Anda di halaman 1dari 57

JOURNAL READING

“Does Organ Donation Impact on Forensic Outcomes? A Review of


Coronial Outcomes and Criminal Trial Proceedings”

Dosen Penguji:
dr. Bianti Hastuti Machroes, MH, Sp.FM

Residen Pembimbing:
dr. Tri Handayani
dr. Nurul Ummi Rofiah

Disusun Oleh:
Akbar M Ramadhan H1AP13029 UNIB
Yoga Apriyanto H1AP13007 UNIB
Yogei Hasdiansyah H1AP13011 UNIB
Aurora Imelsi Shanni R.A H1AP14025 UNIB
Clara Mutiara Edem H1AP14012 UNIB
Putri Santri H1AP14041 UNIB
Lia Safitri H1AP14013 UNIB
M Ade Febrian H H1AP14005 UNIB

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. KARIADI SEMARANG
PERIODE 25 NOVEMBER – 21 DESEMBER 2019

15
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah S.W.T atas berkat rahmat-Nya sehingga journal reading
yang berjudul “Does Organ Donation Impact on Forensic Outcomes? A Review of
Coronial Outcomes and Criminal Trial Proceedings” ini dapat diselesaikan.
Pembuatan journal reading ini merupakan salah satu tugas dan syarat dalam
menjalani ilmu kepaniteraan di Ruang Kedokteran Forensik Rumah Sakit Umum
Pusat Dokter Kariadi Universitas Diponegoro, Semarang. Ucapan terima kasih
karena bimbingan, dukungan, dan bantuan dalam pembuatan makalah ini penulis
sampaikan kepada :
1. dr. Bianti Hastuti Machroes, MH, Sp.FM sebagai penguji,
2. dr. Tri Handayani dan dr. Nurul Ummi Rofiah sebagai pembimbing,

Besar harapan penulis agar journal reading ini dapat memperluas wawasan
dan menambah pengetahuan khususnya pada para praktisi ilmu kedokteran
forensik dan medikolegal serta pembaca pada umumnya.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii

BAB I TERJEMAHAN JURNAL ......................................................................... 1

Abstrak………… ............................................................................................................1

1. Pendahuluan .............................................................................................................2

2. Metode ......................................................................................................................5

2.1. Etika ...................................................................................................... 5

2.2. Metode .................................................................................................. 5

3. Hasil……….. ...........................................................................................................7

4. Diskus ..................................................................................................................... 12

5. Kesimpulan ............................................................................................................. 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 15

2.1. Transplantasi Organ ............................................................................................... 15

2.2. Kebijakan Transplantasi Organ di Luar Negri.................................................... 16

2.3. Kebijakan Transplantansi Organ di Indonesia .................................................... 29

2.4 Transplantasi Organ dari Segi Agama .................................................................. 42

2.4.1. Transplantasi organ dari segi agama Kristen ....................................... 42

2.4.2. Transplantasi organ dari segi agama Katolik ....................................... 42

2.4.3. Transplantasi organ dari segi agama Hindu ........................................ 43

2.4.4. Transplantasi organ menurut agama Budha......................................... 44

2.4.5 Transplantasi Organ Menurut Agama Islam ......................................... 44

2.5 Peran seorang ahli forensik dalam memberikan persetujuan untuk donasi
organ dalam kasus kematian ................................................................................. 46

iii
BAB III JURNAL PEMBANDING...................................................................... 48

BAB IV PENUTUP .............................................................................................. 50

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 52

iv
BAB I
TERJEMAHAN JURNAL

Judul : Does organ donation impact on forensic outcomes? A review of coronial


outcomes and criminal trial proceedings
Penulis : Leo Nunnink, Nigel Stobbs, Chelsea Wallace-Dixon, Belinda Carpenter
ABSTRAK
Seiring dengan meningkatnya kegiatan donor organ, hal ini sebanding dengan
meningkatnya jumlah pasien yang menunggu untuk segera dilakukan
transplantasi. Donasi organ dapat dilakukan pada sejumlah kondisi kematian
tertentu, dan hanya dapat dilanjutkan dibawah persetujuan Coroner Act. Menurut
laporan kematian Coroner Act, adanya persetujuan untuk mendapatkan bukti
melalui tindakan otopsi dapat menjadi hambatan dalam mendapatkan persetujuan
donasi organ oleh Coroner Act.

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah donasi organ


mempengaruhi hasil identifikasi yang dilakukan oleh Coroner Act dan Patologi
Forensik terhadap penyebab kematian seseorang.

Desain: Penelitian dilakukan secara retrospektif yaitu sebanyak 177 catatan


kematian yang dilaporkan kemudian dirujuk untuk donasi organ dalam periode
empat tahun di Queensland Australia, selanjutnya dilakukan peninjauan catatan
dari setiap proses pidana yang memiliki kaitan dengan kematian tersebut.

Hasil: Terdapat 10 kasus dimana ahli patologi forensik merekomendasikan untuk


dilakukan penolakan donasi organ dan berdampak pada penurunan jumlah organ
untuk transplantasi. Tidak terdapat kasus dimana donasi organ dapat mengubah
hasil dari proses pidana maupun mempengaruhi penemuan dari penyebab
kematian.
Kesimpulan: Donasi organ apabila dilakukan dapat memberikan dampak yang
terbatas baik pada bukti autopsi maupun proses pengadilan selanjutnya. Pada

1
kasus penolakan perizinan donasi organ, bukti otopsi tidak secara signifikan
mengubah temuan koronial maupun hasil pengadilan.

1. Pendahuluan
Baik donasi organ untuk transplantasi maupun investigasi koronial
memiliki manfaat bagi masyarakat. Pada beberapa kondisi,
transplantasi organ kadaver merupakan satu-satunya pilihan terapi
tanpa menyebabkan kematian pada calon penerima. Meskipun terjadi peningkatan
angka donasi organ di beberapa negara seperti Inggris, Australia, dan wilayah
hukum lain, namun terdapat ketidakseimbangan yang berlangsung antara jumlah
organ yang disumbangkan dengan jumlah pasien yang menunggu untuk dilakukan
transplantasi.
Di Queensland dan wilayah hukum lainnya, hukum yang relevan untuk
donasi terdiri dari tugas koroner dan tugas jaringan kemanusiaan atau yang setara
dengan keduanya. Sesuai dengan Transplantasi dan Anatomi Act 1979 (Qld), jika
kematiannya dilaporkan kepada koroner, maka donasi organ hanya dapat
dilanjutkan apabila mendapat persetujuan koroner terkait. Hal ini serupa dengan
persyaratan persetujuan koroner dibawah tugas jaringan kemanusian United
Kingdom.
Coroners Act tahun 2003 (Qld) mengatur keadaan kematian yang
dilaporkan, yaitu: Kematian akibat kekerasan, atau kematian tidak wajar yang
terjadi dalam keadaan yang mencurigakan dan berhubungan dengan pelayanan
kesehatan; kematian yang terjadi ketika dalam tahanan atau dalam proses
penyelidikan polisi; Identitas orang yang meninggal tidak diketahui atau dimana
penyebab kematiannya belum diketahui sehingga tidak ada keterangan mengenai
penyebab kematian. Hal ini mirip dengan mekanisme kematian yang
mengharuskan adanya investigasi oleh koroner di Inggris dan Wales dibawah
naungan koroner dan badan hukum 2009, atau investigasi oleh prokurator Fiscal
di Skotlandia.
Tujuan penyelidikan koroner termasuk membantu untuk mencegah
kematian yang serupa. Penyelidikan koroner dan otopsi membantu keluarga dalam

2
proses medis, psikologis maupun hukum. Kegiatan ini berkontribusi pada
pencatatan dan statistik kematian, dan sangat penting untuk mendeteksi serta
menginvestigasi kejahatan. Hal ini jelas bermanfaat untuk masyarakat.

Meskipun koroner yang harus memberikan persetujuan untuk donasi,


namun di Australia kebanyakan anggota koroner tidak memenuhi syarat secara
medis dan harus mengandalkan keahlian dan pendapat ahli patologi. Pendapat ahli
patologi sangat penting, namun tidak dapat dijadikan sebagai patokan. Para
koroner dapat menerima nasihat dari ahli patologi, tetapi pendapat tersebut tidak
wajib diikuti.
Koroner dapat memberikan perintah yang mewajibkan seorang ahli
patologi untuk melakukan pemeriksaan tubuh tertentu, memenuhi persyaratan
mengenai percobaan dan pengangkatan jaringan, serta untuk memberikan surat
keterangan otopsi dan melapor kepada petugas koroner. Dalam mematuhi
persyaratan hukum, seorang ahli patologi juga harus memenuhi standar

3
professional, termasuk kewajiban untuk mencatat pengamatan positif dan
negatif yang relevan, serta memungkinkan ahli patologi forensik lain untuk
memberikan kesimpulan secara independen di waktu yang berbeda.
Dalam kasus kematian yang dilaporkan, terdapat keterkaitan yang kuat
antara donor organ dengan autopsi, dimana keduanya membutuhkan akses
langsung ke tubuh jenazah. Proses koronial dapat memberikan batasan hukum
sehingga membatasi organ-organ yang tersedia untuk transplantasi, sedangkan
donor organ dapat mengganggu pemeriksaan forensik jenazah. Hal ini dapat
menghalangi upaya ahli patologi forensik (FP) serta menimbulkan ketidakpastian
mengenai penyebab dan keadaan kematian. Efek dari ketidakpastian ini sangat
bergantung pada sifat kematian. Pada beberapa kondisi, hal tesebut mungkin
memiliki dampak yang lebih kecil dibandingkan potensi kematian yang
dilaporkan pada surat kematian. Namun dalam suatu keadaan yang
memungkinkan untuk dilakukan investigasi kriminal, ketidakpastian tersebut
dapat menimbulkan konsekuensi yang sangat signifikan. Besarnya konsekuensi
tersebut seperti faktor penentu keputusan ahli patologi forensik dalam
memutuskan apakah donasi organ tersebut diperbolehkan atau tidak.
Studi ini bertujuan untuk mengukur dampak dari donasi organ baik pada
proses koronial maupun proses pengadilan, dengan cara menelaah secara
retrospektif seluruh kematian yang terkait dalam proses donasi organ selama lebih
dari periode empat tahun di Queensland Australia dimana cara kematian
dilaporkan ke koroner.
Terdapat situasi khusus dimana kemungkinan penyebab kematian adalah
akibat dari suatu tindakan atau kelalaian orang lain. Dalam kasus-kasus yang
mengarah pada tuntutan pidana, bukti otopsi yang mencurigakan memiliki potensi
untuk mengarah pada kegagalan hukum, seperti keyakinan yang salah atau bebas.
Studi ini lebih fokus pada kelompok kematian yang dilaporkan untuk dilanjutkan
ke proses pidana.

4
2. Metode
2.1. Etika
Persetujuan Etik diperoleh dari Komite Etika Manusia untuk Layanan
Forensik dan Ilmiah, Pelayanan Kesehatan Queensland.

