Anda di halaman 1dari 77

REFERAT

ETIKOMEDIKOLEGAL

Paper ini dibuat untuk melengkapi persyaratan mengikuti Kepaniteraan Klinik


Senior di Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan

Disusun Oleh:
1. Bella Hartina 19010032
2. Cut Mulya Mutia 150611004
3. Fil’ardhy Batubara 71160891351
4. Yossy Novriance Siburian 19010024

Pembimbing:
dr. H. Mistar Ritonga,Sp.F

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKO LEGAL


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. PIRNGADI KOTA MEDAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Yang
telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan paper ini
guna memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan
dengan judul “Etikomedikolegal.”
Pada kesempatan ini, tidak lupa penulis mengucapkan banyak terimakasih
kepada dr. H. Mistar Ritonga,Sp.F atas bimbingan dan arahannya selama
mengikuti kepaniteraan klinik senior di Departemen Ilmu Kedokteran Forensik
dan Medikolegal Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan.
Penulis menyadari bahwa paper ini masih banyak kekurangan, hal ini di
karenakan keterbatasan pengetahuan yang ada pada penulis. Maka dengan segala
kerendahan hati, kami mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dari
pembaca dan sekaligus guna menyempurnakan paper ini kedepannya.
Harapan penulis semoga paper ini dapat bermanfaat dalam menambah
ilmu pengetahuan serta dapat menjadi arahan dalam mengimplementasikan ilmu
kedokteran dalam praktik di masyarakat.

Medan, 21 Novemver 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

3
BAB 1
PENDAHULUAN

Etika adalah ilmu yang mempelajari azas akhlak, sedangkan etik adalah
seperangkat asas atau nilai yang berkaitan dengan akhlak seperti dalam Kode Etik.
Istilah etis digunakan untuk menyatakan sesuatu sikap/pandangan yang dapat
diterima (ethically acceptable) atau tidak (unacceptable).1
Dokter wajib menjunjung tinggi nilai etik yang terkandung dalam Kode Etik
Kedokteran Indonesia (KODEKI) tahun 2012. Pelanggaran etik kedokteran
disikapi dengan pemberian sanksi yang sesuai dan bertujuan sebagai pembinaan
terhadap teman sejawat. Prinsip, tujuan, dan ketentuan pemberian sanksi diatur
oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) PB IDI.2
Berbagai pelanggaran terhadap kode etik sering terjadi di kehidupan baik itu
dalam kesehariannya seorang dokter berperan sebagai pelayan masyarakat
sekaligus ilmuwan yang dituntut berperan dalam pengembangan ilmu. Hal ini
memberikan banyak tantangan yang harus dihadapi. Pelanggaran yang terjadi
menjadi semakin kompleks dan rumit dari waktu ke waktu dan seiring dengan
perkembangan teknologi sehingga membutuhkan pemahaman dan penegakkan
kode etik merupakan sesuatu yang esensial.
Etika secara etimologis berasal dari bahasa yunani kuno Ethos yang berarti
adat istiadat atau kebiasaan, salah satu cabang ilmu filsafat yang mempelajari
dasar nilai moral mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah,
baik, buruk dan tanggung jawab pada perilaku manusia.3 Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) etika adalah “ilmu tentang apa yang baik dan apa yang
buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak)”.
Definisi etik yang paling umum adalah “prinsip-prinsip yang dipegang
teguh” (rules of conducts) dalam bekerja, melaksanakan tugas dan kewajiban.
Arti menurut KBBI adalah “kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan
akhlak; nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat”.4 Atas dasar tersebut semua profesi yang terkait dengan kepentingan

4
umum dan masyarakat telah memiliki kode etik profesi masing-masing yang
mengatur kewajiban dan larangan dalam menjalani profesi tersebut.

5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Surat Keterangan Kematian


Surat keterangan kematian (SKK) adalah surat yang menerangkan bahwa
seseorang telah meninggal dunia. Surat keterangan kematian berisi identitas, saat
kematian dan sebab kematian. Kewenangan penerbitan surat keterangan kematian
ini adalah dokter yang telah diambil sumpahnya dan memenuhi syarat
administratif untuk menjalankan praktik kedokteran.1
Surat keterangan kematian merupakan suatu keterangan tentang kematian
yang dibuat oleh dokter. Hal ini harus digaris bawahi dan dianggap penting,
karena dokter harus bertanggungjawab sepenuhnya terhadap hal-hal yang
berhubungan dengan pernyataan dan surat keterangan kematian.

Surat keterangan kematian biasa/alamiah penting dibuat untuk kepentingan


berbagai kalangan, seperti ahli waris (asuransi), statistik/sensus penduduk dan
instansi tempat korban bekerja, serta untuk pengurusan penguburan.

Pada saat menuliskan surat keterangan kematian, maka keadaan orang


sebelum meninggal tersebut dapat diperoleh dari rekam medis, keterangan dokter
yang merawat dirumah sakit/puskesmas/klinik dan dari keluarga yang meninggal
sebelum jenazah dikuburkan atau dikremasi.

Peran dokter dalam hal ini adalah :

1. Menentukan seseorang telah meninggal dunia (berhenti secara permanen


terhadap sirkulasi, respirasi dan neurologi, serta memastikan adanya tanda
awal pasti mati).
2. Melengkapi surat keterangan kematian bagian medis (menuliskan sebab
kematian, jika diperlukan pemeriksaan luar dan autopsi).
3. Jika jenazah idak dikenal, jenazah harus di identifikasi terlebih dahulu.

6
1.2 Fungsi Surat Keterangan Kematian2
Manusia hidup di dunia selalu tercatat. Manusia lahir tercatat dalam
bentuk akta kelahiran atau surat keterangan kelahiran. Jika suatu saat meninggal,
maka manusia juga seharusnya tercatat dalam surat keterangan kematian. Banyak
kegunaan dari pembuatan surat ketearangan kematian secara baik dan tepat,
dengan kegunaan diantaranya adalah :

 Untuk kepentingan pemakaman jenazah


 Kepentingan pengurusan asuransi
 Kepentingan pengurusan warisan
 Pengurusan pensiunan janda/duda
 Persyaratan menikah lagi
 Pengurusan hutang piutang
 Untuk tujuan hukum, pengembangan kasus kematian tidak wajar
 Kepentingan statistik

Dalam dunia kesehatan ,pencatatan atau pemberian surat


keterangan kematian penting dilakukan sebagai salah satu cara
pengumpulan data statistik penentuan suatu penyakit dan penyebab
kematian pada masyarakat.

1.3 Macam-macam Surat Keterangan Kematian


a. Surat Keterangan Kematian Biasa

Surat ini mencatat kematian individu yang meninggal secara


alamiah/wajar dan tidak berhubungan dengan suatu kekerasan, tetapi berada
dalam pengawasan dokter. Dimana dokter harus mengawasi selama waktu tertentu
sebelum meninggal dan telah mengadakan kunjungan profesional alam waktu 24
jam di saat kritis waktu cedera.

b. Surat Keterangan Kematian Oleh Dokter Forensik

7
Surat keterangan kematian yang dikeluarkan oleh dokter forensik dibuat
apabila dokter tidak dapat menentukan kematian ersebut karena alamiah/wajar
atau tidak alamiah/tidak wajar, maka dapat disarankan sebelum membuat surat
keterangan kematian, ditanyakan terlebih dahulu kepada penyidik yang akan
memberikan petunjuk terbaik untuk di ikuti.

1.4 Syarat Surat Keterangan Kematian


Kematian sebaiknya dilaporkan kepada pihak penyidik dengan benar.
Dokter dinasehatkan agar memberikan keterangan kepada penyidik secepat
mungkin pada kasus kematian mendadak, kematian dengan abortus, kematian
yang disebabkan oleh penyebab tidak alamiah/tidak wajar, kecelakaan yang
fatal, alkoholisme, kematian yang disebabkan oleh anestesi atau operasi/obat-
obatan. Keracunan yang fatal termasuk keracunan makanan, serta kematian
akibat/dalam pekerjaan juga harus dilaporkan. Setelah dilakukan pemeriksaan
oleh dokter, maka dapat dibuatkan surat keterangan kematian.
Surat keterangan kematian alamiah harus dihadiri oleh dokter sebelum
surat tersebut dikeluarkan. Pada surat keterangan kematian ini juga harus
dicantumkan penyebab dari kematiannya. Dokter yang membuat surat keterangan
kematian tersebut harus yakin bahwa orang tersebut benar-benar meninggal
dan/atau tidak dalam mati suri, serta yakin penyebab kematiannya adalah sebab
alamiah. Jika di curigai adanya penyebab kematian yang tidak alamiah/tidak
wajar, dokter harus melakukan pemeriksaan luar atau memberikan opsi untuk
dilakukan pemeriksaan dalam (autopsi) kepada jenazah.3
1.5 Isi Surat Keterangan Kematian

Keterangan yang diberikan pada surat keterangan kematian adalah :

 Yang berhubungan dengan kematian dan adanya keterangan dokter


secara terperinci, yaitu nama, usia, tempat dan tanggal kematian.
 Bagian yang menyatakan pelaporan penyebab kematian, yaitu :

8
Sebab primer, yaitu Immediate cause of death (Sebab kematian
segera) dan Countributery cause of death  (Sebab kematian
tambahan). Surat keterangan primer berisi tentang sebab utama
yang menyebabkan kematian. Sebab kematian segera adalah
komplikasi fatal yang dapat membunuh penderita yang berasal dari
sebab utama. Sedangkan sebab kematian tambahan merupakan
proses yang tidak ada hubungannya dengan sebab utama dan sebab
segera dari kematian, tetapi mempunyai tambahan resiko yang
menyebabkan kematian.
 Bagian terakhir dari surat keterangan kematian berisi tentang :
 Kehadiran dokter saat melihat keadaan kritis penyakit penderita.
 Penyebab kematian tersebut ditulis dengan benar, berdasarkan
keyakinan dan keilmuannya.

1.6 Tata Cara Pengeluaran Surat Keterangan Kematian


Surat keterangan kematian termasuk kedalam salah satu dari sekian
banyak surat keterangan yang dikeluarkan oleh dokter. Surat keterangan dokter
adalah surat keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter untuk tujuan tertentu
tentang kesehatan atau penyakit pasien, atas permintaan pasien atau dasar
perminaan pihak ketiga dengan persetujuan pasien atau atas perintah Undang-
Undang.
Surat keterangan kematian adalah surat yang menyatakan bahwa seseorang
sudah meninggal. Surat keterangan kematian dibuat atas dasar pemeriksaan
jenazah, minimal pemeriksaan luar. Dalam hal kematian berkaitan dengan tindak
pidana, pastikan bahwa prosedur hukum telah dilakukan sebelum dikeluarkannya
surat keterangan kematian. Suatu surat keterangan kematian tidak boleh
dikeluarkan atas seseorang yang meninggal diduga akibat suatu peristiwa
pidana/mati tidak wajar, tanpa pemeriksaan kedokteran forensik terlebih dahulu.
Pembuatan surat keterangan kematian harus dibuat secara hati-hati, mengingat
aspek hukum yang luas, mulai dari urusan pensiun, administrasi sipil, warisan

9
santunan asuransi, hingga adanya kemungkinan pidana sebagai penyebab
kematian.
Surat keterangan kematian minimal berisi identitas korban, tanggal
kematian, jenis pemeriksaan dan sebab kematian. Pada rumah sakit yang sudah
terdapat dokter spesialis Forensik dan sistem pengeluaran jenazah satu pintu ke
Bagian Forensik, maka surat keterangan kematian untuk seluruh jenazah yang
meninggal dirumah sakit dikeluarkan oleh dokter spesialis Forensik. Jika
kematian korban akibat suatu tindakan pidana, maka surat keterangan kematian
boleh dikeluarkan setelah dilakukan pemeriksaan forensik terhadap jenazah.

10
Contoh Surat Kematian

11
2.1 Informed Consent

12
Informed Consent teridiri dari dua kata yaitu “informed” yang berarti
informasi atau keterangan dan “consent” yang berarti persetujuan atau memberi
izin. jadi pengertian Informed Consent adalah suatu persetujuan yang diberikan
setelah mendapat informasi. Dengan demikian Informed Consent dapat di
definisikan sebagai pernyataan pasien atau yang sah mewakilinya yang isinya
berupa persetujuan atas rencana tindakan kedokteran yang diajukan oleh dokter
setelah menerima informasi yang cukup untuk dapat membuat persetujuan atau
penolakan. Persetujuan tindakan yang akan dilakukan oleh Dokter harus
dilakukan tanpa adanya unsur pemaksaan.

Istilah Bahasa Indonesia Informed Consent diterjemahkan sebagai


persetujuan tindakan medik yang terdiri dari dua suku kata Bahasa Inggris yaitu
Inform yang bermakna Informasi dan consent berarti persetujuan. Sehingga secara
umum Informed Consent dapat diartikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh
seorang pasien kepada dokter atas suatu tindakan medik yang akan dilakukan,
setelah mendapatkan informasi yang jelas akan tindakan tersebut.4

Informed Consent menurut Permenkes No.585 / Menkes / Per / IX / 1989,


Persetujuan Tindakan Medik adalah Persetujuan yang diberikan oleh pasien atau
keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan
terhadap pasien tersebut.

2.2 Dasar Hukum Informed Consent

Persetujuan tindakan Kedokteran telah diatur dalam Pasal 45 Undang –


undang no. 29 tahun 2004 tentang praktek Kedokteran. Sebagaimana dinyatakan
setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter
atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Persetujuan
sebagaimana dimaksud diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara
lengkap, sekurang-kurangnya mencakup : diagnosis dan tata cara tindakan medis,
tujuan tindakan medis yang dilakukan, alternatif tindakan lain dan risikonya,risiko
dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang

13
dilakukan.20 Persetujuan tersebut dapat diberikan baik secara tertulis maupun
lisan. Disebutkan didalamnya bahwa setiap tindakan kedokteran atau kedokteran
gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis
yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.5

Peraturan Menteri Kesehatan RI No.290/Menkes/Per/III/ 2008 tentang


persetujuan tindakan Kedokteran dinyatakan dalam pasal 1, 2, dan 3 yaitu :

Pasal 1

1. Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh


pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap
mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan
terhadap pasien.
2. Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-
anak kandung, saudara-saudara kandung atau pengampunya.
3. Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang selanjutnya disebut
tindakan kedokteran adalah suatu tindakan medis berupa preventif,
diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter atau
dokter gigi terhadap pasien.
4. Tindakan Invasif adalah suatu tindakan medis yang langsung dapat
mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh pasien.
5. Tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi adalah tindakan
medis yang berdasarkan tingkat probabilitas tertentu, dapat mengakibatkan
kematian atau kecacatan.
6. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan
dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi
baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh pemerintah
Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
7. Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut
peraturan perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak
terganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak

14
mengalami kemunduran perkembangan (retardasi) mental dan tidak
mengalami penyakit mental sehingga mampu membuatkeputusan secara
bebas.

