Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH KASUS:

MANTAN DIRUT RSUD LEMBANG DITUNTUT 8 TAHUN PENJARA

Disusun Oleh:

Yulia Farah Nabila binti Yuliafarta

190600224

Dosen Pembimbing:

Simson Damanik, drg., M.Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

TAHUN 2019/2020
MANTAN DIRUT RSUD LEMBANG DITUNTUT 8 TAHUN PENJARA
___________________________________________________________________________

Yulia Farah Nabila binti Yuliafarta

190600224

Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Sumatera Utara

Jalan Alumni No. 2 Kampus USU Medan 20155

E-mail: yuliafarahnabilayuliafarta@gmail.com

___________________________________________________________________________

PENDAHULUAN

Dokter dalam menjalankan praktik sehari-hari sering kali menemukan isu etik yang
terkadang dapat berkembang menjadi dilema etik. 1.2 Seorang dokter senantiasa dihadapkan
dalam penilaian moral untuk membuat suatu keputusan klinis yang etis.3 Pada awal tahun 60-
an, di saat kemajuan dalam bidang ilmu dan teknologi kedokteran berdampak pada hasil
pengobatan dan kualitas hidup pasien yang lebih baik,4 praktik kedokteran di masyarakat
berkembang dan berubah sejalan dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat.

Tujuan utama pada pelaksanaan profesi kedokteran adalah untuk mengatasi


penderitaan dan memulihkan kesehatan orang yang sakit. Ada orang sakit (pasien, penderita)
dan dalam masyarakat yang sederhana sekalipun ada orang yang dianggap mampu
menyembuhkan penyakit (dukun, healer, dokter) dan obat diharapkan dapat menolong yang
sakit dengan cara apapun. Pada dasarnya, apa yang sekarang dinamakan hubungan dokter-
pasien dapat ditelusuri balik asal usulnya pada hubungan pengobatan seperti dalam
masyarakat sederhana itu, tentu ditambah dengan kerumitan-kerumitan yang dibawa oleh
perkembangan sosial, ekonomi, hubungan antar manusia, ilmu kedokteran, teknologi, etika,
hukum, bisnis dan lain-lain di zaman modern ini. Hal yang paling mendalam dari hubungan
dokter-pasien adalah rasa saling percaya. Pasien sebagai pihak yang memerlukan pertolongan
percaya bahwa dokter dapat menyembuhkan penyakitnya. Sementara itu, dokter juga percaya
bahwa pasien telah memberikan keterangan yang benar mengenai penyakitnya dan ia akan
mematuhi semua petunjuk dokter.

Pelayanan kedokteran yang baik adalah yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat,
bermutu dan terjangkau. Untuk dapat memberikan pelayanan kedokteran paripurna bermutu
(preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif) bukan saja ditentukan oleh pengetahuan dan
keterampilan, melainkan juga oleh perilaku (professional behaviour), etik (bioethics) dan
moral serta hukum.

ETIKA KEDOKTERAN

Etik (Ethic) berasal dari kata Yunani ethos, yang berarti akhlak, adat kebiasaan,
watak, perasaan, sikap, yang baik, yang layak. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia
(Purwadarminta, 1953), etika adalah ilmu pengetahuan tentang azas akhlak. Sedangkan
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
(1988), etika adalah:

1. Ilmu tentang apa yang baik, apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral
2. Kumpulan atau seperangkat asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak
3. Nilai yang benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat

Menurut Kamus Kedokteran (Ramali dan Pamuncak, 1987), etika adalah pengetahuan
tentang perilaku yang benar dalam satu profesi. Istilah etika dan etik sering dipertukarkan
pemakaiannya dan tidak jelas perbedaan antara keduanya. Dalam buku ini, yang dimaksud
dengan etika adalah ilmu yang mempelajari azas akhlak sedangkan etik adalah seperangkat
asas atau nilai yang berkaitan dengan akhlak seperti dalam Kode Etik. Istilah etis biasanya
digunakan untuk menyatakan sesuatu sikap atau pandangan yang secara etis dapat diterima
(ethically acceptable) atau tidak dapat diterima (ethically unacceptable, tidak etis). Pekerjaan
profesi (professio berarti pengakuan) merupakan pekerjaan yang memerlukan pendidikan dan
latihan tertentu, memiliki kedudukan yang tinggi dalam masyarakat, seperti ahli hukum
(hakim, pengacara), wartawan, dosen, dokter, dokter gigi, dan apoteker.5

