah. Aku menegakkan pundak. Seketika aku
tertuju pada pintu rumah yang terbuka.

“Kau tidak mengunci pintu?” Tanyaku sedikit panik.


Memastikan rumah tidak dibobol maling. Aku akan siap mencari
pentungan jika tiba-tiba Vendra panik ketika melihat pintu rumah
kami terbuka. Namun, tidak ada reaksi apa pun dari Vendra
meskipun matanya sudah melihat ke arah pintu rumah.

118
Monolog Kopi

“Ada malaikat yang menjaganya,” ujarnya sambil tersenyum


kecil. Aku mengikuti senyumnya. Memang kau pandai bercanda di
saat-saat orang merasa genting.

Aku langsung tertuju pada lilin yang menyala di atas sebuah


cangkir ketika memasuki rumah. Cantik, sungguh cangkir yang
cantik dengan desain batik berwarna hitam dan dilengkapi tatakan
yang senada. Aku belum pernah melihat cangkir seperti itu
sebelumnya.

Aku mencium aroma kopi yang berasal dari asap lilin itu.
Aku mendekatinya, ternyata cangkir itu berisi biji-biji kopi dan
lilinnya tertanam di dalamnya. Semakin aku mendekatinya, aroma
itu semakin tajam. Aku belum merasa pusing.

“Kau meninggalkan rumah dengan lilin yang masih menyala?”


Kataku ketika tersadar kami tidak di rumah pada beberapa jam lalu.
Tidak lucu juga jika rumah kebakaran karena perkara lilin. Meskipun
dimaksudkan sebagai hiasan tetapi tetap saja mengandung risiko
besar. Apalagi rumah dalam keadaan kosong.

“Aku tidak tahu Grey membuat furniture baru untuk kita,”


katanya dengan bingung. Aku segera memalingkan pandanganku
padanya. Grey? “Kemarin aku hanya memberi kunci rumah untuk
meminta tolong mengambilkan aeropress18, aku lupa memintanya,
mungkin dia juga sama-sama lupa,” lanjutnya. Aku mengangguk
pelan dan mataku mulai menelusuri ruang tengah. Vendra masih
18. Alat manual brew yang menghasilkan citarasa kopi dengan tingkat
keasaman yang lebih rendah.

119
Prajna Vita

dalam posisi semula.

“Kau tidak pusing?” Tanyanya lagi. Membuatku harus


mengalihkan mataku padanya dan melupakan Grey yang aku tahu
betul pasti di dalam. Aku diam. Mengerlingkan bola mataku untuk
berpikir. Iya. Kenapa aku tidak merasakan apa-apa? Perutku sama
sekali tidak menunjukkan reaksi menolak. Hidungku berasa biasa
saja. Melihat Vendra menunggu jawabanku, aku segera menggeleng
pasti.

Aku melihat sosok Grey yang sejurus memutarkan posisi


duduknya untuk lebih jelas melihat kami. Ia sedang memilih-
milih biji kopi di meja bar rumahan kami. Tak ada suara. Ia masih
menatapku bingung.

“Apa kau merasa pusing dengan aroma yang aku buat ini?”
Tanyanya kemudian setelah melihatku tidak ada reaksi apa pun.
Aku menggeleng. Aku melihat lilin yang sama di dekat bug tembok
yang kosong. “Menurut beberapa ahli, cara ini merupakan salah
satu terapi untuk menyegarkan otak. Sebelumnya aku ragu, takut
penciumanmu menolak dan kau merasa pusing. Tapi ternyata
tidak. Kau masih baik-baik saja,” lanjutnya dengan senyum yang
merekah.

Vendra mulai sibuk untuk meracik kopi sedangkan Grey


kembali memilah-milah biji kopi.

“Aku tidak berpikir sampai situ. Terasa berbeda aroma


ruangannya,” kata Vendra sambil menuangkan air hangat dari catle

120
Monolog Kopi

ke tabung french press.

“Aku mengambil biji-biji yang cacat dari Kopnat lalu aku


manfaatkan untuk itu,” katanya sambil mengarahkan matanya
tertuju pada lilin tersebut.

“Kau mau apa?” Tanya Vendra pada Grey setelah meletakkan


cangkir dan french press itu di depanku. “Ini Bali Kintamani.
Kesukaanmu,” katanya padaku.

“Tidak usah. Tadi aku sudah membuat sendiri. Aku mencoba


kopi Owa,” kata Grey kepada Vendra.

“Seduh pake apa kamu tadi?”

“Tubruk. Hanya itu kan yang aku bisa,” kata Grey dengan
nada ringan dan pipi kanan yang berkerut malu, “Eh, bukan
aku tidak bisa. Hanya saja, aku belum berani menyeduh dengan
manual brew,” ralatnya singkat sebelum Vendra menyerang dengan
kalimatnya yang pesimis tadi.

“Menurutmu bagaimana sama Owa Jawa ini, Grey?” Tanya


Vendra sambil kembali ke dapur bar membuat kopi untuk dirinya.

“Waktu itu aku sudah mencicipinya waktu acara cupping,


menurutku enak. Kopi Owa jadi dimasukkan ke daftar menu Kopnat
untuk tiga bulan ke depan tidak Ve?”

“Menurutku pantas dimasukkan, tapi Pak Surya masih kurang


percaya,” hening sejenak, “Menurutmu bagaimana Har?”

“Menurutku juga rasanya berbeda dari yang lain. Tapi ya

121
Prajna Vita

begitu, Pak Surya juga masih ragu. Kalau yang Bongso menurutmu
bagaimana Ve?” Aku balik bertanya.

“Bongso aku suka. Karakternya kuat. Aku yakin pecinta kopi


penasaran dengan kopi itu.”

“Ya, aku yakin juga begitu.”

“Kalian tahu Owa itu apa?” Kata Vendra kemudian. Kami


masih diam, “Owa diambil dari nama monyet di kebun kopi daerah
itu. Monyet-monyet di hutan Petungkriyono, Pekalongan. Termasuk
binatang yang terlindungi loh,” lanjutnya. Ia berjalan kembali ke
meja kami dengan membawa french press dan satu cangkir kosong.
Sama seperti tadi.

“Yakin kau tidak mau lagi?” Tawarnya kepada Grey. Grey


hanya menggeleng. Aku tahu, lambungnya tidak sekuat lambungku
dan Vendra. Ia pernah mengatakan, bahwa ia bisa meminum paling
banyak tiga cangkir kopi dalam sehari.

“Ve,” kata Grey yang berhenti sejenak dari biji kopi yang
masih diseleksi itu. “Kenapa kau tertarik sekali dengan manual
brew?”

“Seperti memainkan musik. Kau tahu? Peminum kopi selalu


menemukan cara ajaib untuk menikmati kopinya? Sama seperti
itu. Aku juga bisa menemukan cara ajaib untuk menyeduh kopiku.
Dengan manual brew ini.” Grey masih diam. “Konsentrasi, tenang,
teliti. Lalu, ketika air mulai memasuki kopi. Semua itu membuatku
seperti memainkan alunan musik. Mulai dari mendengar kucuran

122
Monolog Kopi

air, buih yang terseduh, aroma, hingga rasa setelahnya,” lanjut


Vendra.

“Lalu, kau mau menguasai semua alat-alat itu?” Tanya Grey


sambil menunjuk dapur bar yang sudah penuh dengan alat manual
brew.

“Pastilah. Untuk apa aku menyediakan manual brew lengkap


seperti itu. Aku buat dapur bar sendiri di rumah. Aku bisa dua
kali belajar, di tempat kerja dan di rumah. Itu juga menjadi area
kerja Har,” kata Vendra. Tak ada jawaban dari Grey. Ia hanya
mengangguk.

Aku menyeruput kopiku dan menemukan rasa yang memang


sudah aku kenal sebelumnya. Rasa kopi seperti biasa. Aku tidak
menemukan rasa asam di dalamnya. Hanya pahit saja. Untuk
manisnya juga tidak ada. Aku menyeruput kembali. Pahit. Lagi
aku lakukan dan masih sama. Pahit. Aku berhenti sambil menatap
Vendra yang ternyata memerhatikanku.

Vendra tidak menanyakan apa pun. Ia masih saja lekat


menatapku. Aku mencoba menyeruput kembali. Tetap pahit. Aku
mencoba membiarkannya lebih lama di dalam mulut. Masih tetap
pahit. Ada apa?

“Boleh mencicip kopi owamu?” Kataku pada Vendra.


Sepertinya ia tahu ada yang tidak beres denganku. Aku menyeruput
dan menahannya di mulut. Tetap saja pahit. Tidak ada karakter rasa
yang keluar.

123
Prajna Vita

“Grey, mau kau coba minum kopiku? Rasa apa yang kau
tahu?” Kataku pada Grey yang sudah sibuk dengan gadgetnya.
Ia mengambil cangkirku dan mulai menyeruput. Ia menahannya
sejenak. Matanya berkeling, dahinya mengkerut. Sama seperti
Vendra yang sedang menganalisis rasa kopi.

“Asam, seperti buah. Citrus ya,” katanya meyakinkan


bahwa ia masih mempelajari karakteristik kopi dari diagram rasa.
“Memang itu karakteristik dari kintamani, bukan?” Ujarnya.

Aku kembali mengambil cangkir itu dan kembali


meminumnya sekali lagi. Masih tetap pahit. Vendra tak mau kalah.
Ia juga mencoba mengambil cangkirku dan ikut menyeruputnya.

“Rasa Bali kintamani. Citrus dengan rasa asam seperti buah.


Ada masalah?” Katanya.

“Pahit,” jawabku.

Aku mencoba mendekatkan hidungku pada cangkir yang


berisi bali kintamani dan owa secara bergantian. Sama. Kenapa
aroma kedua kopi ini sama? Aku juga tidak mencium aroma kopi
yang biasanya sangat tajam. Vendra masih terus memerhatikanku.
Aku diam.

“Ada apa denganku!?” Kataku kesal sambil mengacak-acak


rambutku sendiri, “Mengapa aku tidak menemukan rasa khasnya?
Hanya rasa pahit. Di dua cangkir ini aku hanya merasakan pahit.
Tidak ada citrus, tidak ada rempah. Bahkan after taste-nya pun
tetap pahit,” kataku dengan nada suara yang sedikit meninggi.

124
Monolog Kopi

“Apa yang sedang kau pikirkan?” Tanya Grey.

“Mungkin karena efek flu yang masih menyerangku akhir-


akhir ini,” kataku.

Aku diam dan beberapa detik memejamkan mata. Tiba-tiba


kepalaku terasa berdenyut. Rasa mual itu kembali datang.

“Bisa kau matikan lilin-lilin itu,” kataku pada Grey. Ia segera


bangkit untuk mematikan lilin dengan sedikit panik. Aku menarik
napas panjang dan segara keluar rumah untuk mencari udara segar.

***

Udara di luar lebih membuatku lega. Setelah aku merasa


aroma kopi sudah tidak tercium lagi dari dalam rumah aku memilih
duduk di teras. Aku melihat langit siang ini begitu cerah dan awan
perlahan-lahan berjalan. Bertemu dengan kumpulan awan lain
dan membentuk berbagai bentuk gambar karena imajinasiku yang
melayang-layang. Seketika kepalaku mendadak pusing dan terasa
berat pada tulang pipi. Beberapa hari ini aku memang merasa sedikit
flu. Namun, flu itu akan menyerangku lebih besar pada malam dan
pagi hari.

“Sudah sedikit baikan?” Suara Grey mengagetkanku dan


membuat mataku tertuju pada sumber suara. Aku menaikkan
bokongku mengatur posisi dudukku yang sebenarnya suda rapih.
“Kata Ve, kau akhir-akhir ini juga sedikit sakit. Lebih sering bersin.
Terutama di pagi sama malam hari. Kenapa?” Lanjutnya.

“Sedikit flu saja,” ujarku.

125
Prajna Vita

“Tapi gejala itu seperti sinus.”

“Sinus?” Aku diam sejenak, “Hanya flu biasa, Grey. Tidak


sampai separah itu lah. Paling beberapa hari ke depan sudah sembuh
lagi,” lanjutku.

“Jangan begitu disepelekan, Har. Hidungmu aset terpenting


loh,” ujarnya. Aku tak menjawab lagi. Penyakit flu yang saat ini
menyerangku selain kambuh pagi dan malam hari, ketika udara
dingin juga aku hampir tidak bisa menghitung berapa kali bersin dan
mengeluarkan ingus. Di sekitar tulang mata selalu terasa berat dan
rongga-rongga tulang kepala bagian depan hingga hidung seperti
menampung cairan. Aku sulit mencium berbagai jenis aroma yang
ada di sekelilingku. Aroma kopi dari lilin tadi baru bisa aku cium
setelah beberapa menit dan rasa mual itu kembali muncul.

“Pak Surya sudah menagihmu kopi-kopi baru untuk


pergantian menu?” Tanya Grey setelah kami diam beberapa menit.

“Ya. Tapi aku belum bisa.”

“Semakin sepi. Kopnat Membutuhkan branding singel


origin yang biasanya kau temukan.”

“Ya, tapi aku masih membutuhkan waktu,” kataku. Aku


merasa suaraku semakin melemah. Grey hanya mengangguk-
angguk beberapa kali kemudian melihat ke ubin. Lalu kembali lagi
memandangku.

“Kabarnya, Pak Surya akan mengganti konsep Kopnat jika


masih terus seperti ini. Tidak lagi mengandalkan kopi nusantara

126
Monolog Kopi

dari pelosok. Mengubah kedai seperti kedai-kedai pada umumnya.


Menambah menu dengan fariasi blanding termasuk menambah
menu makanannya,” ujarnya memelan. Aku sedikit menahan
tatapanku padanya. Maksudku, karena aku kaget dengan apa
yang aku dengar, “Bahkan. Ia akan menambah fasilitas wifi. Agar
peminum kopi betah berlama-lama di Kopnat,” lanjutnya.

Aku tidak bisa berbicara. Lebih baik Kopnat mati suri untuk
beberapa waktu, tetapi tetap dengan konsep yang sama. Daripada
harus mem-branding ulang dan menghilangkan idealisme untuk
mengenalkan kekayaan kopi Indonesia. Idealisme itu sudah kami
bangun dari awal menyusun rencana bisnis--Aku, Vendra, dan Pak
Surya sendiri--.

“Aku tahu, itu bertolak belakang dari keinginan kalian.


Kau dan Vendra. Namun, itu keputusan pemilik. Vendra sudah
membicarakan hal ini pada Pak Surya, tetapi Pak Surya terlalu
keras kepala..,”

“Aku yang membuat keadaan menjadi begini..,”

“Jangan lagi menyalahkan dirimu!” Sergah Grey dengan


nada suara sedikit membentak, “Vendra masih berusaha mengambil
hati Pak Surya. Kau dan Vendra punya idealisme yang sama di
dunia kopi. Tidak bisa dihancurkan begitu saja. Itu prinsip kalian
berdua. Tidak mudah mencari orang yang bisa mengikuti idealisme
kalian, Har. Dan Pak Surya tahu itu,” ujarnya. Kali ini aku melihat
Grey tampak sedikit marah.

127
Prajna Vita

“Meskipun ia jual Kopnat. Belum tentu pembeli mengerti


idealisme kalian, dimana kalian tetap terlibat di Kopnat. Jika
kalian pindah ke kedai lain? Pasti sama saja, Har, akan ada
ketidaknyamanan karena perbedaan tujuan,” lanjutnya.

Aku diam. Mataku menatap kosong. Meskipun aku bisa


dikatakan melamun, tetapi bukan berarti mengosongkan pikiran.
Aku masih memikirkan bagaimana aku bisa mengembalikan
omset Kopnat seperti semula. Aku masih memikirkan agar segera
menemukan singel origin terbaik. Namun, bagaimana jika kemauan
Pak Surya begitu keukeuh. Jika aku terlambat mengembalikan
kemampuanku, Kopnat tidak bisa diubah konsepnya begitu saja.

“Beli Kopnat,” kataku kemudian.

Grey sejurus melihat padaku. Matanya terbelalak tetapi


tidak berkata apa pun.

“Beli Kopnat, maka konsep itu tidak akan berubah,” lanjutku


menegaskan.

***

Akan adanya perubahan konsep Kopnat sungguh membuatku


genting. Tidak bisa begitu saja konsep dirubah. Aku masih ingin
mewujudkan tujuanku dan tujuan bersama Vendra. Aku tidak mau
petani-petani kopi kehilangan omsetnya hanya karena perubahan
idealisme Kopnat. Mereka juga perlu sejahtera.

Betul, satu-satunya cara ialah membeli Kopnat lalu


mengembangkannya bersama Vendra. Dengan begitu kami bebas

128
Monolog Kopi

menyediakan kopi-kopi nusantara yang kami temukan.

“Ve,” kataku menghampiri Vendra yang masih saja luput


di dapur bar. Kali ini bukan menyeduh kopi, tetapi merangkai
tipografi. Ia langsung menghentikan coretan dari penanya lalu
memandangku. “Apa benar, Kopnat akan dirubah konsepnya?”

“Ya, Dari hasil cupping kemarin, Pak Surya tidak menemukan


kopi yang cocok. Para roaster juga seperti biasa saja dengan rasa-
rasa baru kopi itu. Dia sudah kepepet dengan anjloknya keuntungan
beberapa bulan belakangan ini. Dan..., aku tidak bisa mencegahnya,
Har,” katanya dengan nada kekecewaan di akhir. “Kenapa?”
Tanyanya karena tidak ada tanggapan dariku.

“Tidak apa-apa. Hanya mengklarifikasi,” kataku sambil


berbalik dan menuju ke kamarku.

Pada saat tengah malam begini pikiranku baru bisa merasa


tenang. Memikirkan strategi-strategi untuk mencapai tujuan. Hal
ini membuatku tidak bisa tertidur. Mata bisa terpejam, tetapi untuk
terlelap, sungguh menyulitkan.

Aku harus menghubungi Mas Bayu untuk kembali mencari


citarasa kopi baru. Apabila penemuan kopi itu masih tetap tidak
diterima oleh Pak Surya dan dia keukeuh dengan perubahan konsep.
Aku tak mau kalah juga untuk membeli Kopnat dan menerapkan
kopi pilihanku nanti.

Aku segera meraih ponsel. Ingin menelfonnya langsung,


segera aku urungkan. Tidak mungkin dia bisa menanggapi dengan

129
Prajna Vita

serius di saat aku mengganggu waktu tidurnya. Aku mengiriminya


pesan melalui watsapp, tidak mungkin tidak dibaca. Aku ingin
bertemu dengannya besok di ruang roasting-nya. Aku dengar, ada
beans yang ia bawa dari beberapa daerah. Aku akan ikut tasting
hasil roasting-nya. Ah, aku menyesal menolak tasting kopi dari
hasil roasting-nya beberapa hari lalu, saat aku masih membenci
semua orang.