Pasal 2
1. Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus
mendapat persetujuan.
2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara
tertulis maupun lisan.
3. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien
mendapat penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan
kedokteran dilakukan.
Pasal 3
1. Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus
memperoleh persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak
memberikan persetujuan.
2. Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dengan persetujuan lisan.
3. Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam
bentuk pernyataan yang tertuang dalam formulir khusus yang dibuat untuk
itu.
4. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan dalam
bentuk ucapan setuju atau bentuk gerakan menganggukkan kepala yang
dapat diartikan sebagai ucapan setuju.
5. Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dianggap meragukan, maka dapat dimintakan persetujuan tertulis.
Peraturan Informed Consent apabila dijalankan dengan baik antara
Dokter dan pasien akan sama-sama terlindungi secara Hukum. Tetapi
apabila terdapat perbuatan diluar peraturan yang sudah dibuat tentu
dianggap melanggar Hukum. Dalam pelanggaran Informed Consent telah
diatur dalam pasal 19 Permenkes No. 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan

15
Tindakan Kedokteran, dinyatakan terhadap dokter yang melakukan
tindakan tanpa Informed Consent dapat dikenakan sanksi berupa teguran
lisan, teguran tertulis sampai dengan pencabutan Surat Ijin Praktik.
Informed Consent di Indonesia juga di atur dalam peraturan berikut:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1992 tentang
Kesehatan.
2. Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI).
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 585/Men.Kes/Per/IX/1989
tentang Persetujuan Tindakan Medis.
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1419/Men.Kes/Per/X/2005
tentang Penyelanggaraan Praktik Kedokteran.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan.
6. Surat Keputusan PB IDI No 319/PB/A4/88.

2.3 Fungsi dan Tujuan Informed Consent6

Fungsi dari Informed Consent adalah

1. Promosi dari hak otonomi perorangan


2. Proteksi dari pasien dan subyek.
3. Mencegah terjadinya penipuan atau paksaan
4. Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk mengadakan
introspeksi terhadap diri sendiri.
5. Promosi dari keputusan-keputusan rasional
6. Keterlibatan masyarakat (dalam memajukan prinsip otonomi sebagai suatu
nilai social dan mengadakan pengawasan dalam penyelidikan biomedik.

Informed Consent itu sendiri menurut jenis tindakan / tujuannya dibagi


tiga, yaitu:

a. Yang bertujuan untuk penelitian (pasien diminta untuk menjadi subyek


penelitian).
b. Yang bertujuan untuk mencari diagnosis.

16
c. Yang bertujuan untuk terapi.

Tujuan dari Informed Consent menurut J. Guwandi adalah :

a. Melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang dilakukan tanpa


sepengetahuan pasien
b. Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat yang
tidak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap risk of treatment
yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter sudah mengusahakan
semaksimal mungkin dan bertindak dengan sangat hati-hati dan teliti.

2.4 Bentuk Persetujuan Informed Consent

Ada 2 bentuk Persetujuan Tindakan Medis, yaitu :

1. Implied Consent (dianggap diberikan)

Umumnya implied consent diberikan dalam keadaan normal, artinya


dokter dapat menangkap persetujuan tindakan medis tersebut dari isyarat yang
diberikan/dilakukan pasien. Demikian pula pada kasus emergency sedangkan
dokter memerlukan tindakan segera sementara pasien dalam keadaan tidak bisa
memberikan persetujuan dan keluarganya tidak ada ditempat, maka dokter dapat
melakukan tindakan medik terbaik menurut dokter.

2. Expressed Consent (dinyatakan)

Dapat dinyatakan secara lisan maupun tertulis. Dalam tindakan medis


yang bersifat invasive dan mengandung resiko, dokter sebaiknya mendapatkan
persetujuan secara tertulis, atau yang secara umum dikenal di rumah sakit sebagai
surat izin operasi.

Persetujuan tertulis dalam suatu tindakan medis dibutuhkan saat:

17
1. Bila tindakan terapeutik bersifat kompleks atau menyangkut resiko
atau efek samping yang bermakna.
2. Bila tindakan kedokteran tersebut bukan dalam rangka terapi.
3. Bila tindakan kedokteran tersebut memiliki dampak yang
bermakna bagi kedudukan kepegawaian atau kehidupan pribadi
dan sosial pasien.
4. Bila tindakan yang dilakukan adalah bagian dari suatu penelitian.
2.5 Pemberi Informasi dan Penerima Persetujuan

Pemberi informasi dan penerima persetujuan merupakan tanggung


jawab dokter pemberi perawatan atau pelaku pemeriksaan/ tindakan untuk
memastikan bahwa persetujuan tersebut diperoleh secara benar dan layak. Dokter
memang dapat mendelegasikan proses pemberian informasi dan penerimaan
persetujuan, namun tanggung jawab tetap berada pada dokter pemberi delegasi
untuk memastikan bahwa persetujuan diperoleh secara benar dan layak.

Seseorang dokter apabila akan memberikan informasi dan menerima


persetujuan pasien atas nama dokter lain, maka dokter tersebut harus yakin bahwa
dirinya mampu menjawab secara penuh pertanyaan apapun yang diajukan pasien
berkenaan dengan tindakan yang akan dilakukan terhadapnya–untuk memastikan
bahwa persetujuan tersebut dibuat secara benar dan layak.

2.6 Pemberi Persetujuan

Persetujuan diberikan oleh individu yang kompeten. Ditinjau dari segi


usia, maka seseorang dianggap kompeten apabila telah berusia 18 tahun atau lebih
atau telah pernah menikah. Sedangkan anak-anak yang berusia 16 tahun atau lebih
tetapi belum berusia 18 tahun dapat membuat persetujuan tindakan kedokteran
tertentu yang tidak berrisiko tinggi apabila mereka dapat menunjukkan
kompetensinya dalam membuat keputusan. Alasan hukum yang mendasarinya
adalah sebagai berikut:

18
1. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maka seseorang
yang berumur 21 tahun atau lebih atau telah menikah dianggap sebagai
orang dewasa dan oleh karenanya dapat memberikan persetujuan.
2. Berdasarkan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak maka
setiap orang yang berusia 18 tahun atau lebih dianggap sebagai orang
yang sudah bukan anak-anak. Dengan demikian mereka dapat
diperlakukan sebagaimana orang dewasa yang kompeten, dan oleh
karenanya dapat memberikan persetujuan.
3. Mereka yang telah berusia 16 tahun tetapi belum 18 tahun memang
masih tergolong anak menurut hukum, namun dengan menghargai hak
individu untuk berpendapat sebagaimana juga diatur dalam UU No 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maka mereka dapat
diperlakukan seperti orang dewasa dan dapat memberikan persetujuan
tindakan kedokteran 16 tertentu, khususnya yang tidak berrisiko tinggi.
Untuk itu mereka harus dapat menunjukkan kompetensinya dalam
menerima informasi dan membuat keputusan dengan bebas. Selain itu,
persetujuan atau penolakan mereka dapat dibatalkan oleh orang tua atau
wali atau penetapan pengadilan.

Sebagaimana uraian di atas, setiap orang yang berusia 18 tahun atau lebih
dianggap kompeten. Seseorang pasien dengan gangguan jiwa yang berusia 18
tahun atau lebih tidak boleh dianggap tidak kompeten sampai nanti terbukti tidak
kompeten dengan pemeriksaan. Sebaliknya, seseorang yang normalnya kompeten,
dapat menjadi tidak kompeten sementara sebagai akibat dari nyeri hebat, syok,
pengaruh obat tertentu atau keadaan kesehatan fisiknya. Anak-anak berusia 16
tahun atau lebih tetapi di bawah 18 tahun harus menunjukkan kompetensinya
dalam memahami sifat dan tujuan suatu tindakan kedokteran yang diajukan. Jadi,
kompetensi anak bervariasi bergantung kepada usia dan kompleksitas tindakan.

19
3.1 BIOMEDICAL ETHICS

Bioetik berasal dari bahasa yunani, yaitu : Bios yang artinya


kehidupan / makhluk hidup, dan ethike atau ethos yang artinya norma -
norma atau nilai – nilai moral. Bioetika merupakan indisipliner tentang
masalah yang ditimbulkan oleh perkembangan dibidang biologi dan ilmu
kedokteran baik skala mikro maupun makro, masa kini dan masa
mendatang.1

Etika biomedis berbicara tentang bidang medis dan profesi


kedokteran saja, terutama hubungan dokter dengan pasien, keluarga,
masyarakat, dan teman sejawat. Oleh karena itu, sejak tiga dekade terakhir
ini telah dikembangkan bioetika atau yang disebut juga dengan etika
biomedis.1

Menurut F. Abel, Bioetika adalah studi indisipliner tentang


masalah – masalah yang ditimbulkan oleh perkembangan biologi dan
kedokteran, tidak hanya memperhatikan masalah – masalah yang terjadi
pada masa sekarang, tetapi jug memperhitungkan timbulnya masalah pada
masa yang akan datang.2

ETIKA :

 Cabang ilmu filsafat yang mempelajari mortalitas (benar salah/baik


buruk dari sisi moral)
 Cakupan etika : pembuatan keputusan untuk membantu
membedakan membedakan yang baik dan buruk
 Etika : bagaimana mengetahuinya
 Moral : bagaimana melakukannya

Menurut GENE BLOKER, Etika adalah cabang ilmu filsafat moral


yang mencoba mencari jawaban guna menentukan dan mempertahankan
secara rasional teori yang berlaku secara umum tentang apa yang benar

20
dan salah, baik dan buruk, sebagai suatu perangkat prinsip moral yang
dapat dipakai sebagai pedoman bagi tindakan manusia.1

ISTILAH TERKAIT :

 Moral : standar tentang benar salah, yang dipelajari lewat proses


hidup bermasyarakat. Biasanya didasarkan dengan keyakinan
agama, budaya, dan adat istiadat. Umunya dikaitkan dengan
individu – individu atau kelompok – kelompok kecil, diwujudkan
sebagai perilaku yang diselaraskan dengan kebiasaan – kebiasaan
kelompok ataupun tradisi.
 Kode etik : daftar ketentuan tertulis ( written list) yang memuat
nilai – nilai dalam profesi, sekaligus sebagai standar berprilaku.
 Nilai : konsep atau keinginan ideal yang memberi arti kepada
kehidupan seseorang dan sekaligus sebagai acuan dalam membuat
keputusan dan bertindak. Sifatnya subjektif, dipengaruhi oleh
agama, hubungan keluarga, dll.
 Norma : wujud konkrit dan objek dari suatu nilai, sehingga dapat
digunakan untuk menentukan / menilai apakah seseorang telah
melanggar nilai – nilai yang telah ditentukan atau tidak.2

Biomedical ethics mencakup : etika klinik, etika profesi medis dan


bioetik. perbedaan bioetichal dengan bioetik adalah : biomedical
terkait dengan profesi dokter ( yaitu hanya pada manusia saja),
sedangkan boetik adalah etika yang mencakup semua makhluk hidup
baik manusia, hewan, dan tumbuhan.3

Etika terapan : membahas penerapan teori dasar etika ke dalam


bidang kehidupan manusia. Biomedical ethics :

 Etika klinik
 Etika profesi medis

21
 Bioetika

Etika Kedokteran :

Etika kedokteran dipelajari agar dapat mengenali situasi yang sulit


melalui cara yang benar sesuai prinsip dan rasional.

1. Pelopor etika kedokteran (Hippocrates)

 Konsep pengobatan secara profesi

 Janji “ kepentingan pasien diatas kepentingan sendiri”

 Etika berhubungan dengan hukum, namun tidak sama.

2. Nilai inti pengobatan

 Belas kasih

 Kompeten

 Otonomi ( sekarang potensial konflik)

3. Dasar etika kedokteran, nilai pengobatan dan hak azasi manusia.

Etika Profesi Medis :

 Mengatur perilaku profesi

 Standar perilaku disepakati dituangkan dalam kode etik dan


kebijakan. Indonesia ( IDI  KODEKI ), Dunia : WMA ethics
manual.

Standar etis resmi tidak selalu dapat diterapkan dalam setiap


situasi.

 Kebutuhan dasar manusia : fisiologik, psiko-sosial, intelektual,


spiritual.

22
 Dokter menentukan keputusannya sendiri, namun perlu diketahui
keputusan yang diambil oleh dokter lain dalam situasi yang sama
 standar pelayanan

 Kode etik merupakan konsensus umum yang harus diikuti.

 Pembuat keputusan ini, harus ada alasan baik, yang melandasi bila
terpaksa melanggarnya.

 Bila melanggar bisa ada konsekuensi hukum, bisa juga tidak.

 Dalam keadaan normal seorang dokter mengambil keputusan etis


mengacu kepada KODEKI

 Namun dalam suatu keadaan dokter mengalami “ dilema etik”


seperti : aborsi, euthanasia, transfusi.

 Keputusan pada dilema etik mengacu pada teori etika dan kaidah
dasar moral.2

Ethical Theory :

1. DEONTOLOGI

 Berasal dari kata “deon” yang berarti ikatan / kewajiban.

 Menentukan benar atau salah didasarkan pada perbuatan ( yang


menjadi tugas dan kewajiban seseorang)

 Dasar : prinsip yang tetap dan absolut.

2. TELEOLOGI

 Berasal dari kata “telos”, yang berarti tujuan.

 Menentukan benar atau salah didasarkan pada akibat (hasil) dari


perbuatan.

 Prinsip : utility (manfaat)

23
 Derivat : utiliarianism yang menentukan berguna tidaknya suatu
perbuatan dilihat dari akibatnya, sehingga perbuatan yang benar
akan menghasilkan kebaikan, sementara perbuatan yang salah akan
menghasilkan kerugian.

Ada empat kaidah dasar moral, yang sering juga disebut kaidah dasar
etika kedokteran atau bioetika, yaitu :

1. Beneficence
Dalam arti prinsip bahwa seorang dokter berbuat baik,
menghormati martabat manusia, dokter tersebut juga harus
mengusahakan agar pasiennya dirawat dalam keadaan sehat. Arti yang
lain adalah menyediakan kemudahan dan kesenangan kepada pasien
mengambil langkah positif untuk memaksimalisasi akibat baik
daripada hal yang buruk. Ciri prinsip itu :
 Mengutamakan alturisme.
 Mengusahakan agar manfaat lebih banyak dibanding dengan
buruknya.
 Memaksimalkan hak-hak pasien secara keseluruhan.
 Menerapkan Golden Rule Principle.
2. Non-Malficence
Adalah suatu prinsip yang mana seorang dokter tidak melakukan
perbuatan yang memperburuk pasien dan memilih pengobatan yang
paling kecil resikonya terhadap pasien
Ciri – ciri :
 Menolong pasien emergensi
 Mengobati pasien luka
 Tidak membunuh pasien
 Tidak memandang pasien sebagai objek
 Tidak membahayakan pasien karena kelalaian
 Melindungi pasien dari serangan.