Profesi kedokteran merupakan profesi yang tertua dan dikenal sebagai profesi yang
mulia karena ia berhadapan dengan hal yang paling berharga dalam hidup seseorang yaitu
masalah kesehatan dan kehidupan. Menurut Pasal 1 butir 11 Undang Undang Nomor 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu
pekerjaan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan,
kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan berjenjang dan kode etik yang bersifat
melayani masyarakat.5

Hakikat profesi kedokteran adalah bisikan nurani dan panggilan jiwa (calling), untuk
mengabdikan diri pada kemanusiaan berlandaskan moralitas yang kental. Prinsip-prinsip
kejujuran, keadilan, empati, keikhlasan, kepedulian kepada sesama dalam rasa kemanusiaan,
rasa kasih sayang (compassion), dan ikut merasakan penderitaan orang lain yang kurang
beruntung. Tujuan pendidikan dalam pendidikan dokter adalah untuk menjadikan calon
dokter lebih manusiawi dengan memiliki kematangan intelektual dan emosional. Etik profesi
kedokteran merupakan seperangkat perilaku para dokter dan dokter gigi dalam hubungannya
dengan pasien, keluarga, masyarakat, teman sejawat dan mitra kerja.

Rumusan perilaku para anggota profesi disusun oleh organisasi profesi bersama-sama
pemerintah menjadi suatu kode etik profesi yang bersangkutan. Tiap-tiap jenis tenaga
kesehatan telah memiliki Kode Etiknya, namun Kode Etik tenaga kesehatan tersebut
mengacu pada Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI).

BIOETIKA

Etika kedokteran berbicara tentang bidang medis dan profesi kedokteran saja,
terutama hubungan dokter dengan pasien, keluarga, masyarakat dan teman sejawat. Oleh
karena itu, sejak 3 dekade terakhir ini telah dikembangkan bioetika atau disebut juga etika
biomedis.

Bioetika berasal dari kata bios yang berarti kehidupan dan ethos yang berarti norma-
norma atau nilai-nilai moral. Bioetika atau bioetika medis merupakan studi interdisipliner
tentang masalah yang ditimbulkan oleh perkembangan di bidang biologi dan ilmu kedokteran
baik skala mikro maupun makro, masa kini dan masa mendatang (Bertens, 2001). Bioetika
mencakup isu-isu sosial, agama, ekonomi dan hukum bahkan politik. Bioetika selain
membicarakan bidang medis, seperti abortus, eutanasia, transplantasi organ, teknologi
reproduksi buatan, dan rekayasa genetik, membahas pula masalah kesehatan, faktor budaya
yang berperan dalam lingkup kesehatan masyarakat, hak pasien, moralitas penyembuhan
tradisional, lingkungan kerja, demografi, dan sebagainya. Bioetika memberi perhatian yang
besar pula terhadap penelitian kesehatan pada manusia dan hewan percobaan.5

Masalah bioetika mulai diteliti pertama kali oleh Institute for the Study of Society,
Ethics and the Life Sciences, Hasting Center, New York (Amerika Serikat) pada tahun 1969.
Di Indonesia, bioetika baru berkembang sekitar satu dekade terakhir yang dipelopori oleh
Pusat Pengembangan Etika Universitas Atma Jaya Jakarta. Perkembangan ini sangat
menonjol setelah Universitas Gajah Mada Yogyakarta yang melaksanakan pertemuan
Bioethics 2000 An International Exhange dan Pertemuan Nasional I Bioetika dan Humaniora
pada bulan Agustus 2000. Pada waktu itu, Universitas Gajah Mada juga mendirikan Center
for Bioethics and Medical Humanities. Dengan terselenggaranya Pertemuan Nasional II
Bioetika dan Humaniora pada tahun 2002 di Bandung, Pertemuan III pada tahun 2004 di
Jakarta, dan Pertemuan IV pada tahun 2006 di Surabaya serta telah terbentuknya Jaringan
Bioetika dan Humaniora Kesehatan Indonesia (JBHKI) pada tahun 2002, diharapkan studi
bioetika akan lebih berkembang dan tersebar luas di seluruh Indonesia pada masa datang.5

HUKUM KESEHATAN

Definisi hukum tidak dapat memuaskan semua pihak karena banyak seginya, dan
demikian luasnya sehingga sulit disatukan dalam satu rumusan. Untuk praktisnya, dalam
buku ini yang dimaksud dengan hukum adalah peraturan perundangan, seperti yang terdapat
dalam hukum pidana, hukum perdata, hukum tata negara, dan hukum administrasi negara.