***

Respon yang baik dari Mas Bayu mampu melawan rasa


kantuk. Pagi-pagi sekali aku sudah berangkat menemui Mas Bayu.
Vendra tak akan bangun pagi-pagi begini, jadi aku tidak akan
membuatnya bertanya-tanya.

“Dapat ilham kau di tengah malam begitu,” ujar Mas Bayu


yang masih memainkan gadget-nya. Entah apa yang ada di
ponselnya tersebut sampai berbicara tanpa melihatku.

“Ada dari daerah mana saja yang kau bawa kemarin Mas?”
Tanyaku tanpa tedeng aling-aling.

“Ada dari Gunung Sumbing, Kayumas Jawa Timur, sama


Wonosobo. Hanya ada itu.”

“Aku coba cupping semua Mas,” kataku cepat membuat


matanya langsung beralih dari layar gadget ke mukaku.

“Ancur Har kalau aku roasting lebih dari satu jenis kopi.
Bukan aku tidak bisa, tetapi aku tak mau hasil roastinganku

130
Monolog Kopi

tidak maksimal. Kau coba yang sudah aku roasting saja dulu,”
katanya dan ia langsung mengambil bungkusan kopi tersebut lalu
membuakanya di depanku.

“Seperti ini green beans-nya.”

Aku meraupnya dan menciumnya satu persatu. Ia mengambil


kopi dari Gunung Sumbing yang telah di roasting dua hari lalu.
Kemudian meletakkannya di depanku dengan catatan hasil roasing-
annya.

“Menurutku tidak ada masalah untuk skala roasting yang


kubuat ini,” katanya. “Coba kau cicipi,” lanjutnya. Aku segera
menyeduh kopi dari ketinggian tanah 140 Mdpl ini. Beberapa bulan
lalu aku pernah mencari singel origin ke sana. Namun, dengan
perkembangan kebun kopi di tanah Jawa Barat tersebut muncul lah
kopi-kopi jenis baru.

“Kenapa hambar ya Mas?” Kataku setelah meng-cupping-


nya.

“Ah, masa’, Har?” Katanya tak kalah kaget. Ia segera menyeret


cangkirku ke hadapannya dan ikut mencicipi kopi itu. “Seperti
biasa Har. Tidak hambar sama sekali. Enak kok,” lanjutnya. Tak
ada jawaban dariku dan aku langsung menyeret cangkir itu kembali
padaku. Mencicipinya sekali lagi. Kenapa hambar? Aku berkali-
kali menyeruputnya. “Boleh kau roasting kopi yang lainnya?”
Kataku kemudian setelah aku lelah tidak mendapatkan rasa apa pun
di kopi ini.

131
Prajna Vita

Mas Bayu mengambil kopi Bongso yang aku ingat betul ada di
acara cupping Kopnat beberapa hari lalu. Katanya, ia memilih kopi
dari tanah Wonosobo itu karena aku sudah mengenali sebelumnya.
Sepertinya ia merasakan ada sesuatu yang tidak beres padaku.

Aku menyiapkan sepuluh cangkir seduhan dengan grind size


yang berbeda. Dari sepuluh cengkir tersebut harus ada tujuh yang
19

pas, dengan begitu kopi akan lolos uji.

“Mas, kenapa hambar begini ya?” Kataku setelah tiga cangkir


sudah aku cupping. Aku tidak menemukan rasa lain selain pahit dari
tiga cangkir tersebut. Harusnya ada rasa lain selain rasa pahit itu.

“Ah, pasti ada masalah denganmu Har. Semua skala ini sudah
sesuai standard SCAA (Specialty Coffee Association of America)
kok, seperti biasa. Aku juga tidak menemukan rasa yang ganjal.
Jangan bilang kau mau mengetes roasting-an satu persatu secara
mundur loh, Har,” katanya. “Hitungan skalaku ini sepertinya sudah
benar. Seperti biasa,” lanjutnya dengan memperhatikan kembali
catatan roasting-nya itu.

“Ah, ada apa denganku!” Kataku dengan mengacak-acak


rambutku kesal. Aku benar-benar hanya menemukan rasa hambar
dan sedikit pahit. Tak ada rasa lain yang mengikutinya. Aku diam
sejenak dengan posisi memejamkan mata. Mendecakkan lidah
untuk menemukan rasa yang tertinggal. Tetap tidak ada. Tiba-
tiba kepalaku mendadak pening. Aku segera membuka mata
dan banyak sekali kunang-kunang. Aku pusing dengan bau kopi

19. Halus kasarnya gilingan biji kopi.

132
Monolog Kopi

yang menyelimuti seluruh ruangan ini. Lambungku seperti ingin


memuntahkan semua isinya. Aku segera berlai keluar ruangan dan
mencari kursi senderan yang bisa membantuku agar tidak pingsan
di sini.

Nafasku terasa pendek dan perlahan aroma kopi itu hilang


diiringi denyutan kepalaku juga semakin membaik. Setelah
aku merasakan tidak ada lagi kunang-kunang yang menutupi
pandanganku, aku segera pergi. Aku merasakan Mas Bayu keluar
dari ruangan setelah aku berjalan meninggalkan pintu ruang roasting
itu. Jangan sampai aroma tubuh Mas Bayu membuatku kembali
enek. Lebih baik aku langsung pergi saja. Aku ingin menenangkan
diriku sejenak dari aroma kopi.

***

133
Prajna Vita

Aroma 9
Perlakukan Kopi Secara Manusiawi

Mengapa semakin larut terasa semakin hidup? Keheningan malam


sering kali menciptakan beragam hal-hal menakjubkan. Mampu
menghasilkan banyak cerita dan ide-ide gila dari otak-otak alam
bawah sadar mereka yang matanya masih terjaga.

Tuhan benar menciptakan dua waktu, terang dan gelap.


Kegelapan mungkin menakutkan, identik dengan jalan buntu, atau
bahkan dihakimi sebagai keadaan suram. Namun, aku tidak merasa
takut ketika gelap itu datang, karena aku yakin bahwa gelap itu
langkah menuju cahaya, perjalanan untuk mencapai cahaya itu.
Perjalanan merupakan salah satu langkah untuk mencapai sebuah
tujuan hidup.

Sama seperti kopi. Menyeduh kopi ialah sebuah perjalanan,


mengatur rasio sama saja mengatur perencanaan, menikmati
tetes demi tetes ibarat langkah untuk menghasilkan rasa yang
menakjubkan. Rasa ajaib merupakan tujuan utama kopi itu
disajikan.

Kali ini aku masih menunggu gelap, bukan berarti menunggu


kesuraman yang akan datang padaku. Aku menunggu malam,
tepatnya tengah malam, untuk menemui dunia kopi. Aku ingin
melatih kembali kepekaan penciuman dan perasanku terhadap kopi.
Aku tidak mau larut jatuh meninggalkan kopi karena perkara sepele

134
Monolog Kopi

seperti ini. Tujuanku masih panjang, aku membutuhkan kemampuan


dan proses yang matang untuk tetap bersama kopi. Dunia kopi telah
membantuku mengembangkan pikiran, membuka mata hati hanya
melalui rasa-rasa itu. Tidak mungkin, bahkan jangan sampai aku
meninggalkan dunia kopi.

Malam ini Kopnat akan tetap hidup karena aku akan meng-
cupping beberapa kopi di sana. aku membutuhkan keheningan
malam agar konsentrasiku dapat terkontrol untuk menemukan
karakteristik rasa kopi.

Aku meminjam Kopnat pada Vendra satu malam. Hampir


satu bulan aku meninggalkan dunia kopi dan aku merasakan
kerinduan itu, aku mencandunya tetapi rasa mual yang tiba-tiba
muncul membuatku menolak. Meskipun hidungku susah mencium
aroma kopi dan lidahku hanya bisa menemukan rasa pahit, tetapi
karakteristik aroma dan rasa kopi lainnya kerap membayangiku.

Aku sengaja memilih Kopnat agar tidak melihat dapur bar


saja, tetapi juga suasana kedai. Aku rindu melihat kedai ramai
dikunjungi oleh penikmat kopi yang menunggu singel origin
dari Kopnat. Aku rindu saat aku duduk ditemani secangkir kopi
pilihanku yang diracik oleh Vendra. Aku rindu saat aku memandangi
cairan hitam pekat itu yang tidak bisa untuk bercermin, sehingga
aku tidak merasa menjadi orang paling hebat. Aku rindu saat aku
menghentikan kopi itu masuk ke mulut kira-kira setengah senti.
Menghirup aromanya dan seketika itu mendorong aku untuk segera
menyeruput karena penasaran terhadap karakter rasanya. Aku rindu

135
Prajna Vita

teguk demi teguk kopi itu membasahi tenggorokkanku seketika


ingatanku tertuju pada kenangan masa lalu yang pahit dan manis,
persis seperti kopi.

Aku membutuhkan kesendirian untuk menemukan berbagai


hal ajaib itu. Luput memandangi, menghirup, menyeruput,
menahan beberapa detik di dalam mulut, menelannya, menemukan
karakternya, dan mendapatkan after taste yang tertahan lama
di mulut, serta luput mencatat apa yang aku temukan, lalu
memberikannya pada Vendra dan senyuman barista itu akan
mengembang.

“Yakin kau mau sendiri? Jangan tinggalkan kedai dalam


keadaan tidak terkunci ketika kau keluar karena perutmu tidak lagi
mau menerima kopi,” ujar Vendra yang sedang mencopot apronnya
kemudian dilipat dan diletakkan di rak bawah meja bar bersama
tumpukan apron lainnya. Ada keraguan di mimik wajahnya tetapi
ia tutupi dengan senyuman.

Saat seduhan kopinya dihargai oleh pelanggan, senyum Vendra


selalu dibawa sampai ke rumah. Ia akan merasa bahagia ketika
penikmat kopi juga bahagia setelah meminum kopi racikannya.
Umumnya, barista memang merasakan hal yang sama. Barista akan
bahagia jika peminum kopinya juga bahagia. Menurutnya, coffee is
language in itself dan yang bertugas mengartikan itu ialah the men
behind the bar, ia ingin menjadi salah satu dari mereka. Barista
bukan hanya menyeduh kopi dengan perasaan tetapi juga dengan
cinta. Kebahagiaan itu amat dekat dan terkadang kebahagiaan juga

136
Monolog Kopi

diterjemahkan secara sederhana oleh secangkir kopi.

Berada di dunia kopi bukan sebatas bakat atau keterampilan


tangan yang mampu meracik kopi, tetapi kecintaan dan ketulusan.
Bisa dikatakan, bahwa creativity is one percent, ninety nine percent
caffeinetion atau 1% ialah barista sedangkan 99% ialah passion.

“Aku sudah siapkan lemon untuk menghilangkan rasa mual,”


ujarku. Ia hanya mengangguk mengerti lalu membalikkan tubuhnya
untuk meninggalkanku.

“Har,” Vendra membalikkan tubuhnya sebelum membuka


pintu kedai. Seketika aku menghentikan tanganku yang masih
mengelap meja untuk memandangnya. “Apa flumu kambuh lagi?
Kau bersin-bersin saat jalan ke sini?” Tanyanya.

“Ya,” kataku.

“Aku ingin besok kau pergi ke dokter. Jangan katakan itu


flu ringan. Flu biasa tidak selama ini,” ujarnya cepat sebelum aku
membantah dengan mengatakan ini penyakit ringan.

“...”

Ia tidak memberiku kesempatan berbicara. Ia segera berbalik


ke arah pintu, tangannya langsung mendorong pintu dan keluar
kedai. Mataku mengikutinya hingga tertelan gelapnya malam yang
hanya diterangi bohlam kuning di depan kedai. Aku terdiam dan
mengingat kembali apa yang dikatakan Grey sebelumnya. Sinus?

Lamunanku berhenti ketika aku tersadar mendengar detak

137
Prajna Vita

jarum jam yang terpasang di dinding sebelah kanan dapur bar. Suara
detaknya sangat jelas karena suasana malam semakin sunyi. Jam
menunjukkan waktu dini hari. Malam semakin diramaikan dengan
berbagai suara jangkrik dan binatang-binatang lain. Kebisingan
jalanan di depan kedai perlahan hilang.

Aku memandangi beberapa deretan stoples di depanku dengan


isi biji kopi yang berbeda. Aku mulai dari kopi bali kintamani,
karena perbedaan rasanya lebih mudah ditemukan. Untuk pecinta
kopi awam memang disarankan menggunakan kopi jenis ini, maka
aku memilih bali kintamani untuk percobaan pertamaku.

Aku tahu aroma kopinya sudah muncul sejak aku


mengucurkan air panas, tetapi mengapa sampai kopi ini memenuhi
cangkir aku belum mencium aroma apa pun. Beberapa menit
aku diam, memandangi kopi seduhan pertamaku. Aku menunggu
penciumanku terbuka sedikit demi sedikit. Sesekali aku kembali
melihat deretan stoples itu. Mataku tertuju pada arabika gayo dan
selanjutnya aku akan memilih kopi dari tanah aceh itu.

Aku kembali terfokus pada gelas di depanku. Kembali


meletakkan hidung lebih dekat ke bibir gelas. Mengapa aku tidak
menemukan aroma citrus di dalamnya? Hanya aroma kopi seperti
biasa, seperti kopi pada umumnya. Seharusnya ada aroma citrus.
Aku mencoba menyeruputnya, barangkali saja hidungku yang
bermasalah. Cairan satu seruputan masih tertahan di mulut. Hanya
pahit? Mana rasa buah-buahannya? Seperti tak ada rasa asam
sedikit pun. Kopi ini tidak mungkin salah, karena masih menjadi

138
Monolog Kopi

menu kopi di Kopnat. Akhirnya, aku mengangkat kepala dan


melakukan seduhan kedua.

Dua gelas seduhan kopi dari daerah berbeda sudah di


depanku. Aku mendekatkan hidung pada kopi sebelumnya, suhu
dari bali kintamani sudah mulai menurun, seharusnya ada aroma
karamel, tetapi aku tidak menemukannya. Aku berpindah pada
gelas di sampingnya, yaitu pada kopi arabika gayo. Tetap sama,
aroma kopi biasa yang aku temukan, tidak ada aroma tanah. Aku
menegakkan kepala dan menarik napas panjang. Aku kembali
menunduk mendekatinya. Lebih dekat dan semakin dekat, tetap
tidak ada perbedaan. Aku langsung mengambil satu sendok kopi
yang terkenal di Aceh ini dan menyeruputnya kuat. Sebelumnya
lidahku sudah dinetralkan dengan air putih jadi tidak ada rasa yang
tertinggal dari kopi sebelumnya.

Aku menahannya. Pahit. Hanya rasa pahit yang ada. Mana


rasa earthy-nya? Berkali-kali aku mencoba untuk mengenali rasa
apa yang ada di dalamnya, tak ada yang lain. Hanya pahit. Padahal
otakku sudah tahu bahwa ada rasa asam yang lebih tinggi daripada
pahit untuk bali kintamani dan rasa tanah pada kopi aceh gayo.
Kedua kopi tersebut sebenarnya sangat mudah dibedakan, tetapi
mengapa tidak ada. Ke mana rasa-rasa itu?

Aku berhenti sejenak. Aku diam dan menarik napas perlahan.


Segera menetralkan lidahku dengan air putih. Kemudian melakukan
seduhan ketiga dengan memilih kopi lintong dari Sumatera Utara.
Setelah seduhan itu sudah di depanku, sama seperti sebelumnya,

139
Prajna Vita

aku mendekatkan hidungku, sangat dekat. Hingga aku merasa


hidungku hampir saja menyentuh bibir gelas. Sama. Tetap aroma
kopi pada umumnya. Aku berusaha menyeruput. Menahannya
lebih lama, masih saja sama. Tidak ada rasa kacang-kacangan, tidak
ada rasa rempah. Putus asa aku menegakkan badan. Meletakkan
sendok dengan gusar. Malam semakin larut, suara-suara binatang
itu semakin banyak.

Mana perbedaan rasanya? Sama sekali tidak ada. Apa aku


sudah mati rasa? Aku tak tahu apa yang terjadi padaku. Lidahku
kenapa? Mengapa tidak bisa kutemukan juga?

Aku menjauh dari meja bar dan duduk di meja kedai yang
tidak jauh dari jendela agar bisa melihat suasana malam yang
remang. Setelah aku membalikkan badan, tiba-tiba langkahku
berhenti sejenak ketika melihat ada gitar yang tergeletak. Warnanya
coklat bercampur hitam, sungguh mengasyikkan, tidak jauh dari
kopi.

Aku menempelkan punggungku pada sandaran kursi besi.


Sudah memangku gitar itu dan bersiap memetiknya, tetapi aku
ragu. Padahal jari jempolku sudah memegang senar nomor enam
untuk memulai dengan suara bass. Dengan suasana sunyi seperti ini
dan aku bernyanyi meski lirih, pasti suara jelekku akan lebih jelas
terdengar.

Namun, jari-jariku tak bisa menahan. Dengan ringan aku


memetik senar dan terdengar suara petikan yang, sungguh,
membuatku ingin memejamkan mata dan memilih lagu apa yang

140
Monolog Kopi

ingin aku nyanyikan. Kembali aku petik senarnya. Kali ini senar
ketiga agar terdengar petikan melodi ringan. Berbarengan, dan jari-
jariku mulai bergerak hingga membuatku begitu tenang. Tak ada
suara dariku, alunan petikan gitar itu terasa merambati jemari.

Aku berusaha memejamkan mata dan berusaha mengosongkan


pikiran untuk membawa alam bawah sadarku pada alunan itu.
Namun, sayangnya justru terbesit Grey yang masih terlihat kumal
dengan rambut acak tak beraturan dan kaos oblong serta celana
tidur yang dipakainya. Namun, justru itu yang membuatnya cantik.
Dengan rambut tak beraturan dan wajah tanpa make up ia tampak
cantik natural. Aku pernah melihatnya berpenampilan seperti itu
ketika aku mampir ke rumahnya. Waktu itu, catatannya tertinggal
di kedai dan ia tidak bisa mengambil sendiri karena masih berkutik
dengan tugasnya.Katanya, ia masih mencari ide sambil menyalakan
musik favoritnya.

Ah, aku jadi mengingatmu dan aku langsung memikirkan


sedang apa kau di sana. Apakah masih bercumbu dengan malam
untuk menyelesaikan semua tugasmu? Atau kau sudah terlelap
dengan bantal yang kau apit di kepala bagian kanan atau kirimu?
Apakah kau memejamkan mata tetapi masih terjaga oleh berbagai
pikiran yang menggelayutimu?

Katanya, ia selalu terjaga ketika otaknya masih mencari ide,


padahal matanya sudah mengantuk berat. Akhirnya ia memilih
bangkit dan menulis apa saja yang menyulitkan tidurnya.

Mengapa malam begitu bersahabat untukmu? Apakah kau

141
Prajna Vita

ingin bercerita pada kertas dan pena agar tidak ada yang menyela,
karena semua mata sudah tertidur? Cukuplah, untuk apa aku
menanyakan hal itu yang ujungnya aku menjadi monolog.