24
3. Autonomi
Dalam prinsip ini seorang dokter menghormati martabat manusia.
Setiap individu harus diperlakukan sebagai manusia yang mempunyai
hak menentukan nasib diri sendiri. Dalam hal ini pasien diberi hak
untuk berfikir secara logis dan membuat keputusan sendiri.
Ciri – ciri :
 Menghargai hak menentukan nasib sendiri
 Berterus terang
 Menghargai privasi
 Menjaga rahasia pasien
 Melaksanakan inform concent.
4. Justice
Adalah suatu prinsip dimana seorang dokter memperlakukan sama
rata dan adil terhadap kebahagiaan dan kenyamanan pasien tersebut.
Perbedaan tingkat ekonomi, pandangan politik, agama, kebangsaan,
perbedaan kedudukan sosial tidak dapat mengubah sikap dokter
terhadap[ pasiennya. Ciri – ciri :
 Memberlakukan segala sesuatu secara universal
 Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia
lakukan
 Menghargai hak sehat pasien
 Menghargai hak hukum pasien.1,2,3

25
4.1 MEDICAL PROFFESIONALISM

Profesional :

 Bersangkutan dengan profesi.

 Memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya.

 Mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya.4

Menurut wikipedia Bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

 Seorang profesional adalah seseorang yang menawarkan


jasa atau layanan sesuai dengan protokol dan peraturan
dalam bidang yang dijalaninya dan menerima gaji sebagai
upah atas jasanya.

 Orang profesional tersebut juga merupakan anggota suatu


entitas atau organisasi yang didirikan sesuai dengan hukum
disebuah Negara atau wilayah.5

Profesionalisme:

 Mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri


suatu profesi atau orang yang profesional

Medical professionalism atau kedokteran profesionalisme


dapat didefinisikan sebagai perilaku kita sebagai dokter yang
profesional. Ini berkaitan dengan bagaimana kita merefleksikan
diri kita sebagai dokter dalam interaksi kita dengan pasien dan
masyarakat. Kedokteran profesionalisme adalah perilaku yang
didasarkan pada keyakinan pribadi kita dan ide kita, namun tetap
mengacu pada kaidah keprofesionalian seorang dokter. Ini
mencakup nilai-nilai, perilaku, dan sikap yang ditanamkankepada

26
kita oleh pendidikan sekolah medis tempat kita menuntut ilmu
kedokteran.4

Webster’s Collegiate Dictionary mendefinisikan medikal


profesionalisme sebagai tingkah laku, maksud dan kualitas yang
menunjukkan dan menandai sebagai seorang yang profesional.4

Medical proffesionalism adalah perilaku kita sebagai dokter. Hal


ini mengenai tingkah laku kita dalam berinteraksi dengan pasien dan
masyarakat. Tingkah laku kita berinteraksi dengan pasien dan masyarakat
inilah yang menjadi dasar kepercayaan yang mendalam dalam hubungan
dokter pasien yang baik.6

Hak dan kewajiban dokter secara umum :

1. Hak dokter
 Bekerja sesuai peraturan kedokteran yang berlaku serta
memperoleh perlindungan hukum ( Pasal 35 jo ps 50).
 Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi
dan standar prosedur operasional.
 Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari
pasien atau keluarganya.
 Menerima imbalan jasa.
 Diperlakukan sesuai Asas Hukum RI : Praduga tak
bersalah.
 Mendapat perlindungan HAM.
 Mendapat perlindungan peradilan hukum.
2. Kewajiban dokter :
 Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar
profesi dan standar prosedur operasional serta
kebutuhan pasien.

27
 Merujuk pasien ke dokter atau drg lain yang memiliki
keahlian / keterampilan yang lebih baik, apabila tidak
mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan.
 Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
pasien, bahkan setelah pasien meninggal, serta tunduk
pada tata cara pembukaan Rahasia Kedokteran menurut
hukum yang berlaku.
 Melakukan pertolongan darurat atas dasar kemanusiaan
 Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti
perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.
3. Kewajiban dokter kepada teman sejawat :
 Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya
sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.
 Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari
teman sejawat, kecuali dengan persetujuan atau
berdasarkan prosedur yang ada.
4. Kewajiban dokter terhadap diri sendiri :
 Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya
bekerja dengan baik.
 Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran kesehatan.
5. Kewajiban Dokter kepada Negara :
 Membayar pajak atas ijin rakteknya.
 Menjalankan profesi dokternya sesuai dengan undang-
undang yang ditetapkan oleh pemerintah.
 Bersedia untuk ditempatkan didarah terpencil sesuai
dengan Surat Keputusan dari pemerintah.
 Memberikan tenaga medisnya terhadap korban bencana
alam atau korban perang
6. Kewajiban dokter kepada masyarakat :

28
 Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan
kewajibannya melindungi untuk hidup insani.
 Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan
menggunakan segala ilmu yang dimiliki dan
keterampilannya untuk kepentingan masyarakat.
 Setiap dokter wajib memberikan kesempatan pada
penderita agar senantiasa dapat berhubungan dengan
keluarga dan penasehatnya dalam beribadat maupun
dalam masalah lainnya.
 Memberikan layanan kesehatan semaksimal mungkin
 Melayani atau menerima konsultasi
 Melakukan kaderisasi kepada masyarakat dalam bidang
kesehatan yang kompleks
 Menanggulangi penyakit atau wabah tertentu
 Memberikan penyuluhan / informasi kesehatan tertentu
kepada masyarakat
 Melaporkan apabila terjadi kejadian luar biasa
 Mengutamakan kepentingan masyarakat dan
memperhatikan segala aspek pelayanan kesehatan yang
menyeluruh, serta berusaha menjadi pendidik dan
pengabdi masyarakat yang sebenarnya
 Tidak boleh dipengaruhi pertimbangan keuntungan
pribadi
 Senantiasa berhati – hati dalam mengumumkan dan
menerapkan setiap temuan yang belum teruji
kebenarannya.
7. Hak dan kewajiban warga Negara :
 Hak yang sama dalam hukum dan pemerintahan, serta
wajib mendukung dalam hukum dan pemerintahan.
(pasal 27 ayat 1).

29
 Hak atas pekerjaan dan kehidupan yang layak (pasal 27
ayat 2)
 Hak dan kewajiban untuk ikut serta dalam upaya dalam
pembelaan Negara (pasal 27 ayat 3)
 Hak kemerdekaan untuk berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat dalam lisan dan tulisan (pasal
28)
 Hak dan kewajiban untuk memeluk agama dan
kepercayaan masing-masing, serta beribadah menurut
agamanya (pasal 29 ayat 2)
 Hak dan kewajiban untuk ikut serta dalam usaha
pertahanan dan keamanan Negara (pasal 30 ayat 1)
 Hak mendapatkan pengajaran ( pasal 31 ayat 1).

Dokter sebagai professional:

Seorang dokter wajib bertanggung jawab secara

1. Moral : terhadap sang pencipta


2. Etik : terhadap organisasi pemerintah
3. Disiplin : terhadap Konsil Kedokteran Indonesia dan MKDKI
4. Hukum : kedokteran, pidana, perdata, dan administrasi.

Didalam proses komunikasi antara dokter dan pasien sikap


professional ini sangatlah penting untuk membangun rasa aman,
nyaman dan percaya kepada dokter.4,6

30
5.1 REKAM MEDIS

5.1.1 Definisi Rekam Medis (Medical Record)


Pada waktu yang lalu dikalangan kesehatan dipakai istilah “status pasien”
yang bernada asing (Belanda). Orang kemudian berusaha mencari istilah yang
lebih sesuai menurut bahasa Indonesia sehingga muncul beberapa istilah seperti
catatan medik, dokumen medik dan lain-lain. Namun belakangan ini orang lebih
cenderung menggunakan istilah Rekam Medis sebagai terjemahan dari “Medical
Record”.1
Pengertian rekam medis dalam berbagai kepustakaan dapat disebutkan sebagai
berikut :
1. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No 269 pasal 1 tahun 2008, rekam
medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas
pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah
diberikan kepada pasien.2
2. Menurut IDI, rekam medis adalah rekaman dalam bentuk tulisan atau
gambaran aktivitas pelayanan yang diberikan oleh pemberi pelayanan
medis/kesehatan kepada seorang pasien.5

5.1.2 Isi Rekam Medis


Isi rekam medis adalah catatan lengkap tentang keadaan tubuh dan
kesehatan pasien yang dikelompokkan menjadi 4 komponen data, yaitu :
1. Data pribadi/identitas, berisi data : nama lengkap, nama orang tua,
nomor KTP, jeniskelamin, tempat dan tanggal lahir, alamat, status
perkawinan, pekerjaan, nama dokter dan lain-lain untuk keperluan
identifikasi.
2. Data finansial, berisi data : nama/alamat majikan/perusahaan tempat
bekerja,kedudukan,orang yang bertanggung jawab menanggung biaya,
perusahaan asuransi yang menanggung, tipe asuransi, nomor polis,
cara pembayaran.

31
3. Data sosial, berisi data : status dalam keluarga, kewarganegaraan atau
kebangsaan, keturunan, hobi dan kegemaran, gaya hidup dan lain-lain
mengenai data sosial pasien.
4. Data medik, berisi data : merupakan rekam klinis dari pasien yang
berisikan memuat hasil pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium,
riwayat penyakit, diagnosis, pengobatan yang diberikan, informed
consent, tindak medis, hasil rontgen, catatan keperawatan dan
catatam/laporan lain yang terjadi dan diberikan selama pasien
dirawat.3,5,6

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No 269 tahun 2008, isi rekam


medis untuk pasien rawat jalan pada sarana pelayanan kesehatan sekurang-
kurangnya memuat :2

a. Identitas pasien;
b. Tanggal dan waktu;
c. Hasil anamnesis mencakup sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat
penyakit;
d. Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik;
e. Diagnosis
f. Rencana penatalaksanaan;
g. Pengobatan dan/atau tindakan
h. Pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien;
i. Untuk pasien kasus gigi yang dilengkapi dengan odontogram klinik;
dan
j. Persetujuan tindakan bila diperlukan.
5.1.3 Penyimpanan, Pemusnahan, dan Kerahasiaan Rekam Medis
Pasal 8 Permenkes No 269 tahun 2008 menyatakan :2
1. Rekam medis pasien rawat inap di rumah sakit wajib disimpan
sekurang-kurangnya untuk jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung dari
tanggal terakhir pasien berobat atau dipulangkan.

32
2. Setelah batas waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilampaui, rekam medis dapat dimusnahkan, kecuali ringkasan
pulang dan persetujuan tindakan medik.
3. Ringkasan pulang dan persetujuan tindakan medik sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) harus disimpan untuk jangka waktu 10
(sepeuluh) tahun terhitung dari tanggal dibuatnya ringkasan tersebut.
4. Penyimpanan rekam medis dan ringkasan pulang sebagaimana
dimaksud pada (1), dan ayat (3) dilaksanakan oleh petugas yang
ditunjuk oleh pimpinan sarana pelayanan kesehatan.

Pasal 11 Permenkes No 269 tahun 2008 menyatakan :2

1. Penjelasan tentang isi rekam medis hanya boleh dilakukan oleh dokter
atau dokter gigi yang merawat pasien dengan izin tertulis pasien atau
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
2. Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dapat menjelaskan isi rekam
medis secara tertulis atau langsung kepada pemohon tanpa izin pasien
berdasarkan peraturan perundang-undangan

Pasal 48 Permenkes No 269 tahun 2008 menyatakan :2

1. Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran


wajib menyimpan rahasia kedokteran.
2. Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan
pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka
penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan
ketentuan perundang-undangan.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan
Peraturan Menteri.

Penyimpanan berkas RM adalah minimal 5 tahun sejak pasien terakhir


berobat. Dibandingkan dengan negara lain masa penyimpanan ini termasuk
singkat. Di Amerika Serikat, khususnya di negara bagian California masa
penyimpanan RM adalah selama 7 tahun. Untuk pasien anak-anak penyimpanan

33
berkasnya ada yang sampai yang bersangkutan berumur 21 tahun. Di Pensylvania
masa penyimpanan RM sampai 15 tahun.1,3

5.1.4 Kepemilikan Rekam Medis


Sesuai dengan pasal 12 Permemkes No 269 tahun 2008 :2
1. Berkas rekam medis milik sarana pelayanan kesehatan
2. Isi rekam medis merupakan milik pasien
3. Isi rekam medis sebagaiman dimaksud pada ayat (2) dalam bentuk
ringkasan rekam medis.
4. Ringkasan rekam medis sebagaiman dimaksud pada ayat (3) dapat
diberikan, dicatat, dicopy oleh pasien atau orang yang diberi kuasa
atau atas persetujuan tertulis pasien atau keluarga yang berhak untuk
itu.

Masalah kepemilikan rekam medis baru akan muncul apabila pasien dan
keluarga pasien dengan alasan tertentu seperti ingin pindah ke daerah lain yang
memerlukan rekam medis. Untuk memudahkan berobat ke dokter lain di termpat
yang baru, secara masuk akal tentu riwayat dan perjalanan penyakit yang diderita,
berikut segala pemeriksaan dan pengobatan yang telah diterimanya akan sangat
membantu dokter yang melanjutkan pengobatan dan perawatannya. Sementara itu
kita ketahui bahwa RM mempunyai banyak kegunaan bagi dokter maupun rumah
sakit seperti yang telah dikemukakan diatas.
Dalam situasi demikian ada beberapa kebijaksaan yang ditempuh oleh
dokter maupun rumah sakit (atas persetujuan dokter yang merawat dan direktur
RS), antara lain ada yang mengijinkan untuk menfotocopi seluruh berkas RM,
membuat ringkasan sesuai kebutuhan pasien, atau membuat resume akhir yang
akan diberikan kepada dokter/rumah sakit yang akan merawat pasien
selanjutnya.1,3

34
5.1.5 Kegunaan Rekam Medis
Rekam medis dalam perkembangannya sangat berguna dan dibutuhkan
oleh banyak pihak dengan kepentingan yang berbeda-beda, antara lain :
a. Administrative value : Rekam medis merupakan rekaman data
administrasi pelayanan kesehatan
b. Legal value : Rekam medis dapat dijadikan bahan pembuktian di
pengadilan dalam perkara hukum
c. Financial value : Rekam medis dapat dijadikan bahan dasar untuk
perincian biaya pelayanan yang harus dibayar oleh pasien
d. Research value : Data dalam rekam medis dapat dijadikan bahan untuk
penelitian dalam bidang kedokteran, keperawatan dan kesehatan.
e. Education value : Data dalam rekam medis dapat dijadikan bahan
untuk pengajaran dan pendidikan mahasiswa kedokteran, keperawatan
dan tenaga kesehatan lainnya.
f. Documentation value : Rekam medis merupakan saran penyimpanan
berbagai dokumen yang ada kaitannya dengan kesehatan pasien.3
Berdasarkan pasal 13 Permenkes No. 269 tahun 2008 :2
1. Pemanfaatan rekam medis dapat dipakai sebagai:
a. Pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasien;
b. Alat bukti dalam proses penegakan hukum, disiplin kedokteran dan
kedokteran gigi dan penegakan etika kedokteran dan etika
kedokteran gigi.
c. Keperluan pendidikan dan penelitian
d. Dasar pembayar biaya pelayanan kesehatan; dan
e. Data statistik kesehatan

Dalam kedokteran forensik, kegunaan rekam medis yang terpenting adalah


dalam pembuktian hukum, meliputi :