Dalam lebih dari dua dekade terakhir terasa sekali disiplin hukum memasuki wilayah
kedokteran atau bisa juga dikatakan kalangan kesehatan makin akrab dengan bidang dan
pengetahuan hukum. Dua disiplin tertua di dunia itu, pada awalnya berkembang dalam
wilayahnya masing-masing, yang satu dalam mengatasi masalah kesehatan yang timbul pada
anggota masyarakat, yang satu lagi mengatur tentang ketertiban dan ketentraman hidup
bermasyarakat. Keduanya diperlukan untuk kesejahteraan dan kedamaian masyarakat. Dalam
perkembangan kedua disiplin ini untuk mencapai tujuan dimaksud, ternyata disiplin yang satu
diperlukan oleh disiplin lain dalam cabang ilmunya. Dalam proses penegakan hukum, peran
ilmu dan bantuan dokter diperlukan oleh jajaran penegak hukum yang dikenal sebagai Ilmu
Kedokteran Forensik, yaitu cabang ilmu kedokteran yang sejak awal berkembangnya telah
mendekatkan disiplin ilmu kedokteran dan ilmu hukum. Sebaliknya, dalam perkembangan
dan peningkatan upaya pemeliharaan dan pelayanan kesehatan diperlukan pula pengetahuan
dan aturan hukum dan ini berada dalam cabang ilmu hukum yang kemudian hadir sebagai
Hukum Kesehatan.5

Hukum kesehatan menurut Anggaran Dasar Perhimpunan Hukum Kesehatan


Indonesia (PERHUKI), adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan
pemeliharaan/pelayanan kesehatan dan penerapan hak dan kewajiban baik bagi perseorangan
maupun segenap lapisan masyarakat, baik sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun
sebagai pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala aspek, organisasi, sarana,
pedoman standar pelayanan medik ilmu pengetahuan kesehatan dan hukum, serta sumber-
sumber hukum lain. Hukum Kedokteran merupakan bagian dari Hukum Kesehatan, yaitu
yang menyangkut pelayanan kedokteran (rnedical care/service).
Hukum kesehatan merupakan bidang hukum yang masih muda. Perhimpunan untuk
Hukum Kedokteran Indonesia (PERHUKI), terbentuk di Jakarta pada tahun 1983 dan
berubah menjadi Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia (PERHUKI) pada Kongres I
PERHUKI di Jakarta pada tahun 1987.

Hukum kesehatan mencakup komponen hukum bidang kesehatan yang bersinggungan


satu dengan yang lain, yaitu hukum Kedokteran,/Kedokteran Gigi, Hukum Keperawatan,
Hukum Farmasi Klinik, Hukum Rumah Sakit, Hukum Kesehatan Masyarakat, Hukum
Kesehatan Lingkungan, dan sebagainya (Konas PERHUKI, 1993).5

PERMASALAHAN

BANDUNG - Mantan Direktur RSUD Lembang, Onnie Habibi, dituntut delapan


tahun penjara. Sedangkan mantan bendahara rumah sakit pelat merah tersebut, Meta Susanti,
dituntut 10 tahun penjara. Hal tersebut terungkap dalam sidang tuntutan kasus dugaan korupsi
dana klaim BPJS yang digelar di Pengadilan Tipikor Bandung, Rabu (13/11).

Dalam tuntutannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU), Wahyu Sudrajat, juga menuntut
terdakwa Onnie mengembalikan uang negara Rp 2 miliar subsider kurungan empat tahun
penjara. Sedangkan Meta harus mengganti kerugian negara Rp 5 miliar subsider lima tahun
kurungan penjara. Jaksa juga menuntut denda kepada Onni sebesar Rp 200 juta subsider
enam bulan kurungan penjara.