Sambil memainkan petikan gitar tanpa nyanyian, pandanganku


menelusup jauh hingga menembus reremangan depan kedai. Malam
yang hanya ditemani lampu pijar kuning tampak begitu indah dan
tenang. Tak ada kebisingan, hanya sunyi. Tak ada lalu lalang orang-
orang, hanya ada jalanan kosong. Lebih terasa indah jika hujan
datang. Aku akan melihat tetes-tetes air yang menempel di kaca
kedai dan berkelip karena cahaya lampu dari dalam kedai maupun
dari luar kedai menyinarinya. Mungkin aku akan menemukan cerita
menakjubkan bersama hujan dan malam.

Selain itu, jalanan yang mulanya kering dan tersiram air hujan
akan terasa begitu menakjubkan. Itu yang selalu aku rindukan.
Menghirup aroma tanah kering yang tersiram air hujan. Aku rindu
aroma itu, aroma yang membuatku merasa beruntung tinggal di
bumi ini. Bertemu dengan kopi dan orang-orang yang terlibat di
dunia kopi lainnya. Vendra, tiba-tiba aku teringat padanya dan
seketika aku teringat pada kopi yang masih aku tinggalkan.

Aku segera berdiri dan berjalan ke meja bar. Aku akan


mencicipinya lagi, dimulai dari bali kintamani. Masih pahit?
Bukannya suhu yang sudah menurun pasti rasa asamnya akan
lebih terasa. Mengapa masih pahit? Aku mencoba pada gayo.
Menahannya beberapa detik dan senyumku mengembang ketika
lidahku menemukan rasa tanah. Selanjutnya, aku beralih pada

142
Monolog Kopi

Lintong. Membiarkan cairannya tertahan di mulut lebih lama karena


aku masih menemukan rasa pahit. Ah, aku bisa gila! Lalu sendok
cupping itu seketika meluncur dan mengenai gelas kopi yang berisi
bali kintamani. Terdengar bunyi kaca yang terkena pukulan keras.
Gelas itu terbalik dan cairan kopi mengotori meja dapur bar. Aku
kembali ke kursi tempat aku duduk.

***

Mataku sedikit terbuka ketika hawa dingin pagi mulai


memasuki ruangan dan cahaya matahari menembus kaca kedai.
Aku tertidur dengan posisi duduk. Aku beberapa kali bersin-bersin
ketika tubuhku merasakan angin pagi. Aku melihat arloji di meja
tempatku duduk. Jam enam pagi dan Vendra datang sepagi ini?
Kepalaku terasa berdenyut tetapi aku harus segera merapikan meja
dapur sisa percobaan cupping semalam yang aku kotori dengan
tumpahan kopi.

Vendra tidak mengucapkan apa pun setelah melihat aku


terbangun. Langkahnya langsung tertuju ke dapur bar dan entah apa
yang sedang ia lakukan. Aku segera merapikan gelas-gelas cupping
itu. Vendra masih belum mengeluarkan suara. Apa kau kesal karena
kedai berantakan seperti ini? Sedikit aroma kopi tiba-tiba sekelebat
merasuki hidungku dan itu berasal dari arah Vendra berdiri.

“Tidak biasanya kau menyeduh kopi sepagi ini?” Tanyaku


untuk mencairkan suasana karena ia masih tetap diam.

“Ya, untukmu,” katanya singkat. Sunyi. Semua gelas sudah

143
Prajna Vita

aku lap dan meja sudah bersih dari tetes kopi dan bubuk kopi yang
mengotori meja. Aku melihat Vendra membawa chemex20 dan satu
cangkir ke meja tempatku tidur semalam.

“Kau ke sini saja dulu,” katanya kemudian sambil meletakkan


chemex dan cangkir itu di meja, “Aku tahu kau tidak berhasil
semalaman,” lanjutnya.

Aku duduk di depannya. Ia melihatku dengan mata yang


sudah segar karena ia mandi terlebih dahulu sebelum datang ke
sini. Tidak ada jawaban dariku. Aku duduk memandangi kopi
racikannya itu. Aku yakin rasa kopi ini spesial karena diseduh oleh
tangan profesional.

“Kemarin, kau mengatakan pada Grey, kalau kita harus


membeli Kopnat sebelum Pak Surya mengganti konsep kedai?”
Tanya Vendra setelah aku sudah duduk di kursi yang ada depannya.

“Ya,”

“Pasti tidak murah, Har,”

“Kita bisa menjual rumah kita, lalu kita beli Kopnat dan buat
kedai ini menjadi dua lantai. Lantai dua menjadi tempat tinggal kita
dan bawah tetap kedai,” ujarku. Vendra belum mengeluarkan suara
apa pun, mimik wajahnya tampak seperti seseorang yang masih
berpikir.

“Kau yakin Pak Surya mau menjualnya pada kita?” Tanya

20. Salah satu alat seduh manual yang menggunakan paper filter (kertas
penyaringan)

144
Monolog Kopi

Vendra sedikit menyimpan keraguan.

“Tidak mungkin tidak mau. Kau sudah bekerja padanya dua


tahun, dari awal kedai buka. Aku menjadi kepercayaannya untuk
meng-cupping selama satu tahun, sejak perubahan konsep. Kopnat
terkenal dengan konsep seperti ini karena siapa? Kita, Ve, karena
idealisme kita. Pak Surya hanya mengikuti apa yang kita mau dan
ternyata sukses,” aku berhenti sejenak, “Tetapi menjadi hancur
kembali karena aku,” lanjutku dengan suara memelan.

“Tidak usah menyalahkan dirimu sendiri lagi, Har!” Katanya


sedikit membentak, “Tidak semudah itu Pak Surya melepaskan
Kopnat, meskipun untuk kita,” lanjutnya.

“Kita tawar dengan harga dua kali lipat,”

“Kau yakin hasil penjualan rumah kita cukup untuk membeli


kedai ini dengan penawaran dua kali lipat? Rumah kita itu kecil,
Har, sedangkan kita juga harus membangun kedai untuk dijadikan
dua lantai. Pada saat proses pembangunan, mau tidak mau kita juga
harus menutup kedai terlebih dahulu. Membutuhkan pengeluaran
banyak tetapi tidak ada pemasukan,” kata Vendra yang punggungnya
tidak lagi menempel pada sandaran kursi.

“Aku punya sedikit tabungan. Rencananya untuk membeli


kebun kopi milik ayahku dulu yang sudah terjual untuk biaya
kuliahku. Kau tahu sendiri sekarang keadaannya seperti apa? Aku
sudah kecewa dengan ayahku dan kebun itu mengalami masalah
besar. Aku tidak bisa mengatasi serangan hama itu dan hasil kopi

145
Prajna Vita

dari tanah tersebut tidak enak seperti dulu,” aku berhenti sejenak,
“Tidak masalahlah memakai uang itu,” lanjutku.

“Aku punya tabungan untuk treveling, sudah cukup banyak


jumlahnya. Bisa untuk tambahan,” ujar Vendra.

“Jangan,” sergapku, lalu aku mengatur duduk untuk


melanjutkan bicara, “Apa kau bisa pergi sendiri? Melakukan singel
origin trip?”

“Sendiri? Kenapa tidak bersamamu? Uang itu cukup untuk


kita gunakan mendatangi dua kota,” kata Vendra dengan nada suara
yang sedikit meninggi.

“Aku tidak bisa. Kau tahu kan lidahku sedang bermasalah.


Sia-sia kalau aku pergi,”

“Tidak ada yang sia-sia. Aku tahu, saat ini pikiranmu masih
kalut. Kau belum bisa mengontrol emosi dan perasaanmu. Kopi
membutuhkan ketenangan dan ketulusan dari peminumnya. Coba
atur itu agar kau kembali menemukan keajaiban rasanya.”

“Percuma, Ve. Sinus membuat penciumanku bermasalah dan


sulit menemukan aroma kopi,” kataku cepat. Seketika itu Vendra
diam. Hening beberapa detik.

“Periksakan ke dokter. Aku yakin tidak separah itu. Aku...,”

“Kau tidak memerhatikan gejala sinus yang menyerangku


selama ini? Penyakit ini menyerang sistem pada indra penciuman,
Ve, dan sekarang aku bermasalah dengan penciumanku. Aku tidak

146
Monolog Kopi

mungkin menemukan kopi terbaik. Indra penciuman merupakan


kunci vital kedua setelah indra pencecapan bagi seorang coffee
cupper, Ve.”

“Tapi aku membutuhkanmu, Har!” Sergapnya, membuat aku


berhenti bicara. Aku mendengar nada suaranya meninggi. Aku diam
tidak berani berbicara lagi jika Vendra sudah seperti ini. “Yang
perlu kau lakukan, periksa penyakitmu, ikuti saran dokter, jika ada
terapi yang bisa menyembuhkannya, lakukan, Har,” ujarnya lagi.
Aku diam, membiarkan suasana sedikit mencair.

“Sambil renovasi kedai berjalan, kita mencari jenis kopi baru.


Ada Mas Bayu yang selalu mendatangi kebun-kebun kopi terpencil.
Kita bisa meminta rekomendasi Mas Bayu, tidak mungkin ia tidak
akan membantu kita. Dia sudah menjadi keperayaan Kopnat juga
sampai sekarang. Atau, kita juga bisa melakukan singel origin
trip bersama, Har. Kita mencari kebun kopi baru dan bekerjasama
dengan petani-petani kopi itu. Urusan renovasi kedai, kita bisa
meminta bantuan Grey untuk merancang interior yang baru. Aku
yakin hasilnya menakjubkan, karena dia dekat dengan kita, dia
tahu bagaimana kemauan kita bergerak di dunia kopi, dan dia juga
tertarik dengan kopi. Kita bisa jalan berbarengan, Har,” kata Vendra
dengan nada suara yang yakin, “Aku akan membicarakan kepastian
penjualan Kopnat pada Pak Surya. Hari ini,” lanjutnya.

Setelah tidak ada lagi suara yang keluar dari mulutku, lalu ia
melihat ponselnya dan menuangkan kopi yang sudah kita diamkan
selama beberapa menit dengan obrolan tadi. Cangkir sudah terisi

147
Prajna Vita

penuh kemudian Vendra bangkit untuk mengambil satu gelas air


putih. Ia menyodorkannya padaku. Ia tahu aku belum menenggak
air putih sejak bangun tadi. Aku meminumnya setengah gelas,
lalu ia duduk dan mendorong cangkir berisi kopi tadi lebih dekat
denganku. Aromanya kuat, tetapi aku tidak tahu ini kopi apa, yang
aku cium hanya aroma kopi biasa.

“Kau coba ini. Dari Flores,” kata Vendra.

“Aku tidak bisa,” kataku kemudian. Aku diam, “Semalam


aku sudah mencoba kintamani, gayo, dan lintong tapi tidak bisa.
Aku tidak menemukan perbedaan rasanya.”

“Cobalah ini dulu?” ujarnya dengan sedikit nada suara


paksaan, “Rasa cokelat, lebih bisa dikenali. Minum sajalah dulu.”

Aku mulai mengangkat cangkir itu. Aku tetap mencium


aroma kopi seperti biasa, padahal bibir cangkir hampir menempel
pada bibirku.

“Dengan perasaan,” ujar Vendra hingga aku berhenti


menggerakkan cangkir itu beberapa detik. Aku seruput kuat dan
menahannya di dalam mulut. Mana? Tak ada rasa berbeda dari kopi
semalam. Aku menelannya kemudian mencobanya lagi. Tak ada.

“Tahan di mulut lebih lama,” kata Vendra. Ia sepertinya


melihat reaksiku yang tidak menemukan rasa khas kopi dari NTT
ini. Aku mencobanya lagi. Menahan di mulut lebih lama hingga
cairan kopi itu menjadi dingin. Tetap rasa pahit. Tak ada yang lain.

“Pahit,” kataku ringan sambil memandangi Vendra yang dari

148
Monolog Kopi

tadi tetap lekat menanti ekspresiku menemukan rasanya.

“Kau kenapa? Aku tahu pikiranmu masih kalut dan sinus itu
hanya bermasalah pada penciuman. Kau masih bisa menggunakan
pencecapanmu. Kau masih tetap tidak bisa? Kenapa kau tidak bisa
kontrol perasaanmu ketika meminum kopi, ketika kau mendeteksi
apa rasanya. Perasaanmu dan rasa kopi itu tidak pernah terpisah.
Tetap ada di hatimu,” katanya. Tampaknya ia sedikit kesal. Namun,
aku lebih kesal lagi karena belum bisa menemukan karakter rasanya.
Aku diam. Ia lekat memandangku dan memandang cangkir kopi itu
bergantian.

“Di mana perasaanmu, Har? Mengapa kau tidak lagi menjadi


coffee cupper terbaik?” Katanya lagi. Aku melihat kekesalan pada
mimik wajahnya. Aku saja bingung mengatasi kemampuanku
yang menurun sangat drastis seperti ini, “Sampai kapan kau akan
begini? Mana cara ajaibmu untuk menemukan keistimewaan rasa
pada setiap kopi-kopi itu? Kami membutuhkanmu, kita baru saja
memikirkan rencana baru, perjalanan kita masih panjang. Kopi-
kopi yang sekarang menumpuk di dapur kedai membutuhkanmu
untuk bisa sampai ke peminumnya, Har, dan semua itu belum kau
sentuh!” Lanjutnya.

“Jangan paksa aku! Aku tidak tahu kenapa aku tidak bisa
menemukannya! Aku juga sudah mencoba dengan Mas Bayu dan
sama sekali aku tidak bisa memberi feedback untuk roasting-nya!”
Kataku dengan nada suara yang sedikit lebih keras membuat ia
terlihat kaget dan matanya tidak beralih padaku.

149
Prajna Vita

“Lalu di mana kecintaanmu terhadap kopi? Sepertinya kau


meninggalkan dunia kopi ini semenjak kau pulang dari Jogja. Kau
lupa dengan semua makna yang sudah kau ambil dari kopi? Kau
lupa dengan harapan Ibumu? Meskipun Ibumu sudah tidak bisa
menemuimu di bumi ini, tetapi ia menunggumu menemukan kopi
nusantara yang rasanya paling enak di Indonesia. Memakmurkan
petani kopi dengan membuat kopi-kopi mereka terjual hingga
keluar Indonesia. Mana idealismemu itu? Katamu, kopi membuat
hidupmu mempunyai tujuan, mampu membuatmu bersyukur! Har,
kontrol emosimu, setiap orang pernah jatuh di titik gelap, di rasa
pahit itu. Berapa kali aku harus mengatakan bahwa kopi tidak jauh
dari kehidupan? Bahwa….,”

“Aku tidak tahu!” Kataku memotong omongan Vendra yang


belum selesai. Aku kesal dengan ocehan Vendra yang sungguh
sangat menyekikku. Aku sendiri tidak tahu apa yang sedang aku
rasakan. Jangan paksa aku untuk menemukan karakteristik kopi
dalam waktu singkat, sedangkan keadaan emosiku masih seperti
ini. Aku butuh ketenangan dan saat ini kopi tidak bisa mengatasi
perasaanku.

Dengan rasa kesal, aku meraih cangkir tersebut dan


meminumnya. Menenggaknya, persis seperti aku menenggak air
putih setelah bangun tidur. Rasa pahit itu seketika memenuhi semua
bagian lidah. Tak ada rasa lain yang mengikutinya. Aku merasakan
tenggorokkanku begitu panas karena terkena siraman panas kopi
dan lidahku kaku.

150
Monolog Kopi

Aku diam. Tertinggal rasa pahit dan aku merasakan lidahku


tidak bisa bergerak. Kaku. Tak ada air ludah yang menggenanginya.
Aku mengecap. Sakit, sangat sakit. Lidahku melepuh. Aku tak bisa
menggerakkannya. Vendra melihatku dengan memunculkan mimik
wajah yang langsung berubah. Aku tahu betul ia semakin marah.

‘Bukan begitu caranya. Kau harus meminumnya pelan-


pelan, kopi tidak pernah membekukan hati, justru akan meleburkan
hatimu.’ Itu kan yang akan kau katakan, Ve.

Matanya semakin berkerut garang. Dadanya semakin


menunjukkan gerak yang lebih cepat. Rahang mulutnya bergerak
bersamaan dengan bola matanya yang juga masih statis. Mata kami
bertemu tetapi tak ada suara.

“Har! Bisa kau perlakukannya dengan lebih manusiawi!”


Katanya kemudian dengan nada meninggi.

***

151
Prajna Vita

Aroma 10
Monolog

Di Kopnat, aku sudah dikelilingi oleh tiga orang untuk


menandatangani surat pembelian kedai Kopnat. Hari ini namaku
sepenuhnya resmi menjadi pemilik Kopnat. Vendra meminta
namaku yang tercantum di sertifikat ini dengan alasan aku
mengeluarkan uang lebih banyak untuk pembelian tempat. Rumah
yang dulu kami beli bersama sudah terjual dan kami memilih
kontrakan untuk tinggal beberapa bulan. Dulu, rumah minimalis itu
sengaja kita pilih agar dapur bar lebih terlihat. Penambahan dapur
bar sendiri di rumah merupakan ide Vendra. Katanya agar kami
bisa bereksperimen.

“Di mulai dari dapur bar dulu, Har, semoga nanti kita punya
kedainya,” katanya waktu itu sambil tertawa. Sekarang, kita sudah
memiliki kedai sendiri, dapur barnya lebih besar, bisa melihat
orang-orang pecinta dan penikmat kopi datang dan memesan kopi
favoritnya.

Pak Surya tidak meminta penawaran yang neko-neko,


sehingga kami tidak perlu membujuknya dengan harga pembelian
dua kali lipat. Ia percaya menyerahkan kedainya pada kami. Uang
hasil penjualan Kopnat katanya untuk membuka kedai yang lebih
besar di dalam mall. Dengan konsep pada umumnya, menyediakan
beragam kopi bland-ing untuk menarik perhatian pelanggan dan

152
Monolog Kopi

menyediakan fasilitas wifi. Menurutku itu merupakan kesalahan


besar.

Sebelum ia membuka surat perjanjian itu, ia sempat


menawarkan diri untuk ikut menjadi investor di Kopnat.
Pemikirannya untuk mendapatkan omset sebesar-besarnya ternyata
muncul kembali. Dengan tegas aku menolaknya. Tanpa pemberian
modal darinya, kami sudah bisa menjalankan sendiri. Selama
Vendra bekerja sebagai barista dan aku sebagai peneliti pertanian
yang merangkap coffee cupper, kami rasa uang kami cukup. Kami
tidak mau hasil keuntungan ini di bagi kepada orang yang tidak
menghargai idealisme kami terhadap kopi.

Tangan Pak Surya menunjuk pada tempat yang harus aku


tanda tangani. Tertempel materai dan tertulis namaku di bawahnya.
Aku memandangi Vendra dan Grey bergantian. Ini akan menjadi
awal perjalanan untuk mencapai tujuan kami. Meskipun aku tidak
yakin dengan pemilihan menu kopi nantinya karena sinus yang
menyerangku, tetapi aku percaya karena masih ada Vendra.