1. Dasar pembuatan Visum et Repertum korban hidup


2. Alat bukti di pengadilan (pasal 184 KUHAP)
3. Dasar bagi penyidik untuk melakukan penyidikan dan

35
4. Dasar untuk pembelaan dalam sengketa medis

Pembuktian hukum adalah upaya membuktikan bahwa benar telah terjadi


suatu tindak pidana dan bahwa benar si terdakwa adalah pelaku tindak pidana
tersebut.
Karena berfungsi sebagai pembuktian hukum, makan rekam medis harus
memuat secara rinci dan kronologis semua tindakan dan perjalanan penyakit
selama dirawat. Untuk dapat dijadikan pembuktian hukum, rekam medis harus
dibuat :
1. Dengan cermat, teliti, dan seksama (carefully)
2. Informasi harus ditulis relevan dengan keadaan pasien (relevance)
3. Data-data dibuat secara kronologis dari awal pasien ditangani sampai
akhir penanganan (chronologis)
4. Semua data dalam rekam medis harus asli (original entry). Perlu
diperhatikan tata cara koreksi (correction), missal dengan mencoret
lali diganti dan diparaf oleh dokter tidak dengan tip-ex. Pemberian
tambahan (addendum) keterangan harus jelas. Semua data dapat
ditulis atau diketik.
5. Dibuat oleh petugas kesehatan yang berwenang (authorization)
6. Semua data harus akurat (accurate) dan adekuat (adequate)
7. Data yang tertulis dalam rekam medis hanya informasi yang layak
diungkapkan (appropriate)
8. Data harus selengkap mungkin (completeness) dan sufisiensi
menggambarkan keadaan pasien (sufficient detailed)
9. Bahasa yang digunakan mudah dimengerti dan pemakaian singkatan
yang bersifat umum (language and abbreviation)4-9
Rekam medis yang baik akan membantu pembuktian hukum dan menjadi
alat bukti yang penting dalam penegakan hukum. Rekam Medis yang bernilai
hukum adalah rekam medis yang memuat :
1. Semua informasi yang dibutuhkan

36
2. Adanya komunikasi antara tenaga medis (Health Care Provider)
dengan pasien (Health Care Reciever)
3. Disusun secara kronologis.4

Lebih lanjut peran rekam medis dalam kedokteran forensik meliputi:4

1. Rekam medis sebagai dasar pembuatan Visum et Repertum korban hidup


Korban hidup akibat tindak pidana biasanya tidak langsung menuju ke
kantor polisi, melainkan ke rumah sakit atau praktek dokter guna
mendapat pertolongan pertama sehingga sering korban datang tanpa surat
permintaan visum (SPV) dari penyidik dan SPV baru diterima setelah
beberapa hari pemeriksaan. Keterlambatan SPV bisa diterima asalkan
dengan alasan yang masih bersifat reasonable. Keadaan dianggap
reasonable apabila :
a. Keterlambatan melapor karena korban masih memerlukan penanganan
medis yang segera akibat tindak pidana tersebut
b. Keterlambatan karena sulitnya transportasi dan komunikasi.
c. Keterlambatan karena adanya keadaan yang memaksa, yang dimaksud
dalam keadaan memaksa meliputi adanya daya paksa (overmacth),
kedaruratan (noodtoestand) . Kedaruratan dapat terjadi akibat benturan
antara dua kewajiban hukum, benturan antara dua kepentingan hukum
dan benturan antara kewajiban dan kepentingan hukum. Misalnya anak
dengan tanda – tanda “child abuse” disatu pihak sebagai kewajiban
dokter harus menjaga kerahasiaan hasil pemeriksaan yang ditemukan
pada anak untuk tidak diungkapkan kepada orang lain (confidensiality)
sebagai kewajiban hukum dokter, dipihak lain agar si anak tidak
mendapat perlakuan kasar kembali demi kepentingan hukum si anak,
dokter harus meninggalkan kewajiban hukumnya untuk membuka
rahasia kedokteran bila tidak ingin ditahan karena menghambat
peradilan (obstruction of justice).

Rekam medis secara hukum telah menjadi “barang bukti” setelah ada
surat permintaan visum dari penyidik.4,6

37
2. Sebagai media komunikasi antara dokter pemeriksan dengan dokter
forensic
Dengan adanya Rekam medis maka terjadi komunikasi yang lebih baik
dan mempunyai nilai hukum antara dokter yang memberi pelayanan medis
dengan dokter forensik yang memberikan pelayanan forensik pada pasien.
Data – data dalam rekam medis memudahkan dokter forensik untuk
mengumpulkan, mencatat, menganalisa dan menginterpertasikan bukti –
bukti medis.4,7,10
3. Kausalitas pada pembelaan sengketa medis
Pembuktian sengketa medis memerlukan pembuktian ada tidaknya
tindakan yang sub-standar. Pembuktian pada kasus sengketa medis
menyangkut dua pembuktian yaitu pertama adalah bukti faktual (factual
proof) sebagai bukti yang dapat diobservasi secara nyata yang tertuang
dalam catatan rekam medis kemudian baru pembuktian hukum (legal
proof) sebagai bukti adanya pertanggungjawaban petugas kesehatan. Kata
kunci yang sering dipakai hakim dalam penanganan kasus sengketa medis
adalah :
a. Petugas kesehatan yang memberikan pelayanan mempunyai
kompetensi yang diperlukan dalam tindakan medis tersebut
(reassonable competence).
b. Informasi kepada penderita lengkap dan adekuat sehingga pasien dapat
mengerti dan memahami dalam menyetujui tindakan medis yang
diberikan (reassonable communication).
c. Tindakan yang dilakukan sesuai dengan standar (reassonable care).
d. Pembuatan rekam medis yang baik(good record)sesuai dengan
adagium “good record good defence, bad record bad defence, no
record no defence”.

Data – data dalam rekam medis yang benar dapat memberi gambaran
adatidaknya hubungan kasualitas antara tindakan medis dengan kerugian
(damages) seperti yang ditunutkan oleh pasien. Data – data rekam medis

38
yang lengkap dan kronologis dapat menunjukan bahwa kegagalan medis
(medical adverse out come) tidak semata – mata oleh karena kelalaian
medis (medical negligence) tetapi dapat juga oleh karena beberapa faktor
lain seperti (1) perjalanan alamiah penyakit yang diderita oleh pasien. (2)
resiko selama tindakan medis yang tidak diduga sebelumnya
(unforseenable risk). (3) kecelakaan medis (medical mishap). (4) hasil
yang tak dapat diduga sebelumnya (untoward result) dan tidak dapat
dihindari (unavoidable).5,7,8,9,10

4. Dasar pembuatan sertifikasi seperti Surat Keterangan Medis (SKM)


Sertifikasi dalam pelayanan kedokteran adalah berupa Surat Keterangan
Medis, dimana penerbitan surat keterangan medis dibuat berdasarkan data-
data dalam RM atas seijin pasien, kecuali Visum et Repertum. Surat
keterangan Medis adalah keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter untuk
tujuan tertentu tentang kesehatan atau penyakit pasien, atas permintaan
pasien atau permintaan pihak ketiga dengan persetujuan pasien atau atas
perintah Undang-Undang.4,7

5.1.6 Aspek Medikolegal Rekam Medis


Pada kasus malpraktik medis, keperawatan maupun farmasi, RM
merupakan salah satu bukti tertulis yang penting, karena berdasar atas informasi
dan data yang terdapat dalam RM maka petugas hukum serta Majelis Hakim dapat
menentukan apakah telah terjadi tindakan malpraktik, bagaimana terjadinya
tindakan malpraktik dan untuk menentukan siapa yang bersalah dalam kasus
malpraktik tersebut.3
Aspek medikolegal lainnya adalah ketika seorang petugas kesehatan
dituntut karena membuka rahasia kedokteran (isi Rekam Medis) ke pihak ketiga
tanpa ijin pasien atu bahkan karena menolak memberitahukan isi RM (yang
merupakan milik pasien) ketika pasien menanyakannya. Membuka isi RM dapat
dilakukan oleh seorang petugas kesehatan dengan cara sengaja memberitaukan
kepada orang lain, atau secara tidak sengaja yaitu saat ia membicarakan keadaan
pasiennya dengan petugas lainnya di depan umum atau menaruh RM tidak pada

39
tempatnya sehingga orang yang tidak berkepentingan dapat melihatnya. Akibat
membuka isi RM tersebut maka petugas kesehatan dapat dituntut karena
membuka rahasia kedokteran dengan sanksi pidana, melanggar pasal 322 KUHP
dengan ancaman hukuman selama-lamanya 9 bulan.3,7,11

6.1 MALPRAKTIK
A. Praktik Kedokteran

6.1.1 Definisi Malpraktik

Malpraktik merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu
berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” memiliki arti “salah”, “praktek”
memiliki arti “pelaksanaan” atau “tindakan” sehingga malpraktik berarti
“pelaksanaan atau tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.
Dari segi hukum, malpraktik dapat terjadi karena suatu tinndakan yang disengaja
(intentional) seperti pada misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence)
ataupun suatu kekurangmahiran/ketidak kompetenan yang tidak beralasan. 12,13
Kata “malpraktik” tidak ditemukan dalam peraturan perundang-undangan
di Indonesia, melainkan menggunakan istilah kelalaian.
Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk,yaitu :
a. Malfeasance, berarti melakukan tindakan yang melanggar hokum atau
tidak tepat. Misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang
memadai.
b. Misfeasance, berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat
tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat. Misalnya, melakukan tindakan
medis dengan menyalahi prosedur.
c. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan
kewajiban baginya.
Jika dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika
kedokteran, ia hanya telah melakukan malpraktik etik. Untuk dapat menuntut
penggantian kerugian (perdata) karena kelalaian, penggugat harus dapat
membuktikan adanya 4 unsur berikut:

40
1. Adanya suatu kewajiban bagi dokter terhadap pasien.
2. Dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipergunakan.
3. Penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.
4. Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan di bawah standar.

6.1.2 Jenis-jenis Malpraktik


Ngesti Lestari dan Soedjatmiko membedakan malpraktik medik menjadi
dua bentuk yaitu, malpraktik etika (ethical malpractice) dan malpraktik yuridis
(yuridical malpractice), ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum. Setiap
malpraktik yuridik sudah pasti malpraktik etik, tetapi tidak semua malpraktik
etika merupakan malpraktik yuridik.14
 Malpraktik etik15

Malpraktik etik adalah dokter melakukan tindakan yang bertentangan dengan


etika kedokteran, sedangkan etika kedokteran yang dituangkan di dalam KODEKI
merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku
untuk dokter.

Ngesti Lestari berpendapat bahwa malpraktik etik ini merupakan dampak


negatif dari kemajuan teknologi kedokteran. Kemajuan teknologi kedokteran yang
sebenarnya bertujuan untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi
pasien, dan membantu dokter untuk mempermudah menentukan diagnosa dengan
lebih cepat, lebih tepat dan lebih akurat sehingga rehabilitasi pasien bisa lebih
cepat, ternyata memberikan efek samping, yang tidak diinginkan. Efek samping
ataupun dampak negatif dari kemajuan teknologi kedokteran tersebut antara lain :
1) Kontak atau komunikasi antara dokter dengan pasien semakin
berkurang;
2) Etika kedokteran terkontaminasi dengan kepentingan bisnis;
3) Harga pelayanan medis semakin tinggi, dan sebagainya.
Contoh konkrit penyalahgunaan kemajuan teknologi kedokteran yang
merupakan malpraktik etik ini antara lain :

41
1) Di bidang diagnostik;
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap pasien, kadangkala
tidak diperlukan bilamana dokter mau memeriksa secara lebih teliti. Namun
karena laboratorium memberikan janji untuk memberikan hadiah kepada dokter
yang mengirimkan pasiennya, maka dokter kadang-kadang bisa tergoda juga
mendapatkan hadiah tersebut.
2) Di bidang terapi.
Berbagai perusahaan yang menawarkan antibiotika kepada dokter
dengan janji kemudahan yang akan diperoleh dokter bila mau menggunakan obat
tersebut, kadang-kadang juga bisa mempengaruhi pertimbangan dokter dalam
memberikan terapi kepada pasien. Orientasi terapi berdasarkan janji-janji pabrik
obat yang sesungguhnya tidak sesuai dengan indikasi yang diperlukan pasien juga
merupakan malpraktik etik.

 Malpraktik Yuridik
Soedjatmiko membedakan malpraktik yuridik ini menjadi tiga bentuk,
yaitu : malpraktik perdata (civil malpractice), pidana (criminal
malpractice), dan administratif (administrative malpractice).
1) Malpraktik Perdata (Civil Malpractice)
Malpraktik perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan
tidak dipenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) di dalam transaksi terapeutik oleh
dokter atau tenaga kesehatan lain, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum
(onrechmatige daad), sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien. Adapun isi
daripada tidak dipenuhinya perjanjian tersebut dapat berupa :
a) Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan;
b) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan,
tetapi terlambat melaksanakannya;
c) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, tetapi
tidak sempurna dalam pelaksanaan dan hasilnya;
d) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya
dilakukan.

42
Untuk perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum haruslah
memenuhi beberapa syarat, seperti :
a) Harus ada perbuatan (baik berbuat maupun tidak berbuat);
b) Perbuatan tersebut melanggar hukum (tertulis ataupun tidak tertulis);
c) Ada kerugian;
d) Ada hubungan sebab akibat (hukum kausal) antara perbuatan
melanggar hukum dengan kerugian yang diderita;
e) Adanya kesalahan (schuld).
Untuk dapat menuntut pergantian kerugian (ganti rugi) karena kelalaian
dokter, maka pasien harus dapat membuktikan adanya empat unsur berikut :
a) Adanya suatu kewajiban dokter terhadap pasien;
b) Dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim
dipergunakan;
c) Penggugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan
ganti ruginya;
d) Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan di bawah
standar.
Namun, adakalanya seorang pasien (penggugat) tidak perlu membuktikan
adanya kelalaian dokter (tergugat). Dalam hukum ada kaidah yang berbunyi “res
ipsa loquitor”, yang artinya fakta telah berbicara. Misalnya, karena kelalaian
dokter, terdapat kain kasa yang tertinggal dalam perut sang pasien. Akibat
tertinggalnya kain kasa di perut pasien tersebut, timbul komplikasi paska bedah,
sehingga pasien harus dilakukan operasi kembali. Dalam hal demikian, dokterlah
yang harus membuktikan tidak adanya kelalaian pada dirinya .

2) Malpraktik Pidana (Criminal Malpractice)15


Malpraktik pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau
mengalami cacat akibat dokter atau tenaga kesehatan lainnya kurang hati-hati atau
kurang cermat dalam melakukan upaya penyembuhan terhadap pasien yang
meninggal dunia atau cacat tersebut.