2.2. Metode
Analisis retrospektif dilakukan terhadap seluruh donor organ potensial yang
kematiannya diinvestigasi oleh koroner mulai dari periode 1 Januari 2009 hingga
31 Desember 2013. Di negara bagian Queensland, lembaga donasi organ
merupakan pusat rujukan utama untuk seluruh donor organ potensial. Panggilan
rujukan dibuat oleh dokter pelayanan intensif bagi pasien yang membutuhkan
ventilator di unit perawatan intensif yang tidak memiliki kontraindikasi medis
untuk dilakukan donasi organ dan diidentifikasi apakah kematian yang terjadi
disebabkan oleh kematian jaringan otak atau kematian tersebut memang terjadi
pada akhir kehidupan dan kemungkinan meninggal dalam jangka waktu yang
akan memungkinkan dilakukannya donasi organ (90 menit setelah alat bantu
hidup dilepas).
Selanjutnya dilakukan pencatatan terhadap rincian semua panggilan
rujukan, termasuk apakah kematian dilaporkan atau tidak. Dimulainya periode
penelitian ditentukan oleh pembentukan database yang digunakan untuk
mengambil rincian donor. Penghentian periode tersebut dilakukan dua tahun
sebelum dimulainya penelitian, untuk memberikan waktu bagi proses koronial dan
pengadilan berlangsung hingga selesai.
Langkah pertama dari penelitian ini adalah peninjauan catatan koronial
untuk semua kasus yang dirujuk ke lembaga donor organ dimana kematian
dilaporkan, apakah donasi organ telah atau belum terjadi. Data kemudian
dikumpulkan untuk dinilai apakah ada penolakan ataupun larangan oleh koroner.
Laporan dari patologi forensik kemudian ditinjau untuk menentukan apakah
dicantumkan keterangan memang telah terjadi donasi organ serta tempat kejadian
pada data yang didapatkan.
Sebanyak 196 kematian yang dilaporkan dirujuk ke lembaga donasi pada
periode itu. Catatan-catatan koronial atau yudisial diambil sebanyak 177 dari

5
kasus-kasus tersebut. Data diambil dari file agensi donasi dan catatan koronial
menggunakan formulir data terstandardisasi dan dimasukkan dalam database
Microsoft Access. Kemudian dilakukan analisis data deskriptif.
Bagian kedua dari studi lebih terfokus kepada kematian yang dilaporkan
dan diduga kematian tersebut mungkin disebabkan oleh tindakan kriminal. Nama-
nama donor potensial dihubungkan dengan nama-nama pelaku yang dikirim ke
persidangan, kemudian proses persidangan ditinjau untuk mengidentifikasi apakah
bukti otopsi dapat diambil sebagai hasil dari penelitian dan apakah donasi organ
memiliki dampak. Para penulis (LN, CD, NS, BC) meninjau keadaan kematian
dari semua 196 kematian yang dilaporkan untuk mengidentifikasi kematian yang
kemungkinan mengarah pada tindakan kriminal. Masalah-masalah tersebut
diperiksa secara lebih rinci untuk menentukan apakah ada hubungan yang terkait
antara pengambilan organ dan perilaku atau efektivitas penuntutan yang timbul
dari investigasi tersebut. Database Queensland Police Service (QPS) digunakan
untuk dapat mengidentifikasi kecocokan antara korban kejahatan dan donor
potensial. Untuk setiap masalah yang diidentifikasi oleh QPS, pencarian
dilakukan dalam catatan pengadilan yang relevan untuk menentukan apakah
persidangan benar telah terjadi, hasilnya kemudian dicatat. Kemudian dilakukan
analisis terhadap tempat dimana persidangan dilakukan, laporan dan keputusan
yang relevan terkait hal-hal tersebut diterbitkan oleh Divisi Pengadilan
Mahkamah Agung Queensland dan layanan Pembaruan Hukum Queensland
(dikelola oleh Mahkamah Agung Perpustakaan Queensland). Pencarian juga
dilakukan untuk masalah apa pun yang kemudian naik banding.
Ditemukan 30 kasus yang pada awalnya diduga terdapat kemungkinan
bahwa kasus tersebut merupakan tindakan kriminal. Dari 30 kasus tersebut, 27
memiliki catatan koronial, sementara tiga kasus lainnya masuk ke dalam
pengadilan namun tidak memiliki informasi koronial. Investigasi polisi dimulai
pada 13 dari 30 kasus di mana pada kasus tersebut mungkin merupakan tindakan
kriminal.

6
3. Hasil
Pada studi ini hasil dikelompokkan ke dalam dua bagian. Pertama seluruh
kasus koronial dianalisis (termasuk hal-hal yang memicu proses pidana).
Kemudian analisis proses investigasi disajikan lebih detail.

3.1 Hasil: Seluruh Kasus yang Dilaporkan


Rentang usia pada 177 donor potensial adalah 3 bulan-72 tahun, dengan rata-
rata usia 35 tahun. Terdapat 24 kasus yang berusia dibawah 18 tahun. Penyebab
dari kasus kematian dikategorikan sebagai berikut:

Tabel 1

3.1.1 Pembatasan oleh Patologi forensik


Dari 177 kasus yang diindentifikasi, didapatkan 142 kasus donasi organ,
sedangkan 35 kasus lainnya tidak dilakukan donasi disebebakan oleh berbagai
alasan, contohnya seperti tidak ada organ yang cocok atau penarikan kembali izin
dari keluarga. Izin forensik/koronial diminta setelah didapatkan izin keluarga
pendonor untuk dilakukan donasi organ. Keputusan penolakan donasi oleh
patologi forensik didasari oleh dukungan koroner yang direkomendasikan oleh
patologi forensik dibandingkan keputusan tunggal koroner. Terdapat dua kasus
dimana rekomendasi patologi forensik tidak diproses sama sekali dan delapan
kasus dimana patologi forensik tidak memberikan rekomendasi untuk dilakukan

7
donasi organ-organ tertentu. Sifat kematian pada sepuluh kasus ini serta organ-
organ yang dilarang didonasikan dicantumkan pada tabel 2.
Terdapat 9 kasus tambahan dimana ahli patologi forensik membuat
permintaan khusus agar donasi diizinkan, seperti pemeriksaan oleh patologi
forensik dilakukan terebih dahulu sebelum donasi organ dilakukan, termasuk dua
kasus yang diikuti oleh patologi forensik atau direncanakan untuk mengikuti
prosedur donor organ.
Terdapat 10 kasus dimana donasi organ ditolak oleh patologi forensik,
berdasakan pemeriksaan post mortem dari organ – organ yang dapat didonasikan
tersebut tidak mengubah penentuan penyebab kematian secara signifikan. Salah
satu kasus yang ditolak oleh patologi forensik (dewasa muda dengan hipoksia
ensefalopati) dimana autopsi internal penuh dilakukan. Pemeriksaan jantung,
paru, hati, maupun ginjal yang dapat didonorkan tidak menunjukkan adanya
kelainan.

3.1.2 Hasil Investigasi Lain yang Ditemukan


Pada semua kasus, catatan koronial dianalisis untuk mengidentifikasi
investigasi apa saja yang telah dilakukan untuk menentukan penyebab kematian
dan apakah benar telah dilakukan donasi organ (Tabel 3). Dari 67 kasus dilakukan
otopsi eksternal (inspeksi visual), hal tersebut muncul sebagai penentu utama
dalam menentukan penyebab kematian. 44 dari 55 kasus dilakukannya otopsi
lengkap sebagai penentu penyebab kematian.

8
Tabel 2

Tabel 3

3.1.3 Kasus kematian dimana donasi organ telah dilakukan


Pada kasus donasi organ yang telah terjadi, laporan autopsi ditinjau untuk
menentukan apakah pengangkatan organ memiliki dampak terhadap penemuan
autopsi. Ahli patologi forensik mengatakan bahwa pengangkatan organ terjadi
sebanyak 116 dari 139 kasus yang mana telah dilakukan donasi organ. Hal ini

9
digambarkan oleh adanya luka bekas operasi dan tidak adanya organ-organ
tertentu.
Terdapat satu-satunya kasus (kasus penganiayaan) dimana patologi
forensik menyatakan bahwa pengangkatan organ memiliki dampak yang
signifikan terhadap penemuan autopsi, yaitu sebagai berikut : “prosedur donasi
organ telah terjadi. Hal ini terdiri dari pengangkatan jantung dan paru dari tubuh.
Artinya cedera jaringan lunak yang terjadi pada regio dada tidak dapat dinilai oleh
pemeriksaan radiologi atau pemeriksaan post mortem.

3.1.4 Hasil investigasi polisi


Terdapat 30 kasus yang dilaporkan dan mekanisme kematian diidentifikasi
oleh investigator sebagai kasus yang kemungkinan merupakan tindakan criminal.
Investigasi polisi dimulai dari 13 kasus yang disimpulkan dalam table berikut

Tabel 4

10
Tabel 4 Lanjutan

Dari 13 kasus tersebut, 11 kasus dilakukan tuntutan pidana yang diawali


dengan persidangan terlebih dahulu, 2 kasus lainnya tidak memiliki cukup bukti
penyebab kematian. Berdasarkan 30 kematian yang dilaporkan untuk dilakukan
donasi organ serta mekanisme kematian diidentifikasi oleh para penyidik sebagai
kemungkinan hasil dari tindakan kriminal. Dari jumlah tersebut, penyelidikan
polisi dimulai dalam 13 kasus. Hasil dari 13 kasus ini dirangkum dalam Tabel 4.
Dari 13 kasus, 11 menghasilkan tuntutan pidana dengan dimulainya pengadilan
pidana. Dua kasus tidak dapat dilanjutkan karena kurangnya bukti yang terkait
dengan penyebab kematian. Dengan demikian 8 percobaan dilakukan untuk
diambil kesimpulan. Didapatkan hasil bahwa tidak ada satupun bukti yang
menunjukkan adanya fakta bahwa donasi organ berdampak pada penyebab
kematian. Beberapa kasus menggambarkan bahwa meskipun penyebab kematian
relevan dalam persidangan pidana, namun tidak ada fakta yang mendukung. Pihak
pembela umumnya tidak memperjuangkan penyebab kematian, kecuali pada
cedera tertentu (seperti cedera yang disebabkan oleh perkelahian), atau tidak
relevan dengan cedera yang menyebabkan kematian, tetapi hal-hal yang
menyebabkan perkelahian itu berkontribusi pada cedera tersebut. Dimana bukti
otopsi penting, dalam kasus ini yaitu pemeriksaan di atas leher - yaitu tidak akan
dipengaruhi oleh organ perut atau dada atau jaringan, tulang atau kulit.

11
4. Diskusi
Keputusan yang diberikan oleh koroner serta saran yang diberikan oleh ahli
patologi forensik dalam mempertimbangkan donasi organ terjadi pada waktu yang
kritis, dan paling sering diluar jam kerja. Hal ini sering tidak jelas pada awalnya,
dimana suatu kematian mungkin merupakan hasil dari tindak criminal. Namun
koroner dan ahli patologi forensik diminta untuk membuat penilaian awal dan
cepat untuk kepentingan bukti autopsi, dan kemungkinan bukti tersebut dapat
dipengaruhi oleh donasi organ.
Pada kumpulan data ini, koroner tidak hanya membatasi donasi organ
secara independen, dimana kasus pembatasan atau penolakan dari donasi organ
yang terjadi direkomendasikan oleh ahli patologi forensik. Adanya penolakan
donasi yang direkomendasikan oleh ahli patologi forensik terjadi sekitar 6%
kasus, dengan angka kerugian yang sedikit namun menunjukkan hasil yang
signifikan terhadap organ yang dapat ditransplantasikan. Jantung dan paru
merupakan organ yang paling sering tidak direkomendasikan untuk dilakukan
transplantasi oleh ahli patologi forensik. Sebuah audit yang besar di UK juga
mengidentifikasi hal yang serupa, dimana organ thorax lebih banyak dibatasi
dibandingkan organ abdomen.
Mengingat sedikitnya jumlah pada kasus ini, sehingga sulit untuk
mengekstraksi tema yang bermakna secara statistik perihal usia atau mekanisme
kematian yang memungkinkan rekomendasi donasi akan ditolak oleh ahli patologi
forensik. Kasus henti jantung merupakan mekanisme kematian yang dicatat ke
dalam lima kasus penolakan tersering.
Walaupun kebijakan “tanpa penolakan” untuk target donasi organ yang
dianjurkan oleh National Association of Medical Examiners gagal dilakukan,
namun kasus penolakan yang direkomendasikan oleh ahli patologi forensik juga
jarang terjadi. Hal ini bermanfaat untuk mengidentifikasi faktor-faktor apa saja
yang mungkin berkontribusi dalam menurunkan angka penolakan. Waktu
komunikasi yang nyata antara agensi donor organ dengan koroner/ahli patologi
forensik merupakan praktik yang standar dilakukan. CT scan pre-mortem dan/atau
post-mortem dilakukan pada 77% kasus, hal ini menurunkan kepercayaan

12
terhadap pemeriksaan post mortem sebagai kunci utama dari penemuan fisik.
Pada akhir periode studi, penggunaan CT scan post mortem sudah menjadi
rutinitas. Kehadiran ahli patologi forensik pada prosedur donasi dapat terjadi,
walaupun jarang (1% dari kasus).
Terkait dengan kasus peradilan, tidak terdapat bukti dampak dari proses
donasi organ terhadap hasil pengadilan, walaupun terdapat enam dari tujuh kasus
dimana kasus donor organ penting untuk dilibatkan pada bukti autopsi.
Berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan, dapat dikatakan bahwa fakta
pembuktian dapat dipastikan secara adekuat dan dapat dijadikan standar dalam
sebuah pengadilan kejahatan yang memadai, walaupun pengambilan organ sudah
dilakukan. Walaupun secara teori proses pengambilan organ mungkin dapat
menurunkan atau merusak nilai probatif hal yang berpotensi menjadi fakta
pembuktian yang diungkapkan oleh laporan medis, namun hal tersebut tidak
terjadi pada studi kasus ini dimana tindak kriminal terjadi.
Perbedaan peran antara koroner dengan ahli patologi forensik layak untuk
dipertimbangkan. Di Australia, seorang koroner secara umum memiliki kualifikasi
yang legal secara hukum, sedangkan ahli patologi forensik memiliki kualifikasi
secara medis. Peran dari ahli patologi forensik dapat dilihat sebagai penentu
penyebab dan keadaan dari kasus kematian seseorang. Peran koroner
dipertimbangkan lebih luas, mengingat kebutuhan masyarakat, ekspektasi serta
penenentuan manfaat terhadap komunitas yang muncul dari donasi organ.
Proses komunikasi antara lembaga donasi organ, koroner dan ahli patologi
forensik telah meningkat sebagai konsekuensi dari penyebaran temuan penelitian.
Selain itu, koroner semakin nyaman dalam mengesampingkan pembatasan donasi
organ yang disarankan oleh ahli patologi forensik. Meskipun hal ini dapat
mengarahkan pada beberapa kondisi yang tidak pasti mengenai penyebab dan
keadaan kematian seseorang, dimana hal ini tidak relevan secara material dan
manfaat dari donasi organ dianggap lebih penting. Dengan demikian koroner
bertanggung jawab dalam mengambil keputusan dengan mempertimbangkan
manfaat bagi masyarakat.