Tak ada suara lagi. Aku mengalunkan pena di atas materai


lalu tanda tanganku sudah terbentuk di atasnya. Ada senyum
pada masing-masing bibir mereka, lalu Pak Surya menyodorkan
tangannya mengajakku bersalaman. Sekarang Kopnat resmi
menjadi milikku dan Vendra, kami.

“Kita punya kedai sendiri,” ujar Vendra dengan raut wajah


bahagia. Aku dan Grey hanya membalas senyuman itu, “Aku yakin
tujuan kita akan tercapai, berawal dari sini,” lanjutnya dengan nada

153
Prajna Vita

suara yang penuh semangat.

“Dan aku akan segera menunjukkan konsep interior seperti


apa yang sudah aku pikirkan,” kata Grey penuh antusias.

“Aku yakin idemu pasti keren,” kataku. Grey hanya tersenyum


ringan. Aku pernah melihat senyuman itu, senyuman yang sering
terbesit beberapa detik di ingatanku. Aku merasa seperti dejavu,
pernah berada di depan seorang wanita yang masih tersenyum
padaku, tetapi yang ini lebih bahagia.

“Har,” suara Vendra mengagetkan, membuat mataku langsung


beralih padanya, “Kau yakin tidak akan pergi denganku? Aku tidak
mungkin mencari kopi sendiri. Aku butuh kamu, Har,” lanjutnya.

“Aku tidak bisa, Ve. Akan sia-sia jika aku pergi dan aku tidak
bisa menemukan kopi terbaik,” ujarku.

“Kalau begitu aku tidak akan jalan,”

“Lalu menu Kopnat?”

“Sementara memakai konsep yang lama,”

“Tidak bisa begitu, Ve,” sergapku, “Kau seorang barista, tidak


mungkin kau buta dengan rasa kopi. Kau pasti bisa menemukannya.
Kau juga bisa ikut pergi dengan Mas Bayu,” lanjutku.

“Tidak bisa begitu bagaimana? Pengalaman pencicipanku


belum sehebat kamu. Apa kau lupa? Kau juga membutuhkanku
untuk menyampaikan pada penikmat kopi mengenai rasa kopi-kopi
yang kau temukan itu? Sama, Har. Aku butuh kamu untuk membuat

154
Monolog Kopi

aku percaya diri mengenalkan rasa kopi kepada peminumnya,”


bentak Vendra beruntun. Aku tidak bisa mengatakan apa pun jika
reaksi Vendra sudah seperti itu. Hening beberapa saat, “Grey, antar
Har periksa ke dokter,” katanya sambil mengarahkan pandangannya
pada Grey. “Selama penciumanmu belum pulih, kita hanya
punya dua pilihan. Ambil menu kopi sebelumnya atau mengikuti
rekomendasi pilihan kopi dari Mas Bayu. Kita Bicarakan itu nanti
saja. Terpenting, kita tidak akan pernah melepas roaster sehebat
Mas Bayu. Aku tahu dia sudah percaya padamu dan dia ingin kau
cepat sembuh. Sampai saat ini kau yang selalu memberi feedback
baginya.” lanjutnya sambil beranjak dari kursi dan mengambil
tasnya.

“Ini kau pegang,” kata Vendra lagi sambil meletakkan


kunci serep kedai di meja depanku. Lalu, ia keluar kedai entah
mau ke mana. Hari ini Kopnat memang sengaja tutup. Selain ada
penandatangan penjualan dan pembelian tadi, renovasi juga akan
segera dilakukan. Sementara, kami menghentikan barista yang
memang sudah bekerja di Kopnat untuk beberapa bulan ke depan.
Kami masih membuka kesempatan mereka untuk kembali tapi juga
tidak melarang mereka untuk meninggalkan Kopnat.

***

Positif sinus. Aku terserang sinus dan aku tidak tahu


lagi aroma apa yang ada di sekelilingku. Grey mengambil bukti
pemeriksaan dari dokter setelah aku membacanya. Seketika itu
aku langsung terduduk lemas di kursi tunggu rumah sakit dan

155
Prajna Vita

Grey duduk di sampingku. Ia memasukkan bukti pemeriksaanku


ke dalam amplop setelah membacanya. Aku merasakan sentuhan
halus dan beberapa kali usapan dari tangan Grey di pundak sebelah
kiriku. Posisiku yang duduk tertunduk mungkin membuatnya
iba. Lalu, ia menempelkan dagunya di pundakku dengan tangan
yang merangkulku. Aku merasakan ketenangan pada saat itu.
Rangkulannya lepas ketika aku menegakkan badan dan meminta
pulang.

Aku tidak percaya dokter mengatakan penyakit ini bisa saja


sembuh dan tidak. Penderita akan kehilangan fungsi indra penciuman
selamanya. Aku tidak mau begitu, aku masih mempunyai janji pada
ibuku. Menemukan kopi terbaik dan rasa yang sempurna seperti
sesempurnanya kehidupanmu, Ibu.

Mengapa aku tidak pernah memiliki hidup yang sempurna?


Selalu saja pahit yang aku rasakan. Apa karena selama ini aku
hanya menikmati kopi pahit sehingga aku tidak pernah merasakan
manisnya hidup? Namun, filosofinya tidak begitu! Jika tidak
bisa menerima pahit dalam kopi bagaimana aku bisa menerima
pahitnya hidup.

Bukannya sudah dibilang, bahwa tak ada yang sempura di


dunia ini? Ya, aku tahu itu. Mungkin adanya ketidaadilan di sini.
Tuhan tidak mungkin tidak adil. Tuhan maha adil! Ah, benar juga.
Buktinya, Tuhan menciptakan segala sesuatunya seimbang. Lalu,
masih mau menghakimi Tuhan? Tidak! Tidak? Bisa saja besok
penghakiman itu terulang kembali. Mungkin karena tidak sadar.

156
Monolog Kopi

Bukan tidak sadar! Tapi emosinya tidak terkontrol. Perasaannya


keras seperti batu. Pikirannya tak digunakan dengan baik. Ah, aku
tidak mau seperti itu. Aku tidak mau durhaka kepada Tuhan.

Kopi sudah menjadi salah satu petunjuk nyata. Hidup itu lebih
dominan terlihat pahit. Lebih banyak yang mengatakan bahwa kopi
itu tidak enak! Mungkin kesadarannya perlu dikuak. Kopi itu buruk
untuk tubuh! Buruk mana dengan tubuh yang terus-terusan statis
dan otak tak mau berpikir? Kopi itu jahat karena tak bisa membuat
orang tertidur! Jahat mana dengan waktu tidur yang terlalu lama
dan peluang hilang terus menerus? Kopi itu berandal! Berandalan
mana dengan orang yang baik di luar tetapi lain di dalam? Kopi
itu anugrah Tuhan yang tersembunyi. Orang belum tahu banyak
tentang keistimewaan kopi. Andai saja aku memahami pertanyaan
dan jawaban itu dari awal. Aku bisa menceritakan pada ibu
bagaimana aku mengambil makna. Memahami? Betul, aku belum
benar-benar memahami. Aku masih terus-terusan menginginkan,
tapi tak pernah mengerti dan memahami. Aku hanya tahu, tetapi
Tuhan memahami.

Terkadang aku sering mencurigai Tuhan. Aku ini pantas


untuk bahagia atau tidak? Tetapi, aku masih percaya dengan takdir-
Nya. Mengapa langkahku terlalu pelan dan akhirnya kehilangan
segalanya. Mengapa aku bermain di dunia tanpa celah. Terlalu asyik
mencari-cari, memilah-milah berbagai jenis biji kopi tetapi aku
belum juga menemukan yang tepat. Penyakitku seperti menyerang
organ inti yang selalu menjadi indra utama untuk merasakan
karakteristik istimewanya. Apalagi yang bisa ditimbulkan oleh

157
Prajna Vita

penyakit ini sebenarnya?

Apa sebenarnya sinus ini. Mengapa harus menyerangku


dengan visi yang masih aku kejar dan sangat, sangat membutuhkan
penciuman yang tajam. Aku marah pada diriku sendiri karena aku
juga malu pada Vendra. Aku tidak mungkin bisa membantunya lagi
untuk mencarikan kopi-kopi kualitas tinggi untuk ia ajukan kepada
pelanggan.

Idealisme Vendra pada dunia kopi cukup tinggi. Dia


menginginkan semua orang bukan menikmati kopi seperti
kebanyakan orang, tetapi menginginkan ada perbedaan setelah
peminum keluar dari kedai. Ia tahu bagaimana membuat jenis kopi
seperti kehidupan yang berbeda. Meskipun rasa pahit selalu ada
di semua kopi tetapi karakternya berbeda di setiap jenisnya, sama
seperti hidup katanya.

Ia yang mengajarkanku bagaimana merasakan pahit terlebih


dahulu sebelum merasakan manis dan rasa manis itu ada secara
alami dari sebuah kopi. Manis akan datang di akhir dan akan tetap
tertinggal, seperti kehidupan katanya.

Aku teringat dengan apa yang selalu Vendra bicarakan, bahwa


kopi itu ibarat kehidupan. Semenjak aku menemukan sejatiku pada
sebuah kopi aku mengerti kehidupan. Aku mengerti bagaimana
kehidupan itu berjalan dan sungguh dapat berjalan sama seperti
kopi. Hanya kata-kata itu yang bisa membuatku selalu bersyukur.

***

158
Monolog Kopi

Sejenak aku menjauh dari kopi. Aku sibuk pada pekerjaanku.


Meski sinusku masih tetap kambuh di pagi dan malam hari. Jika
larut malam aku masih menyelesaikan pekerjaanku, terkadang
Vendra datang membawa secangkir kopi. Ia meminta agar aku
meminumnya saja, tidak perlu memikirkan bagaimana rasanya.
Kopi itu cukup mampu menghangatkanku dari udara tengah malam
yang dingin.

Sambil menunggu renovasi kedai selesai aku fokus pada


projek-projek penelitianku di kantor dan Vendra tetap bekerja
sebagai barista. Untungnya ia mempunyai teman yang juga
memiliki coffee shop, sehingga ia bisa bekerja dengan hitungan jam.
Meski kami sama-sama sibuk di bidang yang berbeda, perencanaan
interior kedai tetap dikendalikan oleh Vendra dan Grey.

Kalian sering pergi berdua ke coffee shop untuk mencari


inspirasi dan membahas konsep interior Kopnat bukan? Terkadang
aku iri padamu, Ve. Kau bisa dekat dengan Grey begitu mudahnya.
Padahal ia gadis jawa dan satu daerah denganku yang aku temui
di Jakarta. Jujur, aku ingin dekat dengannya, tetapi aku merasa
bersalah, karena aku melihat kau menyukainya, Ve.

Aku tidak mengharapkan lebih. Aku hanya ingin kami--aku,


kau, dan Grey--tetap dekat. Tenang saja, Ve, untuk saat ini aku masih
menolak rasa jatuh cintaku kepada wanita itu, tetapi jatuh hatiku,
jujur saja, tidak mampu aku tepis. Tidak memilikinya juga tidak
masalah asalkan bisa tetap di dekatnya. Kebersamaan kami, canda
tawa, obrolan mengenai kopi, treveling, kenangan berupa foto yang

159
Prajna Vita

kami cetak menjadi tiga agar semuanya punya, sudah membuatku


cukup bahagia. Kedekatan kami selama ini, aku melihat sikapmu
terhadap Grey berbeda.

Aku sudah mengenalmu lama dan aku tahu bagaiman kau


bersikap, bagaimana gelagatmu ketika kau tertarik pada seorang
wanita. Aku tidak mau jauh darimu hanya karena perkara menyukai
wanita yang sama, Ve. Kau yang membawaku hingga mengenal
lebih jauh apa itu kopi. Kopi membuat semua hal sederhana
termasuk keakraban kita. Salah besar jika kopi untuk menunjukkan
status sosial atau dikhususkan untuk kalangan tertentu. Hakikatnya,
kopi ialah untuk mengakrabkan sesama manusia.

Aku beruntung mengenalmu, Ve. Kau selalu membukakan


pikiranku dengan topik sederhana. Pengibaratan melalui kopi
mampu membuka semua jalan, mulai dari sosial, budaya, agama,
pendidikan, kehidupan, ketulusan, rasa syukur, seni, cinta, rindu,
bahkan kesendirian. Kau benar Ve. Semua sesuatu jangan pernah
dilihat dari satu sisi. Pilih dari berbagai sudut pandang yang berbeda
dan kau akan tahu makna lainnya. Aku menjadi rindu padamu Ve.
Aku rindu dengan masa lalu itu yang dimulai dengan kopi.

***

Aku keluar kamar untuk mengecek pintu depan yang


sepertinya terbuka. Jika pintu terbuka berarti Vendra ada di depan.
Dugaanku salah, ternyata Vendra baru saja datang. Ia menghentikan
langkahnya ketika melihatku berdiri di depan pintu. Kami bisu, ia
berjalan satu langkah. Tangannya memegang satu cup berbahan

160
Monolog Kopi

kertas yang aku tahu betul itu berisi kopi.

Ia melanjutkan langkahnya dan duduk di meja depan. Saat


ini bukan di teras, karena kami masih berada di rumah satu petak
yang kami sewa sampai lantai dua Kopnat sudah bisa ditempati.
Kemudian, ia mengambil pulpen yang berada di meja dan mulai
hanyut dengan goresan pena di atas cup kertas itu. Ia semakin
berkutik dengan garis-garis yang entah bagaimana caranya hingga
membentuk beragam gambar-gambar menarik.

“Kau marah padaku?” Kataku kemudian ketika aku berusaha


mendekatinya. Aku duduk di kursi depannya.

“Marah padamu karena apa,” katanya dengan kepalanya yang


tidak terangkat sedikit pun.

“Karena aku sudah memperlakukan kopi dengan tidak


menggunakan perasaan, meneguknya dengan kasar. Waktu itu aku
kesal, Ve dengan lidahku yang mati rasa dan sampai sekarang aku
belum mampu menemukan singel origin baru untuk perubahan
FullKop nanti. Lidahku semakin melepuh setelah aku meneguk
kopi itu panas-panas, Ve,” kataku. Ia masih tetap terpaku dengan
apa yang menjadi dunianya, “Maafkan aku kemarin,” lanjutku.
Mataku langsung menatapnya ketika ia tiba-tiba mengangkat
kepalanya dari cup yang sedang digambar.

“Kemarin? Sejak kau pulang mengunjungi ayahmu, kau tidak


lagi memerlakukan kopi dengan perasaan. Tidak mungkin seorang
coffee cupping mencari perbedaan rasa kopi tanpa perasaan. Kau

161
Prajna Vita

tidak bisa menemukan karakteristik rasa kopi karena kau tidak bisa
mengontrol perasaanmu!” Suaranya meninggi. Matanya tidak lepas
dari mataku yang membuat hatiku seakan tersentuh oleh belati
yang hampir saja menusuk jantungku, “Masalahmu dengan dirimu
sendiri dan orang-orang di sana yang aku tidak tahu siapa lagi itu
sebesar apa sih? Tidak bisa kau letakkan dulu jauh-jauh emosimu
dengan perasaanmu?” Katanya lagi.

Ingatanku kembali pada saat-saat aku menyalahkan diriku


sendiri. Aku merasa belati itu telah menusuk jantungku. Aku merasa
sakit. Aku kembali teringat janjiku pada ibu untuk menemukan rasa
kopi nusantara paling enak.

Kami bisu, tak ada jawaban dariku. Aku merasa dingin dan
telingaku memunculkan rasa panas yang hingga menuju wajahku.
Aku merasa keringat dingin membasahi telapak tanganku. Kau
membuatku ingin menutup mata di depanmu dan berteriak keras
lalu aku ingin menghilang dari dunia yang membuatku sempit dan
sulit bergerak.

Aku tahu ia marah padaku mengenai perlakuanku terhadap


minuman yang membuat hidupnya semakin bermakna dan berarti.
Maksudku bukan begitu, Ve. Saat itu aku masih dalam keadaan tak
terkendali. Maafkan aku Ve. Aku tak mau kita berakhir hanya gara-
gara kopi.

“Aku tahu kau tak pernah bercanda soal kopi,” kataku


kemudian. Lalu aku melangkah masuk meninggalkannya yang
masih berkutat dengan dunianya itu. Aku tak tahu ia akan melihat

162
Monolog Kopi

punggungku ditelan tembok pintu atau tidak. Semoga kau


melihatnya.

***

Penyelesaian pembangunan renovasi Kopnat kira-kira enam


bulan. Hari ini, kami mengemasi barang untuk tinggal di lantai
dua Kopnat. Kami meminta dua kamar agar aku dan Vendra bisa
memiliki kamar masing-masing, karena kita terkadang sama-sama
membutuhkan kesendirian. Ukurannya tidak begitu besar, jadi
sedikit barangku ada yang aku titipkan pada Grey.

Perapihan kedai belum sepenuhnya selesai, sehingga kami


masih menutup Kopnat. Grey sudah membuat perencanaan interior
kedai, jadi, kami juga menunggu aba-aba dari sang desainer.

Enam bulan tidak memasuki kedai membuatku rindu. Aku


merindukan Vendra yang berkutik dengan alat-alat seduh manualnya.
Selama menyewa rumah aku tidak pernah melihatnya bermain
dengan berbagai manual brew yang kami punya, karena kami tidak
membuat dapur bar lagi. Aku rindu Vendra yang mengantarkan kopi
hangat padaku saat aku harus menyelesaikan pekerjaanku tengah
malam. Semenjak kami sibuk dengan pekerjaan masing-masing,
obrolan itu tidak ada. Biasanya kami bisa mengobrol di Kopnat,
tetapi kedai ini masih belum berjalan seperti biasanya.

Aku yakin semua kebersamaan kami akan kembali mulai


sekarang. Kopnat sudah menjadi rumah kami dan kami akan
diakrabkan kembali dengan kopi. Meskipun sampai sekarang

163
Prajna Vita

sinusku kerap kambuh di waktu-waktu dingin, tetapi aku tetap


meminum kopi tanpa gula. Entah rasa apa yang ada, aku hanya
sebagai peminum kopi seperti orang kebanyakan. Kemampuan
coffee cupping-ku hanya sebatas sertifikat Q-Grader. Harapan
ibuku mungkin pupus, karena aku tidak bisa menemukan jenis
kopi terbaik lagi. Ah, aku baru ingat, kotak ibuku ada di Grey. Aku
menitipkan itu padanya karena aku tahu semua barang di dalamnya
penting. Aku tidak melarang Grey membacanya juga, karena aku
percaya padanya.

***

Tema vintage menjadi kesepakatan kami untuk merombak


interior kedai. Dengan tempat yang minimalis, Grey tidak
menyarankan memasang banyak pernak-pernik hiasan di dinding,
agar lebih lega katanya. Obrolan kami yang langsung di ruangan
kedai membuat Grey menunjuk-tunjuk tangannya pada posisi sudut
demi sudut ruangan. Celotehnya terdengar ringan dan jelas ketika
ia menerangkan bagaimana pengaturan kedai.