43
a) Malpraktik pidana karena kesengajaan (intensional), misalnya pada
kasus-kasus melakukan aborsi tanpa indikasi medis, euthanasia,
membocorkan rahasia kedokteran, tidak melakukan pertolongan pada
kasus gawat padahal diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa
menolong, serta memberikan surat keterangan dokter yang tidak benar;
b) Malpraktik pidana karena kecerobohan (recklessness), misalnya
melakukan tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan
standar profesi serta melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan
tindakan medis;
c) Malpraktik pidana karena kealpaan (negligence), misalnya, terjadi
cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan dokter yang
kurang hati-hati atau alpa dengan tertinggalnya alat operasi di dalam
rongga tubuh pasien.

3) Malpraktik Administratif (Administrative Malpractice)15


Malpraktik administratif terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan
lain melakukan pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang berlaku,
misalnya menjalankan praktik dokter tanpa lisensi atau ijin praktek, melakukan
tindakan yang tidak sesuai dengan lisensi atau ijinnya, menjalankan praktik
dengan ijin yang sudah kadaluarsa, dan menjalankan praktik tanpa membuat
catatan medik.
6.1.3 Sanksi Malpraktik
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
a. Pasal 359 “Barangsiapa karena salahnya menyebabkan matinya orang
dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-
lamanya satu tahun.”
b. Pasal 360 “Barangsiapa karena salahnya menyebabkan orang luka berat
dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-
lamanya 1 tahun.”
c. Pasal 361 “Barangsiapa karena salahnya menyebabkan orang menjadi
sakit atau tidak dapat menjalankan jabatannya atau pekerjaanya sementara,

44
dihukum dengan selamalamanya sembilan bulan atau hukuman selama-
lamanya enam bulan atau hukumkan denda setinggi-tingginya Rp
4.500.000,00.

2. Undang-Undang Praktik Kedokteran


a. Pasal 75 ayat 1 “Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja
melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 ayat 1 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00.
b. Pasal 76 Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan
praktik kedokteran tanpa meliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud
dalam pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau
denda paling banyak Rp 100.000.000,00
c. Pasal 79 Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun atau
denda paling banyak Rp 50.000.000,- setiap dokter atau dokter gigi yang :
1) Dengan sengaja tidak memasang papan nama
2) Dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud
dalam
3) Dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban.
6.1.4 Sanksi Pelanggaran Disiplin
Pelanggaran disiplin di bidang kedokteran diatur dalam Peraturan Konsil
Kedokteran Indonesia (Perkonsil) Nomor 16 tahun 2006 tentang Tata Cara
Penanganan Kasus Dugaan Pelanggaran Disiplin Dokter dan Dokter Gigi oleh
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Sesuai dengan pasal 27 ayat
(2), dokter yang terbukti bersalah melakukan pelanggaran disiplin kedokteran
diberikan sanksi disiplin. Sanksi disiplin ini diputuskan pada sidang Majelis
Pemeriksa Disiplin (MPD), yang merupakan keputusan Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) atau keputusan Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia di tingkat Provinsi(MKDKI-P) yang
mengikatnya.Sanksi disiplin tersebut dijelaskan lebih lanjut pada pasal 28 ayat
(1).16

45
Sanksi disiplin yang diberikan dapat berupa :
 Pemberian peringatan tertulis
 Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik;
dan/atau
 Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan
kedokteran atau kedokteran gigi.
Rekomendasi pencabutan STR atau SIP sementara selama-lamanya 1 tahun.16
6.1.5 Usaha-usaha menghindari malpraktek17
1. Semua tindakan sesuai indikasi medis
Pelayanan kesehatan, dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai kompetensi memiliki surat ijin tugas mengingat
informed consent dan rekam medik serta rahasia jabatan atau
rahasia kesehatan dari hasil pemeriksaan kesehatan. Pemeriksaan
berdasarkan indikasi medis, standar pelayanan, protap pelayanan
dengan memperhatikan dan menjelaskan berbagai resiko penyakit,
keadaan pasien, dan tindakan kesehatan selanjutnya tenaga
kesehatan harus menerapkan etika umum dan profesi dan bila tidak
mungkin bisa ditangani yang bukan kompetensinya harus di rujuk
atau diserahkan kepada tenaga kesehatan yang memiliki
kompetensi.
2. Bekerja sesuai standar profesi
Pada pasal 2 kodeki, disebutkan bahwa, “Seorang dokter harus
senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan
standar profesi yang tertinggi”. yang dimaksud dengan ukuran
tertinggi dalam melakukan profesi kedokteran adalah yang sesuai
dengan ilmu kedokteran mutakhir, sarana yang tersedia,
kemampuan pasien, etika umum, etika kedokteran, hukum dan
agama. ilmu kedokteran yang menyangkut segala pengetahuan dan
keterampilan yang telah diajarkan dan dimiliki harus dipelihara dan
dipupuk, sesuai dengn fitrah dan kemampuan dokter tersebut. Etika
umum dan etika kedokteran harus diamalkan dalam melaksanakan

46
profesi secara tulus ikhlas, jujur dan rasa cinta terhadap sesama
manusia, serta penampilan tingkah laku, tutur kata dan berbagai
sifat lain yang terpuji, seimbang dengan martabat jabatan dokter.
Standar Profesi Kedokteran yang diterbitkan oleh Pengurus Besar
Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
3. Membuat informed consent
Informed consent adalah persetujuan atau izin oleh pasien (atau
keluarga yang berhak) kepada dokter untuk melakukan tindakan
medis atas dirinya, setelah kepadanya oleh dokter yang
bersangkutan diberikan informasi atau penjelasan yang lengkap
tentang tindakan itu. Mendapat penjelasan lengkap itu adalah salah
satu hak pasien yang diakui oleh undang-undang sehingga dengan
kata lain informed consent adalah Persetujuan Setelah Penjelasan.
Suatu informed consent harus meliputi :
- Dokter harus menjelaskan pada pasien mengenai tindakan,
terapi dan penyakitnya.
- Pasien harus diberitahu tentang hasil terapi yang diharapkan
dan seberapa besar kemungkinan keberhasilannya.
- Pasien harus diberitahu mengenai beberapa alternatif yang ada
dan akibat apabila penyakit tidak diobati
- Pasien harus diberitahu mengenai risiko apabila menerima atau
menolak terapi
- Risiko yang harus disampaikan meliputi efek samping yang
mungkin terjadi dalam penggunaan obat atau tindakan
pemeriksaan dan operasi yang dilakukan.
Ketiadaan informed consent dapat menyebabkan tindakan
malpraktek dokter, khususnya bila terjadi kerugian atau
intervensi terhadap tubuh pasiennya. Kecuali dalam keadaan
gawat darurat informed consent tetap merupakan hal yang
paling penting walaupun prioritasnya diakui paling bawah.

47
Prioritas yang paling utama adalah tindakan menyelamatkan
nyawa.
4. Mencatat semua tindakan yang dilakukan
Tanggung jawab utama akan kelengkapan rekam medis terletak
pada dokter yang merawat. Tahap memperdulikan ada tidaknya
bantuan yang diberikan kepadanya dalam melengkapi rekam medis
oleh staf lain di rumah sakit. Dokter mengemban tanggung jawab
terakhir akan kelengkapan dan kebenaran isi rekam medis. Data
harus dipelajari kembali, dikoreksi dan ditanda tangani juga oleh
dokter yang merawat. Pada saat ini banyak rumah sakit
menyediakan staf bagi dokter untuk melengkapi rekam medis.
Namun demikian tanggung jawab utama dari isi rekam medis tetap
berada pada dokter yang bertanggung jawab.
5. Apabila ragu-ragu konsultasikan dengan konsulen
Apabila saat akan melakukan tindakan terhadap pasien, dokter
yang melaksanakan tindakan dapat berkonsultasi dengan dokter
penanggung jawab pasien (DPJP). Pada saat emergency, dokter
berhak melakukan upaya penyelamatan nyawa pasien terlebih
dahulu. Rekam Medis harus diberi data yang cukup terperinci,
sehingga dokter lain dapat mengetahui bagaimana pengobatan dan
perawatan kepada pasien dan konsulen dapat memberikan pendapat
yang tepat setelah dia memeriksanya ataupun dokter yang
bersangkutan dapat memperkirakan kembali keadaan pasien yang
akan datang dari prosedur yang telah dilaksanakan.
6. Memperlakukan pasien secara manusiawi
Dokter yang baik akan memerlakukan pasiennya secara manusiawi
dan profesional. Mereka mendegarkan keluhan pasien dengan
cermat, tidak menginterupsi keluhan mereka, seta memiliki rasa
empati dengan penyakit yang diderita oleh mereka. Dokter yang
baik tidak memeriksa pasien secara tergesa-gesa sekedar karena
ingin cepat-cepat menyelesaikan konsultasi dan memanggil

48
pasienberikutnya. Dengan memiliki sense kemanusiaan yang
tinggi, dokter yang baik selalu menjaga kerahasiaan pasien dan
tidak membiarkan orang lain mengetahui keluhan dan kondsi
pasiennya. Dokter seperti ini melihat pasiennya sebagai manusia
dan karena itu memperlakukan mereka secara manusiawi.
7. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga, dan
masyarakat sekitar Menurut hukum perdata, hubungan profesional
antara dokter dengan pasien dapat terjadi karena 2 hal, yaitu:
- Berdasarkan perjanjian (ius contractu). Kontrak berupa
terapeutik secara sukarela antara dokter dengan pasie
berdasarkan kehendak bebas. Tuntutan dapat dilakukan bila
terjadi "wanprestasi", yakni pengingkaran terhadap hal yang
diperjanjikan. Dasar tuntutan adalah tidak, terlambat, salah
melakukan, ataupun melakukan sesuatu yang tidak boleh
dilakukan menurut perjanjian itu.
- Berdasarkan hukum (ius delicto). Berlaku prinsip siapa
merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi. Rumusan
perjanjian atau kontrak menurut hukum perdata ialah suatu
tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukan secara sukarela
oleh dua orang atau lebih, yang bersepakat untuk memberikan
"prestasi" satu kepada lainnya. "Prestasi" berupa usaha
penyembuhan yang sebaikbaiknya dan pasien selain melakukan
pembayaran, ia juga wajib memberikan informasi secara benar
atau mematuhi nasihat dokter.

7.1 Norma Praktik Kedokteran


“Etika kedokteran merupakan seperangkat perilaku anggota profesi
kedokteran dalam hubungannya dengan klien/pasien, teman sejawat dan
masyarakat umumnya serta merupakan bagian dari keseluruhan proses
pengambilan keputusan dan tindakan medik ditinjau dari segi norma-
norma/nilai-nilai moral”.1

49
Tujuan pendidikan etika dalam pendidikan dokter untuk menjadikan calon
dokter lebih manusiawi serta memiliki kematangan intelektual dan emosional. Hal
ini didasarkan pada pemikiran pendidik terdahulu mengenai pentingnya pedoman
agar anggotanya dapat menjalankan profesi dokter dengan baik dan benar.1 Hal
tersebut mendorong mereka untuk membuat rambu-rambu yang mengingatkan
peserta didik untuk menghindari perbuatan yang tidak layak.
Pasal 1 butir 11 Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran berbunyi “Profesi kedokteran atau kedokteran gigi suatu pekerjaan
kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan,
kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan berjenjang dan kode etik yang
bersifat melayani masyarakat”.5
Hakikat profesi kedokteran adalah bisikan nurani dan panggilan jiwa untuk
mengabdikan diri pada kemanusiaan berlandaskan moralitas yang kental dengan
prinsip kejujuran, empati, keadilan, keikhlasan, dan kepedulian kepada sesama
dalam rasa kemanusiaan, rasa kasih sayang serta ikut merasakan penderitaan
orang lain yang kurang beruntung.1
“Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan
dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di
dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia
sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.5
Dokter adalah pihak yang mempunyai keahlian di bidang kedokteran yang
dianggap pakar dalam bidang kedokteran. Dokter adalah orang yang memiliki
kewenangan dan izin sebagaimana mestinya untuk melakukan pelayanan
kesehatan, khususnya memeriksa dan mengobati penyakit berdasarkan peraturan
yang berlaku dalam pelayanan kesehatan.

7.2 Kode Etik Kedokteran Indonesia


Tujuan dari etika profesi dokter untuk menghindari terjadinya
perkembangan yang tidak baik terhadap profesi dokter dan mendorong agar
dokter bersikap profesional dalam kesehariannya. 1 Etika kedokteran Indonesia
merupakan sekumpulan nilai dan moralitas profesi kedokteran yang tercantum

50
dalam KODEKI, fatwa-fatwa etik, pedoman dan kesepakatan etik lainnya dari
IDI.2
Etika kedokteran secara umum dibuat untuk meningkatkan profesionalisme,
pengetahuan, pemahaman, penghayatan, pengamalan kaidah dasar bioetika dan
etika kedokteran dalam profesinya sebagai seorang dokter. Etika kedokteran
dirumuskan untuk menjaga keluhuran profesi, meredam konflik etikolegal,
penjeraan sekunder perilaku kurang etis, dan menjaga hubungan antara dokter dan
pasien sebagai hubungan kepercayaan.6
Menurut surat keputusan pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia NO.
221 /PB/A.4/04/2002 tentang Penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia; Kode
Etik Kedokteran Indonesia disusun dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu: kewajiban
dokter, yaitu kewajiban umum, kewajiban kepada pasien, kewajiban kepada diri
sendiri dan teman sejawatnya.6

7.2.1. Kewajiban Umum7

Pasal 1 Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan


sumpah dokter.

Dokter lulusan Fakultas Kedokteran di Indonesia wajib melafalkan


sumpah/janji dokter yang ada dalam PP No. 26 Tahun 1960 didepan pimpinan FK
yang bersangkutan dalam suasana khidmat. Aturan ini juga berlaku untuk dokter
lulusan luar negeri/asing yang akan bekerja menjadi dokter di Indonesia, dimana
mereka harus diambil sumpah di depan pemimpin IDI dan penjabat kesehatan
setempat.7

Pasal 2 Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya


sesuai dengan standar profesi yang tertinggi.

Pengambilan keputusan profesional kedokteran oleh dokter ditujukan pada


sikap, tindak dan perilaku dokter yang memiliki niat baik yang konsisten,

51
kesungguhan dan ketuntasan kerja, integritas ilmiah dan sosial yang menjadi
wujud dari integritas moral serta kejujuran intelektual sebagai komponen etis
altruistik deontologik berdasarkan suatu standar profesi.7
Hal ini disebabkan karena sarana dan prasarana setiap tempat pelayanan
eksehatan berbeda. Dokter yang berada di faskes dengan sarana prasarana serta
semua komponen pengelolaan teknis medis pasien yang ideal wajib secara
independen melaksanakan/mempertahankan standar profesi tertinggi semata-mata
sebagai wujud keberpihakan/toleransinya bagi kepentingan terbaik pasien.7

Pasal 3 Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh


dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan
kemandirian profesi.