13
5. Kesimpulan
Di Queensland Australia, terdapat sekitar 6% kasus penolakan atau
pembatasan donasi organ yang direkomendasikan oleh ahli patologi forensik. Hal
ini menimbulkan hilangnya sejumlah potensi kecil terhadap transplantasi maupun
angka yang signifikan terhadap beberapa organ selama periode empat tahun.
Serangan jantung merupakan kasus penolakan oleh patologi forensik yang paling
umum terjadi. Berdasarkan 177 kematian yang dilaporkan, tidak terdapat kasus
dimana donasi organ memperlihatkan dampak yang signifikan terhadap penentuan
penyebab kematian. Pada kasus penolakan donasi organ, tidak ditemukan adanya
identifikasi yang tidak diharapkan saat dilakukan pemeriksaan post mortem
lanjutan. Pada kasus kematian yang kemungkinan penyebabnya merupakan suatu
tindak kriminal, tidak terdapat kasus dimana donasi organ memiliki dampak yang
nyata terhadap proses persidangan. Hasil penemuan ini dapat membantu
pembuatan keputusan oleh koroner / ahli patologi forensik yang diminta untuk
memberikan persetujuan donasi organ pada kasus kematian yang dilaporkan.

14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Transplantasi Organ


Transplantasi organ seringkali menjadi satu-satunya pengobatan pada tahap
akhir kegagalan organ misalnya pada gagal hati dan ginjal. Transplantasi organ
diharapkan mampu untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien dengan
kegagalan organ tahap akhir. Dalam dua dekade terakhir, transplantasi organ
memberikan hasil yang sangat baik terutama pada anak-anak dan dewasa muda.
Berdasarkan data yang dilaporkan Global Observatory on Donation and
Transplantation (GODT) dari tahun 2010 di 95 negara, menunjukan ±106.879
organ telah ditransplantasikan di seluruh dunia yaitu sebanyak 73.179
transplantasi ginjal (46%), 21.602 transplantasi hati (15%), 5582 transplantansi
jantung, 3927 transplantasi paru-paru, 2362 transplantasi pankreas dan 227
transplantasi usus kecil.1
Dibeberapa Negara berkembang, khususnya di indonesia transplantasi yang
paling sering dilakukan adalah transplantasi ginjal dan hepar. Beberapa tahun
terakhir terjadi peningkatan insiden dari donor ginjal, pada beberapa pusat
kesehatan seperti Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dalam 7 tahun
terakhir terdapat sekitar 500 transplantasi organ ginjal. Sedangkan Transplantasi
hepar terjadi sebanyak 8 kali pada tahun 2010, 8 pasien pada tahun 2015 dan
sekitar 10 pasien pada tahun 2016. 2
Meskipun pasien penyakit ginjal stadium akhir dapat diobati melalui terapi
penggantian ginjal lainnya, transplatasi ginjal umumnya tetap diterima sebagai
pengobatan terbaik untuk peningkatan kualitas hidup dan efektifitas biaya.
Transplantasi ginjal sejauh ini merupakan transplantasi yang paling sering
dilakukan secara global. Transplatansi ginjal meningkatkan kelangsungan hidup
pasien yang telah lama melakukan dialisis. Transplantansi sangat diperlukan
terutama untuk mengobati pasien dengan penyakit yang bersifat irreversible pada
hati, jantung dan paru-paru.1

15
Penyediaan organ untuk transplantasi melibatkan pengangkatan organ dari
tubuh orang yang meninggal. Pemindahan ini harus mengikuti persyaratan hukum
termasuk didalamnya persetujuan dan pendefinisian kematian. Donasi ginjal
dilakukan dengan seleksi donor yang ketat, prosedur pembedahan yang cermat
dan manajemen yang optimal agar pendonor terhindar dari konsekuensi yang
tidak diinginkan.1

2.2. Kebijakan Transplantasi Organ di Luar Negri


2.2.1 Amerika

Di Amerika terdapat peraturan dari pusat (Federal) yang sangat ekstensif dan
juga peraturan dari 50 negara bagian mengenai organ, jaringan dan transplantasi.
Ada banyak peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Federal dan aturan
negara bagian yang mengatur tentang hal berkaitan dengan transplantasi organ.
Banyaknya undang-undang dan peraturan-peraturan yang disahkan yang ditujukan
kepada berbagai isu, termasuk medis yang sangat kompleks, hukum dan isu moral
dalam donasi dan transplantasi organ. Salah satu isu yang paling utama adalah
permintaan yang tinggi dalam rangka pemenuhan kebutuhan organ yang berguna
itu seimbang. Aturan hukum ini secara umum telah dilihat oleh pembuat undang-
undang, anggota dari profesi kedokteran, dan juga oleh masyarakat sebagai jalan
yang diyakini untuk pemenuhan distribusi organ yang seimbang. Akan tetapi
banyaknya peraturan perundang-undangan yang mengatur akan semakin
menambah rumitnya proses dari mendapatkan organ itu sendiri. Tapi dari sekian
banyak peraturan tersebut hanya ada beberapa peraturan yang dianggap paling
penting yaitu:3
1.Peraturan Terdahulu Pemerintah Federal
2.The Uniform Anatomical Gift Act of 1987
3.The National Organ Transplant Act
4.The Patient Self Determination Act of 1991
5.State Anatomical Gift Acts

16
A. Peraturan Terdahulu Pemerintah Federal
Sebelum tahun 1968 belum ada peraturan pemerintah Negara Federal yang
mengatur donasi organ dan jaringan. Sebelumnya masalah donasi organ hanya
diatur dalam level masing-masing negara bagian saja. Masing-masing negara
bagian satu sama lainnya mengatur hal yang berbeda dalam donasi organ ini.
Akibat tidak seragamnya pengaturan mengenai donasi organ ini maka pemerintah
memikirkan untuk membuat kerangka keseragaman aturan di AS yang berkaitan
dengan donasi dan transplantasi organ dan jaringan, sehingga pada tahun 1968
disahkan Uniform Anatomical Gift Act of 1968 (AGA 1968). Tujuan dari AGA
1968 disamping untuk keseragaman juga untuk meningkatkan jumlah organ yang
tersedia dengan cara memudahkan cara bagi setiap individu mendonasikan
organnya.
Pada tahun 1984, National Organ Transplant Act (NOTA) membuat
pendaftaran donasi organ melalui komputer secara nasional. Sistem ini
dioperasikan oleh United Network for Organ Sharing (UNOS). NOTA sendiri
disahkan pada tanggal 19 Oktober, 1984 dan telah beberapa kali dirubah yaitu
tahun 1988 dan 1990 dan terakhir 2008, inti dari NOTA adalah melarang
perdagangan organ, memberikan bantuan finansial, dan menyiapkan pembentukan
dari Task Force Transplantasi Organ, memberikan kewenangan kepada Sekretaris
Departemen Kesehatan Amerika (The Department of Health and Human Service-
HHS) untuk membuat rencana, pembentukan dan operasi pendahuluan yang
berkualitas dari Organ Procurement Organizations (OPOs); dan membentuk
formasi dari Organ Procurement and Transplantation Network (OPTN) serta
membentuk Scientific Registry of Transplant Recipients (SRTR). Setiap negara
bagian harus mengadopsi seluruh atau sebagian dari undang “Uniform Anatomical
Gift” yang bertujuan untuk menyerderhanakan proses dan menstandarisasi aturan
mengenai donor diseluruh negara bagian

B. The Uniform Anatomical Gift Act of 1987


Uniform Anatomical Gift Act 1987 merupakan perbaikan dari UAGA
1968, walaupun UAGA 1968 telah berhasil meletakkan pola yang konsisten

17
kepada seluruh negara bagian dalam merevisi aturan negara bagian tersebut. Disisi
lain UAGA gagal dalam meningkatkan jumlah pendonor. UAGA 1968 tidak
mengatur mengenai isu perdagangan komersil dari organ. Sementara antara tahun
1968 hingga 1987, telah terjadi perkembangan yang sangat pesat dalam teknologi
dan praktek dari transplantasi organ, sedangkan UAGA 1968 belum
mengakomodasi perkembangan yang luar biasa ini. Dalam menampung
perkembangan tekonologi dan praktek transplantasi organ maka dibuatlah versi
baru dari UAGA 1968 pada tahun 1987 yang meliputi:
a. Secara eksplisit melarang perdagangan organ tubuh manusia. Hukum
Federal dengan jelas melarang penjualan organ dan jaringan tubuh
manusia dengan pengecualian darah, sperma dan sel telur manusia.
b. Menjamin prioritas dari permintaan donor mati ketimbang keluarga donor
mati sehubungan dengan adanya keberatan pendonoran organ dari pihak
keluarga.
c. Menyederhanakan proses kelengkapan dokumen yang berpengaruh
terhadap donasi organ.
d. Memberikan mandat kepada rumah sakit dan petugas unit darurat untuk
mengembangkan prosedur dari “permintaan rutin/permintaan wajib”
Ketentuan ini mensyaratkan rumah sakit untuk menanyakan kepada
pasien, ketika mereka mendaftar ke rumah sakit, atau kepada keluarganya
ketika pasien meninggal, mengenai donasi organ. Apabila pasien
berkehendak mendonasikan organnya, maka informasi itu akan
dimasukkan dalam catatan pasien (patient record).
e. Membolehkan pemeriksa medis (medical examiners) dan pemeriksa mayat
(coroners) untuk menyediakan organ yang dapat ditransplantasikan dari
subyek otopsi dan menginvestigasi dalam kondisi tertentu. Berbeda
dengan UAGA 168 yang tidak banyak mendapat perdebatan di negara
bagian, UAGA 1987 banyak didebat di banyak negara bagian. Perdebatan
tersebut berkaitan dengan ketentuan mengenai pertama, prioritas atas
keinginan pendonor yang didahulukan ketimbang keberatan keluarganya.
Kedua, negara bagian mengkuatirkan mengenai bahasa “permintaan

18
rutin/permintaan wajib” (routine inquiry/required request). Ketiga, adalah
mengenai wewenang baru yang membolehkan pemeriksa medis untuk
mendonorkan organ jenazah atau bagian tubuh lainnya. Walaupun UAGA
ditujukan untuk menciptakan keseragaman antar negara bagian, akan tetapi
tetap saja ada negara bagian yang menerapkan aturannya sendiri
ketimbang meratifikasi UAGA 1987 ini. Dibawah UAGA 1987, pemeriksa
medis atau pemeriksa mayat dapat mengeluarkan organ untuk keperluan
transplantasi hanya ketika mereka memiliki kontrol terhadap tubuh dan
jenazah tidak memiliki keluarga sedarah. Harus ada pencarian yang masuk
akal terhadap keluarga sedarah oleh otoritas yang kompeten. Petugas tidak
dapat memindahkan organ atau jaringan untuk kepentingan transplantasi
jika tidak ada aturan negara bagian yang secara khusus memberikan
kekuasaan untuk ini.3

C. National Organ Transplant Act


Tahun 1984, National Organ Transplant Act (NOTA) memulai
meletakkan struktur yang komprehensif dan kebijaksanaan ditekankan pada
transplantasi organ. Aturan ini merefleksikan pengetahuan yang lebih maju
terhadap teknologi dan prosedur transplantasi. NOTA juga menyediakan dana
untuk bantuan bagi organisasi pengadaan organ (Organ Pocurement
Organizations/OPOs) yang memenuhi kualifikasi dan bagi Organ Procurement
and Transplantation Network (OPTN). OPTN dibuat untuk membantu OPOs
dalam mendistribusikan organ yang tidak dapat digunakan dalam wilayah
geografis OPO's. NOTA juga menyediakan dana bantuan untuk perencanaan,
pembentukan, dan operasi atau pengembangan organisasi pengadaan organ. Agar
layak mendapatkan dana bantuan tersebut, OPO harus menunjukkan bahwa
organisasinya merupakan non profit sehingga layak menerima penggantian
MEDICARE untuk pengadaan ginjal. Organisasi tersebut juga harus menjelaskan
prosedur yang ditetapkan untuk mendapatkan pembayaran untuk organ diluar
ginjal yang disediakan bagi pusat transplantasi. Aturan ini secara jelas melarang
perdagangan organ manusia melintas batas negara bagian. Sehingga jelas bahwa