Tiga cangkir kopi sudah Vendra sediakan untuk kami


bertiga. Aku tak mau membuatnya kesal. Aku menyeruput pelan-
pelan dan menahannya sejenak hingga cairan itu memenuhi rasa di
lidahku. Aku berhenti. Ketika mataku tertuju pada Vendra, ternyata
ia tidak luput memandangku.

“Maafkan aku. Lidah dan penciumanku masih mati rasa. Aku


tidak bisa merasakan apapun,” kataku kemudian. Vendra sedikit
menurunkan pundaknya. Aku tahu kau menarik napas cepat dan

164
Monolog Kopi

mengeluarkannya lebih cepat lagi.

“Minum sajalah dulu. Kau habiskan. Anggap saja itu kopi


yang enak. Meskipun lidahmu hanya bisa menerima air putih tanpa
rasa,” katanya.

“Lalu menu baru Kopnat? Jadinya mau bagaimana?” Kataku.


Grey langsung menghentikan sapuan pandangannya pada sisi-sisi
ruangan.

“Kita pakai konsep yang lama dulu saja. Pakai kopi-kopi


sebelumnya. Kita belum mampu mendapatkan singel origin yang
baru. Kalau mau kita masukkan Owa Jawa dan Bongso, lalu satunya
lagi kita pilih dari menu sebelumnya, bagaimana?” Ujar Vendra
dengan nada yang sedikit memelan. Seketika itu, Grey memandang
Vendra lekat beberapa detik.

“Apa tidak ganjil? Kalian yakin tidak Owa Jawa dan Bongso
bisa diterima pelanggan?” Tanya Grey membuat aku dan Vendra
berpandangan.

“Kita coba saja dulu, tapi kita harus siap risikonya,” jawab
Vendra yang masih mengarahkan matanya padaku.

“Maafkan aku,” kataku, “Jika sinusku tidak bisa sembuh.


Lalu bagaimana kelanjutannya?”

“Jangan lagi menyalahkan dirimu sendiri, Har. Kita yang


mendirikan Kopnat, maka kita berjalan bersama,”

“Tapi dengan konsep desain interior Grey yang sudah bagus

165
Prajna Vita

seperti ini, jika kopi yang kami sediakan tidak sesuai dengan
penikmat bagaimana?” Potongku.

“Semoga tidak ada masalah. Itu pikirkan nanti. Sekarang kau


tahu risikonya jika kau menyerah? Kau tidak merasa sertifikasi
Q-Grader-mu itu sia-sia? Hah. Untuk apa kau dikenal sebagai
penemu kopi dengan rasa-rasa menakjubkan jika berakhir sampai
di sini, Har,” kata Vendra dengan sedikit membentak. Grey melihat
kami bergantian.

“Sampai kapan kau akan menyalahkan dirimu sendiri, Har?


Aku memang bisa meng-cupping kopi, bahkan bisa lebih hebat
darimu. Yang ingin aku tanyakan padamu, jika kau berhenti di dunia
kopi, apakah kau akan merelakan kesia-siaan waktumu selama ini
untuk mendapatkan berbagai ilmu mengenai kopi dan kau akan
berhenti sampai di sini? Perjalananmu masih panjang. Kau sendiri
yang ingin menyejahterakan para petani kopi di tanah nusantara.
Kau lupa, Har?!” Ujar Vendra lagi.

“Kau lupa dengan harapan ibumu?” Kata Grey mengagetkanku.


Gadis itu, biasanya tidak pernah mengeluarkan perkataan apa pun
ketika aku dan Vendra bertengkar, kali ini ia bersuara. Seketika
aku mengangkat bola mataku dan tertuju pada bola mata yang
mempunyai warna hitam kecoklatan itu.

“Mati rasa seperti ini membuatku tidak menghargai kopi


buatanmu, juga buatan barista lainnya,” ujarku sedikit melemah.

“Apa aku sejahat itu untuk membuatmu menghargai kopi

166
Monolog Kopi

racikanku?” Kata Vendra.

“Tapi kau juga bisa menemukan kopi-kopi terbaik. Kenapa


kau terus-terusan memaksa aku, Ve. Kau bisa melakukannya
sendiri!”

“Oh. Jadi pembelian Kopnat ini kau hanya ingin menjadi


investor saja? Lalu, mana idealismemu? Idealisme kita? Mana
tujuanmu di dunia kopi? Mana caramu untuk membuatku meracik
kopi-kopi dengan rasa terbaik. Membuat para penikmat bahagia.
Membuat aku dihargai dan membuatku membanggakanmu? Sudah
berapa kali aku bilang. Kau lupa semua itu!” Kemarahan Vendra
sudah memuncak di sini. Lalu, ia berdiri dan menuju dapur bar
yang masih belum tertata rapih karena masih dalam penataan ruang.
Meskipun tata ruangan masih bergonta ganti, tetapi dapur bar sudah
bisa digunakan untuk seduhan manual.

Aku masih menatap lurus. Grey masih diam, ia hanya


mendengarkan perdebatan kami. Aku memilih ke atas meninggalkan
Vendra yang emosinya masih memuncak, sedangkan Grey, aku
biarkan ia duduk sendiri. Aku sengaja memilih menghindar agar
emosi Vendra menyusut.

“Jangan menyentuh kopi saat emosimu masih memuncak,”


kataku tiba-tiba saat melewati dapur bar. Aku tidak tahu mengapa
aku mengatakan itu. Refleks aku berbicara seperti itu ketika aku
melihat Vendra memasukkan biji kopi ke dalam mesin grinder
dengan sedikit kasar. Aku merasa ia diam beberapa detik dan ia
tidak melemparkan balasan lagi.

167
Prajna Vita

***

“Kau tidak apa-apa?” Suara Grey yang sudah berada di


depanku. Aku kira ia sudah pulang sehabis senja tadi. Aku masih
memandang lampu bangunan sekitar Kopnat di balkon lantai dua
kedai ini. Sejak pertengkaranku dengan Vendra petang tadi, aku
belum berani turun melihat bagaimana interior dari susunan Grey.
Melihat Grey yang datang aku kembali menghadap balkon dan
melempar pandanganku pada kerlip lampu malam Jakarta. Jakarta
belum tidur, karena jam masih menunjukkan pukul 9 malam.

“Kau belum pulang?” Tanyaku.

“Belum, baru selesai memasang interior kedai,” katanya


sambil berjalan mendekati pagar balkon dan berdiri di sampingku.
Kini kami menghadap kota Jakarta bersama. “Besok pagi tinggal
perapihan untuk grand opening. Acaranya mulai jam dua siang.
Kau tidak ke mana-mana kan?”

“Tidak. Sebelumnya Vendra sudah bilang padaku, jadi aku


sudah mengosongkan jadwal,” kataku. Beberapa kali aku bersin-
bersin dan membuat obrolan kami berhenti sejenak.

“Maaf. Hawa angin malam membuatku tidak berhenti bersin.


Padahal aku sudah memakai jaket tebal,” kataku sambil menarik
jaket menutupi dada. Grey hanya tersenyum lirih.

“Kau hanya perlu mengatur perasaanmu untuk menemukan


rasa kopi. Jangan salahkan dirimu sendiri karena sinus itu
menyerangmu, Har,” katanya cepat sebelum aku mengelak

168
Monolog Kopi

untuk menyalahkan penyakitku ini. Aku diam karena bingung


akan mengatakan apa, “Semua indramu tidak bermasalah, Har,”
lanjutnya.

“Ya aku tahu. Tapi aku juga tidak ada apa-apanya di


dunia kopi. Aku tidak bisa memaknai sebuah kopi. Aku hanya
bisa memilih kopi-kopi terbaik tanpa tahu bagaimana kopi itu
berperan dalam hidup, Grey. Aku ini merasa bodoh di dunia kopi.
Hanya mengandalkan kemampuan coffee cupping-ku tanpa tahu
keajaibannya,” aku berhenti sejenak. Grey masih menghentikan
pandangannya padaku, “Dan sekarang aku baru menyadarinya.
Aku sadar ketika Vendra dan kau mengatahakan hal yang sama,
bahwa kopi itu seperti hidup,” lanjutku.

“Kau belum terlambat menyadari itu, Har,”

“Sudah terlambat Grey. Indra penciumanku sudah cacat


dan aku menyesal, kenapa aku tidak menyadari makna kopi dari
dulu. Ketika aku dilanda masalah dan aku tidak bisa mengontrol
perasaanku, di situ aku mulai tahu bahwa pada saat itu aku jatuh
di titik pahit, Grey. Hingga aku putus asa dengan sinus yang
menyerangku,” kataku. Aku tidak tahu mengapa malam ini aku
menceritakan semua perasaanku yang terasa begitu sesak.

Hawa angin malam membuatku terus bersin. Mengapa harus


disibukkan dengan bersin-bersin? Aku masih bersama gadis yang
selalu membuatku salah tingkah berada di dekatnya. Aku terus-
terusan bersin dan berkali-kali menutup hidungku dengan lengan
jaketku, tetapi tetap saja itu tidak berfungsi sama sekali. Grey terus

169
Prajna Vita

memegang lenganku dan berkali-kali melihat wajahku ketika aku


berhenti bersin. Ia menanyakan apakah aku baik-baik saja. Ah,
membuatku semakin salah tingkah dan tidak berani melihatmu.

“Aku merasa malu jika aku hanya menjadi peminum kopi


amatiran lagi. Kopi tidak bisa diperlakukan begitu. Sifatnya yang
spesial harus diperlakukan dengan spesial juga. Aku merasa bersalah
jika tidak menggunakan perasaan ketika meminumnya. Mereka
punya cara ajaib untuk menikmatinya, dan aku? Cara-cara ajaib itu
hilang pada diriku. Aku tidak tahu bagaimana menikmatinya. Untuk
mencari karakteristik rasanya saja aku begitu bodoh,” kataku lagi
sebelum berbicara mengenai hal lain.

“Kan sudah dibilang Har. Untuk membuat kau bisa


mengontrol perasaanmu, jangan terus-terusan menyalahkan dirimu
sendiri,” kata Grey dengan nada yang sedikit meninggi.

“Kau ingat? Barang ibumu yang dititipkan padaku? Kau


bilang aku boleh kan melihatnya?” Tanyanya lagi. Aku tidak
mengangguk tetapi menengok padanya. “Menakjubkan, Har,”
lanjutnya.

“Apa saja isinya?”

“Kau belum membukanya?”

“Belum,” kataku.

“Semua pengalaman mengenal kopi ia tulis di buku


catatannya. Mengenai makna di dalam kopi. Mengenai tujuan masuk
di dunia kopi. Mengenai banyak hal tentang kopi, Har. Semangatnya

170
Monolog Kopi

meracik kopi sendiri. Ia juga menulis mengenai harapannya untuk


membuat kau bisa bergerak di bidang kopi. Menemukan kopi-
kopi terbaik yang masih tersembunyi di nusantara, bahkan dunia.
Dan...,” ia menghentikan bicaranya, “dan ia menulis mengenai
perselingkuhan ayahmu dengan pacar abangmu. Namun, berkat
kopi ia tetap baik-baik saja. Ketika bersama kopi tidak membuatnya
ingin bunuh diri. Semua kestresan itu hilang ketika kopi merasuki
otaknya. Ia melupakan masalahnya dan berganti pada tujuan
hidupnya yang ingin dicapai,” lanjutnya.

Aku diam mendengar ceritanya. Sungguh, aku belum


sempat membaca semua kenangan ibuku, justru Grey yang sudah
mengetahui lebih dulu. Ah, anak macam apa aku ini? Aku melamun,
tetapi bukan berarti mengosongkan pikiran. Aku justru berpikir
bahwa aku rindu pada ibu, kopi, dan momen-momen bersama
keluarga ketika menikmati kopi-kopi kita.

“Kopi menjadi alat spesial dalam pertemuan ibumu dengan


ayahmu. Mereka bergerak di bidang kopi bersama. Kopi menjadi
kenangan mereka, Har. Jika dulu ibumu membenci kopi ketika tahu
kelakuan ayahmu, mungkin ibumu sudah meninggal lebih cepat,
Har. Sudah bunuh diri. Namun, kopi mengingatkannya kembali.
Mengingatkan pada kehidupan yang terkadang pahit tetapi akan
meninggalkan rasa manis alami. Mengingatkan kembali pada rasa
syukur. Mengerti bagaimana hidup dan akhirnya mengingat Tuhan.
Membuka pikiran ibumu lebih luas untuk tidak mengakhiri hidupnya
dengan membunuh dirinya lebih cepat. Hal itu membuatnya ingat
akan Tuhan yang adil memberikan cobaan pada setiap umatnya.

171
Prajna Vita

Mungkin Tuhan tidak mau membuat ibumu sakit lebih lama,


akhirnya Tuhan mengambilnya dengan mudah dan meninggalkan
kalian dengan situasi yang tampak biasa saja,” ceritanya.

Aku tidak bisa berkata apa-apa mendengar cerita Grey


mengenai ibuku. Sungguh aku mengagumi sosok pemikiran ibuku.
Wanita terlihat lemah hanya di luarnya saja, tetapi bagaimana
kuatnya jangan ditanya lagi. Sungguh tegar. Ya, perasaan yang
berperan di sini. Kopi mampu mengubah perasaan dan ketika aku
menghadapi kopi harus dengan perasaan, karena kopi mengerti
peminumnya.

“Kau hanya perlu mengontrol perasaanmu, Har. Coba kau


ingat. Apa saja yang kita obrolkan ketika kita menikmati kopi bertiga.
Mungkin itu bisa membuat kau bisa mengontrol perasaanmu.
Aku tahu kau menyukai kopi hitam, itu tandanya kau orang yang
keras, tetapi tidak sekeras melupakan perasaanmu terhadap suatu
hal. Lihatlah apa yang terjadi di sekitarmu. Bahkan kau juga tidak
merasakan perhatianku selama ini,” katanya semakin melirih
pada kata terakhir membuatku hampir saja tidak mendengarnya.
Sebelum aku menanyakan perhatiannya padaku yang seperti apa, ia
langsung berbalik dan duduk di kursi yang memang aku dan Vendra
sediakan untuk nongkrong di balkon. Aku berusaha menengoknya
dan aku ikut duduk di kursi sampingnya. Kami diam karena ia masih
memainkan gadget dan jari-jarinya sedang mengetik sesuatu.

Sungguh aku tidak mengerti apa yang dikatakan terakhir tadi.


Perhatian seperti apa? Aku melemparkan pandangan pada suasana

172
Monolog Kopi

malam kota Jakarta. Aku mengingat kembali pada kenangan aku,


Vendra, dan Grey. Kami memang sudah seperti sahabat. Aku
teringat gelang hitam yang sekarang aku pakai. Aku ingat betul ini
pemberian Grey.

Ketika kami mengunjungi kota kecil di Solo sekadar untuk


mencari kedai kopi di Solo yang menyediakan kopi khas Jawa. Pada
saat momen melihat pernak-pernik Solo, Vendra memberikannya
sebuah gelang yang cantik. Vendra yang meminta pendapat padaku
bagus atau tidak. Ketika Grey sudah menerimanya dan dipakai,
lalu ia mencari dua gelang yang sama. Aku pikir itu untuknya dan
Vendra, ternyata untukku dan Vendra. ‘Ini dariku’, katanya. Ingatan
masa laluku berhenti ketika Grey kembali ke balkon untuk melihat
kembali suasana malam Jakarta.

Selama aku menikmati kesendirian pada saat pikiranku


kacau, jujur aku merindukan Vendra dan Grey. Kau itu yang selalu
membuat kami bisa bersama, Grey. Kau itu yang selalu membuat
foto-foto kami bersama kopi tersebar ke mana-mana. Namun,
terkadang dua sampai tiga hari kau tidak ke kedai karena sibuk
mengurusi kuliahmu.

Sebenarnya kau itu pemalu, tetapi jika sudah kenal justru


kau memalukan. Kau pernah bilang kalau sulit bersosialisasi,
jadi kau nyaman bersama kami? Kau pernah bilang bahwa kau
membutuhkan seseorang yang bisa menjadi pendengar terbaik.
Kau pernah bercerita padaku hingga kau menangis. Apa pada saat
itu aku sudah menjadi pendengar terbaik bagimu?

173
Prajna Vita

Semenjak aku pulang mengunjungi Jogja aku jarang bersama


kalian. Hari-harimu bersama Vendra. Tunggu? Pasti ia sudah
cerita banyak dengan Vendra. Apakah Vendra yang bisa menjadi
pendengar terbaik baginya? Mungkin iya.

Aku suka memperhatikanmu dari belakang. Melihat


punggungmu tanpa aku tahu apa yang kau lihat di sana. Mungkin
aku akui sekarang bahwa aku tertarik padamu. Aku menyukaimu,
Grey, tetapi Vendra tampaknya juga menyukaimu. Selama ini kau
memperhatikanku tetapi mungkin perhatianmu lebih pada Vendra.

Aku ini memang bisa dibilang munafik. Ya, aku ini munafik!
Ucapan yang aku katakan berbeda dengan perasaan hatiku. Aku
tidak bisa mengatakannya tetapi perasaanku tertuju padanya.
Aku yakin bahwa aku menyukainya sekarang. Lalu kapan akan
mengungkapkannya? Harus diungkapkan agar aku tak menyiksa
diri. Apa akan bertepuk sebelah tangan? Ungkapkan saja dulu, itu
urusan belakangan. Tetapi aku tidak mau terjebak friendzone yang
dulu beberapa kali sudah kualami.

“Jakarta itu indah pada saat malamnya aja ya,” kata Grey
tiba-tiba, membuatku menghentikan pembicaraan dengan diriku
sendiri untuk mengaguminya.

Aku ingin lebih dekat dengannya. Sekarang aku baru


sadar bahwa perasaanku ada tentangnya. Aku tidak merespon
perkataannya. Aku langsung berdiri dan mendekatinya. Aku
memeluknya dari belakang. Aku mengapitkan tanganku pada
perutmu dan meletakkan daguku pada pundak sebelah kananmu.

174
Monolog Kopi

Seketika aku menerima sentuhan dari tanganmu yang berusaha


melepaskan tanganku.

“Tunggulah sebentar. Buat aku nyaman, sebenatar saja,”


kataku berbisik. Lalu tangannya perlahan menghilang dan kami
hening. Tak ada suara, hanya hembusan angin malam yang
membuatku semakin terasa nyaman. Sungguh aku ingin dekat
denganmu seperti ini lebih lama, Grey.

Aku merasa tatapanku kosong dan mata Grey tertutup. Tiba-


tiba aku merasakan pundaknya bergerak diikuti gerakan tangannya
untuk melepaskan kaitan tanganku di perutnya. Aku menengadah,
ia berbalik padaku dan berusaha menjauh dariku. Cepat-cepat aku
tahan pundaknya hingga ia tetap berada di depanku. Sungguh, aku
merasa seperti ada sesuatu yang mengganjal hatiku. Beberapa detik
mata kami tertuju, aku merasakan dadaku sesak dan jantungku
semakin cepat berdetak. Aku jatuh cinta, Grey.