Hubungan antara dokter dengan industri farmasi atau alat kesehatan serta
jasa ikutannya memang tak dapat dipisahkan, tetapi hubungan yang berpotensi
melanggar kode etik kedua pihak harus diakhiri. Hal ini seperti ibarat lereng yang
licin (the slippery slope) dimana dokter tergelincir menjadi pedagang yang
menganggap sah komisi, diskon dan lain lain yang memberatkan pasien/
keluarganya yang tengah menderita atau pihak ketiga yang menanggungnya.
Dokter memiliki kekuasaan besar untuk menentukan pilihan produk/ barang/jasa
tersebut, sehingga sepantasnya etika kedokteranlah yan gmenjadi rem kekuasaan
ini. Dokter harus memiliki rasa tanggungjawab daripada kebebasannya yang
menjadi ciri bahwa profesi dokter adalah profesi yang luhur.7

Pasal 4 Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat
memuji diri.

Seorang dokter tidak boleh takabur, sombong dan memujidiri diri sendiri
walaupun telah banyak menyembuhkan pasien, karena yang menyembuhkan
sesungguhnya hanyalah Tuhan Yang Maha Esa. Dokter harus sadar bahwa
pengetahuan, ketrampilan profesi dan hasil pengobatan terhadap pasiennya

52
merupakan karunia, kemurahan dan ridhoNya semata yang pada suatu saat pasti
berakhir.7
Pelayanan kedokteran merupakan kompleks yang saling bergantung antara
berbagai komponen pemberi pelayanan. Andil teman sejawat dan tenaga
kesehatan lain dalam tataran macho, peran pengelola administratif, manajemen
fasilitas pelayanan, pengurus IDI dan pejabat dinas kesehatan di wilayah tempat
tinggalnya dalam tataran meso serta peran Pemerintah dan organisasi profesi
tingkat pusat dalam tataran makro tak dapat dikesampingkan.7
Kesuksesan dokter khususnya senior seyogyanya menjadi ajang sebagai
model panutan (pilar alih budaya etika) bagi sejawat yunior dengan
mencontohkan perilaku yang rendah hati, menciptakan suasana kebersamaan,
melakukan kaderisasi dan membuat tatanan kerja untuk memantapkan sistem
etikolegal di tempat bekerja bersamanya (pilar etika sosial).7

Pasal 5 Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan
psikis maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien,
setelah memperoleh persetujuan pasien.

Kaitan badan/tubuh dan jiwa/mental pada manusia tidak terpisahkan.


Melemahkan daya tahan psikis dan sik adalah sesuatu yang bertentangan dengan -
trah/tugas ilmu kedokteran dan tidak dapat dibiarkan karena akan membahayakan
nyawa atau memperberat penderitaan penderita, kecuali dalam hal yang dapat
dibenarkan.7
Hal yang dimasuksud dapat dibenarkan adalah pembiusan pra-
bedah/anestesi untuk kejang atau nyeri tak tertahankan. Pasien memiliki otonomi
apabila akan terpapar risiko akibat perjalanan penyakitnya sendiri maupun
tindakan/obat yang akan diberikan. Dokter wajib memberikan informasi yang
maksimal sebelum memulainya, kecuali bila pasien tersebut tidak mampu
mengerti dan/atau memahami atau terdapat gangguan kapasitas otonominya
sehingga dapat diwakilkan.7

53
Pasal 6 Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan
menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji
kebenarannya dan hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.

Dokter harus menyadari bahwa perbuatannya dapat dapat mempengaruhi


pendapat masyarakat luas, sebaliknya reaksi menyimpang masyarakat tersebut
dapat kembali mempengaruhi persepsi mereka terhadap seluruh korsa kedokteran.
Hal ini menyebabkan seseorang dokter harus hati-hati dalam mengumumkan hasil
penelitian, teknik dan pengobatan yang belum diuji kebenarannya atau dapat
menimbulkan keresahan masyarakat.7

Pasal 7 Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang
telah diperiksa sendiri kebenarannya.
Pasal 7a Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan
pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya,
disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat
manusia.
Pasal 7b Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien
dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui
memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan
penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasien.
Pasal 7c Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak
sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan
pasien.
Pasal 7d Setiap dokten harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi
hidup makhluk insani.

Dokter yang memberikan surat keterangan dan/atau pendapat ahli untuk


kepentingan bukan kesehatan, tetapi kepentingan hukum/medikolegal dalam arti
luas dan peradilan harus menjamin kebenaran terhadap apa yang diterangkannya.
Penerbitan surat keterangan dan/atau pendapat ahli dilaksanakan sesuai ketentuan

54
perundang-undangan yang berlaku sehingga harus memperhatikan kewenangan
pihak berwenang yang memintanya serta klien/pasien yang akan diperiksa.7
Dokter harus bersikap adil, imparsial dan independen serta menjaga jarak
apabila kedua belah pihak memiliki kepentingan yang berbeda. Dokter harus
memahami bahwa fungsi dokter adalah sebagai pengobat pasien dan pemeriksa
adalah dua hal berbeda walaupun sama-sama dapat dimintakan membuat surat
keterangan dan/atau pendapat ahli.7
Dokter memiliki 3 tanggungjawab profesi, antara lain kepada diri sendiri
(responsibility) dalam rangka menjalankan kebebasan teknis profesi berdasar
kompetensi masing-masing, kepada teman sejawat dan lingkungan kerja
(accountability) dan klien/pasien sebagai pihak ketiga (liability). Profesionalisme
dihasilkan oleh tanggungjawab moral, kasih sayang dan penghormatan hak asasi
manusia karena pasien merupakan wujud insan bermartabat.7
Dokter tidak boleh membiarkan sejawatnya terjebak dalam kekeliruan yang
secara sadar atau tidak sadar berpotensi merugikan pasien atau menurunkan
martabat profesi, apalagi melalui pelanggaran hukum yang dapat menyebabkan
kehinaan profesi. Kewajiban saling menjaga harkat dan martabat kedokteran
menimbulkan kekokohan korsa profesi. Hal ini merupakan pasal profesi luhur
yang berdimensi etika sosial/kesejawatan yang unik.7
Kewajiban tertinggi dokter mengedepankan panggilan nurani untuk
menolong pasien sebagai manusia yang tengah menderita. Pasien merupakan
pribadi unik yang menjadi tujuan bagi hidupnya sendiri, bukan sebagai obyek
untuk diintervensi dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Penghormatan hak-hak
pasien dan teman sejawat yang merupakan bagian dari kewajiban dokter akan
menjaga kepercayaan pasien, agar dapat mempercepat kesembuhannya.7
Dokter harus berperan menjadi pamomong atau penjaga serta pelestari
kehidupan manusia yang menjadi penyandang hak asasi, mulai dari saat
pembuahan sampai meninggal dunia. Setiap manusia adalah ciptaan Tuhan Yang
Maha Esa. Seseorang yang menjadi klien/pasien seberapa beratpun
penyakit/kecacatannya harus dijaga dengan mengerahkan segala kemampuannya
untuk memelihara kehidupan alamiah pasiennya dan tidak mengakhirinya.7

55
Pasal 8 Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan
kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan
yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun
psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang
sebenar-benarnya.

Tanggung jawab dokter terdiri dari manusia sehat dan/atau sakit yang
dimulai dari masa prapatogenesa hingga paliatif, secara individu atau komunitas/
masyarakat yang memerlukan tindakan medik baik jenis biasa maupun intervensif
ataupun tindakan bimbingan/penasehatan individual hingga ke pendidikan
masyarakat untuk mengubah perilaku sakit menjadi sehat.7
Kesehatan merupakan keadaan dan upaya yang kompleks dengan indikator
positif pada kesejahteraan, kebugaran, keindahan, dan kedamaian hidup bersama.
Keutuhan dan kemenyeluruhan pelayanan kedokteran dan kesehatan inilah yang
menjadikan dokter sebagai manusia berwawasan luas/generalis yang dibutuhkan
masyarakat yang menempatkan tingginya kedudukan sosial dokter. hal ini
membuat dokter harus mampu bekerjasama dengan semua unsur kepemerintahan,
swasta dan lapisan masyarakat termasuk inter dan antar masyarakat profesi
apapun.7

Pasal 9 Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang
kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat, harus saling menghormat.

Percabangan keilmuan atau pelayanan sebaiknya dikendalikan oleh etika.


Dokter harus melaksanakan perannya secara perorangan, kelompok, atau tim
karena masalah kesehatan tidak dapat ditangani oleh satu disiplin saja, bahkan di
bidang kedokteran pun muncul percabangan ilmu yang memerlukan jenis
kompetensi tersendiri.7
Ketika bekerja dalam tim, dokter harus menghormati keahlian dan peran
setiap anggota tim, menjaga hubungan professional, menjalin komunikasi yang

56
baik, memastikan siapa penanggung jawab tim (dokter penanggung jawab pasien),
dan memastikan pasien mendapatkan pelayanan yang baik dan profesional.
Dokter secara etis dapat mengundurkan diri apabila memiliki alasan kuat dan
selanjutnya hal tersebut secara baik kepada pemimpin tim agar kepentingan pasien
tidak terabaikan.7

7.2.2. Kewajiban Dokter Terhadap Pasien7

Pasal 10 Setiap dokten wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala
ilmu dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak
mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan
pasien,ia wajib menujuk pasien kepada dokten yang mempunyai keahlian dalam
penyakit tersebut.

Sikap tulus ikhlas yang dimaksud dalam pasal ini adalah sikap yang
dilakukan demi menjaga kehormatan profesi luhur kedokteran dan perilaku terpuji
seorang dokter yang ditandai oleh ramah tamah, sopan santun dan berwibawa
terhadap pasien; berkemauan sepenuh hati, teliti dan hati-hati menolong dengan
mengutamakan kepentingan kesehatan pasien seutuhnya; bersungguh hati dan
bertanggung jawab atas semua tindakan mengabdi yang semata-mata ditujukan
untuk kepentingan pasien; empati, turut merasakan dan berkeinginan untuk segera
mengatasi permasalahan kesehatan pasien; dan tidak memikirkan imbalan materi
atau keuntungan pihak lain.
Konsultasi merupakan upaya meminta pendapat, saran dan nasehat dari
dokter lain. Merujuk adalah upaya menyerahkan pasien kepadadokter lain (secara
vertikal atau horizontal). Keduanya bertujuan membantu pasien mendapatkan
pelayanan yang lebih baik.7
Konsultasi horizontal terutama untuksesamadokter spesialis karena pada
hakekatnya tubuh manusia itu utuh dan bukan hanya sekedar kumpulan sistem,
organ ataujaringan belaka yang seringkali dijadikan ciri spesialisasi. Pihak
terujuk/terkonsultasikan harus lebih mampu, ahli dan mau menangani lebih baik.7

57
Konsultasidan rujukan selain karena keterbatasan perujuk, juga agar
menghindari kemungkinan kesalahan diagnosis, pengobatan maupun pelayanan
medis yang dapat merugikan pasien. Rawat bersama adalah bekerja dalam tim
yang saling berkonsultasi tentang penyakit-penyakit yang diderita satu penderita.7

Pasal 11 Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar


senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam
beribadat dan atau dalam masalah lainnya.

Pasien adalah mahluk psiko-sosial, kultural dan spiritual atau singkatnya


biokultural. Kesembuhan atau keparahan penyakit pasien ditentukan juga oleh
kondisi psikis, dukungan/konstruksi sosial, lingkungan budaya dan keyakinan
spiritual. Pemberian kesempatan berinteraksi antara pasien dan keluarga atau
penasehatnya dimaksudkan agar melalui kerjasama tim yang terintegrasi atau
tersinergikan, semua persepsi positif pasien tentang sakit/penyakitnya dapat
diperkuat sedangkan persepsi negatif dapat dihilangkan. Menjalankan ibadah
sesuai dengan agama/kepercayaan yang dianutnya selama tidak mengganggu
pasien lainnya, mengajukan saran usul perbaikan atas perlakukan rumah sakit
terhadap dirinya, menerima atau menolak bimbingan moral maupun spiritual,
memperoleh perlindungan sewaktu diadakan penelitian kesehatan. Hal ini sangat
diperlukan pada pengobatan penyakit kronis, gangguan mental/spiritual,
disabilitas, kecacatan, pasien berkebutuhan khusus, paliatif, atau fase akhir
kehidupan.7

Pasal 12 Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya


tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.

Dokter wajib menjaga kerahasiaan dari hasil pemeriksaan atau apapun yang
diketahuinya menyangkut seorang pasien. Kewajiban ini ada untuk melindungi
hak asasi pasien sebagai individu bermartabat. Hal ini cerminan dari aliran mutlak

58
(absolut) kewajiban simpan rahasia kedokteran. Namun dalam kehidupan
supermodern saat ini terdapat juga aliran relatif.7

Pasal 13 Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu
memberikannya.

Pertolongan darurat yang dimaksud adalah pertolongan yang secara ilmu


kedokteran harus segera dilakukan untuk mencegah kematian, kecacatan, atau
penderitaan yang berat pada seseorang. Seorang dokter wajib memberikan
pertolongan keadaan gawat darurat atas dasar kemanusiaan jika memungkinkan
meskipun tidak saat bertugas. Rasa yakin dokter akan ada orang lain yang
bersedia dan lebih mampu melakukan pertolongan darurat seyogyanya dilakukan
secara cermat sesuai keutamaan profesi untuk menjunjung sikap dan rasa ingin
berkorban demi kepentingan umum.7

7.2.3. Kewajiban Dokter Terhadap Teman Sejawat7

Pasal 14 Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri


ingin diperlakukan.
Sesama dokter sebagai sejawat sebenarnya ingin saling diperlakukan sama
oleh teman sejawatnya (golden rule). Konteks ini adalah kesetaraan hubungan
antar sejawat, tidak ada salah satu yang diduga berperilaku menyimpang. Makna
berikutnya ialah agar setiap dokter menahan diri untuk tidak membuat sulit,
bingung, kecewa/marah sejawatnya sehingga terwujud organisasi profesi
yangtangguh dengan tradisi luhur pengabdi profesi sebagai model panutannya.7

Pasal 15 Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dan teman sejawat,
kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.

59
Kekerapan kasus “berebut pasien” diharapkan akan menurun di era BPJS
yang menggunakan sistem kapitasi, walaupun kemungkinan masih ada pada
daerah yang menerapkan fee for services. Setiap dokter seyogyanya memahami
dan menyadari bahwa toleransi adalah kunci dari penegakan etik kesejawatan ini.
Pada umumnya, jika seseorang sudah percaya pada seorang dokter maka dokter
tersebut akan terus dicari pasien walaupun jauh dari rumahnya.7
Saat ini di kota besar perkembangan pengetahuan masyarakat umum sudah
maju. Penyakit dengan pengobatannya akan lebih terbuka dengan tele-health
care, e-health, menggunakan teknologi informasi-komunikasi. Beberapa
ketentuan globalisasi dimasa depan akan menjadi pemicu perubahan tentang etika
penggunaan second opinion untuk tujuan kesehatan atau hukum. Keduanya harus
berbeda perlakuannya. Pemberian obat yang kurang rasional khususnya pada
orangtua dan anak berpeluang menimbulkan konik etikolegal. Seorang dokter
haru spaham, bahwa seseorang pasien yang telah kehilangan kepercayaan pada
seorang dokter, tidakdapat dipaksa untuk kembali mempercayainya.7
Dokter yang memahami itu sebaiknya menerima pasien yang bersangkutan
dan berusaha menasehatinya agar kembali ke dokter pertama dan bila pasien tidak
bersedia, dokter kedua tidak dapat dikatakan merebut pasien dari pihak pertama.
Sangat tidak etis apabila mengganti obat dokter pertama dan mencela perbuatan
dokter pertama di hadapan pasien, padahal belum sempat diamati efeknya dan
karena semata-mata mendengar keluhan pasien dan tidak sabar dan terburu waktu.
Penggantian atau penghentian obat dapat dilakukan bila kita sebagai dokter kedua
yakin bahwa perngobatan dari dokter yang terdahulu memang nyata keliru,
menimbulkan efek samping atau tidak diperlukan lagi dan bijaksanalah jika
dasarnya dikemukakan.7
Setiap dokter wajib menghormati pengetahuan pasien yang ia peroleh
sebelumnya secara aktif dari sumber terbuka publik, termasuk internet, buku
populer, dan informasi publik lainnya. Bila jelas terdapat kekeliruan pemahaman
yang membahayakan diri pasien, dokter dengan sabar, arif dan hati-hati wajib
meluruskannya.7

60
7.2.4. Kewajiban Dokter Terhadap Diri Sendiri7

Pasal 16 Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja


dengan baik.