"Menjatuhkan pidana penjara terdakwa Onnie Habie selama delapan tahun dan denda
Rp 200 juta subsider enam bulan kurungan penjara. Dan terdakwa Meta Susanti dengan
hukuman 10 tahun penjara," kata jaksa dalam tuntutannya. Mendengar tuntutan jaksa, kedua
terdakwa yang mengenakan baju putih lengan panjang dan berkerudung ini hanya
menundukkan kepalanya.

Sebagaimana diketahui, kasus ini terjadi pada 2018. Saat itu RSUD Lembang mengajukkan
klaim dana BPJS Kesehatan sebesar Rp 11,4 miliar lebih. Namun kedua terdakwa tidak
menyetorkan seluruhnya klaim itu ke kas daerah Setda Pemkab Bandung Barat.
Sebanyak Rp 7,7 miliar digunakan untuk kepentingan pribadi. Uang tersebut digunakan
untuk membeli tanah, rumah, mobil, dan barang mewah lainnya.
PEMBAHASAN

Pelanggaran etika dan pelanggaran hukum merupakan dua sisi mata uang yang
berbeda namun mempunyai substansi yang sama, akan tetapi kedua nya mempunyai sistem
dan sanksi yang berbeda, etika berangkat dari sebuah pemikiran filsafat moral, prinsip itikad
baik dan mengenai bagaimana untuk berbuat atau bertindak yang baik, dan hukum berangkat
dari sebuah bentukan kepastian yang sama-sama berangkat pada sebuah nilai atau value
dalam menuju sebuah keadilan, serta menjadi pedoman, pengontrol atau pengawas dalam
setiap tindak atau tata laku manusia. Namun kedunya mempunyai sanksi yang berbeda, etika
disusun oleh kesepakatan anggota masing-masing profesi dan berlaku pada lingkungan
profesi, sedangkan hukum disusun oleh badan Pemerintahan, baik legislatif dan eksekutif,
berlaku pada lingkungan yang bersifat umum, sanksi yang terdapat pada etika tidak disertai
bukti fisik dan berupa tuntunan, sedangkan sanksi pada pelanggaran hukum bersifat fisik dan
berupa tuntutan, yang berujung pada pidana atau hukuman.

Menurut kasus, mantan Direktur RSUD Lembang, Onnie Habibi, dituntut delapan
tahun penjara. Sedangkan mantan bendahara rumah sakit pelat merah tersebut, Meta Susanti,
dituntut 10 tahun penjara. Dana BPJS itu digunakan untuk kepentingan pribadi. Onnie yang
juga mantan Direktur RSUD Lembang itu ditahan dan penahanan dilakukan atas beberapa
pertimbangan dan sesuai asal 21 KUHP, di antaranya, dikhawatirkan melarikan diri,
dikhawatirkan menghilangkan barang bukti dan tersangka menggulangi perbuatannya.

Dalam bidang kesehatan, korupsi akan meningkatkan biaya barang dan jasa di bidang
kesehatan, yang akhirnya harus ditanggung oleh pasien. Untuk itu, diperlukan upaya
pencegahan terjadinya tindak korupsi di bidang pelayanan kesehatan. Terjadinya kasus-kasus
korupsi pada sektor kesehatan yang melibatkan pejabat pada kementerian kesehatan dan
dinas kesehatan lokal menunjukkan rendahnya transparansi dan akuntabilitas serta kepatuhan
pada hukum. Besarnya diskresi atau kewenangan pejabat dan rendahnya etika pejabat sektor
kesehatan menyebabkan menguatnya dan meningkatnya kesempatan melakukan praktek
korupsi disektor kesehatan.6