Mencium keningnyanya adalah tindakan yang ada di


pikiranku saat ini. Ia masih diam dengan posisi yang sama, aku
terpaku menatap matanya. Aku mencintaimu, aku menyayangimu.
Aku menengadahkan kepala, siap mengecup keningnya. Namun,
aku hanya bisa menundukkan kepala hingga kepalaku jatuh di
pundaknya. Aku mundur menjauh darinya. Seketika itu ia membuka
matanya lebar dan melihatku kaget. Untuk mengatasi kecanggungan
kami, ia berjalan masuk meninggalkanku yang masih dengan posisi
semula.

Mengapa tinggal beberapa detik saja, tetapi aku merasa aku

175
Prajna Vita

tidak bisa. Perasaanku seperti tidak di sini.

Apakah dia mempunyai perasaan yang sama padaku? Namun,


kedekatannya dengan Vendra bagaimana? Apakah sebatas teman?
Tidak mungkin, karena Vendra bersikap bukan seperti teman.

Aku kembali menghadap halaman kota. Malam semakin larut


dan angin malam semakin kencang berhembus. Sudah beberapa kali
bersin tetapi aku tetap ingin berada di sini. Aku belum melihat Grey
keluar kedai untuk pulang, padahal malam sudah semakin larut.
Biasanya Vendra yang akan mengantarkannya pulang dan entah
mereka langsung pulang atau menikmati malam dulu. Mungkin
berhenti di pinggiran jalan yang sepi atau di jembatan yang
sudah sepi dilalui kendaraan. Mungkin Vendra mengungkapkan
perasaannya di sana atau mungkin mereka hanya mengobrol.
Vendra lebih jago dalam memikat hati wanita. Mana mungkin Grey
tidak mau dengannya.

“Ini aku sendiri yang membuatnya,” seketika lamunanku


berhenti ketika melihat secangkir kopi berada di depanku yang
disodorkan oleh tangan yang memakai gelang pemberian Vendra
dulu dengan gelang-gelang lainnya. Ia masih memakainya. Aku
menerima cangkir kopi itu. Aku duduk di kursi yang memang aku
dan Vendra sediakan untuk menikmati suasana di balkon.

Sambil menunggu kopi ini kurang lebih empat menit, aku


melihat kembali gadis yang berpenampilan sangat sederhana. Jika
sudah serius ia tidak akan memperhatikan lainnya. Ia memang diam,
tetapi sekali menceletuk bisa membuat orang tertawa terbahak-

176
Monolog Kopi

bahak. Aku menyeruput setelah lamunanku dipecahkan oleh


Grey yang tiba-tiba melihat padaku. Pada seruputan pertama aku
menemukan rasa manis.

“Grey,” kataku

“Ya,” Grey membalikkan badan melihatku yang masih


duduk di kursi.

“Kau memberikan gula pada kopi ini?”

“Ya, bagaimana? Enak?” Tanyanya sambil memancarkan


senyum kecilnya menunggu jawaban. Ah, sial, membuatku ingin
sekali memeluknya dan mengatakan bahwa aku mencintainya.
Namun, hanya gelengan kepala yang aku lakukan.

“Tidak enak. Rasanya aneh. Aku tidak suka ditambah gula.


Aku lebih suka pahit,” kataku.

“Memangnya kalau pahit ada rasa apa saja menurutmu?”

“Lebih dry saja,”

“Terus?” tanyanya lagi seperti memaksa aku untuk terus


bicara.

“Pahit, tapi enak. Kadang ada rasa manis setelahnya. Kalau


langsung manis begini aku rasa tidak enak,” kataku. Ia tersenyum
kecil membuatku mengerlingkan alis bingung.

“Kau sadar? Lidahmu sudah sedikit menemukan rasanya?


Rasa kopi,” katanya.

177
Prajna Vita

Deg. Benar, ketika aku meminum kopi dengan cara yang


salah aku akan mengatakan ini bukan seleraku. Aku lebih suka
kopi buatan Vendra atau kopi tanpa tambahan apa pun. Rasa pahit
terkadang seperti kayu kering atau tembakau. Rasa itu yang lebih
sering aku temukan. Lalu after taste-nya juga ada rasa manis yang
sedikit tetapi lebih lama bertahan di lidah.

“Bagaimana perasaanmu tenang malam ini?” Tanya Grey


lagi.

“Ya, lebih sering melamun tetapi sedang memikirkan


sesuatu,”

“Tujuanmu?” Potong Grey cepat.

“Ya,” kataku.

“Bisa kau deskripsikan keadaan sekarang? Tentang suasana


malam seperti ini. Lampu-lampu yang lebih menang dari bintang
karena bintang jauh dari kita. Tentang apa yang kau rasakan.
Pasti kau akan teringat kenangan-kenangan yang dulu pernah kau
rasakan. Deskripsi itu aku yakin akan merambat ke mana-mana,
bahkan ke dalam perasaanmu hingga yang paling dalam,” ia berbalik
menghadap halaman, cangkir kopinya masih di pegangnya, “Sama
seperti kau dan Vendra mendeskripsikan rasa kopi yang tidak
pernah ada habisnya,” lanjutnya.

Aku mendekati Grey dan berdiri di sampingnya, agar lebih


jelas mendengar suaranya, “Aku belajar ngomong seperti itu dari
Vendra,” katanya dengan wajah yang ia palingkan padaku. Vendra.

178
Monolog Kopi

Pastilah dia yang hebat dalam pengibaratan dan aku tidak ada apa-
apanya.

“Apa yang ada di pikiranmu ketika melihat suasana malam


seperti ini, Har?” Tanyanya.

“Aku rindu kopi,” aku berhenti sejenak, “Aku rindu ibuku,”


lanjutku. Grey masih terdiam, “kalau kau?” cepat-cepat aku
bertanya ketika aku ingat bahwa ia tidak akan berpendapat jika
tidak ada yang menanyakannya.

“Aku ingat pertama kali kita ketemu. Kita sama-sama dari


Jogja tetapi bertemu di Jakarta,” jawabnya.

***

179
Prajna Vita

Aroma 11
Semoga Kopi Mempertemukan Kembali

Aku melihat Vendra memainkan tangannya cekatan ketika


melakukan penyeduhan. Ia juga tidak pernah melewatkan
pertanyaan para pengunjung mengenai kopi-kopi yang kami
sediakan, yaitu Bongso dari Wonosobo, Posong dan Tlahap dari
Temanggung, serta Owa Jawa dari Pekalongan. Aku sedikit kecewa
dengan diriku sendiri karena aku tidak bisa menjelaskan bagaimana
karakteristik kopi-kopi itu. Vendra bisa menjelaskan secara detail
dan berusaha percaya diri mengenai rasa kopi tersebut.

Grand opening Kopnat berjalan lancar. Aku meminta Vendra


untuk melakukan pengguntingan pita. Grey terus memunculkan
senyumnya ketika acara pembukaan kedai berlangsung. Para
penikmat kopi masih bisa memaklumi dengan menu kopi yang
masih tetap. Kami berani menambah kopi Bongso dan Owa Jawa
sebagai menu unggulan.

Para undangan, termasuk Pak Surya juga datang bersama


istrinya dan mengucapkan selamat pada kami. Kini Kopnat
telah hidup kembali meskipun menu kopi masih belum berubah.
Kehadiran kopi Owa Jawa menjadi salah satu obrolan penikmat
kopi kali ini. Karakteristik aroma herbal yang kuat membuat
beberapa penikmat kopi ingin mencoba.

Aku melihat Grey tampak rinci menjelaskan konsep desain

180
Monolog Kopi

yang kami terapkan pada Kopnat. Grey tetap tahu, bahwa desain
interior ruangan hanya sebagai pelengkap saja. Sama seperti latte
art sebenarnya. Jika latte art ialah pemanis maka jangan perkarakan
itu bagus atau tidaknya, tetap perkarakan bagaimana rasa kopinya.

Grey juga sibuk memotret para barista yang sedang beraksi


di dapur bar ketika tidak ada lagi pengunjung yang menanyakan
mengenai desain ruangan. Kemampuan memainkan kamera
diperoleh dari ayahnya yang bekerja sebagai trevel fotografer.
Hasil fotonya jangan diragukan lagi, terkadang tanpa mengintip
ranah kamera, hanya dengan memainkan sutterspeed, ia tetap bisa
menghasilkan angel foto yang keren. Adanya dia sebagai fotografer
di acara opening Kopnat ini bisa membantu mempublikasikan kedai
agar bisa dikenal banyak orang.

Aku harus bergantian memegang kameranya ketika ia


meminta izin untuk mengikuti jam kuliah. Ia akan datang lagi
malam, katanya. Kami sempat kewalahan karena tidak ada
pendokumentasian. Vendra yang juga ahli di bidang fotografi tidak
mungkin beralih dari dapur bar dengan keadaan pengunjung yang
masih terus berdatangan.

***

“Apa menu kopi unggulannya, Mas?” Tanya salah satu


pengunjung yang baru saja datang setelah senja sudah berganti
malam dan obrolan mengenai pembukaan Kopnat sudah tidak
ada lagi. Aku yang masih ikut berkutik di dapur bar seketika itu
menjawab pertanyaannya.

181
Prajna Vita

“Bongso dari Wonosobo dan Owa Jawa dari Pekalongan


untuk kopi unggulan yang kami sediakan hari ini. Kopi Bongso
jenis arabika, sedangkan Owa Jawa jenis robusta,” kataku cepat
karena aku melihat Vendra tidak menjawab pertanyaan pria itu,
beberapa detik ia diam memandangnya dan menghentikan seduhan.

“Kau bisa minum kopi?” Tanya Vendra pada pria itu seperti
sudah mengenalnya.

“Ya,” kata pria itu singkat.

“Dia Fauzi, adikku,” kata Vendra padaku ketika melihat aku


masih diam memerhatikannya. Wajahnya tidak jauh berbeda dari
Vendra, tetapi jika dilihat lebih detail, Fauzi lebih tampan.

Obrolan kami bertiga kurang lebih berlangsung tiga puluh


menit, tetapi sudah merasakan keakraban. Fauzi awalnya sangat
membenci aroma kopi yang membuat kepalanya berdenyut.
Berawal dari rasa rindunya terhadap Vendra membuatnya mencoba
mendekati dapur yang berisi kopi bubuk milik ayahnya. Mencoba
untuk menciumnya. Sama seperti kasusku akhir-akhir ini. Kepalanya
berdenyut dan langsung menjauhinya.

Rasa rindu begitu membuatnya ingin merasakan kedekatan


terhadap abangnya. Tak bisa dipungkiri jika ikatan batin mereka
didekatkan kembali dengan kopi. Berkali-kali ia mencoba bersahabat
dengan aroma kopi. Melalui tahap demi tahap, menemani ayahnya
ketika menyeduh kopi agar terbiasa mencium aromanya.

“Awalnya aku ingin menyerah, tetapi ketika aku membersihkan

182
Monolog Kopi

buku-buku sekolah, karena aku sudah harus meninggalkan bangku


putih abu-abu. Aku menemukan satu lembar catatanmu yang ikut
tertumpuk di kertas-kertas ualanganku. Kertas itu terlipat menjadi
dua lipatan dan aku kira itu surat dari pacarku dulu,” katanya begitu
membuat kami terdiam. Ia terkekeh sendiri dilanjutkan dengan
senyuman kami yang tidak mengeluarkan suara.

“Aku membukanya, ternyata tulisanmu tentang pertama kali


kau menyukai kopi?” Lanjutnya, “Aku membawanya Bang,” lalu
ia membuka tasnya dan mencari kertas itu dengan memilah-milah
tasnya. Ia mengeluarkan satu kertas putih yang tampak kecoklatan
karena sudah bertahun-tahun tersimpan pada tumpukan kertas
lainnya.

Vendra menerimanya. Membuka kembali, menahannya


beberapa kali. Bola matanya tidak menelusuri untuk membaca,
hanya tertuju pada bagian atas kertas. Mungkin ia membaca kalimat
pertamanya saja atau ia membaca tanggal kapan ia menulisnya
dan di mana. Mungkin itu menjadi kenangan sendiri baginya atau
bahkan itu spesial baginya.

Ia lipat kembali dan tersenyum. Mungkin ia mengingat


kembali hal-hal mengagumkan pada tulisan yang ia sendiri lupa
menyimpannya dan ditemukan oleh adiknya sendiri. Kini Vendra
bisa berbicara kembali pada Fauzi yang sempat bermusuhan dalam
diam, ditambah terpisah oleh jarak. Bisa aku katakan bahwa kopi
menyatukan mereka.

Sesekali Vendra harus kembali ke dapur bar untuk melayani

183
Prajna Vita

pelanggan yang terus berdatangan. Pembukaan Kopnat dengan


konsep baru, Kopnat semakin ramai. Untungnya memiliki tiga
barista termasuk Vendra sendiri.

“Mau berapa hari kau di Jakarta, Zi?” Tanya Vendra yang


sudah selesai melayani pelanggan dan bergabung kembali bersama
kami.

“Tiga hari sajalah, Bang. Aku ingin bertemu denganmu saja.


Melihatmu bekerja di dapur bar itu,” katanya. Suaranya terdengar
lebih kuat dibanding Vendra.

“Har, Har,” aku mendengar suara seorang wanita


memanggilku, kepalaku langsung menengok ke sumber suara,
“Aku tahu dengan apa kau bisa terapi sinusmu itu,” kata Grey buru-
buru. Belum sempat berhenti di depanku ia sudah berbicara.

“Dengan uap air panas, Har,” lanjutnya. Melihat kami masih


diam lalu ia memerhatikan kami bergantian dan matanya berhenti
ketika melihat Fauzi. Secepat kilat Grey menundukkan kepala
menyapanya. Wajah salah tingkahnya muncul. Itulah yang aku
suka. Kemudian ia menyeret kursi dari meja sebelah dan duduk.

“Dengan uap air panas,” ulangnya lebih menekan pada


kata uap air panas. Ia merapikan duduknya dan meletkkan tas di
belakang punggung sandaran kursi. Rambutnya terlihat berantakan
karena tertimpa-timpa angin ketika ia berjalan kemari. Rambut
berantakannya itu justru membuatnya terlihat semakin cantik saja.
Tuhan memang tidak pernah salah menciptakannya di bumi, tetapi

184
Monolog Kopi

akan salah jika ia bersama orang yang tidak tepat.

“Terapi menggunakan uap air panas atau air hangat bisa


mengurangi sinus. Kau tak perlu mengonsumsi obat-obat dari
dokter, Har. Itu justru membuat ginjalmu akan bermasalah,” katanya
sambil mengeluarkan koran dengan pembahasan penyakit sinus.

“Terapi lebih bisa cepat menyembuhkan dibandingkan dengan


obat-obatan, karena tidak ada bahan kimia yang bisa menyebabkan
efek samping. Uap air panas bisa membuat lendir-lendir yang ada
di rongga hidung dan sela mata akan mengalir keluar, memang
prosesnya lama, kau membutuhkan ketelatenan,” lanjutnya sambil
menunjuk pernyataan yang ada di koran itu.

“Har harus merebus air untuk dihirup uapnya saja, begitu?”


Tanya Vendra.

“Memangnya seduhan kopi tidak ada uapnya, Ve? Berapa


kali kau ngopi dalam sehari, Ve?” Kata Grey dengan nada bertanya
tetapi membuat Vendra juga merasa bodoh. Vendra hanya tertawa
diiringi oleh senyum Fauzi dan aku. Grey melihat wajah-wajah kami
yang tampak sama bodohnya. Ah, gadis ini. Bisa saja membuatku
jatuh hati dengan cara dia memandang semua hal, “Terapi sekalian
melatih rasa juga kan,” lanjutnya dengan alis yang terangkat tiga
kali.

***

Aku seperti lahir kembali. Orang-orang itu tidak akan pernah


membiarkanku melewatkan kafein setiap harinya. Aku bersama

185
Prajna Vita

mereka yang mempunyai banyak cerita baru. Aku bersama mereka


yang tidak pernah beranjak dari meja kopi sebelum tiga jam lebih.

Setiap aku menyeduh kopi, hidungku akan aku dekatkan pada


bibir cangkir. Uapnya merasuki hidung dan terasa plong setelahnya.
Aku semakin sering berada di dapur bar untuk menunggu seduhan
demi seduhan kopi. Meskipun belum begitu kenal aromanya tetapi
uap air terlebih dahulu yang aku incar.

Jika senja menjelang gelap seperti ini kedai semakin ramai


dikunjungi. Banyak para penikmat kopi yang datang pada senja
hingga malam hari. Pada saat itulah aku bisa mencari uap air dari
seduhan kopi lebih banyak. Selain aku bisa mendapatkan uap, aku
juga belajar dari awal untuk menemukan karakteristik aromanya.
Pada senja yang sudah tinggal menunggu gelap, hujan tiba-tiba saja
turun. Inilah yang terkadang membuatku harus menyiapkan tisu
atau sapu tangan untuk menutupi hidung ketika bersin.

Terkadang aku menginginkan hujan tetapi aku tidak mau


disiksa oleh bersin-bersinku. Aku rindu pada hujan, aku merindukan
hawa dingin yang membuatku terasa lebih tenang. Sekarang,
ketika hawa dingin mulai datang, tubuhku harus mendapat asupan
minuman hangat dan kopi menjadi pilihanku.

Aku rindu hujan. Aku rindu aroma tanah kering tersiram air
hujan. Aku rindu melihat titik-titik air menempel di kaca depan.
Aku rindu ketika hati ini bercerita penuh tekanan.

Aku melihat Fauzi memilih duduk di dekat dinding kaca.

186
Monolog Kopi

Sikapnya tidak jauh berbeda denganku. Sama-sama menyukai


hujan, melihat tetesan-tetesan air lalu mulai bersyair. Suasana
kedai yang kalah dengan suara hujan di luar membuat kami tidak
ada obrolan. Aku mencoba mendekati Fauzi karena ia terlihat
tidak melakukan apa-apa. Ia hanya memandangi hujan itu sambil
sesekali memainkan ponselnya. Aku akan menikmati kopi ini di
sana, bersama Fauzi.

Belum sempat aku duduk di samping Fauzi, terlihat Grey


membuka pintu kedai. Jaketnya terlihat basah oleh tetesan air hujan.
Aku mengenal benar jaket yang dikenakannya. Milik Vendra, itu
jaket yang biasa dikenakan Vendra.

Mengapa Grey yang memakainya? Kapan mereka jalan


berdua dan Vendra mengenakan jaket itu pada Grey. Ah, aku
merasa sedikit cemburu.

Grey menghentikan langkahnya ketika melihatku berdiri tidak


jauh darinya. Beberapa detik kami terpaku diam. Matanya beralih
ketika Fauzi menengok ke belakang karena melihat ada seseorang
yang masuk kedai. Seketika itu Grey kembali menyapa Fauzi
dengan cara yang biasa ia lakukan. Menundukkan kepala diiringi
senyuman. Terkadang keramahannya itu membuat banyak laki-laki
menyukainya. Fauzi membalasnya juga dengan senyuman.