Kondisi tidak layak praktik meliputi penyakit berbahaya yang berpotensi


menularkan ke pasiennya, atau terdapat hendaya bermakna pada dirinya yang
menurunkan ketrampilan dan keahliannya seperti penyalahguna alkohol atau
penyalahgunaan dan ketergantungan obatobatan.7
Pelanggaran kewajiban ini dikategorikan sebagai tindakan tercela secara
kehormatan profesi. Seorang dokter wajib berusaha mengikuti acara ilmiah atau
yang diakreditasi IDI, karena setiap 5 (lima) tahun secara perundang-undangan
dibutuhkan untuk persyaratan permintaan pembaharuan Surat Tanda Kompetensi,
guna penerbitan Surat Tanda Registrasi (STR) dan akhirnya untuk mendapatkan
Surat Ijin Praktik (SIP).7

Pasal 17 Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu


pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan


adalah termasuk aspe ketik kedokteran, disiplin dan hukumnya. Seorang dokter
wajib mengikuti kursus, pelatihan dan acara ilmiah yang diakreditasi IDI, guna
memperoleh SKP untuk mempertahankan kompetensinya. Surat tanda kompetensi
ini pada saatnya menjadi syarat dalam memperbaharui STR di KKI gunamengurus
Izin Praktik, dalam siklus 5 (lima) tahunan.7

7.3. Disiplin Kedokteran


Disiplin Kedokteran adalah aturan-aturan dan atau ketentuan penerapan
keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh dokter dan dokter
gigiUndang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Pasal 55
ayat (1)). Penegakan Disiplin adalah penegakan aturan-aturan dan/atau ketentuan

61
penerapan keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh dokter
dan dokter gigi (Bab II Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia nomor
17/KKI/KEP/VIII/2006 tentang Pedoman Penegakan Disiplin Profesi
Kedokteran).
Bentuk pelanggaran disiplin kedokteran, menurut Keputusan Konsil Kedokteran
Indonesia nomor 17/KKI/KEP/VIII/2006 tentang Pedoman Penegakan Disiplin
Profesi Kedokteran:5,8
1. Melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten.
2. Tidak merujuk pasien kepada dokter atau dokter gigi lain yang
memilikikompetensi sesuai.
3. Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang
tidak memiliki kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut.
4. Menyediakan dokter atau dokter gigi pengganti sementara yang tidak
memiliki kompetensi dan kewenangan yang sesuai, atau tidak
melakukan pemberitahuan perihal penggantian tersebut.
5. Menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi tingkat kesehatan fisik
ataupun mental sedemikian rupa sehingga tidak kompeten dan
dapatmembahayakan pasien.
6. Dalam penatalaksanaan pasien, melakukan yang seharusnya tidak
dilakukanatau tidak melakukan yang seharusnya dilakukan, sesuai
dengan tanggung jawab profesionalnya, tanpa alasan pembenar atau
pemaaf yang sah, sehinggadapat membahayakan pasien.
7. .Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak
sesuaidengan kebutuhan pasien.
8. Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis dan memadaikepada
pasien atau keluarganya dalam melakukan praktik kedokteran.
9. Melakukan tindakan medik tanpa memperoleh persetujuan dari pasien
ataukeluarga dekat atau wali atau pengampunya.
10. Dengan sengaja, tidak membuat atau menyimpan rekam
medik,sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan atau
etika profesi.

62
11. Melakukan perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan kehamilan
yangtidak sesuai dengan ketentuan, sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan dan etika profesi.
12. Melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien atas
permintaan sendiri dan atau keluarganya .
13. Menjalankan praktik kedokteran dengan menerapkan pengetahuan
atauketerampilan atau teknologi yang belum diterima atau di luar tata
cara praktik kedokteran yang layak.
14. Melakukan penelitian dalam praktik kedokteran dengan
menggunakanmanusia sebagai subjek penelitian, tanpa memperoleh
persetujuan etik (ethical clearance)dari lembaga yang diakui
pemerintah.
15. Tidak melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan,
padahaltidak membahayakan dirinya, kecuali bila ia yakin ada orang
lain yang bertugasdan mampu melakukannya.
16. Menolak atau menghentikan tindakan pengobatan terhadap pasien
tanpaalasan yang layak dan sah sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan atau etika profesi.
17. Membuka rahasia kedokteran, sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan atau etika profesi.
18. Membuat keterangan medik yang tidak didasarkan kepada hasil
pemeriksaan yang diketahuinya secara benar dan patut.
19. Turut serta dalam perbuatan yang termasuk tindakan penyiksaan
(torture)atau eksekusi hukuman mati.
20. Meresepkan atau memberikan obat golongan narkotika, psikotropika
dan zatadiktif lainnya (NAPZA) yang tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dan etika profesi.
21. Melakukan pelecehan seksual, tindakan intimidasi atau tindakan
kekerasanterhadap pasien, di tempat praktik.
22. Menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi yang bukan
haknya.

63
23. Menerima imbalan sebagai hasil dari merujuk atau meminta
pemeriksaanatau memberikan resep obat/alat kesehatan.
24. Mengiklankan kemampuan/pelayanan atau kelebihan kemampuan/
pelayanan yang dimiliki, baik lisan ataupun tulisan, yang tidak benar
ataumenyesatkan.
25. Ketergantungan pada narkotika, psikotropika, alkohol serta zat adiktif
lainnya.
26. Berpraktik dengan menggunakan Surat Tanda Registrasi (STR) atau
SuratIjin Praktik (SIP) dan/atau sertifikat kompetensi yang tidak sah.
27. .Ketidakjujuran dalam menentukan jasa medik.
28. Tidak memberikan informasi, dokumen dan alat bukti lainnya
yangdiperlukan MKDKI untuk pemeriksaan atas pengaduan dugaan
pelanggarandisiplin.

7.4. Penegakkan Etik dan Disiplin Kedokteran


Pelanggaran dalam bidang profesi kedokteran dapat berupa pelanggaran
etika disiplin maupun hukum. Ketiga hal ini tidak dapat dispisahkan satu sama
lain. Berikut ilustrasi mengenai cakupan antara ketiga aspek tersebut dalam
profesi.8 Hal pertama yang harus diingat bahwa sanksi yang diberikan adalah hasil
keputusan manusia dan bukan semata reaksi sebabakibat dari alam, sehingga
harus ada individu atau institusi yang memiliki kuasa yang lebih dominan
dibandingkan pelaku.9
Sanksi dapat berupa pencabutan atau pembekuan hak pelaku yang bersifat
sementara. Berat ringannya sanksi biasanya ditentukan pemilik kuasa berdasarkan
kerugian atau beban yang dialami pihak korban. Syarat pemberian sanksi adalah
dianggap bersalah oleh pemilik kuasa, meskipun dapat saja bukan benar-benar
bersalah pada kenyataannya.9

64
Alur tatalaksana pelanggaran etik dan disiplin

Mekanisme pemberian sanksi diatur dalam Pedoman Organisasi dan Tata


Laksana Kerja Organisasi (ORTALA) MKEK. Pemberian sanksi terhadap dokter
terhukum/pelanggar etik dapat berupa penasihatan, peringatan lisan, peringatan
tertulis, pembinaan perilaku, pendidikan ulang (re-schooling), hingga pemecatan
keanggotaan IDI, baik secara sementara atau pun permanen. Pada umumnya
sanksi etik tersebut bersifat pembinaan, kecuali pemecatan keanggotaan yang
bersifat permanen atau pencabutan keanggotaan seumur hidup.9
Mekanisme pemberian sanksi oleh MKEK diawali dari masuknya
pengaduan yang sah, dilanjutkan dengan proses penelaahan kasus yang diadukan.
Pada akhir penelaahan, Ketua MKEK menetapkan kelayakan kasus untuk
disidangkan oleh majelis pemeriksa yang akan melakukan sidang kemahkamahan
hingga tercapai keputusan MKEK.9
Bila terbukti terdapat bukti pelanggaran etik, maka majelis akan menetapkan
sanksi sesuai dengan berat ringannya kesalahan dokter teradu. Pelaksanaan sangsi
dilakukan oleh Divisi Pembinaan Etika Profesi MKEK untuk dan atas nama
pengurus IDI setingkat.9

65
Menurut Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia nomor
15/KKI/PER/VIII/2006 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia di Tingkat Provinsi, Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia (Indonesian Medical Disciplinary Board), yang selanjutnya disebut
MKDKI, adalah lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya
kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapandisiplin ilmu
kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi.
MKDKI merupakan lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia.
Hal tersebut diatur dalam pasal 55 Undang-Undang Republik Indonesia nomor
29tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia bertanggung jawab kepada Konsil Kedokteran Indonesia.
Menurut pasal 57 Undang-Undang Republik Indonesia nomor 29 tahun2004
tentang Praktik Kedokteran, Majelis Kehormatan Disiplin KedokteranIndonesia
berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia.
Kehormatan Disiplin Kedokteran di tingkat provinsi dapat dibentuk oleh
Konsil Kedokteran Indonesia atas usul Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia. Pimpinan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia terdiri
atas seorangketua, seorang wakil ketua, dan seorang sekretaris. Keanggotaan
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia terdiri atas 3 (tiga) orang
dokter dan 3 (tiga) orang dokter gigi dari organisasi profesi masing-masing,
seorang dokter dan seorang dokter gigi mewakili asosiasi rumah sakit, dan 3 (tiga)
orang sarjana hukum.
Berdasarkan pasal 60 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran, anggota Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia ditetapkan oleh Menteri atas usul organisasi profesi.
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDI) dan Konsil
Kedokteran Indonesia (KKI) dibentuk oleh Departemen Kesehatan.
Rencana pembentukan MKDI dan KKI dilakukan melalui pembahasan
bersama organisasi profesi, asosiasi, institusi pendidikan kedokteran. Dokter yang
sudah menjalankan praktik tidak akan terlepas dari kemungkinan pelanggaran/

66
kelalaian medik. Untuk itu diperlukan proses pendisiplinan dokter praktik. Proses
pendisiplinan menganut kaidah-kaidah "hukum" disiplin profesi kedokteran.
Hukuman maksimal dari proses penegakan disiplin adalah pencabutan registrasi
dokter yang melanggar/lalai.

7.5. Euthanasia
Euthanasia merupakan tindakan yang tidak banyak terjadi dalam dunia
medis, tetapi tetap terjadi meskipun dalam jumlah yang sedikit. Euthanasia
berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang berarti indah, bagus, terhormat atau
gracefully and with dignity dan Thanatos yang berarti mati. Jadi secara
etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Sedangkan
secara harafiah, euthanasia tidak dapat diartikan sebagai pembunuhan atau upaya
menghilangkan nyawa seseorang.10,11
Tindakan euthanasia kadangkala dapat dikaitkan dengan tindakan bunuh
diri. Dan tindakan ini sama jahatnya dengan tindakan membunuh orang lain.
Perbedaannya hanya pada objek kejahatannya, jika biasanya kepada orang lain,
tetapi kejahatan ini terhadap diri sendiri. Meskipun seseorang memiliki hak
atasdirinya, tetapi ia tidak memiliki hak sepenuhnya atas dirinya tersebut. Di
beberapa Negara seperti Amerika Serika, seseorang yang gagal melakukan bunuh
diri dapat dipidana. Juga di Israel, perbuatan percobaan bunuh diri merupakan
perbuatan yang dilarang dandiancam pidana.10,11
Indonesia melalui pasal 344 KUHP jelas tidak mengenal hak untuk mati
dengan orang lain. Banyak orang berpendapat bahwa hak untuk mati adalah hak
azasi manusia, hak yang mengalir dari “hak untuk menentukan diri sendiri” (the
right of self determination/TROS) sehingga penolakan atas pengakuan terhadap
hak atas mati, adalah pelanggaran terhadap hak azasi manusia yang tidak
dapat disimpangi oleh siapapun dan menuntut penghargaan serta pengertian
yang penuh pada pelaksanaannya.10,11
Eutanasia yang seringkali disebut mercy killing adalah pencabutan
kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan
rasa sakit atau rasa sakit minimal—memberikan kematian tenang dan mudah atas
dasar perikemanusiaan—biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan

67
yang mematikan. Euthanasia sampai saat ini masih dipandang tidak sesuai etika
yang dianut bangsa, sehingga Indonesia tidak melegalkannya: Eutanasia
melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP.10–12
Di Indonesia, kasus eutanasia pernah mencuat pada pengujung 2004, saat
Hasan Kesuma, suami dari Agian Isna Nauli, mengajukan ke Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat untuk mengakhiri penderitaan istrinya. Namun permohonan itu
ditolak oleh pengadilan. Hasan mengajukan upaya permohonan eutanasia karena
"tidak tega menyaksikan Agian yang telah tergolek koma selama dua bulan", di
samping itu ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan
merupakan suatu alasan pula. Kasus ini salah satu contoh bentuk eutanasia yang di
luar keinginan pasien.

7.5.1. Jenis-Jenis Euthanasia


Euthanasia dilakukan dengan berbagai cara. Ada beberapa jenis euthanasia
yang telah digolongkan oleh dunia medis. Dari penggolongan Euthanasia, yang
paling praktis dan mudah dimengerti adalah.8,11
Euthanasia aktif
Tindakan secara sengaja dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain
untuk memperpendek atau mengakhiri hidup pasien. Merupakan tindakan yang
dilarang, kecuali di negara yang telah membolehkannya lewat peraturan
perundangan.
Euthanasia pasif
Dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak lagi memberikan
bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien, misalnya menghentikan
pemberian infus, makanan lewat sonde, alat bantu nafas, atau menunda operasi.
Auto euthanasia
Seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima
perawatan medis dan dia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau
mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil
(pernyataan tertulis tangan). Auto euthanasia pada dasarnya adalah euthanasia
pasif atas permintaan.13

68
Karena masih banyak pertentangan mengenai definisi euthanasia, diajukan
berbagai pendapat sebagai berikut:
a. Voluntary euthanasia
Permohonan diajukan pasien karena, misalnya gangguan atau penyakit
jasmani yang dapat mengakibatkan kematian segera yang keadaannya diperburuk
oleh keadaan fisik dan jiwa yang tidak menunjang.
b. Involuntary euthanasia
Keinginan yang diajukan pasien untuk mati tidak dapat dilakukan karena,
misalnya seseorang yang menderita sindroma Tay Sachs. Keputusan atau
keinginan untuk mati berada pada pihak orang tua atau yang bertanggung jawab.
c. Assisted suicide
Tindakan ini bersifat individual dalam keadaan dan alasan tertentu untuk
menghilangkan rasa putus asa dengan bunuh diri.
d. Tindakan langsung menginduksi kematian
Alasan tindakan ini adalah untuk meringankan penderitaan tanpa izin individu
yang bersangkutan dan pihak yang berhak mewakili. Hal ini sebenarnya
pembunuhan, tapi dalam pengertian agak berbeda karena dilakukan atas dasar
belas kasihan.