19
organ manusia tidak dapat dipandang sebagai komoditas. Salah satu hal yang
dicapai oleh NOTA ini adalah terbentukanya 25 anggota Satuan Tugas (Task
Force). Satuan tugas ini mempelajari kebijaksanaan transplantasi organ, termasuk
pengadaan dan pendistribusiannya. Satuan tugas ini menerbitkan laporan pertama
kali tahun 1986 yang meliputi: isu medis, hukum, sosial, etika, dan ekonomi
terkait dengan pengadaan dan distribusi. Dalam laporan ini, satuan kerja
mengomentari mengenai sedikitnya prosentasi organ yang dapat
ditransplantasikan dan kebutuhan untuk meningkatkan pasokan. Mendorong
individu mendonasikan organnya merupakan hal yang sangat penting.3

D. The Patient Self Determination Act of 1991


Undang-undang pemerintah Federal mengenai Patient Self-Determination
(PSDA) dimaksudkan untuk mendorong penggunaan perintah akan datang seperti
wasiat dan kuasa berjangka untuk pemeliharaan kesehatan. PSDA merubah
ketentuan kunci dalam hukum pemerintah federal Medicare dan MEDICAID.
PSDA memberikan mandat kepada rumah sakit dan provider kesehatan lain untuk
meneruskan kebijaksanaan dan prosedur yang jelas. Rumah sakit dan penyedia
kesehatan lain harus:

a. Menyediakan informasi tertulis mengenai hak individu dibawah undang-


udang negara bagian untuk membuat keputusan mengenai pelayanan
medis termasuk hak untuk menformulasi perintah akan datang.
b. Mencatat dalam rekam medik pasien apakah seseorang telah
melaksanakan perintah akan datang tersebut.
c. Tidak ada diskriminasi terhadap melayani pasien yang memutuskan untuk
membuat perintah akan datang tersebut.
d. Mematuhi hukum negara mengenai perintah akan datang tersebut.
e. Membuat kebijakan untuk memberikan pengetahuan pada para staffnya
mengenai isu perintah akan datang tersebut.3

20
E. State Anatomical Gift Acts
Peraturan pemerintah negara Federal mengenai donasi organ pasca
kematian sebagaimana diatur dalam UAGA tahun 1968 dan direvisi tahun 1987,
telah diadopsi oleh 50 negara bagian di Amerika dalam berbagai bentuk. Ada
beberapa negara bagian yang melakukan modifikasi terhadapnya. Pada dasarnya
setiap negara bagian mengatur orang dewasa yang cakap dapat membuat hadiah
atas organ jika seseorang meninggal. Organ-organ tersebut dapat digunakan untuk
keperluan transplantasi, riset atau edukasi. Jika tidak ada secara eksplisit dibuat
hadiah anatomis (anatomical gift) maka keluarga dapat menyetujui untuk
penuaian dari organ orang yang meninggal tersebut Aturan negara-negara bagian
ini juga mengatur mengenai kartu donor ukuran dompet, ditandatangani oleh
seseorang yang telah berumur lebih dari 18 tahun dan disaksikan oleh 2 orang
dewasa lainnya. Kartu donor tersebut merupakan instrumen hukum yang
membolehkan dokter untuk memindahkan organ setelah meninggal. Kartu ini
biasanya merupakan bagian dari kartu SIM. Harapannya dengan adanya kartu
tersebut akan membantu meningkatkan persediaan organ, akan tetapi
kenyataannya tidak. Hal tersebut disebabkan karena:
a. Banyak orang ternyata tidak menandatangani kartu donor tersebut atau ada
kesalahan dalam kartu.
b. Walaupun kartu donor tersebut merupakan instrumen hukum, banyak
tenaga medis profesional menolak untuk mengandalkan kartu donor
sebagai persetujuan untuk memindahkan organ dari jenasah untuk tujuan
transplantasi.
c. Walau tampaknya penerapan akan aturan hukum tersendat-sendat di
Amerika, dari tahun ketahun terjadi peningkatan jumlah pendonor. Hal ini
dapat terjadi karena adanya kampanye terus menerus yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga pengadaan organ. Peranan teknologi informasi juga
membantu peningkatan kenaikan jumlah pendonor.

21
2.2.2 Inggris
Pengaturan Transplantasi di Inggris diatur dalam THE HUMAN TISSUE
ACT 2004 selanjutnya disebut sebagai HTA 2004, peraturan ini merupakan
perubahan dan pencabutan dari peraturan pendahulunya yaitu:4
1. The Human Tissue Act 1961
2.The Anatomy Act 1984 dan
3.The Human Organ Transplants Act 1989
Termasuk merubah dan mencabut:
1.The Human Tissue Act (Northern Ireland) 1962
2.The Human Organ Transplants (Northern Ireland) Order 1989, dan
3.The Anatomy (Northern Ireland) Order 1992.
Undang-undang transplantasi di Inggris yang diatur dalam UU Jaringan
Tubuh Manusia yang disetujui pada tanggal 15 November 2004 merupakan dasar
bagi penyimpanan dan penggunaan organ dan jaringan manusia dari donor hidup
dan juga pemindahan/pengambilan, penyimpanan jaringan dan organ dari donor
mati yang berlaku di England, Wales dan Northern Ireland. Alasan penggantian
atau adanya aturan baru HTA 2004 adalah karena berdasarkan evaluasi hukum
dan masukan dari masyarakat bahwa peraturan-peraturan sebelumnya sudah tidak
sesuai dengan perkembangan jaman khususnya mengenai retensi dari otak orang
dewasa pasca kematian, yang menunjukkan penyimpanan dan penggunaan tanpa
persetujuan yang tepat (proper consent) seringkali terjadi disamping juga
persetujuan untuk peragaan umum bagi misalnya kepentingan musium. Yang
diatur dalam HTA 2004 secara garis besar adalah sebagai berikut:
a. Bahwa Undang-undang tersebut meletakkan prinsip dasar bahwa
penyimpanan dan penggunaan dari bagian tubuh, organ dan jaringan dari
donor hidup maupun donor mati untuk tujuan yang berkaitan dengan
kepentingan kesehatan dan peragaan umum harus dengan persetujuan.
b. Undang-undang tersebut mengatur mengenai pemindahan, penyimpanan
dan penggunaan dari jaringan tubuh manusia. Hal ini mengacu pada
pengertian “relevant material” yang didefinisikan sebagai material adalah
yang berasal adari tubuh manusia yang terdiri dari atau termasuk

22
didalamnya adalah sel manusia, yang tidak termasuk dalam sel adalah
rambut dan kuku dari manusia hidup. Sel telur dan sperma hidup serta
embrio tidak termasuk yang didefinisikan disini karena sudah diatur dalam
Human Fertilisation & Embryology Act 1990.
c. Persetujuan tersebut merupakan hal yang dipersyaratkan sebagaimana
tercantum dalam dokumen “Rencana Tujuan” (Scheduled purposes) dan
persetujuan tersebut dalam UU ini disebut sebagai “persetujuan yang
sesuai” dengan pengertian yang diperluas terhadap orang yang sesuai.
Bagi orang yang melanggar atau menghalangi persetujuan ini akan
dikenakan hukuman tiga tahun penjara atau denda maupun keduanya.
d. UU ini juga menetapkan lembaga “Human Tissue Authority” untuk
memberikan nasehat serta mengatur persetujuan sehubungan dengan UU
ini. Lembaga yang berwenan ini akan mengeluarkan petunjuk praktik yang
baik dalam kode hukum praktek. Lembaga tersebut juga memberikan
lisensi serta menginspeksi kondisi pasca kematian baik di rumah sakit
maupun kamar mayat, anatomi, pemeriksaan, peragaan umum dari sisa
tubuh manusia dan penyimpanan jaringan tubuh manusia.
e. UU ini juga mengatur pelanggaran bagi pemilikan jaringan tubuh,
termasuk rambut dan kuku serta sel telur dan sperma dengan tujuan analisa
DNAnya tanpa persetujuan dari individu darimana jaringan tersebut
berasal atau dari orang terdekat jika telah meninggal. Akan dikenakan
hukuman apabila melanggar.
f. UU ini mengatur juga mengenai pengambilan langkah minimum bagi
pengawetan organ dari donor mati saat persetujuan yang disyaratkan
belum didapatkan dari keluarga sedarah untuk memindahkan organ bagi
kepentingan transplantasi. Hal ini memperjelas bahwa prosedur seperti
pendinginan organ pasca kematian adalah sesuai dengan UU.
g. UU ini secara khusus memberikan kepada museum di Inggris kekuasaan
untuk bebas menentukan dan mengeluarkan koleksi dari sisa organ tubuh
dari koleksinya, jika diyakini secara rasional bahwa sisa tubuh tersebut
merupakan bagian dari tubuh manusia yang meninggal kurang dari seratus

23
tahun sebelum UU ini disahkan. Hal ini memperkenankan museum untuk
misalnya mengembalikan sisa tubuh kepada penduduk asli.
h. UU ini memberikan pengecualian terhadap persetujuan tidak diperlukan
terhadap penggunaan yang berlebih atau sisa dari jaringan yang diambil
dari donor hidup yang tersisa dari prosedur operasi.
i. Persetujuan tidak diperlukan terhadap sisa dari jaringan dalam riset, akan
tetapi riset tersebut memiliki persetujuan etis, sehingga periset tidak dapat
mengindentifikasi donor jaringan tersebut dan selanjutnya dimasa yang
akan datang pun demikian.
j. Yang dapat memberikan persetujuan yang layak adalah donor hidup orang
dewasa atau anak yang cakap yang memiliki keinginan untuk itu, mereka
dapat memberikan persetujuan sendiri.
k. Donor hidup anak cakap maupun tidak cakap, tapi tidak mau membuat
keputusan, maka persetujuan dapat diberikan oleh orangtuanya dengan
tanggungjawab berada pada orangtuanya.
l. Donor mati dewasa, dapat memberikan persetujuan sendiri sebelum mati;
jika hal ini tidak ada maka orang yang perwakilan yang ditunjuk dapat
memberikan persetujuan; jika tidak ada perwakilan yang ditunjuk maka
saudara yang memenuhi persyaratan dapat memberikan persetujuan.3
2.2.3 Cina
Cina merupakan negara yang kontroversial dalam praktek transplantasi
organ. Tersedianya persediaan organ yang banyak di China menyebabkan
maraknya orang orang dari berbagai penjuru dunia termasuk dari Indonesia untuk
melakukan transplantasi organ sehingga menyebabkan China menjadi daerah
tujuan wisata organ. Sebagaimana dimuat dalam BBC News edisi online tanggal
26 Agustus 2009 yang melaporkan dalam reportasenya bahwa 2/3 dari persediaan
organ di China berasal dari narapidana. Dikemukakan bahwa Cina merupakan
negara yang paling banyak mengeksekusi narapidananya, dan dikutip dari
Amnesty Internasional kurang lebih sebanyak 1,718 orang dijatuhi hukuman mati
ditahun 2008. Dilihat dari sejarah perkembangan transplantasi organ di China
yang dimulai tahun 1960-an hingga tahun 2004 mengalami kenaikan yang

24
signifikan, akan tetapi sejak tahun 2004 hingga 2007. Hingga tahun 2006 China
merupakan negara terbesar kedua yang melakukan transplantasi. Sebagai akibat
meningkatnya permintaan akan donor maka hal tersebut juga diikuti dengan
kebutuhan pengaturan secara hukum yang lebih memadai untuk melindungi hak
dan kewajiban pendonor baik donor hidup maupun donor mati, juga melindungi
hak dan kewajiban para pihak yang terlibat didalam proses transplantasi. Untuk
itu kerangka hukum sangat diperlukan dalam hal memberikan pedoman kepada
para profesional bertingkah laku, untuk membuat protokol klinis dan untuk
mengembalikan keseimbangan antara kebutuhan yang ekstrim akan organ dan
terbatasnya persediaan organ. Tekanan terhadap China dari masyarakat
Internasional maupun lembaga Internasional juga menjadikan China harus lebih
terbuka dan dapat memberikan kepastian hukum bagi proses transplantasi organ
itu sendiri. Secara hukum peraturan yang ada di Negara China masih sangat
tertinggal dibandingkan dengan kemajuan dunia kedokteran. Ada 4 hal yang
menjadi perhatian bagi China dan juga masyarakat internasional yaitu: pengaturan
mengenai kualitas, pasar organ, wisata transplantasi dan sumber dan hak dari
pendonor. Sedangkan bagi negara maju aturan mengenai pusat transplantasi dan
kualitas serta hak pendonor merupakan hal yang penting. Keinginan pemerintah
China dalam memperbaiki sistem dan aturannya mendapat perhatian dari negara
maju untuk memberikan bantuan dana kepada Peking Union Medical College dan
Universitas Chicago untuk meningkatkan kualitas praktek kepada China Medical
Board dan juga untuk memperbaiki kebijaksanaan dalam transplantasi. Hasilnya
adalah pada Bulan Maret 2006, Menteri Kesehatan China mengeluarkan
Ketentuan Interim untuk Aplikasi Klinis dan Management Transplantasi Organ
Manusia. Dalam ketentuan tersebut juga mengatur mengenai persyaratan dari
pusat kesehatan harus memenuhi persyaratan dari pelayanan transplantasi dan
mengharuskan daerah-daerah bertanggungjawa terhadap aplikasi klinis. 5
2.2.4 Kerajaan Saudi Arabia
Saudi Arabia sebagai negara Arab terbesar Timur Tengah dengan
penduduk 100% muslim. Negara Kerajaan Saudi Arabia, merupakan negara Islam
yang paling konservatif, yang memainkan peranan besar dalam memformulasi