“Kenapa kamu datang di saat hujan lebat seperti ini, Grey?”


Terdengar suara Vendra dari balik bar membuat aku dan Fauzi juga
melihat ke arah datangnya suara.

187
Prajna Vita

“Waktu aku keluar belum hujan, Ve,” katanya sambil


melangkah mendekati dapur bar. Aku memilih kursi di samping
Fauzi.

“Kopi darimana yang kau minum?” Tanya Fauzi ketika


cangkir kopiku sudah mendarat di meja depannya.

“Owa jawa,” kataku. Ia hanya mengangguk mengerti. Aku


tidak usah lagi menawarkannya kopi karena ia sudah tidak canggung
lagi bertanya-tanya kepada barista di dapur bar Kopnat.

Setelah Grey beberapa menit berbicara kepada Vendra, ia ikut


bergabung dengan aku dan Fauzi. Jaket Vendra sudah terlepas dari
tubuhnya.

Mengapa aku suka dengan penampilannya jika ia mengenakan


jaket itu? Terlihat semakin tomboy dan membuatku lebih menyukai
gayanya yang sederhana seperti itu.

“Kak Kris, aku mau black coffee Posong dong. Pake


seduhan Hario V6021,” katanya kepada salah satu barista setelah
ia memerhatikan Vendra beberapa saat yang masih sibuk dengan
pelanggan. Suaranya sedikit dikencangkan agar tidak kalah dengan
bunyi deru hujan.

“Jadi kau ingin racikan dari barista yang beda?” Tanya


Vendra tiba-tiba. Nadanya tampak menggoda dan aku tahu saudara
di sampingnya merasakan hal yang aneh di hatinya. Lalu aku?
Entahlah, aku sendiri pun tidak tahu. Aku masih malas memikirkan
21. Salah satu alat seduh manual yang menggunakan teknik seduhan pour
over. Manual brew ini buatan Hario model 60, sehingga dinamai Hario V6.

188
Monolog Kopi

hal demikian.

“Kalau begitu, dua cangkir jenis kopi yang sama dengan


racikan tangan yang berbeda,” kata Grey yang masih berdiri, “Aku
ingin tahu mana yang lebih enak,” lanjutnya.

“Oke. Kris, kita bersaing sekarang,” ujar Vendra yang


langsung melangkah ke dapur bar. Dua barista menyeduh kopi jenis
yang sama untuk satu wanita. Sungguh kau seperti diperebutkan
dua orang itu Grey.

Ditambah lagi. Keakraban Grey dengan Fauzi berjalan begitu


cepat. Melalui pertemuan yang baru tiga kali, menurut hitunganku,
mereka sudah terlihat sangat akrab. Tidak lama dua barista Kopnat,
Vendra dan Kris datang membawa dua jenis kopi yang sama. Grey
tampak tersenyum dan mengangkat tangannya dari meja agar
mereka meletakkan kopi itu di meja.

“Kau belum pernah mencicipi kopi buatanku, jadi kau belum


menemukan kopi lebih enak dari racikan Vendra. Hari ini mungkin
kau akan menemukan barista yang tidak kalah dengan Vendra,”
kata Kris pada Grey yang membuat kami semua tertawa.

Grey mencicipi dua cangkir itu bergantian. Aku seperti


melihat ketenangan ketika mulutnya mulai ditempelkan di bibir
cangkir. Ketika kopinya ia tahan di mulut, mendeteksi rasanya dan
keningnya berkerut-kerut. Tidak ketinggalan matanya menyipit
dengan bola mata yang bergeser ke kanan dan kiri bergantian.
Aku seperti merasa seakan waktu berhenti pada diriku dan Grey.

189
Prajna Vita

Hingga aku mampu melihat mimik mukanya lebih lama. Sungguh


perasaanku seperti melebur.

Perasaan melebur, perasaan yang luluh. Meluluhkan perasaan


ketika menghadapi kopi agar dapat menemukan keajaibannya.
Tepat! Mengapa aku begitu tidak mengerti itu. Aku rindu saat-saat
hidungku mendekati kopi.

“Har,” sapa Grey yang sudah kembali sendiri. Vendra dan


Kris sudah kembali ke dapur bar untuk melayani pelanggan yang
mulai berdatangan. Aku tidak menjawabnya, tetapi hanya menatap
matanya kaget. Terlalu hanyut lamunanku tadi hingga aku tidak
tahu apa yang mereka obrolkan tentang dua kopi yang sama dengan
racikan tangan berbeda.

Ia merogoh tasnya dan mengeluarkan satu buku yang kertasnya


sudah berwarna kuning. Sampul depannya batik berwarna coklat.
Seperti aku pernah melihatnya.

“Kau harus baca ini, Har. Ibumu sungguh hebat memandang


kopi,” katanya kemudian setelah buku itu diletakkan di depanku.
Ya, aku ingat. Aku melihat buku ini ditumpukkan empat buku
lainnya dan buku ini yang paling awal menjadi agendanya.

“Kekagumannya terhadap kopi bukan hanya satu, tetapi


bercabang dan aku belajar dari situ,” lanjutnya.

Grey sungguh bisa mengambil makna dari situ? Padahal


ibuku lebih dekat denganku? Ah, aku ini bodoh.

***

190
Monolog Kopi

Sesekali aku dibuat hanya mengobrol berdua dengan Fauzi


ketika Vendra mengajarkan Grey bagaimana meracik kopi dengan
manual brew dengan teknik pour over22. Keinginan Grey untuk
belajar dunia kopi memang tinggi.

“Aku merasa cemburu,” ujar Fauzi tiba-tiba. Suaranya pelan


hampir tidak terdengar olehku. Baru saja ia bertemu sudah tertarik
saja dengan Grey.

Ah, memang mengagumkan, tapi aku tidak pernah tahu


bagaimana caranya mengungkapkannya dan sekarang ada
seorang laki-laki lain mengatakan secara blak-blakan di depanku
yang usianya tiga tahun di bawahku.

Tidak bisa dipungkiri memang gadis itu mempunyai pesona


yang sederhana tetapi begitu menakjubkan. Tidak pernah menutup
pergaulannya karena memang ia tidak pernah mempunyai hubungan
spesial dengan siapa saja. ‘Aku tidak ingin hidupku rumit dipenuhi
dengan banyak aturan’ katanya.

Tidak pernah merasa sendiri dan bisa melakukan segala


hal tanpa tergantung pada orang lain. Kemandiriannya mampu
menghantarkan dia hingga ke mana pun ia mau. Mungkin faktor
dari hobinya treveling.

Katanya, menjadi pendengar yang baik selalu ia lakukan.


Sebaliknya, ia juga menginginkan pendengar yang baik untuk segala
keluh kesahnya, tetapi ia masih sulit menemukan orang yang bisa
22. Teknik seduhan manual brew dengan memainkan corong untuk mengatur
aliran air di atas paper filter.

191
Prajna Vita

menjadi pendengar baik untuknya. Aku tahu ia mempunyai banyak


masalah di hidupnya, tetapi ia tidak akan pernah memunculkan
raut wajah tersebut ketika bersama kami. Apalagi jika ia sudah
berhadapan dengan kopi. Itulah momen di mana kopi mampu
membuat sesederhanya kebahagiaan.

Mungkin, sesederhananya kebahagiaan Grey ada pada


Vendra. Kau beruntung, Ve bisa menjalin hubungan baik dengan
Grey. Ia gadis yang belajar dari banyak hal, termasuk kehidupan
orang lain tanpa mencampuri urusannya. Kau tahu semua barang
ibuku yang ada padanya? Satu demi satu ia bongkar dan ia bisa
belajar dari sana. Sedangkan aku hanya menyimpannya saja tanpa
aku ingin tahu apa isi di dalamnya.

Aku mengira hanya agenda-agenda yang tidak begitu penting.


Hanya untuk menyalurkan hobi menulisnya saja, tetapi semua itu
salah. Ketika Grey memberikan agenda pertama ibuku, aku tahu
bagaimana pertama kali ibuku terjun di dunia kopi. Bukan karena
kopi menjadi kesukaannya semata, tetapi karena banyak hal.

Hal mengenai kehidupan karena kopi memberikan rasa yang


beragam dan khas. Mungkin bisa dikatakan pahit lebih dominan,
tetapi jangan salahkan rasa yang tertinggal. Ketika berada di titik
pahit, ia akan percaya bahwa ada titik manis di akhir. Meskipun
rasa manis itu sudah didapatkan, tapi tidak akan pernah kehilangan
rasa pahit sebelumnya, karena manis itu alami. Semua rasa itu
sederhana dan sama seperti apa yang dirasakan hidup.

Di dalam aspek ketuhanan, akan marasa terus bersyukur,

192
Monolog Kopi

karena Tuhan telah mengajarkan umat-Nya untuk menghadapi


pahit terlebih dahulu.

Ketika kau berada di titik pahit kehidupanmu jangan


mencurigai Tuhan, kerena kau akan mendapatkan manis di
akhirnya. Di situlah kesabaran juga akan mengiringimu. Ah,
mengapa kalimat seperti itu berulangkali terngiang-ngiang di
ingatanku? Iyalah karena aku tidak jauh dari orang-orang yang
memandang kopi dengan aspek yang sama.

“Har,” suara Grey mengagetkanku. Ia sudah berada di


belakangku dengan membawa satu cangkir kopi. Fauzi juga tidak
luput memandang Grey hingga ia memilih duduk di sampingku.

“Masih ada uapnya, mau kau hirup untuk terapi?” Kata


Grey lagi sambil menyodorkan cangkir kopinya. Aku meraihnya
dan menghirup uap itu perlahan. Aku sudah sedikit menemukan
aromanya. Rutinitas yang selalu diingatkan oleh Grey membuatku
bisa kembali mengindrakan kopi meskipun masih perlahan. Terlalu
lama aku tidak memegang kopi membuatku harus belajar lagi dari
awal. Aku lupa mengenai aroma yang dulu sudah sangat familiar.
Sinusku sudah sedikit mereda meskipun belum seratus persen. Dan
itu berkat kau, Grey.

“Sekarang bagaimana, Har? Sudah bisa mencium sedikit?”


Tanya Grey memecahkan obrolan kami.

“Ya, sedikit-sedikit aku sudah mulai menemukan aroma-


aromanya,” kataku.

193
Prajna Vita

***

Malam semakin larut, mataku mampu terpejam tetapi tidak


bisa terlelap. Suara hujan itu membuatku melangkah keluar untuk
menikmati tetes air hujan di kaca. Sepertinya tetes air hujan lebih
bisa terlihat di kedai karena kedai mempunyai dinding kaca yang
lumayan lebar. Aku seperti melihat seseorang di balkon, bukan
satu orang saja, tetapi dua orang. Hatiku meminta untuk menengok
siapa yang masih mengobrol pada saat hujan lebat dan waktu sudah
hampir menunjukkan pukul dua belas malam.

Langkahku berhenti ketika Fauzi dan Grey yang aku lihat di


sana. Mengapa bukan Vendra? Ekspresi mereka tampak gembira
di masing-masing pendengar dan pencerita. Terbesit ingatan,
bahwa Fauzi pernah mengatakan ia menyukai Grey. Aku cemburu?
Aku mengakuinya, iya. Tanpa mengeluarkan suara aku menepis
perasaan itu dan rencanaku turun tetap aku lakukan. Aku berusaha
mengontrol perasaan cemburu. Aku selalu mengingat bagaimana
perasaan ibu yang tersakiti bertahun-tahun. Ia mampu menahannya
dan itu semua berhasil.

Kedai sudah sepi, tetapi lampu belum dimatikan. Vendra


masih membereskan beberapa alat seduh yang telah digunakan hari
ini. Aku tetap melangkah keluar tanpa menunjukkan rasa kesalku
pada adiknya. Aku tidak mau menampakkan raut yang tidak enak di
matanya berkali-kali. Aku tahu kesabaran ada batasnya dan Vendra
sudah cukup sabar menghadapiku ketika aku terpuruk karena
masalahku sendiri.

194
Monolog Kopi

“Belum tidur kau?” Tanyaku lebih dulu. Seketika itu ia


menghentikan tangannya dan menengok ke belakang.

“Rapihin ini dulu,” katanya sambil melanjutkan mengelap


cangkir yang baru dicuci, “Hujan tuh Har, mau aku buatkan kopi?”
Tawarnya ketika aku sudah berdiri di sampingnya, “Di sana kau
bisa lebih jelas melihat hujan turun,” lanjutnya.

“Biar aku sendiri saja, Ve, aku sudah lama tidak memegang
kopi,” kataku sambil mengambil cangkir. Aku tetap memilih Owa
Jawa karena aku masih ingin merasakan aroma herbal dari kopi
itu. Aku meraup biji kopi itu dan menimbangnya hingga 120 gram.
Keraguan masih memenuhi otakku, aku melihat Vendra sudah
mengelap tangannya dengan tissu, pertanda ia sudah menyelesaikan
pekerjaannya.

“Ve, tunggu,” segera aku hentikan langkahnya. Ia menengok


padaku, “boleh bantu aku menyeduhnya? Aku khawatir rasanya
tidak enak, sepertinya tanganku kaku,” kataku. Ia tersenyum dan
mendekatiku. Ia meneliti lagi takaran biji kopi yang masih di atas
timbangan. Sepertinya timbanganku benar karena ia langsung
membawanya ke alat grinding.

“Kau mau pakai sedukan apa?”

“Tubruk aja, Ve, agar aromanya lebih kuat,” kataku sambil


mengambil air panas yang sudah mendidih. Sembari ia menggiling
kasar biji kopi itu aku memanasi cangkirku dengan air panas. Hal
ini dilakukan agar temperatur air panas ketika memasuki cangkir

195
Prajna Vita

tidak turun drastis, karena berpengaruh juga terhadap kualitas rasa


kopinya.

Ia memasukkan hasil gilingan kopi ke dalam cangkir. Ia


mengambil catle leher angsa yang berada di tengah-tengah posisi
kami.

“Tuang ini,” katanya sambil menyerahkan catle berisi air


panas itu padaku. Tanganku masih belum meraihnya. Aku ragu tidak
bisa mengatur tinggi rendahnya air yang jatuh dan arah putarannya.

“Coba, Har. Ketika kau yang menuang air ini kau akan lebih
mencium aromanya, berbeda jika aku yang menuangnya, nanti aku
yang akan lebih menciumnya,” lanjutnya dengan mengarahkan
catle itu lebih dekat denganku.

“Aku takut rasanya beda, Ve,” kataku dengan suara yang aku
tahu betul menyimpan keraguan.

“Pertama seduh saja, sampai bubuk kopinya mengembang.


Kalau kau masih mau, bisa kau lanjutkan, jika tidak nanti aku
yang teruskan,” ujarnya. Aku meraih catle yang masih di tangan
Vendra dan mulai memiringkan catle-nya agar air di dalamnya
keluar. Mulai memutarnya perlahan. Vendra makin dekat melihat
ke cangkir. Sungguh rasanya berbeda. Aku merasa bahagia ketika
aroma itu merasuki hidungku. Tidak begitu kuat tetapi aku mampu
merasakannya sedikit demi sedikit. Rasa sesak di dalam ruang
kedap udara bernama rindu itu perlahan menghilang. Fokusku
tidak terbelah ke mana-mana. Meskipun beberapa menit yang lalu

196
Monolog Kopi

aku melihat Fauzi tengah asik dengan Grey tetapi aku mampu
memasukkan diriku pada seduhan kopi malam ini yang ditemani
hujan.

Bubuk kopi sudah mengembang. Aku menghentikan


seduhan. Cara itu memang dilakukan untuk memberi waktu pada
kopi untuk pelepasan gas-gas yang terkandung di dalamnya. Aku
menurunkan catle dan mendekatkan hidung ke cangkir. Uapnya
membuat kulit pipiku berasa berembun. Aromanya terpancar kuat
hingga merasuki otak. Aku ingin cepat-cepat meminumnya. Aku
ingin cepat-cepat menikmati hujan dan aku ingin bercerita pada
hujan bahwa kerinduanku terhadap kopi malam ini terobati. Dan
seketika itu aku teringat pada ibu.

Aku menahan napas kira-kira dua detik lalu mengangkat


kepala menjauhi cangkir. Vendra memasukkan sendok untuk
mengaduk. Arah adukannya searah jarum jam.

Mengapa aku berkebalikan arah jarum jam? Pemikiran


otak manusia memang terkadang berbeda. Aku merasa berbeda
pemikiran pula ketika aku bersama kopi dan tidak. Bersama kopi,
aku mampu statis tetapi tetap dinamis. Memikirkan segala sesuatu
dengan segala strategi. Kopi tidak pernah membuatku pusing di
dalam labirin atau terlilit pada jaring di atas jaring. Lalu, apa
garis besar yang bisa diambil dari sebuah kopi? Cara pandang!
Mengapa? Karena kopi membantu aku mendapatkan cara pandang
yang luas. Seperti bebas mencari sudut pandang ya? Ya, tepat.
Aku bisa peka dengan seluruh indraku. Dari melihat, merasakan,

197
Prajna Vita

memikirkannya, lalu memadukan semua itu. Akan ada dialog


internal, begitu? Ya, sebuah dialog internal yang memainkan
seluruh indra dan akan keluar menjadi sebuah tindakan. Indra?
Pernannya sungguh besar. Betul, perasaan datang dari indra
terlebih dahulu. Lalu masuk ke pemikiran dan terjadi perdebatan
antara perasaan dan pemikiran. Namun, mengapa perasaan selalu
kalah dengan pemikiran atau logika? Tunggu! Tidak selalu, karena
itu hanya akan terjadi pada perempuan. Pria berbeda.

“Lebih kuat kan aroma yang bisa kau cium daripada kau
menciumnya setelah terseduh semua,” katanya sambil mengangkat
sendok dari dalam cangkir, membuat monologku berhenti “mau
kau coba seduh lagi? Lagi lah, Har,” ujarnya dengan nada sedikit
memaksa.

Aku melakukannya. Dengan kehati-hatian yang sangat tinggi


agar air tidak menyentuh sisi cangkir, aku harus berkonsentrasi
penuh di sini. Perlahan air naik mendekati bibir cangkir. Aromanya
semakin tercium dan Vendra masih tetap diam melihat seduhanku.
Ia tidak mengajakku bicara karena aku juga tidak mengeluarkan
suara. Ia tahu konsentrasiku masih dalam seduhan ini.

“Jangan pergi dulu, kau cicipi bagaimana rasanya,” kataku


kemudian setelah kopi sudah naik. Ia menarik kursi dan duduk
untuk menunggu empat menit berlalu. Aku juga mengikutinya,
mengambil kursi dan duduk tidak jauh darinya.

“Grey masih di sini? Menunggu hujan reda untuk pulang?”


Tanyaku lebih dulu.