7.5.2. Alasan-Alasan Euthanasia


Tindakan euthanasia bukanlah sebuah tindakan yang tidak memerlukan
pikiran yang jernih dan alasan yang logis untuk melakukannya. Kebanyakan
orang melakukan euthanasia oleh karena banyaknya tekanan baik psikis, ekonomi,
depresi maupun hal-hal lain yang sulit untuk dijelaskan. Karena tindakan
euthanasia sendiri adalah tindakan yang mengakhiri kehidupan dan bukan
tindakan yang dianggap sepele.8,11
Euthanasia adalah sebuah aksi pencabutan nyawa seseorang. Karena itu
dilakukannya aksi tersebut harus didukung dengan alasan yang kuat. Dari
beberapa survey negara dan penyaringan sumber, berikut adalah tiga alasan utama
mengapa euthanasia itu bisa dilakukan.8,11

69
Mungkin argumen terbesar dalam konflik euthanasia adalah jika si pasien
tersebut mengalami rasa sakit yang amat besar. Namun pada zaman ini, penemuan
semakin gencar untuk mengatasi rasa sakit tersebut, yang secara langsung
menyebabkan presentase terjadinya “assisted suicide” berkurang.8,11
Euthanasia memang sekilas merupakan jawaban dari stress yang disebabkan
oleh rasa sakit yang semakin menjadi. Namun ada juga yang dinamakan “drugged
state” atau suatu saat dimana kita tak merasakan rasa sakit apapun karena
pengaruh obat.8,11
Karena itulah kita bisa menyimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada rasa
sakit yang tidak terkendali, namun beberapa pendapat menyatakan bahwa hal
tersebut memang bisa dilakukan dengan mengirim seseorang ke keadaan tanpa
rasa sakit, tapi mereka tetap harus di-euthanasia-kan karena cara tersebut tidak
terpuji.8,11
Hampir semua rasa sakit bisa dihilangkan, adapun yang sudah sebegitu
parah bisa dikurang jika perawatan yang dibutuhkan tersedia dengan baik. Tapi
euthanasia bukalah jawaban dari skandal tersebut. Solusi terbaik untuk masalah
ini adalah dengan meningkatkan mutu para profesional medis dan dengan
menginformasikan pada setiap pasien, apa saja hak-hak mereka sebagai seorang
pasien.8,11

70
BAB 3

KESIMPULAN

Surat keterangan kematian (SKK) adalah surat yang menerangkan bahwa


seseorang telah meninggal dunia. Surat keterangan kematian berisi identitas, saat
kematian dan sebab kematian. Kewenangan penerbitan surat keterangan kematian
ini adalah dokter yang telah diambil sumpahnya dan memenuhi syarat
administratif untuk menjalankan praktik kedokteran.
Kegunaan dari pembuatan surat ketearangan kematian secara baik dan
tepat, dengan kegunaan diantaranya adalah :Untuk kepentingan pemakaman
jenazah,Kepentingan pengurusan asuransi,Untuk tujuan hukum, pengembangan
kasus kematian tidak wajar, Kepentingan statistik.
Landasan Hukum Surat Keterangan Kematian yaitu diatur oleh peraturan
bersama Mendagri dan Menkes No. 15 Tahun 2010, nomor
162/MENKES/PB/I/2010, BAB I Pasal 7 KODEKI, BAB II Pasal 12 KODEKI,
Pasal 267 KUHP, Pasal 179 KUHAP.
Informed Consent didefinisikan sebagai pernyataan pasien atau yang sah
mewakilinya yang isinya berupa persetujuan atas rencana tindakan kedokteran
yang diajukan oleh dokter setelah menerima informasi yang cukup untuk dapat
membuat persetujuan atau penolakan.
Informed Consent telah diatur dalam pasal 19 Permenkes No. 290 Tahun
2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, Informed Consent di Indonesia
juga di atur dalam peraturan yaitu, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
23 tahun 1992 tentang Kesehatan, Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI),
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medis, Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
1419/Men.Kes/Per/X/2005 tentang Penyelanggaraan Praktik Kedokteran,
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan, Surat
Keputusan PB IDI No 319/PB/A4/88.
Persetujuan diberikan oleh individu yang kompeten. Ditinjau dari
segi usia, maka seseorang dianggap kompeten apabila telah berusia 18 tahun atau

71
lebih atau telah pernah menikah. Sedangkan anak-anak yang berusia 16 tahun atau
lebih tetapi belum berusia 18 tahun dapat membuat persetujuan tindakan
kedokteran tertentu yang tidak berrisiko tinggi apabila mereka dapat menunjukkan
kompetensinya dalam membuat keputusan.

Bioetika adalah studi indisipliner tentang masalah-masalah yang


ditimbulkan oleh perkembangan biologi dan kedokteran, tidak hanya
memperhatikan masalah – masalah yang terjadi pada masa sekarang, tetapi jug
memperhitungkan timbulnya masalah pada masa yang akan datang.

Etika biomedis berbicara tentang bidang medis dan profesi kedokteran


saja, terutama hubungan dokter dengan pasien, keluarga, masyarakat, dan teman
sejawat.

Perbedaan bioetichal dengan bioetik adalah : biomedical terkait dengan


profesi dokter ( yaitu hanya pada manusia saja), sedangkan boetik adalah etika
yang mencakup semua makhluk hidup baik manusia, hewan, dan tumbuhan.

Etika terapan bioetika ada 3 yaitu : etika klinik, etika profesi medik, dan bioetika.

Empat kaidah dasar moral, yaitu : beneficence, non-malficence, autonomy, dan


justice.

Medical proffesionalism adalah perilaku kita sebagai dokter. Hal ini


mengenai tingkah laku kita dalam berinteraksi dengan pasien dan masyarakat.

Tingkah laku kita berinteraksi dengan pasien dan masyarakat inilah yang menjadi
dasar kepercayaan yang mendalam dalam hubungan dokter pasien yang baik.

Malpraktek adalah praktek kedokteran yang salah atau tidak sesuai dengan
standar profesi atau standar prosedur operasional. Kelalaian dalam praktek medik
jika memenuhi beberapa unsur (1) duty (2) dereliction of the duty, (3) damage, (4)
direct causal relationship. Sedangkan unsur pelanggaran displin yaitu
pelanggaran meliputi negligence, malfeasance, misfeasance, lack of skill. Oleh
karena itu perlu dilakukan upaya-upaya menghindari malpraktek seperti semua
tindakan sesuai indikasi medis, bertindak secara hati-hati dan teliti, bekerja sesuai

72
standar profesi, membuat informed consent, mencatat semua tindakan yang
dilakukan (rekam medik), apabila ragu-ragu konsultasikan dengan senior,
memperlakukan pasien secara manusiawi, menjalin komunikasi yang baik dengan
pasien, keluarga, dan masyarakat sekitar.
Rekam Medis mempunyai peran yang sangat penting dalam pelayanan
kesehatan baik dalam perencanaan, media komunikasi antar tenaga kesehatan,
penyusunan anggaran, statistik, pendidikan serta untuk kepentingan yuridis yaitu
dapat menjadi dasar pembelaan dalam kasus gugatan malpraktek medis. Demikian
juga dalam pelayanan forensik klinik, dimana peran rekam medis terutama dalam
aplikasinya dengan penegakan keadilan dan hukum. Membuat Rekam medis
adalah merupakan kewajiban hukum bagi dokter dalam menjalankan praktik
kedokteran. Hal tersebut menimbulkan tanggung jawab hukum dalam
penyelenggaraan Rekam Medis, yang terdiri dari tanggung jawab Hukum
Administratif, Hukum Perdata dan Hukum Pidana.

Hakikat profesi kedokteran adalah bisikan nurani dan panggilan jiwa untuk
mengabdikan diri pada kemanusiaan berlandaskan moralitas yang kental dengan
prinsip kejujuran, empati, keadilan, keikhlasan, dan kepedulian kepada sesama
dalam rasa kemanusiaan, rasa kasih sayang serta ikut merasakan penderitaan
orang lain yang kurang beruntung.
Euthanasia merupakan tindakan yang tidak banyak terjadi dalam dunia
medis, tetapi tetap terjadi meskipun dalam jumlah yang sedikit. Euthanasia
dilakukan dengan berbagai cara. Ada beberapa jenis euthanasia yang telah
digolongkan oleh dunia medis. Euthanasia terdiri dari euthanasia pasid dan aktif.

73
DAFTAR PUSTAKA

1. Manado DIK. Aspek medikolegal tatalaksana kematian di kota Manado. J


e-Biomedik. 2013;1(1):111–7.

2. Fakultas Kedokteran Udayana. Ilmu kedokteran forensik dan medikolegal.


Sudira GP, Wardani P, Sundariyati HI, Ganesha HI gede, Darmayanti SI,
Saraswati RM, editors. Denpasar: Udayana University Press; 2017.hal.4-6.

3. Badan Diklat Kejaksaan Republik Indonesia. Kdokteran Forensik. Jakarta:


Kejaksaan Republik Indonesia; 2019.hal 23-34.

4. Pakendek A. Informed consent dalam pelayanan kesehatan. 2015;5(2):310.

5. Purnama SG. Etia dan Hukum Kesehatan. Purnama SG, editor. Denpasar:
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana; 2016.hal 4-7.

6. Fikriya K, Sritami A, Jati PS. Analisis persetujuan tindakan kedokteran


dalam rangka persiapan akreditasi rumah sakit di Instalasi bedah sentral
RSUD kota Semarang. J Kesehat Masy. 2016;4(1):47–51

7. Yulianti Kunthi. 2016. http://Biomedicalethic.kedokteran.go.id (diakses


tanggal 17 November 2020).

8. Binar Pramudito. 2017. https://id.sribd.com/doc/220671635/Bioetika


(diakses tanggal 17 November 2020).

9. Wahyuni Septia. 2016. https://id.scribd.com/doc/254450686/ETIKA-


BIOMEDIK (Diakses tanggal 18 November 2020).

10. Pawitrajaya. 2019. https://id.sribd.com/document/248744789/19 ( diakses


tanggal 17 November 2020).

11. Wikipedia. http://wikipedia.org (diakses tanggal 17 November 2020).

12. Kristyana Septian. 2017.


https://id.scribd.com/presentation/414876557/Etik-Dan-Hukum (diakses tanggal
17 November 2020).

74
18. Habafiah MJ, Amir A. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. 3rd ed.
Jakarta : EGC ; 1999. 56 – 65.

19. Permenkes RI No 269/Men.Kes/Per/III/2008tentangRekamMedis

20. Atmadja DS, Basbeth F. Rekam Medis dan Aspek Medikolegal.


Simposium Trilogi Rahasia Kedokteran, Malpraktik dan Peran asuransi. Jakarta :
28-29 Agustus 2004. 13 – 9

21. Wahyono A, Alit IB, Atmadja DS. Peran Rekam Medis dalam Pelayanan
Forensik. Kongres Nasional III PDFI. Semarang : 25 – 27 Juli 2004.
22. IDI. Rekam Medis/Kesehatan (Medical Record ). Lampiran SK PB IDI No
315/PB/A.4/88.
23. Dahlan S. Hukum Kesehatan, Rambu – rambu bagi Profesi Dokter. 3rd ed.
Semarang : Universitas Diponegoro ; 2001. 73 – 83.
24. Sampurna B. Makalah Bioetik dan Hukum Kedokteran, Sebuah Pengantar.
Jakarta :1997. 24-9.
25. Harahap MY. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,
Penyidikan dan Penuntutan. 2nd ed. Jakarta : Sinar Grafika ; 2001.
26. Guwandi J. Hukum Medik (Medical law). Jakarta : Balai Penerbit FKUI ;
2004. 229 – 236.
27. Bagian Kedokteran Forensik. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia ; 1994. 17 – 24.
28. Departemen IlmuKedokteran Forensik dan Medikolegal. Kompilasi
Peraturan Perundang – undangan terkait PraktikKedokteran. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; 2014. 79 – 85.
29. Darwin E, Hardisman. Falsafah dan kode etik kedokteran. In: Etika profesi
kesehatan. 2014. p. 11–22.
30. Koswara indra yudha. Malpraktik kedokteran perspektif dokter dan
pasien. 2020.

75
31. Isfandyarie, Anny., Malpraktek dan Resiko Medik Dalam Kajian Hukum
Pidana, Jakarta: Prestasi Pustaka, Cet. Ke-1, 2005.
32. M. Jusuf Hanafiah & Amri Amir, Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta , 2007.
33. Perkonsil No.16 tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Kasus Dugaan
Pelanggaran Disiplin Dokter dan Dokter Gigi oleh Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia. Konsil Kedokteran Indonesia.
34. Hanafiah MY. Malpraktik medik. In: Etika kedokteran & hukum
kesehatan. 2012. p. 95–104

35. Hanafiah J; Amir A. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. 4 ed.


Jakarta: EGC; 2008.
36. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia. Kode Etik
Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran
Indonesia. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia (IDI); 2004.
37. Bertens K. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka; 2007.
38. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI; 2016.
39. UU No 29. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran. 2004.
40. Ikatan Dokter Indonesia (IDI). SK Nomor 221/PB/A.4/04/2002 tentang
Penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia.
41. Ikatan Dokter Indonesia (IDI). KODE ETIK KEDOKTERAN
INDONESIA. Jakarta: PB IDI; 2012.
42. Hoediyanto H. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal. 7
ed. Surabaya: Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga; 2012.
43. Purwandiantoro A. Pedoman Organisasi dan Tata Laksana Kerja Majelis
Kehormatan Etika Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta: PB IDI;
2008.

76
44. James JP, Jones R, Karch SB, et al. Simpson’s Forensic Medicine. 13 ed.
London: Hodder and Stoughton LTD; 2011.
45. Amir A. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. 3 ed. Medan: Departemen
Forensik FK USU; 2013.
46. KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) & KUHAP (Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana) beserta Penjelasannya. Surabaya: Sinarsindo
Utama; 2015.
47. Stark Margaret M. Clinical Forensic Medicine: A Physician’s Guide. New
Jersey: Humana Press Inc; 2005.

77

Anda mungkin juga menyukai