25
yurisprudensi etis bagi umat Islam tidak hanya di negaranya sendiri akan tetapi
untuk negara mayoritas muslim lainnya, dalam hal melihat dan mengatur pesatnya
perkembangan transplantasi organ, dan dalam mengimplementasikan aturan baru
ini kedalam prakteknya. Hingga tahun 1996 Saudi Arabia merupakan negara
Islam terbesar yang melakukan transplantasi organ ginjal dari donor jenazah.
Ditahun 2002, berbagai macam organ telah ditransplantasikan di Saudi Arabia
hingga akhir 2002 yaitu: transplantasi ginjal 3759 yang berasal dari 1267 donor
mati, 2492 donor hidup; transplantasi hati sebanyak 279 dengan 225 donor mati,
54 donor hidup; transplantasi jantung 92; transplantasi kornea 421; transpantasi
paru-paru 8; dan transplantasi gabungan ginjal dan pankreas sebanyak 5. Sebagai
tambahan telah dilakukan banyak pendonoran jaringan sumsum tulang, katup
jantung (264 jantung), kulit, dan tulang. Akan tetapi disamping kesuksesan dari
progam ini, belum diikuti dengan pengetahuan dari masyarakat dan medis
mengenai keuntungan dari donor mati, sehingga perlu ditingkatkan kesadaran
publik tentang keuntungan dari donor mati. Sama seperti negara lainnya di dunia
ini, Saudi Arabia pun mengalami kesulitan akibat defisit donor organ. Dengan
daftar tunggu lebih dari 10,000 orang, menurut “Saudi Center for Organ
Transplantation (SCOT)”, banyak pasien yang meninggal sebelum mendapatkan
organ yang dibutuhkan. Demi mendapatkan donor organ maka banyak orang Arab
yang melakukan perjalan ke luar negeri demi untuk melakukan membeli dan
melakukan transplantasi organ. Menurut World Health Organization, Saudi
Arabia merupakan salah satu negara pengimpor organ terbesar. Sehubungan
dengan itu maka pemerintah Kerajaan Arab pun mengeluarkan fatwa untuk
mengatasi kekurangan donor organ.6

2.2.5 Uni Emiretes Arab


Berdasarkan perkembangan terakhir di negara tetangga Kerajaan Arab
yaitu United Arab Emirates yang merupakan negara yang bersama-sama
tergabung dalam GCC dengan negara Kerajaan Saudi Arabia, pada tanggal 22
April 2010 Menteri Kesehatan Haneef Hassan Ali menyetujui Hukum Federal
yang mengatur untuk pemerintahan sendiri mengenai Transplantasi Organ.

26
Dokumen tersebut dikembangkan oleh Komite Nasional Transplantasi Organ
(NOTC-National Organ Transplant Committee) yang didirikan berdasarkan
peraturan Menteri nomor 1045 tahun 2009, dimana anggotanya adalah kaum
dokter dari berbagai sektor kesehatan dan ditambah dengan ahli hukum Islam
(General Authority of Islamic Affairs and Endowments) dan Sharia. Komite ini
telah melakukan peninjauan terhadap praktek yang terbaik dilakukan di seluruh
dunia dan aturan-aturan yang berlaku dalam negara-negara yang tergabung Gulf
Cooperation Council (Selain United Arab Emirates, Saudi Arabia, Kuwait,
Bahrain, Qatar, Kesultanan Oman, dan Yemen Republik). serta negara Arab
lainnya ketika memformulasikan peraturan ini, disamping menyampaikan kepada
negara-negara GCC juga telah mendapatkan umpan balik dari negara-negara GCC
sebelum disampaikan kepada Dewan Kesehatan untuk disetujui. Peraturan
tersebut secara garis besar mengatur:6
a. Membolehkan orang yang secara mental dan fisik sehat, dan telah
berumur diatas 21 tahun untuk menjadi donor. Organ yang didonorkan
tersebut seyogyanya tidak membahayakan si pendonor.
b. Aturan ini juga menegaskan kebolehan untuk menggunakan donor
mati. Orang mati dapat mewariskan ginjal, paru, pankreas dan
jantungnya untuk menyelamatkan nyawa orang lain. Untuk itu si
pendonor harus menuliskan surat wasiat tersebut secara tertulis dengan
didampingi oleh dua orang saksi. Aturan ini membolehkan pendonor
merubah pendiriannya.
c. Aturan ini juga membolehkan donasi multi organ dalam tahap berbeda
dalam memenuhi kekurangan donasi organ internasional. 6

2.2.6 Singapura
Singapura merupakan negara yang sangat progresif dalam penyusunan
aturan perundang-undangan transplantasi organ. Singapura merupakan negara
pertama yang menetapkan sistem insentif bagi pendonor. Aturan hukum
Singapura perlu dipelajari dalam mengantisipasi praktek perdagangan organ.
Undang-undang Transplantasi Organ Manusia (The Human Organ Transplant

27
Act) selanjuntnya disebut HOTA di Singapore menganut sistem donasi OPT-OUT
yang memperbolehkan pemindahan ginjal, hati, jantung dan kornea dari
warganegara Singapura maupun penduduk tetap (permanent resident) yang telah
meninggal, untuk satu tujuan yaitu transplantasi. Diatur secara administrasi oleh
the Ministry of Health (MOH) yang juga mengatur donor hidup. Disahkan pada
tahun 1987, dan telah tiga kali mengalami perubahan besar untuk memperluas
cakupan sehingga lebih bermanfaat bagi lebih banyak orang.5
2.2.6 Malaysia
Malaysia merupakan bangsa serumpun dengan bangsa Indonesia, dengan
karakteristik penduduk yang mirip dengan bangsa Indonesia, terdiri dari berbagai
macam kepercayaan dengan mayoritas penduduk yang juga beragama Islam,
maka praktek pelaksanaan transplantasi organ di Malaysia perlu untuk diketahui
dan dipelajari lebih lanjut. 7
A. Act 130 tahun 1974
Transplantasi organ manusia di Malaysia diatur dalam Undang-undang
Nomor 130 tahun 1974 dan selanjutnya Tujuan dari adanya UU ini adalah
untuk membuat ketentuan penggunaan bagian tubuh manusia yang telah
meninggal untuk tujuan kesembuhan, pendidikan kedokteran dan riset.
Sistem yang dianut oleh Malaysia adalah Opt-in dimana harus ada
persetujuan lebih dahulu dari pendonor, sebagaimana tercantum dalam
pasal 2 ayat 1 UU 130 tahun 1974 yang berbunyi: “If any person, either in
writing at any time or orally in the presence of two or more witnesses
during his last illness, has expressed a request that his body or any
specific part of his body be used after his death for therapeutic purposes,
or for purposes of medical education or research, the person lawfully in
possession his body after his death may, unles she has reason to believe
that the request was subsequently withdrawn, authorize the removal of the
body of any part or, as the case may be, the specified part, for use in
accordance with the request.”

28
B. Etiket Tranplantasi Organ 1991
Disamping diatur dalam UU no 130 tahun 1974 juga diatur dalam Etika
Transplantasi Organ tahun 1991
C. Fatwa-fatwa yang dijadikan sumber hukum
Disamping hukum negara yang berlaku, karena mayoritas penduduk
Malaysia beragama Islam maka sebelum dimasukkan kedalam Hukum
Negara, pemerintah Malaysiapun telah mempertimbangkan fatwa-fatwa
dari para ulama baik secara individual, maupun yang berasal dari
organisasi Islam baik Internasional maupun lokal Malaysia
D. Fatwa Transplantasi Organ di Malaysia
Aturan tentang transplantasi organ telah dimasukkan Muzakarah dari Komite
Fatwa Nasional pada tanggal 23 dan 24 Juni 1970. Mata dan jantung dari donor
mati kepada penerima donor dibolehkan dalam Islam dengan persetujuan dari si
pendonor7

2.3. Kebijakan Transplantansi Organ di Indonesia8


Regulasi transplantasi organ yang ada di Indonesia antara lain Undang-
Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (selanjutnya disebut UU
No.36/2009), dalam Bab 1 pasal 1 yang berbunyi “Kesehatan adalah keadaan
sehat, baik secara fisik, mental, spiritual, maupun sosial yang memungkinkan
setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis”. Kebijakan
transplantasi organ juga diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 38
Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Transplantasi Organ (selanjutnya disebut
Permenkes No.28/2016), Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 37 Tahun 2014
tentang penentuan kematian dan pemanfaatan organ donor dan Peraturan
Pemerintah No 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat
Anatomis serta Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh Manusia (selanjutnya
disebut PP No.18/1981). Tujuan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh
adalah untuk kemanusiaan dan dilarang untuk dikomersilkan. Berdasarkan
undang-undang yang ada, negara mengatur larangan memperjual-belikan organ
dan/atau jaringan tubuh dengan dalih apapun. Kemanusiaan menurut Kamus

29
Besar Bahasa Indonesia berarti sifat- sifat manusia. Berkaitan dengan hak dan
kewajiban seseorang, dalam transplantasi organ resipien, pendonor, tenaga
kesehatan dan rumah sakit memiliki hak dan kewajiban masing- masing. Seorang
tenaga kesehatan dalam melakukan kewajibannya harus memiliki keahlian
khusus yang memenuhi persyaratan dan perizinan berdasarkan peraturan
perundang- undangan. Hal tersebut merupakan asas legalitas seorang tenaga
kesehatan.9
Asas legalitas seorang tenaga kesehatan yang melakukan transplantasi
organ tercermin pada UU No 36 tahun 2009 Pasal 65 ayat (1) tentang Kesehatan
bahwa Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan
dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu. Pengambilan organ dan/atau
jaringan tubuh dari pendonor harus memperhatikan kesehatan pendonor yang
bersangkutan dan mendapat persetujuan pendonor dan/atau ahli waris atau
keluarganya. Sehingga tenaga kesehatan yang melakukan transplantasi organ
harus memenuhi persyaratan dan perizinan yang diatur dalam perundang-
undangan. Berikut ketentuan transplantasi organ menurut Undang-Undang :
a. UUD 1945 Pasal 28 I ayat (4) menyatakan bahwa perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung
jawab negara, terutama pemerintah.
b. UU No.36 tahun 2009 tentang kesehatan :
i. Pasal 9 menyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Kewajiban pemerintah untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat salah satunya dengan
membuat regulasi yang berkaitan dengan kesehatan dalam hal ini adalah
regulasi transplantasi organ. Pengaturan transplantasi organ bertujuan
untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi pendonor,
resipien, rumah sakit penyelenggara transplantasi organ, dan tenaga
kesehatan pemberi transplantasi organ.

30
ii. Pasal 14 ayat
(1) Pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur,
menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya
kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat
(2) Tanggung jawab pemerintah sebagaimana yang dimaksud ayat (1)
dikhususkan pada pelayanan publik
iii. Pasal 64 ayat
(1) penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan
melalui transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, implan obat
dan/atau alat kesehatan, bedah plastik dan rekonstruksi, serta
penggunaan sel punca.
(2) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang
untuk dikomersialkan.
(3) Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalil
apapun
iv. Pasal 65 ayat
(1) Transplantasi organ dan/ atau jaringan tubuhhanya dapat dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
untuk itu dan dilakkan di fasilitas pelayanankesehatan tertentu.
(2) Pengambilan organ dan/atau jaringan tubuh dari seorang donor harus
memperhatikan kesehatan pendonor yang bersangkutan dan mendapat
persetujuan pendonor dan/atau ahli waris darikeluarganya.
(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan transplantasi
organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) ditetpkan dengan Peraturan Pemerintah.
v. Pasal 66 ayat
Transplantasi sel baik yang berasal dari manusia maupun dari hewan,
hanya dapat dilakukan apabila telah terbukti keamanan
dankemanfaatannya.