Berdasarkan kasus, mantan Direktur RSUD yang dianggap sebagian dari staf medis di
rumah sakit itu telah melanggar sebagian hukum kesehatan. Rumah sakit menurut Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor l19b/Menkes/ Per/lI/1988 tentang Rumah Sakit adalah "Sarana
upaya kesehatan yang menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan serta dapat
dimanfaatkan untuk pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian". Samsi Jacobalis dalam
Proposal Model Hospital Bylaws untuk rumah sakit di Indonesia dalam pandangannya
tentang "Rumah Sakit dari Pendekatan Manajemen Strategis" seperti yang dikutip oleh
Herkutanto dalam Pelatihan Peningkatan Keterampilan Medikolegal di rumah sakit tahun
2004 di RS. H. Adam Malik menjelaskan perlunya pemilik mempunyai visi tentang
keberadaan rumah sakit, disertai tujuan dan nilai utama yang didukung oleh analisis situasi
baik eksternal, internal dan kecenderungan (trend) pelayanan kesehatan sesuai
perkembangan. Badan pengampu yang dapat merumuskannya dalam misi dan tujuan
keberadaan rumah sakit disertai dengan strategi dan kebijakan yang perlu ditempuh.
Rumusan ini harus dapat diimplementasikan secara strategis oleh Direksi dan Staf klinis
dalam program-program yang perlu dilaksanakan serta anggaran yang diperlukan. Hasil dari
kerjasama ini perlu dipantau dan diawasi badan pengawas berdasarkan hasil pelaksanaan
semua kebijakan dan pelayanan yang telah dilaksanakan melalui evaluasi dan bila perlu
mengoreksi kesalahan atau kekeliruan yang mungkin terjadi.5

Dengan demikian, dapat dikatakan Peraturan Internal Rumah Sakit (PIRS) berfungsi
sebagai:

1. Acuan untuk pemilik rumah sakit dalam melakukan pengawasan.


2. Acuan untuk direktur dalam mengelola rumah sakit.
3. Acuan untuk direktur dalam menyusun kebijakan operasional.
4. Sarana untuk menjamin efektivitas, efisiensi dan mutu pelayanan.
5. Sarana perlindungan hukum bagi semua pihak yang terkait dengan rumah sakit.
6. Acuan dalam menyelesaikan konflik di rumah sakit.

KESIMPULAN

Ada hal-hal yang perlu dihindari oleh para profesional medis, pemilik rumah sakit,
direktur bahkan semua staf medis yaitu terjebak dalam situasi yang menyebabkan
kepentingan pasien menjadi terabaikan bahkan kadang-kadang lebih mengedepankan aspek
komersial dan materi. Pemilik rumah sakit, direktur ataupun staf medis haruslah bekerja
berdasarkan standar profesi masing-masing. Oleh karena itu, di satu sis, semua staf medis
maupun direktur ataupun dokter dalam melaksanakan profesinya bertanggung jawab terhadap
ketentuan etik profesi. Misalnya, dokter harus mematuhi Kode Etik Kedokteran Indonesia
(KODEKI) dan juga Hukum Kesehatan. Di sisi lain, staf medis juga bertanggung jawab
terhadap ketentuan hukum yang berlaku, baik perdata, hukum administrasi, maupun hukum
pidana termasuk hukum pemberantasan tindak pidana korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Wasisto B, Suganda S. Perilaku profesional sebagai kontinum etis, disiplin dan
hukum dalam mencegah masyarakat gemar menggugat (litigious society). Proceeding
Pertemuan Nasional IV Jaringan Bioetika dan Humaniora Kesehatan Indonesia
(JBHKI). Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 30 November – 2
Desember 2004.
2. Mayeda M, Takase K. Need for enforcement of ethicolegal education – an analysis of
the survey of postgraduate clinical trainers. BMC Medical Ethics. 2005; 6:8. Diunduh
tanggal 4 Juli 2014 dari http://www.biomedcentral.com/content/pdf/1472-6939-6-
8.pdf.
3. Craig E. Moral Judgment. The Routledge of philosophy. London: Routledge; 1998.
4. Nambiar RM. Professional development in changing world. Singapore Med J. 2004;
45(12): 551- 7.
5. Hanafiah M.J, Amir Amri. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan. 4rd rev. ed.
Jakarta: EGC, 2008. 2-6, 163-165.
6. Syarief, Sugiri. “Patofisiologi Korupsi Di Bidang Kesehatan: Kajian Beberapa Kasus
Di Indonesia = Corruption Pathophysiology in Health Sector: Some Case Studies in
Indonesia.” Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 01, March, 2006.
http://www.i-lib.ugm.ac.id/jurnal/detail.php?dataId=8461

Anda mungkin juga menyukai