198
Monolog Kopi

“Ya. Masih berasama Fauzi di atas?”

“Ya,”

“Cepat akrab mereka. Tapi aku seperti melihat Fauzi tertarik


padanya,” ia diam sejenak dan aku tidak mengeluarkan tanggapan
apa pun, “Aku takut harus mengorbankan perasaan pada adikku
sendiri,” lanjutnya.

Deg. Aku melihat matanya. Kantong matanya sudah mulai


menghitam, karena waktu tidurnya seenaknya dia saja.

“Apa maksudmu?” Tanyaku. Aku seperti melihat ia


menyimpan perasaan pada Grey.

“Tidak apa-apa Har. Aku seperti menyimpan perasaan pada


Grey, tapi aku ragu,” ia berhenti sejenak, lalu dilanjutkan setelah
menarik napas panjang, “Tapi besok aku ingin mengajaknya ke
Rumah Kopi Nusantara dan aku akan katakan perasaanku. Jika
perasaan ini ternyata sepihak,” ia berhenti lagi sambil mengangkat
alis sebelah kirinya, “Ya, aku menghargai,” katanya. Dugaanku
benar, ia juga menyimpan parasaan pada gadis itu. Bahkan akan
dikatakannya secepatnya. Mengapa rumit seperti ini? Padahal,
baru saja aku mengamati pasti akan ada kisah cinta yang rumit.

Vendra mengambil sendok cupping dan mendekatkan


cangkir berisi seduhan kopi dari tangannya. Ia menggeser-geser
ampasnya, busanya begitu indah dan menyisih perlahan. Pada
momen seperti inilah yang aku suka. Ia mengambil satu sendok
penuh lalu diseruput. Diam, membiarkan cairan itu dingin di mulut.

199
Prajna Vita

Bola matanya mengarah ke sana-sini mendeteksi rasa. Keningnya


berkerut memikirkan ada rasa apa di dalamnya.

“Enak. Tapi sepertinya rasa pahitnya terbentur asam,”


dia mengangguk-angguk sendiri, “Tidak apa-apa Har, kau bisa
menikmatinya. Ini tidak begitu parah,” katanya lagi sambil
meletakkan sendoknya. Ia menepuk pundakku pelan lalu menuju
lantai dua. Aku mencicipinya satu kali cupping. Masih kurang bisa
aku deteksi bagaimana rasa rempahnya yang sedikit menghilang.
Lidahku lebih dominan menerima rasa pahit.

Aku membawa kopiku untuk duduk di depan jendela kaca.


Hujan masih deras dan titik-titik air sudah memenuhi kaca.
Pandanganku mulai menelusup jauh pada sebuah kenangan.
Kenangan masa lalu di kampung halaman yang mempunyai tradisi
minum kopi amat kuat. Melalui tradisi itu aku bisa sampai ke sini.
Mengenal banyak hal mengenai dunia kopi. Aku bertemu dengan
orang-orang yang bergerak di bidang kopi tanpa melihat dari satu
sudut pandang saja. Hal itulah yang bisa aku katakan bahwa itu
anugerah untukku.

Aku melihat masa laluku yang sangat indah bersama biji-


biji kopi dan beragam kegiatan lain seperti roasting manual dan
seduhan kopi tubruk yang dulu pernah ayah lakukan. Kenangan
itu, kenangan bertemu dengan Grey dan Vendra membuatku
mempunyai keluarga baru di tanah perantauan ini.

Pada tiga tegukan terakhir seketika mataku beralih pada


ampas kopi di dalam cangkir dan tegukanku berhenti tanpa bisa

200
Monolog Kopi

aku telan kopi yang masih berada di mulut. Ampas kopi yang turun
mengikuti kemiringan cangkir berbentuk hati. Sungguh cantik dan
sederhana. Aku tersenyum ringan, dan wajah Grey seketika itu
terbesit. Bisa aku katakan, Grey, bahwa dirimu adalah kopi tengah
malam dan ampas yang turun adalah rinduku.

Aku merindukanmu, Grey, tetapi aku bisa apa? Kau telah


bersama seseorang yang juga dekat denganku, lalu aku? Berusaha
tetap mendapatkanmu tetapi kehilangan orang yang sudah menjadi
keluargaku. Kau dan Vendra sudah membuatku mengerti mengenai
banyak makna tentang kopi, berusaha menemukan keajaiban kopi
melalui sudut pandang yang berbeda. Keduanya berharga bagiku
dan aku takut kehilangan kalian.

Grey, kau membantuku meleburkan perasaanku agar aku


bisa memekakan pengindraanku. Kau juga yang membuat hatiku
mencair setelah sekian lama mengkristal. Aku tidak pernah bisa
jatuh cinta lagi setelah cintaku tak terbalas lima tahun lalu. Kini
kau menyentuh ruang hatiku dan kau juga yang menghancurkan
kristal itu perlahan-lahan.

Aku tahu kau tetap bersikap biasa padaku untuk menjaga


perasaanku, dan mungkin juga untuk Fauzi. Namun, apakah kau
tahu? Kau justru semakin mengeraskan kembali perasaanku dan
itu terasa sakit. Terulang lagi, aku akan kembali mengulang rasa
yang mati, tetapi tidak akan mati untuk kopi.

Aku tidak bisa mendapatkan cintamu, tetapi aku bisa


mendapatkan cinta dari seduhan kopi. Aku tidak hanya menyeduh

201
Prajna Vita

kopi dengan penuh perasaan, tetapi juga penuh cinta. Aku


merindumu seperti aku merindukan kopi. And sometimes coffee
understands me more than myself. Aku memang sendiri tetapi aku
dekat dengan kebahagiaan karena aku bersama kopi.

Nikmatilah hari-harimu agar bahagia bersama seseorang


yang lebih dapat menerjemahkan rasa. Tak apalah kau membuatku
tetap sendiri. Tidak masalah jika kau mengaduk-aduk kopiku, tetapi
jangan penah lagi kau mencoba untuk mengaduk-aduk perasaanku.
Jika beberapa tahun lagi kami bertemu, jangan pernah tanyakan
dengan siapa aku sekarang, karena aku bisa saja masih takut untuk
jatuh cinta.

***

“Har,” suara Vendra membangunkanku. Aku begitu berat


membuka mataku. Sejak sore tadi, aku memilih tidur setelah Vendra
keluar kedai untuk pergi bersama Grey. Aku tidak mau merasa
cemas dengan apa yang mereka lakukan. Suara Vendra yang masih
belum berhenti membuat aku semakin berusaha membuka mataku.
Sudah tidak ada lagi cahaya. Malam sudah tiba dan hari ini aku
meninggalkan momen senjaku, “Har,” panggilnya lagi. Segera aku
sadarkan ingatanku dan beranjak untuk membuka pintu.

“Grey menunggumu, ia mau memberikan barang ibumu,”


kata Vendra ketika pintu kamar sudah aku buka.

“Titipkan padamu saja. Aku tidak enak badan. Malas keluar,”


kataku. Alasan yang sepertinya lebih masuk akal karena aku juga

202
Monolog Kopi

baru saja bangun tidur.

Vendra tidak berkata apa-apa. Ia hanya menanggapi dengan


isyarat mengiyakan. Ia melangkah turun dan aku masuk kembali
ke kamar. Aku tidak mau bertemu dengannya dulu. Semakin
dekat dengannya semakin aku harus berusaha mati-matian untuk
menghilangkan rasaku padanya.

Aku membuka jendela kamar. Udara malam menelusup masuk


dan mendirikan bulu kudukku. Melihat langit malam bayanganku
tertuju pada secangkir kopi. Aku ingin minum kopi tetapi pasti
Grey masih di bawah. Masih aku urungkan keinginanku ini.

Aku menghitungnya hingga satu jam, lalu aku keluar kamar


menuju kedai. Langkahku berhenti ketika melihat Grey masih duduk
di meja yang tidak jauh dari dapur bar. Di depannya ada sebuah
kotak ibuku yang pernah aku titipkan padanya karena barangku
terlalu banyak sedangkan ruang kamarku kecil. Di depannya tepat
ada sebuah cangkir kopi. Aku melihatnya masih sibuk dengan pena
dan bukunya, entah apa yang masih ia tulis. Beberapa kali melihat
kosong ke depan lalu fokus kembali ke tulisan itu. Persisi seperti
orang yang masih mencari satu kata untuk dituangkan dalam
tulisannya. Aku melangkah masuk kembali ketika aku melihat
Vendra berjalan mengarah padaku.

“Har,” panggilnya dengan nada yang sedikit berdesisi. Aku


menengokkan kepala hingga aku melihat matanya, “Grey ingin
bertemu denganmu langsung. Bukan barang ibunya saja yang ingin
ia berikan padamu,” kata Vendra dengan suara yang lirih agar tidak

203
Prajna Vita

terdengar ke mana-mana.

“Sudah aku suruh ke atas, tetapi tidak mau dan dia memilih
menunggu di sana,”

“Aku tidak mau bertemu dengannya!” Potongku.

“Ada apa?” Tanya Vendra dengan nada suara yang berat,


“Kau yang dia sukai, Har,”

Deg. Grey menyukaiku? Aku masih menatap mata Vendra.


Aku tahu ada kejujuran di sana. Kami sama-sama diam dan beberapa
detik kemudian kami dikagetkan dengan suara Grey.

“Kak Kris. Boleh aku titip ini saja, berikan yang ini untuk Har.
Sampaikan, kalau aku sangat berterimakasih padanya,” kata Grey
pada Kris yang masih membersihkan franch press. Aku melihat
Grey memberi sebuah surat pada Kris dan memasukkan satu buku
ke dalam kotak itu. Sebelum ia melangkah keluar ia melihat ke arah
tangga dan tepat di sini aku melihat matanya tertuju pada arah aku
dan Vendra yang masih berdiri.

Ia diam sejenak. Aku tahu ia melihat kami. Namun, langkahnya


bukan untuk menghampiri kami, tetapi langsung keluar kedai.
Secepat kilat Vendra menarik lenganku hingga aku mengikutinya
turun. Sebelum aku mengejarnya keluar aku meraih kertas yang
masih berada di tangan Kris. Cepat aku membukanya dan aku tidak
tahu apakah perasaanku masih tetap mengristal atau lebur kembali.

‘Jangan salahkan aku menulis kesetanan karena kau semakin


mendekat dan jangan salahkan aku menulis sangat menyayat hati

204
Monolog Kopi

karena kau menghilang’

Cepat-cepat aku melihat buku yang ia letakkan terakhir kali di


dalam kotak bersama milik ibuku, karena aku tidak mengenali buku
itu. Aku membuka pada lembaran pertama. Benar. Terpampang
jelas namaku menggunakan huruf kapital

‘PUTRA HARAHAP’

Hanya bisa aku ungkapkan melalui ini. Terima kasih, kau


telah membuat buku tulisku berkurang satu.

Aku menutupnya cepat dan meletakkan surat itu di atasnya.


Aku mengejar Grey, aku menyusuri ruko-ruko yang masih ramai
orang lalu lalang karena malam belum begitu larut. Tak ada. Aku
sudah berjalan hingga ujung jalan dan aku tidak menemukannya.

Jika perasaan dia baik-baik saja pasti ia meminta Vendra


untuk mengantarkannya pulang, tetapi kali ini ia berjalan sendiri.
Aku kembali ke FullKop dengan lunglai. Tidak aku dapatkan. Apa
yang selama ini aku rasakan?

***

Mengejutkan. Semua isi tulisan itu mengenai aku. Sebegitu


besarkah perasaannya padaku? Sangat peka terhadap apa yang
ada di sekitarnya. Jadi, melalui ini kau bisa bercerita tanpa ada
satu pun yang menyela? Jadi pena dan kertas yang mampu menjadi
pendengar terbaikmu? Lalu kau menyerahkan semua ini padaku?
Mau ke mana kamu, Grey?

205
Prajna Vita

Memikirkan hingga jauh seperti itu membuatku langsung


meraih ponselku dan mencari kontaknya. Ketika tombol call
tersentuh, terpampang foto aku dengannya sebagai foto kontak. Di
foto ini Grey sudah memakai toga dengan senyum mengembang
bahagia.

Panggilanku tidak terjawab, nomornya tidak lagi bisa


dihubungi. Segera aku meraih jaket yang tergantung di belakang
pintu kamar dan berangkat menuju rumah Grey. Aku ingin tahu apa
maksudnya dan apa yang sebenarnya ingin dia katakan.

“Tidak usah mencari Grey,” potong Vendra ketika kami


berpapasan di tangga. Aku berhenti sejenak.

“Ia di Semarang. Di terima kerja di sana,” lanjut Vendra.


Melihatku tetap diam, ia meninggalkanku yang masih dalam posisi
mematung.

Aku Terlambat.

‘Grey, boleh aku berharap kita bisa bertemu lagi? Di sebuah


kedai kopi dan aku ingin hujan turun, karena aku akan membawa
cerita itu pada tetes air hujan yang menempel di dinding kaca kedai
kopi tempat kita bertemu. Mungkin aku bisa bermonolog dan kau
yang menuliskannya. Agar semua orang bisa tahu bagaimana cara
kita menyampaikan apa yang kita rasakan.’

*End*

206
Monolog Kopi

Terima Kasih

Kepada Engkau, pemilik semesta yang dunia-Nya menjadi sumber


inspirasi utama. Saya percaya, bahwa tidak ada yang kebetulan di
dunia ini.

Kepada Muhammad N.G, barista yang mau menceritakan


bagaimana pengalaman terjun di dunia kopi. Mengajarkan
bagaimana melihat berbagai hal melalui sudut pandang yang luas.
Mengajarkan bagaimana kopi mampu menemukan beberapa aspek
dan tak henti-hentinya menjadi sumber inspirasi; kepada Dicko
Purnomo, roaster yang mau menceritakan perjalanan mengenali
kopi dari hulu ke hilir. Menceritakan bagaimana kesusahan dan
kesenangan me-roasting kopi yang membutuhkan kedetailan
maksimal; kepada Rahma Dara yang menjadi salah satu inspirasi
untuk menguatkan konflik dalam cerita; kepada Vendra Septianto
yang telah mengizinkan saya memakai namanya untuk salah satu
tokoh.

Kepada Bapak Nova Darmanto, yang senantiasa memberi


masukan mengenai perspektif seorang pengarang dalam menyajikan
fakta dan data menjadi sebuah narasi; kepada Bu Diah Amelia,
yang mau menyempatkan waktu membaca naskah awal novel
Monolog Kopi ketika masih sukar di pahami alurnya; kepada Mam
Suratni, yang sudah mengarahkan bagaimana awal hingga akhir

207
Prajna Vita

dalam pembuatan produk; kepada dosen Program Studi Penerbitan


PoliMedia, yang banyak mengajarkan teknik penulisan.

Kepada Anggia Resti, Nanda Adita, dan Nourma Riana,


sahabat yang tak pernah bosan mendengarkan cerita saya ketika
ingin berbagi pengetahuan baru tentang kopi dan mau menemani
saya mencicipi beberapa kopi khas daerah; kepada Putih Maulida,
yang mau ikut berkunjung ke beberapa kedai kopi di Jakarta dan
mengenalkanku pada banyak referensi; kepada Fahrun, Farih
Ruhana, Maghfiroh, Millatul Azizah, yang tak kalah antusiasnya
untuk ikut berkunjung ke kedai kopi di tanah kelahiran ketika
saya mencari referensi penulisan cerita; kepada Dini Ayu dan Irma
Septiya, yang tak pernah protes mendengar suara ketikan keyboard
hingga pagi dini hari; kepada seluruh rekan-rekan yang dapat
mendatangkan percikan-percikan inspirasi dan masukan untuk
menyempurnakan novel Monolog Kopi.

Kepada Muhammad Nurmansyah, atas desain cover yang


indah ini; kepada Lulus Pamujisakti, yang sudah meluangkan waktu
untuk memberi masukan tentang desain cover; kepada Sucy Amelia
atas jepretannya untuk mengisi foto penulis di halaman biografi;
kepada Toni Aristianti, Imam Wahyudi, Bima Sutikno, Ibra Kardi,
dan Shabrina Anggraini, yang menjadi teman sharing mengenai
dunia literasi; kepada Rahma Pratiwi dengan mata jelinya yang
telah menyempurnakan novel ini.

Kepada kedai Filosofi Kopi, sebagai inspirasi dalam


menemukan interior; Kepada JCH (Jakarta Coffee House), sebagai

208
Monolog Kopi

inspirasi dalam menentukan kedai kopi yang khusus menyediakan


kopi nusantara; kepada Giyanti Coffee Roastery, sebagai inspirasi
dalam menetapkan idealisme suatu coffee shop; kepada Le’Gita
Coffee, sebagai sumber inspirasi dalam menemukan jenis kopi
khas Pekalongan.

Kepada akun instagram Sahabat Barista, Mas Fotokopi,


Seniman Kopi Bandung, dan lain-lain, sebagai sumber inspirasi
dalam menemukan kopi pada dunia seni; kepada Majalah Otten
Coffee, Cikopi.com, MinumKopi.com, Nationalgeographic.com,
sebagai sumber dalam menemukan fakta dan data mengenai kopi.

Kepada seluruh keluarga yang selalu mendukung dengan


keputusan yang saya ambil. Ayah yang terus berjuang agar cita-cita
saya berjalan lancar. Ibu yang tidak lelah memberi dukungan dan
menitipkan doanya kepada Yang Maha Pemberi. Dimas Fakhri dan
Afiata Indika yang bisa meramaikan suasana ketika saya mengalami
kejenuhan. Thanks.

209
TENTANG PENULIS

Pemilik nama lengkap Prajna


Farravita. Kecintaan terhadap buku
menghantarkannya untuk menekuni
dunia literasi. Gadis kelahiran
Pemalang, 24 Mei 1995 ini juga
mengembangkan kepenulisannya di
dunia jurnalis. Pernah ikut bergabung
di Radio Republik Indonesia (RRI)
Jakarta sebagai reporter dan di Majalah
NooR sebagai wartawan.

Keaktifannya pada event-event menulis dimulai sejak tahun


2011. Beberapa karya fiksinya telah dipublikasikan dalam antologi
cerpen “Detak Jantung Terakhir” (2014) dan antologi puisi “Negeri
Asap” (2015), “Heartbreak” (2015), “Cinta di Balik Hujan” (2014),
“Di Rumah-Mu Aku Menemui-Mu”(2011).

Ketertarikannya di dunia kopi menjadi motivasi besar


dalam menyelesaikan novel pertamanya ini. Berbagai aspek yang
diambil dari pengibaratan sebuah kopi juga mendorongnya untuk
menamatkan berbagai jenis karya fiksi dan prosa.

Ia bisa ditemui di blog: http://vitaliterasi.blogspot.com atau


email: prajnafarravita@gmail.com / facebook: Prajna Vita / twitter:
@Prajna_Vita / instragram: @Prajna_Vita. Semoga dengan
perkenalan di dunia maya bisa membawa kita ke dunia nyata.

Anda mungkin juga menyukai