31
vi. Pasal 67 ayat
(1) Pengambilan dan pengiriman spesimen atau bagian organ tubuh hanya
dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan serta dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengambilan dan pengiriman
spesimen atau bagian organ tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat 1
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
vii. Pasal 192 ayat
Setiap orang yang dengan sengaja memperjual belikan organ atau jaringan
tubuh dengan dalih apapun sebagaimana dimaksud dalam pasal 64 ayat (3)
dipidana dengan pidana penjara lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
D. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2016.
Dalam Bab I pasal 1 disebutkan transplantasi organ adalah pemindahan organ dari
pendonor ke resepien guna penyembuhan dan pemulihan masalah kesehatan
resipien. Pengaturan tindakan transplantasi organ bertujuan untuk memberikan
perlindungan dan kepastian hukum bagi pendonor, resipien, rumah sakit
penyelanggara transplantasi organ dan tenaga kesehatan pemberi pelayanan
transplantasi organ. Penyelenggaraan transplantasi organ diatur dalam BAB IV
PERMENKES RI Nomor 38 tahun 2016, meliputi tahapan kegiatan:
1. Pendaftaran
2. Pemeriksaan kecocokan resipen-pendonor; dan
3. Tindakan transplatansi organ dan pascatransplantasi organ

Setiap calon pendonor dan calon resipen harus terdaftar di Komite


Transplantasi Nasional. Pendaftaran pada Komite Transplantasi Nasional dapat
dilakukan melalui perwakilan Komite Transplantasi Nasional di Provinsi.
Pendonor sebagaimana dimaksukan pada ayat (1) terdiri dari pendonor hidup dan
pendonor mati batang otak (MBO). Pendonor hidup sebagaimana disebutkan pada
ayat (1) memberikan hanya salah satu ginjal dari kedua ginjalnya dan/atau hanya
sebagian organ hati, pankreas dan paru-parunya. Pendonor mati batang otak
(MBO) sebagaimana disebutkan dalam pasal 13 ayat (2) huruf b merupakan orang

32
yang organ tubuhnya diambil pada saat yang bersangkutan telah dinyatakan mati
batang otak (MBO) di rumah sakit sesuai degan kententuan peraturan perundang-
undangan.
Persyaratan untuk terdaftar sebagai calon pendonor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (1) meliputi persyaratan administratif dan persyaratan medis.
Persyaratan administratif terdiri atas surat keterangan sehat dari dokter, berusia 18
tahun, pernyataan tertulis tentang kesediaan pendonor, memiliki alasan
menyumbangkan organ ke resipien, mendapat persetujuan dari keluarga pendonor,
memahami indikasi, kontraindikasi, risiko dan prosedur transplantasi organ serta
membuat pernyataan tidak melakukan penjualan organ dengan pihak lain maupun
resipian. Persyaratan medis meliputi telah dilakukan skrining oleh rumah sakit
penyelenggara dan telah disetujui oleh Komite Transplantasi Nasional atau
Perwakilan Komite Transplantasi Nasional.
Setiap pasien yang membutuhkan transplantasi organ dapat menjadi calon
resipien setelah memperoleh persetujuan dari tim transplantasi di rumah sakit.
Calon resipien harus merupakan pasien dengan indikasi medis yang tepat dan
tidak memiliki kontraindikasi medis untuk dilakukan transplantasi organ. Komite
Transplantasi nasional harus melakukan pengelolaan data calon resipien dan calon
pendonor berdasarkan hasil verifikasi dokumen. Pengelolaan data dilakukan
melalui penyusunan prioritas dan urutan daftar tunggu calon resipien yang
didasarkan pada kondisi medis pasien. Untuk dapat memutuskan dan memberi
persetujuan terhadap apa yang akan dilakukan kepada pasien, dokter terlebih
dahulu harus memberikan informasi yang cukup dan diikuti oleh pemberian
persetujuan oleh pasien (informed consent) yang berdasarkan kepercayaan, adanya
hak otonomi atau menentukan nasib atas dirinya sendiri dan adanya hubungan
perjanjian antara dokter dan pasien.
Pemeriksaan kecocokan resipien-pendonor dilakukan oleh tim
transplantasi rumah sakit di rumah sakit penyelenggara transplantasi organ.
Pemeriksaan kecocokan resipien-pendonor terdiri atas wawancara, pemeriksaan
fisik, kesehatan mental dan laboratium/pemeriksaan penunjang. Hasil
pemeriksaan kecocokan resipien-pendonor dilaporkan rumah sakit penyelenggara

33
Transplantasi Organ kepada Komite Transplantasi Nasional. Setelah Komite
Transplantasi Nasional mengeluarkan surat keterangan kelayakan pasangan
resipen-pendonor dan tidak ditemukan indikasi jual beli dan/atau komersil, tim
transplantasi rumah sakit melakukan pemeriksaan kesiapan tindakan transplantasi
organ. Tindakan pengambilan organ dilaksanakan secara operatif oleh tim
transplantansi rumah sakit sesuai standar. Tindakan pascatransplantasi organ
harus dilakukan terhadap pendonor dan resipien melalui monitoring dan evaluasi
yang dilakukan oleh Tim Transplantasi Rumah Sakit dan Komite Transplantasi
Nasional.9

E. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 37 Tahun 2014 tentang penentuan


kematian dan pemanfaatan organ donor10

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

(1) Penghentian terapi bantuan hidup (with-drawing life supports) adalah


menghentikan sebagian atau semua terapi bantuan hidup yang sudah
diberikan pada pasien.
(2) Penundaan terapi bantuan hidup (with-holding life supports) adalah
menunda pemberian terapi bantuan hidup baru atau lanjutan tanpa
menghentikan terapi bantuan hidup yang sedang berjalan.
(3) Intensive Care Unit, yang selanjutnya disingkat ICU adalah suatu instalasi
di rumah sakit dengan staf yang khusus dan perlengkapan yang khusus
yang ditujukan untuk observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang
menderita penyakit akut, cedera atau penyulitpenyulit yang mengancam
nyawa atau potensial mengancam nyawa dengan prognosis dubia yang
diharapkan masih reversibel.
Pasal 2

Pengaturan penentuan kematian dan pemanfaatan organ donor bertujuan untuk:

34
a. memberikan kepastian hukum; dan
b. memberikan perlindungan kepada pasien dan keluarga pasien, tenaga
kesehatan serta fasilitas pelayanan kesehatan.

Pasal 3

Ruang lingkup pengaturan meliputi:


a. penentuan mati batang otak pada seseorang yang diketahui proses
kematiannya di fasilitas pelayanan kesehatan;
b. penghentian terapi bantuan hidup;
c. penundaan terapi bantuan hidup; dan
d. pemanfaatan organ donor.
BAB II
PENENTUAN KEMATIAN
Bagian Kesatu
Umum

Pasal 4

(1) Penentuan kematian seseorang dapat dilakukan di fasilitas pelayanan


kesehatan atau di luar fasilitas pelayanan kesehatan.
(2) Penentuan kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
menjunjung tinggi nilai dan norma agama, moral, etika, dan hukum.

Pasal 5

(1) Penentuan kematian di fasilitas pelayanan kesehatan harus dilakukan oleh


tenaga medis.
(2) Tenaga medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan dokter.
(3) Dalam hal tidak ada tenaga medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
penentuan kematian dapat dilakukan oleh perawat atau bidan.

35
Pasal 6

Penentuan kematian di luar fasilitas pelayanan kesehatan dapat dilakukan oleh


tenaga medis atau tenaga kesehatan lainnya yang memiliki kewenangan.
Pasal 7

Penentuan kematian seseorang dapat dilakukan dengan menggunakan kriteria


diagnosis kematian klinis/konvensional atau kriteria diagnosis kematian mati
batang otak.
Bagian Kedua
Penentuan Kematian Klinis/Konvensional

Pasal 8

(1) Kriteria diagnosa kematian klinis/konvensional sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 7 didasarkan pada telah berhentinya fungsi sistem jantung
sirkulasi dan sistem pernafasan terbukti secara permanen.
(2) Proses penentuan kematian klinis/konvensional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan sesuai standar profesi, standar pelayanan, dan
standar operasional prosedur.

Bagian Ketiga
Penentuan Mati Batang Otak

Pasal 9

(1) Penentuan seseorang mati batang otak hanya dapat dilakukan oleh tim
dokter yang terdiri atas 3 (tiga) orang dokter yang kompeten.
(2) Anggota tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melibatkan dokter
spesialis anestesi dan dokter spesialis syaraf.
(3) Dalam hal penentuan mati batang otak dilakukan pada calon donor organ,
maka tim dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan merupakan
dokter yang terlibat dalam tindakan transplantasi.

36
(4) Masing-masing anggota tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
melakukan pemeriksaan secara mandiri dan terpisah.
(5) Diagnosis mati batang otak harus dibuat di ruang rawat intensif (Intensive
Care Unit).
Pasal 10

(1) Pemeriksaan seseorang mati batang otak dilakukan pada pasien dengan
keadaan sebagai berikut:
a. koma unresponsive/GCS 3 atau Four Score 0;
b. tidak adanya sikap tubuh yang abnormal (seperti dekortikasi, atau
deserebrasi); dan
c. tidak adanya gerakan yang tidak terkoordinasi atau sentakan epileptik.
(2) Syarat yang harus dipenuhi untuk dapat dilakukan pemeriksaan mati
batang otak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. terdapat prakondisi berupa koma dan apnea yang disebabkan oleh
kerusakan otak struktural ireversibel akibat gangguan yang berpotensi
menyebabkan mati batang otak; dan
b. idak ada penyebab koma dan henti nafas yang reversibel antara lain
karena obat-obatan, intoksikasi, gangguan metabolik dan hipotermia.

Pasal 11

Prosedur pemeriksaan mati batang otak dilakukan sebagai berikut:


a. Memastikan arefleksia batang otak yang meliputi:
1. Tidak adanya respons terhadap cahaya;
2. Tidak adanya refleks kornea;
3. Tidak adanya refleks vestibulo-okular;
4. Tidak adanya respons motorik dalam distribusi saraf kranial terhadap
rangsang adekuat pada area somatik;
5. Tidak ada refleks muntah (gag reflex) atau refleks batuk terhadap
rangsang oleh kateter isap yang dimasukkan ke dalam trakea.
b. Memastikan keadaan henti nafas yang menetap dengan cara:

37
1. Pre – oksigenisasi dengan O2 100% selama 10 menit;
2. Memastikan pCO2 awal testing dalam batas 40-60 mmHg dengan
memakai kapnograf dan atau analisis gas darah (AGD);
3. Melepaskan pasien dari ventilator, insuflasi trakea dengan O2 100%, 6
L/menit melalui kateter intra trakeal melewati karina;
4. Observasi selama 10 menit, bila pasien tetap tidak bernapas, tes
dinyatakan positif atau berarti henti napas telah menetap.
c. Bila tes arefleksia batang otak dan tes henti napas sebagaimana dimaksud
pada huruf a dan huruf b dinyatakan positif, tes harus diulang sekali lagi
dengan interval waktu 25 menit sampai 24 jam.
d. Bila tes ulangan sebagaimana dimaksud pada huruf c tetap positif, pasien
dinyatakan mati batang otak, walaupun jantung masih berdenyut.
e. Bila pada tes henti napas timbul aritmia jantung yang mengancam nyawa
maka ventilator harus dipasang kembali sehingga tidak dapat dibuat
diagnosis mati batang otak.

Pasal 12

Penetapan waktu kematian pasien adalah pada saat dinyatakan mati batang
otak, bukan saat ventilator dilepas dari mayat atau jantung berhenti berdenyut.

Pasal 13

(1) Setelah seseorang ditetapkan mati batang otak, maka semua terapi bantuan
hidup harus segera dihentikan.
(2) Dalam hal pasien merupakan donor organ, terapi bantuan hidup diteruskan
sampai organ yang dibutuhkan diambil.
(3) Pembiayaan tindakan medis sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dibebankan kepada penerima donor organ.

38
BAB III
PENGHENTIAN ATAU PENUNDAAN TERAPI BANTUAN HIDUP

Pasal 14

(1) Pada pasien yang berada dalam keadaan yang tidak dapat disembuhkan
akibat penyakit yang dideritanya (terminal state) dan tindakan kedokteran
sudah sia-sia (futile) dapat dilakukan penghentian atau penundaan terapi
bantuan hidup.
(2) Kebijakan mengenai kriteria keadaan pasien yang terminal state dan
tindakan kedokteran yang sudah sia-sia (futile) ditetapkan oleh Direktur
atau Kepala Rumah Sakit.
(3) Keputusan untuk menghentikan atau menunda terapi bantuan hidup
tindakan kedokteran terhadap pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh tim dokter yang menangani pasien setelah berkonsultasi
dengan tim dokter yang ditunjuk oleh KomiteMedik atau Komite Etik.
(4) Rencana tindakan penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup harus
diinformasikan dan memperoleh persetujuan dari keluarga pasien atau
yang mewakili pasien.
(5) Terapi bantuan hidup yang dapat dihentikan atau ditunda hanya tindakan
yang bersifat terapeutik dan/atau perawatan yang bersifat luar biasa (extra-
ordinary), meliputi:
a. Rawat di Intensive Care Unit;
b. Resusitasi Jantung Paru;
c. Pengendalian disritmia;
d. Intubasi trakeal;
e. Ventilasi mekanis;
f. Obat vasoaktif;
g. Nutrisi parenteral;
h. Organ artifisial;
i. Transplantasi;
j. Transfusi darah;

39
k. Monitoring invasif;
l. Antibiotika; dan
m. Tindakan lain yang ditetapkan dalam standar pelayanan kedokteran.
(6) Terapi bantuan hidup yang tidak dapat dihentikan atau ditunda meliputi
oksigen, nutrisi enteral dan cairan kristaloid.

Pasal 15

(1) Keluarga pasien dapat meminta dokter untuk melakukan penghentian atau
penundaan terapi bantuan hidup atau meminta menilai keadaan pasien
untuk penghentian atau penundaan terapi bantuan hidup.
(2) Untuk menghentikan atau menunda terapi bantuan hidup tindakan
kedokteran terhadap pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh tim dokter yang menangani pasien setelah berkonsultasi
dengan tim dokter yang ditunjuk oleh Komite Medik atau Komite Etik.
(3) Permintaan keluarga pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat dilakukan dalam hal:
a. pasien tidak kompeten tetapi telah mewasiatkan pesannya tentang hal
ini (advanced directive) yang dapat berupa:
1 pesan spesifik yang menyatakan agar dilakukan penghentian atau
penundaan terapi bantuan hidup apabila mencapai keadaan futility
(kesia-siaan)
2 pesan yang menyatakan agar keputusan didelegasikan kepada
seseorang tertentu (surrogate decision maker)
b. pasien yang tidak kompeten dan belum berwasiat, namun keluarga
pasien yakin bahwa seandainya pasien kompeten akan memutuskan
seperti itu, berdasarkan kepercayaannya dan nilainilai yang dianutnya.
(4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) bila pasien masih mampu membuat keputusan dan menyatakan
keinginannya sendiri.
(5) Dalam hal permintaan dinyatakan oleh pasien sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), maka permintaan pasien tersebut harus dipenuhi.

40
(6) Dalam hal terjadi ketidaksesuaian antara permintaan keluarga dan
rekomendasi tim yang ditunjuk oleh komite medik atau komite etik,
dimana keluarga tetap meminta penghentian atau penundaan terapi
bantuan hidup, tanggung jawab hukum ada di pihak keluarga.

BAB IV
PEMANFAATAN ORGAN DONOR

Pasal 16

(1) Penyelenggaraan pemanfaatan organ donor dilakukan dengan penerapan


dan penapisan teknologi kesehatan.
(2) Penerapan dan penapisan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai norma agama, moral, dan etika.
Pasal 17

(1) Organ yang berasal dari mayat dapat diperoleh atas persetujuan calon
donor sewaktu masih hidup.
(2) Tata cara pelaksanaan donor organ dilakukan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 18 ayat

(1) Mayat yang tidak dikenal atau tidak diurus keluarganya dapat langsung
dimanfaatkan untuk donor organ, jaringan dan sel.
(2) Pemanfaatan organ, jaringan, dan/atau sel dari mayat yang tidak dikenal
atau tidak diurus keluarganya harus atas persetujuan tertulis orang tersebut
semasa hidupnya, persetujuan tertulis keluarganya dan/atau persetujuan
dari penyidik Kepolisian setempat.
(3) Persetujuan dari penyidik Kepolisian setempat sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diberikan dalam hal tidak diketahui adanya persetujuan tertulis
orang tersebut semasa hidupnya/persetujuan tertulis keluarganya tidak
dimungkinkan.

41
(4) Dalam hal mayat tersebut berhubungan dengan perkara pidana,
pemanfaatan organ dari mayat hanya dapat dilakukan setelah proses
pemeriksaan mayat yang berkaitan dengan perkara selesai.
(5) Pemanfaatan organ dari mayat harus dilakukan pencatatan dan pelaporan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 19

(1) Pengambilan organ dari donor kadaver hanya dilakukan segera setelah
calon donor kadaver dinyatakan mati batang otak.
(2) Sebelum pengambilan organ dari donor kadaver sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), wajib memperoleh persetujuan dari keluarga terdekat donor
lebih dahulu.

2.4 Transplantasi Organ dari Segi Agama


2.4.1. Transplantasi organ dari segi agama Kristen11
Di alkitab tidak dituliskan mengenai mendonorkan organ tubuh, selama
niatnya tulus dan tujuannya kebaikan itu boleh-boleh saja terutama untuk
membantu kelangsungan hidup suatu nyawa (nyawa orang yang membutuhkan
donor organ) bukan karena mendonorkan untuk mendapatkan imbalan berupa
materi, uang untuk si pendonor organ. Akan lebih baik lagi bila si pendonor sudah
mati dari pada saat si pendonor belum mati karena saat kita masih hidup organ
tubuh itu bagaimanapun penting, sedangkan saat kita sudah mati kita tidak
membutuhkan organ tubuh jasmani kita.

2.4.2. Transplantasi organ dari segi agama Katolik12


Gereja menganjurkan kita untuk mendonorkan organ tubuh sekalipun
jantung kita, tetapi sewaktu menjadi donor kita sudah benar-benar mati artinya
bukan mati secara medis yaitu otak kita yang mati, seperti koma vegetative state
atau kematian medis lainnya. Tentu kalau kita dalam keadaan hidup dan sehat kita
dianjurkan untuk menolong hidup orang lain yang mebutuhkan dengan mennjadi
donor.

42
Kesimpulannya bila donor tidak menuntut kita harus mati, seperti donor
darah, sum-sum tulang, ginnjal, kulit, mata, tulang maka kita dianjurkan untuk
melakukannya. Sedangkan menjadi donor mati seperti donor jantung atau bagian
tubuh lainnya dimana donor tidak bisa hidup tanpa adanya organ tersebut, maka
umat Katolik wajib untuk dinyatakan mati oleh ajaran GK. Ingat, kematian klinis
atau medis bukan mati sepenuhnya, jadi kita harus menunnggu sampai si donor
sudah benar-benar mati untuk dipanen organ, dan ini terbukti tidak ada halangan
bagi kebutuhan medis dalam pengambilan organ.

2.4.3. Transplantasi organ dari segi agama Hindu12


Menurut ajaran Hindu donasi dan transplantasi organ tubuh dapat
dibenarkan dengan alasan bahwa pengorbanan (yajna) kepada orang yang
menderita, agar dia bebas dari penderitaan dan dapat menikmati kesehatan dan
kebahagiaan, jauh lebih penting, utama, mulia dan luhur, dari keutuhan
organ tubuh manusia yang telah meninggal. Tetapi sekali lagi, perbuatan ini
harus dilakukan diatas prinsip yajna yaitu pengorbanan tulus iklas tanpa pamrih
dan bukan dilakukan untuk maksud mendapatkan keuntungan material.
Alasan yang lebih bersifat logis dijumpai dalam kitab Bhagawadgita II.22
sebagai berikut: “Wasamsi jirnani yatha wihaya nawani grihnati naro’parani,
tatha sarirani wihaya jirnany anyani samyati nawani dehi” Artinya: seperti
layaknya seseorang mengenakan pakaian baru dan membuka pakaian lama,
begitu pula Sang Roh menerima badan-badan jasmani yang baru, dengan
meninggalkan badan-badan lama yang tiada berguna.
Kematian adalah berpisahnya Jiwa atau roh dengan badan jasmani ini.
Badan Jasmani atau sthula sarira (badan kasar) terbentuk dari Panca Maha
Bhuta (apah = unsur cair, prethiwi = unsur padat, teja = unsur sinar, bayu =
unsur udara dan akasa = unsure ether) ibarat pakaian. Apabila badan jasmani
(pakaian) sudah lama dan rusak, kita akan membuangnya dan
menggantikannya dengan pakaian yang baru. Dari pemaparan diatas dapatlah
disimpulkan tiada satu agamapun yang melarang umatnya untuk
mendonasikan organnya untuk keperluan transplantasi. Ajaran universal dari
kelima agama tersebut diatas adalah kemanusiaan, untuk menolong sesama.

43
2.4.4. Transplantasi organ menurut agama Budha13
Dalam agama Buddha dikenal ajaran “Catur Paramitha yaitu mengenai
empat budi luhur yang meliputi maitri (memiliki cinta kasih), karuna (suka
menolong), mudita (simpati) dan upeksa (menghargai semua orang). Hal sama
dikemukakan oleh Venerable Dr. K. Sri Dhammananda Nayake Maha Thera
J.S.M., Ph.D., D.Litt. yang merupakan Kepala Pendeta Buddha Tinggi di
Malaysia dan Singapura, dalam pendapatnya mengenai donasi organ
sebagaimana dikutip dari website Malaysian Society of Transplant, menurut
pendapat beliau dari sudut pandang agama Buddha, donasi organ setelah orang
meninggal untuk kepentingan perbaikan hidup manusia lain merupakan
perbuatan amal yang terbentuk berdasarkan landasan spriritual atau jalan
religius dalam kehidupan.
Lebih lanjut dikatakan bahwa agama Buddha sangat mendukung kemajuan
teknologi kedokteran sebagai bagian dari kemajuan akal budi manusia untuk
mendonasikan organ untuk menolong sesama, tetapi tidak untuk diperjualbelikan.
Donor merupakan karma yang baik yang dapat menghapuskan karma
buruk sebelumnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam agama Buddha donasi
organ merupakan hal luhur untuk menolong sesama. Keputusan untuk menjadi
donor diserahkan kepada masing-masing individu untuk memutuskan, yang
jelas ajaran Buddha sangat mendukung aksi kemanusiaan untuk menolong
sesama melalui donasi organ.

2.4.5 Transplantasi Organ Menurut Agama Islam14


Hampir tidak ada satupun bahasan dalam teks fikih klasik yang
meninggalkan tulisan yang membahas langsung mengenai hukum mendonorkan
organ tubuh manusia untuk tujuan transplantasi. Namun, hukum perlakuan
terhadap jasad manusia disebutkan dalam bab jual beli. Begitupun ketika
membahas tentang pengobatan, keadaan terpaksa, apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan saat keadaan terpaksa. Riwayat dari Abu Daud dari Abu Darda' bahwa
Nabi SAW bersabda

44
"Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obat, serta menjadikan bagi
setiap penyakit itu obatnya, Dari itu berobatlah kamu, tetapi jangan berobatdengan
yang haram!"(H.R Abu Dawud No.3372)
Hadits tersebut mengatakan bahwa berobat memang dianjurkan, namun
tidak dengan yang haram. Meskipun ilmu dan teknologi kedokteran semakin
maju, penelitian dalam bidang kedokteran yang memakan waktu berabad-abad
lamanya, membuahkan transplantasi atau pencangkokan organ tubuh sebagai
alternatif terakhir untuk menyembuhkan suatu penyakit.
Tujuan dari transplantasi tak lain adalah sebagai pengobatan dari penyakit
karena Islam sendiri memerintahkan manusia agar setiap penyakit diobati, karena
membiarkan penyakit bersarang dalam tubuh dapat mengakibatkan kematian,
sedangkan membiarkan diri terjerumus dalam kematian (tanpa usaha) adalah
perbuatan terlarang, sebagai mana firman Allah dalam Al-Qur’anSurah An-Nisa
(4) ayat 29, yang artinya: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
Membahas mengenai Hukum Islam, maka dapat melihat hukum yang
berlaku di negara Arab sebagai referensi karena negara Arab memiliki penduduk
100% muslim yang sudah dapat dipastikan menggunakan Hukum Islam sebagai
dasar aturan mereka. Negara Arab yang tegabung dalam Gulf Cooperation
Council (GCC) yaitu Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudidan Uni Emirat
Arabtelah membentuk Komite Nasional Transplantasi Organ atau NOTC
(National Organ Transplant Committee) berdasarkan Peraturan Menteri Nomor
1045 Tahun 2009 yang mana anggotanya adalah dokter dari berbagai sektor
kesehatan serta ahli Hukum Islam dan Sharia untuk membentuk peraturan yang
terkait mengenai transplantasi organ. Setelah melakukan peninjauan terhadap
praktek yang terbaik dilakukan di seluruh dunia dan aturan-aturan yang berlaku
dalam negara-negara yang tergabung dalam GCC, maka terbentuklah peraturan
yang secara garis besar mengatur berisi:
a. Memperbolehkan orang yang secara mental dan fisik sehat serta berumur
diatas 21 tahun untuk menjadi donor. Organ yang didonorkan tersebut,
tidak seharusnya membahayakan pendonor.

45
b. Aturan ini juga menegaskan untuk memperbolehkan menggunakan donor
mati. Orang mati dapat mewariskan ginjal, paru, pankreas dan jantungnya
untuk menyelamatkan orang lain. Untuk itu, pendonor harus menuliskan
surat wasiat tersebut secara tertulis dan dengan didampingi oleh dua orang
saksi. Aturan ini juga memperbolehkan pendonor merubah pendiriannya.
c. Aturan ini juga membolehkan donasi multi organ dalam tahap
berbedadalam memenuhi kekurangan donasi organ internasional.7

2.5 Peran seorang ahli forensik dalam memberikan persetujuan untuk


donasi organ dalam kasus kematian
Pada Negara USA pemeriksaan medis adalah salah satu komponen yang
penting dalam proses transplantasi organ. Pengadaan jaringan pada proses
transplantasi organ merupakan bagian dari yuridiksi dokter. Sekitar 70% kasus
donor organ memiliki keterlibatan dengan koroner dan dokter forensik, dengan
demikian otorisasi pengadaan organ harus dilakukan. 15
Peran dokter forensik dalam transplantasi organ adalah untuk menilai
apakah donor organ tersebut diizinkan menurut hukum dan yuridiksi mereka.
Pada beberapa kasus transplantasi organ terdapat beberapa kasus dimana koroner
memiliki minat untuk melihat penyebab kematian calon pendonor, hal inilah yang
membutuhkan bantuan dari dokter forensik. Pemeriksa dituntut dan bertanggung
jawab dalam kontrol atas tubuh yang umumnya dimulai ketika orang tersebut
dinyatakan meninggal hingga penyelesaian masalah medikolegal kematian.
Pemeriksaan postmortem, penentuan penyebab kematian dan cara kematian,
ketertkaitan dengan proses hukum pidana atau perdata, hasil pemeriksaan dari
dokter forensik digunakan untuk membantu proses pendonoran organ dan jaringan
dalam tindakan transplantasi organ. Pemeriksaan medis merupakan syarat untuk
menyeimbangkan kepentingan yang terkadang dapat saling bersaing dalam
kedokteran dan hukum yang bertanggung jawab untuk memutuskan apakah suatu
tubuh dibawah yuridiksi pemeriksaan medis dapat menjadi donor organ. 15
Sedangkan di Indonesia seperti pada negara lainnya spesialis kedokteran
forensik diminta oleh penyidik untuk mengungkapkan temuan mereka
berdasarkan hasil pemeriksaan sesuai dengan keilmuan yang dapat meliputi

46
kesimpulan yang beralasan tentang penyebab kematian seseorang. Dokter forensik
bersifat independen dan tidak memihak, sekalipun bukti yang mereka dapatkan
tidak sesuai dengan kecurigaan para penyidik. Di persidangan spesialis forensik
memiliki kewajiban untuk mengungkapkan bukti sebagai saksi ahli sebelum
ditentukan putusan hasil pengadilan. Otopsi atau pemeriksaan postmortem adalah
prosedur medis yang meliputi pemeriksaan pada tubuh orang yang sudah
meninggal untuk menentukan sebab kematian. Prosedur pemeriksaan meliputi
pembukaan pada bagian tubuh dimulai dari pengirisan dan pemeriksaan organ
dalam. Sedangkan sebagi dokter yang memiliki tanggungjawab etik sebelum
melakukan otopsi dokter wajib memberikan informasi dan meminta persetujuan.
Bagian dari informet consent yang dimaksud harus terdiri dari kompetensi dan
kemampuan dari seorang dokter untuk melakukan otopsi, informasi, dan
persetujuan. Orang yang sudah meninggal yang akan diperiksa tentu saja tidak
memiliki ketiga elemen tersebut oleh karena itu persetujuan biasanya diberikan
oleh keluarga. 16
Di Indonesia persetujuan untuk dilakukan otopsi tetap diberikan oleh
keluarga karena ketakutan akan dilakukan mutilasi, penundaaan pemakaman, isu
mengenai pengambilan organ dalam , kurangangnya informasi mengenai indikasi
dilakukannya otopsi, sedikit manfaat untuk pasien, alasan agama dan budaya. 16
Peran lain dari dokter forensik adalah sebagai saksi ahli dan menjaga
kerahasiaan medis. Saksi ahli merupakan seseorang yang menyatakan opini
tentang fakta medis yang ditemukan misalnya penyebab kematian. Disisi lain,
16
dokter harus menjaga kerahasiaan medis sebagai privasi pasien.

47
BAB III
JURNAL PEMBANDING

Journal Utama Journal Pembanding 1 Journal Pembanding 2


Does Organ Donation Tissue Donation And Knowledge and Attitudes
Impact on Forensic Transplantation About Organ Donation
Outcomes? A Review Program In Sri Langka among Medical Students
of Coronial Outcomes : A Medicolegal point of in Egypt : A
and Criminal Trial view Questionnaire
Proceedings
ABSTRAK
Seiring dengan Donasi jaringan dan Transplantasi organ
meningkatnya kegiatan tranplantasi organ merupakan
donor organ, hal ini memiliki peranan penting penatalaksanaan untuk
sebanding dengan dalam manajemen menyelamatkan nyawa
meningkatnya jumlah pengobatan pasien kritis. pasien dengan kegagalan
pasien yang menunggu Pencangkokan dan organ. Kekurangan donor
untuk segera dilakukan tranplantasi organ organ dapat diatasi
transplantasi. Donasi merupakan hal yang dengan meningkatkan
organ dapat dilakukan benar berdasarkan kemauan masyarakat
pada sejumlah kondisi kerangka hukum negara terhadap program
kematian tertentu, dan berdasarkan protokol dan tranplantasi organ.
hanya dapat dilanjutkan pedoman kesehatan dan Layanan Kesehatan
dibawah persetujuan otoritas hukum. memiliki peran dasar
Coroner Act. Menurut Pengetahuan, isu dalam meningkatkan
laporan kematian medikolegal dan etik kesadaran publik
Coroners Act, adanya merupakan hal yang tersebut.
persetujuan untuk wajib dalam program
mendapatkan bukti tranplantasi organ.
melalui tindakan otopsi Penulis berusaha untuk
dapat menjadi mengevaluasi seacara
hambatan dalam kritis aspek medikolegal
mendapatkan dan etik yang berkaitan
persetujuan donasi dengan sistem donor
organ oleh Coroner Act. jaringan dan tranplantasi
organ di Sri Langka
dibandingkan dengan
ketentuan dengan negara
lain.

KELEBIHAN

Jurnal ini menjelaskan Jurnal ini cukup 1. Memberikan gambaran


peran masing-masing menjelaskan aspek sikap dan pengetahuan
medikolegal serta aturan- mahasiswa terhadap

48
antara koroner dengan aturan yang berkaitan donor organ di Negara
ahli patologi forensik dengan tranplantasi Mesir.
secara jelas organ di Srilangka sesuai 2. Mengetahui strategi
dengan hukum yang cara meningkatkan
berlaku di Negara perhatian dan kesadaran
tersebut terhadap pemberi donor
dan penerima donor
3. Kepastian hukum
memberikan harapan
kepada penerima donor

KEKURANGAN

Tidak dijelaskan Jurnal tersebut kurang 1. Pengetahuan dan


mengenai alasan menyajikan aspek etika kesadaran masyarakat
ataupun analisis dan pandangan dari segi yang masih rendah
agama maupun norma tentang donor organ.
mengenai mekanisme
yang berkaitan dengan 2. Kurangnya edukasi
penyebab kematian dengan tranplantasi terhadap masyarakat
yang memungkinkan organ di Negara tersebut tentang donor organ baik
rekomendasi donor di institusi resmi baik
organ ditolak oleh non resmi
patologi forensik 3. Kurangnya penyiaran
berita di media masa
tentang kontrol hukum.

49
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
1. Transplantasi organ tubuh manusia diatur dalam peraturan terbaru yaitu
permenkes 38/2016. Organ tubuh boleh diambil dari orang yang masih
hidup atau orang yang dinyatakan mati batang otak dengan memenuhi
syarat medis dan admnistratif yang wajib dipenuhi oleh calon pendonor,
calon resipien dan rumah sakit yang akan menyelanggarakan transplantasi
organ.
2. Bagi indonesia perlu dipikirkan sistem yang sistematis yang dapat
mendistribusi dan mengalokasi organ keseluruh indonesia. Kondisi
geografis indonesia yang unik terdiri dari negara kepulauan, sehingga
transportasi yang cepat dan baik merupakan persyaratan bagi
pendistribusian yang merata alokasi organ.
3. Berdasarkan praktek di negara-negara yang telah maju maupun negara
dengan mayoritas penduduk beragama muslim, transplantasi telah
menyelamatkan banyak nyawa.
4. Pandangan beberapa agama di beberapa Negara khususnya di Indonesia
semua memperbolehkan dengan alasan membantu manusia. Pelaksanaan
transplantasi organ tubuh manusia dalam perspektif hukum islam
diperbolehkan asalkan manfaat yang ditimbulkan lebih besar daripada
dampak yang ditimbulkan akibat pelaksanaan transplantasi organ.

4.2. Saran
1. Praktek donasi dan transplantasi organ sebaiknya segera dituangkan
kedalam peraturan perundang-undangan nasional dalam bentuk undang-
undang.
2. Dikarenakan anggaran yang sangat mahal untuk proses transplantasi organ
sebaiknya dimasukkan kedalam anggaran pemerintah berupa system
jaminan sosial nasional.

50
3. Dibutuhkan suatu rumah sakit yang menanungi praktek transplantasi organ
yang sesuai dengan standar operasional prosedur di Indonesia.

51
DAFTAR PUSTAKA

1. Grinyo, Joseph. 2013. Why is Organ Tranplantation is Clinically


Important. University of Barcelona, Barcelona
2. Saran R, Li Y, Robinson et al. US renal data system 2015 annual report :
epidemiology of kidney disease in the United States. Am J Kidney Dis.
2016; vol 67
3. American University, Illegal Human Organ Trade From Executed
Prisoners In China, Case Study: 632,
Http://Www1.American.Edu/Ted/Prisonorgans.Htm
4. Gruesnerr, Rainerr W.G., Living Donor Organ Transplantation. USA, Mc
Graw Hill-Medical, 2008
5. Albar, Mohammed Ali, Islamic Ethics of Organ Transplantation and Brain
Death , Saudi Journal of Kidney Diseases and Transplantation, Year :
1996 | Volume : 7 | Issue : 2 | Page : 109-114
6. F.A.M. Shaheen dan M.Z. Souqiyyeh, Saudi Center for Organ
Transplantation, Riyadh, Saudi Arabia, Increasing organ donation rates
from Muslim donors: Lessons from a successful model
7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2016.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Penyelenggaraan
Transplantasi organ. Diunduh dari
https://www.persi.or.id/images/regulasi/permenkes/pmk382016.pdf
8. Departemen Kesehatan RI.Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36
Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Jakarta:Kementrian Kesehatan RI: 2009
9. Rachmawati, F., 2019. Kepastian Hukum`Transplantasi Organ yang
Mencerminkan Nilai Kemanusiaan. Jurnal Hukum Media Bhakti.
10. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2014.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Penentuan Kematian dan
Pemanfaatan Organ Donor. Diunduh dari https://bit.ly/36TdxR0

52
11. BBC. Organ donation: christian teachings about the donation and
transplant of human organs. Available at:
http://www.bbc.co.uk/religion/religions/christianity/christianethics/organs.
shtml. Accessed on 2 Desember 2019
12. BBC. Hinduism: organ donation. Available at
www.bbc.co.uk/religion/religions/hinduism/hinduethics/organ_donation.
Accessed on 2 Desember 2019.
13. Keown D. Buddhism, brain death, and organ transplatation. Vol 17. J of
Buddhist Ethics;2010.
14. Al-Azhari, Barsri bin Ibrahim al Hasani, The Current Practise of Organ
Transplant in Malaysia, Issue 45, Year 7th, January 2010, page 11
15. Position Paper on the Medical Examiner Release of Organs and Tissues
for Transplantation. J. Keith Pinckard, M.D., Ph.D., Charles V. Wetli,
M.D., and Michael A. Graham, M.D.Board of Directors Approved
February 21, 2006.

16. Henky. Ethicolegal Conflict in Daily Forensic Medical Practice: Two


Examples form Indonesia. 2017. Egyptian Journal of Forensic Sciences.

53

Anda mungkin juga menyukai